• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN MODAL SOSIAL ORANG SUNDA MELALUI KAJIAN SEJARAH PAGUYUBAN PASUNDAN DI TASIKMALAYA: studi naturalistik inkuiri terhadap peserta didik SMA pasundan 1 tasikmalaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN MODAL SOSIAL ORANG SUNDA MELALUI KAJIAN SEJARAH PAGUYUBAN PASUNDAN DI TASIKMALAYA: studi naturalistik inkuiri terhadap peserta didik SMA pasundan 1 tasikmalaya."

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

SMA Pasundan 1 Tasikmalaya)

(TESIS)

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan Sejarah

Oleh:

Haryyana Suhendar

1302608

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

SMA Pasundan 1 Tasikmalaya)

Oleh

Haryyana Suhendar

S.Pd Universitas Pendidikan Indonesia, 2007

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Sekolah Pascasarjana

© Haryyana Suhendar Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)

DI TASIKMALAYA

(Studi Naturalistik Inquiri terhadap Peserta Didik SMA Pasundan 1 Tasikmalaya)

Disetujui dan disahkan oleh pembimbing Pembimbing,

ttd

Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd NIP.19570408 198403 1 003

Diuji, Penguji I

ttd

Dr. Agus Mulyana, M.Hum NIP. 19660808 199103 1 002

Penguji II

ttd

H. Didin Saripudin, M.Si., Ph.D NIP. 19700506 199702 1 001

Penguji III

ttd

Prof. Helius Sjamsuddin, M.A., Ph.D

Mengetahui,

Ketua Program Studi PendidikanSejarah Sekolah Pascasarjana UPI

ttd

(4)

ABSTRAK

PENERAPAN MODAL SOSIAL ORANG SUNDA MELALUI KAJIAN SEJARAH PAGUYUBAN PASUNDAN DI TASIKMALAYA

(Studi Naturalistik Inkuiri terhadap Peserta Didik SMA Pasundan 1 Tasikmalaya)

Oleh : Haryyana Suhendar (1302608)

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya fenomena krisis budaya akibat terjadinya globalisasi, dimana nilai-nilai kearifan lokal seakan mulai hilang ditelan waktu. Hal ini juga terjadi dengan lingkungan pendidikan, dimana peserta didik telah terkontaminasi dengan pengaruh globalisasi.

Pendidikan sebagai proses mempengaruhi dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada generasi selanjutnya diharapkan mampu untuk membuat sebuah perubahan dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal.

Paguyuban Pasundan sebagai organisasi yang dari awal pendiriannya bergerak dalam bidang pendidikan berkomitmen untuk terus melestarikan budaya Sunda. Hal ini terlihat dari eksistensi lembaga pendidikan di bawah naungan Paguyuban Pasundan yang mendengungkan nilai-nilai kearifan lokal budaya Sunda silih asih – silih asah – silih asuh. Akan tetapi bagaimana implementasi di lapangan? Hal ini lah yang diteliti dalam penelitian ini, khususnya dalam pembelajaran sejarah. Hasil penelitian memperlihatkan bahwasanya desain sampai dengan proses pembelajaran memegang peranan penting untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal pertama yang dilaksanakan adalah dengan membuat desain pembelajaran. Desain pembelajaran yang terdiri dari silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran dengan kompetensi dasar Pergerakan Kebangsaaan sampai dengan Pendudukan Jepang dengan mengambil materi sejarah lokal peranan Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya. Selain itu pula, integrasi nilai-nilai kearifan lokal budaya Sunda yang didesain guru dilaksanakan secara improvisasi sesuai dengan situasi dan kondisi di dalam kelas.

Implementasi pembelajaran sejarah dilaksanakan guru dengan menggunakan teknik pembelajaran Sydney micro skills, dimana teknik ini sangat berpengaruh di dalam kelas kecil dan juga memperkuat keterampilan guru dalam mengajar. Integrasi nilai-nilai kearifan lokal budaya Sunda diimplementasikan guru dalam proses pembelajaran.

Hasil pembelajaran sejarah dengan integrasi nilai kearifan lokal budaya Sunda silih asih – silih asah – silih asuh memperlihatkan kesadaran sejarah yang kemudian memunculkan solidaritas dan diharapkan menjadi sebuah modal sosial bagi peserta didik dalam mengarungi kehidupannya di masa depan.

Solusi untuk menanggulangi kendala yang muncul dalam pembelajaran sejarah dengan integrasi nilai kearifan lokal Sunda adalah dengan mengimplementasikan misi sekolah secara optimal dalam rangka pemeliharaan dan pengembangan budaya daerah.

(5)

ABSTRACT

APPLICATION SOCIAL CAPITAL OF SUNDANESE

THROUGH PAGUYUBAN PASUNDAN HISTORY IN TASIKMALAYA (Study of the Naturalistic Inquiry Students Senior High School Pasundan 1

Tasikmalaya)

By: Haryyana Suhendar (1302608)

This research is motivated by the crisis of cultural to the phenomenon of globalization, where the values of local wisdom as ranging lost in time. It is also the case with the educational environment, where students have been contaminated with the influence of globalization.

Education as a process of influencing and pass on cultural values to the next generation will be able to make a change by promoting the values of local wisdom.

Paguyuban pasundan as an organization that from the beginning of its establishment is engaged in the field of education is committed to continuously preserve Sundanese culture. This is evident from the existence of educational institutions under the auspices of the Paguyuban Pasundan aplicated local wisdom values Sundanese silih asih – silih asah – silih asuh. But how implementation in the field? This is the one that is researched in this study, particularly in the teaching of history.

The results showed that the design up to the learning process plays an important role to achieve the learning objectives. The first thing done is to make the learning design. Instructional design which consists of a syllabus and lesson plan with basic competencies movement Nationality until the Japanese occupation by taking the role of local history material Paguyuban Pasundan in Tasikmalaya. Besides that, the integration of the values of local wisdom Sundanese designed improvised teachers implemented in according with the situation and conditions in the classroom.

Implementation of teaching history teacher conducted using Sydney micro skills learning techniques, where the technique is highly influential in small classes and also strengthen teachers' skills in teaching. Integration of the values of local wisdom Sundanese implemented teacher in the learning process.

Learning outcomes of history with the integration of the cultural values of local wisdom Sundanese silih asih – silih asah – silih asuh awareness of history shows that then led to solidarity and is expected to become a social capital for learners as it navigates his life in the future.

Solutions to overcome obstacles that arise in the integration of teaching history with local wisdom Sundanese is to implement the school's mission optimally in the maintenance and development of regional culture.

(6)

DAFTAR ISI

Lembar Pernyataan ... i

Kata Pengantar ... ii

Ucapan Terima Kasih ... iii

Abstrak ... v

Abstract ... vi

Daftar Isi ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 13

C. Masalah Penelitian ... 14

D. Tujuan Penelitian ... 14

E. Manfaat Penelitian ... 14

F. Paradigma Penelitian ... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan dan Kesadaran Sejarah ... 17

1. Pendidikan Sejarah ... 17

2. Kesadaran Sejarah ... 20

B. Modal Sosial ... 25

C. Kearifan Lokal Budaya Orang Sunda ... 34

1. Kearifan Lokal ... 34

2. Budaya Orang Sunda ... 38

3. Ungkapan Tradisional Silih Asih-Silih Asah-Silih Asuh ... 42

D. Perkembangan Paguyuban Pasundan ... 48

E. Pembelajaran Sejarah Lokal ... 57

F. Penelitian Terdahulu ... 60

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Subyek Penelitian ... 65

B. Metode Penelitian ... 67

C. Instrumen Penelitian ... 69

D. Teknik Pengumpulan Data ... 73

E. Teknik Analisis Data ... 77

1. Data Reduction (Reduksi Data) ... 78

2. Data Display/Penyajian Data ... 79

3. Conclution Drawing/Veryvication ... 80

(7)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Sekolah ... 85

1. Identitas SMA Pasundan 1 Tasikmalaya ... 85

2. Visi, Misi dan Strategi SMA Pasundan 1 Tasikmalaya ... 87

3. Sejarah SMA Pasundan 1 Tasikmalaya ... 87

4. SMA Pasundan 1 Tasikmalaya sekarang ... 90

B. Desain Pembelajaran Penerapan Modal Sosial Orang Sunda dalam kajian Sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya ... 92

1. Hasil Penelitian ... 92

2. Pembahasan ... 99

C. Implementasi Pembelajaran Penerapan Modal Sosial Orang Sunda dalam kajian Sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya ... 115

1. Hasil Penelitian ... 115

2. Pembahasan ... 122

D. Hasil Pembelajaran Penerapan Modal Sosial Orang Sunda dalam kajian Sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya ... 142

1. Hasil Penelitian ... 142

2. Pembahasan ... 147

E. Solusi menghadapi Kendala dalam Pembelajaran Penerapan Modal Sosial Orang Sunda dalam kajian Sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya ... 154

1. Hasil Penelitian ... 154

2. Pembahasan ... 157

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 163

B. Rekomendasi ... 165

DAFTAR PUSTAKA ... 167

RIWAYAT HIDUP ... 175

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap daerah di Indonesia memiliki kebudayaan tradisional yang luar

biasa. Kebudayaan tradisional tersebut adalah sebuah kekayaan bagi bangsa

Indonesia, dimana berbagai kebudayaan tradisional yang terbentuk merupakan

hasil dari karya, cipta dan karsa manusia dalam menghadapai tantangan alam

dalam ruang dan waktu. Hasil kebudayaan tersebut terus menerus digunakan

dalam masyarakat.

Kebudayaan tradisional atau kearifan lokal itu sudah berabad-abad

dijadikan pandangan hidup oleh masyarakat ketika dihadapkan kepada

permasalahan kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal tersebut biasanya mengatur:

(1) pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi, (2) pandangan hidup

tentang manusia dengan lingkungan masyarakat, (3) pandangan hidup tentang

manusia dengan alam, (4) pandangan hidup tentang manusia dengan Tuhan, (5)

pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriyah dan

kepuasan batin (Warnaen, 1987, hal. 8).

Namun seiring berjalannya waktu, era globalisasi datang dan tak bisa

dihadang, kebudayaan tradisional pun seakan-akan lenyap ditelan waktu.

Kearifan-kearifan lokal seolah-olah dilupakan oleh masyarakatnya. Masyarakat

digempur habis-habisan oleh budaya luar yang banyak tidak sesuai dengan budaya

kita. Pengaruh globalisasi ini telah membuat masyarakat kita cenderung

materialistis, hedonis, egois, dan konsumtif.

Terjadinya globalisasi menghasilkan dampak positif maupun negatif yang

ditimbulkan. Dampak positif dari pengaruh globalisasi sudah bisa kita rasakan

sendiri, yaitu teknologi yang semakin canggih, kemajuan alat transportasi dan

ilmu pengetahuan lebih luas. Tetapi dalam sisi negatifnya, pengaruh dari

globalisasi ini adalah banyak kebudayaan Barat yang ikut memboncengi masuk di

(9)

muda yang lebih memilih kebudayaan Barat daripada kebudayaan tradisionalnya.

Hal ini dikarenakan pola pikir (mindset) yang menganggap bahwa kebudayaan

Barat itu lebih modern dan lebih populer, sehingga kesadaran mereka dalam

melestarikan kebudayaan tradisional menurun.

Fenomena tersebut telah menyebabkan keberadaan kebudayaan tradisional

di negara kita mulai memprihatinkan tergerus oleh arus globalisasi. Padahal negara kita yang „Bhineka Tunggal Ika‟ itu adalah sebuah negara yang memiliki beraneka ragam jenis budaya. Keberagaman kebudayaan ini sebenarnya

merupakan kekayaan bangsa yang harus tetap dijaga. Apabila tetap dibiarkan

maka kebudayaan itu dengan sendirinya akan hilang ditelan zaman.

Realitas yang seperti ini, sebenarnya dapat diminimalisir dengan melalui

pendidikan. Pendidikan seperti yang dikatakan Durkheim, merupakan proses

mempengaruhi yang dilakukan oleh generasi orang dewasa kepada mereka yang

belum siap untuk melakukan fungsi-fungsi sosial. Sasarannya adalah melahirkan

dan mengembangkan sejumlah kondisi fisik, intelek, dan watak sesuai dengan

tuntutan masyarakat secara keseluruhan dan oleh lingkungan khusus tempat ia

akan hidup dan berada (Ballantine, 1985, hlm. 22). Berdasarkan pengertian

tersebut, pendidikan dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini selaras pula

dengan perspektif Durkheim, persepsi individu tentang kepentingan pribadinya

tidak dibentuk dalam isolasi dari sesamanya, melainkan dibentuk oleh

kepercayaan bersama serta nilai-nilai yang dianut bersama orang lain dalam

masyarakat (Johnson, 1990, hlm. 173).

Memperkokoh pondasi masyarakat dapat dilakukan melalui proses

pendidikan, karena melalui pendidikan nilai-nilai yang berkembang dan dianut

oleh masyarakat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut

Dewey, pendidikan dilaksanakan melalui peran serta individu di dalam kesadaran

sosial rasnya. Proses tersebut dimulai secara tidak disadari nyaris sejak lahir, terus

berkelanjutan membentuk kemampuan individual, memenuhi kesadarannya,

membentuk berbagai kebiasaannya, melatih gagasannya, membangkitkan

perasaan dan emosinya. Lewat pendidikan yang tidak disadari, individu secara

(10)

dikumpulkan umat manusia. Ia menjadi pewaris simpanan modal peradaban.

Pendidikan yang paling formal dan paling teknis di dunia tidak bisa menyingkir

secara aman dari proses umum. Ia hanya bisa mengorganisir proses itu atau

membuatnya berbeda dalam arah-arah tertentu saja (O‟neal, 2002, hlm. 380).

Salah satu upaya pendidikan adalah dengan adanya sebuah lembaga

pendidikan yang kita kenal dengan nama „sekolah‟. Berkenaan dengan sekolah,

Dewey menjelaskan bahwa sekolah merupakan lembaga sosial. Pendidikan adalah

proses sosial, sekolah merupakan bentuk kehidupan komunitas dimana seluruh

agennya dipusatkan, bagian yang menjadi paling efektif dalam membawa anak

untuk berbagi sumber daya warisan rasnya, dan untuk membantu anak

menggunakan kemampuan-kemampuannya sendiri demi mencapai tujuan sosial.

Jadi, pendidikan merupakan proses kehidupan dan bukan persiapan untuk hidup di

masa mendatang, sedangkan sekolah harus mewakili kehidupan di masa sekarang,

yaitu kehidupan nyata dan vital bagi anak sebagaimana yang dijalaninya di rumah, di lingkungan sekitar, serta di tempat bermain (O‟neal, 2002, hlm. 383). Berdasarkan pengertian tersebut, pendidikan tidak hanya diartikan sebagai

sekolah karena proses pembiasaan yang berlangsung di keluarga dan masyarakat

merupakan proses pendidikan juga, agar anak dapat menjalani kehidupannya

sesuai dengan kehidupan yang dijalaninya.

Pembiasaan tersebut adalah untuk menghadapi globalisasi. Ada benarnya

apa yang dikemukakan oleh para futurolog, seperti Naisbitt dan Aburdene

(Wiriaatmadja, 2002, hlm. 164) bahwa dalam proses homogenisasi global

terkandung sekaligus hasrat untuk tetap mempertahankan identitas, apakah yang

ditandai oleh agama, budaya, bahasa, nasionalitas, ataupun ras. Selain itu juga

seperti diungkap Zinn dan dikutip Ankersmit (1987, hlm. 358-359) mengatakan,

(11)

Ungkapan Zinn bertujuan memberi jawaban kepada pertanyaan, aspek-aspek

mana dalam masa silam paling berguna untuk diteliti.

Dalam tulisan “Kesadaran Sejarah dan Pembangunan”, Soedjatmoko

mengingatkan kita betapa pentingnya sebagai bangsa memiliki kesadaran sejarah.

Kesadaran sejarah diartikan sebagai suatu refleksi tentang kompkleksitas

perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh interaksi dialektis masyarakat yang

ingin melemparkan diri dari gangguan realitas yang ada. Melalui kesadaran

sejarah, manusia berusaha menghargai upaya mengungkapkan terhadap

kejadian-kejadian yang melingkupinya dan menghargai keunikan masing-masing keadaan.

Dengan kesadaran sejarah juga membantu manusia untuk waspada terhadap

pemikiran yang telalu sederhana, analogi yang terlalu dangkal serta penerimaan

pola-pola hukum yang terlalu mudah, mengarahkan jalannya sejarah ataupun

berada dalam cengkraman determinisme sejarah. Untuk mewujudkan kesadaran

sejarah seharusnya sebagai bangsa harus mampu mengambil makna atau pesan

moral pada setiap peristiwa, jika tidak maka dalam konteks ini akan mewujudkan

bahwa ketidakarifan dalam pemanfaatan kekayaan alam dan budi akal manusia itu

pada akhirnya akan menghancurkan eksistensi kemanusiaan dan peradabannya

sendiri (Soedjatmoko, 1995a, hlm 63-71).

Dalam masa pembangunan dewasa ini, salah satu fungsi pendidikan adalah

mengembangkan kesadaran nasional sebagai daya mental dalam proses

pembangunan nasional dan identitasnya. Pendidikan dilakukan sebagai upaya

mempengaruhi generasi-generasi selanjutnya dapat dilakukan melalui sebuah

pendidikan sejarah. Mengapa sejarah? Karena sejarah sebagai ilmu yang

mempelajari tentang masa lalu. Dalam konteks pendidikan, sejarah adalah sebuah

pendidikan moral, penalaran, dan pendidikan politik, kebijakan, perubahan, masa

depan, keindahan, dan ilmu bantu (Kuntowijoyo, 2003, hlm. 35). Adapun tujuan

umum dan ideal pendidikan dan pengajaran sejarah adalah agar peserta didik

mampu memahami sejarah, memiliki kesadaran sejarah, dan memiliki wawasan

sejarah yang bermuara pada kearifan sejarah (Ismaun, 2005, hlm. 171). Hal ini

jelas sekali bahwa pendidikan sejarah memegang peranan penting dalam

(12)

Hamid Hasan (1999) dalam tulisannya “Pendidikan Sejarah untuk Membangun Manusia Baru Indonesia” membuat perspektif baru dengan berpijak kepada pengalaman masa lalu untuk memahami apa yang terjadi pada masa

sekarang. Secara tradisional tujuan pendidikan selalu dikaitkan atas pandangan “transmission of culture” (Hasan, 1999, hlm. 13). Pandangan tersebut sebenarnya menghendaki pendidikan sejarah sebagai pengetahuan yang diharapkan menjadi wahana pendidikan untuk mencapai “the glorious past” dalam arti agar generasi muda dapat menghargai hasil karya agung di masa lampau terutama untuk

memupuk rasa bangga (dignity) sebagai bangsa.

Selanjutnya perkembangan pendidikan sejarah seperti yang diungkap

Hasan (1999, hlm. 19):

Perkembangan dalam pendidikan sejarah terjadi pergeseran dari perenialisme ke esensialisme bahkan rekonstruksionisme sosial bergabung secara ekletik. Pendidikan sejarah tidak saja menjadi wahana memahami keagungan masa lampau dan pengembangan kemampuan intelektual tetapi juga menjadi wahana dalam upaya memperbaiki kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Berpikir sejarah, disatu sisi mampu menyelami masa lalu, mencoba memahami konteks jamannya (historical minded), dan pada bagian lainnya, memanfaatkan pemahaman tersebut menjadi proses “memanusiakan” manusia, sehingga dapat bertindak lebih paham, humanioris, berperasaan, arif, bijak, dan tentu menjadi penilaian serta pemikiran yang lebih jeli, teliti sekaligus kritis. Dengan kata lain, masa kini dan masa lalu dikontradiksikan menjadi awal sebuah perbandingan, dan sebuah sinkronisasi, agar dapat diperoleh pemahaman yang serupa, sama, tanpa mereduksi (mengurangi) makna masa lalu, dan menerapkan untuk kepentingan masa kini agar lebih manusiawi.

Kesadaran sejarah ini, adalah sikap mental, jiwa pemikiran yang dapat membawa

untuk tetap dalam rotasi sejarah. Artinya, dengan adanya kesadaran sejarah,

manusia seharusnya menjadi semakin arif dan bijaksana dalam memaknai

kehidupan ini. Dalam realitas yang nyata, pada proses pembelajaran sejarah di

sekolah, guru dan peserta didik tidak hanya: “bagaimana belajar sejarah, melainkan belajar dari sejarah”.

Tujuan pendidikan sejarah (Ismaun, 2001) tidak hanya ditujukan pada

pengetahuan akan peristiwa masa lalu tetapi harus lebih jauh yaitu memberikan

(13)

di sekolah tidak hanya memberikan pengetahuan saja kepada peserta didik,

melainkan memberikan kontribusinya untuk lebih menumbuhkan kesadaran

sejarah, baik pada posisinya sebagai anggota masyarakat maupun warga negara,

serta mempertebal semangat kebangsaan.

Keberhasilan dari sebuah peristiwa di masa lampau dapat ditularkan

melalui sebuah kesadaran sejarah, dimana kesadaran sejarah ini dapat terlihat dari

adanya perubahan perilaku manusia terhadap lingkungan dari sekarang sampai

dengan masa depannya. Hal ini dapat terlihat dari perilaku peserta didik dalam

kehidupan di lingkungannya, dimana peserta didik mampu mengaitkan informasi

baru dan kemudian akan mengkaitkannya pada informasi sejarah yang telah

dipahaminya. Seperti yang diungkap David Ausabel dengan teori belajar

bermaknanya (dalam Hariyono, 1995, hlm. 169) belajar akan menjadi bermakna

(meaningful), bila informasi yang dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan

struktur kognitif yang dimiliki oleh peserta didik. Menjadi bermakna dalam hal ini

yaitu peserta didik dapat mengkaitkan informasi barunya sesuai dengan struktur

kognitif yang dimiliki.

Hubungan sejarah dan pendidikan akan tampak jika dikaitkan dengan

proses pewarisan nilai, yakni nilai-nilai luhur yang dikembangkan oleh generasi

terdahulu yang perlu diwariskan pada generasi masa kini. Dalam konteks seperti

ini sejarah dapat kita pahami sebagai sekumpulan pengalaman hidup manusia

pada masa lampau dalam bentuk kisah, baik lisan maupun tertulis. Kesadaran

sejarah ini tidak saja penting untuk membangun kepribadian, melainkan juga

penting untuk mempersiapkan diri dalam rangka menghadapi tantangan pada

masa kini dan masa yang akan datang.

Adalah Paguyuban Pasundan, sebuah organisasi budaya Sunda yang

berdiri sejak tanggal 20 Juli 1913, sehingga menjadi salah satu organisasi etnisitas

tertua yang masih eksis sampai saat ini. Selama keberadaannya, organisasi ini

telah bergerak dalam bidang pendidikan, sosial-budaya, politik, ekonomi,

kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan. Paguyuban ini berupaya untuk

(14)

semua yang mempunyai kepedulian terhadap budaya Sunda (Suharto, 2002, hlm.

47; Ekadjati, 2004, hlm. 55).

Sesuai dengan yang tercantum dalam anggaran dasarnya, salah satu jalan

yang ditempuh Paguyuban Pasundan dalam mencapai cita-citanya dalam

memelihara budaya adalah melalui jalur pendidikan dan pengajaran. Upaya

pendirian sekolah dimulai dengan mendirikan Hollandsch-Inlandsche School

(HIS) Pasoendan di Tasikmalaya pada tahun 1922, diikuti pendirian Meer

Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Pasoendan, juga di Tasikmalaya, yang mendapat bantuan dari pemerintah. Sampai dengan tahun 1941 Paguyuban

Pasundan cabang Tasikmalaya berhasil mendirikan sebanyak tujuh sekolah

(Fallah, 2010, hlm. 81). Peristiwa di masa lalu yang menggambarkan keberhasilan

Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya dalam mengimplementasikan tujuan dari

didirikannya Paguyuban Pasundan.

Kebudayaan Sunda yang ditumbuhkembangkan oleh Paguyuban Pasundan salah satunya adalah filsafat Sunda, “silih asih – silih asah – silih asuh” yang telah menjadi ungkapan nasional. Ini terbukti dengan seringnya para pejabat

negara dalam berpidato atau memberikan pengarahan menyampaikan ungkapan

tersebut. Hal ini bisa dimaklumi karena konsep silih asih – silih asah – silih asuh merupakan konsep tradisional yang penting dalam membina hubungan antar

masyarakat, sekaligus mencegah terjadinya konflik (Suryani, 2008, hlm. 101;

Suryalaga, 2010, hlm. 123-124). Hal ini juga tercantum dari apa yang menjadi

strategi SMA Pasundan 1 Tasikmalaya pointer keenam yaitu

mengimplementasikan budaya sekolah silih asih – silih asah – silih asuh dalam kehidupan pribadi dan organsasi intansi sekolah.

Berdasarkan apa yang menjadi pengalaman penulis sebagai guru,

bahwasanya pembelajaran sejarah yang terfokus terhadap materi pelajaran yang

ada di dalam buku paket telah membuat peserta didik menjadikan pelajaran

sejarah sebagai pelajaran hapalan. Jarang sekali pemahaman akan keterampilan

sejarah atau bahkan kesadaran sejarah yang terangkat, hal ini juga terjadi di kelas

(15)

untuk mendapatkan pemahaman akan kesadaran sejarah bisa diperoleh dengan

pembelajaran sejarah lokal.

Mengapa perlu pembelajaran sejarah lokal? Hal ini seperti yang diungkap

oleh Robert Douch (dalam Mulyana & Gunawan 2007, hlm. 1) yang menyatakan

bahwa pembelajaran sejarah di sekolah sebaiknya lebih mudah dipahami peserta

didik dengan melihat langsung kehidupan yang nyata, bukan materi pelajaran

yang jauh dari realitas. Bahkan belajar yang baik dapat bersumber dari

pengalaman peserta didik sehari-hari. Kedekatan emosional peserta didik dengan

lingkungannya merupakan sumber belajar yang berharga bagi terjadinya proses

pembelajaran di kelas. Dimana peserta didik tidak terlepas dari identitas

komunitasnya di samping mereka harus memahami sejarah nasional. Seperti yang

diungkapkan Hasan (2012, hlm. 27) bahwa materi sejarah nasional sebagai “collective memory” harus dikembangkan oleh pendidikan sejarah. Identitas diri sebagai bangsa dikembangkan melalui pendidikan nasional dengan materi yang

diterima pada tingkat nasional pun terlalu didominasi oleh materi sejarah yang

terjadi di pulau Jawa. Tetapi, orang tidak mungkin melepaskan dirinya dari

identitas komunitas terdekatnya.

Adanya kecenderungan Indonesia sentries dalam penulisan sejarah, yang

pada hakikatnya sekaligus bisa kita anggap sebagai pencerminan yang makin

disadari arti penting dari kajian sejarah lokal itu, antara lain dikatakan, Widja

(1991, hlm. 15) dalam melakukan penelitian tentang sejarah lokal, kita tidak

hanya akan bisa memperkaya perbendaharaan Sejarah Nasional, tapi lebih penting

lagi memperdalam pengetahuan kita tentang dinamika sosio-kultural dari

masyarakat Indonesia yang majemuk ini secara lebih intim. Dengan begini kita

makin menyadari pula bahwa ada berbagai corak penghadapan manusia dengan

lingkungannya dan dengan sejarahnya. Selanjutnya pengenalan yang lebih

memperdalam pula kesadaran sejarah kita, yaitu kita diberi kemungkinan untuk

mendapatkan makna dari berbagai peristiwa sejarah yang dilalui.

Mengacu kepada Abdullah (2010, hlm. 28), sejarah lokal terbagi dalam 4

kelompok, yaitu: (1) Studi yang difokuskan pada suatu peristiwa tertentu (studi

(16)

menekankan pada struktur; (3) Studi yang mengambil perkembangan aspek

tertentu dalam kurun waktu tertentu (seringkali disebut dengan studi tematis), dan

(4) Studi sejarah umum yang menguraikan perkembangan daerah tertentu

(propinsi, kota, kabupaten) dari masa ke masa. Berdasarkan klasifikasi di atas,

salah satu peristiwa lingkungan terdekat tersebut dapat diambil dalam beberapa

bidang, seperti perkembangan ekonomi, sosial, atau budaya merupakan bagian

dari kelompok studi sejarah yang bersifat tematis. Bahkan dalam arus gerak

sejarah tak jarang peristiwa sejarah terjadi akibat dari perjuangan identitas, baik

identitas pribadi, golongan ataupun kelompok tertentu.

Jelas sekali, peranan pendidikan sejarah dalam menumbuhkembangkan

ataupun menjaga kebudayaan yang ada, dimana melalui pembelajaran sejarah

lokal dapat menciptakan sebuah sumber dalam pembelajaran. Kegiatan belajar

dan pembelajaran memerlukan sumber belajar untuk memperlancar tercapainya

tujuan belajar. Sumber belajar yang kontekstual tidak hanya berupa media di

dalam kelas, tetapi memiliki sumber yang luas. Tidak hanya berupa sumber

belajar bacaan, tetapi juga sumber belajar non bacaan, termasuk di dalamnya

kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar kehidupan peserta didik seperti adat

istiadat (Komalasari, 2010, hlm. 107).

Salah satu cara untuk sumber dalam pembelajaran sejarah hendaknya

peserta didik diajak melihat langsung kehidupan yang nyata dan dekat dengan

lingkungan peserta didik, bukan pada buku teks semata yang jauh dari realitas.

Seperti yang diungkapkan oleh Supriatna (2007a, hlm. 157) bahwa:

lingkungan sosial peserta didik merupakan sumber belajar yang sangat kaya bagi pembelajaran. Apabila dalam pembelajaran tradisional guru lebih banyak mengandalkan sumber berupa buku teks dan diceramahkan kembali di kelas maka pemanfaatan sumber dari luar kelas (lingkungan sosial) melalui berbagai strategi akan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran terutama dalam pembelajaran sejarah yang dekat dengat aspek sosial.

Berdasarkan pendapat di atas bahwa guru sebaiknya dalam menyajikan suatu

peristiwa sejarah kepada peserta didik, haruslah memberikan contoh pula terhadap

peristiwa sejarah yang dekat lingkungan peserta didik kemudian dikaitkan dengan

(17)

Peranan guru adalah menyediakan, menunjukkan, membimbing dan

memotivasi peserta didik agar mereka dapat berinteraksi dengan berbagai sumber

belajar yang ada. Bukan hanya sumber belajar yang sengaja dirancang untuk

keperluan belajar, melainkan juga sumber belajar yang telah tersedia. Semua

sumber belajar itu dapat kita temukan, kita pilih, dan kita manfaatkan sebagai

sumber belajar bagi peserta didik.

Pada kenyataannya, dewasa ini banyak para guru yang mengajar dengan

pola tradisional dan mengabaikan keterampilan-keterampilan yang sangat

mendasar. Keterampilan dasar mengajar ini adalah merupakan panduan

pengajaran dengan menggunakan perangkat “Sydney Micro Skills”

(Turney,1975). Adapun Keterampilan Dasar Mengajar ini adalah: (1)

keterampilan bertanya, (2) keterampilan memberi penguatan, (3) keterampilan

mengadakan variasi, (4) keterampilan menjelaskan, (5) keterampilan membuka

dan menutup pelajaran, (6) keterampilan memimpin diskusi kelompok kecil, (7)

keterampilan mengelola kelas, (8) keterampilan mengajar kelompok kecil dan

perorangan.

Guru inovatif hendaknya melihat pelajaran bukan sekedar pelajaran

bersifat teoritis, tetapi harus mampu menciptakan hal-hal praktis seperti nilai-nilai

kemandirian, membangun rasa yang sarat nilai, sangat penting

ditumbuhkembangkan kepada peserta didik. Peserta didik bukan hanya belajar

nilai-nilai kepahlawanan, nasionalisme dan lain-lain yang bersifat umum, namun

mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal sekitar seperti sikap mental mandiri,

berani/perkasa, ulet, tekun, aktif, kreatif, bermoral tinggi, memiliki kepekaan

lingkungan, mandiri, menjadi pencipta lapangan kerja dan bukan sekedar pencari

kerja akan menjadi benteng survival terhadap imperialisme ekonomi gaya baru

dari globalisasi (Wiriaatmadja, 2007, hlm. 217).

Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan dukungan

nilai karakternya memberikan peluang kepada guru sejarah untuk

mengembangkan sejarah di lingkungan sekitarnya sehingga membangun memory

(18)

mengetahui dan pada akhirnya bermuara pada kesadaran sejarah lingkungannya.

Akan tetapi, realitas di lapangan berkata lain, dimana terjadinya mis-interpretasi

terhadap kurikulum itu sendiri. Dampak dari anggapan tersebut, mereka masih

tetap melakukan pembelajaran yang konvensional. Padahal, kalau guru berpikir

dan bertindak kreatif, banyak sumber-sumber belajar sejarah di sekitar lingkungan

peserta didik untuk dikembangkan. Sumber-sumber belajar tersebut sangat

bermanfaat untuk mengembangkan kesadaran sejarah.

Salah satu upaya yang dilakukan dalam memahami masyarakat pada masa

lalu dapat dilakukan melalui pembelajaran sejarah lokal di lingkungan peserta

didik. Hal ini diupayakan agar pembelajaran sejarah dengan materi pembelajaran

sejarah lokal akan lebih mudah dipahami peserta didik dan melihat secara

langsung realitas kehidupan sesungguhnya di lingkungan terdekatnya.

Aspek-aspek sosial yang dapat dikaji dalam sejarah lokal dapat berupa perilaku individu

maupun kelompok dalam suatu komunitas tertentu. Perilaku tersebut dipengaruhi

oleh berbagai struktur, baik geografis, budaya, sosial, ekonomi dan lainnya.

Pembelajaran sejarah lokal di sekolah dapat dimulai dari lingkungan terdekat

hingga terjauh peserta didik. Hal terpenting adalah bagaimana peserta didik

diberikan pemahaman konsep-konsep dari sejarah yang dapat dijadikan alat

analisa oleh peserta didik dalam melihat realitas masyarakat yang senantiasa

mengalami perubahan (Mulyana & Gunawan, 2007, hlm. 4-7).

Dengan mengangkat materi sejarah lokal, peserta didik merasa ada

kedekatan emosional terhadap lingkungannya sehingga nilai genealogis,

kesadaran sejarah, dan kolektif memori akan terbangun dimulai dari lokalitas

menuju nasional. Hal ini sejalan dengan pemikiran Hasan (2012, hlm. 122) bahwa “posisi materi sejarah lokal dianggap penting karena pendidikan harus dimulai dari lingkungan terdekat dan peserta didik harus menjadi dirinya sebagai anggota masyarakat terdekat”. Sehingga pada akhirnya kesadaran sejarah akan identitas dirinya sebagai anggota masyarakat akan terwujud.

Salah satu upaya dalam mengangkat materi sejarah lokal adalah dengan

melakukan konsep social capital. Social capital (selanjutnya disebut modal sosial)

(19)

perhatian yang tinggi dengan mengkaji peranan dan implementasi modal sosial.

Menurut definisi World Banks (1999) adalah:

“social capital refers to the institution, relationship and norms that shape the quality and quantity of a society’s social interactions. Increasing evidence shows that social cohesion is critical for societis to prosperecomically and for developments to be sustainable. Social capital is not just the sum of the instituions (that) undepin a society – it is the glue that holds them together” (Halpern, 2005, hlm. 16).

Modal Sosial menjadi semacam perekat yang mengikat setiap individu dalam suatu komunitas. Di dalamnya berjalan “nilai saling berbagi” (shared values) serta pengorganisasian peran-peran (rules) yang diekspresikan dalam

hubungan-hubungan personal (personal relationships), kepercayaan (trust), dan common

sense tentang tanggung jawab bersama. Jadi, elemen utama dalam modal sosial mencakup norm, reciprocity, trust, dan network. Social capital tercipta dari

ratusan sampai ribuan interaksi antar orang setiap hari. Ia tidak berlokasi di diri

pribadi atau dalam struktur sosial, tapi pada space between people. Ia menjadi

pelengkap institusi. Modal sosial merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah,

yang berasal dari orang-orang yang membentuk koneksi sosial dan network yang

didasarkan atas prinsip kepercayaan dalam hubungan yang saling menguntungkan

(mutual reciprocity). Ia tidak dapat diciptakan oleh seorang individual, namun

sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat (Hasbullah, 2007).

Pembelajaran sejarah lokal perlu diperkenalkan kepada peserta didik agar

peserta didik dapat mengenali identitas kelokalannya maupun penghargaan

terhadap lokalitas atau identitas daerah lain dengan mempertimbangkan asas

belajar dan tahap perkembangan peserta didik. Mengingat pembelajaran sejarah

bukan hanya tanggung jawab guru pelajaran semata, maka pemerintah pusat dan

pemerintah daerah perlu memotivasi pelaksanaan pendidikan sejarah di sekolah

agar pembelajaran lokal dapat dilaksanakan (Supardan, 2004, hlm. 262).

Dengan melakukan pembelajaran sejarah lokal yang memanfaatkan

lingkungan sekitarnya, guru diharapakan dapat menghindari apa yang dikatakan

Wineburg (2008, hlm. 16) yang menilai selama ini sejarah yang diajarkan sekolah

(20)

mempelajari asal-usul daerah lain, namun tidak memahami asal-usul daerahnya

sendiri. Di sisi lain juga muncul persoalan yang terkait dengan kecurigaan dari

kelompok tertentu yang merasa tidak diuntungkan dalam kurikulum.

Pembelajaran sejarah lokal yang dapat diangkat di lingkungan SMA

Pasundan 1 Tasikmalaya dapat dilaksanakan dengan tidak keluar dari lingkungan

sekolah. Gedung yang menjadi kampus SMA Pasundan 1 Tasikmalaya adalah

saksi bisu dari haru-birunya perkembangan pendidikan di Tasikmalaya. Kampus

SMA Pasundan 1 yang terletak di Jl. Dewi Sartika Kota Tasimalaya (sekarang)

dulunya merupakan gedung bekas Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Pasundan

yang didirikan pada tahun 1922. HIS Pasundan ini adalah sebuah sekolah yang

dibangun oleh Paguyuban Pasundan dalam mengimplementasikan visi misinya

dalam bidang pengajaran. Keberadaan bangunan HIS Pasundan yang sampai

sekarang dipakai oleh SMP dan SMA Pasundan Tasikmalaya adalah sebuah bukti

eksistensi dari Paguyuban Pasundan yang berkomitmen dalam bidang pengajaran.

Selain itu pula dapat digunakan berbagai peristiwa sejarah mengenai apa yang

menjadi modal sosial Paguyuban Pasundan dalam menjaga eksistensi

organisasinya. Dimana hal ini tidak terlepas dari budaya Sunda yang ikut

dilestarikan oleh organisasi ini.

Dengan demikian, berdasarkan latar belakang masalah, penulis mengambil

judul penelitian “Penerapan Modal Sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya” (Studi naturalistik inquiri terhadap peserta didik SMA Pasundan 1 Tasikmalaya).

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka fokus penelitian ini

adalah bagaimana pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui

(21)

C. Rumusan Masalah Penelitian

Adapun rumusan masalah yang akan dikaji yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana desain pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda dalam

kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya?

2. Bagaimana implementasi pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda

melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya?

3. Bagaimana hasil yang diperoleh dengan pembelajaran penerapan modal sosial

orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya?

4. Bagaimana solusi dalam memecahkan kendala yang dihadapi dalam

pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah

Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin diperoleh dengan melakukan penelitian ini adalah:

1. Memperoleh desain pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda

melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya.

2. Memperoleh gambaran implementasi pembelajran penerapan modal sosial

orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya.

3. Mengidentifikasi hasil yang diperoleh dari pembelajaran penerapan modal

sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di

Tasikmalaya.

4. Mengidentifikasi solusi dalam memecahkan kendala yang dihadapi dalam

pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah

Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan informasi secara ilmiah mengenai kesadaran sejarah pada

peserta didik melalui penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian

(22)

b. Sebagai sumber data untuk penelitian kedepannya dalam memahami

lebih jauh mengenai pengaruh implementasi pembelajaran sejarah lokal

dengan mengintegrasikan nilai kearifan lokal dalam pembelajaran sejarah

terhadap pengembangan kesadaran sejarah peserta didik.

2. Manfaat Kebijakan

Memberikan informasi terhadap sekolah atau lembaga terkait melalui

pengembangan kesadaran sejarah pada peserta didik dengan menggunakan

pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah

Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya. Dengan demikian, informasi diharapkan

menjadi pertimbangan dalam materi sejarah pada kurikulum yang

dilaksanakan di sekolah.

3. Manfaat Praktis

a. Bagi guru yaitu sebagai motivasi dan bahan pertimbangan guru untuk

lebih memanfaatkan sejarah lokal untuk mengaitkannya dengan sejarah

nasional dalam merencanakan dan mengemas proses pembelajarannya

b. Bagi peserta didik yaitu diharapkan lebih mengenal, memahami dan

menghargai sejarah lokalnya yang merupakan bagian dari sejarah

bangsanya serta menjadi momentum kesadaran sejarahnya terhadap apa

yang ada di lingkungan sekitarnya.

c. Bagi sekolah yaitu meningkatkan prestasi sekolah melalui

inovasi-inovasi yang dilakukan oleh guru sehingga guru lain termotivasi untuk

meningkatkan profesionalisme.

F. Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian ini dibuat sebagai sebuah gambaran peta konsep

yang dilakukan untuk mempermudah dalam melihat kegiatan secara keseluruhan

maka dalam hal ini kalau dikaitkan dengan konsep berfikir yang dikembangkan oleh Kuhn (1970) dalam “The Structure of scientific Revolution” dapat dikemukakan sebagai berikut: paradigma I yang memiliki keterkaitan dengan

normal sains (normal science) dengan karakteristik pada tatanan ini sebagai gugus

(23)

melakukan studi itu telah diterima secara luas. Dalam hal ini Chalmers (1983,

hlm. 13) menyatakan, ”bahwa pengembangan ilmu bertitik tolak dari observasi,

dan observasi memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan

ilmiah di atasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari

keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi”.

Adapun bagan paradigma dari penelitian ini adalah:

(24)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian merupakan hal yang utama dalam sebuah penelitian.

Dengan adanya metode penelitian, peneliti akan mampu memecahkan masalah

yang ditelitinya. Pada bab ini, penulis menjabarkan komponen-komponen

metodologi penelitian yang meliputi: lokasi dan subjek, metode, desain,

instrumen, teknik pengumpulan data dan analisis penelitian. Adapun

penjabarannya adalah sebagai berikut:

A. Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Pasundan 1 Tasikmalaya. Aspek

pelaku adalah guru bidang studi sejarah dan peserta didik kelas XI IPS yang

nantinya terlibat interaksi belajar mengajar dan dari aspek kegiatan adalah proses

pembelajaran Sejarah. Adapun kelas yang akan diteliti adalah kelas XI IPS 1

SMA Pasundan 1 Tasikmalaya.

Alasan penelitian di lokasi ini dikarenakan bahwa sekolah ini adalah

sekolah yang dikelola oleh Yayasan Paguyuban Pasundan. Secara historis, lokasi

penelitian dahulunya merupakan sebuah sekolah yang didirikan oleh Paguyuban

Pasundan sebelum masa kemerdekaan. Dapat dikatakan keberadaan dari bangunan

yang telah berusia lebih dari 50 tahun dapat digolongkan ke dalam cagar budaya

serta pengelola yang tidak berubah yaitu Paguyuban Pasundan, sehingga

menimbulkan sebuah keunikan tersendiri, dimana lokasi ini dapat dikatakan

sebagai simbol dari identitas eksistensi Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya.

Subjek penelitian ini adalah guru dan peserta didik kelas XI IPS 1 SMA

Pasundan 1 Tasikmalaya sebanyak 13 orang yang terjadi dalam pembelajaran

sejarah. Pada penelitian ini yang diamati sebagai sumber manusia, peristiwa, dan

situasi. Manusia yang dimaksud adalah semua orang yang terlibat dalam

(25)

dimaksud adalah semua kejadian yang diamati selama kegiatan pembelajaran

berlangsung di dalam kelas. Sedangkan yang dimaksud dengan situasi adalah latar

atau gambaran yang menyangkut keadaan atau kondisi ketika berlangsung

pengamatan terhadap pengembangan pembelajaran oleh guru atau peneliti.

Pada penelitian ini, peneliti berusaha memperoleh berbagai macam data

yang berhubungan dengan penelitian. Data tersebut akan diperoleh dari semua

perkataan, tindakan, situasi, dan peristiwa yang dapat diamati oleh peneliti selama

kegiatan pembelajaran sejarah di kelas XI IPS 1 SMA Pasundan 1 Tasikmalaya.

Sedangkan sumber data tersebut yaitu dari guru, peserta didik, dan pihak-pihak

lain yang sesuai dengan penelitian ini.

Pemilihan subjek dalam penelitian ini, didasarkan pada pertimbangan

bahwa kelas XI IPS 1 perlu mendapatkan perhatian. Karena selama ini kelas

tersebut dianggap kelas yang kurang memiliki kemampuan akademik yang

memadai, kurang motivasi belajar, sering terlambat dalam mengikuti kegiatan

pembelajaran dan pasif dalam proses pembelajaran.

Lincoln dan Guba (1985, hlm. 39) mengemukakan bahwa karakteristik

penelitian kualitatif bersifat „emergent design‟, maksudnya bahwa peneliti melakukan riset pada fenomena yang muncul dan bukan mengkonstruksikan apa

fenomenanya dikarenakan peneliti ingin tahu sistem nilai-nilai yang muncul dari

fenomena tersebut yang akan dijadikan fungsi interaksi antara peneliti dengan

fenomena tersebut. Dalam penelitian kualitatif pada tahap awal penelitian dan

kemungkinan peneliti belum memiliki gambaran yang jelas tentang aspek-aspek

masalah yang akan ditelitinya, tetapi ia akan mengembangkan fokus penelitian

sambil berjalan dan saat mengumpulkan data. Penelitian ini, seperti yang

diungkap oleh Bodgan & Biklen (1992, hlm. 31) berusaha memahami makna

prilaku manusia dalam situasi tertentu, dalam hal ini guru dan peserta didik dalam

lingkungan kelas menurut persfektif peneliti sendiri

(26)

(naturalistik) sangat berbeda dengan penentuan sampel dalam penelitian

konvensional (kuantitatif). Sampel yang dipilih berfungsi untuk mendapatkan

informasi yang maksimum, bukan untuk digeneralisasikan.

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif

terutama data-data mengenai variabel-variabel terteliti. Berdasarkan jenis data

dalam penelitian ini, maka sumber data penelitian yang dapat memberi akses

terhadap data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi:

1. Guru sejarah, peserta didik, dan kepala sekolah

2. Proses pembelajaran sejarah di kelas

3. Literatur yaitu buku-buku, artikel dan media visual yang berkaitan dengan

modal sosial orang Sunda, pembelajaran sejarah lokal Paguyuban

Pasundan di Tasikmalaya dan kesadaran sejarah.

B. Metode Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif (qualitative research). Bogdan & Taylor (dalam Moleong,

2012, hlm. 4) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dari

individu tersebut secara holistik (utuh).

Sedangkan menurut Nasution (2003, hlm. 5) penelitian kualitatif adalah

mengamati orang dalam lingkungan, berinteraksi dengan mereka dan menafsirkan

pendapat mereka tentang dunia sekitar. Selanjutnya Sukmadinata (2005, hlm. 60)

menyatakan bahwa penelitian kualitatif (qualitative research) adalah suatu

penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena,

peristiwa, aktifitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara

individu maupun kelompok.

Ciri umum yang ditampilkan dalam penelitian kualitatif merupakan

penelitian yang menghasilkan data deskriptif dan analisis serta interpretasinya

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati

(27)

memusatkan pada ucapan dan tindakan subyek penelitian serta situasi alami

dengan berpegang teguh terhadap kekuatan data hasil wawancara.

Alasan peneliti memilih metode kualitatif naturalistik karena metode

kualitatif naturalistik dapat mengungkapkan pengetahuan yang tidak terkatakan,

seperti perilaku subjek penelitian yang dapat diamati seperti perhatian, keseriusan,

dan ekspresi informan pada saat wawancara maupun saat melakukan kegiatan.

Oleh karena itu, ciri yang menonjol dari penelitian ini adalah cara pengamatan dan

pengumpulan datanya dilakukan dalam latar/seting alamiah, artinya tanpa

memanipulasi subyek yang diteliti atau apa adanya. Tujuan dari penelitian

naturalistik adalah untuk mengetahui aktivitas, realitas sosial dan persepsi

manusia melalui pengakuan mereka yang mungkin tidak diungkapkan melalui

penonjolan pengukuran formal atau pertanyaan penelitian yang telah dipersiapkan

dahulu.

Lincoln & Guba (1985, hlm. 39) mengasumsikan sebagai berikut:

1) Tindakan pengamatan mempengaruhi apa yang dilihat, karena itu hubungan penelitian harus mengambil tempat pada keutuhan dalam konteks untuk keperluan pemahaman.

2) Konteks sangat ditentukan dalam menetapkan suatu penemuan mempunyai arti bagi konteks lainnya yang berarti sebuah fenomena harus dilihat dari sebuah keseluruhan pengaruh di lapangan.

Dengan demikian, dalam penelitian ini, karakteristik naturalistik tampak dari

tujuan penelitian yang ingin memperoleh gambaran implementasi pembelajaran

penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan

di Tasikmalaya, bukan untuk mengujikan suatu teori dengan beberapa variabel

melalui sebuah kuesioner. Sebagai instrumen, peneliti memberikan perhatian

penuh/terfokus pada proses pembelajaran yang sedang berlangsung di kelas

seperti cara guru mengajar di kelas, respon peserta didik, materi yang diajarkan,

cara guru menilai peserta didik dan ekspresi subjek. Peneliti tidak melakukan

rekayasa apapun terhadap peserta didik, guru dan kelas semua dibiarkan berjalan

apa adanya. Selain itu, karakteristik naturalistik juga terdapat pada proses

penelitian dimana peneliti berusaha untuk mengungkapkan suatu realitas kegiatan

(28)

pengamatan atau observasi dan dokumentasi terkait aktivitas peserta didik dan

aktivitas guru mengajar.

Selanjutnya, Lincoln & Guba (1985) menyatakan naturalistik inkuiri

merupakan metode yang berorientasi pada penemuan yang meminimalisir

manipulasi peneliti atas objek penelitian/studi. Selanjutnya metode naturalistik

inkuiri dapat digolongkan menjadi dua yaitu naturalistik inkuiri interaktif dan

non-interaktif. Model naturalistik inkuiri ini penting karena mempunyai suatu

sejarah yang terkemuka, dalam satu disiplin dan jurnal yang telah terkenal, buku

dan metodologi khusus yang menggolongkan pendekatannya.

Naturalistik inkuiri interaktif merupakan suatu pendalaman studi yang

mempergunakan teknik face-to-face (bertatap muka) untuk mengumpulkan data

dari orang-orang yang diteliti. Para peneliti kualitatif membangun suatu

kompleks, gambaran holisitik dengan uraian perspektif penutur asli yang

terperinci. Beberapa peneliti kualitatif mendiskusikan secara terbuka nilai-nilai

tersebut dan kemudian membentuk naratifnya. Para peneliti interaktif

menguraikan konteks studinya, serta menggambarkan perspektif yang berbeda

dari fenomena dan secara terus menerus meninjau kembali pertanyaan dari

pengalaman mereka di bidang tersebut.

Adapun naturalistik inkuiri non-interaktif merujuk pada penelitian analitis,

menyelidiki konsep dan peristiwa historis melalui suatu analisis dokumen. Para

peneliti mengidentifikasi studi, lalu manyatukan data untuk menyediakan suatu

pemahaman konsep atau suatu peristiwa masa lampau yang boleh atau tidak boleh

akan menjadi tampak secara langsung. Dokumen yang dibuktikan keasliannya

merupakan sumber utama dari data. Peneliti menginterpretasikan „fakta‟ untuk

menyediakan penjelasan tentang masa lampau dan menjelaskan makna kolektif di

bidang pendidikan yang bisa jadi praktik isu dan arus dasar.

C. Instrumen Penelitian

Ada dua hal utama yang mempengaruhi kualitas data hasil penelitian,

yaitu kualitas instrumen penelitian dan kualitas pengumpulan data. Dalam

(29)

itu sendiri. Peneliti sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus

penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data,

menilai kualitas data, menafsirkan data, dan membuat kesimpulan atas temuannya

(Lincoln & Guba, 1985, hlm. 39; 194).

Lincoln dan Guba (1985, hlm. 199) menyatakan bahwa “...the human-as-instrument is inclined toward methods that are extensions of normal

human activities: looking, listening, speaking, reading, and the like”. Dari pernyataan ini semakin jelas bahwa keunggulan manusia sebagai instrumen dalam

penelitian naturalistik karena alat ini dapat melihat, mendengar, membaca,

merasa, dan sebagainya yang biasa dilakukan manusia umumnya.

Moleong (2008, hlm. 169) menjelaskan, ada beberapa alasan mengapa

manusia dijadikan sebagai instrumen dikarenakan:

1) Manusia sebagai instrumen responsif terhadap lingkungan dan terhadap

pribadi-pribadi yang menciptakan lingkungan.

2) Manusia sebagai instrumen hampir tidak terbatas dapat menyesuaikan diri

pada keadaan dan situasi pengumpulan data.

3) Manusia sebagai instrumen memanfaatkan imajinasi dan kreativitasnya

dan memandang dunia sebagai suatu keutuhan, jadi sebagai konteks yang

berkesinambungan dimana mereka memandang dirinya sendiri dan

kehidupannya sebagai sesuatu yang riil, benar, dan mempunyai arti.

4) Manusia sebagai instrumen mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan.

5) Manusia sebagai instrumen ialah memproses data secepatnya setelah

diperolehnya, menyusunnya, mengubah arah inkuiri atas dasar

penemuannya.

6) Manusia sebagai instrumen memiliki kemampuan lainnya, yaitu

kemampuan untuk menjelaskan sesuatu yang kurang dipahami responden.

Selanjutnya, Lincoln dan Guba (1985, hlm. 193) mengemukakan sejumlah

alasan mengapa manusia sebagai alat pengumpul data, yaitu:

(30)

2) Holistic emphasi; holistik dalam lingkungan sekeliling, akan memerlukan manusia sebagai instrumen yang mampu menangkap gejala lingkungan

alamiah yang menyeluruh.

3) Adaptability; daya guna manusia untuk menyesuaikan diri sangat tinggi

sehingga dapat mengumpulkan informasi mengenai banyak aspek pada

berbagai tingkatan secara simultan.

4) Knowledge base expansion; berkemampuan menjalankan fungsi secara simultan dalam ranah pengetahuan proposisional dan dalam pengetahuan

yang dikumpulkan berdasarkan pengalaman.

5) Processual immediacy; kemampuan manusia sebagai instrumen untuk memproses data segera setelah terkumpul, dan dapat segera

mengembangkannya

6) Opportunities to explore typical or idiosyncratic response; mempunyai kemampuan untuk menyelidiki jawaban-jawaban sumber data dan

informasi sampai pada tingkat pemahaman yang lebih tinggi.

7) Opportunities for clarification and summarization; mempunyai kemampuan yang unik dalam menyimpulkan data serta meminta perbaikan

dan penjelasaan secara langsung dari sumber informasi.

Adapun menurut Nasution (2003, hlm. 55-56), peneliti sebagai alat

penelitian karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1) Peneliti sebagai alat, peka, dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus

dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi

penelitian.

2) Peneliti sebagai alat, dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek

keadaan dan dapat mengumpulkan angka ragam data sekaligus.

3) Tiap situasi merupakan suatu keseluruhan.

4) Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, dipahami dengan

merasakan dan menyelaminya berdasarkan penghayatan.

5) Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh.

6) Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan

(31)

menggunakannya sebagai balikan untuk memperoleh penegasan,

perubahan, perbaikan atau penolakan.

7) Dengan manusia sebagai instrumen, respon yang lain dari pada yang lain

dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan tingkat pemahaman

mengenai aspek yang diselidiki.

Dengan demikian, maka pilihan pendekatan dan metode dalam penelitian ini

dilandasi oleh beberapa pertimbangan yaitu:

1) Data yang terkumpul berupa kata-kata atau uraian deskriptif meskipun

tidak menutup kemungkinan berupa angka-angka, perolehan data

dilakukan melalui teknik observasi, dokumentasi, dan wawancara;

2) Dalam penelitian ini peneliti memiliki kedudukan yang sama dengan

subjek penelitian, baik di saat melakukan wawancara, maupun di saat

mengamati sejumlah fenomena sesuai dengan fokus penelitian yang

terjadi secara holistik;

3) Proses kerja penelitian dilakukan dengan mengutamakan pandangan dan

pendirian responden penelitian terhadap situasi yang dihadapi;

4) Data penelitian dianalisis secara induktif untuk mendapatkan makna dari

kondisi alami yang ada;

5) Pemaknaan dalam penelitian dilakukan oleh peneliti serta atas interpretasi

bersama antara peneliti dengan sumber data dan fokus masalah tentang

pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah

Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya.

6) Tingkat keterpercayaan data yang diperoleh dilakukan melalui verifikasi

data dengan metode dan subjek yang berbeda-beda, kemudian dilakukan

penyesuaian-penyesuaian.

Untuk memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data, maka diperlukan

beberapa alat bantu, yaitu:

1) Buku catatan berfungsi untuk mencatat semua pengamatan dan

percakapan dengan sumber data atau informan. Buku catatan ini

(32)

mewawancarai informan di SMA Pasundan 1 Tasikmalaya, terutama

peserta didik Kelas XI IPS 1, guru sejarah, dan kepala sekolah.

2) Tape Recorder berfungsi untuk merekam semua percakapan atau pembicaraan selama peneliti mewawancarai informan atau sumber data.

3) Camera digunakan untuk merekam kegiatan pembelajaran sejarah di kelas, juga dapat digunakan untuk mengambil gambar pada saat kegiatan

pembelajaran sejarah di SMA Pasundan 1 Tasikmalaya. Pengambilan

gambar dilakukan ketika observasi berlangsung dan dengan adanya

kegiatan alat penelitian ini maka keabsahan penelitian lebih terjamin,

karena betul-betul melakukan pengumpulan data.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam

penelitian, karena tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan data. Data yang

dihimpun dalam penelitian ini berupa kata-kata, tindakan dan dokumen, situasi

dan peristiwa yang dapat diobservasi. Nasution (2003, hlm. 56) mengatakan

bahwa sumber data yang dimaksud adalah:

kata-kata diperoleh secara langsung atau tidak langsung melalui wawancara, dan observasi. Dokumen berupa kurikulum, satuan pembelajaran, rencana pelajaran, buku paket, dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah penelitian. Situasi yang berhubungan dengan kegiatan subjek penelitian dan masalah penelitian seperti dalam proses belajar mengajar, situasi belajar di perpustakaan dan situasi di lingkungan sekolah.

Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan di dalam “natural setting” atau kondisi yang alamiah untuk mendapatkan sumber data primer. Sesuai dengan sumber data yang akan dituju dalam penelitian ini, maka teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah:

a. Observasi

Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan, para ilmuwan hanya dapat

bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang

diperoleh melalui observasi (Nasution, 2003, hlm. 67). Selanjutnya Alwasilah

(33)

menarik inferensi (kesimpulan) ihwal makna dan sudut pandang informan,

kejadian, peristiwa atau proses yang diamati. Dengan adanya observasi,

peneliti akan melihat sendiri pemahaman yang tidak terucapkan (tacit

understanding) juga sudut pandang informan yang mungkin tidak tercungkil

dalam wawancara.

Adapun Faisal (1990) mengklarifikasikan observasi menjadi observasi

partisipasi (participant observation), observasi yang secara terang-terangan

atau tersamar (overt observation and cover observation), dan observasi yang

tak berstruktur (unstructured observation). Terkait dengan hal tersebut di

atas, maka dalam penelitian guru dan peserta didik di SMA Pasundan 1

Tasikmalaya ini observasi yang peneliti gunakan adalah observasi

partisipasif, dimana peneliti datang ke lokasi atau kelas untuk mengamati

situasi dan aktivitas peserta didik, namun peneliti tidak ikut terlibat dalam

kegiatan tersebut. Observasi akan dilakukan untuk mengamati proses

pembelajaran yang dilakukan oleh guru sejarah di antaranya:

1) Mengamati secara langsung proses pembelajaran yang dilakukan di kelas

mulai dari membuka pelajaran, menyampaikan materi pembelajaran serta

mengakhiri pembelajaran untuk melihat bagaimana implementasi

pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah

Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya, dalam hal ini observasi tertuju

pada guru dan peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung.

2) Kegiatan belajar peserta didik di luar kelas terutama melihat relevansi apa

yang mereka pelajari di luar kelas dengan pola tingkah laku peserta didik

di kelas terutama di lingkungan sekolah dalam hubungan peserta didik

dengan peserta didik dengan guru dan personil lainnya di lingkungan

sekolah.

3) Interaksi edukatif antara guru dengan peserta didik terutama berkenaan

dengan upaya guru dalam mengembangkan pemahaman peserta didik

tentang pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda bagi peserta

(34)

Menurut Patton (dalam Nasution, 2003, hlm. 78) manfaat observasi adalah (a)

dengan observasi di lapangan peneliti akan lebih mampu memahami konteks

data dalam keseluruhan situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh pandangan

yang holistik (menyeluruh); (b) dengan observasi akan diperoleh pengalaman

langsung, sehingga memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan

induktif, jadi tidak dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumnya.

Pendekatan induktif membuka kemungkinan melakukan penemuan atau

discovery; (c) dengan observasi, peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang atau tidak diamati orang lain, khususnya orang yang berada dalam lingkungan

itu, karena telah dianggap „biasa‟ dan karena itu tidak akan terungkapkan

dalam wawancara; (d) dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal

yang tidak akan terungkapkan oleh responden dalam wawancara karena

bersifat sensitif atau ingin ditutupi karena dapat merugikan nama lembaga; (e)

dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal di luar persepsi

responden, sehingga peneliti memperoleh gambaran yang lebih

komprehensif; (f) melalui pengamatan di lapangan, peneliti tidak hanya

mengumpulkan data yang kaya, tetapi juga memperoleh kesan-kesan pribadi,

dan merasakan suasana situasi sosial yang diteliti.

b. Wawancara

Teknik ini digunakan karena ingin menggali informasi secara mendalam dan

karena merasa tidak tahu mengenai apa yang terjadi sebenarnya. Hal ini

terutama kekurangtahuan peneliti mengenai kognisi dan afeksi informan

mengenai variabel-variabel terteliti. Untuk itu diajukan pertanyaan terbuka,

mengarah pada kedalaman informasi (Sutopo, 2006, hlm. 68). Berdasarkan

hal itu, contoh-contoh pertanyaan yaitu (a) Apa yang anda ketahui mengenai

modal sosial orang Sunda?; (b) Bagaimana memunculkan kesadaran sejarah

dalam pembelajaran yang telah anda lakukan?

Selanjutnya dilancarkan clarifying interview (wawancara mengklarifikasi)

terhadap informan dari guru sejarah, peserta didik dan kepala sekolah. Dalam

(35)

untuk membantu informan mengklarifikasi secara mendalam beberapa

informasi yang kurang jelas atau saling bertentangan.

Kedua teknik pengumpulan data di atas telah dikembangkan menjadi

instrumen pengumpulan data berupa pedoman-pedoman, meliputi: pedoman

wawancara untuk guru sejarah, pedoman wawancara untuk para peserta didik,

pedoman wawancara untuk kepala sekolah, dan pedoman observasi proses

pembelajaran sejarah.

c. Studi dokumen.

Arikunto (1998, hlm. 236) mengemukakan bahwa studi dokumen merupakan

suatu teknik yang digunakan dan mencari data mengenai hal-hal atau

cacatan-catatan, buku-buku, surat kabar, prasasti, kajian kurikulum dan sebagainya.

Lincon dan Guba (1985, hlm. 276-277) mengatakan bahwa dokumentasi dan

catatan digunakan sebagai pengumpulan data didasarkan pada beberapa hal

yakni:

1) Dokumen dan catatan ini selalu dapat digunakan terutama karena mudah

diperoleh dan relatif lebih murah.

2) Merupakan informasi yang mantap baik dalam pengertian merefleksikan

situasi secara akurat maupun dapat dianalisis ulang tanpa melalui

perubahan didalamnya.

3) Dokumen dan catatan merupakan sumber informasi yang kaya.

4) Keduanya merupakan sumber resmi yang tidak dapat disangkal, yang

menggambarkan kenyataan formal.

5) Tidak seperti pada sumber manusia, baik dokumen maupun catatan non

kreatif, tidak memberikan reaksi dan respon atau pelakuan peneliti.

Adapun dokumen yang peneliti maksudkan adalah tulisan hasil penelitian

yang berkaitan dengan eksistensi Paguyuban Pasundan. Dokumen atau tulisan

tersebut adalah yang peneliti butuhkan untuk mendapatkan gambaran mengenai

penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan.

Selain itu ada pula dokumen Silabus dan RPP yang penulis butuhkan untuk

melihat rencana yang guru persiapkan dalam implementasi pembelajaran

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan dari praktikum yang telah saya lakukan saya dapat menyimpulkan bahwa graph bisa digunakan untuk melihat jarak antar (Vertex atau Point atau Node atau Titik)

Nomor : 1 Tanggal : 25/2/13 PA/KPA Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi Lainnya (K/L/D/I) Kabupaten Musi Banyuasin..

PENGARUH MOD EL D IRECT INSTRUCTION D AN MOD EL KOOPERATIF TERHAD AP HASIL BELAJAR KETERAMPILAN PERMAINAN SEPAKBOLA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

NEWS READER: LAUNCHING PAUD DI KECAMATAN UMBULHARJO Dalam rangka memperingati hari anak Nasional / pada tanggal 22 Juli yang lalu di Kecamatan Umbulharjo / diadakan Launching PAUD

Masalah yang sering terjadi biasanya karena adanya pelabelan gender, dimana perempuan dikonstruksikan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga (domestik) dan mendidik anak dan

Sulitnya mengikuti lomba ini juga diakui oleh Tegar Restu Aji / perwakilan peserta dari kabupaten kulon progo // Dikatakan / lomba ini membutuhkan konsentrasi untuk mengingat

Indirect act adalah kegiatan hubungan sekolah dengan masyar\akat melalui perantara media tertentu seperti misalnya: informasi lewat televisi, penyebaran informasi lewat

[r]