TINJAUAN YURIDIS KLAIM ASURANSI JIWA TERHADAP TERTANGGUNG YANG MENGIDAP PENYAKIT KRITIS
MENURUT UNDANG-UNDANG NO 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN
JURNAL ILMIAH
Oleh : NIKEN MULYA
D1A 016 226
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
2020
TINJAUAN YURIDIS KLAIM ASURANSI JIWA TERHADAP TERTANGGUNG YANG MENGIDAP PENYAKIT KRITIS
MENURUT UNDANG-UNDANG NO 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN
JURNAL ILMIAH
Oleh : NIKEN MULYA
D1A 016 226
Menyetujui, Pembimbing Utama,
(Dr. H. Muhaimin, SH., M.Hum.)
NIP. 19761001 200112 1 001
NIKEN MULYA D1A016226
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaturan pengajuan klaim asuransi jiwa terhadap tertanggung yang mengidap penyakit kritis dan perlindungan hukum dalam upaya pengajuan klaim terhadap tertanggung yang mengidap penyakit kritis menurut Undang-Undang No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Jenis penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif. Hasil penelitian yang Pertama, berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perasuransian belum ada pengaturan yang mengatur secara jelas tentang pengajuan klaim asuransi jiwa terhadap tertanggung yang mengidap penyakit kritis. Kemudian hasil dari penelitian Kedua, bahwa sudah ada pengaturan secara umum tentang perlindungan hukum baik secara preventif maupun represif di dalam Peraturan Perundang- Undangan tentang Perasuransian. Dan perlu peningkatan kemampuan Aparat Otoritas Jasa Keuangan dalam hal pengawasan terhadap perlindungan dan kepentingan tertanggung yang mengidap penyakit kritis dalam upaya pengajuan klaim asuransi.
Kata Kunci : Asuransi Jiwa, Penyakit Kritis, Perlindungan Hukum
REVIEW OF LIFE INSURANCE CLAIMS OF THE INSURED WHO HAVE CRITICAL DISEASE ACCORDING TO LAW NO.40 OF 2014
CONCERNING INSURANCE
ABSTRACT
This study aims to explain the arrangements for filing a life insurance claim against an insured with a critical illness and legal protection in an effort to file claims for an insured with a critical illness according to Law No. 40 of 2014 concerning Insurance. This type of research is normative legal research. The first result of this research is that the arrangements for filing a life insurance claim against the insured as a policy holder has not been described in Law No. 40 of 2014 regarding Insurance Policies. Then the results of the second study, namely legal protection in an effort to file life insurance claims for the insured with a critical illness. Therefore it is necessary to increase the ability of the Financial Services Authority in terms of supervision of the protection and interests of the insured with a critical illness.
Keywords: Life Insurance, Critical Illness, Legal Protection
I. PENDAHULUAN
Asuransi merupakan suatu perlindungan atau proteksi yang berperan penting pada saat sekarang ini. Asuransi dapat memberikan perlindungan bagi kesehatan, pendidikan, harta benda, hari tua maupun kematian. Seperti yang kita ketahui keadaan tidak pasti terhadap kemungkinan yang dapat terjadi baik dalam bentuk atau peristiwa yang belum tentu menimbulkan rasa tidak aman yang lazim disebut sebagai risiko.1 Usaha dan upaya manusia untuk menghindari dan melimpahkan risikonya kepada pihak lain beserta proses pelimpahan sebagai suatu kegiatan itulah yang merupakan cikal bakal perasuransian yang dikelola sebagai suatu kegiatan ekonomi yang hingga saat ini telah berkembang dalam masyarakat yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan asuransi sosial.
Secara formal, definisi Asuransi berdasarkan Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian adalah :
“perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
(a) Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
(b) Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/
atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana”2
1 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 2
2 Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, LN No. 337 Tahun 2014, Pasal 1 (angka 1)
Penulis menganalisa satu contoh kasus asuransi jiwa yang terjadi di Indonesia. Perkara tersebut bermula ketika salah satu nasabah perusahaan asuransi jiwa dihadapkan pada kesulitan dalam hal pengajuan klaim asurasi jiwa dikarenakan penyakit kritis yang diderita tidak dijelaskan di dalam polis asuransi tersebut, disebabkan tidak adanya persyaratan untuk menyerahkan rekam medis nasabah oleh perusahaan asuransi. Sehingga dengan tidak tertuangnya penyakit yang dibuktikan dengan rekam medis nasabah di dalam polis asuransi tidak ada, maka mengakibatkan panjangnya proses pegajuan klaim asurasi dan menyebabkan tertundanya pengobatan nasabah serta merugikan nasabah selaku tertanggung atau pemegang polis.
Permasalahan tersebut menyadarkan kita bahwa penjelasan yang tertuang di dalam Undang-Undang No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dengan isi Polis pada Perjanjian Asuransi Jiwa mengenai pengaturan pengajuan klaim asuransi serta perlindungan hukum yang diberikan terhadap anggota masyarakat pemakai jasa asuransi tersebut masih belum sesuai sehingga belum cukup memberikan kepastian hukum yang seperti apa dan bagaimana pelaksanaannya bagi masyarakat pemakai jasa asuransi. Maka untuk mengatasi masalah tersebut harus adanya penyesuaian antara dasar hukum yang menjadi landasan bagi masyarakat dengan kenyataan di lapangan agar memiliki korelasi yang kuat.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum yang berjudul, “Tinjauan Klaim Asuransi Jiwa Terhadap Tertanggung Yang Mengidap Penyakit Kritis Menurut Undang-Undang No 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian”.
Oleh karena itu penting untuk dilakukan penelitian terkait bagaimana pengaturan pengajuan klaim asuransi jiwa terhadap tertanggung yang mengidap penyakit kritis dan bagaimana perlindungan hukum bagi tertanggung yang mengidap penyakit kritis dalam upaya pengajuan klaim asuransi jiwa menurut Undang-Undang No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Dengan tujuan untuk menjelaskan pengajuan klaim asuransi jiwa terhadap tertanggung yang mengidap penyakit kritis dan perlindungan hukum bagi tertanggung yang mengidap penyakit kritis dalam upaya pengajuan klaim asuransi jiwa menurut Undang-Undang No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dimana penelitian hukum normatif adalah proses penelitian untuk meneliti dan mengkaji tentang hukum sebagai norma, aturan, asas hukum dan kepustakaan lainnya untuk menjawab permasalahan hukum yang diteliti.3 Selanjutnya digunakan dua macam metode pendekatan, yaitu Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach), dan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach).
3 Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, Mataram University Press, Mataram, 2020, hal.
47-48.
II. PEMBAHASAN
A. Pengaturan Pengajuan Klaim Asuransi Jiwa Terhadap Tertanggung Yang Mengidap Penyakit Kritis Menurut Undang-Undang No 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian
Asuransi jiwa adalah sebuah layanan asuransi yang digunakan sebagai bentuk perlindungan terhadap timbulnya risiko berupa kerugian finansial atau hilangnya pendapatan seseorang atau keluarga akibat adanya kematian anggota keluarga (tertanggung) yang biasanya menjadi sumber nafkah bagi keluarga tersebut dan dimaksudkan sebagai bentuk antisipasi.
Menurut Data Riset Kesehatan Dasar (Risdikes) Kementerian Kesehatan tahun 2018 mencatat, prevalensi tiga jenis penyakit kritis yaitu kanker, stroke dan jantung pada kelompok usia produktif yaitu usia 25-44 tahun semakin tinggi. Penyakit stroke, misalnya, prevalensinya mencapai 1,4% pada usia 25-34 tahun dan 3,7% pada usia 35-44 tahun per 1.000 penduduk Indonesia. Di tingkat global, menurut catatan The Institute for Health Metrics and Evaluation tahun 2016, penyebab kematian terbanyak
sejauh ini adalah penyakit berat seperti jantung dan stroke dengan persentase mencapai 32,3%.4
Maka dari itu perusahaan asuransi jiwa sudah seharusnya ikut mengambil peran tak hanya jika tertanggung meninggal dunia, karena kini tertanggung yang mengidap penyakit kritis juga perlu mendapatkan perhatian penting di dalam dunia perasuransian. Namun beberapa
4 https://www.allianz.co.id/explore/detail/perlukah-memiliki-asuransi-penyakit-kritis.
Diakses Pada Tanggal 20 September 2020
perusahaan asuransi jiwa masih belum memuat pengaturan terkait penyakit kritis secara rinci di dalam polis perjanjian Asuransi antara Tertanggung dan Penanggung yang disertai dengan lemahnya pengawasan terhadap praktik perusahaan Asuransi.
Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian berikut peraturan pelaksanaannya di dalam KUHD, KUHPerdata dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan:
1. Pengaturan Berdasarkan KUHD, KUH Perdata, dan Pengaturan diluar KUHD
a. Pengaturan Dalam KUH Perdata
Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan bahwa sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Suatu hal tertentu
4. Suatu Sebab yang halal b. Pengaturan di dalam KUHD
KUHD mengatur hukum asuransi dalam dua kelompok yaitu:
1. Pengaturan yang bersifat umum, terdapat dalam : Buku 1, Bab lX, tentang pertanggungan pada umumnya, meliputi Pasal 246 sampai dengan Pasal 286. Dalam pengaturan yang bersifat umum tersebut berlaku bagi semua jenis asuransi, baik yang diatur dalam KUHD maupun bagi yang diatur diluar KUHD.
2. Pengaturan yang bersifat khusus, terdapat dalam: buku I, bab X, tentang pertanggungan terhadap bahaya kebakaran, bahaya yang
mengancam hasil-hasil pertanian yang belum dipanen. dan tentang pertanggungan jiwa, meliputi Pasal 287 sampai dengan Pasal 308.
c. Pengaturan di luar KUHD
Diluar KUHD masih ada lagi pengaturan khusus yang diatur tersendiri dalam undang-undang, pengaturan pemerintah, atau perjanjian antara para pihak. Pengaturan khusus tersebut antara lain perjanjian perjanjian yang terjadi di dalam polis asuransi tersebut.
2. Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
Pengertian Asuransi Jiwa yang tercantum pada Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Usaha Perasuransian adalah sebagai berikut:
“Usaha Asuransi Jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana”5
Selain itu di dalam ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No.
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian menyebutkan bahwa perusahaan perasuransian wajib memenuhi standar perilaku usaha yang mencakup ketentuan mengenai;
a. polis;
5 Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, LN No. 337 Tahun 2014, Pasal. 1 (angka 6 ).
b. premi atau kontribusi;
c. underwriting dan pengenalan pemegang polis, tertanggung atau peserta;
d. penyelesaian klaim;
e. keahlian di bidang perasuransian;
f. distribusi atau pemasaran produk;
g. penanganan keluhan pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan h. standar lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan usaha.6 3. Peraturan OJK Nomor 23/POJK.05/2015 Tahun 2015 tentang
Produk Asuransi
Selain itu, Pasal 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.05/2015 Tahun 2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi tersebut di dalamnya mencakup beberapa poin penting yaitu Produk Asuransi harus memiliki:
1. Premi atau Kontribusi yang sesuai dengan manfaat yang dijanjikan, yang ditetapkan pada tingkat yang mencukupi, tidak berlebihan, dan tidak diterapkan secara diskriminatif; dan
2. Polis Asuransi yang tidak mengandung kata, frasa, atau kalimat yang dapat:
a. menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang ditutup, kewajiban Perusahaan dan kewajiban pemegang polis, tertanggung, atau peserta; dan/atau
b. mempersulit pemegang polis, tertanggung, atau peserta mengurus haknya.7
6 Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, LN No. 337 Tahun 2014, Pasal. 26 (huruf a-h ).
7 Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 23/POJK.05/2015, tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi, LN No. 287 Tahun 2015, Pasal 3 angka (1-2)
4. Peraturan OJK Nomor 69/POJK.05/2016 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah.
Sebagaimana dijabarkan di dalam Pasal 36 Peraturan OJK Nomor 69/POJK.05/2016 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah terkait penyelesaian klaim menyatakan bahwa:8
“Perusahaan atau Unit Syariah wajib memiliki pedoman penyelesaian klaim untuk produk yang dipasarkan, yang mencerminkan bahwa penanganan klaim telah dilakukan melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses, dan adil serta sesuai dengan praktik perasuransian yang berlaku umum”
Adapun poin penting terkait pengajuan klaim asuransi yang terdapat pada pengaturan-pengaturan tersebut diatas ialah terletak pada polis asuransi yang merupakan bukti perjanjian tertulis yang dilakukan oleh pihak perusahaan asuransi (penanggung) dengan nasabah pengguna layanan asuransi (tertanggung), yang isinya menjelaskan segala hak dan kewajiban antara kedua belah pihak tersebut. Polis asuransi akan menjadi bukti tertulis yang sah dalam perjanjian yang dilakukan oleh pihak penanggung dan pihak tertanggung.
Merujuk pada prosedur pengajuan klaim asuransi jiwa PT. AJ Manulife Value Protector Absolute, ditemukan bahwa tidak ada
8 Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah, LN No. 302 Tahun 2016, Pasal 36.
pengaturan secara khusus membahas terkait pengajuan klaim terhadap tertanggung yang mengidap penyakit kritis kemudian dalam hal penyertaan dokumen tidak menyebutkan penyerahan hasil cek kesehatan tertanggung dari Dokter sebagai salah satu syarat administratif yang harus ada dalam pengajuan polis asuransi, yang merupakan satu hal fundamental yang harus ada mengingat tidak ada yang tahu kemungkinan seseorang akan mengidap penyakit, yang berakhir dengan biaya yang tidak sedikit untuk perawatan. Sehingga dengan adanya penyerahan hasil cek kesehatan dari Dokter maka tertanggung dapat mengetahui kondisi awal kesehatannya dan mempermudah tertanggung di dalam menyesuaikan risiko yang ada dengan ketentuan di dalam Polis Asuransi.
B. Perlindungan Hukum Bagi Tertanggung Yang Mengidap Penyakit Kritis Dalam Upaya Pengajuan Klaim Asuransi Jiwa Menurut Undang-Undang No 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.
Perlindungan hukum diartikan sebagai suatu bentuk tindakan atau perbuatan hukum pemerintah yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan hak dan kewajibannya yang dilaksanakan berdasarkan hukum positif di Indonesia. Perlindungan hukum timbul karena adanya suatu hubungan hukum. Hubungan hukum adalah interaksi antara subjek hukum yang memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat hukum (timbulnya hak dan kewajiban).9
Adapun perlindungan hukum bagi tertanggung atau pemegang polis
9 Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 49
asuransi dibagi menjadi 2 bentuk yaitu perlindungan hukum Preventif dan perlindungan hukum Represif:
1. Perlindungan Hukum Preventif bagi Tertanggung atau Pemegang Polis
Pada perlindungan hukum preventif ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa yang diwujudkan dalam beberapa peraturan diantaranya:
a. Undang-Undang No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Undang-undang ini mengatur mengenai Perlindungan hukum yang diberikan ditujukan dengan menerapkan segenap keahlian, perhatian, dan kecermatan dalam melayani atau bertransaksi dengan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta termasuk pemberian informasi yang benar, dan akurat serta dapat dipertanggung jawabkan.
b. Peraturan OJK Nomor 1/POJK.05/2016 Tahun 2016 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
Peraturan ini menjelaskan mengenai tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, hal tersebut dilakukan dengan menerapkan prinsip transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data atau informasi Konsumen, penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau. Ketentuan-ketentuan dalam POJK No. 1/PJOK.07/2013 lebih banyak memberikan
perlindungan hukum bagi konsumen dibandingkan bagi pelaku usaha, termasuk dalam hubungan hukum perjanjian asuransi.
2. Perlindungan Hukum Represif bagi Tertanggung atau Pemegang Polis.
Perlindungan hukum represif ini bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Berikut isi pasal yang membahas perlindungan hukum secara Represif terkait penyelesaian sengketa bagi Tertanggung atau Pemegang Polis Asuransi:
Pasal 54 Undang-Undang No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian memuat pengaturan terkait Perlindungan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, yakni:
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib menjadi anggota lembaga mediasi yang berfungsi melakukan penyelesaian sengketa antara Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dan Pemegang Polis, Tertanggung, Peserta, atau pihak lain yang berhak memperoleh manfaat asuransi.
(2) Lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen dan imparsial.
(3) Lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Kesepakatan mediasi bersifat final dan mengikat bagi para Pihak.
(5)Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.10
Meskipun ketentuan yang tertuang di dalam Undang-Undang No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian terbilang cukup jelas dan rinci, namun dari banyak peraturan tersebut ternyata tidak sedikitpun yang membahas
10 Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013, tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal. 54 angka (1-5).
terkait dengan perlindungan hukum terhadap tertanggung yang mengidap penyakit kritis dalam upaya pengajuan klaim asuransi jiwa. Begitu pula yang kita temukan di dalam polis asuransi jiwa PT. AJ Manulife Value Protector Absolute bahwa tidak ada secara jelas menyebutkan
perlindungan hukum khusus terhadap tertanggung yang mengidap penyakit kritis, hal ini menunjukan bahwa memang regulasi tentang perasuransian kita saat ini masih belum menjawab keresahan yang terjadi pada tertanggung selaku pemegang polis asuransi terutama yang mengidap penyakit kritis.
Sehingga diharapkan untuk kedepannya beberapa pengaturan di dalam Polis Perjanjian Perusahaan Asuransi Jiwa dapat lebih memperhatikan ketentuan-ketentuan yang lebih memihak dalam hal perlindungan hukum dan kepentingan tertanggung yang mengidap penyakit kritis dalam upaya pengajuan klaim asuransi jiwa. Agar tertanggung mendapat kepastian hukum yang jelas untuk menghindari risiko gagal klaim dikemudian hari.
III. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang “Tinjauan Klaim Asuransi Jiwa Terhadap Tertanggung Yang Mengidap Penyakit Kritis Menurut Undang- Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Maka peneliti menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengaturan pengajuan klaim asuransi jiwa terhadap tertanggung yang mengidap penyakit kritis menurut Undang-Undang No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perasuransian belum ada pengaturan yang mengatur secara jelas tentang pengajuan klaim asuransi jiwa terhadap tertanggung yang mengidap penyakit kritis. Sehingga pengaturan tersebut dirasa masih belum mengatur dan memberikan kekuatan hukum yang pasti dan mengikat terkait pengajuan klaim asuransi jiwa terhadap tertanggung yang mengidap penyakit kritis.
2. Perlindungan hukum terhadap tertanggung yang mengidap penyakit kritis dalam upaya pengajuan klaim asuransi jiwa menurut Undang- Undang No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Bahwa, sudah ada pengaturan secara umum tentang perlindungan hukum baik secara Preventif maupun Represif, namun belum ada pengaturan yang khusus membahas perlindungan hukum terhadap tertanggung yang mengidap penyakit kritis dalam upaya pengajuan klaim asuransi jiwa, termasuk di
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Saran
Berdasarkan pembahasan di atas, berikut ini dirumuskan beberapa saran yang ingin peneliti sampaikan terkait dengan masalah yang peneliti kaji. Adapun hasil penelitian ini dapat diberikan saran sebagai berikut:
1. Diperlukan regulasi khusus yang kuat kedepannya untuk mengatur mengenai tertanggung yang mengidap penyakit kritis dalam upaya pengajuan klaim asuransi di dalam Undang-Undang tentang Perasuransian. Dan untuk perusahaan Asuransi Jiwa, pengaturan terkait syarat-syarat baik administratif maupun substantif di dalam Polis Asuransi harus segara di revisi dan selanjutnya memuat secara jelas prosedur pengajuan klaim asuransi jiwa. Kemudian tertanggung dalam mengisi pengisian surat pengajuan asuransi jiwa hendaknya mengisi dengan kondisi dan keadaan yang sebenar-benarnya, agar terhindar dari akibat hukum di kemudian hari yang merugikannya.
2. Perlu peningkatan kemampuan Aparat Otoritas Jasa Keuangan dalam hal pengawasan terhadap perlindungan dan kepentingan tertanggung yang mengidap penyakit kritis dalam upaya pengajuan klaim asuransi jiwa. Serta dapat melakukan sosialisasi dan edukasi terhadap warga masyarakat pengguna sektor jasa keuangan khususnya di sektor perasuransian.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Muhaimin, 2020, Metode Penelitian Hukum, Mataram University Press, Mataram.
Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Sri Redjeki Hartono, 2012, Asuransi dan Hukum Asuransi, IKIP Press, Semarang.
Raharjo, Satjipto, 1993, Ilmu Hukum, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, LN No. 337 Tahun 2014, TLN No. 5618.
Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor, LN No.
118 Tahun 2013, TLN No. 5431.
Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia, Nomor 23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi, LN No. 287 Tahun 2015, TLN No. 5770.
Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia, Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah, LN No. 302 Tahun 2016, TLN No.
5992.
Internet
https://www.allianz.co.id/explore/detail/perlukah-memiliki-asuransi-
penyakit-kritis. (diakses pada jam 10:30 WITA tanggal 20 September 2020)