• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENTINGNYA PENERAPAN SITA JAMINAN (CONSERVATOIR BESLAG) DALAM UPAYA PENGEMBALIAN PEROLEHAN ASET HASIL KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB V PENTINGNYA PENERAPAN SITA JAMINAN (CONSERVATOIR BESLAG) DALAM UPAYA PENGEMBALIAN PEROLEHAN ASET HASIL KORUPSI"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

BAB V

PENTINGNYA PENERAPAN SITA JAMINAN (CONSERVATOIR BESLAG) DALAM UPAYA

PENGEMBALIAN PEROLEHAN ASET HASIL KORUPSI

A. Paradigma Pengembalian Aset Perolehan Hasil Korupsi

1. Sistem Hukum Internasional Pengembalian Aset Perolehan Hasil Tindak

Tindak pidana korupsi tidak hanya merupakan permasalahan nasional, tetapi sudah menjadi permasalahan internasional.1Korupsi sudah memasuki lintas batas negara. Hal ini dinyatakan dalam alinea ke empat Mukadimah United Nations Convention Against Corruption2003 (UNCAC):2 “Convinced that corruption is no longer a local matter but a transnasional phenomenon that affects all societies and economies, making international cooperation to prevent and control it essential”.(Meyakini bahwa korupsi bukan lagi masalah lokal, tetapi merupakan fenomena transnasional yang membawa dampak bagi seluruh lapisan masyarakat dan bagi ekonomi, menjadikan kerjasama internasional untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi sebagai hal yang penting).

Dalam UNCAC tidakdijelaskan tentang pengertian recovery3asset,4sebagai pendekatan baru dalam pemberantasan tindak pidana

1 Korupsi adalahmerupakan Transnational Crime terhitung sejak tanggal 1 Oktober 2003 dimana 107 negara peserta Konferensi Ad Hoc Committee for the Negotiation of the United Nations Conventions against Corruption, termasuk Indonesia telah menyetujui mengadopsi Convention Against Corruption yang telah diselenggarakan di Wina. Lebih lanjut baca Romli Atmasasmita,Sekitar Masalah Korupsi: Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm. V.

2 UNCAC diadopsi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi 58/ 4 tanggal 31 Oktober 2003; UNCAC telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang- undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) pada tanggal 18 April 2006.

3 Dalam Blacks' Law Dictionary, 8th ed, diberikan penjelasan bahwa kata "recovery"

sebagai istilah hukum, yang diartikan sebagai: "1. The regaining or restoration of

(2)

commit to user

korupsi.5Sebagai tindak lanjut UNCAC 2003, kemudian diluncurkannya StAR Initiative, pada bulan Juni 2007, yang memuat challenges, opportunities dan action plan dalam upaya pengembalian aset hasil korupsi. StAR (Stolen Asset Recovery) merupakan program bersama yang diluncurkan oleh Bank Dunia (World Bank) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa khususnya UNODC (United Nations Office on Drugs and Crimes) untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam mengimplementasikan upaya pengembalian aset hasil korupsi, sebagai salah satu terobosan dalam hukum internasional yang menetapkan landasan mengenai pengembalian aset hasil kejahatan (terutama korupsi) di negara-negara sedang berkembang.Paradigma pemberantasan korupsi melalui ketentuan UNCAC 2003, difokuskan kepada tiga isu pokok, yaitu pencegahan, pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery).6

Ada dua hal yang fundamental berhubungan dengan pengembalian aset (assetrecovery) yaitu:7

something lost or restoration of something lost or taken away. 2. The obtained of a right to something by a judgement or decree. 3. An amount awarded in or collected from a judgement or decree."(1.mendapatkan kembali atau pemulihan sesuatu yang hilang atau restorasi sesuatu hilang atau diambil . 2. diperoleh dari sesuatu yang hak berdasarkan penilaian atau keputusan . 3. Jumlah yang diberikan atau yang dikumpulkan berdasarkan penilaian atau keputusan) . "

4 Aset berarti: "1. An item that is owned and has value. 2. The entries of property owned, including cash, inventory, real estate, accounts receivable, and goodwill. 3. All the property of a person available for paying debts.”( sesuatu benda yang dimiliki dan memiliki nilai . 2. properti yang dimiliki , termasuk uang tunai , persediaan , real estate , piutang , dan iktikad baik. 3. Semua property milik seseorang yang tersedia untuk membayar . "

5 Dalam United Nation Convention on Anti Corruption (UNCAC), pengembalian aset dipandang sebagai prinsip fundamental (Bab V Pasal 51 UNCAC) dalam konvensi tersebut. UNCAC mengatur mengenai pencegahan terjadinya perpindahan aset yang tidak sah sekaligus juga menetapkan cara pengembalian aset baik lewat pidana maupun perdata.

Selain itu UNCAC juga meminta kerja sama internasional dalam pengembalian aset, salah satunya dengan cara ). UNCAC juga menyelesaikan persoalan hukum diserahkan kemana aset tidak sah tersebut, yakni dengan dikembalikan ke negara yang meminta pengembalian aset (dengan berbagai persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 57 Ayat 3).

6 Saldi Isra, Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama Internasional, http://www.saldiisra.web.id. Diakses tanggal 10 Agustus 2015, Jam: 10.00 WIB.

7 I Ketut Sudiharsa, Pengembalian Asset Kejahatan Korupsi, http://dongulamo.com. Diakses tanggal 10 Agustus 2015, Jam: 10.00 WIB.

(3)

commit to user

a. Menentukan harta kekayaan apa yang harus dipertanggungjawabkan untuk dilakukan penyitaan; dan

b. Menentukan dasar penyitaan suatu harta kekayaan. Pada Pasal 3 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 tentang pembekuan, perampasan, penyitaan dan pengembalian atas aset yang terjadi akibat pelanggaran atas konvensi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :

1) Pembuktian harta kekayaan merupakan hasil dari pelanggaran konvensi (Pasal 31 ayat (1) huruf a).

2) Pembuktian

3) Pembuktian adanya perubahan penggunaannya dalam rangka pelanggaran konvensi (pasal 31 ayat (1) huruf b).bentuk terhadap harta kekayaan (Pasal 31 ayat (4).

4) Pembuktian percampuran harta kekayaan yang sah dan yang melanggar konvensi (Pasal 31 ayat (5).

5) Pembuktian bahwa harta kekayaan merupakan penerimaan atau keuntungan yang diperoleh dari :

a) Pelanggaran terhadap konvensi.

b) Perubahan bentuk harta kekayaan dari pelanggaran konvensi.

c) Integrasi harta kekayaan sah dan pelanggaran konvensi.

Dalam menentukan dasar hukum penyitaan, UNCAC menentukan agar negara-negara peserta harus membuat ketentuan untuk pelaksanaan penyitaan terhadap harta kekayaan dari pelanggaran konvensi. Indonesia sebagai negara yang telah menandatangani UNCAC berkewajiban untuk melaksanakan prinsip-prinsip dasar konvensi yaitu:8

a. Adanya tanggung jawab pemerintah untuk mengembangkan kebijakan anti korupsi yang efektif;

8 Ibid.

(4)

commit to user b. Perlunya melibatkan masyarakat;

c. Pentingnya kerjasama internasional.

Pemberantasan korupsi tidak hanya terletak pada upaya pencegahan maupun pemidanaan para koruptor saja, tetapi juga meliputi tindakan yang dapat mengembalikan kerugian keuangan negara akibat dari kejahatan extraordinary tersebut. Kegagalan pengembalian aset hasil korupsi dapat mengurangi makna penghukuman terhadap para koruptor. Upaya pengembalian aset negara yang dicuri (stolen asset recovery) melalui tindak pidana korupsi (tipikor) cenderung tidak mudah untuk dilakukan. Para pelaku tipikor memiliki akses yang luar biasa luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan pencucian uang (moneylaundering) hasil tindak pidana korupsinya.

Permasalahan menjadi semakin sulit untuk upaya recovery dikarenakan tempat penyembunyian (safe haven) hasil kejahatan tersebut yang melampaui lintas batas wilayah negara dimana tindak pidana korupsi itu sendiri dilakukan.9

Terdapat pula mekanisme dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, yaitu: pertama dengan melakukan pelacakan, selanjutnya aset yang sudah dilacak dan diketahui kemudian dibekukan, terakhir, aset yang dibekukan lalu disita dan dirampas oleh badan berwenang dari negara dimana aset tersebut berada, dan kemudian dikembalikan kepada negara tempat aset tersebut diambil melalui mekanisme-mekanisme tertentu.Kesepakatan tentang pengembalian aset tercapai karena kebutuhan untuk mendapatkan kembali aset-aset hasil tindak pidana korupsi sebagaimana harus direkonsiliasikan dengan hukum dan prosedur dari negara-negara yang dimintai bantuan. Pentingnya pengembalian aset, terutama bagi negara-negara berkembang didasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana korupsi telah merampas kekayaan negara-negara tersebut, sementara sumber daya sangat

9 Saldi Isra, op.cit.hlm.2.

(5)

commit to user

dibutuhkan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan.10

Dalam UNCAC 2003 disebutkan bahwa perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit enrichment), merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri.

Rumusan ini justru tidak bersesuaian dengan rumusan tindak pidana dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001 dan berimplikasi mempersempit rumusan tindak pidana korupsi dalam Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001. Begitupun menyangkut unsur kerugian negara sebagaimana juga diatur dalam Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001oleh UNCAC 2003 tidak lagi sebagai unsur penting.11

Dengan demikian, upaya mengimplementasikan UNCAC 2003 membutuhkan keserasian pengaturan dalam sistem hukum nasional menyangkut persoalan unsur kerugian negara12 dan masalah illicit enrichment13 sebagai suatu tindak pidana yang berdiri sendiri. Apabila diterima, konsekuensinya adalah dalam masalah beban pembuktian. Perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit enrichtment) sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dapat digunakan sistem beban pembuktian melalui upaya keperdataan dan tidak hanya tergantung pada jalur proses peradilan pidana, dan jalur keperdataan inipun telah digunakan oleh beberapa negara.

10 Lihat alinea pertama Mukadimah UNCAC.

11 Lihat Pasal 3 butir 2 tentang scope and aplication, yang menentukan bahwa : “for the purpose of implementing this convention, it shall not be necessary, except as otherwise stated herein, for the offences set forth in it to result in damage or harm to state property”.

Artinya bahwa untuk tujuan pelaksanaan konvensi ini, tidak diperlukan (kecuali ditentukan lain) dalam konvensi ini, bahwa kejahatan-kejahatan dalam konvensi ini mengakibatkan kerugian keuangan negara.

12 Rumusan Pasal 3 tentang scope and application bersifat wajib.

13 Illicit enrichment sebagai suatu tindak pidana yang berdiri sendiri dapat menggantikan rumusan Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001.

(6)

commit to user

Jalur keperdataan dalam pengembalian aset negara, dibandingkan jalur pidana relatif lebih mudah karena dalam hal pembuktian, pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan diambil adalah hasil, atau berhubungan dengan tindak pidana. Implementasinya adalah apa yang disebut

”civil forfeiture”. Dalam masalah pembuktian, pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan yang layak bagi pelaku, kemudian membandingkan dengan aset yang dimiliki. Jika aset yang dimiliki melebihi jumlah pendapatannya, maka pelaku berkewajiban membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal.14

Kemudahan dalammasalah pembuktian melalui jalur civil forfeiture, merupakan alternatif yang potensial, karena lebih efektif dalam upaya pengembalian aset, walaupun prosedur ini tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti lambat dan biaya tinggi. Di samping itu, perlu dipertimbangkan bahwa pemanfaatan potensi civil forfeiture harus diikuti dengan adanya perjanjian bilateral disamping pula memerlukan suatu re-strukrisasi hukum nasional.

Restrukrisasi di bidang hukum, antara lain menghendaki adanya reformasi bidang hukum materiil dan formil. Bidang hukum formil antara lain, hukum acara perdata yang harus diformat kembali, mengingat Indonesia masih menggunakan hukum acara perdata yang hanya berlaku dalam kasus-kasus yang bersifat individual atau private to private.

Di samping itu pula civil forfeiture menuntut legal expertise dan pengetahuan teknis yang tinggi, dan dikhawatirkan Indonesia masih belum memiliki sumber daya yang bisa memenuhi tuntutan ini. Perluasan jurisdiction scope dari civil forfeituremerupakan suatu hal yang mutlak, mengingat aset hasil korupsi lebih banyak disembunyikan di negara lain. Kemudian, yang lebih

14 Anthony Kennedy, “Designing a civil forfeiture system: an issues list for policymakers and legislator”Journal of Financial Crime Nomor 13 (2), 2006, hlm.38.

(7)

commit to user

pentingadalah perlu dipertimbangkannya aspek check and balance karena jalur ini rawan penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum.15

Pada negara berkembang, di satu sisi sebagaimana dimensi Stolen Asset Recovery Inisiative tidak kurang setiap tahunnya sekitar 20-40 Milyar US$ aset yang dicuri. Kemudian di sisi lainnya, pada negara berkembang mengalami hambatan karena tidak adanya regulasi yang mengatur perampasan harta benda tanpa melalui proses peradilan pidana (non conviction base) sehingga diperlukan adanya pengaturan non conviction base stolen asset recovery yang mengatur mekanisme hukum tentang pembekuan (freezing), perampasan (seizure) dan penyitaan (confiscation) harta benda tanpa perlu dibuktikan keterlibatan dalam perkara pidana.16

Sekarang ini, asset forfeiture17 merupakan sarana yang cukup penting penting dalam upaya pengembalian aset (asset recovery). Di beberapa yurisdiksi,asset forfeitureini juga disebut sebagai “civil forfeiture”, “in rem forfeiture”, atau “objective forfeiture”, adalah tindakan melawan aset itu sendiri (misalnya, negara vs. $100.000) dan bukan terhadap individu (in

15 Bismar Nasution,”Stolen Asset Recavery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia” Makalah Narasumber dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN 2007), Jakarta 28 Nopember 2007, hlm.11.

16 Lilik Mulyadi, Pengembalian Aset (Asset Recovery) Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Korupsi Indonesia Pasca Konvensi PBB Anti Korupsi 2003, http://halamanhukum.blogspot.com/2009/08/asset-recovery.html. Diakses tanggal 11 Agustus 2015, Jam: 10.00 WIB.

17 Asset Forfeiture (“perampasan aset”) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan penyitaan aset, oleh Negara, baik yang (1) hasil kejahatan atau (2) instrumen kejahatan.

Instrumen kejahatan adalah “properti” yang digunakan untuk memfasilitasi kejahatan, untuk mobil misalnya digunakan mengangkut narkotika ilegal. Terminologi asset forfeiture yang digunakan bervariasi dalam yurisdiksi yang berbeda. Lihat: “Asset Forfeiture”, http://www.absoluteastronomy.com/ topics/Asset_forfeiture, diakses tanggal 16 Oktober 2015, Jam: 07.30 WIB. Lihat juga Brenda Grantland yang mengemukakan bahwa asset forfeiture adalah suatu proses di mana pemerintah secara permanen mengambil properti dari pemilik, tanpa membayar kompensasi yang adil, sebagai hukuman untuk pelanggaran yang dilakukan oleh properti atau pemilik, adalah salah satu senjata paling kontroversial dalam hal penegakan hukum semasa “Perang Melawan Narkotik”. Meskipun telah datang menjadi trend dalambeberapa tahun terakhir, tetapi asset forfeiture sebenarnya sudah ada sejak zaman Biblical (Alkitab). Lihat: Brenda Grantland, “Asset Forfeiture: Rules and Procedures”, http://www.drugtext. org/library/articles/grantland01.htm, diakses tanggal 16 Oktober 2015, Jam: 07.40 WIB.

(8)

commit to user

personam). Asset Forfeiture ini adalah tindakan yang terpisah dari setiap proses pidana, dan membutuhkan bukti bahwa suatu properti itu “tercemar” (ternodai) oleh tindak pidana. Sebagaimana diketahui bahwa secara umum, tindak pidana harus ditetapkan pada keseimbangan probabilitas standar pembuktian. Hal ini memudahkan beban pemerintah (otoritas) bertindak dan itu berarti bahwa dimungkinkan untuk mendapatkan denda apabila ada bukti yang cukup untuk mendukung keyakinan pidana. Karena tindakan tersebut tidak melawan terdakwa individu, tetapi terhadap properti, maka pemilik properti adalah pihak ketiga yang memiliki hak untuk mempertahankan properti18 yang akan dilakukan tindakan perampasan.19

Asset forfeiture adalah penyitaan dan pengambilalihan suatu aset melalui gugatan in rem atau gugatan terhadap aset. Konsep Asset Forfeiture didasarkan pada ’taint doctrine’ dimana sebuah tindak pidana dianggap “taint” (menodai) sebuah aset yang dipakai atau merupakan hasil dari tindak pidana tersebut.20Walaupun mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk menyita dan mengambilalih aset hasil kejahatan (proceeds of crime), akan tetapi Asset forfeitureberbeda dengan Criminal Forfeiture yang menggunakan gugatan in

18 World Bank, “Non-Conviction Based Asset Forfeiture as a Tool for Asset Recovery”, http://www.worldbank.org/finance/star_site/documents/non-

conviction/part_a_03.pdf,diakses tanggal 16 Oktober 2015, Jam: 07.30 WIB. Pengertian

“properti” menurut Pasal 2 huruf d UNCAC: adalah “Kekayaan” berarti aset bentuk apa pun, baik korporasi atau nonkorporasi, bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, dan dokumen atau instrumen hukum yang membuktikan hak atas atau kepentingan dalam aset tersebut (“Property” shall mean assets of every kind, whether corporeal or incorporeal, movable or immovable, tangible or intangible, and legal documents or instruments evidencing title to or interest in such assets). Sedangkan di Pasal 2 angka 13 UU No. 8 Tahun 2010 (UU TPPU), istilah “properti” diterjemahkan sebagai

“harta kekayaan”, adalah “semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung”.

19 Menurut Pasal 2 huruf g UNCAC, “Perampasan” yang meliputi pengenaan denda bilamana dapat diberlakukan, berarti perampasan permanen atas kekayaan dengan perintah pengadilan atau badan berwenang lainnya (“Confiscation”, which includes forfeiture where applicable, shall mean the permanent deprivation of property by order of a court or other competent authority).

20 David Scott Romantz, “Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of right and The Judicial Response: The Guilt of the Res”, Suffolk University Law Review, 1994, hlm. 390.

(9)

commit to user

personam (gugatan terhadap orang) untuk menyita dan mengambilalih suatu aset.21Harta kekayaan yang dapat dirampas disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang terkait yaitu meliputi:22

a. Setiap harta kekayaan hasil tindak pidana atau yang diperoleh dari hasil tindak pidana; dan/atau,

b. Harta kekayaan yang digunakan sebagai alat, sarana, atau prasarana untuk melakukan tindak pidana atau mendukung organisasi kejahatan; dan/atau, c. Setiap harta kekayaan yang terkait dengan tindak pidana atau organisasi

kejahatan; dan/atau,

d. Harta kekayaan yang digunakan untuk membiayai tindak pidana atau organisasi kejahatan; dan/atau,

e. Segala sesuatu yang menjadi hak milik pelaku tindak pidana atau organisasi kejahatan.,

Saat aset harta kekayaan pelaku digugat, si pelaku tindak pidana tidak perlu ditahan guna ikut dalam proses pembuktian secara pidana, karena tradisi pada negara common law dan tort law yang mengharuskan semua yang bersalah harus dihukum, walaupun hukuman yang termasuk pelayanan masyarakat, ganti rugi dan bentuk lain dari hukuman penjara yang membiarkan terpidana untuk tetap aktif dalam masyarakat.23 Asset Recoverydalam UNCAC menggunakan strategi langsung (direct recovery) dan tidak langsung (indirect recovery). Strategi pertama mengandung implikasi hukum yang dikenal sebagai civil recovery sedangkan strategi kedua, dikenal sebagai criminal recovery.

Strategi direct recovery, dilaksanakan dengan gugatan perdata terhadap

"pemilik harta kekayaan" yang diduga. berasal dari korupsi dan ditempatkan di negara lain. Gugatan semacam ini sudah tentu memerlukan bantuan pengacara negara setempat yang telah terbukti memerlukan biaya yang relatif besar.

21 Ibid, hlm. 389.

22 Azamul F. Noor dan Yed Imran, loc.cit.

23 O.C.Kaligis, Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana,PT.Alumni, Bandung, 2006, hlm.125.

(10)

commit to user

Sedangkan strategi indirect recovery, tidak memerlukan biaya besar karena proses peradilan pidana di negara yang berkepentingan atas aset korupsi aset dari luar negeri yang berasal dari hasil korupsi. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.

Asset recovery dengan demikian merupakan strategi baru dalam pemberantasan korupsi yang melengkapi strategi yang bersifat pencegahan, kriminalisasi dan kerjasama internasional. Asset recovery ini mengatur soal tindakan pengembalian aset negara yang dikorupsi yang berada di luar negeri hingga mekanisme pengembalian aset. Sebagai kebijakan yang baru, asset recovery ini akan menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia. Apalagi, masalah ini tidak diatur dalam perangkat hukum kita, sehingga sangat mungkin akan menghadapi masalah hukum tersendiri, baik secara konsepsional maupun operasional.24

Khusus terhadap jalur hukum pidanayaitu asset recovery secara tidak langsung proses pengembalian aset dapat dilakukan melalui 4 (empat) tahapan yaitu sebagai berikut:

a. Pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi aset, bukti kepemilikan aset, lokasi penyimpanan aset dalam kapasitas hubungan dengan delik tindak pidana yang dilakukan;

b. Pembekuan atau perampasan aset menurut Bab I Pasal 2 huruf f Konvensi Anti Korupsi (KAK) 2003 aspek ini ditentukan meliputi larangan sementara untuk mentransfer, mengkonversi, mendisposisi, atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawabmengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten;

24. http://www.ti.or.id/Penizembalian/, 6 September 2007”, diakses tanggal 16 Oktober 2015, Jam: 07.30 WIB.

(11)

commit to user

c. Penyitaan aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf g Konvensi Anti Korupsi(KAK) tahun 2003 diartikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berkompeten; dan

d. Pengembalian dan penyerahan aset kepada negara korban.

Pengembalian aset secara tidak langsung diatur dalam ketentuan Pasal 54- 55 Konvensi Anti Korupsi(KAK) 2003 dimana sistem pengembalian aset tersebut dilakukan melalui proses kerjasama internasional atau kerjasama untuk melakukan penyitaan. Apabila diperinci secara global maka dapat melalui aspek-aspek sebagai berikut :

a. Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan otoritas yang berkompeten untuk memberlakukan perintah penyitaan yang dikeluarkan oleh suatu pengadilan dari negara peserta lain;

b. Mengambil tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan otoritas yang berkompeten, dimana mereka mempunyai yurisdiksi untuk memerintahkan penyitaan atas kekayaan yang berasal dari luar negeri dengan putusan pengadilan atas kejahatan pencucian uang atau kejahatan lainnya, sebagaimana dalam yurisdiksi mereka atau dengan prosedur lain berdasarkan hukum nasionalnya; dan

c. Mempertimbangkan untuk mengambil tindakan yang mungkin diperlukan untuk memperkenankan penyitaan atas harta kekayaan tanpa penuntutan secara pidana dalam kasus dimana pelakunya meninggal dunia atau tidak diketahui keberadaannya atau dalam kasus-kasus khusus lainnya.

UNCAC merupakan peraturan yang hanya memiliki ketentuan yang mengatur tentang perampasan in rem secara khusus, dan memberikan dasar hukum sebagai acuan untuk negara melakukan kerjasama internasional dalam permasalahan kejahatan maupun keuangan serta penggunaan teknologi antara sesama dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dalam hal upaya

(12)

commit to user

pengembalian aset. Ketentuan tersebut dituangkan pada Article 54 (1) (c) of UNCAC:

“Consider taking such measures as may be necessary to allow confiscation of such property without a criminal conviction in cases in which the offender cannot be prosecuted by reason of death, flight or absence or in other appropriate cases”.

(Mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk memungkinkan perampasan kekayaan itu tanpa disertai penghukuman pidana dalam kasus-kasus yang pelakunya tidak dapat dituntut karena meninggal dunia, melarikan diri atau tidak ditemukan atau dalam kasus).

Pasal 54 angka 1 huruf (c) UNCAC ini merupakan pasal yang memberikan dasar hukum dalam hal penggunaan tindakan perampasan secara in rem pada tiap negara-negara yang melakukan kerjasama internasional dalam hal upaya melakukan pengembalian aset.Secara prinsip internasional sebagaimana yang diterangkan di dalam guideline StAR tersebut terhadap tindakan perampasan dikenal dengan 2 (dua) jenis perampasan: perampasan in rem dan perampasan pidana. Mereka berbagi tujuan yang sama, yaitu perampasan oleh negara dari hasil dan sarana kejahatan. Keduanya memiliki kesamaan dalam 2 (dua) hal. Pertama, mereka yang melakukan kegiatan melanggar hukum seharusnya tidak diperbolehkan untuk mendapatkan keuntungan dari kejahatan mereka. Hasil kejahatan harus dirampas dan digunakan untuk kompensasi kepada korban, apakah itu negara atau individu.

Kedua, merupakan upaya efek jera terhadap siapa saja yang melanggar hukum.

Tindakan perampasan dilakukan untuk memastikan bahwa aset tersebut tidak akan digunakan untuk tujuan kriminal lebih lanjut, dan juga berfungsi sebagai upaya pencegahan (preventif).25

Secara konsepsi dalam penerapannya, perampasan in rem merupakan upaya yang dilakukan untuk menutupi kelemahan dan bahkan kekurangan yang terjadi dalam tindakan perampasan pidana terhadap upaya pemberantasan

25 Theodore S. Greenberg, Linda M. Samuel, Wingate Grand, and Larissa Gray, op.cit., hlm.18

(13)

commit to user

tindak pidana. Pada beberapa perkara, tindakan perampasan pidana tidak dapat dilakukan dan pada perkara tersebut perampasan in rem dapat dilakukan, yaitu dalam hal :26

a. Pelaku kejahatan melakukan pelarian (buronan). Pengadilan pidana tidak dapat dilakukan jika si tersangka adalah buron atau dalam pengejaran.

b. Pelaku kejahatan telah meninggal dunia atau meninggal sebelum dinyatakan bersalah. Kematian menghentikan proses sistem peradilan pidana yang berlangsung.

c. Pelaku kejahatan memiliki kekebalan hukum (Immune).

d. Pelaku kejahatan memiliki kekuatan dan kekuasaan sehingga pengadilan pidana tidak dapat melakukan pengadilan terhadapnya.

e. Pelaku kejahatan tidak diketahui akan tetapi aset hasil kejahatannya diketahui/ditemukan.

f. Aset kejahatan dikuasai oleh pihak ketiga yang dalam kedudukan secara hukum pihak ketiga tersebut tidak bersalah dan bukan pelaku atau terkait dengan kejahatan utamanya.

g. Tidak adanya bukti yang cukup untuk diajukan dalam pengadilan pidana.

Pada beberapa perkara, perampasan in rem dapat dilakukan dikarenakan pada dasarnya merupakan tindakan in rem yang merupakan tindakan yang ditujukan kepada objek benda, bukan terhadap persona/orang, atau dalam hal ini tidak diperlukannya pelaku kejahatan yang didakwakan sebelumnya dalam peradilan. Dengan perampasan yang ditujukan kepada aset itu sendiri maka tidak adanya subjek pelaku kejahatan yang dilihat pada hal ini membuat kedudukan pihak-pihak yang terkait dengan aset tersebut atau bahkan pemilik aset tersebut berkedudukan sebagai pihak ketiga.

Karenanya dalam hal ini sebagai pihak pertama adalah negara melalui aparaturnya, pihak kedua adalah aset tersebut dan pihak ketiga adalah pemilik aset atau yang terkait dengan aset tersebut. Dalam beberapa perkara,

26 Wahyudi Hafiludin Sadeli, op.cit., hlm. 35.

(14)

commit to user

perampasan in remmemungkinkan untuk dapat dilakukan karena itu adalah tindakan in rem terhadap properti, bukan orang, dan pembuktian pidana tidak diperlukan, ataupun keduanya.

Perampasan aset in rem juga dapat berguna dalam situasi seperti berikut:27 a. Pelanggar telah dibebaskan dari tuntutan pidana yang mendasar sebagai

akibat dari kurangnya alat bukti yang diajukan atau gagal untuk memenuhi beban pembuktian. Hal ini berlaku dalam yurisdiksi di mana perampasan aset in rem diterapkan pada bukti standar yang lebih rendah daripada standar pembuktian yang ditentukan dalam pidana. Meskipun mungkin ada cukup bukti untuk tuduhan pidana tidak bisa diragukan lagi, tetapi pelanggar memiliki cukup bukti untuk menunjukkan aset tersebut berasal bukan dari kegiatan ilegal dengan didasarkan asas pembuktian terbalik.

b. Perampasan yang tidak dapat di sanggah. Dalam yurisdiksi di mana perampasan aset secara in rem dilakukan sebagai acara (hukum) perdata, standar prosedur penilaian digunakan untuk penyitaan aset, sehingga dapat dilakukan penghematan waktu dan biaya.

Perampasan aset in rem sangat efektif dalam pemulihan kerugian yang timbul dan pengembalian dana hasil kejahatan baik kepada negara ataupun kepada pihak yang berhak. Sementara perampasan aset in rem seharusnya tidak pernah menjadi pengganti bagi penuntutan pidana, dalam banyak kasus (terutama dalam konteks korupsi), perampasan aset in rem mungkin satu- satunya alat yang tersedia untuk mengembalikan hasil kejahatan-kejahatan yang tepat dan adanya jaminan keadilan.

Pengaruh pejabat korup dan realitas praktis lainnya dapat mencegah penyelidikan pidana sepenuhnya, atau sampai setelah resmi telah dinyatakan meninggal atau melarikan diri. Hal ini tidak biasa bagi pejabat yang korup yang

27 Ibid.

(15)

commit to user

merampas suatu kekayaan negara yang juga berusaha untuk mendapatkan kekebalan dari tuntutan. Karena sebuah konsep perampasan aset in rem tidak tergantung pada tuntutan pidana, itudapat dilanjutkan tanpa kematian, atau kekebalan yang mungkin dapat dimiliki oleh pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi.28

Dalam membangun sebuah sistem perampasan, sebagai dalam guidelineStAR bahwa yurisdiksi perlu mempertimbangkan apakah perampasan aset in rem dapat dimasukkan ke dalam hukum yang berlaku (lex generalis)atau dibuat undang-undang yang terpisah (lex specialis). Selain itu, yurisdiksi juga perlu mempertimbangkan sejauh mana prosedur yang ada dapat dirujuk dan dimasukkan dan sejauh mana pula mereka harus membuat prosedur baru.29

Secara konsepsi, guideline StAR memberikan kunci-kunci dasar konsep dalam hal negara-negara melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara khusus dan tindak pidana lainnya yang dapat merugikan kekayaan negara maupun perekonomian negara pada umumnya. Kunci-kunci konsep tersebut adalah:30

1. Perampasan in rem (berdasar tanpa putusan pidana) seharusnya tidak menjadi pengganti tuntutan pidana (Non-conviction based asset forfeiture should never be a substitute for criminal prosecution);

2. Hubungan antara perkara perampasan aset in rem dan perampasan pidana apapun, termasuk penyelidikan yang tertunda, harus dijelaskan. (The relationship between an NCB asset forfeiture case and any criminal proceedings, including a pending investigation, should be defined);

28 Ibid.

29 Theodore S. Greenberg, Linda M. Samuel, Wingate Grand, and Larissa Gray, op.cit., hlm.

22.

30 Ibid, hlm. 29-107.

(16)

commit to user

3. Perampasan aset in rem harus tersedia bila tuntutan pidana tidak tersedia atau tidak berhasil (NCB asset forfeiture should be available when criminal prosecution is unavailable or unsuccessful);

4. Peraturan atas bukti dan prosedur yang berlaku harus diberikan secara jelas dan mendetail mungkin (Applicable evidentiary and procedural rules should be as specific as possible);

5. Aset yang berasal dari pelanggaran kriminal dalam lingkup yang luas harus tunduk pada perampasan aset (In rem Assets derived from the widest range of criminal offenses should be subject to NCB asset forfeiture);

6. Kategori aset harus bersifat luas dan tunduk kepada hal perampasan (The broadest categories of assets should be subject to forfeiture);

7. Definisi aset dalam lingkup perampasan harus diartikan luas untuk mencakup bentuk-bentuk, nilai-nilai yang baru atau yang akan datang (The definition of assets subject to forfeiture should be broad enough to encompass new forms of value);

8. Aset yang tercemar yang diperoleh sebelum berlakunya Undang-undang perampasan aset in remdapat dilakukan perampasan terhadapnya (Tainted assets acquired prior to the enactment of an NCB asset forfeiture law should be subject to forfeiture);

9. Pemerintah harus memiliki kewenangan untuk menetapkan batas-batas dalam menentukan kebijakan sesuai dengan pedoman dalam tindakan perampasan (The government should have discretion to set appropriate thresholds and policy guidelines for forfeiture);

10. Langkah-langkah pemerintah harus spesifik dalam tindakannya untuk melakukan penundaan penyelidikan dan pengelolaan aset yang harus ditentukan sebelumnya untuk dirampas (The specific measures the government may employ to investigate and preserve assets pending forfeiture should be designated);

11. Langkah yang diambil dalam penanggulangan dan investigasi dapat dilakukan tanpa harus melakukan pemberitahuan kepada pemegang aset

(17)

commit to user

dan selama proses prajudikasi berjalan untuk mengadili kasus terkait tuntutan perampasan (Preservation and investigative measures taken without notice to the asset holder should be authorized when notice could prejudice the ability of the jurisdiction to prosecute the forfeiture case);

12. Harus adanya suatu mekanisme untuk mengubah perintah untuk pengawasan, pemantauan, dan pencarian bukti dan untuk mendapatkan apa pun yang berkuasa tetap buruk kepada pemerintah atau permohonan peninjauan kembali tertunda dari urutan apapun yang dapat menempatkan tindakan merampas properti diluar jangkauan pengadilan (There should be a mechanism to modify orders for preservation, monitoring, and production of evidence and to obtain a stay of any ruling adverse to the government pending reconsideration or appeal of any order that could place forfeitable property beyond the reach of the court);

13. Prosedural dan unsur persyaratan pemerintah baik aplikasi dan tanggapan penuntut harus diperjelaskan secara detail (The procedural and content requirements for both the government’s application and the claimant’s response should be specified);

14. Konsep dasar seperti standar (beban) dari penggunaan bukti dan pembuktian terbalik harus dijabarkan dengan undang-undang (Fundamental concepts such as the standard (burden) of proof and use of rebuttable presumptions should be delineated by statute);

15. Apabila pembelaan secara afirmatif digunakan, pembelaan untuk perampasan harus dijelaskan, demikian juga dengan elemen-elemen dari pembelaan tersebut dan beban bukti (Where affirmative defenses are used, defenses to forfeiture should be specified, along with the elements of those defenses and the burden of proof);

16. Pemerintah harus memberi kewenangan dalam hal pembuktian dengan berdasarkan atas dugaan dan laporan/aduan (The government should be authorized to offer proof by circumstantial evidence and hear say);

(18)

commit to user

17. Memberlakukan Undang-undang tentang pembatasan (rekomendasi) yang harus dirancang untuk memungkinkan terlaksananya perampasan aset NCB secara maksimal. (Applicable statutes of limitations (prescription) should be drafted to permit maximum enforceability of NCB asset forfeiture);

18. Mereka yang dengan memiliki kepentingan hukum sebagai subyeknya adalah properti untuk dirampas berhak untuk mendapat pemberitahuan tentang proses pelaksanaannya (Those with a potential legal interest in the property subject to forfeiture are entitled to notice of the proceedings);

19. Seorang jaksa atau lembaga pemerintah harus diberi wewenang untuk mengenali kreditur dijamin tanpa meminta mereka untuk mengajukan klaim formal (A prosecutor or government agency should be authorized to recognize secured creditors without requiring them to file a formal claim);

20. Seorang buronan yang menolak untuk kembali ke yurisdiksi untuk menghadapi tuntutan pidana yang telah ditetapkan seharusnya tidak diijinkan untuk menggunakan proses secara perampasan aset in rem(A fugitive who refuses to return to the jurisdiction to face outstanding criminal charges should not be permitted to contest NCB asset forfeiture proceedings);

21. Pemerintah harus diberi wewenang untuk membatalkan transfer jika properti telah ditransfer kepada orang dalam atau kepada siapa pun dengan pengetahuan yang mendasari tindakan ilegal (The government should be authorized to void transfers if property has been transferred to insiders or to anyone with knowledge of the underlying illegal conduct);

22. Sejauh mana penuntut untuk melakukan klaim aset yang akan dirampas agar dapat aset tersebut digunakan untuk tujuan tersangka menerima tindakan perampasan atau untuk biaya hidup harus ditetapkan. (The extent to which a claimant to forfeitable assets may use those assets for purposes

(19)

commit to user

of contesting the forfeiture action or for living expenses should be specified);

23. Perhatikan pada otorisasi pemberian penilaian yang keliru ketika pernyataan yang benar telah diberikan dan aset tetap tidak dapat diklaim.

(Consider authorizing default judgment proceedings when proper notice has been given and the assets remain unclaimed);

24. Pertimbangkan tentang kemungkinan para pihak untuk menyetujui tindakan perampasan tanpa pengadilan dan kewenangan pengadilan untuk memasukkan perampasan ditetapkan dari putusan ketika para pihak setuju untuk menjalani prosedur tersebut. (Consider permitting the parties to consent to forfeiture without a trial and authorizing the court to enter a stipulated judgment of forfeiture when the parties agree to such procedure);

25. Tentukan semua solusi yang tersedia bagi penuntutan apabila pemerintah gagal melakukan dalam menerapkan putusan perampasan. (Specify any remedies that are available to the claimant in the event the government fails to secure a judgment of forfeiture);

26. Putusan akhir dari perampasan aset In rem harus dinyatakan secara tertulis. (The final judgment of NCB asset forfeiture should be in writing);

27. Menetapkan lembaga yang memiliki yurisdiksi untuk menyelidiki dan menuntut hal perampasan. (Specify which agencies have jurisdiction to investigate and prosecute forfeiture matters);

28. Pertimbangkan tugas hakim dan jaksa dengan keahlian khusus atau pelatihan dalam perampasan untuk menangani kegagalan perampasan aset in rem. (Consider the assignment of judges and prosecutors with special expertise or training in forfeiture to handle NCB asset forfeitures);

29. Harus ada sistem untuk perencanaan pra-penyitaan, pengelolaan, dan mengakuisi aset secara cepat dan efisien. (There should be a system for preseizure planning, maintaining, and disposing of assets in a prompt and efficient manner);

(20)

commit to user

30. Menetapkan mekanisme untuk menjamin perkiraan, melanjutkan, dan pendanaan yang memadai untuk pengoperasian program perampasan agar efektif dan adanya batas campur tangan politik dalam kegiatan perampasan aset. (Establish mechanisms to ensure predictable, continued, and adequatefinancing for the operation of an effective forfeiture program and limit political interference in asset forfeiture activities);

31. Terminologi yang benar harus digunakan, terutama jika kerjasama internasional terlibat. (Correct terminology should be used, particularly when international cooperation is involved);

32. Ekstrateritorial yurisdiksi harus diberikan ke pengadilan. (Extraterritorial jurisdiction should be granted to the courts);

33. Negara-negara harus memiliki kewenangan untuk menegakkan permohonan pihak luar. (Countries should have the authority to enforce foreign provisional orders);

34. Negara-negara harus memiliki kewenangan untuk menegakkan permintaan perampasan dari pihak luar negeri dan harus membuat undang-undang yang memaksimalkan terlaksananya putusan mereka di luar negeri. (Countries should have the authority to enforce foreign forfeiture orders and should enact legislation that maximizes the enforceability of their judgments in foreign jurisdictions);

35. Perampasan aset in remharus digunakan untuk mengembalikan harta kepada korban. (NCB asset forfeiture should be used to restore property to victims).

36. Pemerintah harus diberi wewenang untuk berbagi aset atau dengan mengembalikan aset untuk bekerja sama dalam yurisdiksi. (The government should be authorized to share assets with or return assets to cooperating jurisdictions).

Dari beberapa konsep di atas merupakan kunci acuan dalam tindakan perampasan aset, dikatakan bahwa dilakukannya tuntutan pidana yang mendukung perampasan aset in rem akan menjadikan hukum pidana efektif

(21)

commit to user

dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukumnya.

NCB dapat menjadi alat yang sangat berguna untuk menyita dan mengambilalih aset dari para koruptor di Indonesia. Setidak-tidaknya ada beberapa kegunaan NCB untuk membantu para aparat hukum dalam proses pengembalian aset para koruptor.31

Pertama, NCB tidak berhubungan dengan sebuah tindak pidana sehingga penyitaan dapat lebih cepat diminta kepada pengadilan daripada Criminal Forfeiture.NCB dapat dilakukan dengan secepat mungkin begitu pemerintah menduga adanya hubungan antara sebuah aset dengan tindak pidana. Dalam konteks Indonesia, kecepatan melakukan penyitaan adalah suatu hal yang essensial dalam proses stolen asset recovery. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa seringkali para koruptor memindahkan asetnya ke luar negeri untuk mempersulit aparat hukum Indonesia dalam menyita dan mengambailnya begitu ada indikasi bahwa dirinya akan diperiksa dalam keterlibatan sebuah tindak pidana.

Kedua, NCB menggunakan standar pembuktian perdata. Hal ini dapat mempemudah upaya stolen asset recovery di Indonesia karena standar pembuktian perdata relatif lebih ringan untuk dipenuhi daripada standar pembuktian pidana. Selain itu NCB juga mengadopsi sistem pembuktian terbalik sehingga memringankan beban pemerintah untuk melakukan pembuktian terhadap gugatan yang diajukan.

Ketiga, NCB merupakan proses gugatan terhadap aset (in rem). Hal ini berarti NCB hanya berurusan dengan aset yang diduga berasal, dipakai atau mempunyai hubungan dengan sebuah tindak pidana. Pelaku tindak pidana itu sendiri tidaklah relevan di sini sehingga kaburnya, hilangnya, meninggalnya seorang koruptor atau bahkan adanya putusan bebas untuk koruptor tersebut tidaklah menjadi permasalahan dalam NCB.

31 Bismar Nasution,Anti Pencucian Uang: Teori dan Praktek, Books Terrace & Library, Bandung, 2009, hlm. 149-150.

(22)

commit to user

Keempat, NCB sangat berguna bagi kasus-kasus di mana penuntutan secara pidana mendapat halangan atau tidak memungkinkan untuk dilakukan.

Perlu disadari bahwa penerapan NCB dalam perampasan aset hasil tindak pidana merupakan jalan keluar untuk mengatasi stagnasi perampasan aset hasil tindak pidana mengingat ketentuan yang berlaku dalam KUHAP suatu aset hanya dapat dirampas jika penuntut umum dapat membuktikan kesalahan terdakwa dan aset dimaksud merupakan hasil atau sarana kejahatan (perampasan sangat tergantung kepada terbukti atau tidaknya seorang terdakwa).

Doktrin hukum pidana dan konvensi internasional mengenai perlindungan hak asasi manusia tidak mengakui pembuktian terbalik untuk menentukan kesalahan tersangka. Namun, pembuktian terbalik untuk menetapkan perampasan aset tindak pidana, sejak tahun 2000, telah dipraktikkan dalam sistem hukum perampasan aset tindak pidana di Amerika Serikat melalui sarana hukum keperdataan (civil based forfeiture atau non-conviction based forfeiture/ NCB). Lazimnya, sejak lama diakui sistem hukum perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum pidana (criminal based forfeiture/CB) yang dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.Di dalam sistem hukum acara pidana Indonesia digunakan cara CB, dan perlu menunggu waktu 400 hari untuk sampai pada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Adapun perampasan aset tindak pidana melalui NCB tidak perlu menunggu waktu selama itu karena penuntut umum dapat segera membawa terdakwa ke pengadilan dengan cara pembuktian terbalik atas aset terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana.32

Praktik NCB di Amerika Serikat dan Inggris, juga di beberapa negara Uni Eropa, berhasil mengembalikan keuangan secara signifikan dari organisasi kejahatan, terutama yang berasal dari kejahatan narkotik dan pencucian uang.

32 Romli Atmasasmita, http://www.antikorupsi.org/id/content/dilema-pembuktian-terbalik

(23)

commit to user

Model perampasan aset NCB dengan pembuktian terbalik tidak melanggar HAM karena didasarkan pada teori balanced probability principle, yang memisahkan antara aset tindak pidana dan pemiliknya. Hal itu didasarkan premis bahwa perlindungan hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah (praduga tak bersalah) dan prinsip non-self incrimination harus diimbangi kewajiban terdakwa membuktikan asal-usul aset yang dimilikinya. Teori ini masih memberikan jaminan perlindungan hak asasi tersangka untuk dianggap tidak bersalah, sebaliknya tidak memberikan jaminan perlindungan hak kepemilikan terdakwa atas aset yang diduga berasal dari tindak pidana, kecuali yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya.33

2. Perbandingan Beberapa Negara Asing Tentang Perampasan / Penyitaan Aset

a. Amerika Serikat

Amerika Serikat mengenal dan menerapkan perampasan aset tanpa tuntutan pidana (Non Conviction Based asset forfeiture / NCB).34NCB Asset forfeiture digunakan untuk mengembalikan aset hasil tindak pidana. Pada awalnya di Amerika NCB asset forfeiture diterapkan dalam skala domestik yaitu dengan mengajukan gugatan perdata untuk menyita atau mengambil alih aset–aset hasil kejahatan yang berada dalam negeri. Apabila aset–aset hasil kejahatannya berada di luar negeri maka digunakan pula cara dan mekanisme NCB asset foreuture lintasteritorialitas. Dalam prakteknya diterapkan pada hukum perkapalan, pengadilan maritim lebih memilih cara dengan melakukan gugatan terhadap aset barang (in rem) atas kapal dibandingkan memilih cara menggugatorangnya (in personan) atas pemilik kapal, kapal yang tidak bersalah bisa ditahan dan diambil atas nama pemerintah, dan hukum memberlakukan kapal seolah–olah orang yang bersalah. Karena meningkatnya organized crime ditahun 1970-an di Amerika Serikat, hal ini sebagai salah satu faktor

33Ibid.

34 Muhammad Yusuf. Merampas Aset Koruptor, Buku Kompas, Jakarta, 2013, hlm : 126

(24)

commit to user

menyebabkan berkembangnya cara NCB asset forutire sering digunakan oleh pemerintah Federral Amerika Serikat untuk menyita aset–aset yang berhubungan denganorganized crime untuk memutus jalur uang dan finansial support dari setiap bentuk kejahatan terorganisir tersebut seperti obat– obatan terlarang dan korupsi.

Berdasarkan Undang-Undang Asset Forfeiture di Amerika Serikat, dikenal ada 3 jenis prosedur Asset Forfeiture, yaitu:35

1) Perampasan harta kekayaan secara administratif (administrative forfeiture).Perampasan harta kekayaan secara administratif dapat dilakukan jika pemerintah menemukan dan menyita harta kekayaan di tempat kejadian perkara. Penyitaan dilakukan dengan dasar pertimbangan bahwa harta kekayaan tersebut berdasarkan undang-undang dapat dirampas dengan diterbitkannya izin/persetujuan penyitaan oleh pengadilan. Pejabat pemerintah yang melakukan penyitaan harta kekayaan harus menyerahkan surat pemberitahuan kepada orang yang menguasai harta kekayaan dan orang-orang yang memiliki kepentingan atau terkait dengan harta kekayaan serta memberitahukan kepada masyarakat melalui surat kabar dan papan pengumuman pengadilan bahwa penyidik telah menyita harta kekayaan ini dan akan merampasnya untuk Negara.

2) Perampasan harta kekayaan secara pidana (criminal forfeiture).

Perampasan harta kekayaan secara pidana merupakan bagian dari pelaksanaan putusan hakim pidana dalam suatu perkara pidana. Oleh karena itu, jenis perampasan harta kekayaan ini disebut juga sebagai tindakan in personam terhadap terpidana, bukan tindakan in rem Hakim dalam hal ini dapat menjatuhkan putusan kepada terpidana untuk membayar biaya perkara, dan/atau membayar denda, dan/atau membayar ganti rugi, dan/atau membayar uang pengganti, dan/atau menyita harta kekayaan lain milik terpidana untuk membayar uang pengganti jika harta

35 Azamul F. Noor dan Yed Imran, loc.cit.

(25)

commit to user

kekayaan yang terkait langsung dengan tindak pidana telah dialihkan atau tidak ditemukan terhadap harta kekayaan yang terkait dengan tidak pidana. Sekalipun secara in personam sebenarnya harta kekayaan yang dapat dirampas hanyalah harta kekayaan milik terpidana, ternyata hal tersebut tidak sepenuhnya benar, sebab harta kekayaan hasil tindak pidana atau harta kekayaan yang digunakan untuk membiayai, menjadi alat, sarana, atau prasarana melakukan kejahatan, dapat juga dinyatakan dirampas jika penuntut umum dapat membuktikan bahwa terdapat kaitan yang erat antara harta kekayaan tersebut dengan tindak pidana yang didakwakan. Untuk melindungi hak-hak masyarakat, maka harus ada suatu prosedur yang menjamin agar perampasan harta kekayaan tersebut tidak sampai merenggut hak-hak dari pihak ketiga yang beritikad baik atau jujur. Prosedur ini di Amerika Serikat disebut dengan "ancillary proceeding" dan dilaksanakan oleh pengadilan setelah pokok perkara pidana telah diputus.

3) Perampasan harta kekayaan secara perdata (civil forfeiture). Perampasan harta kekayaan secara perdata bukan merupakan bagian dari proses penanganan perkara pidana. Penggunaan civil forfeiture sebagai instrumen untuk menyita dan mengambil asset yang berasal, berkaitan atau merupakan hasil dari kejahatan sudah lazim ditemui di negara-negara common law. Akar dari prinsip civil forfeiture pertama kali ditemukan pada abad pertengahan di Inggris ketika kerajaan Inggris menyita barang- barang yang dianggap sebagai instrument of a death atau yang sering disebut sebagai Deodand.36 Munculnya era industrialisasi di Inggris kemudian memaksa parlemen untuk menghapuskan deodand setelah meningkatnya kecelakaan yang terjadi sehingga menyebabkan banyaknya aset yang disita.37

36 Todd Barnet, “Legal Fiction and Forfeiture: A Historical Analysis of the Civil Asset Forfeiture Reform Act”, 40 Duquesne Law Review Fall, 2001, hlm.89.

37 Ibid, hlm. 90.

(26)

commit to user

Manajemen terhadap pelaksanaan gugatan yang bersifat in rem di Amerika, ada dua badan manajemen yang mengelola keuangan dari asset recoveryyaitu Asset Management Fund dibawah Department of Justice dan Asset Forfeiture Unit dibawah Department of Treasury, dimana masing-masing menggunakan perusahaan swasta dalam mengelola sebagian aset-aset hasil rampasan. Misalnya, Kantor Pajak Amerika (Internal Revenue Service) IRS dibawah Department of Treasury terbiasa menggunakan perusahaan swasta dalam mengelola aset-aset hasil rampasannya. Penggunaan perusahaan swasta untuk mengelola aset, harus mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan untuk perusahaan swasta. Salah satu masalah adalah banyaknya uang yang akhirnya digunakan untuk membayar perusahaan swasta, meskipun secara umum perusahaan swasta memiliki sumber daya manusia yang berkualifikasi dalam mengelola aset secara profesional daripada lembaga pemerintah.38

b. Swiss

Dalam hukum Swiss mengenal sistem perampasan aset tanpa tuntutan pidana (NCB) maupun perampasan aset dengan pemidanaan. Ketentutannya diatur dalam Pasal 70 – 72 The Criminal Code ofSwitzerland.39Prosedur hukum yang digunakannya sama dalam perampasan aset baik secara pidana maupun perdata. Dalam Pasal 70 ayat (1) The Criminal Code of Switzerland tersebut mengatur bahwa hakim akan memerintahkan perampasan aset yang dihasilkan dari tindak pidana dengan ketentuan hukum bahwa harta yang dirampas tersebut tidak harus dikembalikan kepada pihak yang dirugikan dalam rangka memulihkanhak-haknya. Dengan demikian perampasan terjadi tanpa adanya pemidanaan, atau melalui perampasan secara perdata. Sebelum dilakukan perampasan aset, proses penuntutan harus dilakukan terlebih dahulu bahwa hasilnya menunjukkan telah terjadi tindak pidana dan aset–aset tersebut merupakan hasil tindak pidana. Dalam hal ini aset diartikan secara luas, dapat

38 http://www.bappenas.go.id, diakses tanggal 17 Oktober 2015, Jam: 09.00 WIB.

39 Ibid, hlm.139.

(27)

commit to user

berupa kenaikan aset ataupun penurunan hutang. Seluruh aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana asalkan diatur dalam The Criminal Code of Switzerland dan perundang-undangan lainnya dapat dirampas. Aset tersebut harus merupakan hasil langsung dari tindak pidana atau aset yang telah dibeli dari hasil tidak pidana. Untuk dapat dilakukannya tindakan perampasan (baca:

penyitaan) maka harus memiliki kewenangan atas yuridiksi dalam menuntut suatu tindak pidana yang terkait dengan tindakan perampasan (penyitaan) aset tersebut.

c. Filipina

Bagi negara Filipina dalam memburu dan merampas aset hasil kejahatan dengan metode NCB Asset Forfeiture merupakan cara baru baginya.

Walaupun metode ini tergolong baru, namun dalam penerapan prakteknya diterima baik dan dipandangnya sebagai salah satu instrumen hukum yang penting dan bermanfaat dalam memerangi korupsi dan pencucian uang.40Dalam prakteknya bahwa secara umum pengadilan dapat diminta melalui prosedur perdata in rem (tuntutan aset barang) untuk menentukan asal–usul dari suatu kepemilikan atas aset. Apabila atas dasar kaidah perdata ditentukan dan dinyatakan bahwa aset tersebut diperoleh dari hasil kejahatan, maka pengadilan bisa menjatuhkan perintah forfeiture. Dijamin pula bahwa bagi pihak ketiga yang merasa punya kepentingan kepemilikan secara legal atas aset dimaksud akan dilindungi haknya oleh undang–undang.

Dikenal adanya tiga syarat yang harus terpenuhi dalam mengajukan NCB Asset Forfeiture.Pertama, uang atau dana harus dibekukan oleh pengadilan banding (court of appeals). Kedua, harus disampaikan laporanconvered transaction sebesar minimal 9,200 dollar AS. Konsekuensinya apabila institusi keuangan (kalau di Indonesia sejenis BPK dan PPATK), gagal dalam menyampaikan / membuktikan analis keuangannya atau laporan keuangannya, bahkan dalam kasus pencucian uang ternyata jelas dan pasti, maka persyaratan

40 Ibid, hlm.150-165.

(28)

commit to user

untuk mengajukan civil forfeiture tidak dapat dipenuhi. Ketiga, NCB Asset Forfeiture hanya bisa dilakukan dalam kasus pencucian uang dengan institusi keuangan intermediaery. Apabila AntiMoney Laundering Commision (AMLC) Filipina berhasil dalam perjuangan kasus–kasus NCB Asset Forfeiture, maka mereka akan memotivasi para pencuci uang untuk memiliki aset–aset bentuk lain (selain uang), seperti emas batangan, perhiasan dan yang lain yang tidak memerlukan financial intermediary. Karena di Filipina hanya alat bentuk uang (money financial) yang bisa menjadi NCB Asset Forteiture hanya aset dalam bentuk uang yang dapat dilakukan tindakan perampasan / penyitaan milik atau atas penguasaan dari penguasaan aset.

d. Australia

Menurut sistem hukum Australia, dikenal penerapan unexplained wealth.41Dalam hal seseorang memiliki unexplained wealth, maka jumlah harta yang tidak dapat dibuktikan telah diperoleh secara sah tersebut dapat dirampas oleh Negara melalui suatu prosedur hukum tertentu. Sedangkan sisa harta yang dapat dibuktikan diperoleh secara sah dapat dikuasai dan dinikmati kembali oleh pemilikinya.42Pengaturan unexplained wealth di Australia awalnya dilandasi pada kondisi dugaan banyaknya tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Geng Motor serta pihak-pihak lain yang diduga kuat melakukan praktek penjualan narkotika namun sulit bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan tindak pidana tersebut. “Bukti” yang paling mencolok hanyalah anggota kelompok tersebut memiliki kekayaan yang besar mesti tidak jelas sumber pemasukannya. Penerapan perampasan aset bagi mereka yang memiliki unexplained wealth dinilai salah satu cara yang paling mungkin ditempuh untuk

41 Secara umum unexplained wealth adalah instrumen hukum yang memungkinkan perampasan aset/harta seseorang yang jumlahnya sangat besar tetapi dipandang tidak wajar karena tidak sesuai dengan sumber pemasukannya, dan yang bersangkutan tidak mampu membuktikan (melalui metode pembuktikan terbalik) bahwa hartanya tersebut diperoleh secara sah atau bukan berasal dari tindak pidana.

42 www.antikorupsi.info. Diakses tanggal 28 Agustus 2015, Jam: 22.20 WIB.

(29)

commit to user

men-discourage praktek-praktek tersebut. Proses pembuktian unexplained wealth lebih mudah karena:

1) menggunakan prosedur pembuktian terbalik (meski Jaksa Penuntut Umum tetap harus membuktikan adanya jumlah kekayaan yang dianggap tidak wajar; dan

2) menggunakan standar pembuktian perdata yakni balance of probability, yang ringan/rendah dibanding standar pembuktian pidana (beyond reasonable doubt).

Penggunaan standar pembuktian perdata ini disebabkan karena proses perampasan aset unexplained wealth, seperti halnya proses perampasan non pemidanaan lainnya (NCB asset forfeiture) dilakukan melalui proses perdata, bukan pidana karena yang menjadi obyek adalah barang (in rem) yang ingin dirampas, bukan pemidanaan terhadap orangnya (in personam). Konsekwensi hukum bagi orang yang diduga memiliki unexplained wealth di Australia dan tidak dapat membuktikan bahwa aset/kekayaannya diperoleh secara sah adalah perampasan atas aset yang tidak dapat dibuktikan perolehannya tersebut. Hal ini tidak sepenuhnya sama dengan konsep illicit enrichment dimana Negara mengenal pula sanksi pidana penjara/kurangan bagi orang yang melakukan illicit enrichment selain sanksi berupa perampasan aset yang diduga tidak wajar tersebut.43

e. Malaysia

Malaysia memiliki Anti Corruption Act (ACA) Tahun 1997 yang lengkap dan terperinci.44 Malaysia menerapkan konsep illicit enrichment dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Pada Pasal 32 ayat (3) ACA (Anti Corruption Art) ditentukan, apabila penutut umum ada alasan untuk percaya

43 www.antikorupsi.info. Diakses tanggal 28 Agustus 2015, Jam: 22.20 WIB.

44 ACA (Anti Corruption Act)Tahun 1961 yang bernama Prevention of Corruption Act atau Akta Pencegahan Rasuah Nomor 57, 1997 merupakan penggabungan ketiga undang- undang dan ordonansi sebelumnya, yakni Undang-Undang Emergency Essential Powers Ordinance Nomor 22 Tahun 1970, dan Anti Corruption Agency Act Tahun 1982.

(30)

commit to user

bahwa sesorang pejabat atau badan publik telah diberikan nota yang dimaksud pada Pasal 32 ayat (1) ACA (Anti Corruption Act), memiliki, menguasai, mengontrol, atau memang kepentingan pada suatu harta, yang berlebihan dibandingkan dengan pendapatan sekarang dan dimasa lalu dan semua keadaan lain yang relevan, penuntut umum dapat dengan petunjuk tertulis mewajibkan tersangka untuk membuat pernyataan dibawah sumpah dan atau memang jumlah yang berlebihan itu, dan apabila tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan tentang jumlah harta yang berlebihan itu, dapat dinyatakan didakwa melakukan delik korupsi dan dapat diancam pidana. Kepada pihak yang diwajibkan harus menjelaskan semua harta bergerak atau tidak bergerak, di dalam atau diluar Malaysia, kepunyaan dia atau dikuasai, atau didalamnya dia mempunyai kepentingan, apakah legal atau patut dan menjelaskan kapan harta itu diperoleh dan bagaimana cara memperolehnya, apakah dengan jalan transaksi, warisan, ditemukan, pusaka, atau dengan cara yang lainnya.

Keterangan yang dimintakan juga menjelaskan tentang , apakah harta itu dipegang olehnya atau orang lain atas namanya apakah telah ditransfer, dijual, atau disimpan orang lain, apakah telah dikurangi nilainya sejak dikuasainya, dan apakah telah dicampur dengan harta lain yang tidak dapat dipisahkan atau dibagi tanpa kesulitan.

Selain kepada tersangka, kewajiban yang sama juga diberlakukan kepada keluarga atau teman orang yang dimaksud atau orang lain yang Penuntut Umum beralasan untuk percaya dapat membantu penyidikan, memberikan pernyataan tertulis di bawah sumpah atau penegasan yang sama seperti yang dimintakan kepada tersangka. Terdapat pula kewajiban bagi setiap pejabat bank atau lembaga keuangan atau setiap orang yang dengan cara atau yang bertanggung jawab untuk manajemen dan mengawasi hal-hal suatu bank atau suatu lembaga keuangan untuk menyerahkan salinan atau semua rekening, dokumen, atau rekaman (records) yang berkaitan.

Referensi

Dokumen terkait