• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKIBAT HUKUM BAGI KRAMA DESA YANG BERALIH AGAMA TERHADAP TANAH KARANG DESA DI DESA ADAT SAMPALAN KABUPATEN KLUNGKUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "AKIBAT HUKUM BAGI KRAMA DESA YANG BERALIH AGAMA TERHADAP TANAH KARANG DESA DI DESA ADAT SAMPALAN KABUPATEN KLUNGKUNG"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

20

AKIBAT HUKUM BAGI KRAMA DESA YANG BERALIH AGAMA TERHADAP TANAH KARANG DESA DI DESA ADAT SAMPALAN

KABUPATEN KLUNGKUNG Anak Agung Gede Agung Indra Prathama

Universitas Ngurai Rai Denpasar, gmail. Indraprathama0@gmail.com

ABSTRAK, Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat Bali karena pengaruh modernisasi dan globalisasi di sector pariwisata telah menyebabkan tanah-tanah adat Bali mengalami perubahan status dan fungsinya. Hal ini tampak jelas di daerah-daerah yang industri pariwisatanya berkembang pesat, seperti di Kabupaten Klungkung. Pengembangan industri pariwisata seperti membangun penginapan, toko kesenian dan fasilitas penunjang lainnya, ada kalanya memakai tanah-tanah adat. Hal inilah yang dapat menimbulkan perubahan status dan fungsi tanah-tanah adat, yang dapat berpengaruh terhadap hak-hak atas tanah.

Manfaat Penelitian yang diperoleh adalah secara teoritis diharapkan peneliti memberikan kontribusi pemikiran tentang akibat hukum bagi krama desa yang beralih agama terhadap tanah karang desa di Desa Adat Sampalan Kabupaten Klungkung dan manfaat secara praktis dapat menambah materi ilmu hukum adat khususnya di Provinsi Bali, Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah hak dan kewajiban krama desa yang menempati karang desa di Desa Adat Sampalan Kabupaten Klungkung dan bagaimanakah akibat hukum krama yang beralih agama di Desa Adat Sampalan Kabupaten Klungkung. Jenis penelitian yang dipergunakan dalam membahas masalah penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris. Simpulan penelitian ini adalah Hak dan kewajiban krama desa yang menempati karang desa di Desa Adat Sampalan Kabupaten Klungkung, adalah untuk menempati tanah karangdesa, mengingat krama desa yang menempati tanah karang desa telah diatur dalam Awig-Awig Desa Adat Sampalan, serta berkewajiban ikut mebanjar, melaksanakan ayahan desa dan membayar iuran.Akibat hukum krama yang beralih agama di Desa Adat Sampalan Kabupaten Klungkung antara lain setiap krama desa yang beralih agama, maka krama tersebut disebut krama tamiu. Berdasarkan hal tersebut, maka semua harta atau fasilitas desa adat wajib diserahkan kembali kepada desa adat, termasuk tanah karangdesa yang ditempatinya, seperti tercantum dalam Awig-awig Desa Adat Sampalan.

Kata Kunci : Krama Desa, Beralih Agama dan Tanah Karang Desa

ABSTRACT, The developments and changes that occur in Balinese society due to the influence of modernization and globalization in the tourism sector have caused Balinese customary lands to change in status and function. This can be seen clearly in areas where the tourism industry is growing rapidly, such as in Klungkung Regency. The development of the tourism industry, such as building inns, art shops and other supporting facilities, sometimes uses customary lands. This can lead to changes in the status and function of customary lands, which can affect land rights.

The formulation of the research problem is how are the rights and obligations of village manners who occupy the village coral in Sampalan Traditional Village, Klungkung Regency and what are the legal consequences of converting religion in Sampalan Traditional Village, Klungkung Regency. The type of research used in discussing this research problem is empirical juridical research. The conclusion of this research is that the rights and obligations of village manners who occupy village coral in Sampalan Traditional Village, Klungkung Regency, are to occupy village coral land, considering that village manners that occupy village coral land have been regulated in Awig-Awig Sampalan Traditional Village, and are obliged to participate in mebanjar, carry out village fathers and pay dues. As a result of the law of manners that convert to religion in the Sampalan Traditional Village, Klungkung Regency, among others, every

(2)

21

village manners that converts to religion, the manners are called krama tamiu. Based on this, all assets or traditional village facilities must be handed back to the customary village, including the village coral land they occupy, as stated in the Awig-awig Sampalan Traditional Village.

Keywords: Village Courtesy, Change of Religion and Village Coral Land

I. PENDAHULUAN

Berkembangnya kemajuan teknologi transportasi dan arus informasi, menyebabkan tantangan yang dihadapi masyarakat Bali semakin beragam masalah yang dihadapi termasuk dalam hubungannya dengan keyakinan beragama.

Masalah yang muncul antara lain sikap hidup individualisme dan konsumerisme.

Masalah-masalah yang muncul ini sebagai akibat kearifan lokal patut diatasi secara tepat melalui pemahaman dan pendalaman.

“Pendalaman makna dari kearifan lokal kepada seluruh masyarakat Bali sehingga budaya Bali tetap ajeg”.1 Selain itu kesadaran budaya masyarakat perlu ditingkatkan sehingga muncul kecintaan pada budaya sendiri. Sebagai penopang yang tangguh dari budaya Bali adalah lembaga tradisional seperti: “desa, banjar perlu dilestarikan keberadaannya”.2

Terkait dengan hal tersebut sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali Pasal 1 angka 8 ditegaskan:

Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (khayangan tiga atau khayangan desa), tugas kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Dengan berlakunya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang

1Ardana, I Gusti Gede, 2007, Pemberdayaan Kearifan Lokal Masyarakat Bali dalam Menghadapi Budaya Global, Pustaka Tarukan Agung, Denpasar, h. 6.

2Ibid.,h.15.

Desa Adat, maka masyarakat dalam wadah desa adat mempunyai landasan yang kuat untuk berperan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah, guna mewujudkan ketenteraman dan ketertiban, serta untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Dalam Pasal 1 angka 8 Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali ditegaskan :

Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun-temurun dalam ikatan tempat suci (Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa), tugas dan kewenangannya serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Begitu juga Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah mengakui keberadaan desa adat sesuai dengan asal-usul dan adat-istiadat setempat, seperti ditentukan pada Pasal 1 ayat (12) yang berbunyi :

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah mengandung makna dihidupkannya kembali nilai-nilai warisan budaya bangsa

(3)

22 yang tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia sejak berabad-abad lamanya, dan telah membentuk kepribadian bangsa Indonesia. Bagi beberapa daerah di Indonesia, era berlakunya otonomi daerah berarti kembali menata pemerintahan desa sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat, yang disahkan pada tanggal 02 April 2019 dan diundangkan tanggal 28 Mei 2019 menggantikan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001. Perda ini pada prinsipnya tetap berpegang pada falsafah Tri Hita Karana, yang meliputi unsur parhyangan, pawongan, dan palemahan.

Namun, ada pula hal-hal baru yang dimaksudkan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat di era otonomi daerah.

Hak tersebut sesuai dengan pendapat I Made Suwitra yang menegaskan bahwa :

Tanah-tanah adat seperti PKD yang dikuasai secara individu di dalamnya terkandung konsep Tri Hitta Karana, yaitu berupa Pahrayangan yang berwujud Merajan (believe system), Palemahan yang berwujud wilayah perumahan (artifact system), dan Pawongan yang berwujud anggota keluarga yang tinggal disitu (social system), yang notabena sebagai krama banjar dan krama desa adat, semuanya ini sudah barang tentu diatur dalam Awig-awig. Tanah-tanah adat ini masih diyakini mempunyai sifat yang religio magis, sehingga kehidupan kramadesa diperuntukan untuk mengabdikan kepada Tuhan yang berstana di setiap pura Kahyangan Tiga dan pura lain yang diempon oleh krama desa yang ada di wilayah desa adat. Kondisi ini tidak terlepas dari perspektif historis yang melatarbelakangi munculnya

desa adat menurut isi cerita dalam lontar Markandia Purana.3

Tanah Ayahan Desa (Ayds) adalah :

“tanah pekarangan yang dimiliki oleh desa.

Karang desa biasanya dikuasai (bukan dimiliki) oleh seorang yang mipil (tercatat sebagai warga) di desa pakraman atau desa adat bersangkutan)”.4

Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat Bali karena pengaruh modernisasi dan globalisasi di sektor pariwisata telah menyebabkan tanah- tanah adat Bali mengalami perubahan status dan fungsinya. Hal ini tampak jelas didaerah-daerah yang industri pariwisatanya berkembang pesat, seperti di Kabupaten Klungkung. Pengembangan industri pariwisata seperti membangun penginapan, toko kesenian dan fasilitas penunjang lainnya, ada kalanya memakai tanah-tanah adat. Hal inilah yang dapat menimbulkan perubahan status dan fungsi tanah-tanah adat, yang dapat berpengaruh terhadap hak-hak atas tanah.

Status dan fungsi tanah-tanah adat menyebabkan masalah pertanahan menjadi kompleks, yang dapat menjadi sumber permasalahan hukum dan sosial yang tampak dalam berbagai bentuk sengketa atas tanah. Demikian pula halnya terhadap tanah pekarangan desa tidak luput dari sengketa. Ada banyak faktor yang menyebabkan sampai terjadinya sengketa tanah pekarangan desa.

Fenomena tanah karang desa banyak terjadi seperti kasus di Banjar Bucu Desa Adat Sampalan Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung atas nama IWS yang sudah beralih agama masih tinggal di satu tanah karang desa Banjar Bucu Desa Adat Sampalan Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung.IWS menikah dengan perempuan non Hindu atas nama DBM

3 Suwitra I Made, 2011, Eksistensi Hak Penguasaan Dan Pemilikan Atas Tanah Adat Di Bali Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional, Logus Publishing, Bandung, h. 73.

4 Windia, Wayan. P., 2014, Hukum Adat Bali Aneka Kasus dan Penyelesaiannya, Udayana University Press, h.461.

(4)

23 pada tahun 1998, karena kawin dengan perempuan non Hindu, setelah kawin mereka tetap tinggal di rumah orang tuanya.

Singkat cerita kedua orang tuanya ibu dan bapaknya meninggal, biasa diaben seperti kebanyakan orang di Banjar Bucu Desa Adat Sampalan Kabupaten Klungkung tersebut. Lama-kelamaan IWS dan istrinya ini tetap tinggal di rumah orang tuanya, yang akhirnya IWS dan istrinya ini memiliki anak dan tetap tinggal di tanah karang desa tersebut. Inilah yang sering diperguncingkan oleh keluarga.

Terkait dengan kasus adat yang dipaparkan tersebut di atas, kejadian/kasus adat yang terjadi di Banjar Bucu Desa Adat Sampalan Kabupaten Klungkung ini adalah kasus murni adat yang belum diatur dalam peraturan perundangan negara, yakni krama desa yang beralih agama, hak dan kewajiban menempati tanah karang desa dicabut diganti dengan warga lain yang terdekat sesuai dengan keputusan paruman Desa Adat Sampalan Kabupaten Klungkung pada tanggal 27 Nopember 2008, yang bertempat di Balai Banjar.

Sehingga untuk itu perlu diadakan penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat dikemukakan Pokok Permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah hak dan kewajiban krama desa yang menempati karang desa di Desa Adat Sampalan Kabupaten Klungkung ?

2. Bagaimanakah akibat hukum krama yang beralih agama di Desa Adat Sampalan Kabupaten Klungkung ?

II. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam membahas masalah penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris adalah

“sebuah metode penelitian hukum yang berupaya untuk melihat hukum dalam artian yang nyata atau dapat dikatakan melihat, meneliti, bagaimana bekerjanya hukum di

masyarakat”.5Dalam penelitian ini menggunakan penelitian yang sifatnya deskriptif. “Penelitian deskriptif secara umum bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tindakan hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat”.6Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : teknik studi kepustakaan (library research) dan teknik wawancara.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hak Dan Kewajiban Krama Desa

Yang Menempati Karang Desa Di Desa Adat Sampalan Kabupaten Klungkung

Sebagai konsekuensi dari hak yang mereka terima untuk menempati tanah pekarangan desa maka haruslah dipenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya. Sesuai wawancara dengan Bapak Dewa Made Tirta, Ketua MDA Kabupaten Klungkung yang mengatakan bahwa :

Tanah pekarangan desa merupakan hak milik desa adat, yang penguasaannya diserahkan kepada krama desanya, maka hak yang diperoleh krama desa adalah hak pakai dan pemegang tanah pekarangan desa dibebani oleh sejumlah hak dan kewajiban. Hak dari krama desa yang menempati tanah karang desa adalah memelihara tanah tersebut, dengan memagari, membuat penyengker (tembok), menanam tumbuh- tumbuhan, sedangkan kewajiban antara lain: membayar iuran, taat kepada awig-awig, menjadi

5Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.14.

6Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h.140 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II).

(5)

24 warga/krama desa, dan tinggal di tanah tersebut.7

Sebagai seorang pemegang hak atas tanah kramapekarangan desa, didalam menjalankan kewajiban-kewajiban terhadap desa adat, tidak diharuskan oleh orang atau pemegangnya secara langsung. Hal ini diwakilkan, wakilnya itu dapat saudaranya dapat pula orang lain. Wakil inilah yang akan menjalankan semua kewajiban- kewajiban krama pengarep. Untuk hal ini tentu saja krama pengarep harus melaporkan maksudnya kepada kelian adatnya. Selanjutnya atas semua itu diumumkan di paruman desa, agar ada kejelasan tentang penguasaan tanah pekarangan desa tersebut. Namun jika yang bersangkutan tidak sanggup melakukannya, maka dapat saja tanah itu dikembalikan kepada desa adat dan selanjutnya desa adat yang akan mengatur penguasaanya.

Implementasi konsep Tri Hita Karana itu, mirip dengan sosialisme kuno, namun masyarakat Bali belum layak disebut masyarakat sosialis, karena masih diakuinya hak-hak individu atas tanah.

Namun tidak juga dapat disebut masyarakat demokratis murni, karena masih sarat dengan prinsip feodalisme.

Kiranya lebih tepat disebut masyarakat tradisional patrimonial, yang sangat taat pada perintah dari atas.

Kehidupan masyarakat yang berdasarkan konsep rong telu, kini sedang mengalami perubahan bukan menjadi lebih demokratis tetapi menuju kepunahan. Sementara itu, sebagian besar pejabat berkoar, bahwa pembangunan Bali sudah berdasarkan konsep Tri Hita Karana. Akan tetapi dalam kenyataannya satu persatu unsur Tri Hita Karana dibabat atas nama kepentingan pembangunan dan ekonomi pariwisata.

Setelah membabat sebagian besar subak, terutama yang di kota, dengan berbagai dalih, kini perhatian dialihkan ke tanah karang desa dan laba Pura. Perluasan eksploitasi ke ranah sosial-religius ini

7 Wawancara dengan Bapak Tirta, Dewa Made, Ketua MDA Kabupaten Klungkung, tanggal 22 Juni 2021.

diawali dengan keluarnya perangkat hukum berupa Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 1975 yang mengatur pendaftaran tanah dan pemberian sertifikat.

Dalam peraturan ini, tanah druwe dapat disertifikatkan setelah mendapat persetujuan dari paruman(rapat) desa adat.

Jalannya rapat ini sering kali mudah diatur sesuai kehendak penguasa, karena desa adat tidak terlepas dari intervensi desa dinas dan aparat keamanan di tingkat desa yang sering memanfaatkan masyarakat desa untuk memperjuangkan keinginannya.

Menurut Bapak Dewa Made Tirta, Ketua MDA Kabupaten Klungkung, mengatakan bahwa :

Tanah karang desa merupakan hak milik desa adat, yang penguasaannya diserahkan kepada krama desanya, maka hak yang diperoleh krama desa adalah hak pakai dan pemegang tanah karang desa dibebani oleh sejumlah hak dan kewajiban. Hak dari krama desa yang menempati tanah karang desa adalah memelihara tanah tersebut, dengan memagari, membuat penyengker (tembok), menanam tumbuh- tumbuhan, sedangkan kewajiban antara lain: membayar iuran, taat kepada awig-awig, menjadi warga/krama desa, dan tinggal di tanah tersebut. Sedangkan krama desayang tidak lagi beragama Hindu dan menempati tanah karang desa tidak mempunyai hak dan kewajiban di Desa Adat Sampalan Klungkung, sehinga kepadanya berhak untuk dilarang atau tidak boleh lagi menempati tanah karang desa tersebut.8

Hak krama desa untuk melakukan sesuatu terhadap tanah pekarangan desa adalah hak untuk menempati, memanfaatkan dan mengusahakan tanah karang tersebut sesuai dengan keinginan mereka karena syarat-syarat untuk

8 Wawancara dengan Bapak Tirta, Dewa Made, Ketua MDA Kabupaten Klungkung, tanggal 22 Juni 2021.

(6)

25 menempati tanah tersebut telah mereka penuhi, tetapi tidaklah berarti kekuasaan atau hak yang diberikan itu tidak terbatas.

Mereka berhak untuk membangun rumah diatasnya, menanam pohon-pohon yang diinginkan atau memelihara binatang, membangun tempat persembahyangan untuk para leluhur mereka atau bangunan- bangunan lainya asalkan mereka tidak melampaui batas-batas yang telah ditetapkan dalam awig-awig atau paruman desa.

Terhadap hal tersebut, Bapak Sujana,Bendesa Desa Adat Sampalan, menegaskan bahwa :

Krama desa yang telah beralih agama, tidak lagi melaksanakan hak dan kewajibannya selaku krama seperti kewajiban membayar peturunan, ngayahang banjar (sangkep) petedunan gotong royong, dengan demikian haknya juga otomatis hilang yaitu menempati tanah karang desa. Dalam hal Krama Desa yang tidak lagi beragama Hindu dan menempati tanah karangdesa, hak dan kewajibannya sudah hilang alias tidak lagi memiliki hak untuk menempati tanah karang desa, mengingat krama desa yang menempati tanah karang desa telah diatur dalam Awig-Awig Desa Adat Sampalan yaitu yang beragama Hindu.9

Sehingga dengan demikian jelas bahwa krama Desa Adat Sampalan Klungkung, yang tidak lagi beragama Hindu dan menempati tanah karang desa tidak mempunyai hak dan kewajiban di Desa Adat Sampalan Klungkung, sehinga kepadanya berhak untuk dilarang atau tidak boleh lagi menempati tanah karang desa tersebut.

2. Akibat Hukum Krama Yang Beralih Agama Di Desa Adat Sampalan Kabupaten Klungkung

9 Wawancara dengan Bapak Sujana, I Ketut, Bendesa Desa Adat Sampalan, tanggal 22 Juni 2021.

Krama Desa Adat Sampalan, dalam hal menempati tanah karang desa, memiliki kedudukan yang berbeda beda sesuai dengan keadaan dari krama desa tersebut.

Hal tersebut dapat dilihat dari Awig-Awig Desa Adat Sampalan Pawos 5 sebagai berikut :

Pawos 5

(1) Sane kabawos warga Desa Adat Sampalan Inggih punika, sang magama Hindu sane jumenek ring wawidangan Desa Adat Sampalan, tur satinut ring Awig-Awig Desa Adat Sampalan.

(2) Sane kabawos krama desa adat sampalan inggih punika, warga desa adat sane sampun aliki rabi, ngamong wiadin tan ngamong karang desa, saha ngempon wiadin nyiwi Kahyangan Tiga amongan Desa Adat Sampalan.

(3) Warga wed saking desa adat Sampalan sane magenah ring dura desa manggeh kantun makrama desa sajaba pemargi siosan.

(4) Sajabaning sane kaucap ring ajeng sinanggeh tamiu.

Terjemahan Pawos 5

(1) Yang disebut warga Desa Adat Sampalan adalah warga yang beragama Hindu, tinggal di wilayah Desa Adat Sampalan tunduk kepada Awig-Awig Desa Adat Sampalan.

(2) Yang disebut Desa Adat Sampalan adalah, warga desa adat yang sudah menikah, tinggal/ menempati atau tidak menempati/tinggal di Karang Desa, juga mengempon Pura Kahyangan Tiga yang menjadi ayahan Desa Adat Sampalan.

(3) Warga asli Desa Adat Sampalan yang tinggal diluar Desa Adat Sampalan tapi masih termasuk juga warga desa adat Sampalan.

(4) Selain hal tersebut diatas disebut penduduk pendatang/tamu.

Sedangkan Pawos 12 Awig-Awig Desa Adat Sampalan menegaskan bahwa :

Pawos 12

(7)

26

(1) Sane kabawos tamiu, jadma saking dura desa sane wenten ring wawidangan Desa Adat Sampalan malarapan antuk:

ha. Malelungan;

na. Masundulang raga;

ca. Sasudin desa wiadin Guru Wisesa;

ra. Kadang warga sinalih tunggil krama desa;

ka. Suwitran sinalih tunggil krama desa.

(2) Krama utawi warga desa sane ngaraksa tamiu jantos marerepan patut mangda masadok ring kelihan banjarnia tan kasepan ring awengi.

(3) Swadharmaning tamiu patut satinut ring pamargin Awig-Awig lan Pararem sane kamanggehan ring Desa Adat Sampalan.

(4) Tamiu sane madunung ring wawidangan Desa Adat Sampalan majalaran antuk sungkan gumanti mabuat ngarereh tamba, tan keni urah arih kadi mungguh ring ajeng.

(5) Yening sang rumaga tamiu sampun ninutin pamargi sakadi kabawos ring ajeng, patut polih ngayoman saking banjar wiadin desa.

(6) Prade wenten tamiu sane madunungan ring sinalih tunggil krama wiadin warga Desa Adat Samapalan kadungi malaksana kawon, sang kadunungin patut sumakuta nanggenin utawi negenang pamidandania manut pararem.

Terjemahan Pawos 12

(1) Yang disebut tamu, yaitu warga dari luar desa yang berada di wilayah Desa Adat Sampalan, disebabkan karena:

a. Karena bertamu/berpergian;

b. Menyerahkan diri;

c. Dikeluarkan oleh desa adat, atau pemerintah;

d. Teman dari salah satu warga Desa Adat Sampalan;

(2) Warga yang menerima tamu sampai menginap wajib melapor kepada prajuru desa/Kelian adat.

(3) Kewajiban tamu adalah tunduk kepada Awig-Awig Desa Adat dan Pararem.

(4) Tamu yang menginap di Desa Adat Sampalan karena berobat, tidak kena kewajiban.

(5) Jika tamu sudah menjalankan kewajiban seperti tersebut diatas, berhak mendapat perlindungan dari Banjar/Desa Adat.

(6) Jika ada tamu, salah satu berbuat tidak baik di Desa Adat Sampalan akan dikenai denda, dan dendanya dibayar oleh yang menerima tamu tersebut.

Terkait denganakibat hukum krama yang beralih agama di Desa Adat Sampalan Kabupaten KlungkungDalam Pawos 14 Awig-Awig Desa Adat Sampalan menjelaskan bahwa :

(1) Wusan dados krama desa :

Ha. Nyada manut jalarannyane manut pararem.

Na. Matilar saking Desa Adat Sampalan Sangkaning pinunasnyane Wusan Madesa adat tur manut daging pararem.

Ca. Kausanang antuk krama desa widain banjar wit saking tan nganutin pamargin lan pararem Desa Adat Sampalan.

(2) Nembenin kausang ngawit saking pamutus paruman prajuru banjar lan prajuru desa, pamutus inucap kadauhang ring sang kausanang.

(3) Sang sampun wusan makrama desa tan polih pah-pahan druwen banjar utawi desa.

Terjemahan Pawos 14

(1) Selesai/keluar dari Warga Desa Adat Sampalan karena :

a. Warga yang ngarep/ngempi sesuai pareram;

b. Keluarga dari Desa Adat Sampalan sesuai isi pararem;

(8)

27 c. Dikeluarkan oleh desa adat karena

tidak sesuai dengan Awig-Awig dan Pararem.

(2) Diputuskan oleh oleh prajuru desa adat sesuai hasil rapat desa dan disebarkan oleh Kelian Adata tau Bendesa di Paruman/rapat desa.

(3) Warga yang sudah keluar dari Desa Adat tidak dapat pembagian apa-apa dari milik Desa Adat atau Banjar Adat.

Lebih lanjut berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Dewa Made Tirta, Ketua MDA Kabupaten Klungkung, mengatakan bahwa :

Setiap warga desa yang beralih agama atau sejenisnya, maka warga tersebut disebut tamu. Berdasarkan hal tersebut maka semua hak-hak desa adat wajib diserahkan kembali kepada adat, termasuk tanah karang desa yang ditempati oleh warga yang tidak lagi beragama Hindu tersebut, sehingga masyarakat tersebut tidak lagi memiliki hak-hak adat di Desa Adatnya termasuk kuburan adat yang menjadi salah satu tanah milik desa adat.10

Dengan berpedoman kepada Awig- Awig Desa Sampalan Klungkung tersebut, dapatlah dikatakan bahwa krama desa yang tidak lagi beragama Hindu di Desa Adat Sampalan Klungkung Bapak Bapak I Ketut Sujana, Bendesa Desa Adat Sampalan, mengatakan bahwa : ”Setiap krama desa yang beralih agama, maka krama tersebut disebut krama tamiu. Berdasarkan hal tersebut, maka semua harta atau fasilitas desa adat wajib diserahkan kembali kepada desa adat, termasuk tanah karangdesa yang ditempatinya, seperti tercantum dalam Awig-Awig Desa Adat Sampalan”.11

IV. PENUTUP

10 Wawancara dengan Bapak Tirta, Dewa Made, Ketua MDA Kabupaten Klungkung, tanggal 28 Juni 2021.

11 Wawancara dengan Bapak Sujana, I Ketut, Bendesa Desa Adat Sampalan, tanggal 26 Juni 2021.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan diatas dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Hak dan kewajiban krama desa yang menempati karang desa di Desa Adat Sampalan Kabupaten Klungkung, adalah untuk menempati tanah karangdesa, mengingat krama desa yang menempati tanah karang desa telah diatur dalam Awig-Awig Desa Adat Sampalan, serta berkewajiban ikut mebanjar, melaksanakan ayahan desa dan membayar iuran.

2. Akibat hukum krama yang beralih agama di Desa Adat Sampalan Kabupaten Klungkung antara lain setiap krama desa yang beralih agama, maka krama tersebut disebut krama tamiu. Berdasarkan hal tersebut, maka semua harta atau fasilitas desa adat wajib diserahkan kembali kepada desa adat, termasuk tanah karangdesa yang ditempatinya, seperti tercantum dalam Awig-awig Desa Adat Sampalan.

Saran

Sesuai dengan kesimpulan tersebut diatas, dapat penulis sampaikan saran sebagai berikut :

1. Kepada Bendesa Desa Adat supaya mempertegas keberadaan tanah adat dan krama Desa Adat yang menempati tanah karang desa seperti yang termuat dalam Awig-Awig Desa Adat Sampalan.

2. Hak dan kewajiban krama desa adat Sampalan yang beralih agama harus dibuatkan Pararem/Awig-Awig untuk mempertegas kedudukan krama desa yang menempati Karang Desa

3. Kepada masyarakat adat yang menempati tanah adat dalam bentuk tanah karang desa untuk dipahami bahwa hal ini terkait dalam agama dan keyakinan masyarakat tersebut, karena di dalamnya menyangkut hak dan

(9)

28 kewajiban desa adat dan masyarakat adat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji Syukur patutlah Saya panjatkan kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, sebab hanya berkat karunia dan rahmat-Nya juga Penelitian Jurnal ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dan sesuai dengan harapan yang kami mohonkan dibuat dalam rangka pemenuhan salah satu syarat untuk pengurusan Jabatan Fungsional dosen di Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai Denpasar. Banyak hambatan dan tantangan yang harus dihadapi dalam penyelesaian penelitian jurnal ini. Namun dengan bantuan yang tak pernah mengenal batas dari semua pihak, akhirnya penelitian jurnal ini dapat kami selesaikan sesuai dengan yang direncanakan. Sangatlah besar rasa terima kasih dan penghargaan penulis terutama sekali kepada:

1. Orangtua, Istri, Anak dan Keluarga yang telah banyak membantu dengan doa yang senantiasa terpanjat demi Kesehatan dan kelancaran penulisan jurnal ini 2. Bapak Ketua Yayasan Jagadhita

Denpasar dan Ibu Rektor Universitas Ngurah Rai yang telah memberikan dukungan dan arahan kepada penulis untuk menyelesaikan penilitian jurnal ini 3. Dekan, Wakil Dekan dan Kaprodi

Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai yang telah banyak memberikan arahannya terkait penulisan Jurnal ini

4. Rekan-rekan Dosen dan Tenaga Pendidik dilingkungan Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai yang selalu memberikan motivasi,semangat dan doa yang luar biasa dalam penyelesaian penulisan penelitian ini.

Akhir kata penulis ucapkan

terimakasih dan berharap penelitian jurnal ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Ardana, I Gusti Gede, 2007, Pemberdayaan Kearifan Lokal Masyarakat Bali dalam Menghadapi Budaya Global, Pustaka Tarukan Agung, Denpasar

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta

Suwitra I Made, 2011, Eksistensi Hak Penguasaan Dan Pemilikan Atas Tanah Adat Di Bali Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional, Logus Publishing, Bandung

Windia, Wayan. P., 2014, Hukum Adat Bali Aneka Kasus dan Penyelesaiannya, Udayana University Press

PUBLIKASI ILMIAH

Ayu Monica Pastika Putri dkk, 2018, Pengaruh Hukum Adat atau Awig-awig Terhadap Pengelolaan Dana desa di Desa Banjar Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng Provinsi Bali. Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Humanika, Vol. 8 No. 1, April 2018 ISSN:

2599-2651, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Buleleng, Bali

Gede Sumardika, The Lagent of Balinese Goddesses, Jurnal Kajian Bali- Joernal of Bali Studies. ISSN 2088-4442 Volume 08 april 2018, http//ojs unud.ac.id.

Kade Sandiase, I, dkk, 2015,Julah: Desa Bali Mula di Tengah Arus Globalisasi, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia, Jurnal ISSN 2407- 4551, Volume 1, Nomor 2, Desember 2015

(10)

29 Suwitra, I Made Dkk, Jurnal Hukum dan

Pembangunan, Penguatan Kapasitas LPD Desa Adat di Bali Melalui Penyuratan Awig-Awig, http://dx.doi.org/10.211134/jhp.v ol 50.no 3.2762.

Sukarna, I Wayan, Jurnal International Conference of art Language and culture, ISSN 978-602-50576-01.

PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Lembaran Negara Republik Indonesia, No 75,1959 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4

Tahun 2019 Tentang Desa Adat Bali, Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2019 Nomor 4 Noreg Peraturan Daerah Provinsi Bali:

(4-131/2019) Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4.

Awig-Awig Desa Adat Sampalan Kabupaten Klungkung

Referensi

Dokumen terkait

Kepemilikan saham publik tidak berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

Dengan menggunakan simulasi perilaku pengendali PID yang diterapkan pada kedua model ditunjukkan pada gambar 4 dan gambar 5. Kedua gambar masing- masing membandingkan dengan

Jumlah paket Fam Trip bagi pasar wisata potensial (jurnalist, travel writter, tour operator, blogger, mahasiswa asing).. motivasi wisata lansia, guru & murid dan remaja

Bapak Pius dan Bapak Edi selaku pegawai Tata Usaha Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Katolik Widya Mandira Kupang serta Ibu Umi selaku pegawai perpustakaan

Dalam rangka pelaksanaan KPPN Percontohan secara seragam dan terstandardisasi telah ditetapkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-30/PB/.2012 tentang Tata

Perubahan nilai slip (s) ini akan mengakibatkan arus stator, arus rotor dan torka Dari kedua kondisi tersebut diperoleh nilai denominator pada persamaan (9), (10)

melakukan kodifikasi dari diagnosis dan prosedur/tindakan yang diisi oleh dokter yang merawat pasien sesuai dengan ICD 10 untuk diagnosa dan ICD 9 CM untuk

Dari kajian dengan menggunakan PUNA ini dapat disimpulkan bahwa wahana PUNA dapat menghasilkan data geospasial dengan ketelitian tinggi kurang dari 1 meter.PUNA