• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landasan Teoretis Penerapan Sita Jaminan Dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi

D. Peranan Sita Jaminan Dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi

2. Landasan Teoretis Penerapan Sita Jaminan Dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi

a. Sita Jaminan dan Unsur Perbuatan Melawan Hukum Sebagai Dasar Penerapan Sita Jaminan

Aspek-aspek penyitaan dalam kaitan dengan proses pemeriksaan perkara yang melibatkan pengadilan dibedakan antara penyitaaan dalam perkara perdata dan penyitaan dalam hubungannya dengan tindak pidana. Pengertian penyitaan dalam hubungannya dengan perkara perdata adalah tindakan hukum pengadilan mendahului pokok perkara atau mendahului putusan. 122

Pengaturan mengenai penyitaaan ini dapat ditemukan dalam Pasal 227 jo Pasal 261 jo Pasal 206 RBg. Dari pengertian penyitaan tersebut di atas, dapatlah dimengerti bahwa tindakan penyitaaan merupakan tindakan hukum yang eksepsional, sehingga penerapannya harus dilakukan dengan segala pertimbangan dan kehati-hatian. Ia harus didukung dengan fakta-fakta dan bukti-bukti yang meyakinkan agar tindakan penyitaan itu tidak menimbulkan kerugian terhadap pihak yang terkena penyitaan.

Dalam hukum acara perdata secara umum dikenal istilah sita jaminan (conservatoir beslag) dan revindicatoir beslag serta sita eksekusi. Sita jaminan adalah penyitaaan terhadap barang tergugat atau barang yang disengketakan untuk dijadikan jaminan sementara proses pemeriksaan perkara sedang berlangsung. Revindicatoir beslag adalah penyitaan terhadap barang milik penggugat sendiri yang berada dalam kekuasaan tergugat.123

Rumusan penyitaan dalam perkara pidana, dapat dilihat dalam ketentuan pasal 1 butir 16 KUHAP yang memberikan definsi sebagai berikut:

“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyitaan untuk mengambil alih atau menyimpan dibawah pengawasannya benda bergerak atau tidak

122 Yahya Harahap. 1990. Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatori Beslag, Bandung. Pustaka, hlm. 5.

123 Mohammad Effendi,Implikasi Penyitaan Barang-barang Milik Negara dan Konsekuensi Hukumnya, Jurnal, UNISIA, Vol. XXX No. 66 Desember 2007. Banjarmasin, hlm.384.

commit to user

bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan”.

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tindakan penyitaan langsung berkaitan dengan hak asasi manusia yang pokok, yaitu merampas penguasaan atas milik orang lain. Dalam universal Declaration of Human Rights disebutkan pada pasal 17 ayat (10) Every one has the to own property aloe as well as in association with others (setiap orang berhak mempunyai milik baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain), dan dalam ayat (2)-nya disebutkan No one shall be arbitrarily deprived of his property (seseorang tidak boleh dirampas miliknya dengan semena-mena).124

Mengingat hal itulah maka penyitaan yang dilakukan guna kepentingan pemeriksaan pidana haruslah mengikuti tata cara dan prosedur yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Menurut ketentuan pasal 38 ayat (1) KUHAP, penyitaan bisa dilakukan dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.

Ketentuan ini mendapat pengecualian sebagaiman diatur dalam ayat (2); dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebh dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna mendapat persetujuannya.

Berdasarkan keterangan di atas terdapat adanya sedikit perbedaan antara penyitaan dalam perkara perdata dengan penyitaan dalam perkara pidana.

Dalam perkara perdata, penyitaan dilakukan atas perintah Ketua Majelis Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan. Dalam hal sita eksekusi perintah

124 Universal Declaration of Human Rights: 1. Hak kemerdekaan seseorang. Hak ini menjamin setiap manusia tidak akan mendapat perlakuan yang sewenang-wenang dari pemerintah maupun dari orang lain. Perlakuan terhadap kekuasaan pemerintah ini berwujud : hanya atas dasar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang orang dapat ditahan, dituntut dan dipidana. orang yang melanggar kemerdekaan seseorang diancam dengan pidana.2. Hak-hak perlindungan hak milik Hanya untuk kepentingan umum pemerintah dapat mengambil barang-barang milik seseorang disertai pembayaran ganti kerugian diatur dengan undang-undang. Penyerobot, pencuri atau pengrusak diancam dengan pidana.

commit to user

penyitaan dibuat oleh Ketua Pengadilan. Sebaliknya dalam perkara pidana, penyitaan dilakukan oleh petugas penyidik, Ketua Pengadilan Negeri setempat berwenang mengeluarkan izin penyitaannya.

Penulis berkeyakinan bahwa prosedur dan tata cara penyitaan seperti yang diatur di dalam hukum perdata yaitu sita jaminan (conservatoir beslag) dapat diterapkan pada perkara tindak pidana korupsi guna mengembalikan hasil tindak pidana korupsi. Proses sita jaminan ini dapat dilakukan pada saat proses penyidikan, penuntutan sampai dengan putusan pengadilan. Tentunya kerugian negara sudah harus dihitung dan diaudit oleh lembaga yang memiliki kewenangan menghitung kerugian negara yang telah timbul akibat dari tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh tersangka tersebut.

Sita jaminan ini juga harus memperhatikan prinsip-prinsip bahwa hak atas benda sitaan tetap dimiliki oleh tergugat, penguasaan benda sitaan tetap dipegang oleh tergugat, semata-mata sebagai jaminan sampai dengan putusan pengadilan yang inkratch berapa besar terdakwa harus mengembalikan kerugian Negara yang timbul akibat tindak pidana korupsi yang dibuatnya.

Pengembalian tersebut dalam hukuman pokok berupa denda atau hukuman tambahan berupa uang pengganti yang wajib dibayarkan oleh terdakwa.

Merujuk pada kesepakatan para Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia125 beberapa waktu lalu, penerapan sita jaminan memang memungkinkan harta benda yang diperoleh secara sah pun dapat disita sejak tahap penyidikan. MA memasukkan konsep itu untuk mencegah pengalihan aset dan ‘memaksa’ terpidana korupsi membayar uang pengganti. Pasalnya, seringkali terpidana lebih memilih menjalani pidana subsidair ketimbang membayar uang pengganti dengan alasan tidak memiliki aset. Para hakim agung di kamar pidana MA sepakat untuk memasukkan konsep sita jaminan (conservatoir beslag) ke dalam sistem penanganan perkara korupsi. Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar mengakui bahwa konsep

125 http://www.hukumonline.com. Diakses tanggal 5 April 2015 jam 19.10.WIB.

commit to user

sita jaminan lebih dikenal dalam kasus perdata. Namun, untuk mencegah pengalihan aset dan ‘memaksa’ terpidana kasus korupsi untuk membayar uang pengganti, maka sita jaminan ini perlu dimasukkan ke dalam sistem penanganan perkara korupsi. Artidjo menjelaskan bila harta bendanya sudah disita dari awal, nanti setelah terdakwa divonis maka pembayaran uang pengganti berasal dari barang yang telah disita jaminan tersebut. “Tujuannya untuk mengejar aset,”.126

Akhmad Budi Cahyono berpendapat tidak masalah bila menggunakan konsep sita jaminan dalam perkara pidana. Karena pada prinsipnya, sita jaminan digunakan untuk menjamin pihak-pihak tertentu untuk melaksanakan prestasi. “Intinya kalau sita jaminan itu untuk menjamin pelaksanaan kewajiban. Jadi, secara umum bisa diterapkan dipidana juga untuk menjamin kewajiban-kewajiban. Kalau diperdata kan, kewajiban debitur untuk melaksanakan prestasi. Nah, kalau dipidana kan kaitannya dengan korupsi kewajiban terpidana untuk membayar uang pengganti,”.127

Selanjutnya, tabel 12 di bawah ini menjelaskan tentang konsep pentahapan sita jaminan yang dilakukan oleh Polri, Kejaksaan dan KPK. Polri dapat melakukan upaya sita jaminan aset para koruptor pada saat proses penyidikan berjalan dengan penetapan sita jaminan dari pengadilan negeri.

Proses sita jaminan dapat dilaksnakan setelah dietapkan tersangkanya dan adanya perhitungan kerugian keuangan negara yang timbul.

Kejaksaan dan KPK dapat melakukan upaya sita jaminan aset para koruptor pada saat proses penyidikan dan proses penuntutan berjalan dengan penetapan sita jaminan dari pengadilan negeri. Proses sita jaminan dapat dilaksnakan setelah dietapkan tersangkanya dan adanya perhitungan kerugian keuangan negara yang timbul.

126 http://www.hukumonline.com.Diakses tanggal 25 Maret 2015 jam 21.30.WIB.

127 Loc.cit. hlm 1.

commit to user

Tabel 12. Konsep Tahapan Sita Jaminan

KEPOLISIAN PENYIDIKAN SITA JAMINAN PENETAPAN PENGADILAN NEGERI

KEJAKSAAN PENYIDIKAN PENUNTUTAN

SITA JAMINAN PENETAPAN PENGADILAN NEGERI

DAN MAJELIS HAKIM

KPK PENYIDIKAN

PENUNTUTAN

SITA JAMINAN PENETAPAN PENGADILAN NEGERI

DAN MAJELIS HAKIM

(Sumber : diolah penulis)

Keberadaan instrumen hukum perdata dalam kaitannya dengan pengembalian kerugian keuangan negara yang didapat dari hasil tindak pidana korupsi merupakan suatu terobosan hukum dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi yang tidak mungkin dilakukan dengan cara-cara konvensional, sehingga dengan adanya pengaturan dalam Undang-undang Tipikor yang memperjelas keberadaan penggunaan kedua instrumen hukum baik pidana maupun perdata dalam kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan upaya pengembalian kerugian keuangan negara diharapkan akan dapat berdaya guna sebagaimana maksud dan tujuan diundangkannya Undang-undang Tipikor.

Dari adanya perbuatan melawan hukum ini, menimbulkan akibat hukum berupa tanggung jawab oleh orang yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut ke dalam 3 (tiga) model tanggung jawab, yakni sebagai berikut:128 a. Pasal 1365 KUHPerdata, yang menekankan tanggung jawab dengan unsur

kesalahan (kesengajaan dan kelalaian).

b. Pasal 1366 KUHPerdata, yang menekankan tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian.

c. Pasal 1367 KUHPerdata, yang menekankan tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas.

128 Ketiga model tanggung jawab inilah yang kemudian menjadi dasar hukum untuk mengajukan gugatan secara perdata. Lihat: Munir Fuady, op.cit, hlm. 3.

commit to user

Tindak pidana korupsi yang pada awalnya termasuk dalam kompetensi pengadilan pidana kemudian beralih ke arah pengadilan perdata menekankan pada adanya dua persyaratan yang berlaku umum dalam perspektif hukum perdata, yakni adanya perbuatan melawan hukum dan adanya kerugian yang ditimbulkan dan akibat timbulnya kerugian tersebut menimbulkan kewajiban kepada pelaku untuk membayar ganti kerugian. Walapun unsur perbuatan melawan hukum yang ditekankan dalam Pasal 2 jo Pasal 3 UU Tipikor tidak cukup bukti atau tidak terbukti di pengadilan, tidaklah menghilangkan unsur melawan hukum dalam perspektif hukum perdata sepanjang atas perbuatan melawan hukum tersebut telah nyata adanya kerugian negara. Jadi pergeseran perbuatan melawan hukum dari hukum pidana ke arah hukum perdata yang menjadi pokok persoalan adalah adanya kerugian negara secara nyata atau riil.

Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa pada dasarnya menyangkut dua segi hukum, perdata dan pidana yang keduanya saling bersinggungan, bisa dibedakan namun tidak dapat dipisahkan antara keduanya.Kerugian yang ditimbulkan dari adanya perbuatan tindak pidana korupsi menjadi suatu titik tolak dari perbuatan melawan hukum. Tanpa adanya kerugian yang diderita (keuangan negara) maka tidak akan pernah ada perbuatan melawan hukum.129

Dalam konteks perbuatan melawan hukum sebagai dasar pengajuan gugatan ke pengadilan sebagai upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat perbuatan korupsi, maka berlaku ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang mensyaratkan suatu perbuatan melawan hukum itu harus memenuhi atau mengandung unsur-unsur sebagai berikut:130

a. Adanya suatu perbuatan.

b. Perbuatan tersebut melawan hukum.

129 Arif Wahyudi Hertanto & Arief Nurul Wicaksono, Tindak Pidana Korupsi Antara Upaya Pemberantasan dan Penegakan Hukum, pemantauperadilan.com, 10 Februari 2004.

Diakses tanggal 23 Mei 2014, jam: 10.30 WIB.

130 Munir Fuady, op.cit, hlm.10.

commit to user c. Adanya kerugian bagi korban.

d. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.

Sedangkan unsur dari perbuatan melawan hukum-dalam arti luas- mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan sebagai berikut:131

a. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.

b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.

c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.

d. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik.

Berdasarkan penelitian literatur menunjukan bahwa ternyata perbuatan melawan hukum dalam arti luas (menurut versi perdata) dan perbuatan melawan hukum secara materiil (menurut versi pidana) mencakup pengertian yang sama, yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma kesopanan ataupun bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam masyarakat.Salah satu pendapat yang mendukung pernyataan di atas adalah pendapat yang diberikan oleh Indriyanto Seno Adji, sebagai berikut:132

“…..pengertian sifat melawan hukum secara materil dari suatu perbuatan atau “materiele wederrechtelijkheid” dalam hukum pidana merupakan pengertian yang sama dan terdapat serta berasal dari pengertian perbuatan melawan hukum dalam Cohen-Lindenbaum Arrest, yaitu perbuatan-perbuatan yang dipandang bertentangan dengan norma-norma kesopanan atau bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat, atau disimpulkan sebagai segala perbuatan yang dipandang tercela oleh masyarakat.”

Praktek yurisprudensi telah membuktikan bahwa sifat melawan hukum materiel dipergunakan dari segi positifnya untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat sebagai pengakuan yudikatif, sebaliknya banyaknya pandangan akademis yang menghendaki ajaran sifat melawan hukum materiel hanyalah digunakan dalam fungsi negatifnya dalam hal ini sebagai alasan untuk

131 Ibid., hlm.6.

132 Indriyanto Seno Adji, op.cit, hlm.73.

commit to user

menghapuskan suatu tindak pidana di luar undang-undang telah mengalami suatu pergeseran.Salah satu contoh adalah putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 275K/Pid/1983 Tanggal 29 Desember 1983 (Kasus Natalegawa), dimana Mahkamah Agung RI berpandangan bahwa perbuatan terdakwa dalam hal penyerahan akta cessie yang tidak sesuai junlahnya kepada Bank Pacific dikategorikan sebagai perbuatan yang “materiele wederrechtelijk”.

Berikut dikutip putusan Mahkamah Agung RI tersebut, sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa demikian pula pendapat majelis atas jaminan 21 sertifikat hak milik. Dengan terbuktinya adanya peralihan hak berdasarkan akta Notaris No.89 tanggal 27 April 1980 dari terdakwa II pada Hasannudin, hingga akhirnya hak ini beralih kepada Hafzan Taher, S.H., hemat majelis, hak yang dijaminkan oleh terdakwa II bersama terdakwa I dan III sudah mengandung cacat yuridis menjaminkan haknya dalam keadaan demikian sebagai tidak patut dan tercela.” (garis bawah dari penulis)

Jelas bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut merupakan arah penggunaan fungsi positif dari sifat melawan hukum materiel yang bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 mengikuti dua ajaran sifat melawan hukum secara alternatif, yaitu ajaran sifat melawan hukum formil atau ajaran sifat melawan hukum materiil. Hal ini tersebut dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:

“Bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.”

Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdata pada awalnya memang mengandung pengertian yang sempit sebagai pengaruh dari ajaran legisme.Pengertian yang dianut bahwa perbuat melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Dengan kata lain perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sama dengan perbuatan melawan undang-undang (onwetmatigedaad). Aliran ini ditandai dengan Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer

commit to user

Naaimachi.Namun pandangan legistis itu kemudian berubah pada tahun 1919 dengan putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 dalam perkara Cohen vs.

Lindenbaum yang dikenal sebagai Druklers Arrest. Dengan adanya Arrest ini maka pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas.

Perbuatan melawan hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar hak subyektif orang lain, tetapi juga perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis.Umpamanya, kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda warga masyarakat.

Penilaian mengenai apakah suatu perbuatan termasuk perbuatan melawan hakum, tidak cukup apabila hanya didasarkan pada pelanggaran terhadap kaidah hukum, tetapi perbuatan tersebut harus juga dinilai dari sudut pandang kepatutan.Fakta bahwa seseorang telahmelakukan pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum dapat menjadi faktor pertimbangan untuk menilai apakah perbuatan yang menimbulkan kerugian tadi sesuai atau tidak dengan kepatutan yang selarusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat.

b. Hubungan Kausalitas antara Perbuatan Melawan Hukum dengan Kerugian Keuangan Negara Sebagai Dasar Penerapan Sita Jaminan dalam Perkara Korupsi

Dalam perspektif hukum perdata antara perbuatan melawan hukum dengan adanya suatu kerugian merupakan hubungan sebab akibat (kausalitas), dimana hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi merupakan salah satu syarat dari adanya perbuatan melawan hukum.Artinya terdapat “sine qua non”.Perbuatan melawan hukum - yang semula berada dalam yuridiksi hukum pidana - secara faktual menimbulkan akibat berupa kerugian keuangan negara menjadi dasar untuk melakukan

commit to user

gugatan secara perdata.Dengan nyatanya telah terjadi kerugian keuangan negara jelas pasti terdapat suatu perbuatan yangsebelumnya mendahului.Munir Fuadi dalam bukunya “Perbuatan Melawan Hukum” menjelaskan:133

“Hubungan sebab akibat secara faktual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah “fakta” atau apa yang secara faktual telah terjadi.

Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya.”

Praktek hukum penggunaan perbuatan melawan hukum ini menggunakan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, tidaklah memberikan perumusan melainkan hanya mengatur bilakah seseorang yang mengalami kerugian karena perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya, akan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian pada Pengadilan Negeri.134

Berdasarkan pengertian tentang hubungan kausalitas dalam perbuatan melawan hukum ini, penulis berpendapat bahwa kontruksi hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdata menekankan kepada norma perlindungan, dimana aspek terpenting adalah menyangkut tentang perlindungan terhadap kepentingan korban yang dilanggar. Dalam kasus upaya pengembalian kerugian negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi melalui instrumen hukum perdata, tentu pengertian korban adalah negara, karena negara yang dirugikan dengan adanya perbuatan melawan hukum dimaksud.135Selanjutnya, dalam penerapan instrumen perdata dalam rangka gugatan pengembalian kerugian keuangan negara, maka Jaksa Pengacara Negara (JPN) atau instansi yang dirugikan

133 Munir Fuadi, op.cit., hlm.14.

134 M.A. Moegini Djojodirdjo dalam Bambang Sutiyoso. Metode Penemuan Hukum (Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan,Cet. VII UII Press, Yogyakarta, 2007, hlm.155.

135 Kemudian dalam kaitannya dengan penggunaan instrumen perdata dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara, maka sebelumnya telah ada perbuatan melawan hukum (wederrechtelikheid) dari suatu perbuatan pidana korupsi dan karena sesuatu hal sebagaimana tersebut dalam Pasal 32, 33, 34 dan Pasal 38 huruf c, maka selanjutnya digunakan instrumen perdata dalam bentuk gugatan ganti kerugian terhadap perbuatan melawan hukum dalam ruang lingkup tindak pidana korupsi dan kemudian bergeser ke arah perbuatan melawan hukum dalam ruang lingkup hukum perdata (onrechtmatigdaad)sebagaiman dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

commit to user

dibebani beban pembuktian, sehingga JPN atau instansi yang dirugikan sebagai penggugat berkewajiban untuk membuktikan antara lain:

1. Harus ada secara nyata kerugian keuangan negara;

2. Kerugian negara merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum tersangka/terdakwa/terpidana;

3. Adanya harta benda milik tersangka/terdakwa/terpidana yang dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara.

Roscoe Pound dalam bukunya yang terkenal “An Introduction to the Philosophy of Law” menyatakan bahwa hukum merupakan alat pembaharuan dalam masyarakat atau yang lebih dikenal dengan konsepsi “Law as a tool of social engineering.”Hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat dan mencerminkan nilai-nilai yang tumbuh danberkembang di masyarakat. Jika hukum tidak mencerminkan nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat akan sulit dan banyak tantangan yang dihadapi dalam menegakkan hukum di masyarakat.136

Pengembalian kerugian keuangan negara ini merupakan bagian dari tugas dan tanggung jawab negara untuk mewujudkan keadilan sosial, dipandang dari sudut teori keadilan sosial, memberikan justifikasi moral bagi negara untuk melakukan upaya-upaya pengembalian tersebut. Hasil penelitian disertasi Purwaning M. Yanuar telah memberikan suatu teori tentang pengembalian kerugian keuangan negara yang dihubungkan dengan teori keadilan sosial, yakni teori pengembalian aset.Teori pengembalian aset adalah teori hukum yang menjelaskan sistem hukum pengembalian aset berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial yang memberikan kemampuan, tugas dan tanggung jawab kepada institusi negara dan institusi hukum untuk memberikan perlindungan dan peluang kepada individu-individu dalam masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Teori ini dilandaskan pada prinsip dasar: berikan kepada negara

136 Muchsin. Ikhtisar Materi Filsafat Hukum,STIH IBLAM, Depok, 2004, hlm.61.

commit to user

apa yang menjadi hak negara. Di dalam hak negara terkandung kewajiban negara yang merupakan hak individu masyarakat, sehingga prinsip tersebut setara dan sebangun dengan prinsip berikan kepada rakyat apa yang menjadi hak rakyat.137Oleh karena tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas dan endemik, merusak sendi-sendi ekonomi nasional, maka berdasarkan teori pengembalian aset memberikan kewenangan kepada institusi negara dan institusi hukum untuk melakukan tindakan Sita Jaminan atas dasar adanya kerugian negara akibat perbuatan korupsi.

Sedangkan tugas dan tanggung jawab kepada institusi negara dan institusi hukum untuk memberikan perlindungan sebagaimana disebut di atas tentu mengacu kepada kepentingan korban yang dirugikan, dalam hal ini negara yang mewakili kepentingan hak sosial dan ekonomi masyarakat untuk memberikan peluang kepada individu-individu dalam masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Dalam aspek perlindungan ini, teori Schutznorm138 atau disebut juga dengan ajaran “realitivitas”, mengajarkan bahwa agar seseorang dapat dimintakan tanggung jawabnya karena telah melakukan perbuatan melawan hukum vide Pasal 1365 KUHPerdata, maka tidak cukup hanya menunjukkan adanya hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul. Akan tetapi, perlu juga ditunjukkan bahwa norma atau peraturan yang dilanggar tersebut dibuat memang untuk melindungi (schutz) terhadap

Sedangkan tugas dan tanggung jawab kepada institusi negara dan institusi hukum untuk memberikan perlindungan sebagaimana disebut di atas tentu mengacu kepada kepentingan korban yang dirugikan, dalam hal ini negara yang mewakili kepentingan hak sosial dan ekonomi masyarakat untuk memberikan peluang kepada individu-individu dalam masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Dalam aspek perlindungan ini, teori Schutznorm138 atau disebut juga dengan ajaran “realitivitas”, mengajarkan bahwa agar seseorang dapat dimintakan tanggung jawabnya karena telah melakukan perbuatan melawan hukum vide Pasal 1365 KUHPerdata, maka tidak cukup hanya menunjukkan adanya hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul. Akan tetapi, perlu juga ditunjukkan bahwa norma atau peraturan yang dilanggar tersebut dibuat memang untuk melindungi (schutz) terhadap