• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS. A. Kajian Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS. A. Kajian Teori"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Teori

1. Kajian Pustaka Tentang Tunalaras a. Pengertian Tunalaras

Tunalaras adalah ketidakmampuan seseorang menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial, bertingkah laku menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Dalam kehidupan sehari-hari, anak tunalaras sering disebut anak nakal sehingga dapat meresahkan/ mengganggu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Menurut Sunardi (1995), pengertian atau definisi dari tunalaras masih memiliki banyak kesimpangsiuran. Meski begitu, secara umum tunalaras sering diasosiasikan dengan anak dan remaja yang menimbulkan keresahan dan keonaran, baik di sekolah dan masyarakat.

Hallahan dan Kauffman (dalam Sunardi 1995) menuliskan bahwa tidak ada satu definisi pun tentang tunalaras yang diterima secara universal. Hanya saja kita semua mempunyai rabaan mengenai ketunalarasan sering dikaitkan dengan suatu pengalaman seperti marah, kesepian, dan kebahagian atau biasanya identik dengan emosi seseorang.

Serupa dengan Hallahan dan Kauffman, Purwanto (dalam Ariffani 2017) menyatakan bahwa anak yang mengalami gangguan emosi dan sosial sering juga disebut sebagai anak tunalaras. Kedua pendapat di atas saling mendukung gangguan emosi dan sosial sebagai hal yang identik dengan tunalaras meski belum disebutkan manifestasi kedua gangguan tersebut secara spesifik. Selanjutnya, Nafsiah dan Rohana (dalam Maharastra 2012) menyatakan bahwa istilah tunalaras berasal dari kata “tuna” yang berarti kurang dan “laras” yang berarti sesuai. Kesesuaian yang dimaksud oleh pendapat tersebut adalah kesesuaian sikap atau tindakan anak tersebut dengan lingkungannya.

(2)

Hal ini didukung oleh Sutijihati (dalam Ariffiani 2017) yang menyatakn bahwa anak tunalaras sering juga disebut anak tunasosial karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain.

Pertentangan norma sosial ini bisa terjadi akibat gangguan emosi yang dialami oleh anak tunalaras.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa anak tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan emosi dan/atau sosial seperti mencuri, mengganggu, menyakiti, maupun tindakan lainnya yang bertentangan dengan norma sosial di lingkungannya dengan frekuensi yang cukup besar sehingga mengakibatkan banyak masalah bagi dirinya sendiri dan/atau orang lain di sekitarnya.

b. Klasifikasi Ketunalarasan

Klasifikasi dibuat ketika terjadi sebuah fenomena yang dapat diamati secara terpercaya. Sunardi (1995) menyatakan bahwa klasifikasi dari suatu fenomena tersebut biasanya mempunyai hubungan yang erat dan jelas dengan keadaan, asal-usul, atau perkembangannya. Klasifikasi dari suatu fenomena memiliki perbedaan penafsiran. Terdapat ahli yang mengklasifikasikan suatu hal berdasarkan sudut pandang tertentu, tetapi terdapat ahli yang mengklasifikasikan suatu hal dengan sudut pandang lain.

Ada beberapa macam sistem klasifikasi tunalaras. Secara garis besar, Gargiulo (2012) membagi sistem klasifikasi tunalaras menjadi dua bagian yaitu :

1) Sistem Klasifikasi Klinis (Clinically Derived Classification Systems) yang berpedoman pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR) dengan kriteria sebagai berikut:

a) Pola perilaku yang berulang dan tetap yang melanggar hak-hak dasar orang lain atau norma-norma sosial konvensional yang terwujud dalam

(3)

bentuk tiga atau lebih perilaku dibawah ini dalam 12 bulan terakhir dan minimal satu diantaranya dalam enam bulan terakhir:

(1) Agresi terhadap orang lain dan hewan, contohnya mengintimidasi, memulai perkelahian fisik, melakukan kekejaman fisik kepada orang lain atau hewan, memaksa seseorang melakukan aktivitas seksual.

(2) Menghancurkan kepemilikan (properti), contohnya seperti membakar dan vandalisme.

(3) Berbohong atau mencuri, contohnya seperti masuk dengan paksa ke rumah atau mobil milik orang lain, menipu, dan mengutil.

(4) Pelanggaran aturan yang serius, contohnya seperti tidak pulang ke rumah hingga larut malam sebelum usia 13 tahun karena sengaja melanggar peraturan orang tua, sering membolos sekolah sebelum berusia 13 tahun.

b) Disabilitas signifikan dalam fungsi sosial, akademik atau pekerjaan.

c) Jika orang yang bersangkutan berusia lebih dari 18 tahun, kriteria yang ada tidak memenuhi gangguan kepribadian anti sosial.

2) Sistem Klasifikasi Statistik (Statistically Derived Classification Systems) yang dikembangkan menggunakan teknik statistik canggih untuk menganalisis pola atau dimensi perilaku yang menjadi ciri-ciri anak dengan gangguan perilaku seperti pada tabel di bawah ini:

(4)

Tabel 2.1 Dimensi Gangguan Perilaku Quay dan Paterson (dalam Mash, 2005)

Conduct Disorder

Dimensi ini ditandai oleh agresi fisik, kesulitan mengendalikan amarah, ketidakpatuhan, dan bersikap oposisi (melawan kekuasaan)

Socialized Aggresion

Dimensi ini ditandai dengan perilaku yang merugikan orang lain (sosial) seperti mencuri, berbohong, menyalahgunakan zat, menjadi anggota suatu geng

Attention Problems/Immaturity

Dimensi ini seringkali dikaitkan dengan ADHD, yaitu perilaku rentang waktu fokus yang singkat, berkurangnya konsentrasi, terdistraksi, impulsif dan perilaku kekanakan, pasif dan ketergantungan

Anxiety/Withdrawal

Dimensi ini terkait dengan perasaan internal seperti kurang percaya diri, hipersensitif terhadap kritik dan penolakan, kegelisahan, cemas, menarik diri, dan enggan mencoba hal baru karena takut akan kegagalan

Psychotic Behavior

Dimensi ini mencakup simptom psikotik seperti gangguan berbicara, ide-ide aneh, delusi, dan kegagalan uji realitas

Motor Tension Exccess

Dimensi ini mencakup perilaku yang terlalu aktif, termasuk kegelisahan, dan ketegangan

Serupa dengan klasifikasi tunalaras menurut Quay dan Paterson (dalam Mash, 2005) di atas, Kirk dan Gallagher (dalam Amin, 1991) mengemukakan pengklasifikasian tunalaras sebagai berikut:

1) Anak yang mengalami gangguan perilaku yang kacau (conduct disorder) mengacu pada tipe anak yang melawan kekuasaan, seperti bermusuhan dengan polisi dan guru, kejam, jahat, suka menyerang, dan hiperaktif.

(5)

2) Anak yang cemas dan menarik diri (anxious-withdraw) adalah anak yang pemalu, takut-takut, suka menyendiri, peka dan penurut dan tertekan batinnya.

3) Dimensi ketidakmatangan (immaturity) mengacu pada anak yang tidak ada perhatian, lambat, tidak berminat sekolah, pemalas, suka melamun dan pendiam. Mereka mirip seperti anak autistik.

4) Anak agresi sosialisasi (socializ aggressive) mempunyai ciri atau masalah perilaku yang sama dengan gangguan perilaku yang bersosialisasi dengan

“geng” tertentu. Anak tipe ini termasuk dalam perilaku pencurian dan pembolosan serta merupakan suatu bahaya bagi masyarakat umum.

Selain klasifikasi menurut dimensi perilakunya, tunalaras juga diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial (social maladjusted) dan anak yang mengalami gangguan emosi (emotionally disturbed). Sehubungan dengan itu, Crain (2007) mengemukakan kedua klasifikasi tersebut antara lain:

1) Anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial:

a) The Semi-socialize child, anak yang termasuk dalam kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu. Misalnya: keluarga dan kelompoknya. Keadaan seperti ini datang dari lingkungan yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian anak selalu merasakan ada suatu masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.

b) Children arrested at a primitive level of socialization, anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya, berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Pada kelompok ini adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap sosial yang benar dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang

(6)

dikehendakinya. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perhatian dari orang tua yang mengakibatkan perilaku anak di kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian anak masih dapat memberikan respon pada perlakuan yang ramah.

c) Children with minimum socialization capacity, anak kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan/kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini banyak bersikap apatis dan egois.

2) Anak yang mengalami gangguan emosi, terdiri dari:

a) Neurotic behavior, anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain akan tetapi mereka mempunyai masalah pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Anak pada kelompok ini sering dan mudah dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan cemas, marah, agresif dan perasaan bersalah. Di samping itu kadang mereka melakukan tindakan lain seperti mencuri dan bermusuhan. Keadaan neurotik ini biasanya disebabkan oleh sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang berat.

b) Children with psychotic processes, anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Pada kelompok ini sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan, misalnya minuman keras dan obat-obatan.

Sejalan dengan pendapat di atas, Ibrahim (2005) juga mengelompokkan anak tunalaras berdasarkan gejala gangguan tingkah lakunya menjadi dua bagian yaitu:

(7)

1) Socially Maladjusted Children

Yaitu anak-anak yang terganggu aspek sosialnya. Kelompok ini menunjukkan tingkah laku yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik menurut ukuran norma-norma masyarakat dan kebudayaan setempat, baik di rumah, di sekolah atau di masyarakat luas. Kelompok ini dapat diklasifikasikan menurut berat ringannya kelainanan perilaku menjadi tiga kelompok, yaitu :

a) Semi Socialized Children, yaitu kelompok anak yang masih dapat melakukan hubungan sosial yang terbatas pada kelompok tertentu.

b) Socialized Primitive Children, yaitu anak yang dalam perkembangan sikap-sikap sosialnya sangat rendah yang disebabkan tidak adanya bimbingan dari kedua orang tua pada masa kecil.

c) Unsocialized Children, yaitu kelompok anak-anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan dan penyesuaian sosial yang sangat berat.

2) Emotionally Disturbed Children

Yaitu kelompok anak-anak yang terganggu perkembangan emosinya.

Kelompok ini menunjukkan adanya ketegangan batin, menunjukkan kecemasan, penderita neurotis atau bertingkah laku psikotis. Menurut berat ringannya gangguan perilakunya, kelompok ini dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :

a) Gangguan jiwa psikotik, yaitu tipe yang terberat yang sakit jiwanya b) Gangguan psikoneurotik, yaitu kelompok yang terganggu jiwanya,

jadi lebih ringan dari psikotik

c) Gangguan psikosomatis, yaitu kelompok anak-anak yang terganggu emosi sebagai akibat adanya tekanan mental, gangguan fungsi reinforcement dan faktor-faktor lain.

(8)

c. Karakteristik Tunalaras

Maharastra (2012), menyatakan “Anak tunalaras tipe agresif yang mengalami gangguan emosi dan berkelainan tingkah laku memiliki karakteristik, anak mengalami gangguan atau merasa kurang senang menghadapi pergaulan. Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan hidup bergaul”. Menurut Saefi (dalam Maharastra 2012), perilaku agresif memiliki beberapa tujuan seperti menyerang, menyakiti, dan melawan seseorang baik secara fisik atau verbal. Bentuk perilaku yang dimunculkan bisa berupa pukulan, tendangan, cercaan, makian, dan lain sebagainya. Adapun karakteristik anak tunalaras tipe agresif, yaitu :

1) Karatkeristik Akademik

Menurut Kauffman (dalam Maharastra 2012), karakteristik akademik anak yang agresif memiliki prestasi akademik yang cenderung rendah untuk usia mereka. Anak agresif mayoritas memiliki kesulitan dalam bidang akademis. Sikap agresif yang dimiliki oleh anak juga akan mempengaruhi kemampuan kerjasama dengan guru maupun siswa lain sehingga ketika siswa mengalami kesulitan dalam bidang akademik akan cukup sulit mendapat bantuan. Mayoritas anak tunalaras agresif memiliki kesulitan akademis (Setiawan, 2012). Selanjutnya, Gunarsa (1992) berpendapat bahwa kecemasan anak dengan kelompoknya menimbulkan kesulitan pada dirinya untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang tidak sesuai. Ketidakmampuan anak dalam bersaing dengan teman- temannya dalam belajar dapat menjadikan anak frustasi dan kehilangan kepercayaan dirinya sehingga anak mencari kompensasi yang sifatnya negatif seperti bolos, lari dari rumah dan mengacau di kelas.

2) Karakteristik Sosial

Perilaku agresif sendiri memiliki beberapa bentuk perilaku seperti bersifat anti-sosial, bertentangan dengan norma-norma sosial dan norma hukum yang berlaku di lingkungannya, serta perilaku yang tidak dikehendaki oleh masyarakat disekitarnya. Perilaku tersebut sangat

(9)

merugikan perkembangan dirinya maupun masyarakat secara luas.

Gargiulo (2012), menyatakan bahwa anak tunalaras agresif kesulitan membangun dan menjaga hubungan baik dengan teman-temannya maupun dengan orangtua. Perilaku-perilaku dan ketidakmampuan anak berdampak merugikan pada perkembangan dirinya maupun masyarakat di lingkungannya.

3) Karakteristik Emosi

Gangguan emosi merupakan suatu trade mark tersendiri bagi anak agresif. Karena memiliki masalah kekacauan emosi itulah mereka serng menampakkan perilaku seperti perkelahian, menggoda, berteriak, penolakan, tangisan, merusak sesuatu. Menurut Masykouri (dalam Maharastra 2012), perilaku agresif dapat bersifat verbal maupun non- verbal, bersifat verbal biasanya lebih tergantung pada situasional, bersifat non-verbal yakni perilaku agresif yang merupakan respon dari keadaan frustasi, takut, atau marah dengan cara mencoba menyakiti orang lain.

4) Karakteristik Kepribadian

Karakteristik kepribadian perilaku agresif dapat ditampilkan oleh individu (agresif tipe soliter) maupun secara berkelompok (agresif tipe group). Pada perilaku agresif yang dilakukan berkelompok atau group, biasanya ada anak yang merupakan ketua kelompok dan memerintahkan teman-teman sekelompoknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Sedangkan pada (tipe soliter), perilaku agresif dapat berupa fisik maupun verbal, biasanya dimulai oleh seseorang yang bukan bagian dari tindakan kelompok. Tidak ada usaha anak menyembunyikan perilaku tersebut. Anak tipe ini sering kali menjauhkan diri dari orang lain sehingga lingkungan juga menolak keberadaan. Anak tipe ini sering kali menjauhkan diri dari orang lain sehingga lingkungan juga menolak keberadaan (Arya, 2010).

(10)

Dikutip dalam buku Gargiulo (2012), Webber menuliskan 4 dimensi perilaku umum pada anak dengan gangguan emosi dan perilaku, yaitu : 1) Frekuensi dimana perilaku terjadi.

Frekuensi perilaku ini menunjukkan bagaimana perilaku anak terjadi.

Contohnya seperti banyak siswa berbicara di kelas dari waktu ke waktu.

Namun, siswa yang berbicara 30 kali selama periode kelas mungkin termasuk kedalam perilaku atipikal.

2) Intensitas perilaku

Intensitas perilaku mengacu pada tingkat keparahan perilaku.

Contohnya seperti amarah dapat diukur dari rengekan yang dapat menjengkelkan orang lain hingga terjadinya tindakan agresif fisik yang lebih serius.

3) Durasi perilaku

Durasi perilaku mengacu pada lamanya waktu perilaku terjadi.

Contohnya seperti, perilaku meninggalkan tempat duduk baik dalam durasi lama atau sebentar yang dapat mengakibatkan timbulnya permasalahan dalam pembelajaran di kelas.

4) Ketepatan usia dengan prilaku

Dalam hal ketepatan usia dengan perilaku dicontohkan dengan perilaku seksual. Perilaku seksual dikalangan remaja mungkin dapat menganggu orang dewasa, namun perilaku ini cukup wajar bagi anak dengan gangguan emosi dan perilaku. Namun, yang menjadi permasalahan ketika perilaku ini terjadi pada usia yang tidak tepat. Perlu diingat bahwa perilaku dipandang sebagai masalah pada suatu tingkat perkembangan yang mungkin wajar dalam usia lain.

d. Penyebab Ketunalarasan

Menurut Rusli (2005), sebab-sebab anak menjadi tunalaras secara garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, diantaranya sebagai berikut :

(11)

1) Faktor Psychologist, yaitu gangguan tingkah laku yang disebabkan oleh terganggunya faktor psychologist. Terganggunya faktor psychologist biasanya diwujudkan dengan bentuk tingkah laku yang menyimpang, seperti abnormal fixation, agresif, regresi, resignation, dan concept of discrepancy.

2) Faktor Psychososial, menjelaskan bahwa gangguan tingkah laku tidak hanya disebabkan oleh adanya frustasi, melainkan juga ada pengaruh dari faktor lain, seperti pengalaman masa kecil yang tidak atau kurang berfungsi sebagaimana mestinya, seerti terganggu atau adanya kelainan pada otak, hyperthyroid dan kelainan saraf motoris.

3) Faktor Physiologis, yaitu gangguan tingkah laku yang disebabkan oleh terganggunya proses aktivitas organ-organ tubuh sehingga tidak atau kurang berfungsi sebagai mesinya, seperti terganggu atau adanya kelainan pada otak, hyperthyroid dan kelainan saraf motoris.

Pendapat yang lebih kompleks mengenai penyebab ketunalarasan dikutip dalam buku yang ditulis Hallahan, dkk (2009: 270), “the cause of emotional or behavioral disorders have been attributed to four major factors:

biological disorders and diseases; pathological family relationship;

undesirable experiences at school; and negative cultural influences.”. Dari keterangan Daniel P. Hallahan, dkk. tersebut terdapat empat faktor utama yang menjadi penyebab ketunalarasan, yaitu faktor biologis, patologis, hubungan keluarga, pengalaman tidak menyenangkan di sekolah, dan pengaruh lingkungan atau budaya yang negatif atau buruk.

Berikut ini penjelasan dari keempat faktor-faktor yang menjadi penyebab ketunalarasan tersebut:

1) Faktor Biologi

Pristiwaluyo (2005) menjelaskan bahwa perilaku dan emosi seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam diri sendiri.

Faktor tersebut yaitu keturunan (genetik), neurologis, faktor biokimia atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Faktor biologi dapat terjadi

(12)

ketika anak mengalami keadaan kurang gizi, mengidap penyakit, psikotik, dan trauma atau disfungsi pada otak.

2) Faktor Keluarga

Faktor dari keluarga yang dimaksud adalah adanya patologis hubungan dalam keluarga. Menurut Pristiwaluyo (2005), tanpa disadari hubungan dalam keluarga yang sifatnya interaksional dan transaksional sering menjadi penyebab utama permasalahan emosi dan perilaku pada anak. Pengaruh dari peraturan, disiplin, dan kepribadian yang dicontohkan atau ditanamkan dari orangtua sangat memengaruhi perkembangan emosi dan perilaku anak.

3) Faktor Sekolah

Ada beberapa anak mengalami gangguan emosi dan perilaku ketika mereka mulai bersekolah. Pengalaman di sekolah mempunyai kesan dan arti penting bagi anak-anak. Glidewell, dkk., dan Thomas, dkk., (dalam Pristiwaluyo, 2005) mengungkapkan bahwa “kompetensi sosial ketika anak-anak saling berinteraksi dengan perilaku dari guru dan teman sekelas sangat memberi kontribusi terhadap permasalahan emosi dan perilaku.” Ketika seorang anak mendapat respon negatif dari guru dan teman sekelasnya saat mengalami kesulitan dan kurang keterampilan di sekolah tanpa disadari anak terjerat dalam interaksi negatif. Anak akan berada dalam keadaan jengkel dan tertekan yang diakibatkan dari tanggapan yang diterimanya baik dari guru maupun teman sekelasnya.

4) Faktor Budaya

Hallahan, dkk., (2009) menuliskan “values and behavioral standards are communicated to children through a variety of cultural condition, demands, prohibition, and models”. Yang dimaksudkan adalah standar nilai-nilai perilaku anak didapat melalui tuntutan-tuntutan maupun larangan-larangan, dan model yang disajikan oleh kondisi budaya.

Beberapa budaya dapat mempengaruhi perkembangan emosi dan perilaku anak misalnya saja contoh tindak kekerasan yang diekspos

(13)

media (televisi, film, maupun internet), penyalahgunaan narkoba yang seharusnya sebagai obat medis dan penenang, gaya hidup yang menjurus pada disorientasi seksualitas, tuntutan-tuntutan dalam agama, dan korban kecelakaan nuklir maupun perang.

Menurut Somantri (2017), ada beberapa hal yang menjadi penyebab utama seseorang mengalami ketunalarasan. Faktor- faktor penyebab seorang anak menjadi tunalaras, yaitu:

1) Kondisi atau Keadaan Fisik

Masalah kondisi atau keadaan fisik dalam kaitannya dengan masalah tingkah laku disebabkan oleh disfungsi kelenjar endoktrin yang dapat mempengaruhi timbulnya gangguan tingkah laku atau dengan kata lain kelenjar endoktrin berpengaruh terhadap respon emosional seseorang.

Disfungsi kelenjar endoktrin merupakan salah satu penyebab timbulnya kejahatan. Kelenjar endoktrin ini mengeluarkan hormon yang mempengaruhi tenaga seseorang. Bila secara terus menerus fungsinya mengalami gangguan, maka dapat berakibat terganggunya perkembangan fisik dan mental seseorang, sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan wataknya.

2) Masalah Perkembangan

Setiap memasuki fase perkembangan baru, individu dihadapkan pada berbagai tantangan atau krisis emosi. Anak biasanya dapat mengatasi krisis emosi ini jika pada dirinya tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya proses kematangan yang menyertai perkembangan. Apabila ego dapat mengatasi krisis ini, maka perkembangan ego yang matang akan terjadi sehingga individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial atau masyarakat. Sebaliknya, apabila individu tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut maka akan menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku. Adapun ciri yang menonjol yang nampak pada masa kritis ini adalah sikap yang menentang dan keras kepala.

(14)

3) Lingkungan Keluarga

Sebagai lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan anak, keluarga memiliki pengaruh yang demikian penting dalam membentuk kepribadian anak. Keluarga merupakan peletak dasar perasaan aman (emotional security) pada anak, dalam keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan dan sikap sosial. Lingkungan keluarga yang tidak mampu memberikan dasar perasaan aman dan dasar untuk perkembangan sosial dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku pada anak. Terdapat beberapa faktor dalam lingkungan keluarga yang berkaitan dengan masalah gangguan emosi dan tingkah laku, diantaranya kasih sayang dan perhatian, keharmonisan keluarga dan kondisi ekonomi.

Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan faktor penyebab seorang anak menjadi tunalaras dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor penyebab yang berasal dari diri anak yaitu kondisi psikologi anak, kondisi fisiologis anak, serta ketidaksempurnaan perkembangan emosi anak. Sementara faktor eksternal adalah faktor penyebab yang berasal dari luar diri anak yaitu lingkungan tempat anak tumbuh seperti lingkungan keluarga atau lingkungan sekolah, pengaruh budaya, dan pengalaman-pengalaman yang mempengaruhi psikososial anak.

e. Permasalahan/ Hambatan Anak Tunalaras

Kelainan tingkah laku yang dialami anak tunalaras mempunyai dampak negatif baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sosialnya. Perasaan tidak berguna bagi orang lain, perasaan rendah diri, tidak percaya diri, perasaan bersalah, mnyebabkan mereka merasakan adanya jarak dengan lingkungannya. Bila mereka kurang mendapat perhatian dan penanganan segera, maka mereka akan semakin terperosok dan jarak yang memisahkan mereka dari lingkungan sosialnya akan semakin bertambah besar.

(15)

Dikutip dalam buku Gargiulo (2011), ada beberapa permasalahan ataupun hambatan yang dialami anak tunalaras berdasarkan karakteristiknya, yaitu :

1) Pembelajaran/ akademik

Secara intelektual, anak dengan gangguan emosi dan perilaku dapat mencakup individu yang berbakat dan ada pula yang memiliki hambatan intelektual. Penelitian yang dilakukan secara konsisten menyatakan bahwa siswa dengan gangguan emosi dan perilaku mendapatkan skor nilai yang rendah dibawah rata-rata pada ukuran kecerdasan (Kauffman, 2009). Kekhawatiran utama adalah kegagalan sekolah yang fatal, walaupun kemampuan intelektual rata-rata sering ditemui oleh banyak siswa lainnya (lane, 2003). Cullinan (dalam Garguilo, 2011), menyatakan bahwa anak dengan gangguan emosi dan perilaku biasanya mengalami penurunan dibidang akademik yang signifikan. Selain itu banyak dari anak dengan gangguan emosi dan perilaku yang tidak naik kelas.

Sementara menurut Wagner (dalam Garguilo, 2011), anak dengan gangguan emosi dan perilaku memiliki rata-rata yang rendah dalam perolehan nilai, ingatan yang rendah, tingkat kelulusan pada sekolah menengah atas, angka putus sekolah dan jumlah absensi. Faktanya, anak dengan gangguan emosi dan perilaku dipertahankan dua kali lipat dari siswa lain.

2) Sosial

Nelson (dalam Garguilo, 2011), menyatakan bahwa anak dengan gangguan emosi dan perilaku mengalami kesulitan dalam membangun dan mempertahankan hubungan yang menyenangkan dengan teman sebaya maupun dengan orang dewasa. Hal ini dibuktikan oleh tingginya jumlah siswa yang diidentifikasi dengan gangguan eksternalisasi. Banyak dari anak-anak ini, terutama yang menunjukkan perilaku agresif dapat diprediksi sebagai kenakalan dimasa depan. Terutama jika perilaku agresif muncul pada anak usia dini. Menurut Quinn (dalam Garguilo,

(16)

2011) pendidikan lanjut dari anak yang dengan gangguan emosi dan perilaku menunjukkan tingkat penahanan yang sanggat tinggi, hampir setengah dari anak dengan gangguan emosi dan perilaku dipenjara.

3) Komunikasi

Penelitian yang dilakukan Hoper, dkk (dalam Garguilo, 2011), menunjukkan bahwa anak dengan gangguan emosi dan perilaku menggunakan lebih sedikit kata per kalimat. Mereka mengalami kesulitan untuk tetap pada suatu topik pembicaraan, dan menggunakan bahasa yang tidak pantas dalam percakapan sosial. Penelitian lain yang dilakukan oleh Nelson, dkk (2003), mencatat bahwa anak-anak dengan gangguan emosi dan perilaku mengalami defisit bahasa, seperti kesulitan dengan bahasa reseptif atau ekspresif dan pragmatif. Dipercaya bahwa gangguan bahasa ini memberikan kontribusi signifikan terhadap perilaku yang menantang dan menganggu yang sering terjadi pada beberapa siswa dengan gangguan emosi atau perilaku.

f. Kebutuhan Anak Tunalaras

Dikutip dalam Gargiulo (2012), Kauffman menuliskan beberapa model pendekatan yang dapat digunakan untuk membantu anak tunalaras, yaitu:

1) Behavioral Model

Berdasar dari penelitian B.F Skinner dan psikolog lain, model ini berasumsi bahwa perilaku adalah dampak atau pengaruh dari lingkungan.

Model ini menekankan pada hubungan sebab-akibat dan meyakini bahwa perilaku dapat dimodifikasi dengan mengubah anteseden dan konsekuensinya.

2) Psychodynamic Model

Berdasar pada pemikiran Sigmund Freud yang berasumsi bahwa gangguan perilaku adalah gejala simptomatik yang mendasari konflik antara fungsi mental hypothetical (id, ego, superego) yang berinteraksi secara dinamis.

(17)

3) Psychoeducational Model

Seperti model psikoanalitis, model pendekatan ini menekankan pada pikiran alam bawah sadar dan konflik yang mendasarinya, kemudian diseimbangkan dengan kenyataan (reality).

4) Ecological Model

Model ini berasumsi bahwa gangguan perilaku dapat ditimbulkan oleh interaksi siswa dengan lingkungannya seperti keluarga, komunitas, maupun teman-teman di sekolah. Jika interaksi ini diperbaiki, maka perilaku anak akan membaik pula.

5) Humanistic Model

Model ini timbul dari gerakan sosial-politik sekitar tahun 1960 dan 1970. Model ini menekankan pengarahan diri, pemenuhan diri dan evaluasi diri. Anak diberanikan bertindak bebas secara terbuka. Model ini meyakini bahwa setiap individu dapat menemukan solusi dari masalah mereka sendiri, ketika didukung oleh care dan support dari orang di sekitarnya.

6) Biogenic Model

Yang mendasari model ini adalah kepercayaan bahwa gangguan emosi dan perilaku seperti depresi dan hiperagresifitas adalah hasil dari kegagalan perkembangan psikologi. Untuk itulah diterapkan terapi obat, sistem diet, hingga operasi.

Ada beberapa teknik pendekatan yang digunakan dalam mengatasi masalah perilaku menurut Kavale dan Nye (dalam Garguilo, 2011) diantaranya adalah :

1) Perawatan dengan obat

Model ini dipilih berdasarkan asumsi bahwa gangguan perilaku disebabkan oleh kecacatan genetik atau biokimiawi sehingga dalam hal penyembuhannya ditekankan pada pengobatan, diet, olahraga, operasi, atau mengubah lingkungan.

(18)

2) Modifikasi perilaku

Ada beberapa langkah dalam melaksanakan modifikasi perilaku, yaitu :

a) Menjelaskan perilaku yang akan diubah

b) Menyediakan bahan yang mengharuskan anak duduk diam c) Mengatakan perilaku yang diterima.

3) Strategi psikodinamika

Tujuan utama pendekatan psikodinamika adalah membantu anak menjadi sadar akan kebutuhannya, keinginan, dan kekuatannya sendiri.

4) Strategi ekologi

Model ini menganggap bahwa kehidupan ini terjadi karena adanya interaksi antar individu dengan lingkungannya. Gangguan perilaku terjadi karena adanya disfungsi antara anak dengan lingkungannya. Oleh karena itu, model ini menghendaki dalam memperbaiki problem perilaku agar mengupayakan interaksi yang baik antara anak tentang lingkungannya. Berdasar pada asumsi bahwa dengan diciptakannya lingkungan yang baik, maka perilaku anak akan baik pula.

Dari pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk membantu anak tunalaras dapat menggunakan berbagai pendekatan. Pendekatan tersebut berupa pendekatan psikodinamika yang memberi kebebasan anak untuk mengekspresikan atau melampiaskan sikap agresifnya, pendekatan psikoedukasi yang mengajarkan anak memahami masalah yang sedaing ia alami, pendekatan behavioristik dengan melatih anak agar terbiasa berperilaku baik dengan sistem imbalan dan hukuman, pendekatan medis dengan menggunakan obat, dan pendekatan ekologi sebagai pelengkap dari seluruh pendekatan yang berpendapat lingkungan anak adalah hal yang penting dalam merubah anak. Selain itu, terdapat pendekatan humanistik yang berasumsi bahwa semua manusia akan dapat menemukan solusi atas masalah yang dihadapi secara mandiri sehingga memberi kebebasan pada diri anak untuk berlaku sesuai yang diyakini.

(19)

2. Perilaku Agresif

a. Pengertian Perilaku Agresif

Menurut Skinner (dalam Notoatmodjo 2003), perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena itu perilaku terjadi melalui adanya proses stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka dalam teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon.

Menurut Sarwono (2002), perilaku agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang sengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain.

Kisni (2001) mengungkapkan bahwa perilaku agresif sebagai bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk melukai seseorang baik secara secara fisik atau verbal ataupun merusak harta benda. Krech (dalam Zamzani, 2007) menjelaskan bahwa perilaku agresif merupakan bentuk perasaan dan tindakan marah dan mengamuk dari kekerasan fisik, makian berupa kata- kata seperti pengaduan dan fitnah serta fantasi kekerasan dan penyerbuan.

Sementara itu Bandura (dalam Zamzani, 2007) mendefinisikan perilaku agresif sebagai tingkah laku berupa penyerangan orang dan pengrusakan fisik.

Perilaku agresif bukan hanya ditujukan pada seseorang saja melainkan juga terhadap suatu benda. Misalnya, perilaku agresif pada anak tunalaras tidak hanya sekedar menyakiti teman, mereka juga memukul meja ketika tidak mau diminta mengerjakan soal. Seluruh perilaku melukai seseorang ataupun merusak harta benda yang dilakukan secara sengaja sehingga menimbulkan permusuhan, perusakan, dan pertengkaran dengan orang-orang sekitar disebut perilaku agresif Atkinson (dalam Suryatri, 2015).

Berdasarkan penjelasan mengenai pengertian perilaku agresif di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku agresif adalah suatu tindakan atau perilaku akibat gambaran ekspresi atau luapan emosi yang ditunjukan dalam bentuk perusakan dan menyakiti seseorang atau suatu benda secara sengaja

(20)

sehingga menimbulkan permusuhan dan pertengkaran dengan orang-orang di sekitarnya.

b. Jenis Perilaku Agresif

Perilaku agresif memiliki beberapa bentuk agresif yang dijabarkan oleh beberapa ahli seperti Atkinson (dalam Suryatri 2015), yaitu:

1) Agresi instrumental merupakan agresi yang ditujukan untuk membuat penderitaan kepada korbannya dengan menggunakan alat-alat baik benda ataupun orang atau ide yang dapat menjadi alat untuk mewujudkan rasa agresinya, misalnya seseorang menggunakan penggaris untuk memukul wajah temannya.

2) Agresi verbal, yaitu: agresi yang dilakukan terhadap sumber agresi secara verbal. Agresi verbal ini dapat berupa kata-kata kotor atau kata-kata yang dianggap mampu menyakiti atau menyakitkan, melukai, menyinggung perasaan atau membuat orang lain menderita.

3) Agresi fisik, yaitu: agresi yang dilakukan dengan fisik sebagai pelampiasan marah oleh individu yang mengalami agresi tersebut, misalnya : memukul seseorang sebagai bentuk respon ketika mendapatkan hal yang tidak sesuai dengan keinginan.

4) Agresi emosional, yaitu: agresi yang dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan marah dan agresi ini sering dialami orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan agresi secara terbuka, misalnya:

karena keterbatasan kemampuan, kelemahan dan ketidakberdayaan.

Agresi ini dibangkitkan oleh perasaan tersinggung atau kemarahan, tetapi agresi ini hanya sebagai keinginan-keinginan (bersifat terpendam), misalnya: individu akan merasa terluka jika individu lain tidak menghargai dirinya secara langsung, seperti orang yang memegang kepala orang lain, orang yang dipegang kepalanya akan merasa tersinggung.

5) Agresi konseptual, yaitu: agresi yang juga bersifat penyaluran agresi yang disebabkan oleh ketidakberdayaan untuk melawan baik verbal maupun fisik. Individu yang marah menyalurkan agresinya secara konsep atau

(21)

saran-saran yang membuat orang lain menjadi ikut menyalurkan agresi, misalnya: bentuk hasutan, ide-ide yang menyesatkan atau isu-isu yang membuat orang lain menjadi marah, terpukul, kecewa ataupun menderita.

Selanjutnya, Buss dan Perry (dalam Suryatri 2015), memiliki pengelompokan jenis perilaku agresif yang hampir sama dengan milik Atkinson, yaitu :

1) Agresi fisik, merupakan komponen perilaku motorik, seperti melukai dan menyakiti orang secara fisik. Contohnya, terjadinya perkelahian antar pelajar yang mengakibatkan beberapa orang terluka parah.

2) Agresi verbal, merupakan komponen motorik, seperti melukai dan menyakiti orang lain dengan menggunakan verbal/perkataan. Misalnya seperti mencaci maki, berkata kasar, berdebat, menunjukkan ketidaksukaan atau ketidaksetujuan, menyebarkan gosip, dan lain-lain.

3) Agresi marah, merupakan emosi atau afektif, seperti munculnya kesiapan psikologis untuk bertindak agresif. Misalnya kesal, hilang kesabaran dan tidak mampu mengontrol rasa marah.

4) Sikap permusuhan, meliputi komponen kognitif, seperti benci dan curiga pada orang lain, iri hati dan merasa tidak adil dalam kehidupan.

Contohnya, menaruh dendam pada dirinya, padahal orang lain tersebut tidak dendam terhadapnya.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis dari perilaku agresif dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu agresif instrumental seseorang sering merasa curiga terhadap orang lain, yang dikiranya (menggunakan benda tertentu), agresif secara verbal, agresif fisik, agresif emosi seseorang, dan agresif konseptual.

c. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Agresif

Taylor, Peplau & Sears (dalam Suryatri 2015), perilaku agresif biasanya sangat lekat hubungannya dengan kondisi emosional seseorang seperti

(22)

amarah. Perasaan amarah tersebut dapat terpicu atau muncul dikarenakan beberapa hal yakni :

1) Adanya serangan dari orang lain. Perilaku agresif akan muncul ketika tiba- tiba ia diserang atau diejek oleh orang lain, secara reflex akan menimbulkan sikap agresif terhadap lawannya tersebut.

2) Terjadinya frustasi dalam diri seseorang. Setiap orang ketika tujuan yang diinginkan tidak tercapai biasanya akan mengalami kesedihan yang luar biasa hingga kearah frustasi. Dalam salah satu prinsip psikologi, orang yang mengalami frsutasi akan cenderung lebih mudah membangkitkan perasaan agresifnya. Hal ini dikarena ia tidak mampu menahan penderitaan yang ia alami.

3) Ekspektasi pembalasan atau motivasi untuk balas dendam. Ketika seseorang sedang marah dan ingin melakukan balas dendam, maka rasa kemarahan akan semakin besar dan kemungkinan muncul perilaku agresif juga bertambah besar.

4) Kompetensi. Agresi yang tidak berkaitan dengan keadaan emosional, tetapi mungkin muncul secara tidak sengaja dari situasi yang melahirkan suatu kompetensi. Secara khusus merujuk pada situasi kompetitif yang sering memicu pola kemarahan, pembantahan dan agresi yang tidak jarang bersifat destruktif.

d. Faktor Yang Dapat Mengurangi Perilaku Agresif

Menurut Sarlito (2005), salah satu faktor yang bisa dikendalikan untuk mengurangi kemungkinan perilaku agresif adalah secara teknis, yaitu peningkatan pengendalian. Aldi (2008), mengatakan bahwa pengendalian diri dapat dilakukan dengan prinsip kemoralan. Prinsip kemoralan mengacu pada perilaku baik dan buruk. Pengendalian diri dapat juga dilakukan dengan menggunakan kesadaran, perenungan, serta menyibukkan diri dengan pikiran dan aktivitas positif.

(23)

Seseorang yang kontrol dirinya rendah tidak mampu mengarahkan dan mengatur perilakunya, dengan kontrol diri yang rendah, mereka tidak mampu memandu, mengarahkan dan mengatur perilaku. Mereka tidak mampu menginterpretasikan stimulus yang dihadapi, tidak mampu memilih tindakan yang tepat (Muhid, 2009). Sehingga dapat diasumsikan bahwa kemampuan mengontrol perilaku yang rendah mempunyai perilaku agresif yang tinggi, begitu juga dengan kemampuan mengontrol kognitif yang rendah dapat memunculkan agresivitas yang tinggi, serta kemampuan mengambil keputusan yang rendah mempunyai agresivitas tinggi.

Sears (1991), menyatakan ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengurangi perilaku agresif, yaitu :

1) Hukuman dan pembalasan

Bahwa rasa takut terhadap hukuman atau pembalasan bisa menekan perilaku agresif. Hal ini terjadi karena seseorang akan memperhitungkan akibat agresif di masa mendatang dan berusaha untuk tidak melakukan perilaku agresif bila ada kemungkinan mendapat hukuman. Hukuman dan pembalasan yang dimaksud adalah berdasarkan hukum dan peraturan.

2) Mengurangi frustrasi

Perilaku agresif dapat dikurangi dengan mengurangi kemungkinan terjadinya serangan dan frustrasi, hal ini bisa diwujudkan antara lain dengan mengurangi sebab-sebab pokok frustrasi, seperti berusaha menjamin adanya tingkat kesamaan hak untuk mendapatkan keperluan hidup, seperti makanan, pakaian, perumahan, dan kehidupan berkeluarga.

3) Hambatan yang dipelajari

Prilaku agresif juga dapat dikurangi dengan cara belajar mengendalikan perilaku agresif, tidak peduli apakah kita diancam akan dihukum atau tidak. Sebagaimana orang belajar tentang kapan perilaku agresif diperbolehkan atau tidak diperbolehkan.

4) Pengalihan (displacement)

(24)

Sering kali orang dibuat frustrasi atau jengkel oleh seseorang tetapi tidak dapat membalasnya, mungkin karena orang itu terlalu kuat atau terlalu cemas dan terhambat untuk melakukannya. Dalam situasi semacam ini, mungkin mereka akan mengekspresikan perilaku agresif dengan cara yang lain yaitu dengan cara pengalihan (mengekspresikan agresif terhadap sasaran pengganti). Oleh karena perilaku agresif yang dialihkan dan diarahkan pada sasaran yang di persepsi lebih lemah dan kurang kuat.

5) Katarsis atau pembersihan

Perasaan marah dapat dikurangi melalui pengungkapan agresif atau disebut katarsis. Inti gagasan katarsis adalah bahwa bila orang merasa agresif, tindakan agresif yang dilakukannya akan mengurangi intensitas perasaannya sehingga pada gilirannya akan mengurangi kemungkinan untuk bertindak agresif.

e. Pengertian Perilaku Agresif Verbal

Ada beberapa pengertian perilaku agresif. Buss (dalam Dayakisni &

Hudaniah, 2009), mengatakan bahwa perilaku agresi verbal adalah suatu perilaku yang dilakukan untuk menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek yang menjadi sasaran tersebut secara verbal atau melalui kata-kata dan langsung ataupun tidak langsung, seperti memaki, menolak berbicara, menyebar fitnah, tidak memberi dukungan.

Berkowitz (2003), mendefinisikan perilaku agresi verbal sebagai suatu bentuk perilaku atau aksi agresif yang diungkapkan untuk menyakiti orang lain, perilaku agresi verbal dapat berbentuk umpatan, celaan atau makian, ejekan, fitnahan, dan ancaman melalui kata-kata.

Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku agresi verbal adalah bentuk perilaku agresi yang merupakan suatu perilaku yang dilakukan untuk menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek yang menjadi sasaran tersebut secara verbal atau melalui kata-kata dan langsung ataupun tidak

(25)

langsung, seperti memaki, menolak berbicara, menyebar fitnah, tidak memberi dukungan.

f. Jenis Perilaku Agresif Verbal

Perilaku agresif verbal terdiri dari beberapa jenis. Buss (dalam Dayakisni

& Hudaniah, 2009), mengelompokkan agresi verbal manusia dalam empat jenis, yaitu:

1) Agresi verbal aktif langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain seperti menghina, memaki, marah, mengumpat.

2) Agresi verbal pasif langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara berhadapan dengan individu atau kelompok lain namun tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti menolak bicara, bungkam.

3) Agresi verbal aktif tidak langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya, seperti menyebar fitnah, mengadu domba.

4) Agresi verbal pasif tidak langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti tidak memberi dukungan, tidak menggunakan hak suara.

g. Dampak perilaku agresif anak tunalaras

Menurut sugiyo (dalam Ambarani 2016), “seseorang bersikap agresif biasanya memiliki tujuan yaitu kemenangan. Namun kemenangan tersebut harus dibayar dengan dampak yang tidak menyenangkan. Orang yang agresif

(26)

akan dijauhi teman, atau bahkan keluarganya sendiri karena perilakunya sudah menyakiti orang lain”.

Dampak yang paling terasa dari perilaku agresif anak tunalaras adalah akan dijauhi teman di sekitarnya. Teman yang menghindar akibat perasaan terganggu saat ia melakukan perilaku agresif akhirnya secara tidak langsung membuat pelaku perilaku agresif dimana dalam konsteks ini yaitu anak tunalaras terkucilkan dari pergaulan. Coie (dalam Ambarani 2016) menuliskan

“Anak-anak yang ditolak adalah anak-anak yang tidak disukai oleh teman- teman sebaya mereka. Mereka cenderung lebih bersifat mengganggu dan agresif dibandingkan anak-anak yang lain.”

Kaufman (dalam Setiawan 2010), menjelaskan hasil risetnya, bahwa

“…anak yang agresif umumnya memiliki prestasi akademik yang rendah untuk usia mereka, mayoritas anak agresif memiliki kesulitan akademis.

Memiliki kekurangan dalam keterampilan sosial yang mempengaruhi kemampuan untuk kerjasama dengan guru, fungsi di dalam kelas, dan bergaul dengan siswa lain.” Dengan dampak seperti kerjasama dengan guru, fungsi di dalam kelas, dan bergaul dengan teman rendah, maka akan tidak menutup kemungkinan suasana kelas akan semakin tidak kondusif ketika anak berperilaku agresif.

3. Token Ekonomi

a. Pengertian Token Ekonomi

Token ekonomi merupakan salah satu bentuk terapi dengan cara modifikasi perilaku. Menurut Walker (dalam Purwanta 2005), “Tabungan keping adalah salah satu cara atau teknik untuk pengukuhan tingkah laku yang ditunjukkan seorang anak yang sesuai dengan target yang telah disepakati, dengan menggunakan hadiah untuk penguatan secara simbolik”.

Token ekonomi adalah salah satu teknik modifikasi perilaku dengan cara pemberian atau kepingan (atau satu tanda atau isyarat) sesegera mungkin setiap kali setelah perilaku sasaran muncul. Kepingan kepingan ini nantinya

(27)

dapat ditukar dengan benda atau aktivitas pengukuh lain yang diinginkan subjek, (Purwanta 2005). Senada dengan itu, Syah (1999) menyebutkan bahwa token ekonomi adalah salah satu bentuk penguatan (reinforcement) positif.

Token ekonomi adalah suatu sistem dalam modifikasi perilaku melalui penguatan positif yang berasal dari dasar operant conditioning. Respon dalam Operant conditioning ini muncul tanpa didahului stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforce. Reinforce itu sendiri sesungguhnya adalah stimulus yang dapat meningkatkan kemungkinan munculnya sejumlah respon tertentu.

Prosedur tabungan kepingan (token ekonomi) tidak berbeda dengan orang bekerja yang menerima upah langsung setelah satu porsi pekerjaan selesai.

Beberapa jenis kepingan atau token sebagai symbol pengukuh yang sering digunakan antara lain : bintang emas, kertas kupon, sepotong kertas kecil warna, uang logam, sticker, perangko, kancing plastik dan sebagainya.

Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa token ekonomi merupakan teknik modifikasi perilaku dengan cara pemberian suatu kepingan (sebagai simbol pengukuh) sesegera mungkin setelah perilaku yang diharapkan muncul yang nantinya dapat ditukar dengan pengukuh idaman.

b. Prinsip Token Ekonomi

Dalam pemberian keping (token) meskipun ukuran dan jumlahnya berbeda, namun karakteristik tertentu harus dimiliki oleh setiap kepingan.

Kazdin (dalam Purwanta 2005), menjelaskan mengenai prinsip token ekonomi sebagai berikut :

Kepingan itu harus dapat dilihat dengan jelas oleh anak, dapat diraba dan dapat pula dihitung, salah satu dari tiga karakteristik tersebut harus terpenuhi, anak harus memahami cara menggunakan kepingan tersebut, mengetahui berapa harga kepingan yang dimilikinya, sehingga prosedur ini dapat benar benar menjadi alat pendorong dan penguat secara fakta. Anak diberitahu bahwa kepingan dapat ditukar dengan barang yang disukainya.

(28)

Selain berhubungan dengan kepingan itu sendiri, Walker (dalam Purwanta, 2005) mengatakan ada elemen pokok sebagai prinsip dalam tabungan kepingan. Elemen pokok tersebut adalah :

1) Lingkungan bisa dikontrol, maksudnya bahwa dalam pelaksanaannya program kepingan lingkungan yang dapat menimbulkan perilaku dapat diprediksi dan dikembalikan

2) Sasaran perilaku harus spesifik, maksudnya bahwa perilaku yang akan diubah harus dideskripsikan dengan jelas. Misalnya, tidak berkelahi, tidak keluar rumah, mengucapkan salam dan mandi dengan bersih

3) Tujuan dapat terukur, maksudnya bahwa tujuan yang telah ditetapkan dapat diukur kemunculannya. Pengukuran dapat diukur dari segi frekuensi, besaran, atau intensitasnya.

4) Bentuk atau jenis benda sebagai kepingan jelas, maksudnya bahwa benda yang digunakan sebagai kepingan (token) tertentu bentuk dan jenisnya.

Misalnya uang uangan dari plasrik, materai, prangko.

5) Kepingan sebagai hadiah, maksudnya bahwa kepingan tersebut dapat berfungsi sebagai hadiah bagi anak yang telah menjelaskan program sesuai dengan rancangan. Oleh karena itu, kwalitas kepingan seyogyanya yang lebih menarik, supaya makna dari hadiah dapat terpenuhi.

6) Sesuai dengan perilaku yang diinginkan, maksudnya bahwa perilaku yang diinginkan telah muncul atau terjadi, maka segera diberi kepingan. Dalam hal ini ketetapan waktu (timming) dalam memberikan dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan prosedur tabungan keping.

7) Mempunyai makna lebih sebagai pengukuh, maksudnya bahwa kepingan yang diperolehnya memperoleh makna sebagai pengukuh perilaku berikutnya.

c. Keuntungan Token Ekonomi

Ada beberapa keuntungan dalam modifikasi perilaku. Purwanta (2005) menjelaskan beberapa keuntungan modifikasi perilaku antara lain sebagai berikut :

(29)

1) Langkah langkah dalam modifikasi perilaku dapat direncanakan terlebih dahulu.

2) Perincian pelaksanaa dapat diubah selama perlakuan atau terapi berlangsung. Perubahan disesuaikan dengan perubahan.

3) Bila dari hasil monitoring ternyata suatu teknik gagal atau kurang berhasil untuk menimbulkan perubahan, dapat segera terdeteksi dan diusahakan teknik penggantinya.

4) Teknik teknik yang dipakai dalam modifikasi perilaku dapat diterangkan dan diatur secara rasional. Hasil perlakuan dapat diramalkan dan dievaluasi secara objektif.

5) Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan perubahan lebih singkat dari pada menggantungkan perubahan yang terjadi secara insight yang diperoleh subjek.

Senada dengan ini, Martin dan Pear (dalam Sahyanni 2013) menjelaskan ada dua keuntungan menggunakan token sebagai penguat. Pertama token tersebut dapat diberikan secara langsung setelah perilaku yang diharapkan muncul dan kemudian ditukarkan untuk sebuah motif (hadiah). Hal itu dapat digunakan untuk menjembatani penundaan yang sangat antara respon perilaku target dan hadiah, ketika terjadi kesulitan atau tidak mungkin untuk memberikan penguat cadangan (hadiah) secara langsung setelah perilaku target muncul. Kedua, token mempermudah dalam mengelola konsistensi dan keefektivan penguat (hadiah) ketika menangani sekelompok individu.

Hal ini dibuktikan oleh Najmudin, (2011) dalam jurnal penelitiannya yang menyatakan bahwa “…token ekonomi secara efektif menurunkan perilaku agresif pada siswa sekolah dasar.” Selain itu, Handayani, D. T (2014) menyatakan dalam jurnal penelitiannya “…berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa penurunan perilaku memukul pada anak setelah mendapatkan perlakuan, sehingga dapat disimpulkan bahwa token ekonomi dapat mengurangi gejala agresivitas pada anak, khususnya perilaku memukul.”

(30)

d. Aturan Dalam Pelaksanaan Token Ekonomi

Beberapa aturan dan pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan token ekomomi agar efektif seperti yang dikemukakan oleh Soetarlinah Soekadji (dalam Purwanta 2005), adalah sebagai berikut :

1) Hindari Penundaan

Salah satu keunggulan dari tabungan kepingan adalah pemenuhan persyaratan evektivitas pengukuhan, ialah pemberian pengukuhan dilakukan seketika setelah perlakukan sasaran muncul.

2) Berikan Kepingan Secara Konsisten

Pemberian pengukuhan yang terus menerus (continuous) dan konsisten akan mempercepat peningkatan perilaku sasaran.

3) Memperhitungkan Pengukuhan Dengan Harga Kepingan

Harga kegiatan dan penguat dalam nilai kepingan perlu mendapat perhatian. Dalam perencanaan perlu dipertimbangkan banyaknya kepingan yang akan diterima cukup untuk ditukar dengan pengukuhan idaman.

Harga pengukuh yang terlalu banyak akan dihargai terlalu tinggi akan menimbulkan kejenuhan.

4) Persyaratan Hendaknya Jelas

Sebelum penandatanganan kontrak atau kesepakatan pelaksanaan program tabungan kepingan, aturan yang dipakai harus jelas dan mudah diikuti.

5) Pilih Pengukuhan yang Macam dan Kualitasnya Memadai

Agar pengukuh idaman yang ditawarkan efektif, perlu dicocokkan macam dan kualitasnya dengan situasi dan kondisi subjek.

6) Kelancaran Pengadaan Pengukuh Idaman

Perlu dipikirkan cara cara pengadaan pengukuh, sebab banyak program kepingan terbentur pada pengadaan pengukuh idaman ini.

7) Pemasaran Pengukuh Idaman

Makin banyak permintaan barang atau aktivitas, makin dapat dipasang harga tinggi untuk nilai tukarnya. Artinya pengukuhan yang banyak

(31)

minatnya harganya lebih tinggi dari pada pengukuhan yang tidak banyak minatnya.

8) Jodohkan Pemberian Kepingan dengan Pengukuh Sosial Positif

Bila aktivitas atau tindakan sosial positif telah efektif sebagai pengukuh, tentu tidak dibutuhkan program kepingan. Salah satu tujuan yang harus dicapai dalam penggunaan kepingan adalah agar subjek dapat berpindah dari pengukuhan kepingan ke pengukuh sosial.

9) Perhitungkan Efeknya Terhadap Orang Lain

Pengukuhan tabungan seharusnya melibatkan satu kelompok, teman akan iri apabila salah satu diantaranya/ diantara mereka mendapat perlakuan istimewa. Oleh karena itu perlu diusahakan agar mereka membantu subjek memperoleh kepingan.

10) Perlu Persetujuan Berbagai Pihak

Pelaksanaan program kepingan biasanya mengganggu acara program utama yang dirumpanginya, oleh karena itu perlu persetujuan dari guru, kepala sekolah atau orang yang mengelola program ini.

11) Perlu Kerjasama Subjek

Program tabungan kepingan sulit berhasil bila tidak ada komunikasi yang jelas dengan subjek. Makin jelas aturannya maka makin lancar pelaksanan program dan makin efektif hasilnya.

12) Perlu Pelatihan bagi Pelaksanaan

Latihan tersebut berhubungan dengan ketetapan mengamati perilaku yang muncul, ketepatan dalam memberikan kepingan, ketepatan menukarkan nilai kepingan dengan pengukuhan, dan kepekaan terhadap perilaku pengganggu yang lain.

13) Perlu Pencatatan

Pencataan cermat terhadap frekuensi sasaran dan perilaku lain perlu dilakukan.

(32)

14) Kombinasi dengan Prosedur Lain

Program kepingan dapat dikombinasikan dengan program lain seperti denda dan penyisihan.

15) Follow Up dan Penundaan

Bila program kepingan telah berhasil meningkatkan perilaku, sedang pengukuh sosial belum dapat menggantikan keseluruhan program kepingan, maka perlu diadakan latihan penundaan pemberian kepingan.

e. Penerapan Tabungan Kepingan

Sebelum modifikasi perilaku dengan meggunakan teknik tabungan kepingan (token ekonomi) diterapkan, guru terlebih dahulu menjelaskan peraturan yang harus dilakukan oleh siswa selama mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas, kemudian disepakati bersama beberapa nilai keping dari setiap perilaku yang telah dilaksanakan. Kegiatan semacam ini disebut kontrak perilaku.

Menurut Walker dan Sea (dalam Yusuf dan Legowo, 2007) “Kontrak adalah persetujuan, tertulis atau verbal. Antara dua orang atau lebih, individual atau kelompok, yang menetapkan tanggung jawab antara mereka tentang aktivitas atau item tertentu”.

Agar kontrak dapat digunakan secara efektif hendaknya melibatkan siswa dalam merencanakan dan memutuskannya. Yusuf dan Legowo (2007) menjelaskan beberapa poin yang perlu diperhatikan dalam pelibatan siswa dalam manajemen kontrak, yaitu :

1) Pemilihan tingkah laku sasaran.

2) Pemahaman terhadap tingkah laku khusus yang akan diubah melalui diskusi dengan guru, dengan memberikan contoh dan penjelasan serta dalam mendefinisikan tingkah laku.

3) Pemilihan Reinforcement.

4) Mengevaluasi sistem tersebut dari sudut pandang siswa.

(33)

Adapun beberapa manfaat dan kelebihan dari kontrak perilaku menurut Smith dan Scholoss (dalam Yusuf dan Legowo , 2007) adalah sebagai berikut:

1) Siswa dapat belajar melakukan negosiasi dalam proses membuat kontrak 2) Hasil masukan siswa dari proses negosiasi, bernilai informasi bagi guru

tentang potensis siswa dan dalam menentukan reinforce yang potensial bagi siswa untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

3) Siswa, orangtua, atau staff sekolah, atau orang lain yang signifikan terhadap program perubahan tingkah laku siswa yang semula tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan didalam program ini menjadi bertambah pengetahuan dan keterampilannya melalui keterlibatannya dalam negosiasi kontrak.

4) Kontrak yang telah dibuat bagi setiap siswa, memungkinkan guru untuk melaukan pengajaran individual.

Senada dengan itu, Purwanta (2005) menyebutkan ada beberapa tahap yang perlu dipersiapkan dalam melaksanakan sistem token ekonomi :

1) Tahap Persiapan

Dalam tahap persiapan ini ada empat hal yang perlu dipersiapkan.

Yang pertam adalah menentukan tingkah laku atau kegiatan yang akan diubah, kemudian yang kedua menentukan barang atau benda yang dapat menjadi penukar kepingan, yang ketiga memberi nilai atau harga untuk setiap kepingan atau tingkah laku yang ditargetkan dengan kepingan, selanjutnya yang ke empat adalah menentukan harga barang barang atau kepingan penukar.

2) Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan diawali dengan pembuatan kontrak antara subjek dengan terapis. Kontrak biasanya dibuat secara sederhana, cukup dengan lisan dan keduanya saling memahami, tetapi untuk kegiatan yang kompleks kontrak sering ditulis dan ditandatangani.

(34)

3) Tahap Evaluasi

Pada tahap evaluasi ini akan diketahui faktor faktor apa yang perlu ditambah ataupun dikurangi dalam daftar pengukuhan ataupun pengubahan tingkah laku yang telah dilaksanakan tersebut.

B. Kerangka Berpikir

Anak tunalaras mengalami permasalahan yang sangat beragam, seperti masalah emosi, sosial dan perilakunya. Permasalahan pada anak tunalaras salah satunya adalah perilaku agresif baik agresif verbal maupun non verbal. Perilaku agresif yang sering muncul pada subjek adalah perilaku agresif verbal. Perilaku agresif verbal pada anak dapat mempengaruhi proses belajar di sekolah, karena anak sering membuat keributan saat pembelajaran berlangsung. Perilaku agresif verbal ini apabila tidak segera ditangani akan membawa pengaruh negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun oranglain dalam berbagai aspek.

Untuk mengatasi perilaku agresif verbal, ada beberapa cara yang dapat digunakan salah satunya dengan modifikasi perilaku. Modifikasi perilaku merupakan alternatif dalam mengubah perilaku anak, karena memiliki beberapa teknik dalam penerapannya. Salah satu teknik modifikasi perilaku yang dapat digunakan untuk mengurangi perilaku agresif verbal adalah token ekonomi.

Token ekonomi dapat dijadikan alternatif dalam mengubah perilaku, salah satunya adalah perilaku agresif verbal. Token ekonomi ini merupakan salah satu bentuk penguatan (reinforcement) positif. Dengan adanya token ekonomi dapat digunakan sebagai penguat perilaku non agresif anak, sehingga secara tidak langsung perilaku agresif verbal anak dapat menurun karena adanya penguatan. Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Najmudin (2011), membuktikan bahwa token ekonomi secara efektif dan menurunkan perilaku agresif pada anak sekolah dasar.

(35)

Dari uraian di atas, kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut :

Bagan 2.1 Kerangka Berpikir C. Hipotesis

Penelitian adalah suatu hal yang perlu dilakukan untuk mengetahui hasil dari perlakuan atau treatment yang diberikan kepada subyek. Setelah menuliskan landasan teori dan kerangka berpikir langkah selanjutnya adalah perumusan hipotesis. Sesuai dngan pendapat Sugiono (2013), setelah peneliti mengemukakan landasan teori dan kerangka berpikir, langkah selanjutnya dalam penelitian yaitu perlu merumuskan hipotesis.

Menurut Dantes (2012), hipotesis adalah praduga atau asumsi yang harus diuji melalui data atau fakta yang diperoleh melalui penelitian. Sugiyono (2013), menyatakan hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dapat disimpulkan dari beberapa ahli di atas bahwa hipotesis merupakan jawaban sementara dari senuah rumusan pertanyaan yang harus diuji melalu data atau fakt-fakta yang berhubungan dengan permasalahan yang diperoleh melalui penelitian.

Berdasarkan kajian teori yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis penelitian adalah “Penerapan Token Ekonomi Berpengaruh Terhadap Perilaku Agresif Verbal Anak Tunalaras Kelas V Di SLB E Bhina Putera Surakarta Tahun Ajaran 2018/2019”.

Anak tunalaras memiliki perilaku

agresif verbal di dalam kelas

Diberikan modifikasi perilaku dengan

teknik token ekonomi

Perilaku agresif verbal anak

tunalaras berkurang

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Salah satu algoritma yang dapat digunakan untuk menemukan association rule adalah Algoritma Apriori yang dapat menampilkan informasi berupa nilai support dan

Penelitian ini membahas tentang evaluasi maturity level sistem informasi perpustakaan dengan Kerangka kerja Cobit 4.1 pada Stimikom Stella Maris Sumba, dengan tujuan untuk

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Dengan melakukan pemeriksaan tersebut peneliti dapat membantu manajemen menilai apakah aktivitas pengelolaan persedian barang jadi telah dilakukan sesuai dengan prosedur

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana membuat Sistem Pendukung keputusan Penentuan Lokasi Baru Lembaga Bimbingan Belajar Ganesha Operation

Penyelenggaraan program studi tersebut saat ini dirasakan adanya kebutuhan yang cukup mendesak untuk terbukanya akses untuk mendapatkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi

Anitah (2009 : 103), menyatakan bahwa “kerja kelompok merupakan metode pembelajaran yang memandang peserta didik dalam suatu kelas sebagai satu kelompok atau