• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab III Analisis Penentuan Responden dan Implikasi Kelembagaan atas ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Bab III Analisis Penentuan Responden dan Implikasi Kelembagaan atas ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

Bab III

Analisis Penentuan Responden dan Implikasi Kelembagaan atas ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP)

Bab ini akan membahas analisis penentuan responden dan implikasi kelembagaan atas AATHP berdasarkan pendapat responden. Pada bagian ini juga akan dibahas hasil wawancara eksploratif dan iterasinya serta analisisnya yang dikaitkan dengan persoalan kelembagaan penanggulangan kebakaran bencana kebakaran dan substansi AATHP.

III.1 Analisis Penentuan Responden dalam kaitannya dengan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP)

Adanya ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) yang bertujuan untuk mencegah dan memantau pencemaran asap lintas batas sebagai suatu akibat dari kebakaran lahan dan/atau hutan yang harus dimitigasi, melalui upaya nasional secara bersama-sama dan mengintensifkan kerjasama regional dan internasional, perlu kiranya untuk mengetahui pendapat stakeholder yang terlibat. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana AATHP ini dapat memberikan implikasi tehadap perbaikan kelembagaaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Sesuai dengan prosedur Delphi, proses penentuan responden merupakan tahap yang harus dilakukan setelah peneliti menentukan isu yang akan menjadi unit kajian. Untuk mencerminkan responden yang mewakili unsur stakeholder yang terkait dengan pemberlakuan AATHP, maka ada 3 (tiga) unsur yang dilibatkan yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Pemerintah yang dimaksud adalah secara menyeluruh yaitu meliputi kalangan pemerintah sebagai pelaksana pembangunan dan kalangan legislatif (DPR). Metode yang akan dipilih untuk menentukan responden adalah dengan purposive sampling (teknik sampling bertujuan). Untuk menentukan responden, peneliti harus menentukan pihak-pihak mana saja yang yang dianggap relevan untuk dimintai pendapatnya. Pihak-pihak yang dipilih haruslah mereka yang memiliki pemahaman atau pengalaman

(2)

terhadap unit analisis yang akan dijadikan topik bahasan. Oleh karena itu, di tingkat nasional setidaknya ada 3 (tiga) institusi yang sangat terlibat dengan pemberlakuan AATHP, yaitu Bakornas PBP, Departemen Kehutanan dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Hal ini karena di tingkat nasional penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan serta dampaknya secara nasional dilaksanakan oleh 2 (dua) menteri, yaitu Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan yang dikoordinasikan oleh Ketua Bakornas PBP.

Untuk lebih jelasnya mengapa tugas dan fungsi ketiga institusi tersebut sangat terkait dengan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan umumnya dan pemberlakukan AATHP khususnya dapat dilihat pada Tabel III.1. Sedangkan untuk penentuan responden, maka peneliti memilih responden ahli yang didasarkan kepada keterlibatannya dalam forum pertemuan nasional dan regional yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan pemberlakuan AATHP. Lebih jelasnya responden ahli yang terpilih untuk mencerminkan masing-masing institusi tersebut dapat dilihat pada Tabel III.2. Unsur legislatif yang terpilih sebagai responden adalah anggota komisi VII DPR yang saat ini membahas Rancangan Undang-Undang Pengesahan Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas (AATHP) dan yang juga terlibat dalam pembuatan Undang-undang Penanggulangan Bencana. Unsur swasta (dunia usaha) yang menjadi responden adalah asosiasi yang terkait dengan pengusahaan hutan, yaitu APHI (Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia). Sedangkan unsur masyarakat umum diwakili oleh LSM tingkat nasional yang mempunyai perhatian besar terhadap upaya pelestarian lingkungan, yaitu Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) dan upaya penanggulangan bencana di Indonesia, yaitu Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI).

(3)

Tabel III.1

Tugas dan Fungsi Institusi Utama di Tingkat Nasional yang terkait dengan Implikasi Kelembagaan atas AATHP

No. Institusi

Tugas dan Fungsi Berdasarkan Keputusan Sekretaris Bakornas PBP

No.2 Tahun 2001

Tugas dan Fungsi Berdasarkan PP No. 4 Tahun 2001

Tugas dan Fungsi Sektor Utama Penanggulangan Bencana Kebakaran (Sekretaris

Bakornas PBP, 2000)

Tugas dan Fungsi Berdasarkan

Ketentuan Persetujuan

(AATHP) 1. Departemen

Kehutanan

• Mengkoordinasikan dan mengendalikan upaya yang bersifat mitigatif dan operasional penanganan bencana khususnya kebakaran hutan/lahan, serta mengkoordinasikan pemulihan kondisi lahan dan hutan dari kerusakan akibat bencana

• Mengkoordinasikan pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan lintas propinsi dan atau lintas batas negara

• Mengkoordinasikan sarana pemadaman, pengembangan

sumberdaya manusia dan pelaksanaan kerjasama internasional untuk

pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan

• Menetapkan pedoman umum

pemadaman dan persyaratan minimal sarana pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan yang harus disediakan oleh propinsi, kabupaten/kota dan penanggung jawab usaha

• Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia untuk pemadaman kebakaran

• Memberikan bantuan pemadaman kebakaran hutan dan lahan kepada propinsi dan atau kabupaten/kota

• Melakukan Pencegahan dan Pemadaman kebakaran hutan dan lahan

• Melakukan fungsi pencegahan yang meliputi : peningkatan kesadaran masyarakat, pendidikan dan penyuluhan, ijin pembukaan lahan, rekayasa sumber bahan bakar di dalam dan di sekitar hutan, serta insentif ekonomi dan administrasi

• Melakukan fungsi pemadaman yang meliputi sebelum

pemadaman (kesiapsiagaan, deteksi lapangan/lokal), saat pemadaman (pemadaman awal dengan sumberdaya sektor terkait) serta pemadaman lanjutan dan pasca pemadaman (penilaian dan rehabilitasi)

• Berperan sebagai Competent Authorities (CA) dalam ketentuan Persetujuan (AATHP) yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya di dalam kinerja fungsi administratif yang disyaratkan oleh Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas

(4)

No. Institusi

Tugas dan Fungsi Berdasarkan Keputusan Sekretaris Bakornas PBP

No.2 Tahun 2001

Tugas dan Fungsi Berdasarkan PP No. 4 Tahun

2001

Tugas dan Fungsi Sektor Utama Penanggulangan

Bencana Kebakaran (Sekretaris Bakornas PBP,

2000)

Tugas dan Fungsi Berdasarkan Ketentuan Persetujuan

(AATHP)

2. Kementerian Negara Lingkungan Hidup

• Mengkoordinasikan pemulihan kualitas lingkungan hidup sesuai dengan fungsinya serta merencanakan dan mengendalikan upaya yang bersifat preventif, advokasi dan deteksi dini dalam pencegahan bencana

• Mengembangkan kemampuan sumberdaya manusia di bidang evaluasi dampak lingkungan hidup dan penyusunan strategi pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan,

• Mengkoordinasikan

penanggulangan dampak dan pemulihan dampak

lingkungan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi pada lintas propinsi dan atau lintas batas negara

• Melakukan pemantauan dan evaluasi yang meliputi peringatan dini, deteksi dan advokasi

• Melakukan fungsi peringatan dini yang meliputi prediksi cuaca, prediksi penyebaran asap, peta resiko dan peringkat bahaya kebakaran.

• Melakukan fungsi deteksi yang meliputi deteksi satelit (hotspot dan asap), deteksi area kebakaran dan asap, pelacakan api dan asap serta investigasi penyebab kebakaran dan dampaknya

• Melakukan fungsi advokasi yang meliputi penegakan hukum, informasi kajian situasi, kerjasama regional dan evaluasi respon pemadaman

• Berperan sebagai National Focal Point (NFP) yang mempunyai tugas menerima dan menyampaikan

komunikasi dan data yang berhubungan sesuai ketentuan Persetujuan

• Berperan sebagai National Monitoring Centre (NMC) yang mempunyai tugas melakukan pemantauan dan mengkomunikasikan data hasil pemantauan tersebut kepada ASEAN Centre secara periodik sesuai jangka waktu yang telah disepakati

• Berperan sebagai Competent Authorities (CA) yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya di dalam kinerja fungsi administratif yang disyaratkan oleh Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas

(5)

No. Institusi

Tugas dan Fungsi Berdasarkan Keputusan Sekretaris

Bakornas PBP No.2 Tahun 2001

Tugas dan Fungsi Berdasarkan PP No.

4 Tahun 2001

Tugas dan Fungsi Sektor Utama Penanggulangan

Bencana Kebakaran (Sekretaris Bakornas PBP,

2000)

Tugas dan Fungsi Berdasarkan Ketentuan

Persetujuan (AATHP)

3. Bakornas PBP

• Merumuskan dan menetapkan kebijakan, mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan dan memberikan pedoman dan

pengarahan dalam penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi

• Melakukan koordinasi perencanaan, pengawasan, pengendalian,

pemantauan dan evaluasi upaya penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi

• Menetapkan program dan menyusun pedoman pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi secara terpadu dan terkoordinasi

• Melakukan koordinasi

penyelenggaraan kerjasama antar instansi pemerintah dan non pemerintah dalam maupun luar negeri, dalam rangka

penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi

-

• Melakukan koordinasi kejadian bencana kebakaran hutan dan lahan

• Koordinasi dalam

pengumpulan informasi kajian situasi dan sumberdaya, koordinasi dan komunikasi antar institusi dan bantuan nasional serta internasional

• Memformulasikan kebijakan nasional dalam tanggap darurat bencana

• Pembagian tugas dan tanggung jawab institusi dalam penanggulangan bencana

• Standarisasi dan inventarisasi sumberdaya/peralatan dalam penanggulangan bencana

• Melakukan penyusunan program pelatihan dan penguatan kapasitas penanggulangan bencana

Berperan sebagai Competent Authorities (CA) dalam ketentuan Persetujuan (AATHP) yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya di dalam kinerja fungsi administratif yang disyaratkan oleh Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas

(6)

Tabel III.2

Responden Ahli yang Terkait dengan AATHP

No. Stakeholder Institusi/Organisasi/Masyarakat Responden Ahli

1. Bakornas PBP

Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan

Direktur Kesiapsiagaan

2. Departemen Kehutanan

Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan

Kepala Sub Direktorat Program dan Evaluasi

1. Institusi Pemerintah

3. Kementerian Lingkungan Hidup

Deputi Peningkatan Konservasi SDA dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan

Kepala Bidang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan

2. Legislatif DPR-RI Anggota Komisi VII dan Anggota

Pansus Penanggulangan Bencana 3. Dunia Usaha Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Manajer II APHI

1. LSM Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Manajer Kampanye Hutan

4. Masyarakat

2. LSM MPBI (Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia)

Ketua Umum MPBI

(7)

III.2 Implikasi Kelembagaan atas ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP)

Sesuai dengan prosedur Delphi, berikut ini akan dipaparkan hasil analisis implikasi kelembagaan atas (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution) dengan mengacu kepada pendapat responden. Pembahasan dibagi ke

dalam tiga bagian, yaitu implikasi kelembagaan atas AATHP berdasarkan eksplorasi pendapat responden pada putaran pertama, implikasi kelembagaan atas AATHP berdasarkan umpan balik tahap kedua, dan implikasi kelembagaaan atas AATHP hasil umpan balik tahap ketiga.

III.2.1 Hasil Wawancara Eksploratif Tahap I

Pada bagian ini akan dipaparkan hasil eksplorasi pendapat responden mengenai implikasi kelembagaan atas AATHP. Berdasarkan penggalian pendapat yang dilakukan kepada para responden, maka terdapat beberapa implikasi kelembagaan yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Keberadaan ASEAN Centre memacu perbaikan koordinasi.

Responden berpendapat bahwa dengan keberadaan ASEAN Centre (ASEAN Coordinating Centre for Transboundary Haze Pollution) yang memilki

fungsi diantaranya mengelola perbantuan dan informasi untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan akan memacu perbaikan koordinasi antar stakeholder. Hal ini akan semakin berdampak positif karena direncanakan

ASEAN Centre berada di Indonesia. Perbaikan koordinasi ini terjadi karena antar stakeholder tersebut akan mempunyai wadah untuk melakukan koordinasi yang lebih baik untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan.

2. Perbaikan koordinasi di tingkat pusat (nasional)

Untuk melaksanakan ketentuan yang ada pada AATHP, maka sangat dibutuhkan koordinasi yang lebih intensif di tingkat pusat (nasional). Hal ini dibutuhkan karena pejabat di tingkat pusatlah yang nantinya akan lebih banyak berkoordinasi untuk menjawab dan menjelaskan mengenai upaya- upaya yang telah maupun akan dilaksanakan di Indonesia kepada forum regional ASEAN. Kuatnya tekanan dari negara ASEAN lainnya untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menyebabkan koordinasi

(8)

menjadi suatu keharusan yang rutin dilakukan antar institusi di tingkat nasional.

3. Peningkatan kapasitas sumberdaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan

Pada ketentuan AATHP diatur adanya mekanisme perbantuan sumberdaya dan yang berasal baik dari negara regional ASEAN maupun internasional.

Dengan ketentuan tersebut maka dengan adanya AATHP Indonesia dapat memanfaatkan berbagai bentuk sumberdaya dari negara ASEAN maupun di luar ASEAN dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

Mekanisme perbantuan yang difasilitasi oleh ASEAN tersebut akan berimplikasi terhadap penguatan kapasitas sumberdaya manusia dan peralatan karena Indonesia dapat memanfaatkan mekanisme tersebut untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan. Perbantuan sumberdaya tersebut diharapkan dapat meningkatkan kapasitas sumberdaya penanggulangan kebakaran terutama pada saat bencana kebakaran sudah tidak dapat ditanggulangi oleh Indonesia, meskipun di satu sisi kemampuan sumberdaya manusia maupun peralatan di negara ASEAN lainnya tidak lebih baik dan tidak lebih mampu dibandingkan yang dimilki oleh Indonesia.

Selain itu ketentuan yang ada pada AATHP akan memudahkan Indonesia untuk mendapatkan pendanaan dari dalam negeri guna keperluan peningkatan kapasitas sumberdaya dan dapat menjadi dasar dalam menyusun proposal guna mendapatkan pendanaan yang tidak mengikat dari luar negeri maupun untuk melakukan kerjasama dalam rangka peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan peralatan. Kemudahan mobilitas sumberdaya dari dan ke negara ASEAN yang diatur dalam AATHP juga akan berdampak terhadap peningkatan kapasitas sumberdaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

4. Perbaikan pengelolaan informasi dan data kebakaran hutan dan lahan Keberadaan ASEAN Centre yang mengelola data dan informasi kebakaran hutan dan lahan dapat membantu perbaikan pengelolaan informasi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena di dalam ketentuan AATHP mekanisme pemantauan dan pelaporan informasi

(9)

dan data yang terkait dengan kebakaran hutan dan lahan telah diatur.

Melalui ketentuan tersebut maka Indonesia dipaksa untuk secara cepat dan akurat melaporkan segala informasi dan data yang terkait dengan kebakaran hutan dan lahan. Selain itu dengan mekanisme yang ada pada AATHP, maka NMC yang bertugas untuk melaporkan kejadian kebakaran hutan dan lahan akan dipaksa untuk membuat jaringan komunikasi yang baik antar institusi penyedia data dan informasi kebakaran hutan dan lahan baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal.

5. Penetapan sumber data hot spot di tingkat nasional

Ada beberapa intitusi penyedia data hot spot di Indonesia, seperi LAPAN, Departemen Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup. Masing- masing institusi tersebut menggunakan data hot spot menurut kebutuhan sektoralnya masing-masing. Di satu sisi mekanisme AATHP menghendaki adanya satu sumber resmi di tingkat nasional yang menjadi rujukan dalam operasi penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Selain itu penetapan sumber data hotspot di tingkat nasional tersebut dapat menjadi rujukan guna pelaporan data dan informasi dari tingkat nasional ke tingkat regional untuk menjalankan mekanisme pemantauan dan pelaporan yang ada pada AATHP.

6. Pembagian peran, tanggung jawab dan kewenangan yang lebih jelas antar institusi dalam penanggulangan bencana kebakaran

Ketentuan yang ada pada AATHP untuk menunjuk atau membentuk NFP (National Focal Point), NMC (National Monitoring Centre) dan CA (Competent Authorities) dapat berimplikasi terhadap perbaikan kejelasan peran dan tanggung jawab antar institusi dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena dengan penunjukan atau pembentukan institusi tersebut maka antar institusi akan membangun struktur dan tanggung jawab yang lebih jelas dan baik untuk pelaksanaan tugas dan fungsinya. Penunjukan atau pembentukan yang disesuaikan dengan peran dan fungsi yang sudah diemban sebelumnya akan berdampak terhadap pembagian peran yang lebih jelas antar institusi.

(10)

7. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan

Ketentuan yang ada pada AATHP dapat dijadikan dasar untuk lebih meningkatkan pendidikan dan kesadaran masyarakat serta memperkuat peran serta mereka dalam pengendalian kebakaran. Selain itu upaya tersebut juga dapat dilakukan dengan melakukan kerjasama teknis di tingkat regional dalam pendidikan dan kampanye peningkatan kesadaran masyarakat terutama yang berkaitan dengan promosi praktek-praktek pembukaan lahan tanpa bakar.

8. Pengembangan penerapan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) Ketentuan yang ada pada AATHP dapat dijadikan dasar untuk lebih mengembangkan peraturan, program dan strategi untuk lebih mempromosikan praktek-praktek pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) serta dampak pencemaran asap terhadap kesehatan dan lingkungan. Melalui ketentuan tersebut maka Indonesia dipaksa untuk terus menerus melakukan upaya yang intensif mengembangkan penerapan pembukaan lahan tanpa bakar.

9. Pembuatan SOP (Standar Operating Procedures) Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan

Ketentuan yang ada pada AATHP dapat lebih memacu Indonesia untuk membuat SOP Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan di tingkat nasional yang selanjutnya berimplikasi terhadap penetapan lembaga yang ditunjuk sebagai koordinator lintas sektoral yang berperan dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan. Pembuatan SOP ini dipicu karena adanya kebutuhan untuk membuat struktur yang sifatnya lintas departemen dalam upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan. Pembuatan SOP Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di tingkat nasional yang juga dikaitkan dengan kerjasama regional juga menjadi salah satu implikasi kelembagaan yang diakibatkan oleh pemberlakuan AATHP ini karena ketentuan dalam AATHP mengatur hal tersebut.

(11)

10. Perbaikan alokasi dana penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan

Ketentuan yang ada pada AATHP dapat lebih mendorong perbaikan alokasi dana penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan selain yang sudah dijaminkan dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Dengan adanya AATHP maka dapat menjadi dasar usulan bagi alokasi dana yang lebih memadai dalam upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan khususnya pada kegiatan-kegiatan yang ada pada ketentuan Persetujuan (AATHP). Selain itu dengan AATHP maka akan memberikan implikasi terhadap perbaikan alokasi dana penanggulangan bencana kebakaran karena adanya komitmen untuk melaksanakan Persetujuan (AATHP) tersebut, meskipun dalam pelaksanaannya akan sangat tergantung dari APBN dan kekayaan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan.

11. Penguatan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di Daerah

Adanya AATHP dapat memacu penguatan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di daerah, misalnya dengan adanya bantuan teknis yang diberikan langsung oleh negara-negara ASEAN lainnya kepada daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Contohnya yang saat ini sedang dijajaki oleh pemerintah Singapura kepada Kabupaten Muaro Jambi untuk membuat Master Plan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

12. Pembangunan ASEAN Centre memudahkan kerjasama dan koordinasi antar Pihak

Pembangunan ASEAN Centre memudahkan kerjasama untuk alih pengetahuan dan teknologi serta penelitian guna meminimalkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia serta koordinasi antar Pihak (antar negara ASEAN dan dunia internasional) dalam menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Untuk lebih jelasnya hasil wawancara eksploratif di atas dapat dilihat pada lampiran C.

(12)

III.2.2 Hasil Pengolahan Kuisioner Umpan Balik Tahap II

Berdasarkan hasil wawancara eksploratif, dihasilkan beberapa pendapat mengenai implikasi kelembagaan atas AATHP dari responden yang dipaparkan di atas. Pendapat-pendapat inilah yang kemudian dikomunikasikan kembali kepada responden melalui kuisioner umpan balik (kuisioner putaran kedua). Kuisioner umpan balik ini bertujuan untuk mengetahui kesamaan dan ketidaksamaan pendapat mengenai implikasi kelembagaan atas AATHP yang disampaikan secara terpisah pada tahap wawancara eksploratif tahap pertama. Berikut adalah kesamaan dan ketidaksamaan pendapat responden terhadap masing-masing implikasi kelembagaan atas AATHP. Lebih jelasnya hasil olahan pendapat responden pada proses Delphi tahap kedua ini diberikan pada Lampiran D.

1. Keberadaan ASEAN Centre memacu perbaikan koordinasi

Sebagian besar responden sependapat bahwa Pusat koordinasi ASEAN untuk Pencemaran Asap Lintas Batas (ASEAN Centre) dapat memberikan implikasi terhadap perbaikan koordinasi. Responden beralasan bahwa secara substansi, Persetujuan (AATHP) dapat mengakibatkan implikasi kelembagaan tersebut, yakni dapat memperbaiki koordinasi antar Pihak baik antar negara ASEAN maupun di dalam internal Indonesia sendiri. Menurut responden yang sependapat, ASEAN Centre yang nantinya akan berada di Indonesia akan memberikan keuntungan seperti mempermudah perolehan informasi kebakaran serta mendekatkan akses bantuan secara langsung akan mengakibatkan perbaikan koordinasi untuk mengatasi kebakaran. Sementara responden lainnya beralasan bahwa ASEAN Centre dibentuk untuk melakukan koordinasi di dalam mengatasi kebakaran dan dapat membantu Indonesia untuk melakukan koordinasi sehingga dapat meningkatkan koordinasi antar pihak untuk mengatasi kebakaran.

Responden berpendapat bahwa ASEAN Centre yang direncanakan berada di Indonesia sangatlah tepat karena akan meningkatkan koordinasi dan peran para Pihak baik di internal Indonesia sendiri maupun lintas negara ASEAN. ASEAN Centre ini dapat membantu koordinasi antar stakeholder terutama dengan negara lain asalkan tidak menempatkan Indonesia sebagai objek saja (sebagai sumber asap).

(13)

Responden yang kurang sependapat beralasan bahwa kebakaran terjadi di Indonesia, penyelesaian seharusnya dilakukan dengan lebih meningkatkan koordinasi di tingkat gubernur dan bupati. Indonesia sudah memiliki Pusdalkarhutla (Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan), untuk itu maka Indonesia sebaiknya memperbaiki Pusdakarhutla agar tidak terdapat korupsi dan manipulasi sehingga koordinasi pun dapat lebih ditingkatkan. Responden lainnya yang kurang sependapat menyatakan bahwa koordinasi internal lebih ditentukan oleh komitmen di dalam negeri Indonesia sendiri dan bukan adanya AATHP.

2. Perbaikan koordinasi di tingkat pusat (nasional)

Implikasi adanya perbaikan koordinasi di tingkat pusat akibat adanya AATHP tidak disepakati oleh seluruh responden. Responden yang sependapat bahwa AATHP dapat memacu perbaikan koordinasi di tingkat nasional beralasan bahwa AATHP dapat meningkatkan koordinasi di tingkat pusat (nasional) karena ego sektoral institusi di tingkat pusat dapat lebih ditekan untuk mau melakukan koordinasi demi pelaksanaan Persetujuan (AATHP) dibandingkan misalnya institusi di tingkat lokal. Hal ini terjadi karena institusi-institusi di tingkat pusat lebih sering berhubungan dengan negara lain untuk menjalankan mekanisme AATHP sehingga ego sektoralnya dapat lebih ditekan untuk melakukan perbaikan koordinasi. Responden berpendapat bahwa AATHP ini hanya berdampak terhadap perbaikan koordinasi di tingkat high level (pejabat tingkat tinggi) di tingkat nasional dengan negara regional ASEAN saja. Responden berpendapat bahwa dalam penanganan kebakaran lahan dan hutan di Indonesia beserta dampaknya, salah satu titik lemah yang terjadi adalah kurangnya koordinasi antar institusi, oleh karena itu AATHP dapat menjadi momentum perbaikan koordinasi baik di tataran horizontal maupun di tataran vertikal. Untuk itu AATHP diharapkan dapat memacu perbaikan koordinasi antar institusi di tingkat nasional dan lokal.

Satu responden yang tidak sepakat beralasan bahwa AATHP dapat memperbaiki koordinasi di tingkat pusat karena perbaikan koordinasi sesungguhnya sangat tergantung good will (itikad baik) pemerintah, seberapa jauh komitmennya karena realitasnya masih banyak yang belum mempunyai komitmen

(14)

baik untuk tingkat kebijakan (nasional) maupun operasionalnya (lokal) sehingga perbaikan koordinasi masih sulit diharapkan.

3. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan peralatan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan

Seluruh responden sependapat bahwa mekanisme perbantuan dalam AATHP dapat dimanfaatkan oleh Indonesia dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan terutama pada saat bencana kebakaran tersbut sudah tidak dapat ditanggulangi lagi oleh Indonesia, meskipun secara teknis kemampuan sumberdaya manusia dan peralatan di negara ASEAN lainnnya tidak lebih baik dan lebih mampu dibandingkan yang dimiliki oleh Indonesia. Ada beragam alasan yang diberikan antara lain adalah responden menyatakan bahwa setidaknya pada saat bencana kebakaran terjadi dapat menambah sumberdaya dan peralatan di dalam mengatasi kebakaran. Responden lainnya menyatakan Indonesia dapat menggunakanpeluang yang ada pada AATHP tersebut dengan cara menggunakan sumberdaya yang ada dari negara lain yang sesuai dengan kebutuhan Indonesia serta disesuaikan pula dengan kemampuan negara pemberi bantuan tersebut sehingga mobilisasi sumberdaya tersebut dapat dipergunakan secara efektif dan efisien oleh Indonesia. Responden lain memberikan fakta bahwa negara ASEAN dapat membantu Indonesia mengatasi kebakaran seperti yang telah diberikan pada tahun 1997 dan 2005. Melalui ketentuan AATHP maka negara ASEAN dapat lebih membantu Indonesia dalam upaya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan peralatan pada saat terjadi kebakaran hutan dan lahan, meskipun dapat saja dilkukan dalam kerangka bilateral seperti yang pernah dilakukan sebelumnya. Negara ASEAN lainnya dapat membantu Indonesia untuk menambah kapasitas sumberdaya penanggulangan kebakaran meskipun secara teknis kemampuan negara ASEAN lainnya tidak lebih baik dan lebih mampu dibandingkan Indonesia di dalam mengatasi kebakaran, khususnya di lahan gambut. Oleh karena itu selain mengandalkan bantuan negara ASEAN dan kemampuan di dalam negeri, Indonesia dapat juga mengerahkan kemampuan dari luar ASEAN, seperti Rusia atau pun Canada di dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

(15)

4. Perbaikan pengelolaan informasi dan data kebakaran hutan dan lahan Dengan adanya mekanisme pemantauan dan pelaporan kejadian kebakaran hutan dan lahan oleh National Monitoring Centre (NMC) kepada ASEAN Centre dapat memacu perbaikan pengelolaan informasi karena akan mendorong NMC untuk membangun sistem (jaringan) dan komunikasi yang lebih baik dengan berbagai instansi baik di tingkat pusat maupun daerah dalam rangka penyiapan data dan informasi tentang kebakaran hutan dan lahan. Untuk melakukan hal tersebut akan terjadi pengelolaan informasi karena Indonesia akan berupaya keras memberikan data yang akurat ke tingkat regional. Oleh karena itu untuk menyiapkan data dan informasi yang akurat tersebut maka akan memacu koordinasi antar instansi baik di tingkat pusat maupun daerah untuk menyediakan data dan informasi tersebut. Selain itu mekanisme pada AATHP akan memacu perbaikan pengelolaan informasi karena akan mendorong NMC untuk membangun sistem (jaringan) komunikasi guna keperluan mekanisme AATHP tersebut. Adanya AATHP akan berimplikasi terhadap perbaikan pengelolaan informasi karena mekanisme pemantauan dan pelaporan kejadian beserta respon dan tindak lanjutnya merupakan kunci keberhasilan penanganan kebakaran lahan dan hutan. Selanjutnya penanganan terhadap mekanisme ini akan mendorong perbaikan pengelolaan informasi dalam berbagai bentuk dan tingkatannya.

Sementara responden yang kurang atau tidak sependapat menyatakan bahwa tanpa AATHP pun selama ini untuk memenuhi kebutuhan informasi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sudah ada jaringan informasi yang dibangun untuk memenuhi hal tersebut dan telah disebarluaskan melalui website serta telah berjalan dan diacu seluruh propinsi rawan kebakaran, meskipun belum sampai di tingkat kabupaten/kota rawan kebakaran hutan dan lahan, seperti yang telah dilakukan oleh Departemen Kehutanan. Responden lainnya berpendapat bahwa selama ini sudah ada Pusdalkarhutla (Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan) yang mengelola informasi, sebaiknya institusi inilah yang perlu diperbaiki.

5. Penetapan sumber data hot spot di tingkat nasional

Adanya AATHP dapat mendorong upaya penetapan sumber informasi data hot spot di tingkat nasional guna pelaporan dan komunikasi ke tingkat regional

(16)

yang saat ini belum ditentukan (ditetapkan dari sumber institusi yang mana yang menjadi acuan data hot spot) karena untuk memenuhi mekanisme pelaporan data dan informasi dari tingkat nasional ke tingkat regional tetap harus di tentukan satu sumber (institusi) penyedia data atas nama Indonesia. AATHP dapat berimplikasi terhadap upaya penetapan sumber informasi bencana kebakaran hutan dan lahan, meskipun di dalam Undang-undang Penanggulangan Bencana kepentingan ini pun sudah terakomodasi. Sebagai suatu konsekuensi dari adanya AATHP maka Indonesia harus menetapkan satu sumber data hot spot guna memenuhi mekanisme pemantauan dan pelaporan informasi kebakaran. Terkait dengan mekanisme pemantauan, pelaporan dan upaya respon/tindak lanjutnya, maka AATHP akan mendorong perbaikan dalam pengelolaan informasi kebakaran, misalnya dalam pemantauan dan pengelolaan data hot spot di berbagai tingkatan.

Implikasi tersebut dapat terjadi karena hingga saat ini belum ada penetapan sumber informasi data hot spot di tingkat nasional karena ego sektoral yang masih sangat tinggi. Lebih jauh responden mengungkapkan bahwa LAPAN adalah institusi yang tepat sebagai lembaga resmi penyedia informasi dan data kebakaran hutan dan lahan karena tidak berdasarkan keproyekan (based on project) dalam meyediakan data dan informasi kebakaran serta institusi tersebut sudah memiliki teknologinya, receiver-nya dan teknologi pengolahan datanya.

Sementara responden yang kurang atau tidak sependapat menyatakan bahwa tidak perlu ada penetapan sumber data dan informasi karena justru sumber data hot spot yang berbeda dapat menjadi sumber referensi dalam memperkaya informasi dan data kebakaran hutan dan lahan di tingkat nasional. Ketentuan yang ada pada AATHP tidak berimplikasi terhadap upaya penetapan sumber informasi data hot spot karena Indonesia sebaiknya melakukan penetapan sumber informasi dan data hotspot sejak dahulu demi keperluan kesatuan sumber data dan informasi kebakaran khususnya di tingkat nasional dan lokal. Responden lainnya beralasan bahwa sebenarnya sudah ada ASMC, Singapura dan NOAA yang dikelola Departemen Kehutanan sebagai sumber data hotspot serta sudah ada Pusdalkarhutla yang mengelola informasi sampai dengan pencegahannya. Oleh karena itu seharusnya konsep ini lah yang sebaiknya diperbaiki agar paling tidak jangan terlalu birokratis untuk mendukung upaya perbaikan pengelolaan informasi

(17)

kebakaran guna upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, dan bukan semata upaya penetapan sumber data hot spot.

6. Pembagian peran, tanggung jawab dan kewenangan yang lebih jelas antar institusi dalam upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan

Seluruh responden sependapat bahwa penunjukan atau pembentukan NFP (National Focal Point) , NMC (National Monitoring Centre) dan CA (Competent Authorities) dapat lebih memperjelas peran, tanggung jawab dan kewenangan

antar institusi dalam penanggulangan bencana kebakaran. Dengan disesuaikannya dengan tugas dan fungsi dari institusi yang sudah diemban sebelumnya akan menghindari tumpah tindih tugas dan fungsi serta antar institusi tersebut akan membangun struktur dan tanggung jawab yang lebih baik lagi. Responden menyatakan bahwa sebaiknya pembentukan dan penunjukan NFP, NMC dan CA disesuaikan dengan tugas dan fungsi yang telah ada dalam peraturan perundang- undangan. Oleh karena itu dalam pelaksanaan mekanisme AATHP, sebaiknya NFP sebagai koordinator akan sangat efektif apabila melakukan pembagian tugas sesuai dengan tupoksi yang telah ada. NFP sebagai koordinator menyampaikan visi dan misi serta program kepada forum ASEAN dan dalam implementasinya dikembalikan kepada NMC (National Monitoring Centre) dan CA (Competent Authorities). Untuk itu maka NFP sebaiknya berdiri sendiri dan jangan dibebani

lagi dengan tugas sebagai NMC dan CA karena tugas tersebut dapat diemban oleh institusi yang lebih berkompeten, seperti yang saat ini diemban oleh KLH yang berfungsi sebagai NFP, NMC dan CA. Sebagai konsekuensi adanya AATHP maka penunjukan atau pun pembentukan NFP, NMC dan CA tersebut diharapkan akan memberikan implikasi ke arah perbaikan pembagian peran dan tanggung jawab yang lebih jelas antar institusi terkait.

7. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan

Hampir seluruh responden kurang atau tidak sependapat bahwa AATHP dapat digunakan sebagai dasar untuk meningkatkan pendidikan dan kesadaran masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan, misalnya melalui kerjasama teknis di tingkat regional dalam pendidikan dan kampanye peningkatan

(18)

kesadaran masyarakat terutama yang berkaitan dengan promosi praktek-praktek pembukaan lahan tanpa bakar. Responden yang kurang sependapat beralasan bahwa masih sangat sulit untuk mengharapkan AATHP dapat dijadikan sebagai dasar untuk lebih meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan karena praktek pembakaran hutan dan lahan selama ini banyak yang diinisiasi oleh pelaku illegal logging, yang nota bene merupakan rangkaian panjang dari permasalahan lingkungan di tingkat regional, sehingga untuk memacu ke arah sana masih sangat panjang dan sulit. Responden lainnya menyatakan bahwa tanpa AATHP pun upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penanggulangan bencana juga sudah diatur di dalam Undang-undang Penanggulangan Bencana. Selain itu sebaiknya upaya peningkatan kesadaran tersebut jangan bersifat kerjasama bilateral (regional) karena dikhawatirkan filosofinya berbeda. Responden lainnya beralasan bahwa sebaiknya upaya peningkatan kesadaran melalui pendidikan dan pelatihan semestinya dilakukan melalui pendekatan kultur dan untuk itu maka Indonesia sendirilah yang paling tahu dan mengerti, sehingga tidak perlu dilakukan kerjasama untuk tujuan tersebut. Dan yang diperlukan untuk mewujudkan hal tersebut sesungguhnya adalah komitmennya karena dari segi hukum sudah cukup banyak peraturan yang melarang masyarakat melakukan pembakaran. Responden lainnya berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada dampak langsung yang dapat diharapkan dari AATHP untuk pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian kebakaran karena sifatnya yang hanya mendorong pemerintah untuk lebih giat lagi melakukan promosi praktek pembukaan lahan tanpa bakar, sedangkan upaya untuk melakukan hal tersebut tetap berpulang kepada bangsa Indonesia sendiri.

Sebenarnya sejak tahun 2001 sudah ada resolusi untuk melakukan penerapan pembukaan lahan tanpa bakar, namun pemerintah tidak serius melaksanakannya, sehingga akan sangat sulit diharapkan dari AATHP akan berdampak ke arah sana.

Sebagai contohnya hingga saat ini pemerintah pusat belum mengeluarkan pedoman pembukaan lahan tanpa bakar di tingkat nasional yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintah daerah untuk mengembangkannya.

Sementara responden yang sependapat menyatakan bahwa justru adanya AATHP diharapkan dapat menjadi sarana perbaikan pendidikan, kesadaran, cara

(19)

pandang, perilaku/kebiasaan masyarakat terhadap kebakaran lahan dan hutan melalui kerjasama teknis di tingkat regional maupun internasional dalam pelatihan, pendidikan dan kampanye peningkatan kesadaran terutama yang berkaitan dengan promosi praktek-praktek pembukaan lahan tanpa bakar serta dampak pencemaran asap terhadap kesehatan dan lingkungan.

8. Pengembangan penerapan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) Sebagian besar responden sependapat bahwa AATHP dapat digunakan untuk lebih mengembangkan peraturan, program dan strategi untuk mempromosikan praktek-praktek pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) serta dampak pencemaran asap terhadap kesehatan dan lingkungan. Dengan Agreement ini diharapkan illegal logging yang merupakan salah satu rangkaian penyebab kebakaran dan menjadi permasalahan di tingkat regional dapat lebih dikendalikan serta pemerintah dapat memberikan alternatif mata pencaharian untuk melangsungkan kehidupan masyarakat sebagai salah satu solusi untuk menekan pembakaran hutan dan lahan. Selain itu pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan AATHP untuk lebih mengembangkan peraturan, program dan strategi untuk mempromosikan praktek-praktek pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) serta dampak pencemaran asap terhadap kesehatan dan lingkungan karena untuk meningkatkan partisipasi masyarakat masih memerlukan upaya yang sangat besar. Responden berpendapat bahwa AATHP dapat digunakan sebagai momentum untuk lebih mengambangkan dan mempromosikan PLTB meskipun implikasi langsung adalah tergantung dari kemampuan di dalam negeri untuk mewujudkannya. Responden mengemukakan bahwa AATHP dapat digunakan untuk lebih mengembangkan promosi PLTB asalkan jangan hanya untuk mengatur penyadaran masyarakat namun juga perbaikan kebijakan yang mengatur tanggung jawab apabila lahan perusahaan terbakar karena 81.1 persen kebakaran terjadi dikonsesi milik perusahaan perkebunan dan HTI.

Sementara responden yang kurang sependapat menyatakan bahwa sebenarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mempromosikan PLTB hanya perlu diperbesar dan diperluas serta ditingkatkan komitmennya.

Responden berpendapat bahwa Persetujuan (AATHP) sebenarnya tidak akan memberikan banyak dampak terhadap upaya pencegahan, misalnya dalam

(20)

promosi praktek PLTB (Pembukaan Lahan Tanpa Bakar) karena upaya-upaya peningkatan kesadaran tersebut sesungguhnya lebih tergantung dari pemerintah Indonesia sendiri. Lebih jauh responden mengungkapkan bahwa masih sangat sulit mewujudkan kesadaran masyarakat dalam menerapkan PLTB karena masih adanya ”gap” antara pemerintah dan masyarakat, misalnya tentang kebutuhan tenaga kerja serta dampak pembakaran terhadap kesuburan tanah.

9. Pembuatan SOP (Standard Operating Procedures) Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan

Seluruh responden sependapat bahwa AATHP akan memicu koordinasi untuk membuat SOP (Standar Prosedur Pelaksanaan) Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di tingkat nasional karena adanya kebutuhan untuk membuat struktur yang sifatnya lintas departemen (lintas sektor) dalam upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Responden beralasan bahwa kebutuhan untuk membuat SOP di tingkat nasional yang disesuaikan dengan substansi pada AATHP adalah merupakan konsekuensi dari AATHP. Hal ini diperlukan untuk memudahkan berjalannya mekanisme Persetujuan (AATHP). Responden menyatakan bahwa Indonesia memerlukan Standar Prosedur Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan yang lebih terpadu karena hingga saat ini Indonesia memang belum memilikinya dan diharapkan melalui AATHP dapat memacu pembuatan Standar Prosedur Pelaksanaan (SOP) tersebut. Responden mengungkapkan bahwa hal ini memang diperlukan karena koordinasi antar departemen (institusi) mutlak dilakukan untuk menanggulangi bencana kebakaran hutan dan lahan. Untuk itu, maka menurut responden proses penyusunan SOP tersebut tentu saja harus disesuaikan dengan kebutuhan substansi dalam AATHP tersebut. Sementara responden lainnya menyatakan bahwa pembuatan SOP Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di tingkat nasional tersebut perlu ditindak lanjuti dengan membuat SOP yang bersifat lokal dengan tidak menghilangkan teknik- teknik penanggulangan kebakaran sederhana yang telah lama ada di tingkat masyarakat. Pernyataan yang tidak jauh berbeda mengungkapkan bahwa dalam pembuatan standar prosedur pelaksanaan tersebut penekanannya tetap difokuskan terhadap koordinasi lintas sektoral/pihak yang telah membuat Standar Prosedur

(21)

Pelaksanaan pada sektor atau institusinya masing-masing. Responden lainnya berpendapat bahwa AATHP dapat saja memacu pembuatan Standar Prosedur Pelaksanaan (SOP) Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di tingkat nasional namun pembuatan SOP ini harus tetap dengan payung Undang- undang Penanggulangan Bencana.

10. Perbaikan alokasi dana penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan

Sebagian besar responden sependapat bahwa AATHP dapat memberikan implikasi terhadap perbaikan alokasi dana karena adanya komitmen untuk melaksanakan Persetujuan (AATHP). Perbaikan tersebut dapat terjadi meskipun dalam pelaksanaannya sangat tergantung dari APBN dan kekayaan daerah rawan kebakaran. Responden mengharapkan melalui AATHP dapat lebih mendorong alokasi dana dalam APBN supaya pengendalian kebakaran menjadi prioritas.

AATHP dapat memberikan implikasi kepada perbaikan alokasi dana, meskipun sebenarnya secara internal Pemerintah Indonesia harus dan wajib mengalokasikan dana yang cukup untuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan dan hutan. Dengan adanya AATHP maka Indonesia dipaksa untuk menyediakan dana yang lebih memadai bagi upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan.

Sementara responden yang kurang sependapat menyatakan bahwa seharusnya jaminan alokasi dana tersebut jangan tergantung dari Indonesia (dari APBN dan APBD) untuk penanggulangan kebakaran hutan dan dampaknya, seperti yang juga dicantumkan dalam ketentuan AATHP namun sebenarnya adalah tergantung dari kondisi negara-negara donor yang terlibat untuk membantu Indonesia mengatasi kebakaran. Responden kurang sependapat bahwa AATHP dapat memacu perbaikan alokasi dana penanggulangan kebakaran karena tanpa AATHP pun pemerintah sudah cukup mendapat alokasi dana yang memadai untuk membiayai kegiatannya, seperti yang didapatkan oleh Departemen Kehutanan. Hal ini terlihat bahwa dari tahun ke tahun pemerintah, khususnya di Departemen Kehutanan, mendapatkan alokasi dana yang meningkat untuk membiayai upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan.

(22)

11. Penguatan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di daerah

Responden yang sependapat dengan yang kurang atau tidak sependapat dengan pernyataaan di atas berimbang. Responden yang sependapat bahwa AATHP dapat memacu penguatan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan berargumen bahwa dengan adanya bantuan langsung yang diberikan oleh negara ASEAN langsung kepada daerah rawan kebakaran akan dapat memacu penguatan kelembagaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di daerah, karena bantuan teknis diberikan langsung kepada daerah yang memerlukannya. Disamping itu negara pemberi bantuan (negara lain di tingkat regional ASEAN) berkepentingan untuk membantu khususnya kepada daerah rawan kebakaran agar dampak kebakaran hutan dan lahan tidak terjadi dan mengenai negara mereka. Melalui bantuan tersebut, negara pemberi bantuan, seperti Singapura mengharapkan akan terjadi penguatan kapasitas kelembagaan pengendalian kebakaran di tingkat daerah dan selanjutnya akan mengurangi kejadian kebakaran hutan dan lahan. Penguatan kelembagaan adalah faktor penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan dan hutan secara terintegrasi dan terkoordinasi dari tingkat lokal sampai dengan tingkat regional. Dengan demikian diharapkan dengan AATHP maka dapat mendorong terjadinya penguatan kelembagaan pencegahan dan pengendaliaan kebakaran hutan dan dampaknya di daerah.

Sementara responden yang kurang sependapat menyatakan bahwa implikasi penguatan kelembagaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan akibat dari bantuan teknis langsung yang diberikan oleh negara pemberi bantuan seperti Singapura masih sangat sulit diharapkan karena dalam proses pemberian bantuan tersebut, seperti yang saat ini sedang dijajaki, masih sulit mendapatkan kesepakatan lingkup bantuan karena apa yang diinginkan oleh pemerintah Indonesia belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh negara pemberi bantuan sehingga implikasi terhadap penguatan kelembagaan di tingkat pemerintah daerah pun masih sulit diharapkan dari bantuan tersebut. Untuk mendapatkan bantuan teknis tersebut selama ini pun sudah ada kerjasama antara Indonesia dengan negara ASEAN lain seperti Singapura atau Malaysia, sehingga tidak perlu lagi

(23)

melakukannya dalam bentuk Agreement namun cukup dalam kerangka bilateral saja. Selain itu responden berpendapat bahwa dengan memberikan bantuan kepada satu atau dua daerah rawan kebakaran belum dapat menjadi jaminan untuk dapat mengembangkan dan memacu penguatan kelembagaan ke seluruh daerah rawan kebakaran hutan dan lahan lainnya.

12. Pembangunan ASEAN Centre memudahkan kerjasama dan koordinasi antar Pihak

Seluruh responden sependapat bahwa dengan pembangunan ASEAN Center memudahkan kerjasama untuk alih pengetahuan dan teknologi serta penelitian guna meminimalkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia serta koordinasi antar Pihak (antar negara ASEAN dan dunia internasional) dalam menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Umumnya responden berpendapat bahwa Indonesia dapat memanfaatkan ASEAN Centre tersebut untuk kepentingan atau keperluan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Indonesia berkepentingan ASEAN Centre tersebut berada di Indonesia salah satunya dengan alasan karena luasan hutannya yang besar. Selain itu akan lebih baik jika Indonesia menjadi tuan rumah ASEAN Centre karena di antara negara ASEAN lainnya, kejadian kebakaran hutan dan lahan lebih banyak terjadi di Indonesia. Permasalahan kebakaran lahan dan hutan di Indonesia sangat rumit dan sulit diselesaikan secara parsial. Oleh karena itu, dengan berbagai kondisi yang ada di Indonesia tersebut maka maka apabila Indonesia menjadi tuan rumah ASEAN Centre maka dapat lebih memanfaatkannya secara optimal untuk berbagai keperluan.

Untuk lebih jelasnya kesamaan dan ketidaksamaan sikap responden mengenai implikasi kelembagaaan atas AATHP dapat dilihat pada Tabel III.3.

Sedangkan hasil olahan pendapat responden pada umpan balik tahap II dapat dilihat pada lampiran D.

(24)

Tabel III.3

Kesamaan dan Ketidaksamaan Pendapat Responden Hasil Umpan Balik Tahap II Reponden

Implikasi

Kelembagaan Anggota

DPR 1

Anggota DPR 2

Departemen Kehutanan

Bakornas PBP

KLH APHI WALHI MPBI 1. Keberadaan ASEAN Centre memacu perbaikan

koordinasi

S1* S S2* S S S KS1 KS2

2. Perbaikan koordinasi di tingkat pusat (nasional) S S KS S S S S S 3. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan

peralatan penanggulangan bencana kebakaran

S S S S S S S S

4. Perbaikan pengelolaan informasi dan data kebakaran hutan dan lahan

S S KS1 S S S TS1 KS2

5. Penetapan sumber data hot spot di tingkat nasional S S KS1 S KS2 S TS1 S 6. Pembagian peran, tanggung jawab dan kewenangan

yang lebih jelas antar institusi dalam upaya

penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan

S S S S S S S S

7. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan

KS1 TS1 KS2 KS3 KS4 S TS2 KS5 8. Pengembangan penerapan Pembukaan Lahan Tanpa

Bakar (PLTB)

S S KS1 KS2 S S S* KS3

9. Pembuatan SOP (Standard Operating Procedures) Penanggulangan Bencana Kebakaran

S S1* S S S S2* S3* S

10. Perbaikan alokasi dana penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan

KS1 S KS2 S S S S S

11. Penguatan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di Daerah

S S KS1 S KS2 S TS1 KS3

12. Pembangunan ASEAN Centre memudahkan kerjasama dan koordinasi antar Pihak

S S S S S S S S

Keterangan : S = Sependapat KS = Kurang Sependapat S* = Sependapat dengan catatan TS = Tidak Sependapat

(25)

III.2.3 Hasil Pengolahan Kuisioner Umpan Balik Tahap III

Kesamaan dan ketidaksamaan pendapat antar responden yang terlihat pada jawaban hasil kuisioner umpan balik tahap kedua digunakan sebagai dasar untuk mengkomunikasikan kembali pendapat tersebut kepada para responden melalui kuisioner umpan balik tahap ketiga. Berdasarkan hasil umpan balik tahap ketiga menunjukkan bahwa implikasi kelembagaan yang memiliki kesamaan pendapat diantara para responden meningkat, dari 4 (empat) pendapat menjadi 5 (lima) pendapat. Tambahan pendapat yang disepakati pada putaran ketiga adalah perbaikan pengelolaan informasi dan data kebakaran hutan dan lahan.

Pendapat responden pada proses Delphi tahap ketiga ini diberikan pada Lampiran E. Berikut adalah uraian hasil kuisioner umpan balik tahap ketiga.

1. Keberadaan ASEAN Centre memacu perbaikan koordinasi

Berdasarkan hasil putaran ketiga, sebagian besar responden, yaitu 6 dari 8 responden tetap berpendapat bahwa Pusat koordinasi ASEAN untuk Pengendalian Pencemaran Asap Lintas Batas (ASEAN Centre) dapat memberikan implikasi terhadap perbaikan koordinasi. Secara umum alasan yang diberikan tidak jauh berbeda dengan yang diberikan pada putaran kedua. Tidak ada perubahan sikap responden. Responden masih berpendapat bahwa ASEAN Centre akan memberikan manfaat bagi perbaikan koordinasi. Responden beralasan ASEAN Centre ini akan memiliki kapasitas yang didukung oleh berbagai negara dengan berbagai sarana dan prasarana yang memadai untuk membantu Indonesia mengatasi kebakaran sehingga akan memberikan implikasi terhadap perbaikan koordinasi. Selain itu Indonesia juga harus dapat memaksimalkan dan memanfaatkan fungsi ASEAN Center tersebut untuk membantu penanganan kebakaran dengan keberadaannya di Indonesia, diantaranya melalului koordinasi.

Utamanya melalui AATHP ini, dapat membantu Indonesia dalam menjaga hubungan baik dengan negara lain untuk mengatasi kebakaran dan dampaknya bersama-sama dengan negara ASEAN lain yang terkena dampak dengan melakukan koordinasi melalui ASEAN Centre.

Responden yang kurang sependapat masih memberikan alasan bahwa untuk mendapatkan implikasi terhadap perbaikan koordinasi, misalnya dalam

(26)

bentuk perbantuan informasi, Indonesia dapat melakukan kerjasama antara negara-negara Asean dengan propinsi rawan kebakaran. Di sisi lain responden lain menyatakan bahwa sebaiknya yang diperbaiki lebih dahulu adalah koordinasi di dalam internal Indonesia, baru menjadi ASEAN Centre karena dapat saja keberadaan ASEAN Centre tersebut tidak memberikan implikasi dan memacu perbaikan koordinasi di Indonesia jika Indonesia tidak memperbaiki koordinasinya terlebih dahulu.

2. Perbaikan koordinasi di tingkat pusat (nasional)

Dari hasil kuisioner putaran ketiga, tidak terdapat perubahan sikap responden. Masih terdapat satu responden yang kurang sependapat bahwa AATHP dapat memberikan implikasi terhadap perbaikan koordinasi di tingkat pusat. Secara umum responden tetap sependapat bahwa AATHP dapat memperbaiki koordinasi di tingkat pusat (nasional). Responden yang kurang sependapat menyatakan bahwa sebenarnya di semua level pemerintahan (nasional dan lokal) masih kurang komitmennya untuk melakukan koordinasi. Oleh karena itu masih diragukan bahwa AATHP ini dapat memacu perbaikan koordinasi di tingkat nasional.

3. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan peralatan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan

Berdasarkan hasil umpan balik putaran ketiga, seluruh responden tetap sependapat bahwa mekanisme perbantuan yang ada dalam AATHP dapat dimanfaatkan oleh Indonesia dalam upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan terutama pada saat bencana kebakaran atau asap sudah tidak dapat ditanggulangi oleh Indonesia meskipun secara teknis kemampuan sumberdaya manusia maupun peralatan di negara ASEAN lainnya tidak lebih baik dan tidak lebih mampu dibandingkan yang dimiliki oleh Indonesia. Tidak banyak perubahan alasan yang diberikan oleh responden. Secara umum responden berargumen bahwa saat terjadi kebakaran hutan dan lahan dalam skala luas di Indonesia, sumberdaya manusia dan peralatan dari negara lain bisa kita gunakan untuk meningkatkan ”covered” penanganan bencana kebakaran yang terjadi.

Dengan diberikannya bantuan secara efektif dan efisisen, maka mekanisme perbantuan tersebut dapat berguna dalam upaya penanggulangan bencana

(27)

kebakaran hutan dan lahan. Melalui mekanisme perbantuan tersebut, maka kekuatan sumberdaya akan meningkat sehingga dapat mempercepat upaya respon (tanggap darurat) bencana kebakaran hutan dan lahan.

4. Perbaikan pengelolaan informasi dan data kebakaran hutan dan lahan

Berbeda dengan putaran kedua, pada putaran ketiga ini seluruh responden menyepakati bahwa AATHP dapat berimplikasi terhadap perbaikan pengelolaan informasi. Secara umum responden berpendapat bahwa dengan adanya mekanisme pemantauan, pelaporan dan komunikasi tentang kebakakaran hutan dan lahan di Indonesia yang harus sejauh mungkin dapat dipenuhi untuk dilaporkan dan dikomunikasikan dengan negara ASEAN lainnya melalui ASEAN Centre maka akan mengakibatkan perbaikan pengelolaan informasi dan data kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Salah satu responden menyatakan bahwa sebagai bagian dari pemberlakuan AATHP sejak November 2003, maka sudah ada jaringan yang berjalan untuk menyediakan informasi dan melakukan pemantauan dan pelaporan ke tingkat regional ASEAN. Hal ini menunjukkan sedikit banyak AATHP memberikan tanggung jawab untuk memberikan informasi akurat ke tingkat regional. Selain itu Indonesia sudah mulai melakukan perbaikan pengelolaan informasi, misalnya dengan menggunakan MODIS untuk memantau pergerakan asap (akibat kebakaran hutan dan lahan).

5. Penetapan sumber data hotspot di tingkat nasional

Pada putaran ketiga ini, tidak ada perubahan sikap responden. Dari 8 responden, masih tetap terdapat 3 responden yang kurang atau tidak sependapat bahwa AATHP dapat mendorong upaya penetapan sumber informasi data hot spot di tingkat nasional guna pelaporan dan komunikasi ke tingkat regional yang saat ini belum ditentukan (ditetapkan dari sumber institusi yang mana yang menjadi acuan data hot spot). Berdasarkan hasil umpan balik yang didapatkan terdapat pertentangan yang jelas di antara responden. Responden yang kurang sependapat menyatakan bahwa Indonesia sebaiknya melakukan penetapan sumber informasi dan data hotspot tanpa harus ada AATHP guna keperluan kesatuan sumber data dan informasi kebakaran khususnya di tingkat nasional dan lokal. Sedangkan di sisi lain responden yang sependapat justru menyatakan bahwa dengan adanya

(28)

AATHP akan memberikan implikasi terhadap penetapan sumber data hot spot karena hingga saat ini belum ada kerangka hukum yang menetapkan sumber resmi informasi data hot spot yang dijadikan acuan di tingkat nasional yang selanjutnya berguna sebagai sumber pelaporan data hotspot ke tingkat regional.

6. Pembagian peran, tanggung jawab dan kewenangan yang lebih jelas antar institusi dalam upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan

Sebagaimana hasil pada putaran kedua, hasil pada putaran ketiga pun menunjukkan kesepakatan bahwa penunjukan atau pembentukan NFP, NMC dan CA akan memberikan implikasi terhadap perbaikan kejelasan pembagian peran, tanggung jawab dan kewenangan antar institusi dalam upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan. Hampir seluruh responden memberikan alasan yang sama dengan alasan yang diberikan pada kuisioner umpan balik putaran kedua. Responden berpendapat bahwa dengan adanya penunjukan tersebut, maka akan ada batasan tugas dan fungsi dari masing-masing institusi yang berperan yang selanjutnya akan memperkuat kerangka kerja konseptual dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Lebih lanjut responden berpendapat bahwa sebaiknya NFP mengkoordinasikan penunjukan institusi yang bertugas melaksanakan tugas atau fungsi dalam penanggulangan kebakaran sehingga sesuai dengan tupoksi yang telah ada pada masing-masing instansi yang ada. Secara umum responden berpendapat bahwa dengan penunjukan atau pembentukan tersebut maka antar institusi akan berkoordinasi lebih baik, yakni dengan membangun struktur yang efektif dan produktif, serta melakukan pembagian tugas dan tanggung jawab yang lebih jelas. Responden berharap dengan penunjukkan NFP, NMC dan CA tersebut ada tindak lanjut yang memungkinkan institusi-institusi tersebut mempunyai tugas, tanggung jawab dan kewenangan yang lebih jelas.

7. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan

Berdasarkan hasil putaran ketiga, sebagian besar responden tetap mempunyai sikap yang sama seperti yang dikemukakan pada kuisioner putaran kedua. Hampir seluruh responden, yaitu 7 dari 8 responden tetap kurang atau

(29)

tidak sependapat atas pernyataan bahwa AATHP dapat digunakan sebagai dasar untuk lebih meningkatkan pendidikan dan kesadaran masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Responden beralasan bahwa meskipun ada upaya promosi terhadap masyarakat ataupun kerjasama di tingkat regional, misalnya dalam promosi praktek PLTB tidak akan memberikan banyak implikasi mengurangi kejadian kebakaran hutan dan lahan karena yang dilakukan seharusnya adalah upaya yang lebih represif kepada perusahaan dan bukan masyarakat karena kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sebagian besar terjadi di lahan perusahaan dan bukan di lahan masyarakat. Responden lainnya beralasan secara perundang-undangan sesungguhnya sudah sangat cukup untuk mempromosikan partisipasi masyarakat dalam pengendalian kebakaran praktek-praktek pembukaan lahan tanpa bakar di Indonesia, selain tentu saja yang paling mengerti bagaimana cara mendorong upaya yang terus menerus ke arah sana adalah kembali kepada negara Indonesia sendiri.

8. Pengembangan Penerapan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) Berdasarkan sikap dan pendapat yang diberikan oleh para responden pada kuisioner putaran ketiga terlihat bahwa tidak terdapat perubahan sikap responden.

Sebagian besar responden tetap sependapat bahwa AATHP dapat digunakan untuk lebih mengembangkan peraturan, program dan strategi untuk mempromosikan praktek-praktek pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) serta dampak pencemaran asap terhadap kesehatan dan lingkungan. Salah satu alasan yang diberikan adalah melalui kerjasama yag ada pada AATHP maka Indonesia dapat mengambil pengalaman praktek-praktek pembukaan lahan tanpa bakar dari negara lain untuk diterapkan di Indonesia meskipun tetap tergantung dari kemampuan di dalam negeri untuk mewujudkannya. Sementara responden yang kurang sependapat beralasan bahwa upaya-upaya pengembangan PLTB tersebut sesungguhnya lebih tergantung dari pemerintah Indonesia sendiri dan pada dasarnya telah ada peraturan di dalam negeri yang telah mengakomodasi penerapan PLTB tersebut. Selain itu Indonesia pun sudah melaksanakan promosi dan penerapan praktek-praktek pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB), hanya masih kurang komitmennya, masih kurangnya pengawasan dan penegakan hukum yang lemah.

(30)

9. Pembuatan SOP (Standard Operating Procedures) Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan

Seperti pada hasil putaran kedua, pada putaran ketiga ini pun seluruh responden tetap sepakat bahwa AATHP akan memicu koordinasi untuk membuat SOP Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di tingkat nasional karena adanya kebutuhan untuk membuat struktur yang sifatnya lintas departemen (lintas sektor) dalam upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Responden memberikan alasan bahwa sebagai bagian dari konsekuensi AATHP, Indonesia memerlukan SOP tersebut untuk memudahkan berjalannya mekanisme Persetujuan (AATHP).

10. Perbaikan alokasi dana penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan

Pada putaran ketiga ini terdapat satu responden yang berubah sikap dari kurang sependapat menjadi sependapat bahwa AATHP dapat menjadi dasar usulan bagi alokasi dana yang lebih memadai dalam upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan. Perbaikan alokasi dana dapat terjadi khususnya pada pada kegiatan-kegiatan yang ada pada ketentuan Persetujuan (AATHP). Sehingga hampir seluruh responden sependapat bahwa AATHP dapat meningkatkan perbaikan alokasi dana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Responden yang berubah pendapat tersebut menyatakan bahwa dengan adanya AATHP akan memberikan konsekuensi terhadap politik anggaran yang akan lebih berpihak kepada alokasi dana untuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Di sisi lain responden yang kurang sependapat memberikan alasan bahwa tetap saja dalam pengalokasian dananya sangat tergantung dari prioritas yang menjadi perhatian pemerintah. Selain itu sumber dana dari luar pun tidak dapat menjadi jaminan dalam membantu pelaksanaan AATHP.

11. Penguatan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di daerah

Berdasarkan hasil kuisioner umpan balik tahap ketiga terlihat bahwa tidak ada perubahan sikap yang diberikan oleh para responden. Responden yang sependapat dengan yang kurang atau tidak sependapat tetap seimbang, yaitu masing-masing 4 responden. Pada putaran ketiga ini pun alasan yang diberikan

(31)

pun tidak jauh berbeda dengan alasan yang diberikan sebelumnya. Secara umum responden yang sependapat menyatakan bahwa secara eksplisit adanya mekanisme perbantuan (baik teknis maupun non teknis) memang telah diatur di dalam Persetujuan (AATHP) dan jika bantuan tersebut diberikan langsung kepada pemerintah daerah diharapkan dapat memacu penguatan kelembagaan pengendalian kebakaran hutan di daerah. Sementara responden yang kurang sependapat tetap beralasan bahwa meskipun ada komitmen untuk memberikan bantuan dari negara ASEAN lainnya, namun dalam pelaksanaannya masih sangat sulit karena apa yang diinginkan oleh pemerintah Indoensia belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh negara ASEAN lain yang ingin membantu, sehingga sulit mengharapkan penguatan kelembagaan di daerah dengan mengharapkan bantuan dari negara ASEAN tersebut.

12. Pembangunan ASEAN Centre memudahkan kerjasama dan koordinasi antar Pihak

Sampai pada tahap ketiga, pernyataan bahwa pembangunan ASEAN Center memudahkan kerjasama untuk alih pengetahuan dan teknologi serta penelitian guna meminimalkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia serta koordinasi antar Pihak (antar negara ASEAN dan dunia internasional) dalam menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tetap disepakati oleh seluruh responden. Secara umum responden beralasan bahwa Indonesia sangat berkepentingan terhadap keberadaan ASEAN Centre tersebut. Salah satunya, menurut responden, selain Indonesia dapat memanfaatkan ASEAN Centre tersebut untuk keperluan pengendalian kebakaran di Indonesia, ASEAN Centre tersebut dapat dipergunakan oleh Indonesia dalam meningkatkan aksesibilitas terhadap dunia internasional untuk membantu mengatasi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Hasil akhir pendapat responden terhadap implikasi kelembagaan atas AATHP pada putaran ketiga dapat dilihat pada Tabel III.4. Sedangkan hasil keseluruhan pendapat responden pada tahap I (eksplorasi) dan iterasinya dapat dilihat pada Tabel III.5.

(32)

Tabel III.4

Kesamaan dan Ketidaksamaan Pendapat Responden Hasil Umpan Balik Tahap III Reponden

Implikasi

Kelembagaan Anggota

DPR 1

Anggota DPR 2

Departemen Kehutanan

Bakornas PBP

KLH APHI WALHI MPBI 1. Keberadaan ASEAN Centre memacu perbaikan

koordinasi

S S S1* S S S KS1 KS2

2. Perbaikan koordinasi di tingkat pusat (nasional) S S KS1 S S S S S 3. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan

peralatan penanggulangan bencana kebakaran

S S S1* S S S S S

4. Perbaikan pengelolaan informasi dan data kebakaran hutan dan lahan

S S S S S S S S

5. Penetapan sumber data hot spot di tingkat nasional S S KS1 S KS2 S TS1 S 6. Pembagian peran, tanggung jawab dan kewenangan

yang lebih jelas antar institusi dalam upaya

penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan

S S S S S S S S

7. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan

KS1 TS1 KS2 KS3 KS4 S TS2 KS5 8. Pengembangan penerapan Pembukaan Lahan Tanpa

Bakar (PLTB)

S S KS1 KS2 S S S* KS3

9. Pembuatan SOP (Standard Operating Procedures) Penanggulangan Bencana Kebakaran

S S1* S S S S2* S3* S

10. Perbaikan alokasi dana penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan

S S KS1 S S S S S

11. Penguatan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di Daerah

S S KS1 S KS2 S TS1 KS3

12. Pembangunan ASEAN Centre memudahkan kerjasama dan koordinasi antar Pihak

S S S S S S S S

Keterangan : S = Sependapat KS = Kurang Sependapat S* = Sependapat dengan catatan TS = Tidak Sependapat

(33)

Tabel III.5

Implikasi kelembagaan atas AATHP Hasil Wawancara Eksploratif dan Iterasi Hasil Eksploratif Tahap 1 Implikasi kelembagaan

yang memiliki Kesamaan Pendapat

Pada Tahap II

Implikasi kelembagaan yang memiliki Kesamaan

Pendapat Pada Tahap III 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

Keberadaan ASEAN Centre memacu perbaikan koordinasi Perbaikan koordinasi di tingkat pusat (nasional)

Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan peralatan penanggulangan bencana kebakaran

Perbaikan pengelolaan informasi dan data kebakaran hutan dan lahan

Penetapan sumber data hotspot di tingkat nasional

Pembagian peran, tanggung jawab dan kewenangan yang lebih jelas antar institusi dalam upaya penanggulangan

bencana kebakaran hutan dan lahan

Peningkatan partisipasi masyarakat dalam

pengendalian kebakaran hutan dan lahan

Pengembangan penerapan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB)

Pembuatan SOP (Standard Operating Procedures) penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan Perbaikan alokasi dana penanggulangan bencana kebakaran

Penguatan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di daerah

Pembangunan ASEAN Centre memudahkan kerjasama dan koordinasi antar Pihak

1.

2.

3.

4.

Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan peralatan

penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan Pembagian peran, tanggung jawab dan kewenangan yang lebih jelas antar institusi dalam upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan Pembuatan SOP (Standard Operating Procedures)

penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan Pembangunan ASEAN Centre memudahkan kerjasama dan koordinasi antar Pihak

1.

2.

3.

4.

5.

Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan peralatan

penanggulangan bencana kebakaran Perbaikan pengelolaan informasi dan data kebakaran hutan dan lahan

Pembagian peran, tanggung jawab dan kewenangan yang lebih jelas antar institusi dalam upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan Pembuatan SOP (Standard Operating Procedures)

penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan Pembangunan ASEAN Centre memudahkan kerjasama dan

koordinasi antar Pihak

III.3 Pendapat Peneliti terhadap Implikasi Kelembagaan atas AATHP

Hasil analisis melalui metode Delphi mendapatkan 5 (lima) implikasi kelembagaan yang memiliki kesamaan pendapat diantara para responden dan 7 (tujuh) implikasi kelembagaan yang tidak memiliki kesamaan pendapat diantara para responden. Implikasi kelembagaan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Referensi

Dokumen terkait

Karena tujuan penelitian ini adalah untuk memahami peranan aspek lingkungan dalam Manjemen Aset Infrastruktur, penelitian ini dilakukan dengan menguraikan pengertian aspek dan

Pada awal sebelum dibuatnya IPAL komunal, warga Dusun Mendak, Giri Sekar, Gunung Kidul tertarik akan pembangunan IPAL komunal melalui sosialisasi pada saat pertemuan rutin. Warga

Ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan ini dibatasi pada balita usia 24-59 bulan di Puskesmas Cihampelas Kabupaten Bandung Barat sebagai target populasi dan

Aspek teknis pendirian toko oleh CV. Arga Konveksi di kota Depok dikatakan layak, karena jumlah mesin dan tenaga kerja yang dimiliki saat ini masih dapat memenuhi jumlah

CPDW Indo Setu Bara Resources Tbk 19.. Citra

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengaruh pemberian berbagai konsentrasi ekstrak etanol biji mahoni terhadap penghambatan pertumbuhan Escherichia coli

UAN Sket tend prism oran perl

Pertama, suka atau tidak suka kita harus mengakui peranan Roh Kudus dalam karya misi. Karena secara esensial misi Gereja merupakan suatu aktivitas spiritual – karya Roh