SMA Pasundan 1 Tasikmalaya)
(TESIS)
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan Sejarah
Oleh:
Haryyana Suhendar
1302608
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
SEKOLAH PASCASARJANA
SMA Pasundan 1 Tasikmalaya)
Oleh
Haryyana Suhendar
S.Pd Universitas Pendidikan Indonesia, 2007
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Sekolah Pascasarjana
© Haryyana Suhendar Universitas Pendidikan Indonesia
Agustus 2015
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
DI TASIKMALAYA
(Studi Naturalistik Inquiri terhadap Peserta Didik SMA Pasundan 1 Tasikmalaya)
Disetujui dan disahkan oleh pembimbing Pembimbing,
ttd
Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd NIP.19570408 198403 1 003
Diuji, Penguji I
ttd
Dr. Agus Mulyana, M.Hum NIP. 19660808 199103 1 002
Penguji II
ttd
H. Didin Saripudin, M.Si., Ph.D NIP. 19700506 199702 1 001
Penguji III
ttd
Prof. Helius Sjamsuddin, M.A., Ph.D
Mengetahui,
Ketua Program Studi PendidikanSejarah Sekolah Pascasarjana UPI
ttd
ABSTRAK
PENERAPAN MODAL SOSIAL ORANG SUNDA MELALUI KAJIAN SEJARAH PAGUYUBAN PASUNDAN DI TASIKMALAYA
(Studi Naturalistik Inkuiri terhadap Peserta Didik SMA Pasundan 1 Tasikmalaya)
Oleh : Haryyana Suhendar (1302608)
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya fenomena krisis budaya akibat terjadinya globalisasi, dimana nilai-nilai kearifan lokal seakan mulai hilang ditelan waktu. Hal ini juga terjadi dengan lingkungan pendidikan, dimana peserta didik telah terkontaminasi dengan pengaruh globalisasi.
Pendidikan sebagai proses mempengaruhi dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada generasi selanjutnya diharapkan mampu untuk membuat sebuah perubahan dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal.
Paguyuban Pasundan sebagai organisasi yang dari awal pendiriannya bergerak dalam bidang pendidikan berkomitmen untuk terus melestarikan budaya Sunda. Hal ini terlihat dari eksistensi lembaga pendidikan di bawah naungan Paguyuban Pasundan yang mendengungkan nilai-nilai kearifan lokal budaya Sunda silih asih – silih asah – silih asuh. Akan tetapi bagaimana implementasi di lapangan? Hal ini lah yang diteliti dalam penelitian ini, khususnya dalam pembelajaran sejarah. Hasil penelitian memperlihatkan bahwasanya desain sampai dengan proses pembelajaran memegang peranan penting untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal pertama yang dilaksanakan adalah dengan membuat desain pembelajaran. Desain pembelajaran yang terdiri dari silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran dengan kompetensi dasar Pergerakan Kebangsaaan sampai dengan Pendudukan Jepang dengan mengambil materi sejarah lokal peranan Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya. Selain itu pula, integrasi nilai-nilai kearifan lokal budaya Sunda yang didesain guru dilaksanakan secara improvisasi sesuai dengan situasi dan kondisi di dalam kelas.
Implementasi pembelajaran sejarah dilaksanakan guru dengan menggunakan teknik pembelajaran Sydney micro skills, dimana teknik ini sangat berpengaruh di dalam kelas kecil dan juga memperkuat keterampilan guru dalam mengajar. Integrasi nilai-nilai kearifan lokal budaya Sunda diimplementasikan guru dalam proses pembelajaran.
Hasil pembelajaran sejarah dengan integrasi nilai kearifan lokal budaya Sunda silih asih – silih asah – silih asuh memperlihatkan kesadaran sejarah yang kemudian memunculkan solidaritas dan diharapkan menjadi sebuah modal sosial bagi peserta didik dalam mengarungi kehidupannya di masa depan.
Solusi untuk menanggulangi kendala yang muncul dalam pembelajaran sejarah dengan integrasi nilai kearifan lokal Sunda adalah dengan mengimplementasikan misi sekolah secara optimal dalam rangka pemeliharaan dan pengembangan budaya daerah.
ABSTRACT
APPLICATION SOCIAL CAPITAL OF SUNDANESE
THROUGH PAGUYUBAN PASUNDAN HISTORY IN TASIKMALAYA (Study of the Naturalistic Inquiry Students Senior High School Pasundan 1
Tasikmalaya)
By: Haryyana Suhendar (1302608)
This research is motivated by the crisis of cultural to the phenomenon of globalization, where the values of local wisdom as ranging lost in time. It is also the case with the educational environment, where students have been contaminated with the influence of globalization.
Education as a process of influencing and pass on cultural values to the next generation will be able to make a change by promoting the values of local wisdom.
Paguyuban pasundan as an organization that from the beginning of its establishment is engaged in the field of education is committed to continuously preserve Sundanese culture. This is evident from the existence of educational institutions under the auspices of the Paguyuban Pasundan aplicated local wisdom values Sundanese silih asih – silih asah – silih asuh. But how implementation in the field? This is the one that is researched in this study, particularly in the teaching of history.
The results showed that the design up to the learning process plays an important role to achieve the learning objectives. The first thing done is to make the learning design. Instructional design which consists of a syllabus and lesson plan with basic competencies movement Nationality until the Japanese occupation by taking the role of local history material Paguyuban Pasundan in Tasikmalaya. Besides that, the integration of the values of local wisdom Sundanese designed improvised teachers implemented in according with the situation and conditions in the classroom.
Implementation of teaching history teacher conducted using Sydney micro skills learning techniques, where the technique is highly influential in small classes and also strengthen teachers' skills in teaching. Integration of the values of local wisdom Sundanese implemented teacher in the learning process.
Learning outcomes of history with the integration of the cultural values of local wisdom Sundanese silih asih – silih asah – silih asuh awareness of history shows that then led to solidarity and is expected to become a social capital for learners as it navigates his life in the future.
Solutions to overcome obstacles that arise in the integration of teaching history with local wisdom Sundanese is to implement the school's mission optimally in the maintenance and development of regional culture.
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan ... i
Kata Pengantar ... ii
Ucapan Terima Kasih ... iii
Abstrak ... v
Abstract ... vi
Daftar Isi ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Fokus Penelitian ... 13
C. Masalah Penelitian ... 14
D. Tujuan Penelitian ... 14
E. Manfaat Penelitian ... 14
F. Paradigma Penelitian ... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan dan Kesadaran Sejarah ... 17
1. Pendidikan Sejarah ... 17
2. Kesadaran Sejarah ... 20
B. Modal Sosial ... 25
C. Kearifan Lokal Budaya Orang Sunda ... 34
1. Kearifan Lokal ... 34
2. Budaya Orang Sunda ... 38
3. Ungkapan Tradisional Silih Asih-Silih Asah-Silih Asuh ... 42
D. Perkembangan Paguyuban Pasundan ... 48
E. Pembelajaran Sejarah Lokal ... 57
F. Penelitian Terdahulu ... 60
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Subyek Penelitian ... 65
B. Metode Penelitian ... 67
C. Instrumen Penelitian ... 69
D. Teknik Pengumpulan Data ... 73
E. Teknik Analisis Data ... 77
1. Data Reduction (Reduksi Data) ... 78
2. Data Display/Penyajian Data ... 79
3. Conclution Drawing/Veryvication ... 80
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Sekolah ... 85
1. Identitas SMA Pasundan 1 Tasikmalaya ... 85
2. Visi, Misi dan Strategi SMA Pasundan 1 Tasikmalaya ... 87
3. Sejarah SMA Pasundan 1 Tasikmalaya ... 87
4. SMA Pasundan 1 Tasikmalaya sekarang ... 90
B. Desain Pembelajaran Penerapan Modal Sosial Orang Sunda dalam kajian Sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya ... 92
1. Hasil Penelitian ... 92
2. Pembahasan ... 99
C. Implementasi Pembelajaran Penerapan Modal Sosial Orang Sunda dalam kajian Sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya ... 115
1. Hasil Penelitian ... 115
2. Pembahasan ... 122
D. Hasil Pembelajaran Penerapan Modal Sosial Orang Sunda dalam kajian Sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya ... 142
1. Hasil Penelitian ... 142
2. Pembahasan ... 147
E. Solusi menghadapi Kendala dalam Pembelajaran Penerapan Modal Sosial Orang Sunda dalam kajian Sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya ... 154
1. Hasil Penelitian ... 154
2. Pembahasan ... 157
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 163
B. Rekomendasi ... 165
DAFTAR PUSTAKA ... 167
RIWAYAT HIDUP ... 175
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap daerah di Indonesia memiliki kebudayaan tradisional yang luar
biasa. Kebudayaan tradisional tersebut adalah sebuah kekayaan bagi bangsa
Indonesia, dimana berbagai kebudayaan tradisional yang terbentuk merupakan
hasil dari karya, cipta dan karsa manusia dalam menghadapai tantangan alam
dalam ruang dan waktu. Hasil kebudayaan tersebut terus menerus digunakan
dalam masyarakat.
Kebudayaan tradisional atau kearifan lokal itu sudah berabad-abad
dijadikan pandangan hidup oleh masyarakat ketika dihadapkan kepada
permasalahan kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal tersebut biasanya mengatur:
(1) pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi, (2) pandangan hidup
tentang manusia dengan lingkungan masyarakat, (3) pandangan hidup tentang
manusia dengan alam, (4) pandangan hidup tentang manusia dengan Tuhan, (5)
pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriyah dan
kepuasan batin (Warnaen, 1987, hal. 8).
Namun seiring berjalannya waktu, era globalisasi datang dan tak bisa
dihadang, kebudayaan tradisional pun seakan-akan lenyap ditelan waktu.
Kearifan-kearifan lokal seolah-olah dilupakan oleh masyarakatnya. Masyarakat
digempur habis-habisan oleh budaya luar yang banyak tidak sesuai dengan budaya
kita. Pengaruh globalisasi ini telah membuat masyarakat kita cenderung
materialistis, hedonis, egois, dan konsumtif.
Terjadinya globalisasi menghasilkan dampak positif maupun negatif yang
ditimbulkan. Dampak positif dari pengaruh globalisasi sudah bisa kita rasakan
sendiri, yaitu teknologi yang semakin canggih, kemajuan alat transportasi dan
ilmu pengetahuan lebih luas. Tetapi dalam sisi negatifnya, pengaruh dari
globalisasi ini adalah banyak kebudayaan Barat yang ikut memboncengi masuk di
muda yang lebih memilih kebudayaan Barat daripada kebudayaan tradisionalnya.
Hal ini dikarenakan pola pikir (mindset) yang menganggap bahwa kebudayaan
Barat itu lebih modern dan lebih populer, sehingga kesadaran mereka dalam
melestarikan kebudayaan tradisional menurun.
Fenomena tersebut telah menyebabkan keberadaan kebudayaan tradisional
di negara kita mulai memprihatinkan tergerus oleh arus globalisasi. Padahal negara kita yang „Bhineka Tunggal Ika‟ itu adalah sebuah negara yang memiliki beraneka ragam jenis budaya. Keberagaman kebudayaan ini sebenarnya
merupakan kekayaan bangsa yang harus tetap dijaga. Apabila tetap dibiarkan
maka kebudayaan itu dengan sendirinya akan hilang ditelan zaman.
Realitas yang seperti ini, sebenarnya dapat diminimalisir dengan melalui
pendidikan. Pendidikan seperti yang dikatakan Durkheim, merupakan proses
mempengaruhi yang dilakukan oleh generasi orang dewasa kepada mereka yang
belum siap untuk melakukan fungsi-fungsi sosial. Sasarannya adalah melahirkan
dan mengembangkan sejumlah kondisi fisik, intelek, dan watak sesuai dengan
tuntutan masyarakat secara keseluruhan dan oleh lingkungan khusus tempat ia
akan hidup dan berada (Ballantine, 1985, hlm. 22). Berdasarkan pengertian
tersebut, pendidikan dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini selaras pula
dengan perspektif Durkheim, persepsi individu tentang kepentingan pribadinya
tidak dibentuk dalam isolasi dari sesamanya, melainkan dibentuk oleh
kepercayaan bersama serta nilai-nilai yang dianut bersama orang lain dalam
masyarakat (Johnson, 1990, hlm. 173).
Memperkokoh pondasi masyarakat dapat dilakukan melalui proses
pendidikan, karena melalui pendidikan nilai-nilai yang berkembang dan dianut
oleh masyarakat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut
Dewey, pendidikan dilaksanakan melalui peran serta individu di dalam kesadaran
sosial rasnya. Proses tersebut dimulai secara tidak disadari nyaris sejak lahir, terus
berkelanjutan membentuk kemampuan individual, memenuhi kesadarannya,
membentuk berbagai kebiasaannya, melatih gagasannya, membangkitkan
perasaan dan emosinya. Lewat pendidikan yang tidak disadari, individu secara
dikumpulkan umat manusia. Ia menjadi pewaris simpanan modal peradaban.
Pendidikan yang paling formal dan paling teknis di dunia tidak bisa menyingkir
secara aman dari proses umum. Ia hanya bisa mengorganisir proses itu atau
membuatnya berbeda dalam arah-arah tertentu saja (O‟neal, 2002, hlm. 380).
Salah satu upaya pendidikan adalah dengan adanya sebuah lembaga
pendidikan yang kita kenal dengan nama „sekolah‟. Berkenaan dengan sekolah,
Dewey menjelaskan bahwa sekolah merupakan lembaga sosial. Pendidikan adalah
proses sosial, sekolah merupakan bentuk kehidupan komunitas dimana seluruh
agennya dipusatkan, bagian yang menjadi paling efektif dalam membawa anak
untuk berbagi sumber daya warisan rasnya, dan untuk membantu anak
menggunakan kemampuan-kemampuannya sendiri demi mencapai tujuan sosial.
Jadi, pendidikan merupakan proses kehidupan dan bukan persiapan untuk hidup di
masa mendatang, sedangkan sekolah harus mewakili kehidupan di masa sekarang,
yaitu kehidupan nyata dan vital bagi anak sebagaimana yang dijalaninya di rumah, di lingkungan sekitar, serta di tempat bermain (O‟neal, 2002, hlm. 383). Berdasarkan pengertian tersebut, pendidikan tidak hanya diartikan sebagai
sekolah karena proses pembiasaan yang berlangsung di keluarga dan masyarakat
merupakan proses pendidikan juga, agar anak dapat menjalani kehidupannya
sesuai dengan kehidupan yang dijalaninya.
Pembiasaan tersebut adalah untuk menghadapi globalisasi. Ada benarnya
apa yang dikemukakan oleh para futurolog, seperti Naisbitt dan Aburdene
(Wiriaatmadja, 2002, hlm. 164) bahwa dalam proses homogenisasi global
terkandung sekaligus hasrat untuk tetap mempertahankan identitas, apakah yang
ditandai oleh agama, budaya, bahasa, nasionalitas, ataupun ras. Selain itu juga
seperti diungkap Zinn dan dikutip Ankersmit (1987, hlm. 358-359) mengatakan,
Ungkapan Zinn bertujuan memberi jawaban kepada pertanyaan, aspek-aspek
mana dalam masa silam paling berguna untuk diteliti.
Dalam tulisan “Kesadaran Sejarah dan Pembangunan”, Soedjatmoko
mengingatkan kita betapa pentingnya sebagai bangsa memiliki kesadaran sejarah.
Kesadaran sejarah diartikan sebagai suatu refleksi tentang kompkleksitas
perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh interaksi dialektis masyarakat yang
ingin melemparkan diri dari gangguan realitas yang ada. Melalui kesadaran
sejarah, manusia berusaha menghargai upaya mengungkapkan terhadap
kejadian-kejadian yang melingkupinya dan menghargai keunikan masing-masing keadaan.
Dengan kesadaran sejarah juga membantu manusia untuk waspada terhadap
pemikiran yang telalu sederhana, analogi yang terlalu dangkal serta penerimaan
pola-pola hukum yang terlalu mudah, mengarahkan jalannya sejarah ataupun
berada dalam cengkraman determinisme sejarah. Untuk mewujudkan kesadaran
sejarah seharusnya sebagai bangsa harus mampu mengambil makna atau pesan
moral pada setiap peristiwa, jika tidak maka dalam konteks ini akan mewujudkan
bahwa ketidakarifan dalam pemanfaatan kekayaan alam dan budi akal manusia itu
pada akhirnya akan menghancurkan eksistensi kemanusiaan dan peradabannya
sendiri (Soedjatmoko, 1995a, hlm 63-71).
Dalam masa pembangunan dewasa ini, salah satu fungsi pendidikan adalah
mengembangkan kesadaran nasional sebagai daya mental dalam proses
pembangunan nasional dan identitasnya. Pendidikan dilakukan sebagai upaya
mempengaruhi generasi-generasi selanjutnya dapat dilakukan melalui sebuah
pendidikan sejarah. Mengapa sejarah? Karena sejarah sebagai ilmu yang
mempelajari tentang masa lalu. Dalam konteks pendidikan, sejarah adalah sebuah
pendidikan moral, penalaran, dan pendidikan politik, kebijakan, perubahan, masa
depan, keindahan, dan ilmu bantu (Kuntowijoyo, 2003, hlm. 35). Adapun tujuan
umum dan ideal pendidikan dan pengajaran sejarah adalah agar peserta didik
mampu memahami sejarah, memiliki kesadaran sejarah, dan memiliki wawasan
sejarah yang bermuara pada kearifan sejarah (Ismaun, 2005, hlm. 171). Hal ini
jelas sekali bahwa pendidikan sejarah memegang peranan penting dalam
Hamid Hasan (1999) dalam tulisannya “Pendidikan Sejarah untuk Membangun Manusia Baru Indonesia” membuat perspektif baru dengan berpijak kepada pengalaman masa lalu untuk memahami apa yang terjadi pada masa
sekarang. Secara tradisional tujuan pendidikan selalu dikaitkan atas pandangan “transmission of culture” (Hasan, 1999, hlm. 13). Pandangan tersebut sebenarnya menghendaki pendidikan sejarah sebagai pengetahuan yang diharapkan menjadi wahana pendidikan untuk mencapai “the glorious past” dalam arti agar generasi muda dapat menghargai hasil karya agung di masa lampau terutama untuk
memupuk rasa bangga (dignity) sebagai bangsa.
Selanjutnya perkembangan pendidikan sejarah seperti yang diungkap
Hasan (1999, hlm. 19):
Perkembangan dalam pendidikan sejarah terjadi pergeseran dari perenialisme ke esensialisme bahkan rekonstruksionisme sosial bergabung secara ekletik. Pendidikan sejarah tidak saja menjadi wahana memahami keagungan masa lampau dan pengembangan kemampuan intelektual tetapi juga menjadi wahana dalam upaya memperbaiki kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Berpikir sejarah, disatu sisi mampu menyelami masa lalu, mencoba memahami konteks jamannya (historical minded), dan pada bagian lainnya, memanfaatkan pemahaman tersebut menjadi proses “memanusiakan” manusia, sehingga dapat bertindak lebih paham, humanioris, berperasaan, arif, bijak, dan tentu menjadi penilaian serta pemikiran yang lebih jeli, teliti sekaligus kritis. Dengan kata lain, masa kini dan masa lalu dikontradiksikan menjadi awal sebuah perbandingan, dan sebuah sinkronisasi, agar dapat diperoleh pemahaman yang serupa, sama, tanpa mereduksi (mengurangi) makna masa lalu, dan menerapkan untuk kepentingan masa kini agar lebih manusiawi.
Kesadaran sejarah ini, adalah sikap mental, jiwa pemikiran yang dapat membawa
untuk tetap dalam rotasi sejarah. Artinya, dengan adanya kesadaran sejarah,
manusia seharusnya menjadi semakin arif dan bijaksana dalam memaknai
kehidupan ini. Dalam realitas yang nyata, pada proses pembelajaran sejarah di
sekolah, guru dan peserta didik tidak hanya: “bagaimana belajar sejarah, melainkan belajar dari sejarah”.
Tujuan pendidikan sejarah (Ismaun, 2001) tidak hanya ditujukan pada
pengetahuan akan peristiwa masa lalu tetapi harus lebih jauh yaitu memberikan
di sekolah tidak hanya memberikan pengetahuan saja kepada peserta didik,
melainkan memberikan kontribusinya untuk lebih menumbuhkan kesadaran
sejarah, baik pada posisinya sebagai anggota masyarakat maupun warga negara,
serta mempertebal semangat kebangsaan.
Keberhasilan dari sebuah peristiwa di masa lampau dapat ditularkan
melalui sebuah kesadaran sejarah, dimana kesadaran sejarah ini dapat terlihat dari
adanya perubahan perilaku manusia terhadap lingkungan dari sekarang sampai
dengan masa depannya. Hal ini dapat terlihat dari perilaku peserta didik dalam
kehidupan di lingkungannya, dimana peserta didik mampu mengaitkan informasi
baru dan kemudian akan mengkaitkannya pada informasi sejarah yang telah
dipahaminya. Seperti yang diungkap David Ausabel dengan teori belajar
bermaknanya (dalam Hariyono, 1995, hlm. 169) belajar akan menjadi bermakna
(meaningful), bila informasi yang dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan
struktur kognitif yang dimiliki oleh peserta didik. Menjadi bermakna dalam hal ini
yaitu peserta didik dapat mengkaitkan informasi barunya sesuai dengan struktur
kognitif yang dimiliki.
Hubungan sejarah dan pendidikan akan tampak jika dikaitkan dengan
proses pewarisan nilai, yakni nilai-nilai luhur yang dikembangkan oleh generasi
terdahulu yang perlu diwariskan pada generasi masa kini. Dalam konteks seperti
ini sejarah dapat kita pahami sebagai sekumpulan pengalaman hidup manusia
pada masa lampau dalam bentuk kisah, baik lisan maupun tertulis. Kesadaran
sejarah ini tidak saja penting untuk membangun kepribadian, melainkan juga
penting untuk mempersiapkan diri dalam rangka menghadapi tantangan pada
masa kini dan masa yang akan datang.
Adalah Paguyuban Pasundan, sebuah organisasi budaya Sunda yang
berdiri sejak tanggal 20 Juli 1913, sehingga menjadi salah satu organisasi etnisitas
tertua yang masih eksis sampai saat ini. Selama keberadaannya, organisasi ini
telah bergerak dalam bidang pendidikan, sosial-budaya, politik, ekonomi,
kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan. Paguyuban ini berupaya untuk
semua yang mempunyai kepedulian terhadap budaya Sunda (Suharto, 2002, hlm.
47; Ekadjati, 2004, hlm. 55).
Sesuai dengan yang tercantum dalam anggaran dasarnya, salah satu jalan
yang ditempuh Paguyuban Pasundan dalam mencapai cita-citanya dalam
memelihara budaya adalah melalui jalur pendidikan dan pengajaran. Upaya
pendirian sekolah dimulai dengan mendirikan Hollandsch-Inlandsche School
(HIS) Pasoendan di Tasikmalaya pada tahun 1922, diikuti pendirian Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Pasoendan, juga di Tasikmalaya, yang mendapat bantuan dari pemerintah. Sampai dengan tahun 1941 Paguyuban
Pasundan cabang Tasikmalaya berhasil mendirikan sebanyak tujuh sekolah
(Fallah, 2010, hlm. 81). Peristiwa di masa lalu yang menggambarkan keberhasilan
Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya dalam mengimplementasikan tujuan dari
didirikannya Paguyuban Pasundan.
Kebudayaan Sunda yang ditumbuhkembangkan oleh Paguyuban Pasundan salah satunya adalah filsafat Sunda, “silih asih – silih asah – silih asuh” yang telah menjadi ungkapan nasional. Ini terbukti dengan seringnya para pejabat
negara dalam berpidato atau memberikan pengarahan menyampaikan ungkapan
tersebut. Hal ini bisa dimaklumi karena konsep silih asih – silih asah – silih asuh merupakan konsep tradisional yang penting dalam membina hubungan antar
masyarakat, sekaligus mencegah terjadinya konflik (Suryani, 2008, hlm. 101;
Suryalaga, 2010, hlm. 123-124). Hal ini juga tercantum dari apa yang menjadi
strategi SMA Pasundan 1 Tasikmalaya pointer keenam yaitu
mengimplementasikan budaya sekolah silih asih – silih asah – silih asuh dalam kehidupan pribadi dan organsasi intansi sekolah.
Berdasarkan apa yang menjadi pengalaman penulis sebagai guru,
bahwasanya pembelajaran sejarah yang terfokus terhadap materi pelajaran yang
ada di dalam buku paket telah membuat peserta didik menjadikan pelajaran
sejarah sebagai pelajaran hapalan. Jarang sekali pemahaman akan keterampilan
sejarah atau bahkan kesadaran sejarah yang terangkat, hal ini juga terjadi di kelas
untuk mendapatkan pemahaman akan kesadaran sejarah bisa diperoleh dengan
pembelajaran sejarah lokal.
Mengapa perlu pembelajaran sejarah lokal? Hal ini seperti yang diungkap
oleh Robert Douch (dalam Mulyana & Gunawan 2007, hlm. 1) yang menyatakan
bahwa pembelajaran sejarah di sekolah sebaiknya lebih mudah dipahami peserta
didik dengan melihat langsung kehidupan yang nyata, bukan materi pelajaran
yang jauh dari realitas. Bahkan belajar yang baik dapat bersumber dari
pengalaman peserta didik sehari-hari. Kedekatan emosional peserta didik dengan
lingkungannya merupakan sumber belajar yang berharga bagi terjadinya proses
pembelajaran di kelas. Dimana peserta didik tidak terlepas dari identitas
komunitasnya di samping mereka harus memahami sejarah nasional. Seperti yang
diungkapkan Hasan (2012, hlm. 27) bahwa materi sejarah nasional sebagai “collective memory” harus dikembangkan oleh pendidikan sejarah. Identitas diri sebagai bangsa dikembangkan melalui pendidikan nasional dengan materi yang
diterima pada tingkat nasional pun terlalu didominasi oleh materi sejarah yang
terjadi di pulau Jawa. Tetapi, orang tidak mungkin melepaskan dirinya dari
identitas komunitas terdekatnya.
Adanya kecenderungan Indonesia sentries dalam penulisan sejarah, yang
pada hakikatnya sekaligus bisa kita anggap sebagai pencerminan yang makin
disadari arti penting dari kajian sejarah lokal itu, antara lain dikatakan, Widja
(1991, hlm. 15) dalam melakukan penelitian tentang sejarah lokal, kita tidak
hanya akan bisa memperkaya perbendaharaan Sejarah Nasional, tapi lebih penting
lagi memperdalam pengetahuan kita tentang dinamika sosio-kultural dari
masyarakat Indonesia yang majemuk ini secara lebih intim. Dengan begini kita
makin menyadari pula bahwa ada berbagai corak penghadapan manusia dengan
lingkungannya dan dengan sejarahnya. Selanjutnya pengenalan yang lebih
memperdalam pula kesadaran sejarah kita, yaitu kita diberi kemungkinan untuk
mendapatkan makna dari berbagai peristiwa sejarah yang dilalui.
Mengacu kepada Abdullah (2010, hlm. 28), sejarah lokal terbagi dalam 4
kelompok, yaitu: (1) Studi yang difokuskan pada suatu peristiwa tertentu (studi
menekankan pada struktur; (3) Studi yang mengambil perkembangan aspek
tertentu dalam kurun waktu tertentu (seringkali disebut dengan studi tematis), dan
(4) Studi sejarah umum yang menguraikan perkembangan daerah tertentu
(propinsi, kota, kabupaten) dari masa ke masa. Berdasarkan klasifikasi di atas,
salah satu peristiwa lingkungan terdekat tersebut dapat diambil dalam beberapa
bidang, seperti perkembangan ekonomi, sosial, atau budaya merupakan bagian
dari kelompok studi sejarah yang bersifat tematis. Bahkan dalam arus gerak
sejarah tak jarang peristiwa sejarah terjadi akibat dari perjuangan identitas, baik
identitas pribadi, golongan ataupun kelompok tertentu.
Jelas sekali, peranan pendidikan sejarah dalam menumbuhkembangkan
ataupun menjaga kebudayaan yang ada, dimana melalui pembelajaran sejarah
lokal dapat menciptakan sebuah sumber dalam pembelajaran. Kegiatan belajar
dan pembelajaran memerlukan sumber belajar untuk memperlancar tercapainya
tujuan belajar. Sumber belajar yang kontekstual tidak hanya berupa media di
dalam kelas, tetapi memiliki sumber yang luas. Tidak hanya berupa sumber
belajar bacaan, tetapi juga sumber belajar non bacaan, termasuk di dalamnya
kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar kehidupan peserta didik seperti adat
istiadat (Komalasari, 2010, hlm. 107).
Salah satu cara untuk sumber dalam pembelajaran sejarah hendaknya
peserta didik diajak melihat langsung kehidupan yang nyata dan dekat dengan
lingkungan peserta didik, bukan pada buku teks semata yang jauh dari realitas.
Seperti yang diungkapkan oleh Supriatna (2007a, hlm. 157) bahwa:
lingkungan sosial peserta didik merupakan sumber belajar yang sangat kaya bagi pembelajaran. Apabila dalam pembelajaran tradisional guru lebih banyak mengandalkan sumber berupa buku teks dan diceramahkan kembali di kelas maka pemanfaatan sumber dari luar kelas (lingkungan sosial) melalui berbagai strategi akan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran terutama dalam pembelajaran sejarah yang dekat dengat aspek sosial.
Berdasarkan pendapat di atas bahwa guru sebaiknya dalam menyajikan suatu
peristiwa sejarah kepada peserta didik, haruslah memberikan contoh pula terhadap
peristiwa sejarah yang dekat lingkungan peserta didik kemudian dikaitkan dengan
Peranan guru adalah menyediakan, menunjukkan, membimbing dan
memotivasi peserta didik agar mereka dapat berinteraksi dengan berbagai sumber
belajar yang ada. Bukan hanya sumber belajar yang sengaja dirancang untuk
keperluan belajar, melainkan juga sumber belajar yang telah tersedia. Semua
sumber belajar itu dapat kita temukan, kita pilih, dan kita manfaatkan sebagai
sumber belajar bagi peserta didik.
Pada kenyataannya, dewasa ini banyak para guru yang mengajar dengan
pola tradisional dan mengabaikan keterampilan-keterampilan yang sangat
mendasar. Keterampilan dasar mengajar ini adalah merupakan panduan
pengajaran dengan menggunakan perangkat “Sydney Micro Skills”
(Turney,1975). Adapun Keterampilan Dasar Mengajar ini adalah: (1)
keterampilan bertanya, (2) keterampilan memberi penguatan, (3) keterampilan
mengadakan variasi, (4) keterampilan menjelaskan, (5) keterampilan membuka
dan menutup pelajaran, (6) keterampilan memimpin diskusi kelompok kecil, (7)
keterampilan mengelola kelas, (8) keterampilan mengajar kelompok kecil dan
perorangan.
Guru inovatif hendaknya melihat pelajaran bukan sekedar pelajaran
bersifat teoritis, tetapi harus mampu menciptakan hal-hal praktis seperti nilai-nilai
kemandirian, membangun rasa yang sarat nilai, sangat penting
ditumbuhkembangkan kepada peserta didik. Peserta didik bukan hanya belajar
nilai-nilai kepahlawanan, nasionalisme dan lain-lain yang bersifat umum, namun
mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal sekitar seperti sikap mental mandiri,
berani/perkasa, ulet, tekun, aktif, kreatif, bermoral tinggi, memiliki kepekaan
lingkungan, mandiri, menjadi pencipta lapangan kerja dan bukan sekedar pencari
kerja akan menjadi benteng survival terhadap imperialisme ekonomi gaya baru
dari globalisasi (Wiriaatmadja, 2007, hlm. 217).
Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan dukungan
nilai karakternya memberikan peluang kepada guru sejarah untuk
mengembangkan sejarah di lingkungan sekitarnya sehingga membangun memory
mengetahui dan pada akhirnya bermuara pada kesadaran sejarah lingkungannya.
Akan tetapi, realitas di lapangan berkata lain, dimana terjadinya mis-interpretasi
terhadap kurikulum itu sendiri. Dampak dari anggapan tersebut, mereka masih
tetap melakukan pembelajaran yang konvensional. Padahal, kalau guru berpikir
dan bertindak kreatif, banyak sumber-sumber belajar sejarah di sekitar lingkungan
peserta didik untuk dikembangkan. Sumber-sumber belajar tersebut sangat
bermanfaat untuk mengembangkan kesadaran sejarah.
Salah satu upaya yang dilakukan dalam memahami masyarakat pada masa
lalu dapat dilakukan melalui pembelajaran sejarah lokal di lingkungan peserta
didik. Hal ini diupayakan agar pembelajaran sejarah dengan materi pembelajaran
sejarah lokal akan lebih mudah dipahami peserta didik dan melihat secara
langsung realitas kehidupan sesungguhnya di lingkungan terdekatnya.
Aspek-aspek sosial yang dapat dikaji dalam sejarah lokal dapat berupa perilaku individu
maupun kelompok dalam suatu komunitas tertentu. Perilaku tersebut dipengaruhi
oleh berbagai struktur, baik geografis, budaya, sosial, ekonomi dan lainnya.
Pembelajaran sejarah lokal di sekolah dapat dimulai dari lingkungan terdekat
hingga terjauh peserta didik. Hal terpenting adalah bagaimana peserta didik
diberikan pemahaman konsep-konsep dari sejarah yang dapat dijadikan alat
analisa oleh peserta didik dalam melihat realitas masyarakat yang senantiasa
mengalami perubahan (Mulyana & Gunawan, 2007, hlm. 4-7).
Dengan mengangkat materi sejarah lokal, peserta didik merasa ada
kedekatan emosional terhadap lingkungannya sehingga nilai genealogis,
kesadaran sejarah, dan kolektif memori akan terbangun dimulai dari lokalitas
menuju nasional. Hal ini sejalan dengan pemikiran Hasan (2012, hlm. 122) bahwa “posisi materi sejarah lokal dianggap penting karena pendidikan harus dimulai dari lingkungan terdekat dan peserta didik harus menjadi dirinya sebagai anggota masyarakat terdekat”. Sehingga pada akhirnya kesadaran sejarah akan identitas dirinya sebagai anggota masyarakat akan terwujud.
Salah satu upaya dalam mengangkat materi sejarah lokal adalah dengan
melakukan konsep social capital. Social capital (selanjutnya disebut modal sosial)
perhatian yang tinggi dengan mengkaji peranan dan implementasi modal sosial.
Menurut definisi World Banks (1999) adalah:
“social capital refers to the institution, relationship and norms that shape the quality and quantity of a society’s social interactions. Increasing evidence shows that social cohesion is critical for societis to prosperecomically and for developments to be sustainable. Social capital is not just the sum of the instituions (that) undepin a society – it is the glue that holds them together” (Halpern, 2005, hlm. 16).
Modal Sosial menjadi semacam perekat yang mengikat setiap individu dalam suatu komunitas. Di dalamnya berjalan “nilai saling berbagi” (shared values) serta pengorganisasian peran-peran (rules) yang diekspresikan dalam
hubungan-hubungan personal (personal relationships), kepercayaan (trust), dan common
sense tentang tanggung jawab bersama. Jadi, elemen utama dalam modal sosial mencakup norm, reciprocity, trust, dan network. Social capital tercipta dari
ratusan sampai ribuan interaksi antar orang setiap hari. Ia tidak berlokasi di diri
pribadi atau dalam struktur sosial, tapi pada space between people. Ia menjadi
pelengkap institusi. Modal sosial merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah,
yang berasal dari orang-orang yang membentuk koneksi sosial dan network yang
didasarkan atas prinsip kepercayaan dalam hubungan yang saling menguntungkan
(mutual reciprocity). Ia tidak dapat diciptakan oleh seorang individual, namun
sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat (Hasbullah, 2007).
Pembelajaran sejarah lokal perlu diperkenalkan kepada peserta didik agar
peserta didik dapat mengenali identitas kelokalannya maupun penghargaan
terhadap lokalitas atau identitas daerah lain dengan mempertimbangkan asas
belajar dan tahap perkembangan peserta didik. Mengingat pembelajaran sejarah
bukan hanya tanggung jawab guru pelajaran semata, maka pemerintah pusat dan
pemerintah daerah perlu memotivasi pelaksanaan pendidikan sejarah di sekolah
agar pembelajaran lokal dapat dilaksanakan (Supardan, 2004, hlm. 262).
Dengan melakukan pembelajaran sejarah lokal yang memanfaatkan
lingkungan sekitarnya, guru diharapakan dapat menghindari apa yang dikatakan
Wineburg (2008, hlm. 16) yang menilai selama ini sejarah yang diajarkan sekolah
mempelajari asal-usul daerah lain, namun tidak memahami asal-usul daerahnya
sendiri. Di sisi lain juga muncul persoalan yang terkait dengan kecurigaan dari
kelompok tertentu yang merasa tidak diuntungkan dalam kurikulum.
Pembelajaran sejarah lokal yang dapat diangkat di lingkungan SMA
Pasundan 1 Tasikmalaya dapat dilaksanakan dengan tidak keluar dari lingkungan
sekolah. Gedung yang menjadi kampus SMA Pasundan 1 Tasikmalaya adalah
saksi bisu dari haru-birunya perkembangan pendidikan di Tasikmalaya. Kampus
SMA Pasundan 1 yang terletak di Jl. Dewi Sartika Kota Tasimalaya (sekarang)
dulunya merupakan gedung bekas Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Pasundan
yang didirikan pada tahun 1922. HIS Pasundan ini adalah sebuah sekolah yang
dibangun oleh Paguyuban Pasundan dalam mengimplementasikan visi misinya
dalam bidang pengajaran. Keberadaan bangunan HIS Pasundan yang sampai
sekarang dipakai oleh SMP dan SMA Pasundan Tasikmalaya adalah sebuah bukti
eksistensi dari Paguyuban Pasundan yang berkomitmen dalam bidang pengajaran.
Selain itu pula dapat digunakan berbagai peristiwa sejarah mengenai apa yang
menjadi modal sosial Paguyuban Pasundan dalam menjaga eksistensi
organisasinya. Dimana hal ini tidak terlepas dari budaya Sunda yang ikut
dilestarikan oleh organisasi ini.
Dengan demikian, berdasarkan latar belakang masalah, penulis mengambil
judul penelitian “Penerapan Modal Sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya” (Studi naturalistik inquiri terhadap peserta didik SMA Pasundan 1 Tasikmalaya).
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka fokus penelitian ini
adalah bagaimana pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui
C. Rumusan Masalah Penelitian
Adapun rumusan masalah yang akan dikaji yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana desain pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda dalam
kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya?
2. Bagaimana implementasi pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda
melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya?
3. Bagaimana hasil yang diperoleh dengan pembelajaran penerapan modal sosial
orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya?
4. Bagaimana solusi dalam memecahkan kendala yang dihadapi dalam
pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah
Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin diperoleh dengan melakukan penelitian ini adalah:
1. Memperoleh desain pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda
melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya.
2. Memperoleh gambaran implementasi pembelajran penerapan modal sosial
orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya.
3. Mengidentifikasi hasil yang diperoleh dari pembelajaran penerapan modal
sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di
Tasikmalaya.
4. Mengidentifikasi solusi dalam memecahkan kendala yang dihadapi dalam
pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah
Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan informasi secara ilmiah mengenai kesadaran sejarah pada
peserta didik melalui penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian
b. Sebagai sumber data untuk penelitian kedepannya dalam memahami
lebih jauh mengenai pengaruh implementasi pembelajaran sejarah lokal
dengan mengintegrasikan nilai kearifan lokal dalam pembelajaran sejarah
terhadap pengembangan kesadaran sejarah peserta didik.
2. Manfaat Kebijakan
Memberikan informasi terhadap sekolah atau lembaga terkait melalui
pengembangan kesadaran sejarah pada peserta didik dengan menggunakan
pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah
Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya. Dengan demikian, informasi diharapkan
menjadi pertimbangan dalam materi sejarah pada kurikulum yang
dilaksanakan di sekolah.
3. Manfaat Praktis
a. Bagi guru yaitu sebagai motivasi dan bahan pertimbangan guru untuk
lebih memanfaatkan sejarah lokal untuk mengaitkannya dengan sejarah
nasional dalam merencanakan dan mengemas proses pembelajarannya
b. Bagi peserta didik yaitu diharapkan lebih mengenal, memahami dan
menghargai sejarah lokalnya yang merupakan bagian dari sejarah
bangsanya serta menjadi momentum kesadaran sejarahnya terhadap apa
yang ada di lingkungan sekitarnya.
c. Bagi sekolah yaitu meningkatkan prestasi sekolah melalui
inovasi-inovasi yang dilakukan oleh guru sehingga guru lain termotivasi untuk
meningkatkan profesionalisme.
F. Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian ini dibuat sebagai sebuah gambaran peta konsep
yang dilakukan untuk mempermudah dalam melihat kegiatan secara keseluruhan
maka dalam hal ini kalau dikaitkan dengan konsep berfikir yang dikembangkan oleh Kuhn (1970) dalam “The Structure of scientific Revolution” dapat dikemukakan sebagai berikut: paradigma I yang memiliki keterkaitan dengan
normal sains (normal science) dengan karakteristik pada tatanan ini sebagai gugus
melakukan studi itu telah diterima secara luas. Dalam hal ini Chalmers (1983,
hlm. 13) menyatakan, ”bahwa pengembangan ilmu bertitik tolak dari observasi,
dan observasi memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan
ilmiah di atasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari
keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi”.
Adapun bagan paradigma dari penelitian ini adalah:
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian merupakan hal yang utama dalam sebuah penelitian.
Dengan adanya metode penelitian, peneliti akan mampu memecahkan masalah
yang ditelitinya. Pada bab ini, penulis menjabarkan komponen-komponen
metodologi penelitian yang meliputi: lokasi dan subjek, metode, desain,
instrumen, teknik pengumpulan data dan analisis penelitian. Adapun
penjabarannya adalah sebagai berikut:
A. Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Pasundan 1 Tasikmalaya. Aspek
pelaku adalah guru bidang studi sejarah dan peserta didik kelas XI IPS yang
nantinya terlibat interaksi belajar mengajar dan dari aspek kegiatan adalah proses
pembelajaran Sejarah. Adapun kelas yang akan diteliti adalah kelas XI IPS 1
SMA Pasundan 1 Tasikmalaya.
Alasan penelitian di lokasi ini dikarenakan bahwa sekolah ini adalah
sekolah yang dikelola oleh Yayasan Paguyuban Pasundan. Secara historis, lokasi
penelitian dahulunya merupakan sebuah sekolah yang didirikan oleh Paguyuban
Pasundan sebelum masa kemerdekaan. Dapat dikatakan keberadaan dari bangunan
yang telah berusia lebih dari 50 tahun dapat digolongkan ke dalam cagar budaya
serta pengelola yang tidak berubah yaitu Paguyuban Pasundan, sehingga
menimbulkan sebuah keunikan tersendiri, dimana lokasi ini dapat dikatakan
sebagai simbol dari identitas eksistensi Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya.
Subjek penelitian ini adalah guru dan peserta didik kelas XI IPS 1 SMA
Pasundan 1 Tasikmalaya sebanyak 13 orang yang terjadi dalam pembelajaran
sejarah. Pada penelitian ini yang diamati sebagai sumber manusia, peristiwa, dan
situasi. Manusia yang dimaksud adalah semua orang yang terlibat dalam
dimaksud adalah semua kejadian yang diamati selama kegiatan pembelajaran
berlangsung di dalam kelas. Sedangkan yang dimaksud dengan situasi adalah latar
atau gambaran yang menyangkut keadaan atau kondisi ketika berlangsung
pengamatan terhadap pengembangan pembelajaran oleh guru atau peneliti.
Pada penelitian ini, peneliti berusaha memperoleh berbagai macam data
yang berhubungan dengan penelitian. Data tersebut akan diperoleh dari semua
perkataan, tindakan, situasi, dan peristiwa yang dapat diamati oleh peneliti selama
kegiatan pembelajaran sejarah di kelas XI IPS 1 SMA Pasundan 1 Tasikmalaya.
Sedangkan sumber data tersebut yaitu dari guru, peserta didik, dan pihak-pihak
lain yang sesuai dengan penelitian ini.
Pemilihan subjek dalam penelitian ini, didasarkan pada pertimbangan
bahwa kelas XI IPS 1 perlu mendapatkan perhatian. Karena selama ini kelas
tersebut dianggap kelas yang kurang memiliki kemampuan akademik yang
memadai, kurang motivasi belajar, sering terlambat dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran dan pasif dalam proses pembelajaran.
Lincoln dan Guba (1985, hlm. 39) mengemukakan bahwa karakteristik
penelitian kualitatif bersifat „emergent design‟, maksudnya bahwa peneliti melakukan riset pada fenomena yang muncul dan bukan mengkonstruksikan apa
fenomenanya dikarenakan peneliti ingin tahu sistem nilai-nilai yang muncul dari
fenomena tersebut yang akan dijadikan fungsi interaksi antara peneliti dengan
fenomena tersebut. Dalam penelitian kualitatif pada tahap awal penelitian dan
kemungkinan peneliti belum memiliki gambaran yang jelas tentang aspek-aspek
masalah yang akan ditelitinya, tetapi ia akan mengembangkan fokus penelitian
sambil berjalan dan saat mengumpulkan data. Penelitian ini, seperti yang
diungkap oleh Bodgan & Biklen (1992, hlm. 31) berusaha memahami makna
prilaku manusia dalam situasi tertentu, dalam hal ini guru dan peserta didik dalam
lingkungan kelas menurut persfektif peneliti sendiri
(naturalistik) sangat berbeda dengan penentuan sampel dalam penelitian
konvensional (kuantitatif). Sampel yang dipilih berfungsi untuk mendapatkan
informasi yang maksimum, bukan untuk digeneralisasikan.
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif
terutama data-data mengenai variabel-variabel terteliti. Berdasarkan jenis data
dalam penelitian ini, maka sumber data penelitian yang dapat memberi akses
terhadap data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi:
1. Guru sejarah, peserta didik, dan kepala sekolah
2. Proses pembelajaran sejarah di kelas
3. Literatur yaitu buku-buku, artikel dan media visual yang berkaitan dengan
modal sosial orang Sunda, pembelajaran sejarah lokal Paguyuban
Pasundan di Tasikmalaya dan kesadaran sejarah.
B. Metode Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif (qualitative research). Bogdan & Taylor (dalam Moleong,
2012, hlm. 4) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dari
individu tersebut secara holistik (utuh).
Sedangkan menurut Nasution (2003, hlm. 5) penelitian kualitatif adalah
mengamati orang dalam lingkungan, berinteraksi dengan mereka dan menafsirkan
pendapat mereka tentang dunia sekitar. Selanjutnya Sukmadinata (2005, hlm. 60)
menyatakan bahwa penelitian kualitatif (qualitative research) adalah suatu
penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena,
peristiwa, aktifitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara
individu maupun kelompok.
Ciri umum yang ditampilkan dalam penelitian kualitatif merupakan
penelitian yang menghasilkan data deskriptif dan analisis serta interpretasinya
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati
memusatkan pada ucapan dan tindakan subyek penelitian serta situasi alami
dengan berpegang teguh terhadap kekuatan data hasil wawancara.
Alasan peneliti memilih metode kualitatif naturalistik karena metode
kualitatif naturalistik dapat mengungkapkan pengetahuan yang tidak terkatakan,
seperti perilaku subjek penelitian yang dapat diamati seperti perhatian, keseriusan,
dan ekspresi informan pada saat wawancara maupun saat melakukan kegiatan.
Oleh karena itu, ciri yang menonjol dari penelitian ini adalah cara pengamatan dan
pengumpulan datanya dilakukan dalam latar/seting alamiah, artinya tanpa
memanipulasi subyek yang diteliti atau apa adanya. Tujuan dari penelitian
naturalistik adalah untuk mengetahui aktivitas, realitas sosial dan persepsi
manusia melalui pengakuan mereka yang mungkin tidak diungkapkan melalui
penonjolan pengukuran formal atau pertanyaan penelitian yang telah dipersiapkan
dahulu.
Lincoln & Guba (1985, hlm. 39) mengasumsikan sebagai berikut:
1) Tindakan pengamatan mempengaruhi apa yang dilihat, karena itu hubungan penelitian harus mengambil tempat pada keutuhan dalam konteks untuk keperluan pemahaman.
2) Konteks sangat ditentukan dalam menetapkan suatu penemuan mempunyai arti bagi konteks lainnya yang berarti sebuah fenomena harus dilihat dari sebuah keseluruhan pengaruh di lapangan.
Dengan demikian, dalam penelitian ini, karakteristik naturalistik tampak dari
tujuan penelitian yang ingin memperoleh gambaran implementasi pembelajaran
penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan
di Tasikmalaya, bukan untuk mengujikan suatu teori dengan beberapa variabel
melalui sebuah kuesioner. Sebagai instrumen, peneliti memberikan perhatian
penuh/terfokus pada proses pembelajaran yang sedang berlangsung di kelas
seperti cara guru mengajar di kelas, respon peserta didik, materi yang diajarkan,
cara guru menilai peserta didik dan ekspresi subjek. Peneliti tidak melakukan
rekayasa apapun terhadap peserta didik, guru dan kelas semua dibiarkan berjalan
apa adanya. Selain itu, karakteristik naturalistik juga terdapat pada proses
penelitian dimana peneliti berusaha untuk mengungkapkan suatu realitas kegiatan
pengamatan atau observasi dan dokumentasi terkait aktivitas peserta didik dan
aktivitas guru mengajar.
Selanjutnya, Lincoln & Guba (1985) menyatakan naturalistik inkuiri
merupakan metode yang berorientasi pada penemuan yang meminimalisir
manipulasi peneliti atas objek penelitian/studi. Selanjutnya metode naturalistik
inkuiri dapat digolongkan menjadi dua yaitu naturalistik inkuiri interaktif dan
non-interaktif. Model naturalistik inkuiri ini penting karena mempunyai suatu
sejarah yang terkemuka, dalam satu disiplin dan jurnal yang telah terkenal, buku
dan metodologi khusus yang menggolongkan pendekatannya.
Naturalistik inkuiri interaktif merupakan suatu pendalaman studi yang
mempergunakan teknik face-to-face (bertatap muka) untuk mengumpulkan data
dari orang-orang yang diteliti. Para peneliti kualitatif membangun suatu
kompleks, gambaran holisitik dengan uraian perspektif penutur asli yang
terperinci. Beberapa peneliti kualitatif mendiskusikan secara terbuka nilai-nilai
tersebut dan kemudian membentuk naratifnya. Para peneliti interaktif
menguraikan konteks studinya, serta menggambarkan perspektif yang berbeda
dari fenomena dan secara terus menerus meninjau kembali pertanyaan dari
pengalaman mereka di bidang tersebut.
Adapun naturalistik inkuiri non-interaktif merujuk pada penelitian analitis,
menyelidiki konsep dan peristiwa historis melalui suatu analisis dokumen. Para
peneliti mengidentifikasi studi, lalu manyatukan data untuk menyediakan suatu
pemahaman konsep atau suatu peristiwa masa lampau yang boleh atau tidak boleh
akan menjadi tampak secara langsung. Dokumen yang dibuktikan keasliannya
merupakan sumber utama dari data. Peneliti menginterpretasikan „fakta‟ untuk
menyediakan penjelasan tentang masa lampau dan menjelaskan makna kolektif di
bidang pendidikan yang bisa jadi praktik isu dan arus dasar.
C. Instrumen Penelitian
Ada dua hal utama yang mempengaruhi kualitas data hasil penelitian,
yaitu kualitas instrumen penelitian dan kualitas pengumpulan data. Dalam
itu sendiri. Peneliti sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus
penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data,
menilai kualitas data, menafsirkan data, dan membuat kesimpulan atas temuannya
(Lincoln & Guba, 1985, hlm. 39; 194).
Lincoln dan Guba (1985, hlm. 199) menyatakan bahwa “...the human-as-instrument is inclined toward methods that are extensions of normal
human activities: looking, listening, speaking, reading, and the like”. Dari pernyataan ini semakin jelas bahwa keunggulan manusia sebagai instrumen dalam
penelitian naturalistik karena alat ini dapat melihat, mendengar, membaca,
merasa, dan sebagainya yang biasa dilakukan manusia umumnya.
Moleong (2008, hlm. 169) menjelaskan, ada beberapa alasan mengapa
manusia dijadikan sebagai instrumen dikarenakan:
1) Manusia sebagai instrumen responsif terhadap lingkungan dan terhadap
pribadi-pribadi yang menciptakan lingkungan.
2) Manusia sebagai instrumen hampir tidak terbatas dapat menyesuaikan diri
pada keadaan dan situasi pengumpulan data.
3) Manusia sebagai instrumen memanfaatkan imajinasi dan kreativitasnya
dan memandang dunia sebagai suatu keutuhan, jadi sebagai konteks yang
berkesinambungan dimana mereka memandang dirinya sendiri dan
kehidupannya sebagai sesuatu yang riil, benar, dan mempunyai arti.
4) Manusia sebagai instrumen mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan.
5) Manusia sebagai instrumen ialah memproses data secepatnya setelah
diperolehnya, menyusunnya, mengubah arah inkuiri atas dasar
penemuannya.
6) Manusia sebagai instrumen memiliki kemampuan lainnya, yaitu
kemampuan untuk menjelaskan sesuatu yang kurang dipahami responden.
Selanjutnya, Lincoln dan Guba (1985, hlm. 193) mengemukakan sejumlah
alasan mengapa manusia sebagai alat pengumpul data, yaitu:
2) Holistic emphasi; holistik dalam lingkungan sekeliling, akan memerlukan manusia sebagai instrumen yang mampu menangkap gejala lingkungan
alamiah yang menyeluruh.
3) Adaptability; daya guna manusia untuk menyesuaikan diri sangat tinggi
sehingga dapat mengumpulkan informasi mengenai banyak aspek pada
berbagai tingkatan secara simultan.
4) Knowledge base expansion; berkemampuan menjalankan fungsi secara simultan dalam ranah pengetahuan proposisional dan dalam pengetahuan
yang dikumpulkan berdasarkan pengalaman.
5) Processual immediacy; kemampuan manusia sebagai instrumen untuk memproses data segera setelah terkumpul, dan dapat segera
mengembangkannya
6) Opportunities to explore typical or idiosyncratic response; mempunyai kemampuan untuk menyelidiki jawaban-jawaban sumber data dan
informasi sampai pada tingkat pemahaman yang lebih tinggi.
7) Opportunities for clarification and summarization; mempunyai kemampuan yang unik dalam menyimpulkan data serta meminta perbaikan
dan penjelasaan secara langsung dari sumber informasi.
Adapun menurut Nasution (2003, hlm. 55-56), peneliti sebagai alat
penelitian karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Peneliti sebagai alat, peka, dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus
dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi
penelitian.
2) Peneliti sebagai alat, dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek
keadaan dan dapat mengumpulkan angka ragam data sekaligus.
3) Tiap situasi merupakan suatu keseluruhan.
4) Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, dipahami dengan
merasakan dan menyelaminya berdasarkan penghayatan.
5) Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh.
6) Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan
menggunakannya sebagai balikan untuk memperoleh penegasan,
perubahan, perbaikan atau penolakan.
7) Dengan manusia sebagai instrumen, respon yang lain dari pada yang lain
dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan tingkat pemahaman
mengenai aspek yang diselidiki.
Dengan demikian, maka pilihan pendekatan dan metode dalam penelitian ini
dilandasi oleh beberapa pertimbangan yaitu:
1) Data yang terkumpul berupa kata-kata atau uraian deskriptif meskipun
tidak menutup kemungkinan berupa angka-angka, perolehan data
dilakukan melalui teknik observasi, dokumentasi, dan wawancara;
2) Dalam penelitian ini peneliti memiliki kedudukan yang sama dengan
subjek penelitian, baik di saat melakukan wawancara, maupun di saat
mengamati sejumlah fenomena sesuai dengan fokus penelitian yang
terjadi secara holistik;
3) Proses kerja penelitian dilakukan dengan mengutamakan pandangan dan
pendirian responden penelitian terhadap situasi yang dihadapi;
4) Data penelitian dianalisis secara induktif untuk mendapatkan makna dari
kondisi alami yang ada;
5) Pemaknaan dalam penelitian dilakukan oleh peneliti serta atas interpretasi
bersama antara peneliti dengan sumber data dan fokus masalah tentang
pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah
Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya.
6) Tingkat keterpercayaan data yang diperoleh dilakukan melalui verifikasi
data dengan metode dan subjek yang berbeda-beda, kemudian dilakukan
penyesuaian-penyesuaian.
Untuk memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data, maka diperlukan
beberapa alat bantu, yaitu:
1) Buku catatan berfungsi untuk mencatat semua pengamatan dan
percakapan dengan sumber data atau informan. Buku catatan ini
mewawancarai informan di SMA Pasundan 1 Tasikmalaya, terutama
peserta didik Kelas XI IPS 1, guru sejarah, dan kepala sekolah.
2) Tape Recorder berfungsi untuk merekam semua percakapan atau pembicaraan selama peneliti mewawancarai informan atau sumber data.
3) Camera digunakan untuk merekam kegiatan pembelajaran sejarah di kelas, juga dapat digunakan untuk mengambil gambar pada saat kegiatan
pembelajaran sejarah di SMA Pasundan 1 Tasikmalaya. Pengambilan
gambar dilakukan ketika observasi berlangsung dan dengan adanya
kegiatan alat penelitian ini maka keabsahan penelitian lebih terjamin,
karena betul-betul melakukan pengumpulan data.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam
penelitian, karena tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan data. Data yang
dihimpun dalam penelitian ini berupa kata-kata, tindakan dan dokumen, situasi
dan peristiwa yang dapat diobservasi. Nasution (2003, hlm. 56) mengatakan
bahwa sumber data yang dimaksud adalah:
kata-kata diperoleh secara langsung atau tidak langsung melalui wawancara, dan observasi. Dokumen berupa kurikulum, satuan pembelajaran, rencana pelajaran, buku paket, dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah penelitian. Situasi yang berhubungan dengan kegiatan subjek penelitian dan masalah penelitian seperti dalam proses belajar mengajar, situasi belajar di perpustakaan dan situasi di lingkungan sekolah.
Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan di dalam “natural setting” atau kondisi yang alamiah untuk mendapatkan sumber data primer. Sesuai dengan sumber data yang akan dituju dalam penelitian ini, maka teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah:
a. Observasi
Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan, para ilmuwan hanya dapat
bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang
diperoleh melalui observasi (Nasution, 2003, hlm. 67). Selanjutnya Alwasilah
menarik inferensi (kesimpulan) ihwal makna dan sudut pandang informan,
kejadian, peristiwa atau proses yang diamati. Dengan adanya observasi,
peneliti akan melihat sendiri pemahaman yang tidak terucapkan (tacit
understanding) juga sudut pandang informan yang mungkin tidak tercungkil
dalam wawancara.
Adapun Faisal (1990) mengklarifikasikan observasi menjadi observasi
partisipasi (participant observation), observasi yang secara terang-terangan
atau tersamar (overt observation and cover observation), dan observasi yang
tak berstruktur (unstructured observation). Terkait dengan hal tersebut di
atas, maka dalam penelitian guru dan peserta didik di SMA Pasundan 1
Tasikmalaya ini observasi yang peneliti gunakan adalah observasi
partisipasif, dimana peneliti datang ke lokasi atau kelas untuk mengamati
situasi dan aktivitas peserta didik, namun peneliti tidak ikut terlibat dalam
kegiatan tersebut. Observasi akan dilakukan untuk mengamati proses
pembelajaran yang dilakukan oleh guru sejarah di antaranya:
1) Mengamati secara langsung proses pembelajaran yang dilakukan di kelas
mulai dari membuka pelajaran, menyampaikan materi pembelajaran serta
mengakhiri pembelajaran untuk melihat bagaimana implementasi
pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah
Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya, dalam hal ini observasi tertuju
pada guru dan peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung.
2) Kegiatan belajar peserta didik di luar kelas terutama melihat relevansi apa
yang mereka pelajari di luar kelas dengan pola tingkah laku peserta didik
di kelas terutama di lingkungan sekolah dalam hubungan peserta didik
dengan peserta didik dengan guru dan personil lainnya di lingkungan
sekolah.
3) Interaksi edukatif antara guru dengan peserta didik terutama berkenaan
dengan upaya guru dalam mengembangkan pemahaman peserta didik
tentang pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda bagi peserta
Menurut Patton (dalam Nasution, 2003, hlm. 78) manfaat observasi adalah (a)
dengan observasi di lapangan peneliti akan lebih mampu memahami konteks
data dalam keseluruhan situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh pandangan
yang holistik (menyeluruh); (b) dengan observasi akan diperoleh pengalaman
langsung, sehingga memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan
induktif, jadi tidak dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumnya.
Pendekatan induktif membuka kemungkinan melakukan penemuan atau
discovery; (c) dengan observasi, peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang atau tidak diamati orang lain, khususnya orang yang berada dalam lingkungan
itu, karena telah dianggap „biasa‟ dan karena itu tidak akan terungkapkan
dalam wawancara; (d) dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal
yang tidak akan terungkapkan oleh responden dalam wawancara karena
bersifat sensitif atau ingin ditutupi karena dapat merugikan nama lembaga; (e)
dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal di luar persepsi
responden, sehingga peneliti memperoleh gambaran yang lebih
komprehensif; (f) melalui pengamatan di lapangan, peneliti tidak hanya
mengumpulkan data yang kaya, tetapi juga memperoleh kesan-kesan pribadi,
dan merasakan suasana situasi sosial yang diteliti.
b. Wawancara
Teknik ini digunakan karena ingin menggali informasi secara mendalam dan
karena merasa tidak tahu mengenai apa yang terjadi sebenarnya. Hal ini
terutama kekurangtahuan peneliti mengenai kognisi dan afeksi informan
mengenai variabel-variabel terteliti. Untuk itu diajukan pertanyaan terbuka,
mengarah pada kedalaman informasi (Sutopo, 2006, hlm. 68). Berdasarkan
hal itu, contoh-contoh pertanyaan yaitu (a) Apa yang anda ketahui mengenai
modal sosial orang Sunda?; (b) Bagaimana memunculkan kesadaran sejarah
dalam pembelajaran yang telah anda lakukan?
Selanjutnya dilancarkan clarifying interview (wawancara mengklarifikasi)
terhadap informan dari guru sejarah, peserta didik dan kepala sekolah. Dalam
untuk membantu informan mengklarifikasi secara mendalam beberapa
informasi yang kurang jelas atau saling bertentangan.
Kedua teknik pengumpulan data di atas telah dikembangkan menjadi
instrumen pengumpulan data berupa pedoman-pedoman, meliputi: pedoman
wawancara untuk guru sejarah, pedoman wawancara untuk para peserta didik,
pedoman wawancara untuk kepala sekolah, dan pedoman observasi proses
pembelajaran sejarah.
c. Studi dokumen.
Arikunto (1998, hlm. 236) mengemukakan bahwa studi dokumen merupakan
suatu teknik yang digunakan dan mencari data mengenai hal-hal atau
cacatan-catatan, buku-buku, surat kabar, prasasti, kajian kurikulum dan sebagainya.
Lincon dan Guba (1985, hlm. 276-277) mengatakan bahwa dokumentasi dan
catatan digunakan sebagai pengumpulan data didasarkan pada beberapa hal
yakni:
1) Dokumen dan catatan ini selalu dapat digunakan terutama karena mudah
diperoleh dan relatif lebih murah.
2) Merupakan informasi yang mantap baik dalam pengertian merefleksikan
situasi secara akurat maupun dapat dianalisis ulang tanpa melalui
perubahan didalamnya.
3) Dokumen dan catatan merupakan sumber informasi yang kaya.
4) Keduanya merupakan sumber resmi yang tidak dapat disangkal, yang
menggambarkan kenyataan formal.
5) Tidak seperti pada sumber manusia, baik dokumen maupun catatan non
kreatif, tidak memberikan reaksi dan respon atau pelakuan peneliti.
Adapun dokumen yang peneliti maksudkan adalah tulisan hasil penelitian
yang berkaitan dengan eksistensi Paguyuban Pasundan. Dokumen atau tulisan
tersebut adalah yang peneliti butuhkan untuk mendapatkan gambaran mengenai
penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan.
Selain itu ada pula dokumen Silabus dan RPP yang penulis butuhkan untuk
melihat rencana yang guru persiapkan dalam implementasi pembelajaran