• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS UNSUR INTRINSIK PUISI JEPANG (WAKA) PADA NOVEL PURPLE HEART AFFAIR KARYA SENKOI SEISAKU IINKAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS UNSUR INTRINSIK PUISI JEPANG (WAKA) PADA NOVEL PURPLE HEART AFFAIR KARYA SENKOI SEISAKU IINKAI"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS UNSUR INTRINSIK PUISI JEPANG (WAKA) PADA NOVEL PURPLE HEART AFFAIR KARYA SENKOI SEISAKU IINKAI

SENKOI SEISAKU IINKAI NO SAKUHIN NI OKERU PURPLE HEART AFFAIR NO WAKA NO NAIZAITEKI YOUSO NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang ilmu Sastra Jepang

Oleh:

NENY FITRIANA 120708056

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016

(2)

ANALISIS UNSUR INTRINSIK PUISI JEPANG (WAKA) PADA NOVEL PURPLE HEART AFFAIR KARYA SENKOI SEISAKU IINKAI

SENKOI SEISAKU IINKAI NO SAKUHIN NI OKERU PURPLE HEART AFFAIR NO WAKA NO NAIZAITEKI YOUSO NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam

bidang ilmu Sastra Jepang

Oleh:

NENY FITRIANA 120708056

Pembimbing I Pembimbing II

M. Pujiono, M.Hum, Ph.D Drs. Nandi S.

NIP. 19691011 2002121 1 001 NIP. 19600822 1988 03 1 002

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016

(3)

Disetujui oleh:

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Medan, September 2016 Departemen Sastra Jepang Ketua,

Drs. EmanKusdiyana, M.Hum NIP. 19600919 1988 03 1 001

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang atas berkat rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat beriring salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang terang benderang dan penuh ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.

Skripsi yang berjudul “Analisis Unsur Intrinsik Puisi Jepang (Waka) Pada Novel PURPLE HEART AFFAIR Karya Senkoi Seisaku Iinkai” ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar sarjana di Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Strata-1 Sastra Jepang Universitas Sumater Utara.

Dalam penyelesaian studi dan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan serta bimbingan moril dan materil dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum selaku Ketua Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara yang telah mengizinkan penulis untuk mengikuti program pelatihan dari The Japan Foundation di Osaka selama 45 hari pada tahun 2015.

3. Bapak M. Pujiono, M.Hum, Ph.D sebagai Dosen Pembimbing I yang dalam kesibukannya dapat meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing,

(5)

memberi saran serta nasehat dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Nandi S sebagai Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing, memeriksa serta memberikan arahan dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

5. Dosen Penguji Ujian Skripsi yang telah meluangkan waktu untuk membaca, menguji dan memberikan saran untuk skripsi ini.

6. Adriana Sensei selaku Sekretaris Program Studi S-1 Sastra Jepang, dan seluruh staf pengajar Program Studi S-1 Sastra Jepang, Yudi Sensei, Hani Sensei, Hamzon Sensei, Amin Sensei, Hani Sensei, Muhibah Sensei, Zul Sensei, Ines Sensei, Sri Sensei, Diah Sensei, Erizal Sensei, Rospita Sensei yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis sebagai bekal masa depan dari tahun pertama hingga dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik.

7. Kepada orang tua tercinta Nurlely Zahary dan Parmanto, serta saudara penulis tersayang yang tiada hentinya mendo’akan dan mendukung penulis sehingga penulis tetap semangat menjalankan perkuliahan sampai selesai dan dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman Sastra Jepang khususnya angkatan 2012.

9. Terimakasih kepada staf administrasi Sastra Jepang, Bang Joko Santoso, Amd yang telah banyak membantu penulis dalam mengurus berkas-berkas selama masa perkuliahan, siding proposal dan sidang skripsi.

10. Dan kepada semua pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini.

(6)

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, baik dalam susunan kalimatnya maupun proses analisisnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini agar dapat menjadi skripsi yang lebih baik dan bermanfaat.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan para pembaca, khususnya mahasiswa Sastra Jepang.

Medan, September 2016 Penulis,

Neny Fitriana

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 5

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 6

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.6 Metode Penelitian ... 10

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG WAKA DAN NOVEL PURPLE HEART AFFAIR ... 12

2.1 Definisi dan Sejarah Waka di Jepang ... 12

2.2 Jenis – Jenis Waka ... 27

2.3 Penyair Waka Pada Novel Purple Heart Affair ... 28

2.4 Novel ... 31

2.5 Unsur-Unsur Instrinsik Novel Purple Heart Affair ... 48

2.6 Sinopsis Novel Purple Heart Affair ... 54

BAB III ANALISIS INTRINSIK PUISI JEPANG (WAKA) PADA NOVEL PURPLE HEART AFFAIR ... 56

3.1 Waka Karya Otomo Yakamochi ... 56

3.2 Waka Karya Ariwara No Narihira ... 58

(8)

3.3 Waka Karya Ono No Komachi ... 62

3.4 Waka Karya Murasaki Shikibu ... 64

3.5 Waka Karya Daigo Tennou ... 66

3.6 Waka Karya Sakyo No Daibu Michimasa ... 68

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

4.1 Kesimpulan ... 71

4.2 Saran ... 73

DAFTR PUSTAKA ... 74 ABSTRAK

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan bangunan bahasa yang utuh dan lengkap pada dirinya sendiri, mewujudkan dunia rekaan, mengacu pada dunia nyata atau realitas, dan dapat dipahami berdasarkan kode etik yang melekat pada sistem sastra, bahasa, dan sosial- budaya (Noor, 2006: 5). Sehingga dapat dikatakan bahwa karya sastra diciptakan pengarang melalui imajinasi, tetapi tidak dapat terlepas dari kehidupan nyata. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Saryono (2009: 18), bahwa sastra juga mempunyai kemampuan untuk merekam semua pengalaman yang empiris-natural maupun pengalaman yang nonempiris-supranatural, dengan kata lain sastra mampu menjadi saksi dan pengomentar kehidupan manusia.

Secara umum karya sastra terbagi menjadi tiga jenis, yaitu prosa, drama dan puisi. Dresden dalam Sayuti (1998: 237), mengartikan bahwa puisi adalah sebuah dunia dalam kata. Isi yang terkandung di dalam puisi merupakan cerminan pengalaman, pengetahuan, dan perasaan penyair yang membentuk sebuah dunia bernama puisi.

Salah satu bentuk puisi Jepang yang sudah ada sejak zaman Asuka dan zaman Nara (akhir abad ke-6 hingga abad ke-8) adalah waka (和歌). Istilah waka (arti harfiah: puisi Jepang) dipakai untuk membedakannya dengan puisi Cina ( 漢 詩 kanshi). Waka juga disebut dengan yamato uta (大和歌・倭歌) atau cukup sebagai

(10)

uta. Pada zaman Nara, puisi ini disebut waka (倭歌) atau washi (倭詩) yang juga berarti puisi Jepang. Ciri khas dari puisi ini terdiri dari 31 suku kata dengan komposisi pembagian 5,7,5,7,7, suku kata ini memberikan ciri dan ekspresi rasa dan pikiran orang Jepang.

Meskipun waka merupakan puisi klasik yang sudah ada sejak abad ke-6, namun di masa modern, waka masih tetap menjadi salah satu karya sastra yang diminati oleh masyarakat Jepang, baik generasi tua maupun muda. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya waka yang terdapat pada media hiburan di Jepang, misalnya pada manga, anime, dan juga novel.

Menurut Sumardjo (1999: 11-12), novel adalah karya sastra yang berupa cerita, mudah dibaca dan dicerna, juga banyak mengandung kerahasiaan dalam alur ceritanya, yang mudah menimbulkan rasa penasaran bagi pembacanya.

Salah satu novel yang mengangkat waka sebagai tema dalam ceritanya adalah Purple Heart Affair karya Senkoi Seisaku Iinkai. Novel ini menceritakan tentang Yukari; seorang gadis remaja SMP yang jatuh cinta kepada guru bahasa Jepangnya;

Ariwara Sensei. Untuk membuktikan bahwa perasaannya sungguh-sungguh, Pak Guru menyuruh Yukari untuk mengumpulkan waka (puisi pendek Jepang) setiap minggu. Walau awalnya terasa seperti main-main, tetapi melalui waka, perlahan- lahan Yukari menyadari bahwa cinta bisa begitu menyakitkan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis menemukan permasalahan yang membuat penulis tertarik untuk meneliti novel ini, khususnya menganalisis unsur intrinsik waka yang terdapat dalam novel Purple Heart Affair karya Senkoi Seisaku Iinkai. Oleh

(11)

karena itu, penulis mengambil judul “Analisis Unsur Intrinsik Puisi Jepang (Waka) dalam Novel Purple Heart Affair karya Senkoi Seisaku Iinkai”.

1.2 Perumusan Masalah

Waka adalah salah satu kesusastraan klasik Jepang. Pada masa lalu, waka ditulis untuk merayakan kemenangan dalam peperangan, percintaan atau untuk alasan upacara keagamaan. Penulisan waka pada awal abad ke-7 dan ke-8 dimulai dengan penulisan nagauta (puisi panjang), yang dibuat untuk ditampilkan pada acara-acara besar di istana. Pada saat yang bersamaan, tanka (puisi pendek) yang memiliki pola barisan 5-7-5-7-7 suku kata, menjadi tulisan yang banyak digunakan dalam berkomunikasi kepada teman-teman dan kekasih. Pada awalnya, kemampuan untuk menulis tanka hanya terdapat pada kalangan kerajaan.

Seiring perkembangan zaman, generasi muda Jepang sekarang ini banyak yang kurang berminat untuk mengenal karya sastra klasik seperti waka. Meskipun waka tidak begitu menarik minat generasi muda Jepang, tidak dapat dipungkiri bahwa waka terus berkembang dari zaman ke zaman. Seperti yang diketahui, Jepang adalah negara yang sangat mempertahankan kebudayaannya. Oleh karena itu, agar generasi muda tidak kehilangan minat terhadap karya sastra klasik seperti waka, maka dibuatlah berbagai macam cara untuk memperkenalkan sekaligus melestarikannya.

Salah satu caranya adalah dengan memasukkan waka ke dalam media kesusastraan seperti manga, anime, maupun novel.

Contoh novel yang menjadikan waka sebagai tema dalam cerita utamanya adalah novel yang berjudul Purple Heart Affair karya Senkoi Seisaku Iinkai. Novel

(12)

ini ditulis oleh delapan orang penulis yang menamakan diri mereka sebagai Senkoi Seisaku Iinkai.

Kedelapan nama dibalik Senkoi Seisaku Iinkai ini yaitu Kijima Asako, Matsuda Kozue, Miyata Akiko, Nanaki Tsubasa, Furuya Mie, Hara Terumi, Tanaka Yuko dan Kaminoho Masayo.

Novel Purple Heart Affair mengisahkan tentang kisah cinta seorang gadis remaja bernama Yukari kepada guru bahasa Jepangnya. Seperti kebanyakan remaja Jepang pada umumnya, Yukari tidak begitu memiliki ketertarikan terhadap karya sastra Jepang klasik. Sang guru yang telah mengetahui perasaan Yukari terhadapnya membuat suatu cara untuk menimbulkan minat Yukari terhadap kesusastraan klasik Jepang khususnya waka. Yukari harus membuktikan kesungguhan cintanya dengan mengumpulkan laporan yang berisikan kesan-kesan terhadap waka yang dibacanya.

Dengan cara ini sang Guru dapat membuat Yukari secara tidak sadar menjadi sangat menyukai waka. Ketika membaca waka, Yukari merasakan adanya pesan-pesan yang dapat menyentuh perasaannya sehingga membuatnya ingin lebih memahami isi dalam waka tersebut. Untuk memahami waka yang merupakan salah satu bentuk puisi Jepang, maka kita sangat perlu mengenal unsur-unsur intrinsik seperti tema, perasaan, nada dan suasana, serta amanat yang dikandung oleh waka tersebut. Selain unsur – unsur intrinsik, dapat juga terlihat kaitan waka dengan kesinambungan cerita yang ada dalam novel Purple Heart Affair.

(13)

Untuk memudahkan arah sasaran yang ingin dikaji, maka dalam bentuk pertanyaan, perumusan masalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah unsur intrinsik (tema, perasaan, nada dan suasana, pesan) dari tujuh waka yang terdapat dalam novel Purple Heart Affair karya Senkoi Seisaku Iinkai ?

2. Bagaimana kaitan waka dengan kesinambungan cerita yang ada dalam novel Purple Heart Affair karya Senkoi Seisaku Iinkai ?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam penelitian ini, agar permasalahan tidak terlalu luas dan menjadi lebih terarah dalam pembahasannya, maka penulis membatasi ruang lingkup pembahasan kepada tujuh waka yang pembahasannya lebih difokuskan terhadap unsur intrinsik puisi berupa tema, perasaan, nada dan suasana, juga amanat serta pengekspresian penyair pada waka yang terdapat dalam novel Purple Heart Affair karya Senkoi Seisaku Iinkai yang diterbitkan oleh PT. Gramedia dalam Bahasa Indonesia dengan judul Purple Heart Affair sebanyak 174 halaman pada tahun 2015.

Untuk mendukung penelitian ini penulis sebelumnya akan menjelaskan mengenai konsep waka serta sejarah perkembangan waka. Kemudian penulis juga akan menguraikan isi kisah novel Purple Heart Affair. Hal ini akan memberikan kemudahan kepada penulis dalam menganalisa pokok permasalahan, yaitu pada pemaparan masalah mengenai penyair-penyair waka serta unsur intrinsik waka pada novel tersebut berdasarkan kaitannya dengan alur cerita.

(14)

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori a. Tinjauan Pustaka

Menurut Wellek dan Warren (1993: 3), sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sederetan karya seni. Hal ini sejalan dengan pendapat Semi (1988 : 8 ), yang menyatakan bahwa sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Salah satu bentuk karya sastra yang ditulis dengan kata-kata yang indah adalah puisi. Pengertian puisi menurut Waluyo (2005: 1) yaitu, puisi merupakan bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian fisik dan struktur batinnya. Keindahan sebuah puisi disebabkan oleh diksi, majas, rima, dan irama yang terkandung dalam karya sastra tersebut.

Adapun kekayaan makna yang terkandung dalam puisi disebabkan oleh pemadatan segala unsur bahasa. Bahasa yang digunakan dalam puisi berbeda dengan yang digunakan dalam sehari-hari. Puisi menggunakan bahasa yang ringkas, namun kaya makna.

b. Kerangka Teori

Menurut Ambarita (2009: 132), sebuah puisi seperti juga karya-karya sastra lainnya merupakan rekaman semua sisi dan pranata kehidupan manusia. Puisi merupakan tanda yaitu simbol-simbol bahasa yang ditata sedemikian rupa. Namun demikian, tanda dalam puisi tidak berarti sama dan sebangun dengan tanda dalam karya-karya lain seperti prosa dan karya ilmiah. Dalam keunikannya tanda dalam

(15)

puisi memuat sejumlah makna (tersurat, tersorot, tersirat), sejumlah rasa, imajinasi, sensasi, dan lainnya.

Dalam menganalisis sebuah karya sastra seperti puisi, terdapat beberapa model pendekatan yang dapat diterapkan dan penerapan model itu sesuai dengan konsep serta tata kerjanya masing-masing. Berdasarkan uraian diatas, dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan semiotik, yaitu pendekatan yang dilandasi oleh pemikiran bahwa sisi kehidupan manusia dianggap sebagai sistem tanda (Junus: 1984, 17). Tanda yang dimaksud ialah yang melatarbelakangi sejumlah konteks yaitu, situasi, budaya, dan ideologi. Dengan pendekatan ini, sebuah puisi tidak hanya dapat dilihat dari segi strukturnya saja tetapi juga dilihat sebagai sebuah sistem yang komponen-komponennya bersama-sama membangun sebuah makna. Dengan pendekatan ini kita dapat memahami bahwa puisi merupakan sebuah tanda (simbol) yang dalam konteks tertentu digunakan untuk menyampaikan ekspresi penyair dalam menuliskan syair puisi.

Kemudian, untuk menganalisis waka dengan hanya berpusat pada unsur-unsur intrinsik yang terkandung disetiap bait waka, yang terdapat dalam novel Purple Heart Affair maka penulis menggunakan pendekatan objektif. Abrams dalam Suwondo (2001: 54) menyatakan bahwa model yang menonjolkan kajiannya terhadap peran pengarang sebagai pencipta karya sastra disebut ekspresif; yang lebih menitikberatkan sorotannya terhadap peranan pembaca sebagai penyambut dan penghayat sastra disebut pragmatik; yang lebih berorientasi pada aspek referensial dalam kaitannya dengan dunia nyata disebut mimetik; sedangkan yang memberi perhatian penuh pada

(16)

karya sastra sebagai struktur yang otonom dengan koherensi intrinsik disebut pendekatan objektif.

Pendekatan objektif merupakan pendekatan sastra yang menekankan pada segi intrinsik karya sastra yang bersangkutan (Yudiono, 1984 : 53), yaitu pendekatan yang sangat mengutamakan penyelidikan karya sastra berdasarkan kenyataan teks sastra itu sendiri. Hal-hal yang diluar karya sastra walaupun masih ada hubungan dengan sastra dianggap tidak perlu untuk dijadikan pertimbangan dalam menganalisis karya sastra.

Untuk memahami puisi, Herman J. Waluyo dalam bukunya Teori dan Apresiasi Puisi menyatakan bahwa ada empat unsur yang disebut sebagai hakikat puisi, yang juga dikenal sebagai unsur intrinsik dari puisi, yakni:

1. Tema

Waluyo (1987:106) mengatakan bahwa tema merupakan pokok atau subject- matter yang dikemukakan oleh penyair. Ungkapan ini mengindikasikan bahwa tema merupakan sebuah gambaran yang melingkupi keseluruhan puisi.

Oleh sebab itu dalam menafsirkan tema, puisi harus ditafsirkan secara utuh.

2. Perasaan (Feeling)

Waluyo (1987: 121) menyatakan bahwa suasana perasaan penyair yang diekspresikan harus dapat dihayati oleh pembaca. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perasaan ini adalah keadaan jiwa penyair ketika menciptakan puisi tersebut.

(17)

3. Nada dan Suasana

Nada merupakan sikap penyair dalam menyampaikan puisi terhadap pembaca, sikap yang beraneka ragam. Apakah dia ingin bersikap menggurui, menasehati, menyindir, atau bersikap lugas.

Sedangkan yang dimaksud dengan suasana yaitu keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi tersebut, (Waluyo, 1987: 125).

4. Pesan (Amanat)

Pesan adalah maksud yang hendak disampaikan atau himbauan atau tujuan yang hendak disampaikan penyair, (Waluyo, 1987: 130).

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian

Dalam setiap penulisan skripsi tentu ada tujuan yang hendak dicapai. Adapun tujuan tersebut adalah :

1. Mendeskripsikan unsur intrinsik dari tujuh waka yang terdapat dalam novel Purple Heart Affair karya Senkoi Seisaku Iinkai.

2. Mendeskripsikan kaitan waka dengan kesinambungan cerita yang ada dalam novel Purple Heart Affair karya Senkoi Seisaku Iinkai.

(18)

b. Manfaat Penelitian

Dengan mengadakan penelitian terhadap novel Purple Heart Affair karya Senkoi Seisaku Iinkai, diharapkan memberi manfaat, yakni :

1. Untuk menambah pemahaman tentang perkembangan puisi jepang yaitu waka, khususnya bagi mahasiswa jurusan Sastra Jepang.

2. Untuk menambah pengetahuan mengenai tokoh-tokoh penyair waka di Jepang.

1.6 Metode Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dianalisis dalam novel Purple Heart Affair, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976: 30), penelitian yang bersifat deskriptif dapat memberikan gambaran yang secermat mungkin tentang suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu.

Penulis menggunakan metode ini agar dapat mendeskripsikan atau menjelaskan mengenai waka yang terdapat dalam novel Purple Heart Affair karya Senkoi Seisaku Iinkai dan bagaimana kaitannya terhadap alur cerita.

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah studi pustaka (library research), yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, laporan- laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (Nazir, 1988: 111).

Selain itu, penulis juga mengumpulkan data-data dari berbagai situs internet.

(19)

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pemilihan topik dan judul penelitian.

2. Merumuskan masalah yang ingin diteliti.

3. Menyusun kerangka teori.

4. Melakukan studi pustaka.

5. Mengumpulkan data.

6. Menganalisis data.

7. Menggunakan referensi.

8. Menulis laporan penelitian.

(20)

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG WAKA DAN NOVEL PURPLE HEART AFFAIR

2.1 Sejarah Waka di Jepang

Di Jepang, karya sastra puisi pertama kali muncul pada zaman Jodai dimulai dari akhir periode zaman Yayoi dan awal zaman Kofun, pada saat itu masyarakat sudah mengenal pertanian. Setelah mereka panen raya, mereka selalu bernyanyi untuk merayakan hasil panen yang melimpah. Nyanyian tersebut dinamakan Kayou (歌謡) dan biasanya dinyanyikan disebuah tempat yang dinamakan Utagaki (歌垣).

Kayou biasanya berisi tentang pujian kepada dewa sebagai rasa ucapan terimakasih atas hasil panen yang melimpah, dan terkadang Kayou berisikan mengenai kasih sayang dan cinta, dan biasanya ini dilantunkan oleh anak muda. Materi pengutaraan Kayou beraneka ragam, tetapi selalu berada dalam cerita putaran kehidupan manusia, meskipun begitu cara mengutarakan Kayou belum jelas pada saat itu.

Kemudian pada zaman Kofun ( 250 – 538 ), Kayou menjadi semakin jelas dalam pengutaran isi, dan mulai merambah dari kalangan rakyat biasa yang biasa melantunkannya ke kalangan bangsawan, dan Kayou ketika itu lebih dikenal dengan Waka. Waka tertua yang ditulis pertama kali terdapat didalam buku Nihonshoki dan Kojiki. Waka sama seperti Kayou yaitu mengutarakan berbagai hal dalam kehidupan manusia, seperti cinta, suka cita, kesedihan, dan lain-lain.

(21)

Buku yang berisi kumpulan Waka tertua bernama Manyoushuu yang berjumlah 20 volume, kemungkinan diselesaikan pada awal periode zaman Heian.

Pada umumnya Manyoushuu berisi Chouka dan Tanka. Tiga volume pertama Manyoushuu berisi karya-karya penyair dari abad ke-7 ke bagian awal abad ke-8.

Puisi-puisi yang terdapat didalam Manyoushuu merupakan hasil gubahan zaman yang panjang dan juga kompleks. Kemudian puisi-puisi tersebut dibagi berdasarkan gaya puisi dan keaktifan penyair-prnyair-penyair. Pembagian itu terdiri dari dua golongan besar yaitu golongan awal dan golongan akhir.

1. Golongan awal ( 629 – 710 ), terbagi atas :

a. Golongan awal pertama ( 629 – 672 )

Golongan awal bagian pertama adalah masa lahirnya waka. Waka yang lahir pada tahun 629 banyak dipengaruhi oleh keberadaan kayou, namun waka tidak mengambang seperti kayou karena telah memiliki aturan. Waka digubah sedemikian rupa, memiliki arti yang mendalam, terarah, dan sifatnya lugas. Sehingga lahirnya waka dengan keindahan syair yang dinamik menggambarkan keindahan pada zaman Kuno.

Umumnya penyair-penyair pada zaman ini berasal dari keluarga istana yang kemudian mencetuskan suasana membangun ke dalam puisi.

Penyair yang terkenal di antaranya adalah : Jomei Tenno, Tenchi Tenno, Nakatsu Sumeramikoto, Yamato Ono Okisaki, Arima no Miko dan Nukata no Okimo.

(22)

b. Golongan awal kedua ( 711 – 733 )

Pada golongan awal bagian kedua, waka memiliki isi yang lebih mendalam. Karena pada tahun tersebut waka lebih mengutamakan pada ekspresi. Penyair yang terkenal dalam menciptakan keharmonisan antara ekspresi yang indah dan melankolis yang bersifat klasik bernama Kakinomoto Hitomaro. Ia menciptakan hasil kesusastraan yang mengagumkan berbentuk Chouka dan Tanka. Hal ini menyebabkan pesatnya perkembangan waka pada zaman Asuka dan zaman Fujiwara. Ciri khas lainnya ialah adanya puisi tentang pemandangan alam yang digubah oleh penyair bernama Jito Tenno dan juga Takechi no Kurohito. Adapun penyair lainnya ialah Yamabe Akahito, Shiki no Miko, Nagane Okimaro, dll.

2. Golongan akhir ( 711 – 733 ), terbagi atas : a. Golongan akhir pertama ( 711 – 733 )

Golongan akhir bagian pertama mempunyai ciri khas pada kebudayaan yang berkembang dengan pesat, didukung oleh kondisi yang damai pada saat itu. Kesusastraan China masuk ke Jepang pada zaman ini melalui semenanjung Korea. Kesusastraan China, tulisan-tulisan sejarah, kitab suci agama, dan puisi mulai menyatu dengan kesusastraan Jepang dengan baik. Hal ini dapat dilihat pada istana Kaisar Tenmu, beberapa bangsawan mencoba untuk membacakan puisi China. Negara China pada saat itu dianggap memiliki tingkat

(23)

pendidikan yang sangat baik, sehingga orang Jepang pada saat itu berusaha menyerap ilmu pengetahuan mengenai berbagai hal yang mereka peroleh dari bangsa China untuk diteraokan dalam kehidupan, khususnya pengaruh kesusastraan China. Karya-karya puisi yang dipengaruhi oleh Kesusastraan China kemudian dikumpulkan dalam buku bernama Kaifuso yang merupakan buku kumpulan puisi tertua di Jepang. Bentuk-bentuk puisi pada zaman ini menjadi lebih panjang.

Keindahan tetap melekat pada puisi di zaman ini. Ide dan gagasan pribadi masing-masing penyair semakin kuat dan mengakibatkan munculnya gaya puisi yang bervariasi pada saaat itu.

Pada tahun 710 ibukota Jepang pindah ke Nara, sehingga pada tahun tersebut Zaman Nara ( 710 – 794 ) dimulai. Pada zaman ini pengaruh dari China mencapai puncaknya. Hal ini dapat dilihat dengan didirikannya Kuil Todaiji, dan patung The Great Buddha yang dibuat atas perintah kaisar Shomu. Penyair waka yang terkenal pada masa ini adalah Yamabe no Akihito. Beliau adalah seorang sastrawan yang mengembangkan puisi yang bertemakan pemandangan alam.

Kemudian Yamanoue no Okura, mahir membuat pantun yang menggambarkan kesedihan manusia. Penyair lainnya seperti Utomo no Tabito yang mahir dalam menggubah pantun yang dibacakan dalam pesta dan upacara. Takashi Mushimaro yang ahli dalam pantun yang bersumber dari hikayat dan penyair-penyair lainnya. Jenis puisi yang paling populer pada periode ini ialah puisi tentang pemandangan alam

(24)

dan puisi untuk pesta. Manyoushuu pada saat periode ini banyak disi oleh puisi dari para penyair wanita yang menulis puisi cinta, dan para bangsawan terkadang mengekspresikan perasaan mereka mengenai kesan perjalanan hidup dan ada juga puisi yang bertemakan mengkritik kegagalan politik pemerintah atau pejabat lokal. Dalam Manyoushuu, tidak hanya puisi karangan bangsawan, namun ada juga puisi dari pengarang yang namanya tidak diketahui. Puisi ini disebut dengan Yomihito Shirazu. Dari semua waka yang ditulis dalam Manyoushuu , ada waka khusus yang disebut dengan Azuma Uta, yang ditulis dalam dialek di antara Azuma Uta, yang disebut dengan Sakimori Uta. Waka ini dituliskan oleh para prajurit yang dipindahkan ke daerah timur dan dipekerjakan sebagai penjaga di Kyuushuu selama beberapa tahun.

Kadang-kadang puisi yang mereka tulis mengungkapkan akan kerinduan terhadap tanah air mereka.

b. Golongan akhir kedua ( 734 – 759 )

Golongan akhir bagian kedua merupakan periode terakhir perkembang waka yang seakan-akan mengambang tidak jelas. Hal ini disebabkan oleh adanya kegoncangan politik, dan juga karena Kanshi (puisi China) menjadi jenis puisi yang popular pada masa itu, sehingga mengakibatkan penyair-penyair kehilangan kemampuan untuk berinspirasi dalam membuat waka. oleh sebab itu, zaman ini merupakan zaman kemunduran dari waka.

(25)

Pada zaman Heian ( 794 – 1185 ) diperkirakan bahwa Manyoushuu mencapai bentuk akhirnya seperti yang kita kenal dewasa ini. Banyak orang menganggap bahwa Otomo no Yakamochi ialah editor terakhir, tetapi beberapa pernyataan lain mendukung bahwa Sugawara no Michizane adalah editor terakhirnya. Pada awal zaman Heian, Kanshi menjadi gaya berpuisi yang popular di kalangan para bangsawan.

Beberapa penyair seperti Kukai belajar di China dan fasih berbahasa China walaupun beliau dibesarkan di Jepang. Ketika mereka menjamu duta asing, mereka tidak berkomunikasi secara lisan melainkan secara lisan melainkan secara tulisan menggunakan huruf Kanji. Pada masa ini, bidang perpusian China mengalami masa keemasan, penyair China ternama pada saat itu adalah Li Po, yang karyanya telah dikenal sampai ke Jepang. Gaya yang paling terkenal dari Puisi China pada saat itu adalah lima atau tujuh silabel dalam empat atau delapan baris, dengan peraturan sajak yang tegas. Penyair Jepang banyak yang menjadi terampil dalam menulis puisi dengan peraturan-peraturan ini dengan baik. Ada juga puisi panjang 5 sampai 7 silabel. Kaisar Saga yang pandai berpuisi China memerintahkan tiga buku kumpulan puisi China, ini adalah buku kumpulan puisi pertama yang dibuat oleh kekaisaran, dan tradisi ini berlanjut sampai zaman Muromachi.

Pada zaman Heian, waka kembali popular berkat utaawase (lomba syair). Ada lomba tooso dan tooge yatiu lomba mencari rerumputan di hutan (tooso) dan bunga (tooge) dan akan dinilai mana yang terbaik.

(26)

Tujuan utaawase ialah untuk mengembalikan kepopuleran waka yang sempat tenggelam pada akhir zaman Nara.

Pertengahan zaman Heian, waka benar-benar bangkit kembali dengan adanya penyusunan Kokin Wakashuu. Ciri-ciri Kokin Wakashuu adalah :

- Puisinya memiliki pola 5-7-5-7-5,

- Apabila puisi pada masa lampau memiliki intonasi pada pola 5-7 (lamban), dan 5-7-5 (berat), sedangkan puisi-puisi pada Kokin Wakashuu memiliki intonasi pada pola 5-7 (ringan), dan 5-5- (lancar),

- Memiliki gaya baru dalam mengekspresikan puisi,

- Kokin Wakashuu lebih halus dan elegan daripada Manyoushuu yang bersifat sederhana, mudah, lancar dan mudah dipahami,

- Kokin Wakashuu bersifat rasional,

- Pemakaian engo dan kakekotoba lebih banyak dibandingkan Manyoushuu.

Kumpulan-kumpulan syair pada zaman Heian terdapat dalam Kokin Wakashuu atau disingkat dengan Kokinshuu yang berarti kumpulan syair-syair sejak dulu termasuk waka dari zaman Jodai yang belum tercatat dalam Manyoushuu sampai Kokinshuu yang dibuat pada zaman Heian. Dalam Kokin Wakashuu terdapat sekitar 1.100 syair/puisi dan dibagi dalam dua puluh jilid. Didominasi oleh karya para bangsawan. Penyusunan dari Kokin Wakashuu adalah Kino Tsurayuki dan para penyair lain pada masa pemerintahan kaisar Go-Daigo. Dalam Kokin Wakashuu ada sekitar 40% tidak diketahui penulisnya. Pada zaman tersebut kebiasaan bertukar puisi menjadi kebiasaan diantara para pemuda, kebiasaan itu disebut Kinuginu, sehingga

(27)

lima dari dua puluh jilid Kokin Wakashuu berisi puisi cinta. Kokin Wakashuu sendiri dibagi atas dua puluh bagian, yang mencerminkan model lama seperti Manyoushuu dan berbagai kumpulan puisi China. Bagian 1 – 6 berisi khusus mengenai empat musim, diikuti dengan puisi yang berisi ucapan selamat, puisi perpisahan, dan puisi perjalanan. Sepuluh bagian terakhir berisi mengenai nama-nama benda, cinta, ratapan, aneka puisi, dan akhirnya puisi yang sering digunakan dalam upacara-upacara.

Penyair-prnyair yang terkenal pada saat itu disebut empat penyair dan satu kelompok lagi disebut rokkasen (enam penyair).

Dari 1100 syair yang ada, karya yang mendominasi adalah karya Kino Tsurayuki yang tergabung dalam empat penyair/penyunting.

Anggota 4 orang penyair / penyunting adalah : 1. Kino Tsurayuki

2. Oshikochi no Netsune 3. Tomonon

4. Todamine

Anggota rokkasen (enam orang penyair) adalah : 1. Ariwara no Narihara

2. Soojo Henjo 3. Ono Komachi

4. Otomo no Kuronushi 5. Funyano Yasuhiae 6. Kisen Hooshi

(28)

Anggota 4 orang penyair, Kino Tsurayuki mendominasi karya-karya di Kokin Wakashuu (kira-kira 220 puisi). Kino Tsurayuki memiliki ekspresi yang tegas dan pandai menggunakan kakekotoba (satu kata memiliki dua arti / banyak makna) dan engo (kata yang berfungsi menghubungkan antara bait yang satu dengan yang lain).

Beliau dikatakan sebagai penyair yang rasional dibanding sentimental.Anggota lainnya, Oshikochi no Netsune dikenal sebagai penyair yang polos, jujur, dan apa adanya. Ia tidak banyak menggunakan teknik dan karyanya terkesan lebih ringkas.

Puisinya dinilai lebih hidup. Dua penyair lainnya dianggap biasa-biasa saja dibandingkan dengan dua anggota lainnya.

Disisi lain, anggota rokkasen, puisi karangan Ariwara no Narihira dinilai memiliki sifat sentimental oleh para pengarang lain pada zaman itu. Ariwara dikatakan sebagi pria tampan dan senang bergaul dengan wanita. Soojo Henji adalah seorang biksu, karya gubahannya bersifat halus dan humoris. Anggota lainnya, yaitu Ono no Komachi adalah seorang wanita yang menurut Kino Tsurayuki adalah seorang wanita yang cantik. Puisinya bersifat elegan dan feminim. Sedangkan ketiga penyair lainnya dalam rokkasen dinilai biasa-biasa saja dan karyanya bersifat campuran antara sentimental dan humoris.

Kokin Wakashuu adalah buku kumpulan puisi pertama dari 21 koleksi buku yang dibuat atas permintaan kerajaan. Keadaannya sangat berpengaruh bagi perkembangan puisi Jepang sampai abad ke-19. Keunggulan puisi tentang musim yang dipelopori oleh Kokin Wakashuu terus berlanjut sampai hari ini dalam tradisi menulis haiku. Kata pengantar dari Kino Tsurayuki merupakan kritik pertama terhadap puisi China yang terlalu memiliki pemgaruh dalam kesusastraan puisi

(29)

Jepang. Puisi-puisi dalam Kokin Wakashuu kelak merupakan cikal bakal dari tradisi menulis renga dan haikai.

Selain Kokin Wakashuu ada juga buku kumpulan puisi berjudul Gosen Wakashuu , yaitu kumpulan pantun ini diinstruksikan oleh kaisar Murakami. Kaisar Murakami lebih berkonsentrasi pada sastra dibandingkan kasiar Go-Daigo. Selain mengarang pantun, ia juga membangun lembaga pantun nasional disebut Noshitsubu.

Penyair yang dipilih untuk menyusun Gosen Wakashuu adalah Kiyohara Motosuke, Ki no Tokibumi, Oonokatomi no Yoshinobu, Minamoto no Shitagoru, Ue Mochiki.

Kino Tsurayuki juga menyumbangkan karyanyanya dalam Gosen Wakashuu dan juga pengarang-pengarang lainnya.

Ciri-ciri Gosen Wakashuu adalah :

- Banyak memiliki zootoka dan tidak ada engo. Zootoka adalah puisi bersahut- sahutan,

- Puisinya bersifat riang

- Puisi-puisi Gosen Wakashuu menunjukkan gejala membuat puisi menjadi sebuah cerita

- Dalam Gosen Wakashuu, muncul kembali Kanshi (puisi China), sehingga memakai kanji

- Dalam Gosen Wakashuu banyak menceritakan tentang realita kehidupan yang ada dalam masyarakat

Kemudian setelah kaisar Murakami tidak berkuasa lagi, muncul kumpulan puisi bernama Shuishuu yang diperintahkan untuk disusun oleh kaisar Ichijo. Penyair

(30)

yang terkenal bernama Fujiwara Kinto yang lebih tepatnya dikatakan sebagai peneliti puisi karena ia dikenal sebagai pengarang buku Shinsenzuinoo (Teori membuat pantun), Fujiawara Kinto juga dikenal sebagai orang yang memperkenalkan gaya Roei dalam pembacaan puisi. Gaya ini adalah cara membaca dalam suara yang relatif lambat dan nada panjang. Buku yang membahas gaya Roei ini ditulis oleh Fijwara no Kinto berjudul Wakan Roeishu.

Pada waktu penyusunan Shuishuu, muncul pengarang bernama Murasaki Shikibu dan Seishonagon, keduanya adalah wanita, mereka lebih fokus terhadap cerita daripada puisi. Hal ini menyebabkan penjualan Shuishuu terhenti, karena masyarakat lebih fokus pada cerita. Namun dalam keadaan seperti ini tetap muncul penyair yang baik seperti Izumi Shikibu dan Yoshitada yang mendapat julukan Sotan yang artinya penyair rendahan. Julukan ini diberikan karena Yoshitada bukan dari kalangan bangsawan.

Pada saat pemerintahan Kaisar Go-Shirakawa, atas perintah darinya, buku kumpulan puisi yang bernama Go- Shuishuu disusun oleh Fujiwara Michitoshi dan para penyair lain. Penyair ternama pada saat itu ialah Minamoto no Tsunenobu yang merupakan seorang pengikut Yoshitada dan karyanya sangat dominan dalam Go- Shuishuu. Ciri-ciri dari Go- Shuishuu adalah puisinya banyak mengungkapkan tentang keindahan alam Jepang yang subur, menyegarkan, dan menyejukkan.

Pada saat penyusunan Go- Shuishuu, sebenarnya banyak pengarang yang menerbitkan karyanya sendiri dan tidak bercampur dengan Go- Shuishuu, seperti Minamoto no Toshiyori yang membuat buku puisi bernama Kinyo Wakashuu yang terbit pada tahun 1127, karyanya yang lain adalah Sanboku Kikashu yang terbit pada

(31)

tahun 1129. Pengarang lain yang menyusun buku sendiri adalah Fujiwara Akisuke, bukunya berjudul Shika Wakashuu (1151). Akisuke memadukan gaya lama dan baru dalam berpantun. Dalam Shika Wakashuu banyak terdapaat karya Izumi Shikibu dan Yoshitada.

Kemudian setelah itu muncul buku kumpulan Senzaishuu yang didalamnya berisi puisi dari Yoshitada yang selanjutnya dikembangkan oleh Minamoto no Toshiyori. Penyusunnya adalah Fujiwara no Shunzei atas perintah dari Kaisar Go- Shirakawa. Ini adalah buku kumpulan pusi terakhir pada zaman Heian. Kaisar berikutnya, Kaisar Shutoku tidak berkonsentrasi pada sastra, karena pada saat itu sedang terjadi transisi dari zaman Heian ke zaman Kamakura. Fujiwara no Shunzei menginginkan agar puisi pada saat itu bergaya Yugentai, yaitu keindahan yang bersifat abstrak. Yugentai kemudian masuk ke dalam cerita dan drama Jepang, contohnya drama Noh.

Selain penyusunan buku kumpulan puisi yang banyak dibuat pada zaman Heian, juga berkembang Utaai, yaitu kontes pembacaan waka yang dikembangkan di tengah-tengah periode Heian. Hal ini dimulai pada masa pemerintahan kaisar Uda, ayah dari kaisar Daigo yang memerintahkan penyusunan Kokin Wakashuu . Kontes ini adalah pertempuran antara dua tim yang bertarung dengan membacakan puisi sesuai dengan tema yang diperlombakan. Tim dengan skor tertinggi akan memenangkan kontes dan menerima hadiah tertentu, dan puisi karya pemenang akan dimasukkan ke dalam koleksi kekaisaran. Pada zaman ini terdapat sekolah menulis waka yang dipimpin oleh Fujiwara no Shunzei dan kemudian dilanjutkan anaknya

(32)

Fujiwara no Teika. Karya puisi mereka sangat terkenal dan terdapat dalam Shinkokin Wakashuu , buku kumpulan puisi yang muncul pada zaman Kamakura.

Pada zaman ini beberapa gerakan baru puisi muncul. Yang pertama adalah Imayo (gaya baru). Imayo terdiri dari empat baris dalam 8-5 (atau 7-5) silabel.

Biasanya diikuti dengan musik dan tarian. Penari perempuan yang dikenal sebagai Shirabyoshi berdansa diiringi oleh Imayo. Karya-karya Imayo dikumpulkan dalam buku kumpulan puisi, Ryojin Hisho. Walaupun sebenarnya bahwa perempuan dan rakyat jelata dianggap menjadi pendukung genre ini, tetapi kaisar Go – Shirakawa terkenal akan penguasaan Imayonya.

Pada zaman Kamakura yang berlangsung dari tahun 1185 sampai dengan 1333, masih terdapat pengaruh dari zaman Heian. Ada yang disebut roppyakuban Utaawase yang kemudian banyak ditampilkan dan dibukukan. Ada juga yang disebut Sengohyakuban Utaawase. Di zaman Kamakura pula muncul buku kumpulan pusi yang berjudul Shinkokin Wakashuu yang terdiri dari kira-kira 20 jilid dan berisi 2000 sajak. Sebagian besar diambil dari Utaawase yang sebagian puisi berupa puisi dari zaman Heian dan hanya sedikit yang berasal dari zaman Kamakura disebabkan konsdisi zaman tersebut yang tidak kondusif. Ciri-ciri Shinkokin Wakashuu adalah :

- Terdiri sekitar 20 jilid, - Berisi kira-kira 2000 puisi,

- Tulisannya memakai huruf Kana dan Kanji,

- Memiliki keteraturan dalam penyusunan puisi disbanding Manyoushuu dan Kokinshu,

(33)

- Puisi-puisi dalam Shinkokin Wakashuu harus memiliki gaya. Ada dua jenis gaya yang dominan, yaitu :

- Gaya Yugen ( gaya abstrak, indah, dan elegan ),

- Gaya Ushin ( gaya yang mendekati realitas), pelopor gaya ini adalah Fujiwara Sadaide, anak dari Fujiwara Shunzei.

Penyair-penyair yang terkenal dalam Shinkokin Wakashuu adalah : 1) Saigyo

2) Jien

3) Fujiwara Yoshitsune 4) Fujiwara Shunzei 5) Shinno

6) Fujiwara Ietaka 7) Zakuren

8) Gotoba Tennou (mantan kaisar) 9) Fujiwara Teika

10) Minamoto no Sanetomo

Penyair yang paling popular pada masa itu adalah Fujiwara Ietaka, Fujiwara Teika, Jien dan Minamoto Sanetomo.

Selain Shinkokin Wakashuu, pada zaman Chusei ada beberapa buku kumpulan puisi lainnya, diantaranya adalah Shinechokusen Wakashuu , yang merupakan buku khusus berisikan puisi-puisi karya Fuiwara Teika. Buku kumpulan puisi lain yang ada pada zaman Chusei adalah Gyokuyoshuu dan Fugashuu. Gyokuyoshuu adalah

(34)

kumpulan puisi yang disusun oleh Tamekane yang merupakan salah satu penyair dari kelompok Kyogoku. Karya Gyokuyoshuu banyak bersifat realism. Gyokuyoshuu disusun atas perintah kaisar Fushimi. Sementara Fugashuu dikarang oleh Hanasono Joko. Perpuisian terus berkembang dan pada pertengahan zaman Muromachi muncul penyair yang membentuk puisi dengan gaya baru bernama renga.

Pada zaman Edo ( 1603 – 1867 ) yang kehidupannya didominasi oleh kaum pedagang, muncul variasi baru dari renga yaitu haikai atau renku atau tepatnya haikai no renga yang dikembangkan oleh Matsunaga Teitoku. Penyair lain yang terkenal pada zaman ini adalah Matsuo Basho . basho mengembangkan haya penulisan haikai dengan hanya menulis sajak pembuka yaitu tiga baris awal dari haikai yaitu hokku yang memiliki pola 5 -7 - 5 menjadi suatu aliran tersendiri.

Di zaman modern sekarang ini, sebuah gelombang baru diperkenalkan oleh orang barat kepada dunia perpuisian Jepang. Jenis puisi baru dari barat ini dianggap oleh orang Jepang sebagai puisi yang memiliki bentuk tanpa batas. Jenis puisi ini terbagi atas dua, yaitu: Shintai Shi ( puisi baru ), dan Jiyu Shi ( puisi bebas ). Mereka masih mengandalkan pola 5-7-5 namun sangat dipengaruhi oleh bentuk dan motif puisi dari barat. Dengan perkembangan ini, puisi China ( Kanshi ) perlahan-lahan menghilang dari duni perpuisian Jepang, karena pengaruh puisi dari barat. Sejak perang dunia kedua, penyair dan kritikus telah menggunakan nama Gendai Shi (Puisi Kontemporer). Penyair Masaoka Shiki memperkenalkan nama baru untuk aliran hokku yang sebelumnya tidak memiliki nama yaitu Haiku. Ia meletakkan dasar pada perkembangan puisi ini pada zaman modern. Ia dan penyair puisi tradisonal lainnya

(35)

berusaha mempopulerkannya dengan berbagai cara seperti penerbitan majalah yang membahas mengenai haiku, mengadakan kontes menulis haiku, dan lain-lain.

Meskipun Haiku merupakan puisi Jepang yang sangat populer pada dewasa ini, namun eksistensi waka masih dilestarikan oleh masyarakat Jepang bahkan oleh negara-negara lain. Hal ini dapat dilihat dari adanya perkumpulan pecinta Waka di Jepang yang masih menulis waka dan membagikannya kepada komunitas pecinta waka melalui media internet.

2.2 Jenis – Jenis Waka

1. Katauta (arti harfiah: sajak setengah)

Katauta terdiri dari 3 baris dengan pola mora: 5-7-7, dan merupakan setengah bagian dari puisi dua bagian yang disebut sedouka.

2. Sedouka

Bentuk puisi dua bagian dengan pola mora 5-7-7 dan 5-7-7, atau dua bagian katauta. Sebagian besar isinya mengenai tanya-jawab.

3. Chouka

Bentuk puisi dengan pola mora 5-7, 5-7, .., 5-7, dan 7. Bagian 5-7 diulang lebih dari 3 kali, dan ditutup dengan 7 mora. Dalam Manyoushuu terdapat banyak sekali bentuk puisi seperti ini, namun sekarang tidak lagi ditulis orang.

Ketika dibacakan di muka umum, chouka sering disertai dengan hanka.

4. Tanka

Bentuk puisi dengan pola mora 5-7-5-7-7. Di kemudian hari, tanka dibagi menjadi dua bagian: 5-7-5 dan 7-7, dan tercipta renga dan haikai.

(36)

5. Bussokusekika

Bentuk puisi dengan pola mora 5-7, 5-7, 7-7.

6. Imayou

Bentuk puisi dengan pola mora 7-5, 7-5, 7-5, 7-5, dan berasal dari pertengahan zaman Heian.

7. Jinku (dodoitsu)

Bentuk puisi dengan pola mora 7-7, 7-5. Bentuk puisi ini berasal dari zaman Edo, dan banyak digunakan sebagai lirik minyou di berbagai tempat di Jepang.

Kedalam puisi ini sering dimasukkan ungkapan kegembiraan (hayashi kotoba).

2.3 Penyair Waka pada Novel Purple Heart Affair

Bila membahas waka, maka tak bisa lepas dari penyairnya. Berikut ini merupakan penyair-penyair waka yang terdapat pada novel Purple Heart Affair:

1. Otomo Yakamochi (大伴家持)

Otomo Yakamochi adalah penyair pada akhir zaman Nara. Ia diyakini sangat terlibat dalam penyuntingan naskah Manyoshuu. Dari sekitar 4500 puisi waka yang terdapat dalam Manyoshuu, sekitar 470 puisi yang paling sering dibaca adalah milik Yakamochi. Ayahnya, yaitu Otomo No Tabito, dan bibinya, Otomo No Sakano Ueno Iratsume, juga merupakan penyair kenamaan pada Manyoshuu. Maka tak heran lagi Yakamochi juga mewarisi bakat itu.

(37)

2. Ariwara No Narihira (在原業平)

Ariwara No Narihira merupakan penyair kenamaan di awal zaman Heian.

Selain terkenal akan ketampanannya, berkat kakeknya yang seorang kaisar, ia pun memiliki silsilah keluarga yang baik. Ise monogatari adalah kumpulan cerita pendek yang berfokus pada waka, yang menceritakan tentang seorang tokoh pria. Karena banyak waka yang dikutip dari karya Narihira, ia kemudian dianggap sebagai tokoh dalam kisah tersebut. Dalam puisi waka, Narihira digambarkan sebagai Sono kokoro amarite kotoba tarazu.

Maksudnya, ‘ karena terlalu baiknya hingga tak dapat dilukiskan dengan kata- kata dalam puisi waka.’ Selain itu, ia juga orang yang yang sangat bersemangat.

3. Ono No Komachi (小野小町)

Ono No Komachi adalah seorang penyair wanita pada awal zamsn Heian. Di dalam Kokin Wakashuu memang terdapat banyak puisi wanita. Ia merupakan kecantikan yang tak tertandingi di Jepang. Bersama Cleopatra di Mesir dan Yang Guifei di China, mereka bertiga disebut sebagai ‘tiga wanita tercantik di dunia’. Dalam percakapan “Komachi“ dipakai untuk menyebutkan seorang wanita yang cantik. Ada juga teori yang menyebutkan bahwa Ono No Komachi adalah cinta sejati Ariwara no Narihira. Puisi khas Ono No Komachi banyak yang bertemakan cinta dan mimpi. Ada 6 ahli waka pada awal zaman Heian yang disebut sebagai rokkasen. Ono no Komachi dan Ariwara No Narihira termasuk didalamnya.

(38)

4. Murasaki Shikibu (紫式部)

Murasaki Shikibu adalah pengarang Genji Monogatari yang merupakan novel tertua di dunia dan sangat terkenal. Pada zaman Heian, nama asli wanita dari kalangan biasa tidak diteruskan kepada keturunannya. Murasaki Shikibu pun bukanlah nama asli sang pengarang, melainkan nama panggilan yang diberikan saat dia melayani di istana. Murasaki Noue, yang merupakan nama tokoh wanita dalam Genji Monogatari, dipercaya diambil dari peringkat resmi ayahnya. Konon, karena berasal dari keluarga Fujiwara, dia pun memakai nama Tono Shikibu untuk melayani kerajaan.

5. Daigo Tennou (醍醐天皇)

Daigo Tennou adalah Kaisar ke 60 pada zaman Heian. Ia adalah putra pertama dari Kaisar Uda. Daigo Tennou merupakan salah satu Kaisar yang sangat fokus terhadap perkembangan waka. Ia sendiri telah banyak membuat syair waka. Pada masa pemerintahannya, ia memerintahkan untuk mengumpulkan waka dan mengeditnya kedalam buku kumpulan waka yang dikenal sebagai Kokin Wakashuu.

6. Sakyo No Daibu Michimasa (左京大夫道雅)

Sakyo No Daibu Michimasa memiliki nama asli Fujiwara no Michimasa. Ia merupakan penyair waka pada pertengahan zaman Heian. Ia merupakan salah satu dari 30 orang penulis waka yang terkenal di zamannya. Waka karyanya banyak dimuat kedalam buku kumpulan Goshuui wakashuu dan Ogura Hyakunin Isshuu. Di usia senjanya, ia menyelenggarakan kontes membuat

(39)

waka yang berlangsung di kediaman Hachijo, yang disebut dengan nama Sakyo Daibu Hachijosan Souji Wakago .

2.4 Novel

Istilah novel berasal dari bahasa Itali novella, yang mengandung makna harfiah sebuah barang baru yang kecil, yang kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2009: 9). Lebih jauh, Scholes dalam Junus (1984: 121) menambahkan bahwa novel adalah sebuah cerita yang berkaitan dengan peristiwa nyata, atau fiksional yang dibayangkan pengarang melalui pengamatannya terhadap realitas.

Berdasarkan asal pengarang dan bahasa yang digunakan, novel dapat dibedakan menjadi novel asli suatu negara dan novel hasil terjemahan. Di Indonesia, dikenal novel Indonesia dan novel terjemahan. Novel Indonesia adalah novel yang dikarang oleh pengarang berkebangsaan Indonesia atau novel yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Misalnya, novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli , Perahu Kertas karya Dewi Lestari, atau Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata. Adapun novel terjemahan adalah novel yang ditulis dalam bahasa asing oleh pengarang berkebangsaan asing yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Novel terjemahan yang ada di Indonesia biasanya berasal dari bahasa Inggris, Arab, Jepang, Perancis, dan lain-lain. Novel terjemahan memungkinkan pembaca di Indonesia mengenali karya sastra yang berasal dari negara lain. Dengan demikian, pembaca dapat memahami kebudayaan negara lain sebagaimana tercermin di dalam novel tersebut.

(40)

Sebagai suatu karya sastra, novel (baik novel Indonesia maupun novel terjemahan) terdiri atas unsur-unsur yang membangun keseluruhan cerita. Unsur- unsur yang membangun cerita dari dalam novel itu sendiri disebut dengan unsur intrinsik, sedangkan unsur-unsur yang membangun cerita dari luar novel disebut dengan unsur ekstrinsik.

Unsur Ekstrinsik menurut Nurgiyantoro (2009: 23) adalah unsur yang berada di luar karya fiksi yang mempengaruhi lahirnya karya namun tidak menjadi bagian di dalam karya fiksi itu sendiri. Sebelumnya Wellek dan Warren dalam Nurgiyantoro (2009: 23) juga berpendapat bahwa unsur ektrinsik merupakan keadaan subjektivitas pengarang yang tentang sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang melatarbelakangi lahirnya suatu karya fiksi, dapat dikatakan unsur biografi pengarang menentukan ciri karya yang akan dihasilkan.

Unsur Intrinsik merupakan unsur pembangun karya sastra yang berasal dari dalam karya itu sendiri. Pada novel unsur intrinsik itu berupa, tema, plot, penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Berikut ini merupakan unsur-unsur intrinsik novel.

A. Tema

Tema merupakan dasar cerita atau gagasan umum dari sebuah novel (Nurgiyantoro, 2009: 70). Stanton dalam Nurgiyantoro (2009: 70) menjelaskan bahwa tema dapat juga disebut ide utama atau tujuan utama. Berdasarkan dasar cerita atau ide utama, pengarang akan mengembangkan cerita. Oleh karena itu, dalam suatu novel akan terdapat satu tema pokok dan sub-subtema. Pembaca harus mampu menentukan tema pokok dari suatu novel. Tema pokok adalah tema yang dapat

(41)

memenuhi atau mencakup isi dari keseluruhan cerita. Tema pokok yang merupakan makna keseluruhan cerita tidak tersembunyi, namun terhalangi dengan cerita-cerita yang mendukung tema tersebut. Maka pembaca harus dapat mengidentifikasi dari setiap cerita dan mampu memisahkan antara tema pokok dan sub-subtema atau tema tambahan.

Tema menurut Nurgiyantoro (2009: 77) dapat digolongkan menjadi dua, tema tradisional dan nontradisional. Tema tradisional adalah tema yang biasa atau sudah diketahui secara umum oleh masyarakat. Tema ini banyak digunakan dalam berbagai cerita seperti, kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, kawan sejati adalah kawan di masa duka atau setelah menderita orang baru mengingat Tuhan. Tema tradisional bersifat universal dan novel-novel serius sering menggunakan tema tradisional dalam menyajikan kisah-kisahnya. Tema selanjutnya adalah tema nontradisional. Tema nontradisional adalah lawan dari tema tradisional yang artinya tema yang tidak sesuai dengan harapan pembaca atau melawan arus. Pada dasarnya pembaca menggemari hal-hal yang baik, jujur, kesatria, atau sosok protagonis harus selalu menang, namun pada tema nontradisional tidak seperti itu.

B. Plot

Plot merupakan hubungan antarperistiwa yang bersifat sebab akibat, tidak hanya jalinan peristiwa secara kronologis (Nurgiyantoro, 2009: 112). Stanton dalam Nurgiyantoro (2009: 113) juga berpendapat bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian yang di dalamnya terdapat hubungan sebab akibat. Suatu peristiwa disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Plot juga dapat berupa

(42)

cerminan atau perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, dan mengambil sikap terhadap masalah yang dihadapi.

Pengembangan plot dalam cerita didasarkan pada peristiwa, konflik, dan klimaks. Tiga unsur penentu plot ini memiliki keterkaitan yang rapat. Kemenarikan cerita tergantung dari ketiga unsur ini. Luxemburg dalam Nurgiyantoro (2009: 117) menjelaskan bahwa peristiwa adalah peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain.

Peristiwa juga dapat dibagi menjadi tiga, yaitu peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan.

Peristiwa fungsional adalah peristiwa yang menentukan atau mempengaruhi perkembangan plot. Keterjalinan peristiwa fungsional adalah inti cerita dari sebuah novel atau karya fiksi. Peristiwa kaitan adalah peristiwa yang berfungsi sebagai pengait peristiwa-peristiwa penting. Seperti perpindahan dari lingkungan satu ke lingkungan yang lain. Peristiwa yang terakhir adalah peristiwa acuan. Peristiwa acuan merupakan peristiwa yang berhubungan dengan kejelasan perwatakan atau suasana yang terjadi di batin seorang tokoh dalam cerita (Nurgiyantoro, 2009: 116).

Unsur penentu plot berikutnya adalah konflik. Konflik menurut Wellek dan Warren dalam Nurgiyantoro (2009: 122) sesuatu yang dramatik dan mengarah pada pertarungan antara dua kekuatan serta menyiratkan aksi-aksi balasan. Konflik merupakan peristiwa, peristiwa-peristiwa berikut dapat konflik eksternal dan konflik internal. Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi pada seorang tokoh dengan sesuatu yang berada di luar dirinya. Konflik eksternal dapat dibagi menjadi dua, yaitu konflik fisik dan konflik sosial. Konflik fisik adalah konflik yang ditandai dengan adanya permasalahan seorang tokoh dengan lingkungan alam. Sedangkan konflik

(43)

sosial adalah konflik yang muncul karena adanya permasalahan dengan tokoh lain atau permasalahan yang berkenaan dengan hubungan antarmanusia.

Unsur penentu plot yang terakhir adalah klimaks. Klimaks merupakan bagian dari konflik. Pertemuan konflik yang terjadi dalam cerita, apapun jenisnya ketika sampai pada titik puncak akan menyebabkan klimaks (Nurgiyantoro, 2009: 126).

Dalam plot terdapat kaidah yang harus dipenuhi, yaitu plausibilitas (plausibility), kejutan (surprise), rasa ingin tahu (suspense), dan kepaduan (unity). Beberapa unsur tersebut berfungsi untuk pengembangan plot dan membawa pembaca kepada fakta di dalam cerita serta memikat agar pembaca menuntaskan ceritanya.

Kaidah plot yang pertama adalah plausibilitas. Plausibilitas adalah sifat cerita yang disajikan dalam novel atau karya fiksi yang dapat dipercaya oleh pembaca. Sifat plausibilitas muncul jika hal-hal yang ada dalam cerita dapat diimajinasikan dan dipertanggungjawabkan. Plausibilitas dalam cerita bisa didapatkan dengan mengaitkan realitas di kehidupan nyata atau kreativitas imajinatif pengarang tetap dengan syarat, dapat dipertanggungjawabkan (Stanton dalam Nurgiyantoro, 2009:

131).

Suspense dalam plot merupakan unsur yang mampu membangkitkan rasa ingin tahu pembaca terhadap novel atau karya fiksi. Ketika pembaca menikmatai kisah yang disajikan dan enggan berhenti, hal itu menandakan unsur suspense dalam karya fiksi tersebut terjaga dan selalu menarik keingintahuan pembacanya. Unsur suspense biasanya berada pada perasaan pembaca yang tidak mengetahui atau bimbang dalam menentukan kelanjutan cerita (Nurgiyantoro, 2009: 134).

(44)

Unsur surprise dalam plot merupakan unsur yang berdampingan dengan suspense.

Abrams dalam Nurgiyantoro (2009: 136) menyatakan bahwa surprise adalah unsur yang bersifat mengejutkan dan pada umumnya menyimpang atau bertentangan dengan harapan pembaca. Berdasarkan hal tersebut pembaca akan tetap setia dan menyelesaikan karya fiksi tersebut.

Unsur yang terakhir dalam kaidah pemplotan adalah unity. Unity atau kesatupaduan kaidah pemplotan adalah aspek keterjalinan yang padu antara unsur- unsur yang disajikan, seperti peristiwa-peristiwa, konflik-konflik, dan seluruh pengalaman kehidupan yang harus memiliki keterkaitan satu sama lain.

Plot atau alur dapat dibedakan menjadi beberapa kriteria seperti urutan waktu, jumlah, dan kepadatan. Kriteria-kriteria tersebut tidak terlepas dari unsur-unsur pembentuk plot sebelumnya melainkan ada didalam kriteria-kriteria tersebut.

1. Kriteria Plot Berdasarkan Urutan Waktu

Kriteria plot berdasarkan urutan waktu merupakan teknik yang digunakan pengarang untuk menyajikan urutan peristiwa dalam cerita berdasarkan urutan waktu kejadian. Dalam kriteria plot yang terkait dengan urutan waktu ini, plot dibagi menjadi dua jenis, kronologis dan tak kronologis. Kronologis dapat disebut pula plot progresif, lurus, atau maju. Plot tak kronologis dapat disebut pula plot regresif, sorot balik, mundur, dan campuran. Plot progresif atau kronologis merupakan plot yang mengisahkan peristiwa-peristiwa dengan ditandai adanya sebab dan akibat atau diceritakan secara runtut dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan, dan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian). Karya fiksi yang menggunakan jenis plot ini cenderung mudah diikuti

(45)

jalan ceritanya karena sifatnya yang sederhana dan tidak berbelit-belit (Nurgiyantoro, 2009: 154). Berbeda dengan plot progresif, plot regresif adalah plot yang urutan kejadiannya diceritakan tidak kronologis, cerita dalam novel dapat dimulai dari tahap tengah maupun akhir. Plot seperti ini langsung membawa pembaca pada kejadian yang tidak diketahui asalnya. Biasanya plot jenis ini lebih tegas menceritakan dengan menghilangkan bagian-bagian yang tidak perlu. Sehingga pembaca lebih memiliki ketertarikan untk mengetahui kelanjutan cerita yang mengarah pada sebab atau awal cerita. Plot berdasarkan urutan waktu yang terakhir adalah plot campuran. Plot campuran adalah plot yang menyusun cerita dengan tidak maju maupun mundur. Plot campuran dalam peenyusunan cerita tidak mutlak mundur namun tidak juga kronologis. Cerita disajikan dapat dimulai dari tahap tengah dengan cerita yang tidak penuh, lalu tahap awal sebagian, kembali ke tahap tengah, lalu ke awal, kemudian tahap akhir. Hal tersebut hanya sebagai contoh. Pengarang dapat berkreasi dalam menentukan alur untuk menarik selera pembacanya.

2. Kriteria Plot Berdasarkan Jumlah

Kriteria plot berdasarkan jumlah adalah banyaknya plot yang terdapat pada sebuah karya fiksi. Dalam karya fiksi bisa terdapat satu plot atau mengandung beberapa plot. Berdasarkan kriteria jumlah, plot dibedakan menjadi dua, yaitu plot tunggal dan sub-subplot. Plot tunggal merupakan plot yang biasanya hanya mengembangkan satu cerita dengan seorang tokoh protagonis. Plot jenis ini hanya menyoroti satu tokoh dengan permasalahan-permasalahannya. Kehadiran disetiap konflik harus dihadiri oleh tokoh protagonis. Plot yang berikutnya adalah plot sub- subplot. Pada plot ini karya fiksi menyajikan plot atau alur yang lebih dari satu.

(46)

Dalam cerita akan terdapat satu plot utama dengan satu atau lebih plot tambahan. Plot tambahan atau subplot ini adalah bagian dari plot utama yang bersifat memperjelas dan memperluas pandangan pembaca terhadap plot utama dengan mendukung keseluruhan cerita (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2009: 158).

3. Kriteria Plot Berdasarkan Tingkat Kepadatan

Plot ini merupakan plot yang menjelaskan sebuah karya fiksi tentang bagaimana tingkat kepadatan atau keterjalinan cerita dalam sebuah karya fiksi. Pada kriteria plot berdasarkan kepadatannya, plot dibagi menjadi dua, tingkat kepadatan/

kerapatan dan longgar/ renggang. Berikut ulasan tentang plot berdasarkan tingkat kepadatannya. Plot padat atau rapat adalah plot yang menyajikan peristiwa secara cepat dan bersifat fungsional. Peristiwa-peristiwa yang terjalin dalam plot ini tidak dapat dipenggal atau dihilangkan karena sifatnya yang fungsional tinggi, sehingga jika satu peristiwa saja dihilangkan, pembaca akan kehilangan cerita, tidak memahami sebab akibat, bahkan tidak dapat mengerti isi keseluruhan cerita (Nurgiyantoro, 2009: 159). Plot longgar atau renggang adalah plot yang menyajikan pergantian peristiwa dengan lambat dan memiliki hubungan antar peristiwa yang tidak erat. Plot longgar ditandai dengan adanya sela pada keterjalinan peristiwa sehingga dapat disisipi oleh peristiwa tambahan.

C. Penokohan

Penokohan dalam novel adalah unsur yang sama pentingnya dengan unsur- unsur yang lain. Penokohan adalah teknik bagaimana pengarang menampilkan tokoh- tokoh dalam cerita sehingga dapat diketahui karakter atau sifat para tokoh

(47)

(Siswandarti, 2009: 44). Unsur penokohan mencakup pada tokoh, perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam cerita (Nurgiyantoro, 2009: 166).

Tokoh rekaan dalam sebuah karya fiksi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Pembedaan tersebut didasarkan pada sudut pandang dan tinjauan seperti, tokoh utama, tokoh protagonis, tokoh berkembang, dan tokoh tipikal.

1) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel.

Tokoh yang paling banyak diceritakan, sering hadir dalam setiap kejadian, dan berhubungan erat dengan tokoh-tokoh lain. Tokoh utama kemungkinan ada lebih dari satu dalam sebuah novel. Kadar keutamaannya ditentukan dengan dominasi penceritaan dan perkembangan plot secara utuh. Sedangkan tokoh tambahan merupakan lawan dari tokoh utama. Tokoh tambahan lebih sedikit pemunculannya dalam cerita dan kehadirannya hanya ada permasalahan yang terkait tokoh utama (Nurgiyantoro, 2009: 177).

2) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Berdasarkan fungsi penampilannya dalam cerita tokoh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh protagonis dan antagonis. Altenberd dan Lewis dalam Nurgiyantoro (2009: 178) mengemukakan bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi dan sering dijadikan pahlawan yang taat dengan norma-norma, nilai-nilai sesuai dengan konvensi masyarakat. Berbeda dengan Protagonis, tokoh antagonis merupakan tokoh yang menjadi lawan dari tokoh protagonis. Tokoh antagonis tidak banyak digemari karena banyak menganut nilai-nilai penyimpangan.

(48)

3) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu perwatakan tertentu, kepribadian yang tunggal, dan tidak memungkinkan terjadi perubahan pandangan tentang sifat yang yelah dianutnya. Tokoh sederhana mudah diidentifikasi oleh pembaca karena kedataran sifat dari tokoh tertentu ketika menghadapi permasalahan (Nurgiyantoro, 2009: 182).

4) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang

Berdasarkan berkembang atau tidaknya perwatakan pada tokoh-tokoh dalam cerita, tokoh dibedakan menjadi tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh yang tidak mengalami perubahan watak walaupun menghadapi permasalahan-permasalahan dalam cerita (Altenberd dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 2009: 188). Tokoh berkembang adalah tokoh yang memiliki perkembangan watak sesuai dengan peristiwa dan alur cerita yang mempengaruhi tokoh tersebut (Nurgiyantoro, 2009: 188). Nurgiyantoro (2009: 189) menjelaskan bahwa pada tokoh statis terdapat dua tokoh, yaitu tokoh hitam dan putih. Tokoh hitam yang dimaksud adalah tokoh yang berwatak jahat dan tokoh putih adalah tokoh yang berwatak baik.

Kedua tokoh tersebut dari awal kemunculan hingga akhir memiliki watak maupun penyikapan yang tetap dan saling berlawanan.

5) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral

Berdasarkan pencerminan tokoh dalam cerita, tokoh dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal adalah tokoh yang dicerminkan melalui status sosialnya seperti profesi, kebangsaan, dan sesuatu yang terkait dengan lembaga atau yang menggambarkan eksistensinya (Altenberd dan Lewis dalam

(49)

Nurgiyantoro, 2009: 190). Tokoh netral adalah tokoh yang hadir dalam cerita tanpa ada unsur keterkaitan status yang ada pada seseorang di dunia nyata. Kehadirannya berupa pelaku murni imajinasi pengarang dan yang mempunyai cerita dalam novel (Nurgiyantoro, 2009: 191). Dalam karya fiksi terdapat beberapa teknik pelukisan tokoh. Pelukisan tokoh menurut Nurgiyantoro (2009: 194) adalah sarana untuk menggambarkan perwatakan para tokoh cerita dengan mempertimbangkan aspek keartistikan, menyeluruh, dan padu. Pengarang harus memilih bagaimana menggambarkan jenis dan perwatakan tokoh dalam cerita sehingga mencapai beberapa pertimbangan tersebut.

D. Latar

Latar menurut Abrams dalam Nurgiantoro (2009: 216) adalah landasan atau tumpuan yang memiliki pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Siswandarti (2009: 44) juga menegaskan bahwa latar adalah pelukisan tempat, waktu, dan situasi atau suasana terjadinya suatu peristiwa. Berdasarkan pengertian tersebut latar dapat disimpulkan sebagai pelukisan tempat, waktu, dan suasana pada suatu peristiwa yang ada di cerita fiksi.

Menurut Nurgiyantoro (2009: 220) latar dibedakan menjadi dua, latar netral dan latar tipikal. Latar netral merupakan latar yang tidak mendeskripsikan secara khas dan tidak memiliki sifat fungsional. Latar netral tidak menjelaskan secara pasti cerita terjadi dimana, kapan, dan dalam lingkungan sosial yang seperti apa. Contoh latar netral seperti di desa, kota, hutan, suatu waktu, dan lain sebagainya. Lain halnya

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menganalisa pengaruh-pengaruh aliran yang terjadi pada pipa dapat menggunakan bantuan program Cosmos Flowork, sedangkan dengan menggunakan program Cosmos Work analisis pipa

Dari grafik di atas dapat terlihat bahwa kemampuan maksimum benda uji ditarik berada pada komposisi 8:8 yakni berada pada 3058,6 kPa, ini menunjukkan bahwa

Hasil penelitian ini adalah dari survei terhadap 17 responden didapatkan hasil sebagai berikut : segi latar belakang 76,47% responden termasuk kategori baik,

Secara sederhana, yang dimaksud dengan hasil belajar siswa adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Karena belajar itu sendiri

Skripsi yang saya buat ini buka skripsi yang pernah diajukan di suatu perguruan tinggi manapun, atau karya yang pernah diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara

Metode penelitian kualitatif menurut Sugiyono (2016:9) adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen)

Jika bawahan dapat melakukan pekerjaan dengan baik, maka pemimpin memberikan pengakuan melalui pujian, hadiah (reward and punishment) atau keuntungan – keuntungan

yang kemudian dimanfaatkan secara besar untuk dapat membuat Sistem informasi.. yang mampu menjangkau seluruh dunia dan terdistribusi