• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. A. Kajian Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. A. Kajian Pustaka"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

8

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Pustaka

1. Hakikat Novel a. Pengertian Novel

Banyak karya sastra bermunculan di Indonesia salah satunya adalah novel. Novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan dari kata

novies yang berarti “baru” (Tarigan, 1993: 164). Pendapat lain menyatakan

bahwa novel berasal dari bahasa Itali yakni novella, bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti cerita pendek dalam bentuk prosa (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2013: 11 – 12). Prosa adalah karangan yang tidak terikat oleh aturan-aturan seperti rima, ritma, jumlah baris dan lain-lain (Maskurun, 2010: 50). Tidak terikatnya novel terhadap aturan-aturan yang mengikat mebuat novel menjadi suatu karya sastra yang sangat beragam.

Dijelaskan pula bahwa novel merupakan sebuah karya fiksi. Fiksi adalah sebuah cerita rekaan dalam prosa yang ditulis berdasarkan khayalan pengarang (Semi, 1993: 31). Nurgiyantoro berpendapat bahwa novel adalah sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya tidak terlalu panjang, namun tidak juga terlalu pendek (2013: 12). Novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh (Kosasih, 2014: 60). Jassin berpendapat bahwa novel adalah cerita mengenai salah satu episode dalam kehidupan manusia, suatu kejadian yang luar biasa dalam kehidupan itu, sebuah krisis yang memungkinkan terjadinya perubahan nasib pada manusia (Purba, 2010: 63). Biasanya dalam sebuah novel akan ada perubahan nasib pada tokoh utama. Beberapa pendapat di atas kebanyakan mengungkapkan bahwa novel adalah karangan fiksi belaka jadi penulisannya hanya berdasar pada imajinasi pengarang.

(2)

Akan tetapi, ditemukan pendapat bahwa novel yang pertama kali ditulis merupakan sebuah catatan harian seorang pembantu rumah tangga. Novel tersebut terbit dengan judul Pamella (Waluyo, 2014: 5). Dengan demikian, karena novel Pamella berisi sebuah catatan harian maka novel tersebut bukanlah khayalan semata melainkan sebuah kisah nyata yang ditulis menjadi sebuah buku atau novel. Sastra atau novel yang demikian itu disebut sebagai sastra nonimajinatif. Sastra nonimajinatif merupakan sastra dengan ciri bahwa isinya menekankan unsur kefaktualan dan penggunaan bahasa yang cenderung denotatif, akan tetapi tetap memenuhi unsur-unsur estetika seni (Wicaksono, 2014: 5). Selaras dengan pendapat Wicaksosno tersebut, Rokhmansyah menyebutkan bahwa fiksi dibedakan atas dua macam yakni fiksi realitas dan fiksi aktualitas (2014: 30).

Fiksi realitas adalah fiksi yang konfliknya bisa saja benar-benar terjadi tetapi belum tentu terjadi. Sedangkan fiksi aktualitas adalah fiksi yang konfliknya atau ceritanya benar-benar telah terjadi. Dari kedua pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa sastra nonimajinatif dapat disejajarkan atau disamakan dengan fiksi aktualitas, dan sastra imajinatif dapat disamakan dengan fiksi realitas. Dalam praktiknya jenis sastra nonimajinatif ini terdiri atas karya-karya yang berbentuk esai, kritik, biografi, otobiografi, sejarah, memoar, catatan harian, dan surat-surat (Wicaksono, 2014: 6)

Kini di Indonesia muncul banyak novel yang bertemakan biografi seseorang atau novel yang didasarkan atas pengalaman seseorang. Biasanya orang-orang yang diceritakan dalam sebuah novel adalah seorang tokoh yang inspiratif. Pada dasarnya novel biografi ini lebih menonjolkan makna yang akan disampaikan dari riwayat hidup seseorang yang diceritakan (Sumardjo & Saini, 1988: 23). Contoh novel-novel biografi adalah novel tetralogi karya Andrea Hirata yakni 1) Laskar Pelangi, 2) Sang Pemimpi, 3)

Edensor, dan 4) Maryamah Karpov. Novel karya Khrisna Pabhicara yakni

trilogi yang menceritakan kisah seorang Dahlan Iskan, trilogi tersebut yakni 1) Sepatu Dahlan, 2) Surat Dahlan, dan 3) Senyum Dahlan dan novel karya Tjahja Gunawan Diredja dengan judul Anak Singkong.

(3)

Berdasar pada pendapat-pendapat ahli yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa novel adalah salah satu jenis karya sastra yang berbentuk prosa, diciptakan oleh pengarang berdasarkan khayalan/ imajinasi dan/ atau kisah nyata mengenai kehidupan manusia.

b. Jenis-Jenis Novel

Berdasarkan isi, novel dibagi ke dalam tiga jenis seperti yang disampaikan oleh Sumardjo dan Saini (1988: 29) yang menyatakan bahwa novel dapat dibagi ke dalam tiga golongan yakni novel percintaan, novel petualangan, dan novel fantasi. Adapun pengertian dari masing-masing penggolongan dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:

Novel percintaan melibatkan peranan tokoh wanita dan pria secara imbang, bahkan kadang-kadang peranan wanita lebih dominan. Dalam novel jenis ini digarap hampir semua tema, dan sebagian besar novel termasuk jenis ini.

Novel petualangan sedikit sekali memasukkan peranan wanita. Jika wanita disebut dalam novel jenis ini, maka penggambarannya hampir stereotip dan kurang berperan….

Novel fantasi bercerita tentang hal-hal yang tidak realistis dan serba tidak mungkin dilihat dari pengalaman sehari-hari (Sumardjo & Saini, 1988: 29 – 30).

Berbeda dengan Sumardjo dan Saini, Nurgiyantoro (1995: 16) menyatakan bahwa novel dapat dibedakan menjadi dua yakni novel sastra atau novel serius dan novel populer. Pendapat Nurgiyantoro ini didukung oleh pendapat Stanton (2012: 13) yang menyatakan adanya pembagian jenis fiksi yakni fiksi serius dan fiksi populer.

Meskipun novel dibagi ke dalam novel serius dan novel populer, perbedaan di antara keduanya sangat kabur. Banyak ciri yang disebutkan dalam novel populer terdapat juga dalam novel serius, begitu pula sebaliknya. Akan tetapi, untuk membedakannya secara umum dapat dikatakan bahwa novel populer atau novel pop adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya khusunya kalangan remaja, menampilkan masalah-masalah yang aktual (Nurgiyantoro, 1995: 18).

(4)

Dikarenankan masalah yang ditampilkan adalah masalah yang aktual maka novel ini hanya disukai pada masa tertentu saja dan bersifat sementara. Masalah kehidupan yang dibahas pun tidak terlalu mendalam, tidak berusaha meresapi kehidupan secara mendalam. Posisinya akan cepat digantikan oleh novel-novel populer yang lebih baru yang lebih aktual.

Sedangkan novel serius atau novel sastra adalah novel yang menampilkan pengalaman dan permasalahan kehidupan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal (Nurgiyantoro, 1995: 20). Sifat universal dalam masalah kehidupan pada karya sastra inilah yang menjadikan sebuah novel sastra atau novel serius lebih tahan lama dalam penerimaannya di masyarakat.

c. Unsur- Unsur Novel

Sebuah karya sastra memiliki beberapa unsur pembangun. Unsur-unsur tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yakni Unsur-unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik (Rokhmansyah, 2014: 32). Pendapat tersebut didukung dengan pernyataan sebagai berikut, bahwa “secara umum novel memiliki unsur-unsur pembangun yakni unsur intrinsik dan unsur ekstriksik” (Nurgiyantoro, 2013: 12).

Unsur intrinsik dan ekstrinsik merupakan bagian dari kajian strukturalisme. Penelitian atau pengkajian struktural dilakukan secara objektif dengan lebih menankan pada aspek intrinsik karya sastra (2104: 29). Melalui analisis struktural dapat dijelaskan bahwa suatu teks dalam hubungannya dengan dunia sosial budaya memiliki makna dan konteks yang lebih luas (Yudiono, 2009: 57). Unsur-unsur itulah yang kemudian membentuk satu kesatuan cerita yang logis. Oleh karena itu, analisis struktural tidak bisa lepas dari pengkajian sastra.

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra dan secara faktual dapat ditemukan oleh pembaca dalam karya sastra (Nurgiyantoro, 2013: 30). Termasuk dalam unsur intrinsik adalah tema, plot, penokohan, setting, sudut pandang, dialog, gaya bercerita, dan amanat.

(5)

Unsur ekstrinsik hanya berpengaruh terhadap hal-hal yang nampak dalam karya sastra tanpa dapat dijumpai di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa unsur-unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra (Nurgiyantoro, 2013: 30). Termasuk dalam unsur ekstrinsik adalah biografi pengarang, unsur psikologi, ekonomi, sosial budaya dan pandangan hidup suatu bangsa (Wellek & Waren dalam Wicaksono, 2014: 98).

2. Unsur Intrinsik Novel

Telah dibahas pada uraian sebelumnya bahwa sebuah novel memiliki unsur intrinsik dan ekstrinsik. Pada bagian ini dibahas secara khusus mengenai unsur-unsur intrinsik novel. Unsur intrinsik merupakan unsur yang membangun sebuah karya sastra. Oleh karenanya, untuk dapat memahami karya sastra secara utuh seseorang harus terlebih dahulu memahami unsur-unsur pembangunnya.

Waluyo dalam bukunya menyebutkan bahwa unsur-unsur pembangun prosa fiksi ada tujuh yakni tema, plot, penokohan dan perwatakan, setting dan latar belakang, sudut pandang pengarang, dialog atau percakapan, serta gaya bercerita (2011: 6 – 25). Berbeda dengan Waluyo, Rokhmansyah hanya menyebutkan enam saja, Rokhmansyah tidak menyebutkan dialog sebagai unsur pembangun sebuah prosa (2014: 33 – 39).

Adapun unsur-unsur yang disebutkan oleh Waluyo dalam bukunya (2014: 6 – 25) sebagai berikut ini.

a. Tema Cerita atau Pokok Pikiran

Gagasan pokok dalam cerita fiksi disebut tema. Stanton (2012: 37) menyamakan arti dari tema, gagasan utama, dan maksud utama. Tiga istilah tersebut dapat digunakan bergantian secara fleksibel bergantung pada konteks yang ada. Tema cerita dapat diketahui melalui judul cerita atau petunjuk setelah judul, selain itu tema juga dapat diketahui melalui proses pembacaan karya.

(6)

Tema berbeda dengan amanat, adapun perbedaan antara keduanya adalah tema bersifat objektif, lugas, dan khusus, sedangkan amanat lebih bersifat subjektif, kias, dan umum. Tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra, terdapatnya tema dalam sastra membuat kedudukan sastra itu sendiri lebih penting daripada hanya sekadar bacaan untuk hiburan semata (Sudjiman, 1988: 50).

b. Plot atau Alur Cerita

Lukman Ali dalam Waluyo (2014: 9) menyatakan bahwa plot merupakan sambung-sinambungnya cerita berdasarkan hubungan sebab akibat dan menjelaskan mengapa sesuatu terjadi. Sedangkan Rokhmansyah (2014: 37) menyatakan bahwa alur adalah jalinan peristiwa dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Dari pernyataan tersebut dapat pula diartikan bahwa plot merupakan suatu jalinan jalannya cerita yang didasarkan hubungan sebab akibat yang bertujuan untuk menerangkan alasan sesuatu terjadi.

Secara umum plot dibagi kedalam tiga jenis yakni plot/alur garis lurus (alur progresif/ alur konvensional), kedua alur flashback (alur sorot balik/

regresif), dan terakhir alur campuran yakni penggunaan alur garis lurus dan

alur flashback dalam satu karya sastra (Waluyo, 2014: 13). Berdasarkan kriteria kepadatan cerita, alur dibedakan menjadi dua yakni alur erat/ ketat dan alur longgar (Sudjiman dalam Siswanto, 2008: 159).

Alur erat adalah jalinan peristiwa yang sangat padu di dalam suatu karya sastra; kalau salah satu peristiwa ditiadakan, keutuhan cerita akan terganggu (Siswanto, 2008: 161). Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa peristiwa yang satu dan peristiwa lain akan saling memengaruhi. Dengan demikian, emosi pembaca dapat kian meningkat dari awal hingga akhir cerita.

Alur longgar adalah jalinan peristiwa yang tidak padu di dalam suatu karya sastra, meniadakan salah satu peristiwa tidak akan mengganggu jalan cerita (Siswanto, 2008: 161). Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa

(7)

peristiwa dalam cerita tidak terlalu mengikat. Tidak ada pengaruh antara peristiwa yang satu dengan yang lain. Maksudnya dalam sebuah cerita dapat pula disisipkan cerita lain yang tidak ada hubungannya dengan inti cerita, namun hal tersebut tidak akan mengubah ataupun mempengaruhi inti cerita.

Pengarang cerita bebas memilih jenis plot yang akan digunakan untuk menyampaikan ceritanya. Hal yang penting dalam sebuah alur adalah adanya kemampuan untuk menarik pembaca agar selalu merasa penasaran dan tidak bosan dengan cerita yang disajikan. Oleh karena itu, dalam alur yang baik harus mengandung 1) eksposisi; 2) inciting moment; 3) rising

action; 4) complication; 5) climax; 6) falling action; dan 7) denouement

(Waluyo, 2014: 10).

Eksposisi adalah paparan awal cerita atau pengenalan. Hal-hal yang dikenalkan dalam bagian ini adalah tokoh cerita, watak tokoh, dan latar cerita. Inciting moment adalah permulaan munculnya masalah dalam suatu cerita. Rising action adalah meningkatnya suatu konflik atau masalah yang terjadi. Complication adalah tahap di mana konflik yang terjadi semakin ruwet dan menjadi lebih kompleks. Setelah konflik yang semakin kompleks maka konflik akan memuncak, terjadi peristiwa-peristiwa yang sangat genting, pada tahap inilah yang dinamakan climax. Tahap selanjutnya ketika konflik tidak bisa menjadi lebih rumit lagi adalah falling action yakni penurunan konflik dengan ditemukannya jawaban-jawaban dari berbagai penyebab timbulnya konflik. Tahap terakhir adalah donouement yakni tahap penyelesaian.

Plot yang baik adalah plot yang memenuhi hukum plot, seperti yang disampaikan oleh Kenney dalam Waluyo (2014: 15) yang menyebutkan adanya hukum plot (law of plot) yakni plausibility, surprise, suspense, unity,

subplot, dan ekspresi.

Plausibility atau kebolehjadian adalah kemungkinan terjadinya jalan

cerita yang disampaikan dalam dunia nyata. Meskipun cerita dalam novel merupakan khayalan, tetapi kejadian-kejadian yang terjadi memiliki kemungkinan untuk terjadi di kehidupan nyata. Kejadiannya tetap logis.

(8)

Surprise atau kejutan adalah peristiwa dalam cerita yang mungkin

tidak diduga oleh para pembaca. Jadi, jalan cerita dalam novel tersebut mungkin malah bertolak belakang dari ekspektasi pembaca, sehingga memberikan efek terkejut pada pembaca.

Suspense adalah rangsangan terhadap pembaca untuk terus mengikuti

jalan cerita berikutnya yang diciptakan oleh pengarang. Adanya suspense akan menimbulkan rasa geregetan pada pembaca.

Kesatuan atau unity adalah keterpaduan antara jalan cerita yang satu dengan cerita yang lain. Kejadian dalam cerita saling memengaruhi hingga menjadikan cerita tersebut padu menjadi satu cerita yang berkesan di hati pembaca.

Subplot adalah bagian plot yang digunakan sebagai penjelas cerita. Subplot tersebut biasanya berhubungan erat dengan plot induknya. Kemudian hukum plot yang terakhir adalah ekspresi. Ekspresi adalah beberapa bagian kejadian penting yang diceritakan oleh pengarang untuk mengungkapkan pengalaman tokoh yang tujuannya adalah memperhidup cerita tersebut.

c. Penokohan dan Perwatakan 1) Tokoh

Tokoh adalah individu rekaan dalam cerita yang mempunyai watak dan perilaku tertentu sebagai pelaku yang mengalami peristiwa dalam cerita (Rokhmansyah, 2014: 34). Tokoh dalam sebuah karya sastra dapat berupa manusia atau sesuatu yang dimanusiakan (Siswanto & Roekhan, 2015: 91). Maksud dari sesuatu yang dimanusiakan adalah benda-benda mati atau makhluk hidup selain manusia yang digambarkan memiliki perasaan dan pikiran seperti manusia.

Tokoh dalam sebuah fiksi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Bila dilihat dari tingkat peranan dan pentingnya, tokoh dibedakan kedalam dua jenis yakni tokoh utama dan tokoh tambahan (Nurgiyantoro, 2013: 260).

(9)

Tokoh utama adalah tokoh yang mendominasi jalannya cerita. Tokoh utama merupakan tokoh penting yang selalu diceritakan baik sebagai pelaku kejadian atau yang dikenai kejadian. Tokoh utama dalam sebuah novel bisa saja terdiri lebih dari satu tokoh, walaupun tingkat keutamaannya tidak selalu sama (Nurgiyantoro, 2013: 259). Biasanya yang menjadi tokoh utama dalam sebuah cerita adalah tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh-tokoh tersebut menjadi tokoh utama karena konflik yang timbul diantara keduanya. Biasanya konflik di antara kedua tokoh ini selalu berkembang sehingga keduanya mendominasi cerita (Waluyo, 2014: 19).

Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sesekali atau beberapa kali dalam cerita dengan porsi yang relatif pendek (Nurgiyantoro, 2013: 258). Peran tokoh tambahan biasanya tidak terlalu penting karenanya hanya ditampilkan sesekali. Pembedaan tokoh utama dan tambahan masih dapat digradasikan sebagai tokoh utama (yang) utama, utama tambahan, tokoh tambahan utama, tokoh tambahan (yang memang) tambahan (Nurgiyantoro, 2013: 260).

a) Tokoh Protagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik (Waluyo, 2014: 19). Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi oleh pembaca, tokoh menjadi penggambaran sosok ideal yang memiliki kesamaan dengan kita (Nurgiyantoro, 2013: 261). Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh protagonis adalah tokoh baik yang menjadi idola dan dapat mendatangkan rasa simpati dari pembaca.

b) Tokoh Antagonis

Tokoh antagonis adalah tokoh yang menentang arus cerita atau tokoh yang menimbulkan perasaan antipati pada diri pembaca (Waluyo, 2014: 19). Tokoh antagonis adalah tokoh yang menimbulkan konflik, karena bertentangan dengan tokoh protagonis.

(10)

Pertentangan yang terjadi dapat bersifat fisik, ataupun batin (Nurgiyantoro, 2013: 261). Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh antagonis adalah tokoh yang bertentangan dengan tokoh protagonis sehingga menimbulkan masalah atau konflik. 2) Perwatakan

Perwatakan adalah penggambaran watak tokoh-tokoh dalam suatu prosa atau novel (Rokhmansyah, 2014: 34). Sebagai individu, tokoh dalam karya sastra memiliki sifat dan watak-watak tertentu yang digambarkan oleh pengarang. Penggambaran watak tokoh tersebut dapat dilakukan oleh pengarang dengan berbagai teknik. Nurgiyantoro menjelaskan bahwa ada teknik penggambaran perwatakan dalam prosa fiksi yakni teknik penggambaran secara eksplositori, dan secara dramatik (Rokhmansyah, 2014: 34 – 35). Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat mengenai teknik penggambaran watak tokoh dari para ahli. Misalnya, Waluyo mengemukakan bahwa ada tujuh cara yang dapat dilakukan oleh pengarang untuk menggambarkan watak tokoh yakni a) penggambaran secara langsung; b) secara langsung dengan diperindah; c) melalui pernyataan oleh tokohnya sendiri; d) melalui dramatisasi; e) melalui pelukisan terhadap keadaan sekitar pelaku; f) melalui analisis psikis pelaku; dan g) melalui dialog pelaku-pelakunya.

Sedangkan Keney dalam Waluyo (2014: 22) menyebutkan ada lima teknik penampilan watak tokoh cerita yakni a) secara diskursif (pengarang menyebutkan watak para tokoh saru demi satu); b) secara dramatik (watak tokoh ditampilkan melalui dialog dan tingkah laku tokoh itu sendiri); c) melalui tokoh lain (watak ditampilkan melalui cerita dari tokoh lain); d) secara kontekstual (watak tokoh ditampilkan melalui konteks atau lingkungan yang dipilih oleh tokoh itu sendiri); terakhir adalah e) metode campuran (pengungkapan watak tokoh dengan mencampurkan teknik-teknik yang telah disebutkan di atas).

(11)

Kemudian Humpre dalam Waluyo (2014: 22) menyebutkan ada empat cara menampilkan watak tokoh, yakni a) teknik monolog interior; b) teknik monolog interior langsung; c) teknik pengarang serba tahu; dan d) teknik solilokui.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas penulis menyimpulkan bahwa dasar dari pembagian teknik penampilan watak tokoh adalah penampilan watak tokoh secara eksplositori, secara dramatik, dan penggabungan dari keduanya (campuran). Eksplositori penampilan tokoh dengan penceritaan langsung baik dari penulis, maupun dari tokoh lain, penggambaran watak secara dramatis melalui dialog ataupun tingkah laku tokoh dalam cerita, dan penggambaran watak campuran adalah penggabungan antara teknik eksplositori dan dramatis.

d. Latar dan Latar Belakang atau Setting

Latar atau setting adalah lingkungan tempat terjadinya suatu peristiwa (Semi dalam Rokhmansyah, 2014: 38). Lingkungan yang dimaksud bukan sekedar tempat, tapi juga termasuk waktu, dan suasana ketika sebuah peristiwa terjadi. Hal ini sepaham dengan pendapat Sumito yang membagi

setting atau latar ke dalam tiga kategori yakni latar waktu, tempat, dan sosial

(Wicaksono, 2014: 209). Latar tempat berkaitan dengan tempat kejadian atau terjadinya peristiwa dalam novel (geografis). Latar waktu berkaitan dengan urutan waktu kejadian atau historis sedangkan latar suasana atau sosial berkaitan dengan kehidupan masyarakat para tokoh dalam suatu karya sastra.

Setting atau latar bukan semata-mata sebagai tempat kejadian dalam

peristiwa, pemilihan setting pun akan sangat diperhitungkan oleh seorang pengarang. Penggambaran setting yang tepat akan menimbulkan kesan realistis kepada pembaca. Dengan demikian, pembaca dapat mengimajinasikan suasana tertentu yang seolah-olah dapat benar-benar terjadi. Setting yang digambarkan pengarang dalam sebuah karya sastra memiliki beberapa fungsi yakni 1) mempertegas watak pelaku; 2)

(12)

memberikan tekanan pada tema cerita; 3) memperjelas tema disampaikan; 4) metafora bagi situasi psikis pelaku; 5) sebagai pemberi atmosfir (kesan); 6) memperkuat posisi plot (Waluyo, 2014: 23).

e. Sudut Pandang Pengarang atau Point of view

Pengertian sudut pandang menurut Stanton adalah posisi yang menjadi pusat kesadaran tempat untuk memahami setiap peristiwa dalam cerita (2012: 53). Pengarang memilih posisi yang dirasa tepat untuk menyampaikan peristiwa dalam cerita sehingga pesan yang disampaikan lebih mudah ditangkap oleh pembaca. Pengertian lain mengenai sudut pandang disampaikan Waluyo (2014: 25) yakni teknik yang digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam cerita. Dari kedua pendapat di atas dapat dikatakan bahwa sudut pandang adalah posisi pengarang dalam menyampaikan cerita.

Posisi pengarang dalam menyampaikan cerita secara garis besar dibedakan ke dalam dua macam yakni persona pertama gaya “aku”, dan persona ketiga gaya “dia” (Nurgiyantoro, 2013: 339). Sudut pandang dengan gaya “aku” adalah posisi di mana pusat cerita terdapat pada pengarang sebagai tokoh aku. Sedangkan sudut pandang persona ketiga gaya “dia” adalah posisi di mana pusat cerita terdapat pada tokoh lain yang diceritakan dengan kata ganti dia.

Pendapat lain menyatakan bahwa sudut pandang dapat dibedakan menjadi empat yakni narator serba tahu, narator bertindak objektif, narator (ikut) aktif, dan narator sebagai peninjau (Kosasih, 2012: 70 – 71). Dalam suatu karya sastra (novel) pengarang bisa menempatkan dirinya di lebih dari satu sudut pandang. Hal tersebut bisa saja terjadi dikarenakan adanya peralihan pusat cerita (Wicaksono, 2014: 252). Penggunaan lebih dari satu sudut pandang ini dinamakan penggunaan sudut pandang campuran.

Narator serba tahu, dalam posisi ini narator bertindak sebagai pencipta segalanya. Pengarang mengetahui segalanya. Ia mengetahui perasaan,

(13)

kesadaran, ataupun jalan pikiran para tokoh cerita. Pengarang dapat melakukan apapun yang diinginkannya dalam cerita yang ditulisnya.

Narator bertindak objektif, dalam posisi ini pengarang bertindak sebagai narator yang hanya menceritakan apa yang terjadi melalui tingkah laku para tokoh. Pengarang sama sekali tidak memberikan komentar mengenai jalan pikiran tokoh. Sehingga dalam hal ini pembaca sendirilah yang menentukan bagaimana sikap dan jalan pikiran tokoh tersebut.

Narator (ikut) aktif, dalam posisi ini pengarang adalah narator yang terlibat dalam jalannya cerita. Cara ini nampak dalam penggunaan kata ganti orang pertama oleh pengarang. Di sini narator atau pengarang tidak dapat membaca pikiran tokoh lain, ia hanya dapat menafsirkan atau mengira-ira melalui tingkah laku tokoh lain.

Narator sebagai peninjau, dalam teknik ini pengarang memilih satu tokohnya untuk bercerita. Seluruh kejadian cerita kita ikuti bersama tokoh ini. Tokoh ini bisa menceritakan tentang pendapatnya atau perasaannya sendiri. Sedangkan, untuk tokoh lain Ia hanya menceritakan apa yang dilihatnya saja. Teknik ini hampir mirip dengan teknik penokohan orang pertama, hanya saja teknik ini lebih bebas dan fleksibel dalam bercerita. f. Dialog atau Percakapan

Di dalam sebuah prosa terutama novel umumnya terdapat dialog atau percakapan para tokoh. Dialog-dialog yang ditampilkan merupakan salah satu cara penggambaran interaksi antara tokoh yang satu dengan yang lain.

Dialog dihadirkan oleh pengarang bukan semata-semata percakapan tanpa tujuan. Dialog dapat berfungsi memperkongkret watak dan kehadiran pelaku dalam sebuah cerita. Diaolog juga berfungsi untuk memperhidup karakter tokoh dalam suatu cerita (Waluyo, 2014: 25). Dialog-dialog tokoh dalam sebuah novel biasanya bersifat natural, atau wajar tidak dibuat-buat, bahasa dan kata-kata yang digunakan adalah bahasa dalam kehidupan sehari-hari.

(14)

g. Gaya Bercerita

Gaya bercerita bisa diartikan sebagai gaya atau cara pengarang dalam menyampaikan ceritanya. Ada pengarang yang dalam menyampaikan ceritanya dengan santai dan menggunakan bahasa yang ringan, ada pengarang yang bersikap menggurui, ada pengarang yang bersikap memberi berita seperti wartawan, dan lain-lain ( Waluyo, 2014: 26).

Selain ketujuh unsur pembangun yang telah disebutkan di atas, Sudjiman menambahkan satu unsur pembangun yakni amanat cerita (1988:57). Sependapat dengan Sudjiman bahwa dalam sebuah karya sastra terdapat amanat yang dapat diambil oleh penikmat sastra maka peniliti menambahkan amanat sebagai unsur pembangun prosa yang kedelapan. h. Amanat Cerita

Amanat yakni nasehat yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, termasuk nilai-nilai yang hendak ditanamkan kepada pembaca (Maskurun, 2010: 51) melalui cerita yang disajikan. Amanat adalah suatu ajaran moral, atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang, amanat bisa berupa jalan keluar atau penyelesaian sebuah masalah dalam karya sastra.

Amanat dapat disajikan pada sebuah karya sastra secara eksplisit ataupun implisit (Sudjiman, 1988:57). Amanat disampaikan secara implisit jika jalan keluar atau ajaran moral disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang berakhirnya suatu cerita dalam karya sastra, sedangkan amanat disajikan secara eksplisit jika pada tengah atau akhir cerita pengarang manyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan, dan sebagainya berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita itu (Sudjiman, 1988: 57-58).

(15)

3. Psikologi Sastra

Seiring berkembangnya penelitian ilmiah di bidang sastra, objek kajian strukturalisme dinilai tidak relevan apabila digunakan untuk menggali kekayaan kebudayaan suatu bangsa melalui sastra (Ratna, 2015:327). Terlebih lagi sastra nusantara sangatlah beragam, dan sangat perlu untuk dikaji secara lebih mendalam guna membedah kekayaan adat serta budaya nusantara. Untuk mengatasi masalah di atas, muncullah pendekatan baru dalam penelitian sastra yakni penggabungan beberapa disiplin ilmu ke dalam satu penelitian untuk meneliti sebuah karya sastra. Penelitian yang demikian itu pada umumnya disebut pendekatan multidisiplin (Ratna, 2015: 330), atau bisa juga disebut interdisiplin. Ratna juga menjelaskan tiga model penelitian yang dianggapnya sesuai dengan khazanah sastra Indonesia yakni: sosiologi sastra, psikologi sastra, dan antropologi sastra.

Tidak semua pendekatan multidisiplin dijelaskan dalam penelitian ini, melainkan hanya akan fokus pada pendekatan psikologi sastra. Psikologi sastra adalah penggabungan dua disiplin ilmu yakni ilmu psikologi dan ilmu sastra.

Berangkat dari keinginan untuk meneliti sisi kemanusiaan inilah muncul penelitian multidisiplin psikologi sastra. Psikologi adalah ilmu yang menyelediki dan mempelajari tingkah laku manusia (Atkinson dalam Minderop, 2013: 3). Jatman berpendapat bahwa karya sastra dan psikologi memiliki pertautan yang erat secara tak langsung dan fungsional. Pertautan tak langsung karena keduanya memiliki objek kajian yang sama yaitu kehidupan manusia (Suaka, 2014:229). Oleh karena itu, ilmu psikologi dapat dimanfaatkan dalam penelitian sastra untuk menganalisis sisi kejiwaan manusia yang terkait dengan karya sastra. Hal tersebut senada dengan pernyataan bahwa kajian psikologi sastra adalah penelitian sastra yang memanfaatkan teori-teori kejiwaan untuk mengetahui tokoh-tokoh dalam karya, perilaku pengarang, bahkan perilaku sosial pembaca (Emzir & Rohman, 2015: 191). Ratna yang menyatakan bahwa tujuan psikologi sastra secara definitif adalah untuk memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya (2015: 324). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa psikologi sastra adalah

(16)

penelitian sastra yang memanfaatkan teori-teori psikologi untuk memahami aspek kejiwaan tokoh dalam karya sastra. Akan tetapi, dalam penelitian psikologi sastra, sastralah yang memiliki porsi lebih dominan dibandingkan dengan porsi ilmu psikologi (Ratna, 2015: 349). Maksudnya sastralah yang menentukan teori psikologi yang akan digunakan dalam penelitian, bukan sebaliknya.

Diterangkan dalam Ratna ( 2015: 343) ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dan sastra, yaitu :

1. Memahami unsur- unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis.

2. Memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra. 3. Memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.

Pendapat Ratna tersebut sejalan dengan dengan yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren dalam Suaka (2014: 225) yang menyebutkan bahwa psikologi dapat memasuki bidang sastra melalui beberapa jalan, yakni:

1. Pembahasan tentang proses penciptaan.

2. Pembahasan psikologi terhadap pengarangnya (baik sebagai tife, maupun sebagai seorang pribadi).

Kedua poin di atas sama dengan memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, karena berkaitan dengan bagaimana suatu karya sastra dapat tercipta hal ini berhubungan dengan proses kreatif yang dilalui penulis dalam menciptakan atau menulis novel.

3. Pembicaraan tentang ajaran dan kaidah psikologi yang dapat ditimba dari karya sastra.

4. Pengaruh karya sastra terhadap pembacanya.

Untuk poin tiga dan empat sama halnya dengan memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca. Disebabkan oleh adanya pesan moral dalam sebuah karya sastra maka kemungkinan sastra tersebut dapat berpengaruh terhadap keadaan psikologis pembaca.

(17)

Akan tetapi, dalam hal ini Wellek dan Waren tidak menyebutkan adanya keadaan psikologis tokoh-tokoh fiksi yang diciptakan pengarang dalam karya sastra yang diciptakan. Pendapat Ratna mengenai pemahaman antara sastra dan psikologi melalui pemahaman terhadap tokoh-tokoh fiksional dalam novel sejalan dengan pernyataan para peneliti yang menganut aliran psikologi dalam menganalisis sebuah karya sastra, selain mencoba menganalisis jiwa pengarang lewat karyanya, melalui pengetahuan tentang persoalan-persoalan lingkungan psikologi yang diketahuinya tanpa menghubungkan hal tersebut dengan biografi pengarang (Suaka, 2014: 226). Itu artinya peneliti hanya fokus pada persoalan lingkungan psikologi tokoh dalam karya sastra tanpa menghiraukan latar belakang pengarang.

Penelitian ini akan berfokus pada pemahaman karya sastra melalui pemahaman unsur kejiwaan tokoh dalam karya sastra. Telah dijelaskan bahwa novel Ibuk adalah sebuah novel nonimajinatif maka tokoh dalam novel itu benar nyata adanya. Teori yang akan digunakan dalam menganalisis tokoh dalam novel ini adalah teori kepribadian humanistic-Abraham Maslow mengenai kebutuhan manusia yang disusun secara bertingkat.

4. Teori Kepribadian Humanistik-Abraham Maslow

“Psikologi humanistik adalah suatu aliran psikologi yang dipelopori oleh Abraham.H. Maslow” (Meliala, 1988). Teori humanistik ini sering disebut mahzab ke tiga dalam ilmu psikologi, yang mana mahzab pertama adalah psikoanalisis klasik dari Freud dan mahzab ke dua adalah behaviorisme radikal dari Skinner (Hall & Lindzey, 2000: 10 – 11).

Menurut Maslow psikoanalisis Freud terlalu intrapsyche dan terlalu mencari diri manusia dalam batas-batas badan saja, sehingga menjadi corak dinamis dari energi psikis, sedangkan behaviorisme dianggapnya terlalu mekanistis (Brouwer dkk, 1982: 47). Dari kekurangan yang ditemukan Maslow dalam teori-teori Freud dan Watson, akhirnya Maslow menemukan teorinya sendiri yakni mengenai eksistensi seorang manusia dengan teori humanistik (Brouwer, dkk., 1982: 47). Maslow tertarik pada sisi positif manusia karena

(18)

kekagumannya kepada dua gurunya yang telah Ia anggap sebagai malaikat pelindung dan ketidaksetujuannya akan sikap dan pandangan ibunya yang tidak memiliki rasa cinta kasih bahkan terhadap anaknya sendiri. Dengan teorinya tersebut Maslow ditetapkan sebagai bapak psikologi (Mendari, 2010: 85).

Menurut Maslow tingkah laku manusia lebih ditentukan oleh kecenderungan individu untuk mencapai tujuan agar kehidupan si individu lebih berbahagia dan memuaskan (Minderop, 2013; 49). Yang mana tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh manusia adalah kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Proses-proses motivasional manusia inilah yang kemudian menjadi inti atau sumber dari teori Maslow (Koeswara, 1986: 118). Maslow dalam Hall & Lindzey (2000: 109 – 110) membedakan kebutuhan menjadi dua yakni kebutuhan dasar (basic needs) dan metakebutuhan-metakebutuhan

(metaneeds). Kebutuhan dasar adalah kebutuhan-kebutuhan akibat kekurangan,

sedangkan metakebutuhan-metakebutuhan (metaneeds) adalah kebutuhan untuk pertumbuhan (Hall & Lindzey, 2000: 109 – 110).

Kebutuhan dasar dalam teori Maslow adalah kebutuhan fisiologi, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan kepemilikan dan cinta, serta kebutuhan akan penghargaan (Harper & Guilbault, 2008: 633). Sedangkan metakebutuhan-metakebutuhan atau juga disebut dengan kebutuhan tumbuh adalah kebutuhan kognitif, kebutuhan estetika, dan kebutuhan aktualisasi diri (Harper & Guilbault, 2008: 634).

Inti dari teori Maslow ini adalah bahwa kebutuhan tersusun dalam sebuah hierarki. Kebutuhan ditingkat yang paling rendah adalah kebutuhan fisiologis, dan kebutuhan di tingkat yang paling tinggi adalah kebutuhan aktualisasi diri (Mendari, 2010: 84). Lebih singkatnya dapat dilihat pada gambar 1.

(19)

Gambar 1. Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow (Sumber: Harper & Guilbault, 2008: 634)

Sebelum dapat mencapai tingkat kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan lain yang lebih mendasar harus sudah terpenuhi terutama adalah kebutuhan fisiologis, karena kebutuhan inilah yang berpengaruh terhadap kelanjutan hidup makhluk hidup secara langsung (Samallo, 2012). Kebutuhan ditingkat yang lebih tinggi akan muncul bila sebagian besar kebutuhan di tingkat bawahnya telah terpenuhi. Artinya, kebutuhan-kebutuhan ditingkat yang lebih rendah tidak perlu terpenuhi seratus persen dulu agar kebutuhan berikutnya muncul (Olson &Hergenhahn, 2013: 843). Semakin seorang individu mampu memuaskan kebutuhan-kebutuhannya yang relatif lebih tinggi maka kepribadian individu tersebut akan lebih matang daripada individu yang hanya dapat memuaskan kebutuhan dasarnya (Maliala, 1988).

Kepuasan seseorang terhadap kebutuhan memiliki tingkat yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dicerminkan dari motiv-motiv yang melatarbelakangi pemebuhan kebutuhan tersebut. Motiv pemenuhan kebutuhan sendiri digolongkan menjadi dua yakni D-Motives dan B-Motives (Olson & Hergenhahn, 2013: 46). D-Motives (motif defisien) adalah motif yang timbul karena mengalami kekurangan terhadap suatu kebutuhan. Sedangkan

B-Motives adalah motive pemenuhan kebutuhan yang di dorong oleh keinginan

(20)

Bagan yang terdapat dalam gambar 1 di atas akan dijelaskan secara lebih rinci dalam uraian sebagai berikut ini.

a. Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs)

Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan pokok manusia, yang tanpanya manusia tidak dapat dikatakan hidup secara normal. Kebutuhan- kebutuhan tersebut bersifat lahiriyah, dan dibutuhkan manusia sejak lahir hingga meninggal. Adapun kebutuhan-kebutuhan pokok yang dimaksud berupa tiga kebutuhan pokok atau primer yakni sandang, pangan, dan papan (Suryantini, 2011: 1). Demi memenuhi kebutuhan- kebutuhan tersebutlah manusia mau bekerja. Kebutuhan ini timbul akibat adanya kekurangan. Maka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di atas, manusia didorong oleh

D-motives.

Kebutuhan fisiologis ini dibutuhkan manusia secara terus-menerus dan kosisten. Bagi sebagian orang untuk memenuhi kebutuhan fisiologi ini tidaklah susah. Maka timbul pertanyaan “ apa yang akan terjadi pada keinginan manusia apabila kebutuhan akan makanan dan kebutuhan fisiologis lainnya telah terpenuhi?” dari pertanyaan di atas teori Maslow memberi jawaban manusia akan terdominasi oleh kluster kebutuhan berikutnya yang lebih tinggi dalam posisinya di dalam hierarki kebutuhan (Olson & Hargenhahn, 2013: 840).

b. Kebutuhan akan Rasa Aman (Safety Needs)

Kebutuhan akan keamanan selain mengarah pada keamanan fisik tetapi juga rasa aman secara psikologis (Mendari, 2010: 86). Jika fisik tidak mendapat ancaman maka secara psikologis hati manusia akan merasa tentram. Yang termasuk dalam kelompok kebutuhan ini adalah struktur, keteraturan, kertertiban, keamanan dan dapat terprediksi (Oslo dan Hargenhahn, 2013: 840). Tujuan utama dari pemenuhan kebutuhan ini adalah untuk mengurangi ketidakpastian di dalam hidup (Olson dan Hargenhahn, 2013: 841).

(21)

c. Kebutuhan akan Kepemilikan dan Cinta (Belongingness and Love Needs)

Kebutuhan kelompok ini terdiri dari kebutuhan akan kasih sayang dan memiliki (Mendari, 2010:6). Termasuk dalam kebutuhan ini juga kebutuhan akan pertemanan, dan persahabatan, dukungan keluarga, pengidentifikasian diri dengan kelompok, dan hubungan intim (Olson dan Hargenhahn, 2013: 841).

Manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak bisa hidup sendiri selamanya. Oleh karena itu, manusia memiliki keperluan untuk hidup bersama seseorang, dan merasa memiliki orang lain dalam hidupnya agar tak merasa kesepian serta untuk membantunya mengatasi masalah-masalah yang hadir dalam kehidupannya.

d. Kebutuhan akan Penghargaan (Esteem Needs)

Menurut Maslow kebutuhan akan penghargaan seseorang dapat dikategorikan ke dalam dua kebutuhan penghargaan. Pertama adalah harga diri, dan kedua adalah penghargaan dari orang lain (Samallo, 2012). Termasuk dalam kelompok kebutuhan ini adalah pengakuan orang lain yang menghasilkan perasaan memperoleh prestise, penerimaan dan status, maupun penghargaan diri yang menghasilkan perasaan adekuat, kompeten dan kepercayaan diri.

Kurangnya pemenuhan kebutuhan ini memiliki akibat pelemahan semangat dan rasa inferior ─memiliki kualitas rendah sebagai anggota masyarakat─ (Olson dan Hargenhahn, 2013: 841). Seseorang yang hidup berdampingan dengan orang lain, tentunya merasa ingin berguna bagi orang lain, dengan adanya rasa kebermanfaatan bagi orang lain manusia akan semakin percaya diri. Percaya bahwa dirinya dibutuhkan, dan memperoleh pengakuan serta penghargaan dari orang lain.

(22)

e. Kebutuhan Kognitif (Cognitive Needs)

Kebutuhan kognitif adalah kebutuhan pertama dalam kelompok kebutuhan untuk pertumbuhan (metaneeds). Termasuk di dalam kebutuhan ini adalah kebutuhan untuk mengetahui, memahami, dan mengeksplor atau menjelajahi dunia (Harper & Guilbault, 2008: 635).

Pemenuhan kebetuhan ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dalam kelompok defisien-need (Olson &Hergenhahn, 2013: 844). Kebutuhan akan pengetahuan dapat eksis di tingkatan kebutuhan manapun. Dalam pemenuhan kebutuhan fisiologis, manusiapun membutuhkan pengetahuan. Dengan dimilikinya pengetahuan, manusia dapat berpikir tentang cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lain.

f. Kebutuhan Estetika ( Aesthetic Needs)

“Aesthetic needs, the second growth need group on the hierarchy, are defined as needs to appreciate, seek, and strive for beauty, symmetry, and order in the world and in one’s environment” (Harper & Guilbault, 2008:

634). Kutipan di atas menyatakan bahwa kebutuhan estetika merupakan kebutuhan kedua dalam kelompok metakebutuhan (growth needs). Termasuk di dalam kebutuhan estetika adalah menghargai, mencari, berusaha untuk kecantikan, simetri, dan ketertiban di suatu lingkuangan serta dunia.

Maslow meyakini dua hal mengenai kebutuhan estetika. Pertama yakni bahwa kebutuhan estetika adalah kebutuhan yang bersifat instingtoid yaitu kebutuhan yang memang melekat sejak lahir. Kedua kebutuhan estetika akan terekspresikan secara penuh dalam diri orang-orang yang telah mencapai tahap aktualisasi diri (Olson & Hargenhahn,2013: 845)..

g. Kebutuhan akan Aktualisasi Diri (Self- Actualization Needs)

Aktualisasi diri adalah keinginan manusia untuk membuktikan potensi terbaik dari dirinya. Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan di mana manusia harus bisa menjadi manusia sejati sesuai hakikatnya sendiri, misalnya seorang musisi menghasilkan musik, seniman menghasilkan karya

(23)

seni, ketika mereka dapat berdamai dengan dirinya sendiri atau dengan kata lain tidak ada paksaan untuk itu semua (Olson dan Hargenhahn, 2013: 842). Dengan kemampuan terbaiknya, selain dapat berguna bagi diri sendiri juga akan bermanfaat bagi orang-orang disekitarnya. Akan tetapi, aktualisasi diri ini bukan sekedar untuk mencari penghargaan dari orang lain, melainkan lebih pada kepuasan batin seseorang.

5. Pendidikan Karakter

Krisis moral yang diderita bangsa Indonesia semakin hari semakin menjadi. Hal tersebut terbukti dengan semakin meningkatnya pergaulan bebas, kasus kekerasan anak-anak dan remaja, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi bahkan pejabat negeri pun tak lepas dari keruntuhan moral dengan semakin banyak terungkapnya kasus korupsi.

Berdasarkan masalah di atas untuk memperbaiki moral bangsa tercetuslah gagasan pendidikan karakter. Linckona berpendapat bahwa karakter berkaitan dengan konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral (Haryanto, 2012). Pada dasarnya semua manusia adalah baik. Manusia diciptakan dengan dilengkapi akal pikiran dan hati nurani untuk selalu berbuat kebaikan. Akan tetapi, proses interaksi dengan lingkungan membentuk karakter yang akhirnya berwujud perilaku keseharian (Dirjen Dikdas, 2011). Dalam tulisannya, Haryanto juga memaparkan beberapa pengertian pendidikan karakter dari para ahli, adapun pemaparannya sebagai berikut:

a. Pendidikan karakter menurut Linckona

Pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga orang tersebut dapat memahami, memerhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti.

b. Pendidikan karakter menurut Suyanto

Suyanto dalam Haryanto (2012) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.

(24)

Dari pendapat di atas dapat dismpulkan bahwa pendidikan karakter adalah upaya untuk menjadikan peserta didik memiliki perilaku yang khas yang beracu pada kebaikan. Sebagaimana pernyataan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar (Dirjen dikdas) yang menyatakan bahwa karakter adalah perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai berdasrkan norma agama, kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat dan estetika. (dirjen dikdas, 2011).

c. Pendidikan karakter menurut Kertajaya

Kertajaya dalam Haryanto (2012) karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu.

Dengan adanya gagasan untuk membangun karakter bangsa maka pemerintah membuat kebijakan agar di sekolah-sekolah kini juga memberikan bahan mengenai pendidikan karakter. Pembangunan karakter bangsa melalui bidang pendidikan dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2. Pembangunan Karakter Bangsa melalui Bidang Pendidikan (Sumber: kemdikdas dalam dirjen dikdas, 2011)

(25)

Gambar 2 merupakan proses pembangunan karakter bangsa melalui bidang pendidikan yang diharapkan dapat membentuk generasi muda masa depan bangsa Indonesia. Melalui pengetahuan tentang agama, pancasila, UUD 145, teori dan bahan ajar serta pengalaman yang dilalui seseorang akan menumbuhkan nilai-nilai luhur dalam diri seseorang. Agar nilai-nilai luhur tersebut dapat tertanam dalam diri seorang individu maka perlu adanya pembiasaan berperilaku terpuji. Kebiasaan tersebut dapat terjadi apabila ada kerjasama antara lembaga pendidikan, keluarga individu, dan lingkungan masyarakat individu. Dengan terciptanya kebiasaan berperilaku luhur akan dihasilkan pula perilaku yang berkarakter dan perilaku berkarakter inilah yang diharapkan dari generasi muda masa depan bangsa Indonesia.

Untuk merealisasikan pendidikan karakter ini kemendiknas telah membuat desain pendidikan karakter yang mana desain tersebut berisi nilai-nilai yang harus diimplementasikan kepada peserta didik atau siswa. Nilai adalah sesuatu yang menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi, pandangan atau maksud dari beragam pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat (Ismawati, 2013: 18). Adapun nilai-nilai tersebut berjumlah delapan belas (kemdiknas, 2010: 9 – 10), sebagaimana terlihat dalam tabel 1 berikut ini:

(26)

Tabel 1. Delapan Belas Nilai-Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

Nilai Deskripsi

1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang

dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang

yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan

3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,

pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai

ketentuan dan peraturan.

5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi

berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil

baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam

menyelesaikan tugas-tugas.

8. Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan

kewajiban dirinya dan orang lain.

9. Rasa Ingin

Tahu

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

10.Semangat

Kebangsaan

Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

11.Cinta Tanah

Air

Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

12.Meng-hargai

Prestasi

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

13.Bersahabat/

Komunikatif

Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14.Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa

senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15.Gemar

Membaca

Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16.Peduli Lingkungan

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17.Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain

dan masyarakat yang membutuhkan.

18.Tanggung

Jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

(27)

Selain delapan belas nilai pendidikan karakter, kemdiknas juga merumuskan pendidikan anti korupsi. Adapun nilai-nilai yang harus dikembangkan dalam pendidikan anti korupsi berjumlah sembilan (Manullang, 2013: 4) yakni:

Tabel 2. Pendidikan Anti Korupsi

Nilai-Nilai yang Dikembangkan dalam Pendidikan Anti Korupsi 1. Jujur 2. Disiplin 3. Tanggung jawab 4. Kerja keras 5. Sederhana 6. Mandiri 7. Adil 8. Berani 9. Peduli (Sumber: Manullang, 2013: 4)

Karakter suatu bangsa tentunya sangat dipengaruhi oleh karakter masing-masing individu yang menjadi penduduk bangsa tersebut. Oleh karena itu, untuk mewujudkan budaya dan karakter bangsa yang positif, terlebih dahulu harus dibangun karakter positif dalam masing-masing individu terutama untuk para generasi muda penerus bangsa, juga para pemimpin bangsa. Seperti yang dinyatakan oleh Naim (2012: 133) bahwa keberadaan sebuah negara ditentukan karakter masyarakatnya. Dari tabel 1 dapat dijelaskan secara rinci mengenai deskripsi dari setiap nilai yang ada untuk dapat menciptakan manusia berkarakter, yakni sebagai berikut :

1) Religius

Sifat religius atau religiusitas sangatlah penting dalam kaitanya membangun karakter seseorang. Religiusitas merupakan sikap yang paling penting, yang dibutuhkan manusia untuk dapat hidup di jalan yang benar. Dengan sikap religius ini, sangat besar kemungkinan seseorang memiliki nilai-nilai lain yang dibutuhkan dalam pembentukan karakter seseorang. Karakter yang dimaksud tentunya adalah karakter yang positif.

(28)

Sifat religius seringkali dikaitkan dengan kehidupan beragama. Apapun agama yang dianut seseorang ketika orang itu mempercayai dan mengamalkan dengan baik ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupan yang dijalani maka orang tersebut dapat dikatan religius. Seperti yang dinyatakan oleh Mustari (2011: 2) yakni manusia religius adalah manusia yang memiliki keyakinan bahwa semua yang ada di alam semesta ini adalah bukti yang jelas terhadap adanya Tuhan. Religius adalah sikap yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain (Kemdiknas, 2010: 9). Religius adalah penghayatan dan implementasi ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari (Naim, 2012: 124). Religius adalah nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan (Mustari, 2011: 1).

Pembentukan sikap religius ini tidaklah mudah, karena menyangkut keyakinan dan perilaku yang benar-benar tulus dari dalam diri seseorang. Oleh karena itu, religiusitas haruslah ditanamkan kepada seseorang sedini mungkin. Pembentukan sikap ini dapat terlaksana jika ada kerjasama antara keluarga, lingkungan pendidikan, dan lingkungan sosial dalam menciptakan lingkungan yang religius.

2) Jujur

Jujur berarti mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi yakni selarasnya apa yang diucapkan dengan apa yang dipikirkan dan apa yang diperbuat. Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan (Kemdiknas, 2010: 9). Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan (Mustari, 2011: 16).

Realisasi sikap jujur ini sangatlah memerlukan kerja keras. Seperti halnya sikap religius, sikap jujur ini pun harus ditanamkan sejak dini dan harus ada kerjasama antara berbagai pihak dalam menciptakan lingkungan masyarakat yang jujur, sehingga menjadikannya sebuah kebiasaan. Mengajarkan kejujuran tidak cukup hanya dengan penjelasan lisan, akan

(29)

tetapi diperlukan sebuah keteladanan (Naim, 2012: 135). Dengan kejujuranlah hidup akan terasa lebih tenang dan damai. Tidak ada hal yang perlu ditutupi.

3) Toleransi

Telah kita ketahui bersama bahwa Bangsa Indonesia sangat terkenal dengan keragamannya. baik keragaman suku, adat, budaya, serta agama. Keragaman ini sangatlah memungkinkan timbulnya berbagai konflik dan pertikaian. Oleh karena itu, sikap toleransi sangatlah dibutuhkan untuk menghindari berbagai konflik dan pertikaian yang muncul akibat keberagaman.

Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya (Kemdiknas, 2010: 9). Toleransi berarti sikap membiarkan ketidaksepakatan dan tidak menolak pendapat, sikap, ataupun gaya hidup yang berbeda dengan pendapat, sikap, dan gaya hidup sendiri (Naim, 2012: 138). Toleransi adalah sikap tenggang rasa (menghargai, membiarkan, dan membolehkan) pendapat yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri ( Kurniawan & Hendarsih, 2013: 130).

Sikap toleransi lahir dari adanya sikap menghargai diri yang tinggi (Naim. 2012: 139). Adanya rasa saling menghargai maka tidak akan muncul rasa iri dan dengki dari dalam diri. Sikap toleransi akan mencegah pemaksaan terhadap suatu kehendak.

4) Disiplin

Disiplin mungkin salah satu sifat yang akan sulit untuk dikembangkan dalam masyarakat Indonesia. Betapa tidak, sepertinya sikap tidak disiplin sudah sangat mendarah daging di dalam masyarakat, hingga muncul islitah “jam karet”, istilah ini sangat terkenal di kalangan masyarakat untuk tertundanya suatu acara dari waktu yang telah ditentukan. Bahkan “jam karet” ini telah menjadi hal yang bisa dimaklumi dalam kehidupan.

(30)

Sebenarnya disiplin bukan hanya berkaitan dengan masalah waktu, tetapi juga masalah lain yang terkait dengan peraturan yang telah ditetapkan. Lemahnya sikap disiplin ini juga ditunjukkan dengan munculnya semboyan “ peraturan itu dibuat untuk dilanggar”.

Disiplin adalah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan (Kemdiknas, 2010: 9). Disiplin adalah sikap menaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan tanpa pamrih (Naim, 2012: 143). Disiplin juga dapat diartiakan keteraturan hal ini sejalan sejalan dengan pendapat Mustari (2011: 49) yakni berlatih degan disiplin setiap hari, walaupun sebentar akan sangat berpengaruh daripada berlatih berjam-jam tetapi esok dan lusanya tidak.

Salah satu kiat sukses yang banyak disampaikan oleh orang-orang yang sukses adalah disiplin, salah satunya adalah pernyataann Mustari (2011:49) bahwa disiplin adalah kata kunci kemajuan dan kesuksesan. Dengan demikian, dapat diketahui betapa pentingnya sikap disiplin dalam kehidupan sehari-sehari. Bagaimana bisa Bangsa Indonesia menjadi negara besar yang maju apabila masyaraktnya tidak mengutamakan kedisiplinan dalam hal-hal yang dilakukan.

5) Kerja Keras

Selain disiplin hal yang sangat diperlukan untuk mencapai kesuksesan adalah kerja keras. Kerja keras yang dimaksud adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya (Kemdiknas, 2010: 9). Kerja keras juga sering disebut dengan pantang menyerah. Artinya seseorang yang gagal sekali harus berani mencoba lagi hingga ia berhasil melakukan apa yang diinginkan. Kerja keras juga sangat berkaitan dengan kedisiplinan. Seperti kata Zainudin dalam Naim (2012: 150) bahwa kerja keras membutuhkan disiplin diri.

(31)

Zaman sekarang adalah zaman serba instan. Apabila sejak dini seseorang telah dikenalkan dengan segala sesuatu yang instan maka akan sangat sulit untuk membuatnya mau bekerja keras demi memenuhi keinginannya. Hal tersebut akan berakibat buruk bagi kepribadiannya, yakni mereka lebih melihat hasil daripada proses.

“Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian, bersakit –sakit dahulu bersenang-senang kemudian”, begitulah kata pepatah. Tidak ada keberhasilan tanpa adanya proses dan kerja keras. Kerja keras dapat ditandai dengan hal-hal berikut (Mustari, 2011: 52):

a. Menyelesaikan tugas dalam batas waktu yang ditargetkan b. Menggunakan segala kemampuan/ daya untuk mencapai sasaran

c. Berusaha mencari berbagai alternative pemecahan ketika menemui hambatan.

6) Kreatif

Menjadi kreatif sangatlah dibutuhkan dalam era globalisasi ini. Kreatif dibutuhkan dari segala segi kehidupan. Dengan menjadi kratif seseorang akan terus maju dan berkembang. Pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan Naim (2012: 154) yakni nilai kreatif dalam kerangka character

building harus ditumbuhkembangkan untuk mewujudkan kemajuan. Kreatif

adalah berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki (Kemdiknas, 2010: 9). Kreatif berarti menciptakan ide-ide dan karya baru yang bermanfaat (Mustari, 2011: 88).

Robert B. Sund dalam Naim (2012: 157 – 158 ) mengemukakan tiga belas ciri individu kreatif yakni: a. berhasrat ingin mengetahui; b. bersikap terbuka terhadap pengalaman baru; c. panjang akal dan penalaran, d. berkeinginan untuk menemukan dan meneliti; e. cenderung lebih suka mengerjakan tugas yang berat dan sulit; f. mencari jawaban yang memuaskan dan komprehensif; g. bergairah, aktif, dan berdedikasi tinggi dalam melakukan tugasnya; h. berpikir fleksibel dan mempunyai banyak alternative; i. menanggapi pertanyaan dan kebiasaan serta memberikan

(32)

jawaban lebih banyak; j. mempunyai kemampuan membuat analisis dan sintesis; k. mempunyai kemampuan membuat abstraksi-abstraksi; l. memiliki semangat inquiry (mengamati/ menyelidiki masalah); m. memiliki keluasan dalam kemampuan membaca.

7) Mandiri

Era modern seperti sekarang ini menuntut setiap individu untuk dapat menyelasaikan hal-hal yang dihadapinya dengan tidak bergantung pada orang lain. Berusaha untuk mengatasi masalah tanpa menggantungkan pertolongan dan belas kasihan dari orang lain. Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas (Kemdiknas, 2010: 9).

Mandiri bukan berarti bersikap individualistis. Sikap mandiri justru akan lebih baik jika dikembangkan dengan landasan kepedulian tinggi terhadap orang lain (Naim, 2012: 163). Maksud dari pernyataan di atas adalah karena kita peduli pada orang lain, maka sebaiknya kita menyelesaikan masalah kita sendiri tanpa merepotkan pihak lain.

Dalam menumbuhkan kemandirian terhadap seseorang lebih baik bila dilakukan pada saat yang tepat yakni tidak terlalu cepat atau terlalu lambat. Akan tetapi, dilakukan ketika anak telah dianggap mampu. Seperti kutipan berikut ini:

Kita harus belajar membiarkan mereka, tetapi pembiaran ini pun ada saatnya. Jika kita membiarkan mereka terlalu cepat, anak kita mungkin akan mendapatkan perasaan tidak aman daripada independen. Sebaliknya, kika kita membiarkannya terlalu telat, kita mungkin telah membuat anak berkebiasaan tergantung pada kita (Mustaari, 2011: 99).

Penumbuhan sikap kemandirian ini dapat dilakukan orang tua dengan memberikan kebebasan kepada anaknya untuk melakukan kegiatan-kegiatan sendiri tanpa campur tangan kedua orang tua.

(33)

Akan tetapi, bukan berarti orang tua lantas lepas tangan dan tidak mengawasi setiap kegiatan yang dilakukan oleh anaknya. Orang tua memberikan kebebasan dengan pengawasan. Dengan kebebasan yang disertai pengawasan dari orang tua diharapkan seorang anak akan dapat menentukan hal-hal yang dianggapnya benar dan melakukan hal tersebut dengan penuh tanggung jawab.

8) Demokratis

Dalam suatu pemerintahan demokrasi memiliki arti kekuasaan atau undang-undang yang berakar kepada rakyat (Naim, 2012: 165). Akan tetapi dalam konteks pendidikan karakter yang dimaksud demokrasi adalah cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain (Kemdiknas, 2010: 10).

Persamaan hak pernyataan bahwa dalam masyarakat demokratis hanya ada satu kelas warganegara yang setara yang mendefinisikan status umum bagi semua (Mustari, 2011: 168). Artinya masing-masing individu atau warga negara memiliki kesetaraan dalam hal apapun tanpa ada perbedaan kasta dan kelas sosial.

9) Rasa Ingin Tahu

Salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lain adalah manusia diberi akal dan pikiran oleh sang pencipta. Akal yang ditanamkan dalam diri manusia inilah yang kemudian menimbulkan atau mendorong rasa ingin tahu (Naim, 2012: 171). Rasa ingin tahu juga salah satu sikap yang dibutuhkan untuk suatu kemajuan. Tanpa adanya rasa ingin tahu hidup manusia akan statis, atau begitu-begitu saja tanpa ada kemajuan dan perkembangan.

Rasa ingin tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar (Kemdiknas, 2010: 10). Dengan adanya rasa ingin tahu maka manusia akan terus belajar guna mendapatkan jawaban dari segala apa yang tidak dimengerti. Belajar merupakan salah satu cara menuju pada

(34)

perubahan-perubahan seperti perubahan pada aspek pengetahuan manusia; perubahan pada aspek sikap dan/ atau kemauan; perubahan pada aspek perilaku, praktik, dan ketrampilan manusia; perubahan pada aspek kinerja dan unjuk kerja atau performace (Naim, 2012: 172). Semua perubahan yang disebutkan di atas, tentunya adalah perubahan dari yang semula kurang baik menjadi lebih baik.

Begitu besar manfaat yang diperoleh dari adanya sikap ingin tahu maka sikap ini haruslah ditumbuhkembangkan, dirawat, dan diberi jawaban secara benar (Naim, 2012: 173). Peranan orang tua dalam menghadapi rasa ingin tahu seorang anak adalah dengan membantunya mendapatkan jawaban yang benar dan memuaskan bagi rasa ingin tahunya anak tersebut.

10) Semangat Kebangsaan

Sikap lain yang perlu dikembangkan dalam pembangunan karakter bangsa adalah semangat kebangsaan. Apabila semangat kebangsaan ini telah tertanam dalam diri masyarakat suatu bangsa, maka akan semakin kokoh bangsa itu berdiri. Rasa semangat kebangsaan inilah juga yang akan mengukuhkan arti dan makna penting sebagai warga negara (Naim, 2012: 173). Semangat kebangsaan adalah di mana masyarakat memimiki cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya (Kemdiknas, 2010: 10).

Dimilikinya rasa semangat kebangsaan oleh masyarakat suatu bangsa, maka akan membuat bangsa tersebut tidak perlu khawatir akan eksistensinya. Ketika setiap hal yang dilakukan oleh masyarakat dan para pejabat negara adalah untuk kepentingan bangsa dan bukan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan tentu bangsa tersebut akan menjadi bangsa yang makmur, dan maju.

(35)

Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh guna meningkatkan semangat kebangsaan yakni: pertama, mempertinggi tingkat pendidikan yang mana pendidikan berfungsi untuk melahirkan kemampuan menyeleksi kebudayaan asing. Kedua, mengusahakan generasi muda untuk dapat mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Ketiga mempertebal keimanan dan pengalaman agama. Keimanan inilah yang akan menjadikan daya tahan luar biasa dalam menghadapi berbagai perubahan dan keragaman informasi (Naim, 2012: 175).

11) Cinta Tanah Air

Semangat cinta tanah air akhir-akhir ini mulai terkikis. Banyak generasi muda yang lebih suka dan bangga terhadap kebudayaan dan produk asing dari pada kebudayaan dan produk sendiri. Terbukti dengan maraknya produk-produk asing yang beredar daripada produk sendiri. Produk asing telah mengalahkan citra produk lokal, mulai dari barang-barang kebutuhan rumah tangga, pakaian, sampai dunia hiburan. Hal ini diakibatkan pola pikir masyarakat yang keliru, yakni anggapan bahwa menggunakan produk asing akan meningkatkan status sosial mereka (Kurniawan & Hindarsih, 2013: 258).

Masyarakat kurang menghargai produk lokal. Hal tersebut sangat berbahaya apabila tidak diatasi. Memngingat sekarang ini adalah era perdangan bebas, yang menjadikan produk-produk lokal harus bersaing dengan produk asing. Apabila masyarakat sendiri kurang menghargai produk lokal bisa-bisa eksistensi bangsa akan lenyap. Untuk itu, sangat perlu dikembangkan rasa cinta terhadap tanah air, yakni cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa (Kemdiknas, 2010: 10). Rasa cinta tanah air sering disamakan dengan pengertian rasa nasionalisme (Mustari, 2011: 189).

(36)

Siapalagi yang akan menghargai dan membanggakan suatu bangsa apabila bukan masyarakatnya sendiri? Banyak negara maju yang alasan dari kemajuan mereka adalah lebih menghargai, mengelola, mengembangkan, dan mendukung apa yang telah mereka miliki. Maka sikap cinta tanah air dapat diwujudkan dengan dalam berbagai hal misal menghargai jasa para tokoh/pahlawan nasional, bersedia menggunakan produk dalam negri, menghargai keindahan dalam dan budaya Indonesia, hapal lagu-lagu kebangsaan, memilih berwisata di dalam negri, dan masih banyak lagi hal lain yang dapat kita lakukan untuk mencintai tanah air kita, Indonesia (Mustari, 2011: 195).

12) Menghargai Prestasi

Akan sangat menyenangkan apabila kita sebagai mayarakat suatu bangsa bisa saling memotivasi untuk mendapatkan suatu prestasi. Prestasi merupakan akumulasi dari usaha, kegigihan, kerja keras, dan semangat untuk menjadi yang terbaik (Naim, 2012: 180). Adanya proses dan kerja keras untuk bisa mendapatkannya, maka sangatlah penting untuk dapat menghargai suatu prestasi yang telah dicapai. Menghargai prestasi adalah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain (Kemdiknas, 2010: 10).

Adanya penghargaan terhadap prestasi akan menimbulkan semangat untuk selalu berprestasi. Selain itu, penciptaan lingkungan yang kompetitif juga akan meningkatkan motivasi untuk berprestasi. Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa untuk mencapai prestasi bukanlah hasil yang menentukan, akan tetapi proses yang telah dijalani. Seperti yang dinyatakan Naim (2012: 180) bahwa tidak akan berarti suatu prestasi yang diraih dengan cara yang tidak jujur atau licik.

(37)

13) Bersahabat/ Komunikatif

Sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, manusia dituntut untuk menjalin relasi dengan orang-orang disekitar. Dalam menangani sesuatu hal agar bisa mencapai hasil yang maksimal tentu akan sulit jika dilakukan sendiri. Namun bukan berarti bergantung pada orang lain.

Agar dapat menjalin relasi dengan baik dibutuhkan kemampuan komunikasi yang baik, dan sikap ramah yang bersahabat, sehingga menimbulkan rasa nyaman bagi orang lain. Bersahabat adalah tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain (Kemdiknas, 2010: 10). Hubungan persahabatan bukan sekedar hubungan untuk mencapai tujuan kemudian setelah tujuan tercapai hubungan tersebut berakhir. Persahabatan adalah hubungan yang terbangun karena tanpa ada tujuan atau tujuan kemanusiaannya yang lebih dominan, biasanya hubungan semacam ini lebih awet (Naim, 2012: 181).

Pentingnya komunikasi dalam sebuah hubungan termasuk persahabatan adalah untuk dapat menjadikan hubungan lebih kompak dan rukun. Komunikasi yang baik dapat menghindarkan dari kesalahpahaman yang dapat meruntuhkan rasa kebersamaan. Komunikasi yang baik pula akan dapat menjadikan seseorang mengelola emosi diri terhadap sahabat. Dalam hubungan persahabatan tidak ada pamrih di dalamnya. Segala hal yang dilakukan untuk sahabat adalah tulus, bukan hanya untuk kepentingan sendiri melainkan juga kebahagiaan sahabat kita. Alangkah inndahnya apabila persahabatan kita tanamkan dimanapun. Hidup akan terasa lebih indah dan mudah.

Gambar

Gambar 1. Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow   (Sumber: Harper & Guilbault, 2008: 634)
Gambar 2. Pembangunan Karakter Bangsa melalui Bidang Pendidikan  (Sumber: kemdikdas dalam dirjen dikdas, 2011)
Tabel 1. Delapan Belas Nilai-Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Gambar 3. Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman

Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat dipergunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada

Penerapan media poster untuk meningkatkan partisipasi belajar siswa dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Sedangkan untuk mengetahui tingkat akuntabilitas tersebut, perlu adanya Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) yang merupakan bahan utama untuk monitoring dan evaluasi

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemerintahan desa, dari 1945 sampai 2005 memberikan posisi eksistensi Desa Pakraman, mengalami pasang surut, hal