KAJIAN TERHADAP JALUR PEJALAN KAKI DI KORIDOR
JALAN AHMAD YANI – JALAN PUTRI HIJAU MEDAN
DALAM UPAYA MENCIPTAKAN RUANG
KOTA YANG AKRAB
TESIS
OLEH
NURBAYA SURBAKTI
097020016/AR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KAJIAN TERHADAP JALUR PEJALAN KAKI DI KORIDOR JALAN AHMAD YANI – JALAN PUTRI HIJAU MEDAN
DALAM UPAYA MENCIPTAKAN RUANG KOTA YANG AKRAB
T E S I S
Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik Dalam Program Studi Teknik Arsitektur Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara
Oleh
NURBAYA SURBAKTI 097020016/AR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Telah diuji pada Tanggal : 22 Juli 2011
Panitia Penguji Tesis
Ketua Komisi Penguji : Prof. Julaihi Wahid, B.Arch, M.Arch, Ph.D
Anggota Komisi Penguji : 1. Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc
2. Devin Defriza, ST, MT
3. Wahyuni Zahrah, ST, MS
Judul Tesis : KAJIAN TERHADAP JALUR PEJALAN KAKI DI
KORIDOR JALAN AHMAD YANI-JALAN PUTRI
HIJAU MEDAN DALAM UPAYA MENCIPTAKAN RUANG KOTA YANG AKRAB
Nama Mahasiswa : NURBAYA SURBAKTI Nomor Pokok : 097020016
Program Studi : TEKNIK ARSITEKTUR
Menyetujui Komisi Pembimbing
Ketua
(Prof. Julaihi Wahid, B.Arch, M.Arch, P.hD)
Anggota
(Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc) (Prof. Dr.Ir. Bustami Syam, MSME)
PERNYATAAN
KAJIAN TERHADAP JALUR PEJALAN KAKI DI KORIDOR JALAN AHMAD YANI – JALAN PUTRI HIJAU MEDAN
DALAM UPAYA MENCIPTAKAN RUANG KOTA YANG AKRAB
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan,
ABSTRAK
Di Kota Medan, aktifitas masyarakat untuk menjangkau tempat-tempat pusat kegiatan bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan kendaraan bermotor dan berjalan kaki. Bagi para pejalan kaki ada jalur khusus yang disediakan. Akan tetapi pada kenyataannya sekarang ini jalur pejalan kaki tersebut sudah tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya. Kebanyakan jalur-jalur pejalan kaki di kota Medan, khususnya di daerah pusat kota, telah beralih fungsi menjadi kios atau gerai pedagang kaki lima, pot tanaman, penempatan poster dan papan reklame, parkir kendaraan, pos polisi, dan berbagai jenis bangunan lainnya yang telah mengganggu fungsi dari jalur pejalan kaki tersebut.
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan indikator tercapainya suatu konsep pengembangan fasilitas pejalan kaki, sebagai berikut (Utermann, 1984; Marcus dan Francis 1989; Carr, 1992; Rubenstein, 1992; Harris dan Dines, 1995; Bromley dan Thomas, 1993): Keselamatan (safety) yang diwujudkan dengan penempatan pedestrian, struktur, tekstur, pola perkerasan dan dimensi trotoar (ruang bebas, lebar efektif, kemiringan); Keamanan, dimana terlindung dari kemungkinan berlangsungnya tindakan kejahatan dengan merancang penerangan yang cukup atau struktur maupun lansekap yang tidak menghalangi; Kenyamanan, mudah dilalui dari berbagai tempat dengan adanya pelindung dari cuaca yang buruk, tempat istirahat sementara, terhindar dari hambatan oleh karena ruang yang sempit serta permukaan yang harus nyaman dipergunakan oleh siapa saja termasuk juga penyandang cacat. (Widiani,1997); Kenikmatan, diindikasikan melalui jarak, lebar trotoar, lansekap yang menarik serta kedekatan dengan fasilitas yang dibutuhkan; Keindahan, berkaitan dengan trotoar dan lingkungan disekitarnya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dan metode kualitatif rasionalistik. Populasi yang dipilih adalah jalur pejalan kaki di sepanjang koridor jalan Ahmad Yani (Kesawan) sampai dengan jalan Putri Hijau Medan dengan sampel penelitian adalah pejalan kaki yang berjalan di sepanjang koridor penelitian terdiri dari 100 orang sampel yang akan diambil secara acak pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Variabel – variabel yang ada dalam penelitian ini adalah meliputi koridor sepanjang jalan Ahmad Yani sampai dengan jalan Putri Hijau, zona – zona jalur pejalan kaki yang meliputi zona pembatas, zona jalur hijau, zona perabot jalan, dan zona laluan.
Dari hasil penelitian ini diperoleh rekomendasi untuk memperbaiki dan memperhatikan peletakan perabot jalan agar tidak menganggu aktifitas pejalan kaki sekaligus mempertimbangkan material dan lebar jalur pejalan kaki sehingga diharapkan dapat menciptakan suatu ruang kota yang akrab dan ramah terhadap penghuninya.
ABSTRACT
There are two ways practiced by the people in Medan to reach the centers of activities: by motor vehicle or on foot. There is a special lane provided for the pedestrians but it is not purposely functioned any more. Most of the lanes for pedestrians, especially the ones found in the city center, have become kiosks or shops of sidewalk traders, vases, posters and billboards, parking area, police posts and other kinds of buildings that disturb the function of the pedestrian lanes.
Several things that can be used as the indicators of achieving a concept of development of facility for pedestrians, namely (Uterman, 1984; Marcus and Francis, 1989; Carr, 1992; Rubenstein, 1992; Harris and Dines, 1995; Broomley and Thomas, 1993), safety materialized by positioning pedestrians, structure, texture, reinforcing pattern and sidewalk dimension (free space, effective width, slope); security, the pedestrian lane is protected from any crime by planning enough lighting or open structure or landscape; convenient, the pedestrian lane should be easily reached and passed from various places and directions, provided with a shelter to protect the pedestrians from bad weather, for a temporary rest, wide and convenient surface that it can be used by everybody including the handicapped (Widiani, 1997). Enjoyment is indicated through distance, width of sidewalk, interesting landscape and close to the facilities needed; Beauty is related to the sidewalk itself and its environment. This study employed descriptive qualitative and rationalistic qualitative methods. The population of this study was the pedestrian lanes found along Jl. Ahmad Yani (Kesawan) up to Jl. Puteri Hijau, Medan. The samples for this study were 100 pedestrians walking along the pedestrian lanes studied at the time set. The variables in this study included the zones found along Jl. Ahmad Yani up to Jl. Puteri Hijau such as pedestrian zone including boundary zone, green lane zone (median), street furnishings zone, and motor vehicle zone.
Based on the result of this study, the city government of Medan is recommended to improve and pay attention to the position of street furnishings that it will not disturb the activity of pedestrians and at the same time to consider the material and the width pedestrian lane that it can hopefully create a city space which is friendly to its citizen.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat
Allah SWT atas karunia dan rahmat yang telah dilimpahkan-Nya, Khususnya dalam
proses penulisan thesis ini. Penulis menyadari bahwa baik dalam pengungkapan,
penyajian dan pemilihan kata-kata maupun pembahasan materi thesis ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati penulis mengharapkan
saran, kritik dan segala bentuk pengarahan dari semua pihak untuk perbaikan thesis
ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan tak terhingga buat kedua orang
tua tercinta, suami serta anak-anak tersayang yang telah mendukung dalam
menyelesaikan studi ini.
Pada kesempatan ini saya juga ingin mengucapkan kepada terima kasih yang
tak terhingga kepada ibu Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc, selaku ketua program
studi Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara, ibu Benny Octofryana
Yousca Marpaung, ST, MT, Ph.D, selaku sekretaris program studi Magister Teknik
Arsitektur Universitas Sumatera Utara, bapak Prof. Julaihi Wahid, B.Arch, M.Arch,
P.hD, sebagai dosen pembimbing utama, ibu Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc, sebagai dosen
pembimbing pendamping, bapak Devin Defriza, ST, MT, sebagai dosen pembahas
dan penguji, ibu Wahyuni Zahrah, ST, MS, sebagai dosen pembahas dan penguji., ibu
R. Lisa Suryani, ST, MT, sebagai dosen pembahas dan penguji, ibu Novi Yanthi
atas bantuannya selama studi, Teman-teman Magister Teknik Arsitektur Manajemen
Pembangunan Kota Universitas Sumatera Utara yang telah bersama-sama dalam suka
dan duka selama masa studi, dan semua pihak yang tidak dapat saya sebut satu
persatu. Atas bantuan dalam proses penyelesaian tesis ini.
Hanya doa yang dapat penulis panjatkan semoga Allah SWT berkenan
membalas semua kebaikan Bapak, Ibu, Saudara dan teman-teman sekalian.
Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan.
Medan, 22 Juli 2011
RIWAYAT HIDUP
Nama : Nurbaya Surbakti
Tempat / Tanggal Lahir : Surabaya / 09 Mei 1978
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Alamat : Jl. Bhayangkara gg. Keluarga – 11 Medan Warganegara : Indonesia
2. Nayla Ramadhani Harahap Pendidikan / Tempat / Tahun :
SD : SD Manukan Wetan III / Surabaya / 1991 SMP : SMPN 7 Surabaya / Surabaya / 1994
SMU : SMUN 16 Medan / Medan / 1997
S 1 ( Field of Study ) : Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara
S 2 (Field of Study ) : Magister Teknik Arsitektur
DAFTAR ISI
ABSTRAK ……… i
ABSTRACT ………... ii
KATA PENGANTAR ……….. iii
RIWAYAT HIDUP ……….. v
DAFTAR ISI ………. vi
DAFTAR TABEL ……… x
DAFTAR GAMBAR ……… xi
BAB I PENDAHULUAN ……….. 1
1.1 Latar belakang ………….……….. 1
1.2 Rumusan masalah ……….. 3
1.3 Tujuan penelitian ………... 3
1.4 Manfaat penelitian ………...……….. 4
1.5 Landasan teori ………..………..…… 4
1.6 Kerangka berpikir ……….…... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ………. 9
2.1 Ruang kota di kawasan pusat kota ………...………….. 9
2.11 Ruang kota yang akrab, aman dan nyaman …...………. 10
2.2 Pejalan kaki ……….…...… 13
2.3.1 Jalur pejalan kaki yang akrab (friendly) ………..… 20
2.3.2 Keselamatan dan keamanan jalur pejalan kaki ... 28
2.3.2.1 Drainase ... 2.3.2.2 Pagar pengaman ... 2.3.2.3 Marka dan perambuan ... 2.3.2.4 Penyeberangan dan marka untuk
penyeberangan………... 2.3.2.5 Lampu penerangan ………
30 31 32
33 37
2.3.3 Kenyamanan, kenikmatan dan keindahan jalur
pejalan kaki ... 39
2.3.3.1 Jalur hijau ………..
2.3.3.2 Tempat duduk ……...………... 2.3.3.3 Tempat sampah ………. 2.3.3.4 Halte bus ………... 2.3.3.5 Telepon umum ………..
2.4.1 Pedestrian di beberapa kota tua di Eropa ... 2.4.2 Koeln, kota pejalan kaki ... 2.4.3 Pedestrian di kota Roma dan Amsterdam ………. 2.4.4 Lingkungan Walkable di Kopenhagen ...
47 49 51 54
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……… 57
3.1 Metode penelitian …………...…….……….. 57
3.1.1 Populasi dan sampel penelitian ….……...………. 3.1.2 Lokasi dan waktu penelitian ……...…...………. 3.1.3 Bahan dan alat penelitian ...……...………..…………..
57 58 60
3.2 Metode pengumpulan data ………..………... 60
3.2.1 Jenis dan sumber data ………….………... 3.2.2 Observasi ………... 3.2.3 Kuesioner ………..
61 62 63
3.4 Langkah-langkah penelitian ……..……….…...……. 64
3.4.1 Tahap penelitian …………...……….……… 3.4.2 Tahap pelaksanaan …………...………. 3.4.3 Tahap kesimpulan …………...………..
65 65 66
BAB IV TINJAUAN LOKASI ……… 67
4.1 Deskripsi lokasi penelitian ……….…....………… 67
4.1.1 Segment pertama ………..……… 4.1.2 Segment kedua ………...………... 4.1.3 Segment ketiga ………...………...
69 72 73
4.2 Alasan pemilihan lokasi penelitian …..………….…….….... 76
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 78
5.1 Analisa keselamatan dan keamanan jalur pejalan kaki …... 78
5.1.1 Material jalur pejalan kaki ………. 5.1.2 Drainase ………...……….. 5.1.3 Pagar pengaman ……… 5.1.4 Marka dan perambuan ………...……… 5.1.5 Penyeberangan dan marka untuk penyeberangan ...….. 5.1.6 Lampu penerangan …...……….
80
5.2 Analisa kenyamanan, kenikmatan dan keindahan jalur
pejalan kaki ………...….……… 93
6.2 Saran ...………...………... 118
DAFTAR PUSTAKA ………... 123
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Hal.
2.1 Tingkat pelayanan pejalan kaki ... 40
5.1 Analisa keselamatan dan keamanan jalur pejalan kaki ... 78
5.2 Analisa kenyamanan, kenikmatan dan keindahan ... 93
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Hal.
1.1 Kerangka berpikir ... 8
2.1 Pagar pengaman ... 32
2.2 Lampu penerangan ... 38
2.3 Fasilitas jalur hijau ... 42
2.4 Tempat duduk ... 44
2.5 Tempat sampah ... 44
2.6 Halte (shelter bus) ... 45
2.7 Telepon umum ... 46
2.8 Marienplatz ... 47
2.9 Glockenspiel ... 48
2.10 Grotte Markt ... 48
2.11 Gereja Dome ... 50
3.1 Lokasi penelitian ... 59
4.1 Sketsa situasi segmen pertama ... 68
4.2 Sketsa situasi segmen kedua ... 68
4.3 Sketsa situasi segment ketiga ... 69
4.5 Kondisi dan situasi jalur pejalan kaki pada segment pertama ... 70
4.6 Kondisi dan situasi jalur pejalan kaki pada segment pertama ... 71
4.7 Situasi dan kondisi jalur pejalan kaki pada segment kedua ... 72
4.8 Situasi dan kondisi jalur pejalan kaki pada segment kedua ... 73
4.9 Kondisi dan situasi jalur pejalan kaki pada segment ketiga ... 74
4.10 Kondisi dan situasi jalur pejalan kaki pada segment ketiga ... 75
5.1 Tingkat keamanan ... 79
5.2 Tingkat keamanan pada malam hari ... 80
5.3 Peletakan kondisi material pada koridor penelitian ... 80
5.4 Kondisi dan situasi material jalur pejalan kaki pada segment pertama ... 81
5.5 Kondisi dan situasi material jalur pejalan kaki pada segment kedua ... 82
5.6 Kondisi dan situasi material jalur pejalan kaki pada segment ketiga ... 83
5.7 Diagram kebutuhan drainase ... 84
5.8 Pemetaan kondisi umum drainase pada koridor penelitian ... 85
5.9 Kondisi drainase pada segment pertama ... 85
5.10 Kondisi dan situasi drainase pada segment kedua ... 86
5.11 Kondisi dan situasi drainase pada segment ketiga ... 87
5.12 Peletakan perambuan pada koridor penelitian ... 88
5.14 Kondisi dan situasi jembatan penyeberangan di koridor
penelitian ... 90
5.15 Peletakan jembatan penyeberangan dan zebra cross di koridor penelitian ... 90
5.16 Lampu penerangan yang disediakan oleh pemilik bangunan .... 91
5.17 Lampu penerangan dari Pemerintah yang menerangi jalur kendaraan bermotor ... 92
5.18 Lampu penerangan cukup memadai dan menarik ... 93
5.19 Diagram tingkat kenyamanan ... 94
5.20 Peta segment pertama ... 96
5.26 Pemetaan fungsi jalur pejalan kaki ... 100
5.27 Kondisi fungsi jalur pejalan kaki pada segment pertama ... 100
5.28 Kondisi fungsi jalur pejalan kaki pada segment kedua ... 101
5.29 Kondisi fungsi jalur pejalan kaki pada segment ketiga ... 102
5.30 Peletakan jalur hijau di koridor penelitian ... 103
5.31 Kondisi jalur hijau pada segment pertama ... 103
5.32 Suasana jalur hijau di segment kedua ... 104
5.34 Diagram kebutuhan jalur hijau ... 106
5.35 Diagram kebutuhan tempat duduk ... 108
5.36 Diagram keindahan tempat duduk ... 108
5.37 Situasi tempat sampah pada segment pertama ... 109
5.38 Situasi tempat sampah pada segment kedua ... 110
5.39 Situasi tempat sampah pada segment ketiga ... 110
5.40 Diagram kebutuhan tempat sampah ... 111
5.41 Diagram keindahan tempat sampah ... 111
5.42 Situasi halte bus di lokasi penelitian ... 112
5.43 Kebutuhan halte bus ... 113
5.44 Diagram keindahan halte bus ... 113
5.45 Kondisi telepon umum di lokasi penelitian ... 114
ABSTRAK
Di Kota Medan, aktifitas masyarakat untuk menjangkau tempat-tempat pusat kegiatan bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan kendaraan bermotor dan berjalan kaki. Bagi para pejalan kaki ada jalur khusus yang disediakan. Akan tetapi pada kenyataannya sekarang ini jalur pejalan kaki tersebut sudah tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya. Kebanyakan jalur-jalur pejalan kaki di kota Medan, khususnya di daerah pusat kota, telah beralih fungsi menjadi kios atau gerai pedagang kaki lima, pot tanaman, penempatan poster dan papan reklame, parkir kendaraan, pos polisi, dan berbagai jenis bangunan lainnya yang telah mengganggu fungsi dari jalur pejalan kaki tersebut.
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan indikator tercapainya suatu konsep pengembangan fasilitas pejalan kaki, sebagai berikut (Utermann, 1984; Marcus dan Francis 1989; Carr, 1992; Rubenstein, 1992; Harris dan Dines, 1995; Bromley dan Thomas, 1993): Keselamatan (safety) yang diwujudkan dengan penempatan pedestrian, struktur, tekstur, pola perkerasan dan dimensi trotoar (ruang bebas, lebar efektif, kemiringan); Keamanan, dimana terlindung dari kemungkinan berlangsungnya tindakan kejahatan dengan merancang penerangan yang cukup atau struktur maupun lansekap yang tidak menghalangi; Kenyamanan, mudah dilalui dari berbagai tempat dengan adanya pelindung dari cuaca yang buruk, tempat istirahat sementara, terhindar dari hambatan oleh karena ruang yang sempit serta permukaan yang harus nyaman dipergunakan oleh siapa saja termasuk juga penyandang cacat. (Widiani,1997); Kenikmatan, diindikasikan melalui jarak, lebar trotoar, lansekap yang menarik serta kedekatan dengan fasilitas yang dibutuhkan; Keindahan, berkaitan dengan trotoar dan lingkungan disekitarnya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dan metode kualitatif rasionalistik. Populasi yang dipilih adalah jalur pejalan kaki di sepanjang koridor jalan Ahmad Yani (Kesawan) sampai dengan jalan Putri Hijau Medan dengan sampel penelitian adalah pejalan kaki yang berjalan di sepanjang koridor penelitian terdiri dari 100 orang sampel yang akan diambil secara acak pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Variabel – variabel yang ada dalam penelitian ini adalah meliputi koridor sepanjang jalan Ahmad Yani sampai dengan jalan Putri Hijau, zona – zona jalur pejalan kaki yang meliputi zona pembatas, zona jalur hijau, zona perabot jalan, dan zona laluan.
Dari hasil penelitian ini diperoleh rekomendasi untuk memperbaiki dan memperhatikan peletakan perabot jalan agar tidak menganggu aktifitas pejalan kaki sekaligus mempertimbangkan material dan lebar jalur pejalan kaki sehingga diharapkan dapat menciptakan suatu ruang kota yang akrab dan ramah terhadap penghuninya.
ABSTRACT
There are two ways practiced by the people in Medan to reach the centers of activities: by motor vehicle or on foot. There is a special lane provided for the pedestrians but it is not purposely functioned any more. Most of the lanes for pedestrians, especially the ones found in the city center, have become kiosks or shops of sidewalk traders, vases, posters and billboards, parking area, police posts and other kinds of buildings that disturb the function of the pedestrian lanes.
Several things that can be used as the indicators of achieving a concept of development of facility for pedestrians, namely (Uterman, 1984; Marcus and Francis, 1989; Carr, 1992; Rubenstein, 1992; Harris and Dines, 1995; Broomley and Thomas, 1993), safety materialized by positioning pedestrians, structure, texture, reinforcing pattern and sidewalk dimension (free space, effective width, slope); security, the pedestrian lane is protected from any crime by planning enough lighting or open structure or landscape; convenient, the pedestrian lane should be easily reached and passed from various places and directions, provided with a shelter to protect the pedestrians from bad weather, for a temporary rest, wide and convenient surface that it can be used by everybody including the handicapped (Widiani, 1997). Enjoyment is indicated through distance, width of sidewalk, interesting landscape and close to the facilities needed; Beauty is related to the sidewalk itself and its environment. This study employed descriptive qualitative and rationalistic qualitative methods. The population of this study was the pedestrian lanes found along Jl. Ahmad Yani (Kesawan) up to Jl. Puteri Hijau, Medan. The samples for this study were 100 pedestrians walking along the pedestrian lanes studied at the time set. The variables in this study included the zones found along Jl. Ahmad Yani up to Jl. Puteri Hijau such as pedestrian zone including boundary zone, green lane zone (median), street furnishings zone, and motor vehicle zone.
Based on the result of this study, the city government of Medan is recommended to improve and pay attention to the position of street furnishings that it will not disturb the activity of pedestrians and at the same time to consider the material and the width pedestrian lane that it can hopefully create a city space which is friendly to its citizen.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pusat kota sebagai kawasan yang akrab dengan pejalan kaki, secara cepat telah
menurunkan kualitas dan daya tariknya kemudian berangsur-angsur akan berubah
menjadi lingkungan tidak nyaman yang akhirnya mulai ditinggalkan oleh para pejalan
kaki karena fungsinya mulai terganggu.
Seperti diketahui bersama bahwa jalur pejalan kaki di perkotaan sangat
diperlukan dan harus diperhatikan keberadaannya agar nyaman dan aman bagi
penggunanya. Selain itu jalur pejalan kaki dapat memperindah penampilan sebuah
kota jika ditata dengan baik. Jalur pejalan kaki di kota Medan saat ini masih banyak
yang kurang memenuhi prinsip perancangan jalur pejalan kaki. Selain itu harus
diperhatikan para penggunanya karena pengguna jalur pejalan kaki berasal dari
semua golongan baik anak-anak, wanita dan penyandang cacat. Anak-anak harus
dapat berjalan kaki di jalur pejalan kaki yang terjaga kualitas fisik dengan desain
yang ’ramah’ bagi fisiologis anak. Wanita juga perlu merasa aman berjalan di jalur
pejalan kaki pada malam hari seorang diri. Para penyandang cacat yang
menggunakan jalur pejalan kaki juga perlu merasa aman dan nyaman berjalan di jalur
tersebut tanpa merasa takut akan terjadi sesuatu pada dirinya walaupun mereka
pejalan kaki yang dapat dinikmati oleh segala kalangan diharapkan dapat
menciptakan suatu ruang kota yang akrab dan ramah terhadap penghuninya.
Jika jarak tempuh yang dibutuhkan lebih pendek, maka orang-orang dengan
sendirinya akan lebih menyukai untuk berjalan kaki daripada penggunaan kendaraan
bermotor, yang notabene juga menyebabkan polusi udara sehingga dapat dikurangi.
Polusi udara, selain membuat orang-orang malas berjalan kaki, juga dapat
menyebabkan penyakit kanker paru-paru dan tentu saja mempercepat terjadinya
pemanasan global.
Jalur hijau, papan reklame dan perabot jalan yang tidak diatur dengan baik
menyebabkan pengguna jalan tidak merasa aman dan nyaman berjalan di jalur pejalan
kaki tersebut. Selain itu sering terlihat, pejalan kaki harus bergantian dengan sesama
pejalan kaki yang datang dari arah berlawanan. Banyaknya aktifitas lainnya yang
memenuhi jalur tersebut membuat pejalan kaki mengalah. Bukan hanya pedagang
kaki lima yang menggunakan jalur pejalan kaki, pengendara motor juga banyak yang
menggunakan jalur tersebut untuk menghindari kemacetan.
Seperti kita perhatikan pada koridor sepanjang jalan Ahmad Yani (Kesawan)
sampai dengan jalan Putri Hijau banyak terdapat bangunan–bangunan komersil
seperti Hotel (Grand Aston, Dharma Deli, JW. Marriot), perkantoran (Bank
Indonesia, PT. Telkom, Kantor Pos, dan lain sebagainya), Deli Plaza, terutama di
koridor jalan Ahmad Yani banyak bangunan-bangunan ruko tua yang dapat dijadikan
objek wisata sehingga banyak aktifitas pejalan kaki sepanjang hari mulai dari pagi
digunakan. Selain itu adanya Merdeka Walk di lapangan Merdeka dapat menjadi
generator aktifitas dimana diharapkan tamu-tamu penghuni hotel-hotel seperti JW.
Marriot, Dharma Deli, Grand Aston menggunakan jalur pejalan kaki menuju ke
Merdeka Walk tersebut. Ketersediaan lahan juga akan menjadi faktor kendala
terbesar dalam penyiapan ruang untuk pejalan kaki.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan
permasalahan-permasalahan yang timbul yaitu bagaimana jalur pejalan kaki yang aman dan nyaman
sehingga dapat dimanfaatkan oleh penggunanya dari segala lapisan masyarakat,
bagaimana penataan jalur hijau dan perabot jalan yang baik pada jalur pejalan kaki
tanpa mengganggu aktifitas pejalan kaki dan dapat membuat jalur pejalan kaki
menjadi menarik, bagaimana jalur pejalan kaki yang dapat mengakomodasi
aktifitas-aktifitas yang berada di jalur tanpa saling mengganggu aktifitas-aktifitas satu dengan yang
lainnya.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana jalur
pejalan kaki yang dapat mengakomodasi kebutuhan penggunanya, mengetahui
bagaimana jalur pejalan kaki yang aman dan nyaman sesuai dengan teori dan standart
terkait dengan jalur pejalan kaki di koridor jalan Ahmad Yani (Kesawan) sampai
dengan jalan Putri Hijau.
1.4 Manfaat Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan memiliki beberapa manfaat yaitu:
a. Menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Kota dalam hal penataan jalur
pejalan kaki di koridor tempat penelitian.
b. Menjadi contoh agar bisa dilakukan penelitian di kawasan lain.
1.5 Landasan Teori
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan indikator tercapainya suatu konsep
pengembangan fasilitas pejalan kaki, sebagai berikut (Utermann, 1984; Marcus dan
Francis 1989; Carr, 1992; Rubenstein, 1992; Harris dan Dines, 1995; Bromley dan
Thomas, 1993):
a. Keselamatan (safety), diwujudkan dengan penempatan pedestrian, struktur,
tekstur, pola perkerasan dan dimensi trotoar (ruang bebas, lebar efektif,
kemiringan)
b. Keamanan (security), terlindung dari kemungkinan berlangsungnya tindakan
kejahatan dengan merancang penerangan yang cukup atau struktur maupun
lansekap yang tidak menghalangi.
c. Kenyamanan (comfort), mudah dilalui dari berbagai tempat dengan adanya
hambatan oleh karena ruang yang sempit serta permukaan yang harus nyaman
dipergunakan oleh siapa saja termasuk juga penyandang cacat.
d. Kenikmatan (convenience), diindikasikan melalui jarak, lebar trotoar,
lansekap yang menarik serta kedekatan dengan fasilitas yang dibutuhkan
e. Keindahan (aesthetics), berkaitan dengan trotoar dan lingkungan disekitarnya.
Menurut Rubenstein (1987), objek utama sirkulasi pejalan kaki adalah
keselamatan, keamanan, kenyamanan, koherensi dan estetika. Sirkulasi pejalan kaki
membentuk hubungan penting dalam kegiatan yang berhubungan di tempat.
Carr (1992) mengartikan jalur pedestrian (pedestrian sidewalks/trotoar) adalah
bagian dari kota, dimana orang bergerak dengan kaki, biasanya disepanjang sisi jalan
yang direncanakan atau terbentuk dengan sendirinya yang menghubungkan satu
tempat dengan tempat lainnya.
Pejalan
kaki pada umumnya akan mengikuti jalan yang paling langsung, namun jika sistem
berjalan dikembangkan dengan tempat menarik visual, pejalan kaki bisa mengambil
rute lama karena kenikmatan ditambah estetikanya. Dengan kata lain jika jalur
pejalan kaki di desain dengan menarik maka banyak yang akan memanfaatkan jalur
pejalan kaki tersebut.
Dengan kata lain jalur pedestrian dari segi
perencanaannya terbagi dua yaitu yang terencana dan tidak terencana. Jalur
pedestrian yang terencana terbentuk dari jalur pedestrian yang memang telah
direncanakan untuk menghubungkan satu tempat ke tempat lain yang dibutuhkan oleh
sendirinya dari jalur yang biasa digunakan oleh pejalan kaki dalam pergerakannya
dari satu tempat ke tempat lainnya.
Menurut Shirvani (1985), elemen sirkulasi adalah salah satu aspek yang kuat
dalam membentuk struktur lingkungan perkotaan, tiga prinsip utama pengaturan
sirkulasi adalah jalan harus menjadi elemen ruang terbuka yang memiliki dampak
visual yang positif, jalan harus dapat memberikan orientasi kepada pengemudi dan
membuat lingkungan menjadi jelas terbaca selain itu sektor publik harus terpadu dan
saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Shirvani juga menyatakan bahwa
jalur pejalan kaki yang baik adalah mengurangi ketergantungan dari kendaraan
bermotor dalam areal kota, meningkatkan kualitas lingkungan dengan
memprioritaskan skala manusia, dan lebih mengekspresikan aktifitas pedagang kaki
lima mampu menyajikan kualitas udara. Dengan kata lain jalur pejalan kaki yang di
desain dengan baik dapat menciptakan kesan visual yang menarik pada suatu kota
dan kualitas lingkungan yang baik.
Dari teori-teori diatas diharapkan dapat dikaji bagaimana jalur pejalan kaki yang
dapat menciptakan suatu ruang kota yang akrab terhadap penghuninya dan dapat
dipergunakan dengan baik oleh penggunanya.
1.6 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir penelitian ini dimulai dari latar belakang mengapa penelitian
ini dilakukan yaitu untuk mengkaji bagaimana jalur pejalan kaki di koridor jalan
yang akrab. Dari latar belakang tersebut kemudian ditemukan
permasalahan-permasalahan yang kemudian dirumuskan untuk dicari penyelesaiannya dalam tujuan
penelitian. Dari tujuan penelitian tersebut diharapkan menjadi manfaat bagi
pemerintah kota ataupun penelitian-penelitian lainnya yang sejenis. Untuk mencapai
tujuan penelitian tersebut terlebih dahulu dianalisa data-data yang ada berdasarkan
teori-teori kepustakaan yang telah dikaji dengan menggunakan metodologi penelitian
untuk kemudian dihasilkan konsep atau saran-saran untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada.
Untuk itu penulis mencoba membuat kerangka berpikir ke dalam bentuk gambar
LATAR BELAKANG
Kajian terhadap jalur pejalan kaki di koridor jalan Ahmad Yani–jalan Putri Hijau Medan dalam upaya menciptakan ruang kota yang akrab.
KAJIAN PUSTAKA
Hasil kajian dari data-data sekunder yang di dapat yaitu berupa teori-teori dan standart-standart yang berkaitan dengan penelitian.
ANALISA
Dari data yang telah didapat dianalisa berdasarkan kajian pustaka yang ada dengan menggunakan metodologi penelitian untuk mendapatkan hasil tujuan yang diharapkan.
KONSEP / SARAN
Konsep dan saran yang telah didapat dari analisa diharapkan dapat menjadi manfaat.
PERMASALAHAN
-Bagaimana jalur pejalan kaki yang aman dan nyaman?
-Bagaimana penataan jalur hijau dan perabot jalan yang baik dan dapat membuat jalur pejalan kaki menjadi menarik?
-Bagaimana jalur pejalan kaki yang dapat mengakomodasi aktifitas-aktifitas yang berada di jalur tersebut?
Data-data yang didapat dari data primer dan data sekunder.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Ruang Kota di Kawasan Pusat
Pusat kota merupakan tempat pertemuan semua unsur masyarakat, yang banyak
mengundang segala macam aktifitas. Menurut Ir. Triarso dalam salah satu jurnalnya
mengemukakan bahwa problem utama yang dihadapi suatu pusat kota adalah
kesibukan yang berlebihan, banyaknya bangunan dan lalu lintas yang masuk pada
area yang terbatas. Problem ruangnya adalah penyediaan floor space dan ruang untuk
kendaraan (jalan, tempat parkir, pedestrian, pemberhentian bus, dan sebagainya).
Kawasan pusat kota adalah kawasan yang mengakomodir volume pejalan kaki
yang lebih besar dibanding kawasan pemukiman. Ruang pejalan kaki di area ini dapat
berfungsi untuk berbagai tujuan yang beragam. Tipe –tipe karakter jalan menguraikan
tidak hanya parameter dasar dari jalan seperti jalur pejalan kaki dan jalur kendaraan
bermotor, tetapi juga hubungan antara jalan dengan bangunan-bangunan dan
detail-detail penting lainnya seperti pengaturan parkir, tumbuh-tumbuhan dan penerangan
jalan.
Pada skala kota, ruang publik dapat berupa jalur sirkulasi yang mewadahi
pergerakan orang atau berupa taman-taman kota yang sifatnya sangat publik. Pada
berinteraksi satu sama lain walaupun pertemuan diantara mereka yang sifatnya
insidental.
Shirvani (1985) mengemukakan bahwa ruang kota, baik berupa lapangan
maupun koridor/jaringan, merupakan salah satu elemen rancang kota yang sangat
penting dalam pengendalian kualitas lingkungan ekologis dan sosial. Ruang publik
kota pada hakekatnya adalah ruang yang dapat dimasuki dan digunakan oleh siapa
saja tanpa ada syarat untuk memasukinya. Sebagai wilayah milik publik, ruang publik
kota akan digunakan oleh seluruh warga kota secara “bebas” dan “adil” tanpa
membedakan satu warga dengan warga yang lainnya.
2.1.1 Ruang kota yang akrab, aman, dan nyaman
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Carr (1992) menyatakan
bahwa salah satu hal yang dibutuhkan manusia di dalam ruang publik adalah
kenyamanan (comfort) secara fisik maupun mental, misalnya dimana orang semakin
sadar akan bahaya dari dampak sinar matahari secara langsung, penyediaan tempat
yang teduh menjadi suatu hal yang penting. Kenyamanan dapat dipergunakan
sebagai salah satu indikator rentang waktu keberadaan seseorang pada suatu tempat.
Untuk mencapai tujuan kenyamanan ini terdapat dua hal yang perlu diperhatikan
yaitu keamanan (security) dan keselamatan (safety).
Suatu hal yang sangat tragis dimana justru kepentingan aktifitas manusia di
jalan sebagai ruang kota tidak diperhatikan seperti: kenyamanan, keamanan,
kota yang bersahabat adalah “City for all” atau kota untuk semua: miskin–kaya,
tua–muda, sehat–sakit, mampu–cacat, dll.
Sebagai kebalikannya kota yang tidak bersahabat adalah kota yang secara
langsung maupun tidak langsung meminggirkan manusianya, kota telah berubah
menjadi sebuah mesin besar yang merongrong kenyamanan, kemakmuran,
kesehatan dan keamanan manusia. Sucher (1995) mengatakan “Manusia adalah alat
ukur dari dunia, sehingga kenyamanan manusia adalah ukuran keberhasilan sebuah
kota”.
Ruang kota yang bersahabat harus ditujukan bagi representasi kepentingan
masyarakat kota sehari-hari dimana sebagai sebuah ruang kota, ruang - ruang yang
dinamis diisi dengan kelengkapan bagi kegiatan rutin kehidupan, kelengkapan untuk
bergerak, kelengkapan tempat untuk berkomunikasi dan lahan untuk tempat
bermain dan berekreasi. Makna kota yang akrab (friendly city) dibentuk melalui
spirit of place dari karakter yang menonjol, melalui kualitas-kualitas yang
melingkupinya dan aktivitas yang berlangsung di dalamnya serta mempunyai fungsi
yang akomodatif sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya yang divisualisasikan
melalui nilai-nilai arsitektural. Sebuah ruang kota yang akrab juga merupakan
tampat bernaung bagi pejalan kaki, tempat duduk untuk bersantai, patung, pahatan,
air mancur, tempat bermain anak-anak, tempat makan di ruang terbuka, paving dan
pengaruh sinar lampu di malam hari yang menarik.
Dari bahan ajar pada program Magister Teknik Arsitektur USU mengenai
yang akrab sebagai sebuah pendekatan perencanaan suatu kawasan di pusat kota
yang luas harus memiliki dasar-dasar yang digunakan dalam teori merencana suatu
kawasan pusat kota, yaitu:
a. Mengakomodasikan kegiatan/fungsi campuran (multi-use) merupakan
dasar suatu perencanaan kawasan pusat kota yang vital dan optimal, sesuai
dengan prinsip-prinsip perencanaannya. Kegiatan/fungsi campuran yang
diakomodasikan dalam sebuah kawasan multi-use dengan fungsi dan jenis
fungsi publik yang masuk dalam lingkup fasilitas publik, transportasi
publik, tempat rekreasi umum.
b. Upaya mengakomodasikan kegiatan masyarakat dalam suatu “wadah” yang
responsif, demokratis dan bermakna melalui upaya pengintegrasian antara
bangunan-bangunan dan ruang kota yang memiliki hubungan pembentukan
yang timbal balik dalam pengertian ruang terbuka dibentuk oleh bangunan
dan sebaliknya bangunan dibentuk oleh ruang terbuka, bukan salah satu
merupakan bagian yang diutamakan
c. Pembangunan yang baru harus mengenali konteks kota lama yang
tercermin melalui struktur dan konstruksi kotanya
d. Tujuan utama dari pembentukan ruang publik adalah menjadikan ruang
kota sebagai ruang kota akrab yang hidup (live able). Ruang kota ini tidak
hanya meliputi ruang luar seperti park/plaza tetapi juga bangunan dan
e. Sistem transportasi harus rasional dan jalan harus dapat
mengakomodasikan berbagai masam bentuk transit dan meningkatkan
kegiatan pedestrian serta pergerakannya
f. Ruang kota harus bervariasi dan dapat meningkatkan kegiatan-kegiatan
yang terkait di sekitarnya: perumahan, perbelanjaan, pedagang eceran,
masyarakat dan seterusnya.
g. Masyarakat harus ikut berperan serta/diikut sertakan dalam membentuk
ruang-ruang kota
2.2 Pejalan kaki
Berjalan adalah merupakan bagian dari kegiatan-kegiatan yang saling
melengkapi seperti melihat-lihat, menikmati pemandangan atau berbincang-bincang
dengan orang-orang. Menurut Mougthin (2003), secara keseluruhan, semuanya tidak
terlihat jauh dari kenyataan bahwa kebebasan seseorang dapat berjalan-jalan dan
melihat sekeliling adalah petunjuk yang sangat berguna bagi kualitas peradaban pada
sebuah area perkotaan.
Menurut Giovanny (1977), berjalan merupakan salah satu sarana transportasi
yang dapat menghubungkan antara satu fungsi di suatu kawasan dengan fungsi
lainnya. Sedangkan menurut Fruin (1979), berjalan kaki merupakan alat untuk
pergerakan internal kota, satu–satunya alat untuk memenuhi kebutuhan interaksi tatap
muka yang ada didalam aktivitas komersial dan kultural di lingkungan kehidupan
lain. Sedangkan Rusmawan (1999) mengemukakan bahwa, dalam hal berjalan
termasuk juga di dalamnya dengan menggunakan alat bantu pergerakan seperti
tongkat maupun tuna netra termasuk kelompok pejalan. Dengan tidak terpenuhinya
kebutuhan pejalan akan mengurangi minat orang untuk melakukan aktifitasnya dan
berimplikasi pada tidak terpenuhinya kebutuhan interaksi tatap muka dalam aktifitas
komersial yang pada akhirnya berdampak pada terganggunya kehidupan kawasan
secara keseluruhan. Menurut Gideon (1977), berjalan kaki merupakan sarana
transportasi yang menghubungkan antara fungsi kawasan satu dengan yang lain
terutama kawasan perdagangan, kawasan budaya, dan kawasan permukiman, dengan
berjalan kaki menjadikan suatu kota menjadi lebih manusiawi.
Spreiregen (1965) menyebutkan bahwa pejalan kaki tetap merupakan sistem
transportasi yang paling baik meskipun memiliki keterbatasan kecepatan rata-rata 3–4
km/jam serta daya jangkau yang sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik. jarak 0,5 km
merupakan jarak yang berjalan kaki yang paling nyaman, namun lebih dari itu orang
akan memilih berjalan kaki. Pada buku Manual for the Street yang dikeluarkan oleh
Departement for Transport London dikatakan bahwa pejalan kaki dapat berjalan
dengan tujuan atau melakukan aktifitas lainnya seperti bermain, bersosialisasi,
berbelanja atau hanya duduk-duduk.
Menurut Bromley dan Thomas (1993), ada dua karakteristik pejalan yang perlu
diperhatikan jika dikaitkan dengan pola perilaku pejalan, yaitu:
Dipahami sebagai dimensi manusia dan daya gerak, keduanya mempunyai
pengaruh yang cukup besar terhadap penggunaan ruang pribadi dan penting
untuk memahami kebutuhan-kebutuhan pejalan.
b. Secara Psikis
Karakteristik ini berupa preferensi psikologi yang diperlukan untuk
memahami keinginan pejalan ketika melakukan aktivitas berlalu lintas.
Kebutuhan ini berkaitan dengan berkembangnya kebutuhan pejalan pada
kawasan yang tidak hanya untuk berbelanja, tetapi juga sebagai kegiatan
rekreasi, sehingga harus mempunyai persyaratan mendasar yang dimiliki
kawasan yaitu maximum visibility, accessibility dan security. Pejalan kaki
lebih suka menghindari kontak fisik dengan pejalan kaki lainnya dan biasanya
akan menjadi ruang pribadi yang lebih luas.
Dari teori diatas dapat diartikan bahwa berjalan kaki merupakan aktifitas
bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya dan diharapkan bisa menikmati suasana
di sepanjang jalan yang dilalui serta merupakan salah satu sarana untuk bersosialisasi
dengan sesama para pejalan kaki sehingga berjalan kaki menjadi suatu aktifitas yang
menyenangkan. Untuk melakukan aktifitas tersebut maka diperlukan jalur untuk
berjalan kaki yang aman dan nyaman serta suasana yang akrab dengan para pejalan
2.3 Makna Jalur Pejalan Kaki
Moughtin (2003) mengatakan bahwa jalan bukan hanya berarti akses tetapi juga
tempat untuk ekspresi sosial. Jalan dan sisi jalan, ruang publik utama dari sebuah
kota, adalah organ vital yang sangat penting. Jika kita berpikir tentang sebuah kota
dan apa yang ada di pikiran kita? Jalan–jalan. Jika jalan–jalan di sebuah kota terlihat
menarik, maka kota tersebut juga akan terlihat menarik. Begitu juga jika jalan terlihat
buruk maka kota juga akan terlihat buruk. Sebagai sebuah penghubung, jalan
menfasilitasi pergerakan manusia sebagai pejalan kaki atau kendaraan bermotor dan
juga perpindahan barang untuk diteruskan ke pasar yang lebih luas. Jalur pejalan kaki
juga dipergunakan oleh pemakai kursi roda dan orang-orang yang membawa kereta
dorong bayi. Jalur pejalan kaki digunakan oleh semua masyarakat berbagai umur,
ukuran, dan kemampuan. Sedangkan pada buku Manual for the Street juga dikatakan
bahwa desain dari jalur tersebut harus dapat memenuhi kebutuhan yang luas sehingga
dapat mengakomodasi kebutuhan anak-anak dan masyarakat dengan keterbatasan
fisik.
Menurut Shirvani (1985), salah satu elemen fisik Urban Design yang bersifat
ekspresif dan suportif yang mendukung terbentuknya struktur visual kota adalah jalur
pejalan kaki. Dimana jalur pejalan kaki yang baik adalah mengurangi ketergantungan
dari kendaraan bermotor dalam areal kota, meningkatkan kualitas lingkungan dengan
memprioritaskan skala manusia, lebih mengekspresikan aktifitas pedagang kaki lima
Baik Shirvani (1985) maupun Linch (1960) mengemukakan bahwa pedestrian
bagian dari ruang publik dan merupakan aspek penting sebuah ruang kota, baik
berupa lapangan (ruang terbuka) maupun jalan/koridor. Pada modul 1a mengenai
Peran Transportasi dalam kebijakan perkembangan perkotaan dikatakan bahwa
pentingnya ruang untuk pejalan kaki tidak dapat diukur dan tidak dapat dibuktikan
secara matematis bahwa trotoar yang lebih lebar, jalur khusus pejalan kaki dan
jumlah taman yang indah akan dapat membuat orang merasa lebih bahagia.
Menurut Utermann (1984) mendefinisikan berbagai macam jalur pejalan kaki
diruang luar bangunan menurut fungsi dan bentuk. Menurut fungsi adalah sebagai
berikut:
a. Jalur pejalan kaki yang terpisah dari jalur kendaraan umum (Sidewalk atau
trotoar) biasanya terletak bersebelahan atau berdekatan sehingga diperlukan
fasilitas yang aman terhadap bahaya kendaraan bermotor dan mempunyai
permukaan rata, berupa trotoar dan terletak di tepi jalan raya. Pejalan kaki
melakukan kegiatan berjalan kaki sebagai sarana angkutan yang akan
menghubungkan tempat tujuan.
b. Jalur pejalan kaki yang digunakan sebagai jalur menyeberang untuk
mengatasi/menghindari konflik dengan moda angkutan lain, yaitu jalur
penyeberangan jalan, jembatan penyeberangan atau jalur penyeberangan
bawah tanah. Untuk aktivitas ini diperlukan fasilitas berupa zebra cross,
c. Jalur pejalan kaki yang bersifat rekreatif dan mengisi waktu luang yang
terpisah sama sekali dari jalur kendaraan bermotor dan biasanya dapat
dinikmati secara santai tanpa terganggu kendaraan bermotor. Pejalan kaki
dapat berhenti dan beristirahat pada bangku–bangku yang disediakan, fasilitas
ini berupa plaza pada taman–taman kota.
d. Jalur pejalan kaki yang digunakan untuk berbagai aktivitas, untuk berjualan,
duduk santai, dan sekaligus berjalan sambil melihat etalase pertokoan yang
biasa disebut mall.
e. Footpath atau jalan setapak, jalan khusus pejalan kaki yang cukup sempit dan
hanya cukup untuk satu pejalan kaki.
f. Alleyways atau pathways (gang) adalah jalur yang relatif sempit di belakang
jalan utama, yang terbentuk oleh kepadatan bangunan, khusus pejalan kaki
karena tidak dapat dimasuki kendaraan.
Sedangkan menurut bentuk adalah sebagai berikut:
a. Arkade atau selasar, suatu jalur pejalan kaki yang beratap tanpa dinding
pembatas disalah satu sisisnya.
b. Gallery, berupa selasar yang lebar digunakan untuk kegiatan tertentu
c. Jalan pejalan kaki tidak terlindungi/tidak beratap.
Menurut Carr (1992) dan Rubeinstein (1992) membedakan tipe pedestrian
a. Pedestrian sisi jalan. Bagian ruang publik kota yang banyak dilalui orang yang
sedang berjalan kaki menyusun jalan yang satu yang berhubungan dengan
jalan lain. Letaknya berada di kiri dan kanan jalan.
b. Mal Pedestrian. Suatu jalan yang ditutup bagi kendaraan bermotor, dan
diperuntukkan khusus bagi pejalan kaki. Fasilitas tersebut biasanya dilengkapi
dengari asesoris kota seperti pagar, tanaman, dan berlokasi dijalan utama
pusat kota.
c. Mal Transit. Pengembangan pencapaian transit untuk kendaraan umum pada
penggal jalan tertentu yang telah dikembangkan sebagai pedestrian area.
d. Jalur Lambat. Jalan yang digunakan sebagai ruang terbuka dan diolah dengan
desain pedestrian agar lalu lintas kendaraan terpaksa berjalan lamban,
disamping dihiasi dengan tanaman sepanjang jalan tersebut atau jalur jalan
sepanjang jalan utama yang khusus untuk pejalan kaki dan kendaraan bukan
bermotor.
e. Gang Kecil. Gang-gang kecil ini merupakan bagian jaringan jalan yang
menghubungkan ke berbagai elemen kota satu dengan yang lain yang sangat
kompak. Ruang publik ini direncanakan dan dikemas untuk mengenal
lingkungan lebih dekat lagi.
Carr dan kawan-kawan (1992), mengartikan jalur pedestrian (pedestrian
sidewalks/trotoar) adalah bagian dari kota , dimana orang bergerak dengan kaki,
yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya. Dengan kata lain jalur
pedestrian dari segi perencanaannya terbagi dua yaitu yang terencana dan tidak
terencana. Jalur pedestrian yang terencana terbentuk dari jalur pedestrian yang
memang telah direncanakan untuk menghubungkan satu tempat ke tempat lain yang
dibutuhkan oleh pejalan kaki. Sedangkan jalur pedestrian yang tidak terencana
terbentuk dengan sendirinya dari jalur yang biasa digunakan oleh pejalan kaki dalam
pergerakannya dari satu tempat ke tempat lainnya.
2.3.1 Jalur pejalan kaki yang akrab (friendly)
Perencanaan jalur pejalan kaki sebaiknya berfungsi untuk menfasilitasi
pejalan kaki dari satu tempat ke tempat lain dengan berkesinambungan, lancar,
selamat, aman dan nyaman. Selain itu rencana jalur pejalan kaki harus dapat
mengakomodasi pejalan kaki baik dewasa maupun anak-anak dan juga penyandang
cacat. Sehingga dapat menciptakan sebuah kota yang akrab terhadap pengguna jalur
pejalan kaki atau pedestrian.
Bentuk yang tepat dari pemisahan kendaraan bermotor dan pejalan kaki
dikondisikan oleh fungsi jalan tersebut. Padahal pembagian yang jelas antara
kendaraan bermotor dan pejalan kaki dapat membantu dalam perkembangan dari
aktifitas jalan. Banyak jalur-jalur pejalan kaki di pusat kota di Inggris dan
negara-negara Eropa lainnya sangat sukses. Kesuksesan dari jalur pejalan kaki tersebut
tergantung kepada atraksi-atraksi yang beraneka ragam yang disuguhkan sehingga
adalah jalur pejalan kaki berintegrasi dengan parkir kendaraan bermotor. Menurut
Mougthin (2003) bahwa pembedaan antara jalur pejalan kaki dengan jalur lalu lintas
padat adalah sangat penting.
Sedangkan menurut Burton (2006) bahwa keakraban menunjuk kepada
besaran jalan yang dapat dikenali oleh orang jompo dan mudah dimengerti oleh
mereka. Jalan yang akrab adalah yang tersusun dan dibuat dengan bentuk, ruang
terbuka, bangunan-bangunan dan perangkat-perangkat yang akrab dengan para
penggunanya. Jalan yang akrab kemungkinan diletakkan dimana:
a. Jalan–jalan ruang terbuka dan bangunan-bangunan lama didirikan.
b. Perubahan dalam skala kecil dan bertambah.
c. Pengembangan baru dan gabungan dari bentuk lokal, style, warna, dan
material.
d. Ada hirarki tipe-tipe jalan, termasuk jalan utama, sisi jalan, gang dan trotoar.
e. Tempat-tempat dan bangunan-bangunan di desain akrab mudah diingat oleh
masyarakat yang melewatinya.
f. Bagian-bagian arsitektur dan perabot jalan yang didesain akrab agar mudah
diingat oleh penggunanya.
Dari beberapa studi yang sudah dilakukan terkait jalur pedestrian, Nurdiani
(2005) ada beberapa prinsip perancangan yang harus dipertimbangkan untuk
mendesain jalur pedestrian yang baik
b. Memberi perlindungan dan keamanan bagi pejalan kaki.
c. Memberikan kemudahan pada pejalan kaki.
d. Menghubungkan dengan baik satu tempat dengan tempat lain.
e. Memberi kenyamanan saat berjalan bagi pejalan kaki.
f. Memberi ruang yang cukup luas untuk berjalan kaki, baik saat sendiri atau
apabila harus berhadapan dengan pejalan kaki dari arah berlawanan.
g. Peduli atau perhatian pada budaya pengguna jalur pedestrian (pejalan kaki).
h. Peduli terhadap pejalan kaki yang memiliki keterbatasan (penyandang
cacat).
i. Memperhatikan iklim setempat (misal pada iklim tropis; rimbunnya
pepohonan membantu melindungi pejalan kaki dari teriknya matahari atau
rintiknya hujan).
j. Merespon terhadap konteks lingkungan dimana jalur pedestrian tersebut
berada. Jalur pedestrian dapat dirancang mengikuti tema
kawasan/lingkungan.
Menarik atau atraktif dalam membuat rancangan jalur pedestrian dimana
permukaan bidang jalur pedestrian dapat dibuat pola-pola tertentu. Pada beberapa
tempat diberi ruang-ruang untuk beristirahat sejenak sebelum meneruskan
perjalanan dengan pola yang berbeda sehingga tidak membosankan.
Menurut Fruin (1979) pengembangan fasilitas untuk jalur pejalan adalah
meningkatkan kenyamanan, keamanan, kesenangan, kesinambungan, kelengkapan
dan daya tarik. Orang lebih memilih berjalan di pinggir atau bahkan di badan jalan,
menggunakan kendaraan yang pada akhirnya dapat mengurangi Level Of Service
(LOS) jalan.
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan indikator tercapainya suatu konsep
pengembangan fasilitas pejalan kaki yang akrab, sebagai berikut (Uterman, 1984;
Marcus dan Francis 1989; Carr, 1992; Rubenstein, 1992; Harris dan Dines, 1995;
Bromley dan Thomas, 1993):
a. Keselamatan (safety), diwujudkan dengan penempatan pedestrian, struktur,
tekstur, pola perkerasan dan dimensi trotoar (ruang bebas, lebar efektif,
kemiringan)
b. Keamanan (security), terlindung dari kemungkinan berlangsungnya
tindakan kejahatan dengan merancang penerangan yang cukup atau struktur
maupun lansekap yang tidak menghalangi.
c. Kenyamanan (comfort), mudah dilalui dari berbagai tempat dengan adanya
pelindung dari cuaca yang buruk, tempat istirahat sementara, terhindar dari
hambatan oleh karena ruang yang sempit serta permukaan yang harus
nyaman dipergunakan oleh siapa saja termasuk juga penyandang cacat.
d. Kenikmatan (convenience), diindikasikan melalui jarak, lebar trotoar,
lansekap yang menarik serta kedekatan dengan fasilitas yang dibutuhkan.
e. Keindahan (aesthetics), berkaitan dengan trotoar dan lingkungan
Jacobs (1995) secara gamblang menyatakan jalan yang masuk dalam
klasifikasi 'great streets', biasanya selalu memiliki kualitas spasial istimewa dan
umumnya sukses merangsang warga kota, untuk turun berinteraksi sosial dan
beraktivitas urban yang sehat. Di ruas-ruas ruang publik tersebut, warga kota tidak
ragu-ragu untuk melangkahkan kakinya membeli susu dan koran pagi, berjalan
mengamati pajangan di kaca-kaca toko, bergurau santai di kafe-kafe pinggir jalan
ataupun duduk makan siang sambil mengamati lalu lalang pejalan kaki di trotoar
jalan. Kriteria untuk jalan yang baik menurut Jacobs (1995) adalah sebagai berikut:
a. Dapat menciptakan sebuah komunitas: memfasilitasi tindakan manusia
dalam bersosialisasi
b. Aman dan nyaman: membuat masyarakat betah dan tidak merasa takut
c. Mendorong partisipasi: menimbulkan rasa memiliki dan tanggung jawab
pada lingkungan jalan, termasuk ikut serta untuk merawatnya
d. Dapat diingat: memberikan kesan dan kenangan.
e. Representative: dapat menjadi contoh tipe yang baik, untuk itu kriteria
diatas harus mampu dipadukan dan juga memiliki nilai seni.
Selain itu diperlukan kualitas fisik tertentu untuk dapat menjadi great street:
a. Tempat yang nyaman untuk orang berjalan (place for people to walk with
some leisure). Orang dapat berjalan dengan mudah dan aman, jelas dan
b. Kenyamanan fisik (physical comfort). Jalan yang baik adalah jalan
memberikan kenyamanan dan perlindungan terhadap iklim.
c. Definisi (definition). Mampu berkomunikasi dan memberikan definisi
terhadap jalan tersebut. Jalan didefinisikan menjadi 2: vertikal (ketinggian
bangunan, tembok dan pepohonan), horisontal (lebar jalan, jarak, dan
lantai). Jalan yang baik mampu memadukan unsur vertikal dan horisontal
dalam sebuah proporsi yang harmonis, skala manusia, dan ruang antar
bangunan
d. Kualitas yang melibatkan pandangan mata (qualities that engage the eyes).
Mata akan tertarik pada suatu yang bergerak dan mengalami perubahan.
Jalan yang baik mampu menarik pandangan mata seperti adanya bayangan
dari perbedaan permukaan bangunan, bayangan dan pertumbuhan pohon,
pergerakan dan pengguna jalan, warna dan pemanfaatan cahaya, dan detail
bangunan.
e. Transparansi (transparency). Dimana sisi publik dan semi publik yang ada
pada jalan dapat bertemu dengan sisi privat dari bangunan. Orang dapat
melihat, merasakan dan mengetahui apa yang ada dibaliknya.
f. Komplementaritas (complementarity). Adanya keterpaduan dan rasa
menghormati antar bangunan pada suatu jalan. Jalan yang baik umumnya
memiliki ketinggian bangunan yang hampir sama.
g. Perawatan (maintenance). Untuk menjaga jalan tetap bersih, lancar dan
pepohonan, material, bangunan, dan semua bagian jalan. Untuk itu
diperlukan pemakaian material yang relatif mudah untuk dirawat dan harus
ada kepedulian pada elemen jalan yang bersejarah.
h. Kualitas konstruksi dan desain (quality of construction and design).
Adanya kualitas yang baik dalam material, keahlian pembuatan, dan disain.
Disamping hal tersebut kualitas juga akan dipengaruhi oleh uang/ biaya
yang ada.
Sedangkan beberapa kualitas lainnya yang mempengaruhi jalan menurut
Jacob (1995) adalah:
a. Pepohonan; Selain menghasilkan oksigen dan peneduh untuk memberikan
kenyaman, pohon juga dapat sebagai pembatas dan pengaman. Jarak antar
pohon yang baik adalah 15 kaki sampai 25 kaki, pada tikungan berjarak 40
atau 50 kaki.
b. Awal dan akhir; Sangat diperlukan penataan awal dan akhir dari jalan.
Kesan yang kuat akan terasa pada awal dan akhir jalan.
c. Keanekaragaman bangunan; Bangunan akan membentuk garis vertikal
jalan, ukuran dan skala. Banyaknya bangunan akan memberikan
keberagaman fasade dan keberagaman aktifitas.
d. Detail: fitur desain khusus; Kulitas detail: gerbang, air mancur, tempat
duduk, kios, paving, petanda, kanopi, lampu jalan akan memberikan
e. Tempat; Jalan memiliki persimpangan, plaza kecil, taman, pelebaran, dan
ruang terbuka yang sangat penting untuk menikung/berbelok dan memutar
arah, menyediakan tempat untuk berhenti sejenak dan memberikan titik
acuan pada jalan.
f. Aksesibilitas; Tujuan utama adalah sebagai akses dari suatu tempat ke
tempat yang lain. Jalan yang baik memiliki akses yg mudah dan aman dan
nyaman bagi pejalan kaki, kendaraan dan penyandang cacat.
g. Kepadatan; Dalam mendisain dan membangun kita harus memperhatikan
kepadatan yg terbentuk dan peruntukan lahan yang ada. Kepadatan yang
dimaksud disini adalah kepadatan aktifitas orang, yang membentuk
komunitas.
h. Keberagaman; Jalan yang baik memiliki keberagaman aktifitas, adanya mix
uses dan keberagaman fungsi dan peruntukan di dalamnya.
i. Panjang; Terdapat fokal poin yang spesial seperti patung/tugu/monumen,
dan bangunan yang special.
j. Landai; Memberikan kenyamanan bagi penyandang cacat, orang tua, ibu
dan anak kecil.
k. Parkir; Jalan yang baik tidak diperuntukan untuk parkir kendaraan dalam
jumlah banyak.
l. Kontras; Kontras pada disain akan akan memberikan perbedaan bentuk dan
ukuran dimana hal tersebut dapat menarik perhatian dan menjadikannya
m.Waktu; Mampu menghadapi perubahan waktu dan jaman, dengan berbagai
keberagaman dan terus berkembang serta memiliki nilai sejarah.
2.3.2 Keselamatan dan keamanan jalur pejalan kaki
Dalam usaha untuk mendorong dan menfasilitasi pejalan kaki, pejalan kaki
ingin merasa aman. Dalam buku Manual for the Street dikatakan bahwa pejalan
kaki secara umum merasa aman dari kejahatan dimana:
a. Rutinitas mereka terlihat secara keseluruhan dari dalam
bangunan-bangunan di pinggir jalan.
b. Masyarakat lain juga menggunakan jalan tersebut.
c. Disana tidak ada tanda-tanda aktifitas anti sosial (seperti: vandalisme,
graffiti,dan lain sebagainya)
d. Mereka tidak dapat dikejutkan (contoh pada sudut yang gelap)
e. Mereka tidak dapat diculik (contoh orang-orang dapat merasa gugup jika
berada di tempat dengan banyak pintu masuk dan keluar seperti jalur
subway)
f. Ada pencahayaan yang baik.
Material untuk permukaan yang digunakan pada jalur pejalan kaki harus rata
dan bebas dari sandungan-sandungan. Di dalam buku Manual for the Street juga
dikemukakan bahwa permukaan yang tidak biasa seperti batu kerikil adalah
area permukiman. Utermann (1984) juga mengemukakan bahwa salah satu hal yang
dapat menciptakan rasa aman pada jalur pejalan kaki adalah jalur pejalan kaki
tersebut memiliki permukaan yang rata. Dengan kata lain pemilihan bahan untuk
jalur pejalan kaki perlu direncanakan dengan baik agar tidak mengganggu pejalan
kaki dan aman untuk digunakan.
Menurut Rapoport (1971) prinsip perancangan jalur pedestrian yang dapat
menimbulkan rasa aman dan nyaman bagi penggunanya adalah harus aman dan
melindungi bagi pejalan kaki, menghubungkan dengan baik antara satu tempat ke
tempat lain, bebas hambatan dan memiliki akses langsung serta mudah dicapai oleh
semua pejalan kaki, dirancang dengan baik dan cukup atraktif. Dari teori tersebut
dapat diperoleh masukan bahwa dengan merencanakan jalur pejalan kaki yang baik
dapat membuat penggunanya merasa aman dan nyaman berjalan di jalur pedestrian
tersebut. Sehingga akan banyak orang yang menggunakan jalur pedestrian dalam
aktifitas sehari-hari.
Aspek keselamatan diwujudkan dengan penempatan pedestrian, struktur,
tekstur, pola perkerasan dan dimensi trotoar (ruang bebas, lebar efektif, kemiringan)
sedangkan untuk aspek keamanan dimana jalur pejalan kaki tersebut terlindung dari
kemungkinan berlangsungnya tindakan kejahatan dengan merancang penerangan
yang cukup atau struktur maupun lansekap yang tidak menghalangi.
Dari aspek keselamatan berjalan di jalur pejalan kaki bisa dilihat dari fasilitas
prasarana dan sarananya. Utermann (1984) mengemukakan bahwa jalur pejalan kaki
dengan moda angkutan lain, selain itu untuk aktivitas tersebut diperlukan fasilitas
berupa zebra cross, skyway (jembatan penyeberangan) dan subway (terowongan).
Pada Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan
Kaki di Perkotaan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum diatur
sebaiknya keberadaan jalur pejalan kaki tidak menimbulkan konflik dengan lalu
lintas kendaraan atau peruntukkan lainnya, jika berpotongan dengan jalur lalu lintas
kendaraan harus dilengkapi rambu dan marka atau lampu yang menyatakan
peringatan/petunjuk bagi pengguna jalan, koridor jalur pejalan kaki (selain
terowongan) sebaiknya mempunyai jarak pandang yang bebas ke semua arah, selain
itu dalam hal perencanaannya juga harus memperhatikan lebar lajur dan spesifikasi
teknik bagi penyandang cacat.
2.3.2.1 Drainase
Drainase sebagai salah satu fasilitas sarana ruang pejalan kaki dapat juga
menciptakan keselamatan penggunanya jika direncanakan dengan baik. Drainase
terletak berdampingan atau dibawah dari ruang pejalan kaki. Drainase berfungsi
sebagai penampung dan jalur aliran air pada ruang pejalan kaki. Keberadaan
drainase akan dapat mencegah terjadinya banjir dan genangan-genangan air pada
saat hujan. Menurut Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana
Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan
Umum diatur bahwa dimensi minimal adalah lebar 50 centimeter dan tinggi 50
paling penting dalam merencanakan drainase adalah peletakkannya terhadap jalan
dan dampak yang mungkin muncul akibat drainase tersebut. Saluran drainase
direncanakan untuk menampung air kotor dari bangunan-bangunan di sepanjang
jalan.
2.3.2.2 Pagar Pengaman
Fasilitas sarana ruang pejalan kaki lainnya yang dapat memberi
keselamatan bagi penggunanya adalah pagar pengaman. Carr (1992) membedakan
jalur pejalan kaki ke dalam beberapa tipe, salah satunya adalah Mall Pedestrian
dimana memerlukan fasilitas pagar pengaman terutama jika terletak di jalan utama
pusat kota. Pada Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana
Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan
Umum diatur bahwa pagar pengaman diletakan pada jalur amenitas. Pada titik
tertentu yang berbahaya dan memerlukan perlindungan dengan tinggi 90
centimeter, dan bahan yang digunakan adalah metal/beton yang tahan terhadap
cuaca, kerusakan, dan murah pemeliharaannya. Pagar pengaman juga dapat
didesain dengan menarik. Sedangkan pada buku Manual for the Street
dikemukakan bahwa pagar pengaman secara umum dibuat untuk menghindari
pengendara kendaraan bermotor yang tidak bertanggung jawab, bentuk pagar
Gambar 2.1 Pagar Pengaman
Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan
2.3.2.3 Marka dan perambuan
Pada Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang
Pejalan Kaki di Perkotaan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum
mengatur tentang marka dan perambuan, informasi (signage) yang diletakan pada
jalur amenitas, pada titik interaksi sosial, pada jalur dengan arus pedestrian padat,
dengan besaran sesuai kebutuhan, dan bahan yang digunakan terbuat dari bahan
yang memiliki durabilitas tinggi, dan tidak menimbulkan efek silau. Marka dan
perambuan juga dapat menciptakan lingkungan yang informatif sehingga
memudahkan pemakai ruang publik berorientasi dan bersirkulasi di dalam
lingkungan tersebut. Peletakan perambuan berada di tempat terbuka,
ketinggiannya sejajar dengan kondisi jalan serta tidak tertutup pepohonan. Lebih
efisien dan mudah dibaca jika dilengkapi dengan lampu penerangan.
Lynch (1984) mengemukakan bahwa marka dan perambuan yang
dirancang dengan baik dapat memberikan kualitas yang ramah bagi pejalan kaki
karena marka dan perambuan tersebut dapat sebagai iklan suatu usaha ataupun
2.3.2.4 Penyeberangan dan Marka untuk Penyeberangan
Fasilitas prasarana ruang pejalan kaki juga dapat dimasukkan dalam usaha
keselamatan bagi penggunanya. Fasilitas prasarana tersebut berupa penyeberangan
dan marka untuk penyeberangan. Penyeberangan sendiri terdiri dari
penyeberangan sebidang, tidak sebidang, di tengah ruas dan dipesimpangan.
Untuk penyeberangan sebidang atau At Grade terdiri dari dua jenis yaitu
penyeberangan zebra dan penyeberangan pelikan. Penyeberangan zebra dipasang
di kaki persimpangan tanpa alat pemberi isyarat lalu lintas atau di ruas jalan.
Apabila persimpangan diatur dengan lampu pengatur lalu lintas, pemberian waktu
penyeberangan bagi pejalan kaki menjadi satu kesatuan dengan lampu pengatur
lalu lintas persimpangan sedangkan apabila persimpangan tidak diatur dengan
lampu pengatur lalu- lintas, maka kriteria batas kecepatan kendaraan bermotor
adalah <40 km/jam. Sedangkan penyeberangan Pelikan dipasang pada ruas jalan,
minimal 300 meter dari persimpangan, atau pada jalan dengan kecepatan
operasional rata-rata lalu lintas kendaraan >40 km/jam.
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang
Pejalan Kaki di Perkotaan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum
dikatakan bahwa Penyeberangan tidak sebidang terdiri dari dua macam yaitu
elevated (jembatan) dan underground (terowongan). Elevated (jembatan)
digunakan apabila jenis jalur penyeberangan tidak dapat menggunakan
penyeberangan zebra, penyeberangan pelikan sudah menganggu lalu lintas
kecelakaan pejalan kaki yang cukup tinggi. Serta pada ruas jalan yang mempunyai
arus lalu lintas dengan kecepatan tinggi dan arus pejalan kaki yang cukup ramai.
Jalur yang melandai harus disediakan untuk seluruh tempat penyeberangan bagi
pejalan kaki baik di atas jalan maupun di bawah jalan. Jika diperlukan, maka dapat
disediakan tangga untuk mencapai tempat penyeberangan. Underground
(terowongan) digunakan apabila jenis jalur penyeberangan dengan menggunakan
elevated (jembatan) tidak dimungkinkan untuk diadakan. Lokasi lahan atau medan
memungkinkan untuk dibangun underground/terowongan.
Untuk kawasan perkotaan, yang terdapat jarak antar persimpangan cukup
panjang, maka dibutuhkan penyeberangan di tengah ruas agar pejalan kaki dapat
menyeberang dengan aman. Lokasi yang dipertimbangkan untuk penyeberangan
ditengah ruas harus dikaji terlebih dahulu. Pertimbangan dalam penentuan lokasi
penyeberangan di tengah ruas, antara lain:
a. Lokasi penyeberangan memungkinkan untuk mengumpulkan atau
mengarahkan pejalan kaki menyeberang pada satu lokasi.
b. Merupakan lokasi untuk rute yang aman untuk berjalan kaki bagi anak
sekolah.
c. Kawasan dengan konsentrasi pejalan kaki yang menyeberang cukup
tinggi (seperti permukiman yang memotong kawasan pertokoan atau
rekreasi atau halte yang berseberangan dengan permukiman atau