• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN PENGURUS PT (BANK) MENURUT UU NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS Oleh : Prof. Dr.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN PENGURUS PT (BANK) MENURUT UU NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS Oleh : Prof. Dr."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN PENGURUS PT (BANK) MENURUT UU NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

Oleh : Prof. Dr. Nindyo Pramono*)

A. Siapakah Pengurus Perseroan

Terbatas itu ?

Pengurus Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat PT) dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat UUPT) dikenal dengan nama Direksi (selanjutnya akan digunakan sebutan Direksi). Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) UU PT, Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

Menurut teori Organisme dari Otto von Gierke sebagaimana yang dikutip oleh Syuiling (1948), Direksi adalah organ atau alat perlengkapan badan hukum. Seperti halnya manusia mempunyai organ-organ, seperti tangan, kaki, mata, telinga dan seterusnya dan karena setiap gerakan organ-organ itu dikehendaki atau diperintahkan oleh ______________________

*) Guru Besar Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

otak manusia, maka setiap gerakan atau aktifitas Direksi badan hukum dikehendaki atau diperintah oleh badan hukum sendiri, sehingga Direksi adalah personifikasi dari badan hukum itu sendiri. Sebaliknya Paul Scholten dan Bregstein (1954), langsung mengatakan bahwa Direksi mewakili badan hukum (PT: Penulis). Bertitik tolak dari pendapat ketiga ahli tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Direksi PT itu bertindak mewakili PT sebagai badan hukum. Kapan PT memperoleh status sebagai badan hukum, menurut Pasal 7 ayat (4) UUPT adalah sejak tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM mengenai pengesahan badan hukum Perseroan. Hakekat dari sebuah perwakilan adalah bahwa seseorang melakukan sesuatu perbuatan untuk kepentingan orang lain atas tanggung jawab dari orang yang mewakilkan itu. Menjadi pertanyaan di sini, kapan sebenarnya kewenangan perwakilan Direksi itu timbul?

Kalau dikaji secara mendalam bukankah kewenangan perwakilan yang diemban oleh Direksi itu timbul karena adanya pengangkatan oleh RUPS sebagai organ PT yang

(2)

mempunyai wewenang mengangkat anggota Direksi, sesuai ketentuan Pasal 94 ayat (1) UUPT. Pengangkatan di sini bersifat sepihak, sebab pengangkatan adalah perintah untuk melakukan pengurusan PT untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan PT, mewakili PT di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Kewenangan untuk mewakili yang berdasarkan pengangkatan itu menjadi hapus atau tidak ada ketika kewenangan mewakili itu ditarik kembali atau orang yang mewakili meninggal dunia. Oleh sebab itu, UUPT mengatur di dalam Pasal 94 ayat (3), yang mengatakan bahwa anggota Direksi diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali.

Keputusan RUPS untuk mengangkat anggota Direksi itu biasanya disertai dengan penetapan gaji, honorarium dan fasilitas lainnya. Bisa juga di dalam praktik penetapan gaji, honorarium dan fasilitas lainnya didelegasikan kepada Dewan Komisaris. Dalam hubungan dengan diberikannya fasilitas gaji dan lain-lain fasilitas tersebut timbul pertanyaan bagaimanakah sifat hubungan hukum antara Direksi PT dengan PT yang diwakilinya? Beberapa pemerhati senior di bidang hukum bisnis, seperti Purwosutjipto (1980), Sukardono (1983) berpendapat bahwa sifat

hubungan hukum antara Direksi dengan PT yang diwakilinya adalah kombinasi antara hubungan perburuhan (karena menerima gaji: Penulis) dan hubungan pemberian kuasa (karena mewakili PT: Penulis). Induk dari kuasa ini adalah volmacht. Ruang lingkup volmacht ditentukan oleh isi volmacht itu sendiri. Apabila

volmacht hanya dirumuskan dalam

rumusan yang umum, maka volmacht hanya akan berisi kewenangan mengenai perbuatan pengurusan saja. Padahal Direksi itu tidak hanya berwenang untuk mengurus (beheer

daden) PT tetapi juga berwenang

untuk menguasai atau memelihara (beschikking daden) PT.

Jika pendapat Purwosutjipto (1980) dan Sukardono (1983) tersebut diikuti, maka konsekuensinya hubungan hukum antara Direksi PT dengan PT yang diwakilinya adalah hubungan antara buruh dengan majikan. Berarti di sini ada hubungan subordinasi, hubungan antara atasan dengan bawahan. Pendapat demikian jika dihadapkan pada ketentuan di dalam UUPT yang mengatur bahwa PT sebagai badan hukum dalam bertindak atau melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga diwakili oleh Direksi akan dapat menimbulkan pertanyaan: apakah pandangan bahwa sifat hubungan hukum antara Direksi dengan PT adalah hubungan perburuhan masih dapat dipandang

(3)

tepat? Bukankah Direksi adalah wakil PT – bukan “buruh“ atau “karyawan“ PT. Sebagai wakil sah-sah saja ia menerima honorarium, diberi gaji dan fasilitas lainnya. Perkara yang mengangkat Direksi adalah RUPS sebagai representasi dari wewenang PT tidak perlu dikatakan bahwa dengan demikian Direksi adalah buruh atau karyawan dari PT. Sampai di sini tampaknya tidak ada masalah.

Jika pandangan bahwa sifat hubungan hukum antara Direksi dengan PT adalah hubungan perburuhan atau ketenagakerjaan, dapat timbul masalah. Bagaimana jika pada suatu ketika Direksi suatu PT sebelum masa jabatannya berakhir terpaksa diberhentikan dengan hormat oleh RUPS. Dalam pemberhentian itu fasilitas-fasilitas perusahaan yang seharusnya diterima Direksi seperti gaji, honorarium, bonus dan sebagainya sudah diberikan, namun kemudian setelah Direksi tersebut berada di luar PT, kemudian Direksi tersebut menempatkan diri selaku mantan buruh atau karyawan PT menggugat PT ke Peradilan Perburuhan untuk menuntut hak-haknya seperti pesangon dan sebagainya dengan menggunakan dasar UU Tenaga Kerja. Apakah tindakan demikian sesuai dengan kaidah-kaidah hukum PT? Apa tepat konstruksi hukum demikian ini.

Saya berpadangan bahwa sifat hubungan perburuhan antara Direksi PT dengan PT yang diwalikinya itu layak untuk ditinggalkan dalam era sekarang ini. Sifat hubungan hukum antara Direksi dengan PT yang diwakili adalah hubungan hukum perwakilan (volmacht) dengan secara spesifik mengambil jenis perwakilan yang dikenal dalam surseance van betaling yang disebut bewindvoering. Direksi PT mewakili PT dalam mengurus dan memelihara (beheer en beschikking

daden) PT. Direksi PT itu adalah

manager. Dia yang diberi wewenang oleh PT melalui organ PT yang disebut RUPS untuk mengurus dan memelihara PT untuk kepentingan PT sesuai dengan maksud dan tujuan PT dengan mengacu pada anggaran dasar PT. Dalam mengurus dan memelihara PT, Direksi antara lain diberi wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan buruh (karyawan) PT. Dia adalah wakil PT selaku majikan dalam mengikat perjanjian kerja dengan buruh (karyawan) PT. Jika Direksi PT juga diberi status “buruh“ (karyawan PT karena diangkat oleh RUPS, karena menerima gaji dari PT) dan kemudian timbul kasus seperti yang kami uraikan di atas, dapat dibayangkan betapa harta kekayaan PT akan bisa “terkuras habis“ untuk memberi hak Direksi selaku Manager PT dan sekaligus juga sebagai buruh atau

(4)

karyawan PT. Konsep demikian menurut hemat saya tidak sejalan dengan kaedah-kaedah hukum PT sekarang ini yang mengedepankan

Good Corporate Governance.

B. Apakah perbuatan

Pengurusan itu ?

Pasal 92 ayat (1) UUPT mengatakan bahwa Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan rumusan Pasal 82 ayat (1) jo Pasal 85 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1995 Tentang PT. Menurut Pasal 92 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (5) UUPT dapat diketahui bahwa tugas, wewenang dan tanggung jawab Direksi adalah mengurus Perseroan (beheer van daden), antara lain pengurusan sehari-hari Perseroan. Kata “pengurusan sehari-hari Perseroan“ ini sejalan dengan pandangan para ahli di bidang hukum bisnis yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan pengurusan atau dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah “beheer van daden“ adalah tiap-tiap perbuatan yang perlu atau termasuk golongan perbuatan yang biasa dilakukan untuk mengurus atau memelihara perserikatan perdata (Pitlo: 1964). Demikian tentunya tidak berbeda jika bentuk perusahaan tersebut adalah PT.

Lingkup norma hukum perbuatan “mengurus“ Perseroan itu pada dasarnya ada dua yaitu: beheer van

daden dan beschikking van daden.

Yang biasanya dirumuskan dalam Anggaran Dasar PT adalah kaedah “beschikking daden“ dengan kaedah “larangan”. Di dalam UUPT yang baru juga terdapat rumusan “beschikking

daden“ sebagaimana dapat dilihat di

dalam ketentuan Pasal 102 ayat (1) yang mengatakan bahwa Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk :

a. mengalihkan kekayaan Perseroan; atau

b. menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan, yang merupakan lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak.

Perbuatan “mengalihkan dan menjadikan jaminan utang kekayaan PT“ adalah contoh perbuatan

beschikking dalam hukum PT. Secara a contrario, kaedah yang tidak

dirumuskan di dalam Anggaran Dasar dengan ketentuan harus mendapat persetujuan RUPS atau Dewan Komisaris, perbuatan tersebut masuk dalam lingkup perbuatan pengurusan. Perbuatan itu adalah perbuatan yang biasa sehari-hari dilakukan oleh Direksi dalam mengurus PT.

(5)

Selanjutnya Pasal 92 ayat (2) mengatur bahwa Direksi berwenang menjalankan pengurusan sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat dalam batas UU dan/atau Anggaran Dasar. Yang dimaksud dengan “kebijakan yang dipandang tepat“ adalah kebijakan yang antara lain didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam dunia usaha sejenis. Kebijakan yang dipandang tepat di dalam Ps 92 (2) UU No.40/07 ini secara teoritis masuk dalam kategori “blanket norm“

(open norm) . Apa yang dimaksud

dengan “kebijakan yang dipandang tepat“ hanya diberikan contoh secara demonstratif (tidak limitatif) dengan kata-kata ”antara lain” dan di dalam contoh itu ada kaedah yang mengatakan bahwa kebijakan secara tepat itu di dasarkan atas “kelaziman dalam dunia usaha sejenis“. Kelaziman dalam dunia usaha sejenis ini secara teoritis sulit diberikan kriterianya atau ukurannya. Di dalam praktik tidak tertutup kemungkinan dapat diberikan tafsiran secara luas atau sempit. Oleh sebab itu perlu “kearifan“ Pengurus sebagai organ Perseroan yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab mengurus Perseroan. Menurut hemat saya kebijakan yang dipandang tepat adalah kebijakan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi Perseroan, kebijakan yang berguna

bagi kepentingan PT. UUPT memberikan kelonggaran untuk dijabarkan sendiri dalam praktik asalkan hal itu sesuai dengan norma-norma kelaziman dalam dunia usaha sejenis.

C. Untuk kepentingan siapa

Pengurusan itu?

UUPT di dalam Pasal 1 ayat (5) jo Pasal 92 ayat (1) hanya menyebut untuk kepentingan Perseroan. Jadi dengan pendekatan legalistik, perbuatan pengurusan (beheer van daden)

Direksi itu hanya ditujukan untuk kepentingan Perseroan. Singkat kata kepentingan Perseroan itu ya hanya keuntungan. Berbeda dengan faham klasik yang mengajarkan kepada kita bahwa kebijakan Direksi PT itu harus ditujukan untuk kepentingan Pemegang Saham. Sejak diikutinya faham institutional atau institutionale

opvating (Prasetya: 2005,

Schilfgaarde: 1990, Pramono: 1997) orientasi kebijakan Pengurus PT adalah tidak lagi semata-mata hanya ditujukan kepada Pemegang Saham, tetapi lebih luas dari itu yaitu untuk kepentingan PT sesuai dengan maksud dan tujuan PT dan anggaran dasar. Oleh sebab itu, di dalam UUPT mulai dirumuskan dengan ”... untuk kepentingan Perseroan ...”.

Sebenarnya banyak kepentingan PT itu, Schilfgaarde (2004) menyebut selain kepentingan Pemegang Saham,

(6)

ada kepentingan PT sendiri (het

vennootschap belang). Dalam

perkembangan baru sekarang ini yang mulai memandang penting penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan benar (Good Corporate

Governance), di samping kepentingan

Pemegang saham dan kepentingan PT sendiri, masih ada kepentingan lain dalam PT, seperti kepentingan karyawan, kepentingan pihak ke tiga atau kreditur, kepentingan negara dan sebagainya. Filosofi pengaturan demikian adalah bertujuan memberikan perlindungan hukum kepada Perseroan dan sekaligus kepada Pemegang Saham secara intern. Jika Pemegang saham atau Pihak Ketiga atau orang di luar PT ada yang merasa dirugikan atas perbuatan Direksi, maka Pihak tersebut berdasarkan alas hak umum “perbuatan melawan hukum“ ex Ps 1365 KUHPdt dapat saja melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri kepada Direksi yang bersangkutan.

D. Tanggung Jawab dan

Kewajiban Pengurus PT

(Perbankan).

Agar Direksi sebagai organ Perseroan yang mengurus Perseroan sehari-hari dapat mencapai prestasi terbesar untuk kepentingan Perseroan, maka ia harus diberi kewenangan-kewenangan tertentu untuk mencapai hasil yang optimal dalam mengurus Perseroan. Dari kewenangan yang

diberikan, ia perlu diberi tanggung jawab untuk mengurus Perseroan. Hal ini berarti dalam membicarakan kewenangan Direksi, diperlukan pemahaman tentang tanggung jawabnya.

Apa yang dimaksud dengan tanggung jawab itu? Tanggung jawab adalah kewajiban seseorang individu (baca: Direksi) untuk melaksanakan aktivitas yang ditugaskan kepadanya sebaik mungkin, sesuai dengan kemampuannya (Winardi: 1983). Tanggung jawab dapat berlangsung terus atau dapat berhenti apabila tugas tertentu yang dibebankan kepadanya telah selesai dilaksanakan. Dalam Perseroan biasanya antara wewenang dan tanggung jawab seorang Direksi harus mempunyai tingkatan yang sama. Dengan demikian, wewenang seorang Direksi memberikan kepadanya kekuasaan untuk membuat serta menjalankan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan bidang tugasnya yang telah ditetapkan dan tanggung jawab dalam bidang tugasnya tersebut menimbulkan kewajiban baginya untuk melaksanakan tugas–tugas tersebut dengan jalan menggunakan wewenang yang ada untuk mencapai tujuan Perseroan.

Jadi, dalam Perseroan, tanggung jawab Direksi timbul, apabila Direksi yang memiliki wewenang atau Direksi

(7)

yang menerima kewajiban untuk melaksanakan pengurusan Perseroan, mulai menggunakan wewenangnya tersebut. Agar wewenang atau kewajiban Direksi tersebut dilaksanakan untuk kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, maka idealnya wewenang itu dapat dilaksanakan sesuai dengan tanggung jawabnya dan sebaliknya tanggung jawab harus diberikan sesuai dengan wewenang yang ada.

Untuk itulah Pasal 97 ayat (1) UUPT menentukan bahwa Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1). Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab (ayat 2). Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan bila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), demikian bunyi ayat (3)nya. Kemudian ayat (4) mengatakan bahwa dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.

Ayat (5)nya mengatakan bahwa anggota Direksi tidak dapat

dipertangung-jawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), apabila dapat membuktikan :

a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian;

d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Ketentuan Pasal 97 ayat (5) tersebut di atas, tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan.

Selanjutnya menurut Pasal 97 ayat (6), atas nama Perseroan, Pemegang Saham yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian Perseroan

Jika dicermati, ketentuan Pasal 97 UUPT ini tampaknya merupakan perbaikan pengaturan tentang tanggung jawab Direksi terhadap

(8)

pengurusan PT yang diatur di dalam Ps 82 dan Ps 85 UU Nomor 1 Tahun 1995 Tentang PT yang lalu. Pasal 97 berisi kaedah yang lebih lengkap jika dibanding dengan ketentuan Pasal 82 dan Pasal 85 UU Nomor 1 Tahun 1995 dahulu.

Tanggung jawab Direksi Perseroan erat kaitannya dengan sifat kolegialitas Direksi Perseroan. Menurut Pasal 98 ayat (1) UUPT, Direksi mewakili PT baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Ayat (2) mengatakan bahwa dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari satu orang, yang berwenang mewakili PT adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. Ayat (3) mengatakan bahwa kewenangan Direksi mewakili PT adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam UU, AD atau Keputusan RUPS. Ketentuan Pasal 98 ayat (2) tersebut di atas memberikan petunjuk kepada kita bahwa lembaga Direksi PT dalam sistemnya bersifat kolegial (Prasetya: 2003). Artinya, Direksi PT itu seharusnya terdiri dari lebih satu orang atau berbentuk Dewan. Sekalipun di dalam struktur organisasi diatur adanya Direktur Utama, Direktur Personalia, Direktur Kepatuhan, Direktur Produksi dan lain sebagainya, tidak berarti bahwa kedudukan Direktur Utama lalu menjadi lebih, kedudukannya

sederajat. Mereka adalah Dewan, kolegial. Sistem tanggung jawabnya pada dasarnya bersama-sama atau tanggung renteng.

Oleh sebab itu dalam Pasal 98 ayat (2) tersebut ditentukan yang berwenang mewakili PT adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam Anggaran Dasar. Bahkan dari sudut pandang doktrin, kedudukan masing-masing organ PT (RUPS, Dewan Komisaris dan Direksi) pada asasnya satu sama lain mempunyai kedudukan yang sama atau sejajar, yang satu tidak berada di bawah yang lain, masing-masing mempunyai tugas sendiri-sendiri yang diberikan oleh UU dan/atau Anggaran Dasar. Konsekuensi selanjutnya, kiblat atau fokus Direksi dan/atau Dewan Komisaris dalam mengurus Perseroan tidak semata-mata hanya tertuju kepada Pemegang Saham, tetapi lebih kepada kepentingan PT yang cakupannya lebih luas dari pada kepentingan Pemegang Saham.

Jika di muka dikatakan bahwa wewenang Direksi itu erat kaitannya dengan kewajiban Direksi, maka di dalam UUPT kewajiban Direksi itu dapat kita lihat di dalam Pasal 100 ayat (1) yang menyatakan bahwa kewajiban Direksi itu ialah :

a. membuat daftar Pemegang Saham, daftar khusus, risalah RUPS dan risalah rapat Direksi;

(9)

b. membuat laporan tahunan sebagaimana dimaksud Pasal 66 dan dokumen perusahaan ex UU No.8 Tahun 1997;

c. memelihara seluruh daftar, risalah dan dokumen keuangan dan dokumen lainnya.

Kemudian di ayat (2) nya ditentukan bahwa seluruh daftar, risalah, dokumen keuangan Perseroan dan dokumen Perseroan lainnya disimpan di tempat kedudukan PT dan atas permohonan tertulis dari Pemegang Saham, Direksi memberi izin kepada Pemegang Saham untuk memeriksa daftar Pemegang Saham, daftar khusus, risalah RUPS dan laporan tahunan, serta Pemegang Saham boleh mendapat salinannya. Demikian ditentukan di dalam ayat (3) Pasal 100.

Yang menarik untuk dibahas lebih lanjut adalah kewajiban Direksi untuk membuat laporan tahunan sebagaimana dimaksud Pasal 66 UUPT tersebut di atas. Pasal 66 ayat (1) UUPT mengatakan bahwa Direksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh Dewan Komisaris dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku Perseroan berakhir. Menurut Pasal 67 ayat (1) UUPT bahwa laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) ditandatangani oleh semua anggota Direksi dan semua anggota Dewan

Komisaris yang menjabat pada tahun buku yang bersangkutan dan disediakan di kantor Perseroan sejak tanggal panggilan RUPS untuk dapat diperiksa oleh pemegang saham. Persoalan akan muncul ketika terjadi suatu keadaan di mana laporan tahunan pada tahun-tahun sebelumnya belum sempat dibuat Direksi yang bersangkutan, kemudian Direksi yang bersangkutan diberhentikan oleh RUPS atau saya beri ilustrasi ekstrem kemudian Direksi yang bersangkutan setelah diberhentikan tidak selang berapa lama karena sakit Direksi tersebut meninggal dunia, Direksi yang lain tidak diketahui lagi domisilinya, bagaimana memenuhi ketentuan Pasal 67 ayat (1) UUPT ini?

Sudah barang tentu di dalam praktik Direksi yang baru menjabat menggantikan Direksi yang lama yang telah diberhentikan tersebut dalam rangka tertib manajemen akan membuat laporan tahunan, termasuk penyusunan neraca dan perhitungan laba rugi Perseroan, dan melaporkannya kepada RUPS atau bahkan untuk PT Perbankan disamping melaporkannya pada RUPS juga akan melaporkannya ke BI atau jika PT Bank tersebut sudah ”go publik” ia wajib melaporkan kepada Bapepam-LK. Kemudian karena bunyi Pasal 67 ayat (1) UUPT tersebut mengatakan bahwa yang berhak

(10)

menandatangani laporan tahunan tersebut adalah semua anggota Direksi dan semua anggota Dewan Komisaris, maka oleh Direksi yang baru tersebut kemungkinan akan dimintakan kepada Direksi dan Komisaris yang lama. Namun pertanyaannya, apakah Direksi dan Komisaris yang lama masih berhak menandatangani laporan tahunan tersebut, sementara mereka sekarang ini sudah tidak menjabat lagi? Mungkin jalan keluarnya, tanggal laporan tahunan akan dibuat mundur sesuai dengan waktu ketika Direksi dan Komisaris lama masih menjabat. Jika ditempuh cara demikian, apakah dokumen tersebut sah? Apakah tanggal ”antidateren” tersebut tidak dapat menyalahi ketentuan keabsahan dokumen? Apakah tidak terbuka kemungkinan masuk kualifikasi dokumen palsu? Belum lagi, bagaimana jika Direksi dan Komisaris yang sudah diberhentikan tersebut menyatakan tidak mau menandatangani dokumen laporan tahunan tersebut dengan dalil karena sudah tidak menjabat lagi.

Bagaimana jika laporan tahunan tertunggak tersebut dibuat oleh Direksi yang baru apa adanya dengan mendasarkan pada audit akuntan misalnya, kemudian ditandatangani sendiri oleh semua anggota Direksi dan semua anggota Dewan Komisaris dan dimintakan pengesahan kepada

RUPS atau dilaporkan kepada instansi yang berkepentingan, misalnya BI dan Bapepam-LK tersebut, apakah tindakan dengan secara yuridis dapat dibenarkan? Jawabannya: bisa dua kemungkinan. Jika mendasarkan pada ketentuan Pasal 67 ayat (1) UUPT tentunya jawabannya tidak benar, karena harafiah ketentuan itu mengatakan bahwa yang berhak menandatangani laporan tahunan adalah semua anggota Direksi dan semua anggota Dewan Komisaris yang bersangkutan yang menjabat saat itu. Namun problemnya semua Direksi dan Dewan Komisaris sudah diganti, sudah tidak menjabat lagi, mereka tidak mau menandatangani, mereka mengatakan justru sudah tidak berhak. Kemungkinan kedua, kemudian Direksi dan Dewan Komisaris yang baru yang membuat laporan tahunan tertunggak tersebut dan menadatanganinya. Atas nama Perseroan ia menyampaikan laporan tahunan tersebut kepada RUPS untuk mendapatkan pengesahan dan kepada instansi yang berkepentingan. Menurut hemat saya, kemungkinan kedua ini yang tepat. Mengapa demikian? Direksi dan Dewan Komisaris pada hakekatnya adalah organ Perseroan. Direksi adalah organ Perseroan yang berhak mewakili PT baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Ia wajib mengurus PT untuk kepentingan PT, sesuai dengan

(11)

maksud dan tujuan PT. Pertanyaan dalam ilustrasi kasus di atas, siapakah yang menjabat sebagai Direksi dan Dewan Komisaris saat ini. Jawabannya adalah Direksi dan Dewan Komisaris yang baru. Siapa yang berhak mewakili PT dalam mengurus PT saat ini. Jawabannya adalah Direksi yang baru. Siapakah yang harus membuat laporan tahunan PT saat ini? Jawabannya: secara hakiki adalah Direksi dan Dewan Komisaris yang baru. Itu yang benar menurut hemat saya sesuai dengan kaedah hukum PT. Bagaimana jika ternyata di kemudian hari terdapat penyimpangan-penyimpangan yang terindikasi dilakukan oleh Direksi dan Dewan Komisaris yang lama. Jawabnya adalah hal itu adalah urusan dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris yang lama. Apalagi jika persoalan hukum tersebut terkait dengan tindak pidana, jelas tidak bisa dilimpahkan kepada Direksi dan Dewan Komisaris yang baru menjabat yang menggantikannya. Dari uraian kami tersebut di atas, tampak bahwa pembentuk UUPT kurang jeli dalam membuat rumusan Pasal 67 ayat (1) tersebut.

Selanjutnya Pasal 101 ayat (1) menentukan anggota Direksi wajib melaporkan kepada PT mengenai saham yang dimilikinya dan/atau keluarganya dan PT lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar

khusus; anggota Direksi yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut dan menimbulkan kerugian PT, ia akan dipertanggungjawabkan secara pribadi atas kerugian PT.

Kemudian kewajiban Direksi yang lain adalah sebagaimana diatur di dalam Pasal 102 seperti yang sudah kami bahas di atas adalah Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk : a. mengalihkan kekayaan Perseroan;

atau

b. menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan, yang merupakan lebih dari 50 % jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam satu transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak.

Pertanyaannya apakah kewajiban meminta persetujuan RUPS itu

mandatory atau tidak? Dwingenrecht

atau bukan? Boleh atau tidak di Anggaran Dasar diatur bahwa persetujuan RUPS tersebut dilimpahkan kepada Dewan Komisaris. Artinya kekuasaan RUPS tersebut dihilangkan dan diganti menjadi dikuasakan kepada Dewan Komisaris? Dalam pandangan kami filosofinya tidak demikian. Persetujuan RUPS tersebut tidak boleh didelegasikan kepada Dewan Komisaris. Persoalan mengalihkan harta kekayaan PT, menjaminkan harta PT untuk jaminan utang yang melebihi 50% akan sangat

(12)

berdampak pada kelangsungan hidup Perseroan yang harus diketahui dan diputus langsung oleh RUPS. Jangan wewenang yang sangat strategis dan sangat berpotensi mengandung risiko bagi kelangsungan kepentingan dan tujuan PT yang nota bene adalah juga kepentingan Pemegang Saham, menurut hemat kami Pemegang Saham harus mengetahui secara langsung kebijakan itu dan memutuskannya sendiri.

Bagaimana sekarang jika PT

menghadapi kepailitan?

Ps 104 ayat (2) menentukan bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit. Tanggung jawab tersebut berlaku juga bagi anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Demikian ditentukan di dalam ayat (3) Pasal 104. Anggota Direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan Perseroan apabila dapat membuktikan keadaan seperti yang diatur dalam Pasal 97 ayat (5) sebagaimana diuraikan di atas.

Bagaimana dengan UU Perbankan? UU UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 (selanjutnya disebut UU Perbankan), mengatur bahwa salah satu bentuk hukum Bank Umum ataupun BPR adalah PT (Ps 21 UU Perbankan). Oleh sebab itu, konstruksi hukum organ PT Perbankan sudah tentu sama dengan yang diatur di dalam UUPT.

Jika UU Perbankan termasuk peraturan pelaksanaannya, termasuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) telah dan/atau akan mengatur sendiri hal-hal yang berkaitan dengan organ PT, misalnya: persyaratan pencalonan Direksi PT. Bank, yang tidak hanya mengacu pada ketentuan Ps 93 UUPT, tapi ditambahkan syarat tambahan, misalnya: harus lulus fit and proper

test yang dilakukan oleh Bank

Indonesia, harus mempunyai latar belakang keahlian di bidang perbankan, ekonomi, hukum, lulus sertifikasi manajemen risiko dan sebagainya, hal ini boleh saja dilakukan dan dibenarkan menurut Pasal 93 ayat (2) UUPT.

Yang menarik untuk dibahas adalah ketentuan di dalam praktik perbankan Indonesia. Berdasarkan PBI diatur bahwa yang dimaksud dengan Pengurus Bank adalah Komisaris dan Direksi. Komisaris sekaligus dimasukkan dalam lingkup Direksi

(13)

(Vide: PBI No.7/25/PBI/2005). Apakah hal demikian tidak bertentangan dengan UUPT? Jawabannya: pada prinsipnya tidak! Pasal 118 ayat (1) UUPT menentukan demikian: Berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, Dewan Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan Perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu. Ayat (2)nya mengatakan: Dewan Komisaris yang dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu melakukan tindakan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang dan kewajiban Direksi terhadap Perseroan dan pihak ketiga. Apa yang dimaksud dengan kalimat ”dalam keadaan tertentu” itu? Menurut penjelasan Pasal 118 ayat (1) UUPT dikatakan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan wewenang kepada Dewan Komisaris untuk melakukan pengurusan Perseroan dalam hal Direksi tidak ada. Yang dimaksud dengan ”dalam keadaan tertentu” antara lain keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) huruf b dan Pasal 107 huruf c. Pasal 99 ayat (2) huruf b tersebut mengatur mengenai siapa yang berhak mewakili Perseroan jika terjadi perkara di Pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan, dimana seluruh anggota Direksi mempunyai

benturan kepentingan dengan Perseroan. Jika terjadi keadan demikian, maka Dewan Komisaris berhak mengambil alih posisi Direksi mewakili Perseroan melawan Direksi yang berperkara dengan Perseroan. Kemudian Pasal 107 huruf c mengatakan bahwa dalam anggaran dasar diatur ketentuan mengenai: c. Pihak yang berwenang menjalankan pengurusan dan mewakili Perseroan dalam hal seluruh anggota Direksi berhalangan atau diberhentikan untuk sementara.

Dari bunyi Pasal 99 ayat (2) huruf b dan Pasal 107 huruf c. Kemungkinan Dewan Komisaris melakukan perbuatan pengurusan tampaknya hanya berkaitan dengan hal-hal seperti yang diatur di dalam Pasal 97 ayat (2) huruf b jika ada perkara antara Direksi dengan Perseroan sementara seluruh anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan dan Pasal 107 huruf c perlunya diatur di dalam anggaran dasar PT, jika sewaktu-waktu seluruh anggota Direksi berhalangan atau diberhentikan untuk sementara, siapa pihak yang berwenang menjalankan pengurusan dan mewakili Perseroan.

Sekarang pertanyaannya, apakah ketentuan di dalam PBI yang serta merta menentukan bahwa yang dimaksud dengan Pengurus PT Perbankan adalah Direksi dan Dewan

(14)

Komisaris, apakah ketentuan seperti ini sudah sejalan dengan ketentuan Pasal 118 ayat (1) jis Pasal 99 ayat (2) huruf c dan Pasal 107 huruf c. Tampaknya BI perlu mengkaji hal ini agar di dalam praktik tidak perlu ada keragu-raguan dalam menyikapi ketentuan PBI terkait dengan ketentuan dalam UUPT.

Memang jika mengacu pada ketentuan Pasal 4 UUPT yang mengatakan bahwa terhadap Perseroan berlaku Undang-undang ini (maksudnya UUPT : Penulis), anggaran dasar Perseroan dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, ketentuan PBI yang mengatur secara spesifik PT Perbankan tampaknya tidak perlu dikatakan bertentangan. Namun perlu diperhatikan adalah bunyi penjelasan Pasal 4 UUPT tersebut. Berlakunya UU ini, anggaran dasar Perseroan dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain, tidak mengurangi kewajiban setiap Perseroan untuk menaati asas itikad baik, asas kepantasan, asas kepatutan dan prinsip tata kelola Perseroan yang baik (good corporate governance) dalam menjalankan Perseroan. Yang dimaksud dengan ”ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya” adalah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keberadaan dan jalannya Perseroan, termasuk peraturan

pelaksanaannya, antara lain peraturan perbankan, peraturan perasuransian, peraturan lembaga keuangan. Dalam hal terdapat pertentangan antara anggaran dasar dan undang-undang ini yang berlaku adalah UU ini (UUPT: Penulis).

Jadi sekali lagi, BI perlu menguji apa yang menjadi ”recht ide” sehingga mengatur dengan tegas bahwa yang dimaksud dengan Pengurus PT Perbankan adalah Direksi dan Dewan Komisaris. Jika ketentuan ini diterjemahkan secara harafiah berarti yang melakukan perbuatan pengurusan PT Perbankan itu serta merta adalah Direksi dan Dewan Komisaris. Jika demikian halnya, pertanyaan bisa muncul: lalu siapakah yang kemudian menjalankan fungsi pengawasan sebagai organ PT? Bisa saja barangkali dijawab: kan tidak semua anggota Dewan Komisaris yang ikut melakukan perbuatan pengurusan? Kalau tidak semua anggota Dewan Komisaris bagaimana mengaturnya? Apakah di dalam anggaran dasar ditentukan demikian? Sementara PBI hanya menentukan yang dimaksud dengan Pengurus PT Perbankan adalah Direksi dan Komisaris. Tidak ada ketentuan yang mengatakan bahwa tidak semua anggota Dewan Komisaris yang menjadi bagian dari Pengurus bank. Oleh sebab itu menurut hemat saya BI tetap perlu mencermati kembali

(15)

ketentuan ini, supaya tidak diterjemahkan telah bertentangan dengan asas hukum PT. Pada prinsipnya Dewan Komisaris memang boleh ikut terlibat dalam pengurusan PT, namun hanya dalam hal dan keadaan-keadaan tertentu. Itu yang penting untuk diketahui dan disadari oleh semua pihak.

Hal tersebut menjadi penting karena belakangan ini dalam rangka menegakkan ketentuan UU PT dan UU Perbankan berkaitan dengan kejahatan dan pelanggaran UU Perbankan sebagaimana diatur di dalam Ps 47 (2), 47 A, 48, 49, Direksi harus cukup ekstra hati-hati mengelola atau mengurus dan memelihara PT Bank. Jangan sampai terjadi di dalam praktik anggota Dewan Komisaris yang tidak memahami ketentuan dalam PBI terkait dengan UUPT dan sehari-harinya ternyata tidak aktif sebagai Pengurus Bank, namun karena ada indikasi kejahatan atau pelanggaran UU Perbankan yang sedang diselidiki oleh Aparat Penegak Hukum, kemudian anggota Dewan Komisaris tersebut terpaksa harus menghadapi panggilan dan pertanyaan-pertanyaan dari Aparat Penegak Hukum yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Ditengarai masih banyak organ PT Perbankan yg belum memahami sungguh-sungguh filosofi UUPT terkait dengan pengaturan organ PT,

sifat hubungan hukum antar organ, fungsi, hak dan wewenang masing-masing organ dalam kaitannya dengan kegiatan usaha Perseroan. Terlebih lagi mayoritas PT di Indonesia, termasuk PT Perbankan adalah PT Tertutup yg belum “go publik” ke Pasar Modal. PT Tertutup, kebanyakan berasal dari bisnis keluarga, teman dekat, group yang dirancang sejak awal dengan “kurang“ mengedepankan atau memperhatikan aspek hukum yang membingkai bentuk hukum PT Perbankan tersebut. Misalnya adanya hubungan afiliasi diantara anggota organ masih sangat dominan dan kurang mendapat perhatian khusus berkaitan dengan konsekuensi hukumnya. Hal tersebut kurang disadari telah berpotensi merugikan kepentingan Perseroan.

Demikian pula untuk PT-PT “Plat Merah“ baik BUMN maupun BUMD, tidak jarang indikasi mismanajemen dalam pengurusan PT Bank, berujung pada pemeriksaan Kejaksaan–bukan

dengan menggunakan UU

Perbankan–tapi dengan

menggunakan UU Tipikor dapat merepotkan semua pihak yg terlibat dalam pengurusan perbankan. Jika ternyata terdapat benturan pengaturan antara UUPT vs UU Perbankan misalnya, maka berdasarkan pendekatan doktrin seharusnya UU Perbankan

(16)

diperlakukan sebagai UU khusus dengan mendasarkan pada adagium “lex specialis derogat legi generali“. Akan tetapi karena adagium ini berada dalam wilayah doktrin hukum yang merupakan salah satu sumber hukum, maka jika doktrin tersebut

tidak dipakai, tidak diterapkan oleh semua Aparat Penegak Hukum, kata adagium tersebut ya hanya akan menjadi kata-kata tidak bermakna apa-apa menghadapi benturan

pengaturan tersebut.

DAFTAR REFERENSI

Pitlo, 1986., Het Nederlands Burgerlijk Wetbook, Deel 1a, Het Rechtspersonen

Recht, 2e druk, door F.J.W.Lowensteyn, Gouda Quint, Arnhem.

---, 1964., Het Verbintenissen Recht naar het Nederland Burgerlijk Wetboek, Gouda Quint, Arnhem.

Prasetya,Rudhy, 1983., Kedudukan Mandiri dan Pertanggungjawaban dari

Perseroan Terbatas, Airlangga University Press, Surabaya.

---, 1988., Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris dalam Perseroan Terbatas, Makalah, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.

Pramono, Nindyo, 2001., Sertifikasi Saham PT Go Public dan Hukum Pasar Modal di

Indonesia, Cet.2, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Shilfgaarde, 1990., Van de BV en de NV, achtste Druk, Gouda Quint, BV, Arnhem. Scholten, P.Bregstein,M.H, 1954., Handleiding tot de Beoefening van het

Nederlands Burgerlijk Recht, Eerste Deel, Personen Recht, Tweede Struck, Vvertegen woordiging en Rechts Person.

Suyling,J.Ph.1948., Inleiding Tot het Burgerlijk Recht, Algemenebeginselen, Derde Druk.

Winardi,1983., Asas-asas Manajemen, Alumni, Bandung. Peraturan Perundang-undangan :

UU Nomor 1 Tahun 1995 Tentang PT UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang PT

UU No.7 Tahun 1992 yo UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. UU Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Kesenjangan antara jaminan kebebasan yang lebih besar yang disediakan pasar di satu sisi dan cara-cara tidak demokratis yang ditempuh dalam melahirkan dan mewujudkan

Panjang Bentang dalam mm Salinan tabel No.. Kartono Hd 3 Pelat

Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa employee engagement adalah sebagai sikap yang positif yang dimiliki karyawan

Teknik pembangkitan data untuk mendukung penemuan konsep pola pembudayaan kompetensi berbasis ideologi Tri Hita Karana studi etnografi tentang konsepsi masyarakat bali terhadap

Hal ini membuktikan bahwa karyawan PT.PG Krebet Baru Malang setuju dalam bekerja didorong untuk menjadi karyawan yang inovatif, siap mengambil resiko dalam melakukan

Nilai Sig. Shapir o-Wilk Nilai Sig. Test Ket Nilai Asymp. Shapir o-Wilk Nilai Sig. Test Ket Nilai Asymp.. Nilai Rata-rata Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas

Hasil studi memperlihatkan, antara tahun 1980-2000, di Jawa Barat telah terjadi perubahan struktur umur dan jenis kelamin penduduk, kondisi tersebut telah berdampak

Perancangan sentral industri kreativ kulit memberikan fasilitas dan sarana edukasi dan rekreativ yang menjadi ruang penyamakan kulit, pusat produksi 1 untuk mengelola kulit