• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Hukum Nasional Pengembalian Aset Perolehan Hasil Tindak Pidana Korupsi

a. Pengembalian Aset Korupsi Berdasarkan Ratifikasi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption tahun 2003

Asas atau prinsip “asset recovery” ini diatur secara eksplisit dalam Konvensi Anti Korupsi. Prinsip ini dapat diketahui dari Chapter V (Bab V) mengenai “Asset Recovery” (Pengembalian Aset), khususnya Article 51UNCAC/ Pasal 51 Konvensi Anti Korupsi.

Article 51 :

The return of assets pursuant to this chapter is a fundamental principle of this Convention, and State Parties shall afford one another the widest measure of cooperation and assistance in this regard. (Pengembalian aset-aset menurut bab ini merupakan suatu prinsip yang mendasar dari Konvensi ini, dan Negara-negara Peserta wajib saling memberi kerja sama dan bantuan yang seluas-luasnya mengenai hal ini).45

Ketentuan Pasal 51 (Article 51) Konvensi Anti Korupsi ini secara teknis memungkinkan tuntutan, baik secara perdata (melalui gugatan) maupun secara pidana pengembalian aset negara yang telah diperoleh oleh seseorang melalui perbuatan korupsi. Kemungkinan menempuh prosedur hukum dalam rangka pengembalian aset ini juga berlaku bagi Negara Peserta lain yang telah dirugikan (damages to another State Party) atau dalam rangka menegakkan hak atas atau kepemilikan atas kekayaan yang diperoleh melalui perbuatan kejahatan korupsi (to establish title to or ownership of property acquired through the commission of an offence establish in accordance with this Convention).

Pemerintah Indonesia telah meratifikasiUNCAC tahun 2003 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.46 Dengan demikian, secara politis telah

45 Lihat Ratifikasi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption tahun 2003, Pasal 51.

46 Kewajiban bagi negara-negara yang telah meratifikasi UNCAC 2003 adalah menerapkan langkah-langkah anti korupsi secara meluas, akan berimplikasi pada konsep-konsep

commit to user

menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama Internasional. Upaya pengembalian aset yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia baik di dalam maupun di luar negeri terhadap aset hasil tindak pidana korupsi saat ini menjadi salah satu target dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi.

Undang Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Anti Korupsi/KAK) telah membuat terobosan besar mengenai pengembalian asset kekayaan negara yang telah dikorupsi, meliputi :

a. Sistem pencegahan dan detekshi asil tindak pidana korupsi (Pasal 52);

b. Sistem pengembalian aset secara langsung (Pasal 53) ;

c. Sistem pengambalian aset secara tidak langsung dan kerjasama internasional untuk tujuan penyitaan (Pasal 55).

d. Ketentuan esensial yang teramat penting dalam konteks ini adalah ditujukan khusus terhadap pengembalian aset-aset hasil korupsi dari negara ketempatan (custodial state) kepada negara asal (country of origin) aset korupsi.

Strategi pengembalian asset hasil korupsi secara eksplisit diatur dalam Mukadimah KAK 2003, Pasal 8 yang merumuskan : “Bertekad untuk mencegah, melacak, dan menghalangi dengan cara yang lebih efektif transfer-transfer inernasional atas aset-aset yang diperoleh dengan tidak sah, dan untuk memperkuat kerjasama internasional dalam pengembalian aset. ”Namun dalam praktiknya, ketentuan tentang pengembalian aset akibat tindak pidana korupsi menghadapi kendala dalam pelaksanaannya. Antara lain, karena perbedaan sistem hukum di negara-negara, kemauan politik negara-negara penerima aset

kebijakan perundang-undangan nasional, khususnya undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

commit to user

hasil tindak pidana korupsi.47Pentingnya masalah pengembalian aset bagi negara-negara berkembang yang mengalami kerugian karena tindak pidana korupsi, melihat masalah ini sebagai hal yang harus mendapat perhatian serius.

Bahkan sebenarnya beberapa negara menginginkan agar pengembalian aset diperlakukan sebagai hak yang tidak dapat dihapus atau dicabut.48

Pengembalian aset hasil korupsi dapat dilakukan melalui jalur Pidana (asset Recovery) secara tidak langsung melalui Criminal Recovery dan jalur Perdata (asset Recovery) secara langsung melalui Civil Recovery. Melalui jalur pidana, proses pengembalian aset lazimnya dapat dilakukan melalui 4 (empat) tahapan, yaitu :

a. Pelacakan aset (asset tracing) dengan tujuan untuk mengidenifikasi aset, bukti kepemilikan aset, lokasi penyimpanan aset dalam kapasitas hubungan dengan tindak pidana yang dilakukan;

b. Pembekuan atau perampasan aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf f KAK 2003 aspek ini ditentukan meliputi larangan sementara untuk menstransfer, konversi, disposisi, atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawab untuk mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan lain yang mempunyai otoritas yang berkompenten;

c. Penyitaan aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf g KAK 2003 diartikan sebagai pencabutan kekayaan uuntuk selamanya berrdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berkompetensi;

d. Pengembalian dan penyerahan aset kepada korban.

47 Sebagai contoh kasus gugatan perdata kasus Kartika Ratna Thahir melawan Pemerintah Indonesia q.q. Pertamina di Pengadilan Singapura. Sudargo Gautama, Putusan Banding Dalam Perkara Pertamina Lawan Kartika Tahir,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm.1.

48 Purwaning M Yanuar, 2007. Pengembalian Aset Hasil Korupsi (Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003) Dalam Sistem Hukum Indonesia,Alumni, Bandung, 2007, hlm.

10-11.

commit to user

Pengembalian aset secara tidak langsung diatur dalam ketentuan Pasal 54 dan 55 KAK 2003 dimana sistem pengambalian aset tersebut diilakukan melalui proses kerjasama internasional atau kerjasama untuk melakukan penyitaan.Pembekuan atau penyitaan ini berbeda dengan perampasan.

Perampasan seperti diatur dalam Article 54 – 55 of the UNCAC, pengertiannya seperti diatur dalam Article 2 (g) UNCAC adalah “pencabutan kekayaan untuk selamanya”. Berbeda dengan pembekuan (freezing) atau penyitaan (seizure) seperti diatur dalam Article 2 (f) UNCAC, berarti larangan transfer, perubahan, pengalihan atau pemindahan kekayaan, yang bersifat sementara.49

Article 2 (f) UNCAC :

“For the purpose of this Convention : “Freezing” or “seizure” shall mean temporarity prohibiting the transfer, conversion, disposition or movement of 7property or temporarity assuming custody or control of property on the basis of an order issued by a court or other competent authority.”

(“Pembekuan” atau “penyitaan” berarti melarang untuk sementara waktu dilakukannya transfer, perubahan, pengalihan atau pemindahan kekayaan, atau untuk sementara waktu menaggung beban dan tanggung jawab untuk mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berwenang.)

Pembekuan atau penyitaan aset ini merupakan tindakan yang memungkinkan dilakukannya perampasan (confiscation). Hal ini tampak dari ketentuan Article 31 UNCAC. Perampasan itu sendiri sebenarnya merupakan konsep dalam hukum pidana. Apabila dibandingkan dengan hukum pidana nasional, khususnya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, konsep perampasan telah diatur, dan merupakan jenis pidana tambahan seperti diatur dalam Pasal 18 (1) huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Prinsip-prinsip Konvensi Anti Korupsi belum diresepsi atau diharmonisasi dalam hukum nasional sebab Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sudah diundangkan sejak tahun 1999 dengan perubahan tahun 2001.

49 HS Eka Iskandar, ”Prinsip Pengembalian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata”. Media online GagasanHukum.WordPress.Com. Hlm.6. di akses tanggal 13 Desember 2015, pukul 22.00WIB.

commit to user

Prinsip-prinsip Konvensi Anti Korupsi baru disetujui pada tahun 2003 dan diratifikasi oleh Indonesia tahun 2006. Ratifikasi Konvensi Anti korupsi dengan demikian dapat menjadi dasar sumber hukum formil, konsekwensinya substansi konvensi tersebut menjadi undang-undang. Mochtar Kusumaatmadja dan B.

Arief Sidharta menegaskan bahwa dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, tidak perlu ditetapkan undang-undang yang memuat isi (materi atau substansi) konvensi atau perjanjian internasional sebelum isi perjanjian itu berlaku dan mengikat. Perjanjian internasional itu sudah mengikat setelah dilakukan ratifikasi dengan undang-undang.50

Berdasarkan Konvensi Anti Korupsi, prinsip pengembalian aset (asset recovery) disertai dengan prinsip mengenai upaya hukum gugatan perdata. Di samping instrumen gugatan perdata, Konvensi Anti Korupsi juga memungkinkan cara lain, yaitu “permintaan” perampasan. Sebenarnya perampasan menjadi inti pengembalian aset, sedangkan gugatan perdata menjadi komplemen atau alternatif ketika aset yang dikorupsi belum berhasil dilakukan perampasan (confiscation). Kondisi ini utamanya terjadi ketika hasil korupsi dicuci (money laundering) di negara lain. Pengembalian aset melalui gugatan perdata dimungkinkan berdasarkan Pasal 53 (Article 53) Konvensi Anti Korupsi.

Pengembalian aset melalui gugatan perdata tersebut secara teknis tidak diatur dalam Konvensi Anti Korupsi. Konvensi Anti Korupsi hanya mewajibkan Negara Peserta untuk memfasilitasinya sesuai dengan hukum nasional masing-masing Negara Peserta. Negara-negara yang menganut common law system gugatan perdata sebagaimana diatur Konvensi Anti Korupsi tersebut dikenal dengan instrumen “civil forfeiture” – yang dibedakan dengan “criminal forfeiture”51

50 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm.71.

51 Arief Amrullah.Stolen Asset Recovery (StAR) Initiatif Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana, Seminar Pengkajian Hukum Nasional : Pengembalian Aset (Asset Recovery) Melalui Instrumen Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative dan Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta, 2007, hlm.19.

commit to user

Adanya ratifikasi Konvensi Anti Korupsi memberi arti terbukanya kemungkinan Indonesia untuk melakukan gugatan di pengadilan-pengadilan asing, sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang berlaku di negara yang bersangkutan, khususnya Negara Peserta apabila terdapat cukup bukti uang hasil korupsi (stolen assets) dilakukan pencucian uang (money-laundering) dengan segala bentuknya atau “disimpan” di luar negeri.

b. Pengembalian Aset Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Berkaitan dengan pengaturan pengembalian aset, pemerintah Indonesia telah menerbitkan pelbagai peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai dasar/landasan dalam upaya pemerintah untukmengembalikan kerugian keuangan negara sebagai akibat dari tindak pidana korupsi.Pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi mensyaratkan beberapa unsur didalam pembuktiannya, salah satunya adalah unsur merugikan keuangan negara/perekonomian negara. Konsekuensidaripada unsur tersebut adalah para penegak hukum tidak hanya sekedar memenjarakan dan membuat efek jera saja, akan tetapi harus juga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang telah dikorupsi oleh para pelaku tindak pidana korupsi.

Upaya mewujudkan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam rangka mengembalikan kerugian keuangan negara oleh pelaku tindak pidana korupsi, sejalan dengan pemikiran utilitarianismeyang dikemukakan oleh Jeremy Bentham karena kebahagiaan terbesar adalah dari jumlah orang terbesar. Prinsip kegunaan ini menjadi norma untuk tindakan-tindakan pribadi ataupun kebijakan pemerintah melalui pembentukan hukum. Dengan demikian dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tentunya apabila dapat berjalan dengan baik tentunya

commit to user

memberikan kebahagiaan kepada orang banyak dalam hal ini rakyat Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi tidak memberikan rumusan yang jelas dan tegas mengenai apa yang disebut kerugian keuangan negara. Dalam Penjelasan Pasal 32 hanya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara adalah:“Kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”.52

Dalam perspektif undang-undang, kerugian keuangan negara disebabkan karena perbuatan melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya dan hal tersebut dilakukan dalam hubungannya dengan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.Kemudian yang dimaksud dengan keuangan negara, secara normatif dapat dilihat dari pelbagai undang-undang, seperti :

a. Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Penjelasannya merumuskan :“Keuangan Negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak kewajiban yang timbul karena :

1) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;

52 Lihat Penjelasan Pasal 32 a. Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

commit to user

2) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

b. Dalam Undang Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pada Pasal 1 butir 1 merumuskan bahwa :“Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.53

Sementara apa yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.54

Salah satu persoalan yang mendapat perhatian “lebih” dalam pemberantasan korupsi adalah bagaimana mengembalikan kerugian keuangan negara yang hilang sebagai akibat dilakukannya perbuatan tindak pidana korupsi, baik itu dilakukan oleh perorangan maupun korporasi. Penyelamatan uang negara ini penting dilakukan, mengingat fakta yang terjadi selama ini bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum belum maksimal mengembalikanaset hasil tindak pidana korupsi.

53 Lihat: Undang Undang Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, pada Pasal 1 butir1.

54 Lihat: Penjelasan Undang Undang Nomor. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

commit to user

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 diatur mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi baik melalui jalur keperdataan (civil procedure) berupa gugatan perdata maupun jalur kepidanaan (criminal procedure). Pengembalian aset (asset recovery) pelaku tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata secara runtun diatur dalam ketentuan Pasal 32,55 Pasal 33 56 dan Pasal 34 57serta Pasal 38C58Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.59 Jalur kepidanaan sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Pasal 38B ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) dengan proses penyitaan dan perampasan.

Ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas memberikan kewenangan kepada Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan tuntutan perampasan harta benda yang dianggap diperoleh dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa

55 Lihat: Pasal 32 ayat (1) menentukan: “Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukangugatan perdata ataudiserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.” Ayat (2) menentukan: “Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapus hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.”

56 Lihat: Pasal 33 menentukan: “Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”

57 Lihat: Pasal 34 menentukan: “Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.

58 Lihat: Pasal 38 C menentukan: “Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud Pasal 38C ayat (2) maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.

59 Lihat: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

commit to user

harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi. Pasal 38C Jaksa sebagai pengacara negara atau instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara.

Apabila diperinci pengembalian aset dari jalur kepidanaan(criminal procedure) ini dilakukan melalui proses persidangan dimana hakim di samping menjatuhkan pidana pokok juga dapat menjatuhkan pidana tambahan. Apabila diperinci maka pidana tambahan dapat dijatuhkan hakim dalam kapasitasnya yang ada hubungannya dengan pengembalian aset melalui prosedur pidana ini dapat berupa :

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.60

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai

60 Lihat: Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

commit to user

dengan ketentuan dalam undang-undang ini, lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.61

c. Penetapan perampasan barang-barang yang telah disita dalam hal terdakwa meninggal dunia (peradilan in absentia) sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana korupsi. Penetapan hakim atas perampasan ini tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding dan setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan tersebut dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman.62

d. Putusan perampasan harta benda untuk negara dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi yang dituntut oleh Penuntut Umum pada saat membacakan tuntutan dalam perkara pokok.63

Kemudian pengembalian aset tindak pidana korupsi melalui jalur keperdataan(civil procedure),dapat dilakukan melalui aspek-aspek sebagai berikut:

a. Gugatan perdata kepada seseorang yang tersangkut perkara korupsi.

Ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti. Sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara

61 Lihat: Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

62 Lihat: Pasal 38 ayat (5), (6), (7) Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

63 Lihat: Pasal 38B ayat (2), (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

commit to user

untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.

b. Gugatan perdata kepada ahli waris dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan atauputusan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik atau penuntut umum segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan atau berkas berita acara sidang kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.64 Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) upaya pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi dapat ditempuh dengan jalan yaitu sebagai berikut:

1) Meminta keterangan pada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan uang tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa (Pasal 12 huruf c);

2) Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait (Pasal 12 huruf d);

3) Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait (Pasal 12 huruf f);.

4) Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa (Pasal 12 huruf g);

64 Lihat: Pasal 33, Pasal 34, Pasal 38B ayat (2), (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

commit to user

5) Selain itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang untuk melakukan penyitaan (Pasal 47); dan

6) Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidana korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka

Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara yuridisdalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsiyang ada di

Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara yuridisdalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsiyang ada di