Winda Erlina
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah pola asuh orang tua memprediksi kecerdasan emosional pada remaja. Variabel bebas adalah pola asuh authoritative, authoritarian, permissive, dan uninvolved. Variabel tergantung adalah kecerdasan emosional. Subjek merupakan individu berusia 13-18 tahun. Subjek terdiri dari 61 laki-laki dan 95 perempuan. Alat ukur adalah skala pola asuh orang tua yang terdiri dari skala pola asuh authoritative (α=0.873), skala pola asuh authoritarian (α=0.919), skala pola asuh permissive (α=0.884), skala pola asuh uninvolved (α=0.877), dan skala kecerdasan emosional (α=0.924), yang disusun oleh peneliti. Analisis data menggunakan regresi berganda. Hasil analisis menunjukkan bahwa pola asuh authoritative dan authoritarian, berpengaruh positif signifikan pada kecerdasan emosional
(β=0,301, p=0.024; β=0,444, p=0.001) dan pola asuh uninvolved berpengaruh negatif signifikan pada kecerdasan emosional remaja (β=0,339, p=0.026).
Kata kunci : Pola Asuh, Kecerdasan Emosional, Remaja
PARENTING STYLE AS PREDICTORS OF EMOTIONAL INTELLIGENCE AMONG ADOLESCENTS
POLA ASUH ORANG TUA SEBAGAI PREDIKTOR KECERDASAN EMOSIONAL PADA REMAJA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh : Winda Erlina
119114188
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO
We can’t always see where the road leads,
But God promises there’s something better Up ahead,
we just have to trust Him
I might not be the smartest
Not the strongest, but I am the most persistant.
I will fight till the end and never give up.
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Saya persembahkan karya ini untuk :
Tuhan Yang Maha Esa. Terimakasih atas segala berkat yang tak pernah berkesudahan di hidupku.
Kepada Orang Tuaku yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan doa
Caca dan cucu yang selalu mengingatkan agar skripsi ini segera terselesaikan
vii
POLA ASUH ORANG TUA SEBAGAI PREDIKTOR KECERDASAN EMOSIONAL PADA REMAJA
Winda Erlina
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah pola asuh orang tua memprediksi kecerdasan emosional pada remaja. Variabel bebas adalah pola asuh authoritative, authoritarian, permissive, dan uninvolved. Variabel tergantung adalah kecerdasan emosional. Subjek merupakan individu berusia 13-18 tahun. Subjek terdiri dari 61 laki-laki dan 95 perempuan. Alat ukur adalah skala pola asuh orang tua yang terdiri dari skala pola asuh authoritative
(α=0.873), skala pola asuh authoritarian (α=0.919), skala pola asuh permissive
(α=0.884), skala pola asuh uninvolved (α=0.877), dan skala kecerdasan
emosional (α=0.924), yang disusun oleh peneliti. Analisis data menggunakan regresi berganda. Hasil analisis menunjukkan bahwa pola asuh authoritative dan authoritarian, berpengaruh positif signifikan pada kecerdasan emosional
(β=0,301, p=0.024; β=0,444, p=0.001) dan pola asuh uninvolved berpengaruh
viii
PARENTING STYLE AS PREDICTORS OF EMOTIONAL INTELLIGENCE AMONG ADOLESCENTS
Winda Erlina
ABSTRACT
This study aims to see whether the emotional intelligence in adolescence can be predicted by parenting style. The predictor variables in this study were : authoritative parents, authoritarian parents permissive parents, and uninvolved parents. The criterion variables was emotional intelligence. The subjects were individuals within 13-18 years old. The measuring instrument that used in this research was perceived parenting style scale includes authoritative parenting style scale (α=0.873), authoritarian perenting style scale (α=0.919), permissive parenting style scale (α=0.884), uninvolved parenting style scale (α=0.877), and emotional intelligence scale (α=0.924), made by the researcher. The data analysis used multiple regression analysis. The data analysis showed that authoritative parents, and authoritarian parents were positive influences to the emotional intelligence (β=0,301,p=0.024 ; β=0,444, p=0.001) and uninvolved parents were negative influence to the emotional intelligence (β= -0,339, p=0.026).
x
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
Rahmat-Nya yang melimpah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Setelah melalui
banyak pengalaman suka dan duka, baik dan buruk, penulis percaya bahwa
Kasih-Nya senantiasa menerangi setiap langkah sehingga atas kehendak-Nya
juga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dan bimbingannya
kepada yang terhormat :
1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si, Kaprodi Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi, Psi. Dosen pembimbing akademik yang
memberikan arahan dan bimbingan selama masa studi dengan penuh
kesabaran.
4. Dr. A. Priyono Marwan S. J. Dosen pembimbing skripsi yang telah
memerikan bimbingan, arahan, kritik, saran, dalam penulisan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
xi
selama masa studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
6. Staf Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah
banyak membantu melancarkan proses pembelajaran selama masa studi di
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis juga mengucapkan terimakasih banyak kepada yang terkasih :
1. Mama dan Papa, untuk cinta, doa dan dukungan yang tak pernah berhenti.
Caca dan cucu yang selalu menjadi penyemangat agar skripsi ini segera
terselesaikan.
2. Ruth, Rhisty, Merna, Yoan, yang selalu ada disaat suka dan duka selama
proses pengerjaan skripsi. Terimakasih atas segala dukungan, tenaga dan
segala usaha yang diberikan sehingga membuahkan hasil yang bahagia.
3. Nova, Yolanda, Ratna, Jean, Tirsa, dan seluruh teman-teman kos Wisma
Dara. Terimakasih atas seluruh pengalaman yang mendewasakan kita
semua.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu penulis membuka diri terhadap kritik dan saran yang membangun
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING……… ii
HALAMAN PENGESAHAN………. iii
HALAMAN MOTO……….... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN……….. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. vi
ABSTRAK……….... vii
ABSTRACT………. viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH………... ix
KATA PENGANTAR……….. x
DAFTAR ISI……….... xii
DAFTAR TABEL……….... xvi
DAFTAR LAMPIRAN……….... xviii
BAB I PENDAHULUAN……….... 1
A. Latar Belakang……….. 1
B. Rumusan Masalah………. 7
xiv
D. Manfaat Penelitian……… 8
1. Manfaat Teoritis………. 8
2. Manfaat Praktis………... 8
BAB II LANDASAN TEORI………... 9
A. Kecerdasan Emosional………. 9
1. Definisi Kecerdasan Emosional……….. 9
2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional……….. 10
3. Faktor-faktor Pembentuk Kecerdasan Emosional……….. 16
4. Individu yang Cerdas secara Emosi……… 17
B. Pola Asuh………... 18
1. Definisi Pola Asuh……….. 19
2. Dimensi Pola Asuh………. 19
3. Jenis-jenis Pola Asuh……….. 20
C. Remaja……….. 25
1. Definisi Remaja……….. 25
2. Aspek Perkembangan Remaja………..………….. 27
D. Dinamika Variabel……… 30
E. Kerangka Berpikir……… 34
F. Hipotesis Penelitian……….. 38
xv
A. Jenis Penelitian………. 39
B. Identifikasi Variabel Penelitian……… 39
C. Definisi Operasional………. 39
D. Subjek Penelitian……….. 41
E. Metode Pengumpulan Data……….. 42
F. Alat Pengumpulan Data……… 42
G. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur………. 45
1. Validitas……….. 45
2. Seleksi Item……… 46
3. Reliabilitas……….. 51
H. Metode Analisis Data………. 52
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………. 55
A. Pelaksanaan Penelitian………. 55
B. Deskripsi Penelitian……….. 55
C. Hasil Penelitian………. 57
1. Uji Asumsi……….. 57
a. Uji Normalitas……….. 57
b. Uji Linearitas……… 58
c. Uji Multikolinearitas ……… 59
xvi
2. Uji Hipotesis………... 60
D. Pembahasan……….. 65
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………... 72
A. Kesimpulan……….... 72
B. Keterbatasan Penelitian……….. 72
C. Saran………... 73
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kemampuan-kemampuan dalam area kecerdasan emosional………. 15
Tabel 2 Ciri-ciri pola asuh orang tua………... 25
Tabel 3 Skor item skala pola asuh orang tua……….. 42
Tabel 4 Seberan item skala pola asuh orang tua sebelum seleksi item ………….. 43
Tabel 5 Skor item skala kecerdasan emosional……… 44
Tabel 6 sebaran item skala kecerdasan emosional sebelum sekeksi item ……….. 44
Tabel 7 Koefisien korelasi skala pola asuh orang tua……….…. 47
Tabel 8 Sebaran item yang gugur pada skala pola asuh orang tua……….…. 48
Tabel 9 Sebaran item skala pola asuh orang tua setelah seleksi Item………. 49
Tabel 10 Sebaran item yang gugur pada skala kecerdasan emosional……….…… 40
Tabel 11 sebaran item skala kecerdasan emosional setelah seleksi item…….…… 50
Tabel 12 Reliabilitas skala pola asuh orang tua sebelum dan setelah uji coba…… 51
Tabel 13 Deskripsi jenis kelamin subjek………. 56
Tabel 14 Deskripsi usia subjek……… 56
Tabel 15 Pengelompokkan subjek berdasarkan pola asuh……….. 56
Tabel 16 Hasil uji normalitas residu……… 57
Tabel 17 Hasil uji linieritas……….. 58
xviii
Tabel 19 Hasil uji Heterokedastisitas………... 59
Tabel 20 Uji F………... 60
Tabel 21 Hasil analisis regresi linier……… 61
Tabel 22 Koefisien determinasi ……….. 63
xix
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A : SKALA TRY OUT………. 81
LAMPIRAN B : UJI RELIABILITAS………. 99
LAMPIRAN C : SKALA PENELITIAN………. 113
LAMPIRAN D : HASIL UJI ASUMSI……… 128
LAMPIRAN E : HASIL ANALISIS REGRESI……….. 132
LAMPIRAN F :TABEL SUM OF SQUARES AND CROSS-PRODUCTS…... 133
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kecerdasan emosional adalah keterampilan yang dimiliki individu
untuk mengelola emosinya dengan baik, sehingga dapat dimanfaatkan
untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan sehari-hari (Goleman,
1995). Goleman mengemukakan bahwa individu yang memiliki
kecerdasan emosional tinggi mampu mempersepsi emosi,
mengekspresikan emosi, menggunakan emosi dalam pikiran, memahami
makna emosi, dan meregulasi emosi terhadap diri sendiri dan orang lain.
(Mayer, Salovey, & Caruso, 2004).
Perkembangan emosi manusia dimulai sejak lahir. Beberapa area
emosi dalam otak berkembang lebih lambat dibandingkan dengan
perkembangan fisik. Pada masa kanak-kanak, individu menjadi lebih peka
dengan perasaannya sendiri serta perasaan orang lain. Seiring dengan
pertambahan usia, individu dapat lebih baik dalam mengatur ekspresi
emosi dalam situasi sosial dan merespon tekanan emosional yang muncul
dalam kehidupan sehari-hari. Selama periode ini pula kecerdasan
emosional terbentuk (Saarni, 1999). Memasuki usia remaja, area sensoris
di dalam otak mulai matang. Sistem limbik berkembang matang selama
kontrol diri, terus berkembang sampai usia remaja akhir (16 sampai 18
tahun) (Goleman, 1996).
Masa remaja merupakan tahap peralihan dari fase kanak-kanak
menuju fase dewasa. Hall (dalam Santrock, 2014) mengungkapkan bahwa
masa remaja merupakan fase badai dan tekanan (storm and stress). Pada
fase ini, remaja rentan mengalami perubahan emosi ekstrim dan dapat
berubah sangat cepat (Rosenblum & Lewis 2003 dalam Santrock, 2014).
Hal ini disebabkan oleh perubahan hormonal selama masa pubertas.
Penelitian menemukan, bahwa perubahan selama masa pubertas berkaitan
dengan peningkatan emosi negatif (Dorn dalam Santrock , 2014).
Meskipun fluktuasi emosi pada remaja merupakan hal yang wajar,
emosi negatif pada remaja dapat menjadi masalah yang serius
(Nomen-Hoeksema, 2011). Goleman mengungkapkan bahwa emosi yang kuat
merupakan akar dari dorongan yang memicu sebuah tindakan.
Kemampuan untuk mengatur dorongan tersebut merupakan dasar dari
kecerdasan emosional (Goleman, 1996).
Akhir-akhir ini fenomena perilaku negatif remaja seperti
penyalahgunaan obat, pembunuhan, dan pemerkosaan marak terjadi. Hasil
survei dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa
pengguna Narkoba di Indonesia selalu bertambah. Sebanyak 921.965
pengguna adalah pelajar dan mahasiswa (SindoNews, 2014). Selain itu,
terhadap seorang perempuan bernama Eno di Jakarta yang dilakukan oleh
remaja berusia 15 tahun (Pos Kota News, 2016). Begitu pula dengan
peristiwa pemerkosaan disertai dengan pembunuhan terhadap Yuyun (13
tahun) yang masih duduk di bangku SMP. Pemerkosaan dan pembunuhan
dilakukan oleh 13 orang dan enam orang statusnya masih di bawah umur.
Dua di antaranya tercatat masih berstatus pelajar SMP (Merdeka News,
2016). Perilaku negatif yang dilakukan oleh remaja yang masih berstatus
pelajar menjadi keprihatinan masyarakat. Hal ini dikarenakan dampak
negatif yang sangat merugikan bahkan sampai menimbulkan korban jiwa.
Alhamri dan Fakhurrozi pada tahun 2007 menemukan bahwa salah
satu hal yang melatar belakangi terjadinya perilaku kenakalan remaja
adalah kurangnya kemampuan remaja untuk mengontrol dan mengelola
emosi. Hal ini turut didukung oleh penelitian Lazzari (2000) yang
menemukan bahwa berbagai perilaku negatif berupa kekerasan,
penyalaggunaan obat, dan kenakalan remaja berhubungan dengan
kurangnya kecerdasan emosional remaja.
Untuk menanggulangi berbagai perilaku negatif tersebut dibutuhkan
kecerdasan emosional. Bebagai penelitian menemukan bahwa kecerdasan
emosional mampu mencegah penyalahgunaan obat (Trinidad & Johnson,
2002), dilema moral (Fernandez-Berrocal & Extremera, 2005), dan juga
emosional dapat memberikan remaja bekal untuk menjalani masa dewasa
dengan baik. (Goleman, 1995).
Kecerdasan emosional terbentuk melalui pola asuh yang
diterapkan oleh orang tua (Goleman, 1995). Pengalaman yang dimiliki
remaja bersama keluarga sangat mempengaruhi kecerdasan emosional.
Sprinthall dan Collins dalam Santrock 2014 mengungkapkan bahwa
meskipun remaja seringkali dipandang seperti menarik diri dari keluarga,
akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa keluarga merupakan sumber
sosial dan emosional yang penting dalam kehidupan remaja.
Hal ini didukung oleh pernyataan Goleman (1995) yang
mengungkapkan bahwa peristiwa yang terjadi selama masa kanak-kanak
dapat menjadi penentu kecerdasan emosional seseorang. Goleman (1995)
juga menyatakan bahwa keluarga merupakan sekolah pertama yang
menjadi tempat bagi individu untuk mempelajari dan mengembangkan
kecerdasan emosionalnya (Goleman 1996). Hal ini sejalan dengan
penelitian Parke (dalam Santrock, 2007) yang menunjukkan bahwa
penerimaan dan dukungan orang tua terhadap emosi anak berhubungan
dengan kemampuan seorang anak untuk mengelola emosi dengan cara
yang positif.
Orang tua yang memberikan bimbingan dan dukungan membuat
individu lebih mampu untuk meredakan emosi negatif dan mampu
dan juga penerimaan orang tua tercermin dalam pola pengasuhan yang
diterapkan orang tua kepada remaja (Baumrind dalam Nixon dan
Halpenny, 2010).
Baumrind (1991 dalam Santrock, 2014) mengembangkan beberapa
jenis pola asuh dengan menunjukkan dua dimensi pengasuhan yaitu
responsivitas dan kontrol. Responsivitas meliputi dukungan, kehangatan,
dan kasih sayang yang ditunjukkan oran gtua kepada anak. Sementara
kontrol adalah tuntutan yang diberikan orang tua kepada anak agar anak
menjadi individu yang dewasa dan bertanggung jawab, serta
memberlakukan aturan dan batasan yang sudah ditetapkan (Nixon dan
Halpenny, 2010). Berdasarkan penilaian terhadap orang tua menggunakan
dua dimensi ini, Baumrind membedakan empat gaya pengasuhan yaitu;
authoritative, authoritarian, permissive dan uninvolved. Masing-masing
pola pengasuhan tersebut menimbulkan dampak yang berbeda-beda pada
kecerdasan emosional remaja.
Orang tua yang menerapkan pola asuh authoritative mendorong
remaja untuk mandiri tetapi masih menetapkan batasan-batasan dan
kontrol atas perilaku remaja. Orang tua juga menunjukan kehangatan dan
sangat komunikatif dengan remaja (Santrock, 2014). Pola asuh
autrhoritative menghasilkan remaja dengan kemampuan sosial,
self-esteem, dan perfoemansi sekolah yang baik. Remaja juga memiliki emosi
tingkat depresi yang rendah (Darling, 2014). Hal tersebut disebabkan
orang tua mampu memberikan pemantauan, pendisiplinan yang efektif
serta memberikan dukungan- dukungan yang diperlukan oleh remaja
(Santrock, 2014).
Pola asuh authoritarian memiliki karakteristik tingginya tingkat
kontrol orang tua terhadap remaja. Orang tua mengarahkan remaja untuk
mengikuti arahan dan aturan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini
cenderung menerapkan hukuman atas perilaku anak yang tidak sesuai
dengan standar orang tua. Orang tua juga sangat jarang mengekspresikan
kasih sayang kepada remaja baik secara verbal maupun fisik. Remaja yang
mendapat pengasuhan dengan gaya authoritarian cenderung memiliki
kecemasan yang tinggi, dan kemampuan berkomunikasi yang buruk
(Santrock, 2014). Remaja juga mengalami kesulitan untuk mengatur
emosi mereka sendiri (Gottman dan DeClaire, 2008).
Sementara itu, pola asuh permissive (indulgent) identik dengan
perilaku orang tua yang menunjukkan kehangatan yang tinggi tetapi
menetapkan sedikit sekali kontrol kepada remaja. Dengan kata lain, orang
tua sangat memanjakan remaja. Akibatnya remaja memiliki pengendalian
diri yang kurang baik. (Santrock, 2014). Remaja yang diasuh oleh orang
tua permissive juga memiliki kesadaran diri (self-awarness) yang rendah.
Hal ini disebabkan remaja selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan
akibatnya remaja tidak mampu menangani emosi-emosi yang sulit dan
mengalami kesulitan dalam menjalin relasi dengan orang lain (Gottman
dan DeClaire, 2008).
Terakhir adalah pola asuh neglectful (uninvolved). Orang tua dengan
pola asuh neglectful tidak terlibat dalam kehidupan remaja. Orang tua
tidak menunjukkan kehangatan dan tidak memberlakukan batasan/kontrol
pada perilaku remaja. Remaja menjadi kurang memiliki kontrol diri dan
terjerumus perilaku negatif (Santrock, 2014). Penelitian yang dilakukan
oleh Rohner, Khaleque, dan Cournoyer (2009) memperlihatkan bahwa
remaja yang mempersepsi penolakan dari orang tua cenderung memiliki
masalah perilaku, tempramen yang buruk, dan empati yang rendah.
Remaja juga rentan mengalami ketidakstabilan emosi dan kesulitan untuk
mengekspresikan perasaannya terhadap orang lain.
Melihat kenyataan di atas, peneliti ingin mengetahui apakah pola
asuh authoritative, authoritarian, permissive, dan uninvolved berpengaruh
pada kecerdasan emosional remaja.
B. Rumusan Masalah
Apakah pola asuh authoritative, authoritarian, permissive, dan
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pola asuh
authoritative, authoritarian, permissive, dan uninvolved pada kecerdasan
emosional remaja.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperkaya
literatur dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam kajian psikologi
perkembangan mengenai pola asuh orang tua, serta untuk
mengembangkan kajian kecerdasan emosional dalam ranah psikologi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi subjek
Subjek diharapkan dapat mengembangkan kecerdasan
emosionalnya berdasarkan pola asuh yang diterima dari orang tua.
b. Bagi Orang tua / Pendamping remaja
Hasil penelitian ini dapat digunakan membantu orang
tua/pendamping remaja untuk menerapkan pola asuh yang dapat
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kecerdasan emosional
1. Definisi Kecerdasan emosional
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dikememukakan pada tahun
1990 oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer (Goleman, 1997).
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
kemampuan memahami perasaan, menggunakan dan meregulasi emosi
secara efektif untuk mencapai suatu tujuan. (Mayer & Salovey, 2004).
Goleman (1997) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
berbagai kemampuan, seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri,
bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, mengatur
suasana hati dan menjaga agar stressor tidak melumpuhkan kemampuan
berpikir.
Menurut Atkinson (1987), kecerdasan emosional mencakup
pengendalian diri, empati, menjalin hubungan yang baik dengan orang
lain, serta kemampuan untuk memecahkan masalah.
Berdasarkan definisi dari Salovey dan Mayer, Goleman, dan
Atkinson, peneliti menyimpulkan kecerdasan emosional adalah
kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memahami perasaan,
memotivasi diri sendiri,menjalin hubungan yang baik dengan orang lain,
serta menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai suatu tujuan.
2. Aspek-aspek Kecerdasan emosional
Salovey dan Mayer (dalam Mayer & Salovey, 1997; Salovey &
Grewal, 2005) mencetuskan teori Four Branch Model on Emotional
Intelligence yang membagi kecerdasan emosional ke dalam empat aspek.
Keempat aspek tersebut adalah sebagai berikut :
a. Mempersepsi emosi (Perceiving emotion)
Mempersepsi emosi adalah kemampuan untuk menafsirkan dan
mengidentifikasi emosi pada wajah, gambar, suara, atau karya seni.
(Salovey dan Grewal, 2005). Kemampuan ini mulai dipelajari sejak
masih bayi, dimulai dengan mengidentifikasi keadaan emosi pada diri
sendiri dan orang lain serta belajar untuk membedakan keadaan
emosi-emosi yang ada. (Mayer & Salovey, 1997). Lebih jauhnya, individu
menyadari suasana hati (mood) yang dialami dan pikiran-pikirannya
terkait mood tersebut (Goleman, 1995).
Individu juga mampu untuk mengekspresikan perasaan secara
akurat. Individu yang cerdas secara emosi mengetahui ekspresi dan
manifestasi emosi sehingga mereka menjadi sensitif terhadap
kejanggalan atau ekspresi yang manipulatif (Mayer & Salovey, 1997).
Goleman (1995) mengemukakan bahwa individu yang
perasaan yang ada dalam diri mereka. Kesadaran akan perasaan
tersebut mendorong individu untuk menentukan pilihan. Individu lebih
yakin tentang bagaimana perasaan mereka terkait keputusan pribadi
yang mereka ambil. Mempersepsi emosi adalah kemampuan yang
paling dasar dari kecerdasan emosional karena mempersepsi emosilah
yang memungkinkan terjadinya pemrosesan informasi yang terkait
dengan emosi (Salovey & Grewal, 2005).
b. Menggunakan emosi (using emotion)
Menggunakan emosi merupakan kemampuan untuk memanfaatkan
emosi untuk memfasilitasi berbagai macam aktivitas kognitif, seperti
berpikir dan memecahkan masalah (Salovey & Grewal, 2005). Seiring
dengan kematangan individu, emosi mulai membentuk dan
meningkatkan pikiran dengan mengarahkan perhatian individu pada
perubahan-perubahan yang penting. Contohnya, ketika seorang anak
khawatir dengan pekerjaan rumahnya, tetapi tetap menonton televisi.
Sementara seorang guru yang memiliki pemikiran yang lebih
berkembang akan lebih memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya
sebelum perhatiannya teralihkan pada hal-hal yang menyenangkan
(Mayer & Salovey, 1997).
Selain itu, menggunakan emosi juga termasuk didalamnya
lebih mudah dipahami (Mayer & Salovey, 1997). Individu yang cerdas
secara emosi tahu kapan harus melibatkan atau memisahkan emosi
dari pikiran (Mayer,Roberts, & Barsade, 2008).
Emosi juga dapat memfasilitasi pikiran dengan membuat individu
mempertimbangkan banyak perspektif (Mayer & Salovey, 1997.
Individu yang cerdas secara emosi dapat menguasai seutuhnya
perubahaan mood-nya agar sesuai dengan tugas atau pekerjaan yang
mereka miliki (Salovey & Grewal, 2005).
c. Memahami dan menganalisa emosi (Understanding emotion)
Kemampuan memahami serta mengerti relasi di antara emosi yang
kompleks. Kemampuan ini meliputi kemampuan untuk peka dengan
bernagai macam emosi yang berbeda tipis, seperti merasa senang
(happy) dan sangat senang (ecstatic) (Salovey & Grewal, 2005).
Aspek ini juga mencakup kemampuan untuk mengenali dan
mendeskripsikan bagaimana emosi berkembang seiring waktu,
Kemampuan ini berkembang, segera setelah anak mampu mengenali
emosi, anak akan melabel dan memahami relasi di antara label-label
yang ada. Kemudian, anak mulai belajar persamaan dan perbedaan
antar emosi, seperti menyukai dan mencintai, kesal dan marah, dan
lain sebgainya. Anak juga akan belajar secara otomatis makna relasi
tumbuh dan berkembang juga akan mulai mengenali adanya emosi
yang kompleks dan kontradiktif yang mungkin muncul pada situasi
dan kondisi tertentu. Misalnya individu akan belajar bahwa mungkin
untuk mempersepsi cinta dan benci terhadap orang yang sama (Mayer
& Salovey, 1997).
Pada tahap perkembangan ini, individu juga akan belajar
mengenai kombinasi emosi. Misalnya, takjub terkadang dilihat sebagai
kombinasi dari rasa takut dan terkejut, harapan dianggap sebagai
kombinasi kepercayaan dan optimisme (Mayer & Salovey, 1997).
Panalaran tentang perkembangan emosi dalam relasi interpersonal
inilah yang merupakan pusat dari kecerdasan emosi (Mayer &
Salovey, 1997).
d. Mengatur atau meregulasi emosi
Kemampuan ini adalah kemampuan dalam area yang paling tinggi
dalam kecerdasan emosional. Kemampuan ini terkait kemampuan
meregulasi emosi secara sadar, baik dalam diri sendiri ataupun orang
lain untuk meningkatkan perkembangan emosi dan kecerdasan
individu. Reaksi emosi harus ditoleransi, bahkan diterima ketika
terjadi, terlepas dari apabila reaksi tersebut menyenangkan atau tidak.
Hanya orang yang mau memperhatikan perasaan yang ada yang dapat
ini dimulai dengan kemampuan untuk terbuka terhadap perasaan
(Mayer & Salovey, 1997).
Dalam perkembangannya, individu akan belajar mengenai
emosi-emosi yang pantas dan tidak pantas untuk diekspresikan pada publik.
Oleh karena itu, individu belajar bahwa emosi dapat dipisahkan dari
perilaku. Sebagai konsenuensi, individu belajar untuk mengikuti atau
tidak mengikuti emosi pada waktu-waktu yang tepat. Merasa marah
pada seseorang karena ketidakadilan dapat berguna bagi penalaran
terkait situasi yang ada, tetapi menjadi berkurang kegunaannya ketika
rasa marah mencapai titik yang klimaks. Individu yang cerdas secara
emosi akan mengetahui bahwa ia harus menahan dirinya dan
mendiskusikan permasalahan dengan orang kepercayaan yang lebih
tenang (cool-headed). Selanjutnya, pengalaman dari emosi tersebut
digunakan untuk proses penalaran, yaitu memotivasi dan
memfasilitasi, misalnya memicu kemarahan seseorang untuk melawan
ketidakadilan (Mayer & Salovey, 1997). Dengan demikian, individu
yang cerdas secara emosi mampu memanfaatkan emosi, termasuk
yang negatif, dan mengelolanya untuk mencapai tujuan tertentu.
Berikut tabel mengenai kemampuan-kemampuan dalam area
Tabel 1
Kemampuan-kemampuan dalam area kecerdasan emosional
No Aspek Kecerdasan
Emosi
Kemampuan dalam aspek kecerdasan emosional
1. Mempersepsi emosi Mengidentifikasi keadaan emosi, perasaan dan pikiran diri sendiri
Mengidentifikasi emosi pada orang lain, gambar, suara, atau karya seni.
Mengekspresikan emosi secara akurat
Membedakan jujur atau tidak jujur suatu perasaan 2. Menggunakan emosi Mampu melibatkan atau memisahkan emosi dari pikiran
Memanfaatkan emosi untuk memfasilitasi berbagai macam aktivitas kognitif dan memecahkan masalah
Mempertimbangkan sesuatu dari berbagai sudut pandang.
Mampu menguasai perubahan suasana hati yang terjadi dalam diri
3. Memahami dan menganalisa emosi
Melabel emosi dan mengenali relasi antara label-label yang ada.
Menginterpretasi makna relasi antar emosi Mengerti relasi diantara emosi yang kontradiktif,
Mengenali adanya emosi yang kompleks yang berbeda tipis
4. Mengatur dan Meregulasi emosi
Kemampuan untuk terbuka terhadap perasaan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan.
Kemampuan untuk memisahkan emosi dari perilaku
Kemampuan untuk mengikuti atau tidak mengikuti emosi pada waktu-waktu tertentu.
2. Faktor-faktor Pembentuk Kecerdasan emosional
Goleman (1997) menyebutkan terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi terbentuknya kecerdasan emosional pada individu,
yaitu :
a. Faktor internal
Faktor internal yang membentuk kecerdasan emosional
individu adalah anatomi saraf emosi. emotional brain (otak
emosional). Bagian otak yang bergungsi untuk mengatur emosi
meliputi sistem limbik, area neokorteks dan prefrontal serta
amygdala. Wilayah otak tersebut adalah bagian yang paling lambat
matang. Ketika area sensorik matang selama masa kanak-kanak
awal dan sistem limbik berkembang matang saat pubertas, lobus
frontal, tempat kontrol emosi, pemahaman, dan respon artistik
masih terus berkembang hingga usia 16 sampai dengan usia 18
tahun.
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya kecerdasan
emosional adalah keluarga. Keluarga merupakan lingkungan
terkecil yang dimiliki oleh seseorang. Pendidikan pertama yang
diterima oleh individu pun berasal dari keluarga. Selain itu,
interaksi di dalam keluarga akan mempengaruhi tingkah laku anak
tua memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dalam
mendidik anak-anaknya (Wahyuningytas, 2010). Salah satunya
melalui adalah pola asuh yang diterapkan oleh orang tua.
Faktor eksternal lainnya yang turut mempengaruhi
terbentuknya kecerdasan emosional adalah lingkungan sosial
individu, serta lingkungan sekolah. Bentuk pendidikan emosi yang
ada di sekolah salah satunya melalui pengajaran budi pekerti di
sekolah.
3. Individu yang Cerdas secara Emosi
Berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosional (Mayer,
Salovey, & Caruso, 2004), maka individu yang memiliki kecerdasan
emosional yang tinggi adalah individu yang dapat mempersepsi emosi,
menggunakan emosi dalam pikiran, memahami makna emosi, dan
meregulasi emosi. Mereka mampu mendeskripsikan atau menjelaskan
tujuan, target, dan misi dalam hidup mereka (Mayer, Salovey, &
Caruso, 2004). Dalam menyelesaikan konflik, individu dengan
kecerdasan emosional tinggi tidak membutuhkan upaya kognitif yang
besar. Mereka juga cenderung memiliki keterampilan sosial dan
kemampuan verbal yang lebih tinggi, terutama jika individu memiliki
skor yang tinggi dalam area memahami emosi. Selain itu, mereka yang
memiliki kecerdasan emosional yang tinggi juga cenderung lebih
Selain itu, jika dibandingkan dengan yang lainnya, individu dengan
kecerdasan emosional yang tinggi jarang terlibat dalam perilaku
bermasalah dan menghindari perilaku merusak diri, seperti merokok,
minum minuman keras berlebihan, memakai obat-obatan terlarang, atau
melakukan kekerasan terhadap orang lain. Individu yang memiliki
kecerdasan emosional yang tinggi juga memiliki kelekatan yang
sentimental terhadap keluarga (home) dan memiliki interaksi sosial yang
lebih positif dengan orang-orang disekitarnya.
B. Pola Asuh 1. Pola Asuh
Pola asuh merupakan pola sikap mendidik dan memberikan perlakuan
terhadap anak (Syamsu, 2000). Baumrind (dalam Alizadeh et al, 2011)
mendefinisikan pola asuh sebagai keseluruhan kegiatan yang terdiri dari
beberapa perilaku khusus dari orangtua yang bekerja secara bersama
maupun secara individual, yang kemudian berpengaruh terhadap perilaku
anak
Berk (2006) mendefinisikan pola pengasuhan sebagai kombinasi dari
perilaku orangtua yang terjadi diseluruh situasi dan menciptakan iklim
pengasuhan anak yang tetap. Pola asuh orang tua merupakan pola interaksi
antara anak dengan orang tua bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik
(seperti makan, minum) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman,
berlaku di masyarakat agar anak hidup selaras dengan lingkungan
(Santrock, 2002).
Berdasarkan berbagai definisi tersebut disimpulkan bahwa pola asuh
orangtua adalah serangkaian interaksi orang tua untuk bekerjasama
memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, dan mengajarkan norma-norma
dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat sehingga berpengaruh pada
perilaku anak.
2. Dimensi dalam Pola asuh
Terdapat dua dimensi yang dianggap signifikan dalam pola asuh. Dua
dimensi tersebut adalah kontrol dan responsivitas (Baumrind dalam
Santrock, 2014).
Dimensi kontrol meliputi tuntutan yang diberikan orangtua pada anak
agar anak menjadi individu yang dewasa dan bertanggungjawab serta
memberlakukan aturan dan batasan yang sudah ditetapkan (Nixon dan
Halpenny, 2010). Dimensi responsivitas meliputi dukungan kehangatan
dan kasih sayang yang ditunjukkan orangtua kepada anak (Nixon dan
Kontrol
Gambar 1 Dinamika Dimensi Pola Asuh
3. Jenis-Jenis Pola asuh
Keterkaitan antara dimensi kontrol dan responsibilitas membentuk
empat jenis pola asuh. Keempat pola asuh tersebut adalah authoritative,
authoritarian, permissive, dan uninvolved (Baunrind dalam Santrock,
2014).
Orang tua yang memberikan responsivitas dan kontrol secara
seimbang dikategorikan sebagai pola asuh authoritative. Orang tua yang
memberikan kontrol tanpa disertai dengan responsivitas disebut sebagai
pola asuh authoritarian. Sebaliknya, jika orang tua memberikan
responsivitas tanpa adanya kontrol, maka dapat disebut sebagai pola asuh
permissive. dan orang tua yang tidak memberikan responsivitas ataupun
kontrol dapat disebut sebagai pola asuh uninvolved (Baumrind, 1991
dalam Darling, 2014).
Dengan demikian terdapat empat jenis pola asuh yang memiliki
dampak berbeda terhadap remaja menurut Baumrind, yaitu :
+ -
Authoritative Permissive
Uninvolved Authoritarian
+
-
a. Pola asuh Authoritative
Pola asuh authoritative ditunjukan oleh tingginya tingkat kontrol
dan tuntutan kedewasaan, dalam konteks pengasuhan. Pendisiplinan
melibatkan penggunaan logika dan kekuasaan, tetapi tidak sampai
melewati batas otonomi remaja. Pola asuh authoritative memiliki
keseimbangan antara dimensi kontrol dan responsivitas. Orang tua
menerapkan sistem musyawarah dalam pengambilan keputusan dan
mendorong komunikasi verbal timbal balik. Selain itu, orang tua juga
memberikan afeksi positif (kasih sayang dan kehangatan, penerimaan)
pada remaja (Baumrind 1971, 1991, dan 2012 dalam Santrock, 2014).
Pola asuh authoritative menghasilkan remaja dengan kemampuan
sosial, self-esteem dan performansi sekolah yang baik. Remaja juga
memiliki emosi yang stabil dan jarang terlibat dengan perilaku
bermasalah serta memiliki tingkat depresi yang rendah (Darling,
2014). Hal tersebut dikarenakan orangtua mampu memberikan
pemantauan, pendisiplinan yang efektif serta memberikan
dukungan-dukungan yang diperlukan oleh remaja (Santrock, 2014).
b. Pola asuh Authoritarian
Pola asuh authoritarian diidentifikasi dengan tingginya tingkat
tuntutan dan kontrol pada remaja, disertai dengan rendahnya tingkat
remaja untuk mengikuti seluruh arahan mereka. Orang tua
memberlakukan hukuman terhadap perilaku remaja yang menyimpang
dari standar mereka. Dalam pola asuh authoritarian, dimensi kontrol
lebih menonjol dibandingkan dengan dimensi responsivitas. Orangtua
menetapkan batasan yang tegas dan tidak memberi peluang yang
cukup untuk anak dapat menyampaikan pendapatnya. Mereka lebih
mengambil jarak dan tidak hangat. Remaja yang diasuh oleh orang tua
authoritarian memiliki kecemasan yang tinggi, dan kemampuan
komunikasi yang buruk, serta sulit untuk mengekspresikan perasaan
(Baumrind 1971, 1991, dan 2012 dalam Santrock, 2014)
Darling (2014) menyebutkan, remaja yang dibesarkan dengan pola
asuh authoritarian memiliki performansi sekolah yang baik dan jarang
memiliki perilaku bermasalah. Tetapi, remaja yang menerima pola
asuh ini cenderung mudah depresi serta memiliki kemampuan sosial
dan self-esteem yang rendah. Pemantauan dan pendisiplinan dengan
cara menghukum membuat anak cenderung berusaha berperilaku baik
dan memenuhi tuntutan orangtua agar terhindar dari hukuman. Akan
tetapi, kurangnya dukungan dan kehangatan pada anak berdampak
c. Pola asuh Permissive
Pola asuh Permissive (indulgent) ditandai dengan tingginya tingkat
responsivitas akan tetapi orang tua kurang memberikan tuntutan dan
kontrol pada remaja. Orang tua permissive sangat terlibat dengan
remaja namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang
tua membiarkan remaja melakukan apa saja yang mereka inginkan.
Mereka menghargai ekspresi diri dan pengaturan diri. Mereka hanya
membuat sedikit permintaan dan membiarkan anak memonitor
aktivitas mereka sendiri. Mereka hangat, tidak mengontrol, dan tidak
menuntut.
Greenwood (2013) dalam Efobi dan Nwokolo (2014)
menyebutkan bahwa orangtua dengan pola asuh permissive terbuka
secara afeksi namun tidak memberikan batasan pada remaja.
Akibatnya, Remaja kurang mampu mengendalikan tingkah laku
mereka dan melakukan apapun yang ingin mereka lakukan. Remaja
juga mengalami kesulitan untuk menjalin relasi dengan lingkungan
sosialnya. Dampak lain yang diterima remaja adalah ketidakmampuan
remaja untuk berempati dengan orang lain (Santrock, 2002).
d. Pola asuh Uninvolved
Pola asuh uninvolved, orangtua tidak terlibat di dalam kehidupan
anak. Dalam pola asuh ini, baik dimensi kontrol maupun responsivitas
berfokus pada kebutuhannya sendiri dan mengabaikan kebutuhan
anak. (Baumrind 1971, 1991, dan 2012 dalam Santrock, 2014)
Remaja yang diasuh dengan pola uninvolved cenderung memiliki
rasa kurang berharga dan tingkat depresi cenderung tinggi. Selain itu
performansi sekolah dan kemampuan sosial cenderung rendah disertai
dengan tingkat perilaku bermasalah yang tinggi (Darling, 2014).
Remaja yang menerima pola asun uninvolved merasa bahwa
aspek-aspek lain kehidupan orang tuanya lebih penting dari dirinya. Hal ini
dikarenakan kurangnya monitoring dari orang tua dan tidak adanya
kehangatan dan afeksi yang diekspresikan orang tua kepada remaja.
Berikut adalah tabel yang mengemukakan ciri-ciri tiap Pola Asuh
Tabel 2
Ciri-ciri Pola Asuh Orang Tua
Jenis Pola Asuh
Responsivitas Kontrol
Authoritative Menekankan komunikasi dua arah, mengekspresikan afeksi positif (kasih sayang, kehangatan dan penerimaan)
Memberikan tuntutan untuk dewasa dan bertangung jawab, Menjelaskan alasan dibalik pendisiplinan
Authoritarian Menjaga jarak dan tidak hangat, Membatasi pertukaran pendapat.
Memberlakukan aturan yang tegas, Pendisiplinan menggunakan taktik hukuman
Permissive Terbuka secara afeksi namun terlalu memanjakan, memenuhi semua keinginan anak
Memberikan kebebasan untuk melakukan apa saja yang ingin dilakukan, Membiarkan remaja memonitor aktivitasnya sendiri
Uninvolved Mengabaikan kebutuhan remaja, menjauh dan menarik diri secara emosional
Tidak memberikan tuntutan, TIdak memberikan tuntutan kepada remaja, tidak mengontrol perilaku anak
C. REMAJA
1. Definisi Remaja
Remaja berasal dari bahasa latin “adolescere” yang berarti tumbuh
menjadi matang (Steinberg, 2002). Sementara itu, Papalia, Olds dan
Feldman (2009) menyebutkan bahwa remaja adalah transisi
perkembangan yang terjadi kira-kira pada umur 10 atau 11 tahun sampai
awal dua puluh tahun yang meliputi transisi pada ranah fisik, kognitif dan
psikososial. Definisi remaja juga dapat dilihat berdasarkan usia
bagian, yaitu remaja awal (13-16 tahun) dan masa remaja akhir (17-18
tahun).
Pada tahun 1974 Badan kesehatan dunia atau WHO (dalam Sarwono,
2011) mendefinisikan remaja sebagai suatu masa ketika :
a) Remaja mengalami perkembangan biologis yang ditandai dengan
munculnya tanda-tanda seksual sekunder.
b) Remaja mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi
dari kanak-kanak menjadi dewasa.
c) Remaja mengalami peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi
yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
Selain itu, berdasarkan hasil riset dasar kesehatan pada tahun 2010,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
RI mengkategorikan usia remaja menjadi dua kelompok, yaitu remaja
awal (13-15tahun) dan remaja akhir (16-18 tahun). Batas usia remaja awal
didapatkan berdasarkan analisis yang dilakukan dengan mengamati
keseluruhan proses perkembangan reproduksi yang dialami perempuan
mulai dari usia pertama menstruasi (menarche) yang merupakan awal dari
proses reproduksi dimulai, sampai dengan reproduksi berakhir
(menopause). Hasil analisis menemukan bahwa 37,5% perempuan
Indonesia mengawali usia reproduksi pada usia 13-14 tahun. (Riset
Terkait dengan kecerdasan emosional, Goleman (1995)
mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional diatur oleh otak emosional
(emotional brain) yang meliputi sistem limbik, neokorteks dan prefrontal,
serta amygdala. Keempat bagian otak tersebut berkembang matang pada
saat individu berada pada tahap remaja (pubertas hingga usia 18 tahun).
2. Aspek Perkembangan Remaja
Memasuki masa remaja, terjadi transisi dalam 3 aspek kehidupan
yaitu,
a. Aspek Fisik
Pubertas merupakan awal penting yang menandai masa remaja.
Pubertas adalah perubahan cepat pada kematangan fisik yang meliputi
perubahan tubuh dan hormonal yang terutama terjadi selama masa
remaja awal (Santrock, 2009).
Marshall (1978 dalam Steinberg, 2002) menyebutkan bahwa
terdapat lima perubahan fisik yang terjadi selama masa pubertas, yaitu
(1) perubahan tinggi dan berat badan yang berlangsung sangat cepat,
(2) perkembangan karakteristik seks primer, termasuk perubahan
kelenjar kelamin, yaitu testis pada laki-laki dan ovarium pada
perempuan, (3) perkembangan karakteristik seks sekunder (4)
dan lemak pada tubuh, (5) perubahan pada sistem peredaran darah dan
pernapasan.
b. Aspek Kognitif
Memasuki masa remaja, pemikiran individu menjadi lebih
abstrak dan logis dibandingkan dengan anak-anak (Piaget dalam
Santrock, 2002). Menurut Piaget, tahap perkembangan kognitif ini
disebut dengan istilah operasional formal. Dalam tahap ini, remaja
memiliki kemampuan untuk berkhayal, mengembangkan ide-ide dan
hipotesis, bernalar secara abstrak dan cenderung idealis (Santrock,
2002).
Pemikiran remaja dalam tahap ini bersifat egosentris.
Egosentrisme remaja dibagi menjadi dua, yaitu penonton khayalan dan
dongeng pribadi (Elkind dalam Santrock, 2002). Penonton khayalan
adalah keyakinan remaja bahwa orang lain memperhatikan dirinya
sebagaimana dirinya sendiri yang muncul dalam perilaku mengundang
perhatian (Santrock, 2002). Remaja merasa bahwa tidak ada
seorangpun yang memahami perasaan mereka. Sebagai hasilnya,
remaja dapat mengarang cerita tentang dirinya sendiri yang dipenuhi
dengan fantasi atau masuk ke dalam dunia yang jauh dari realitas
c. Aspek Sosio-Emosional
Kondisi emosional dalam tahap remaja masih labil dan sangat
dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya seperti keluarga. Erikson
(1968) berpendapat bahwa dalam tahap ini remaja dihadapkan pada
penentuan identitas dan masa depan (Feist dan Feist, 2006). Oleh
karena itu, Erikson juga berpendapat bahwa peran orangtua sangat
dibutuhkan dalam memberi kesempatan dan dukungan pada remaja
untuk menjelajahi banyak peran dan mendampingi remaja agar dapat
menjelajahi peran secara positif (Erikson dalam Santrock, 2002).
Orangtua yang mampu memberikan kenyamanan secara
emosional akan membawa remaja mencapai identitas yang positif.
Namun apabila remaja mengalami ketidaknyamanan emosional,
remaja cenderung memberikan reaksi defensif seperti agresif atau
D. Dinamika Pola Asuh Orang Tua sebagai Prediktor Kecerdasan emosional Pada Remaja
Kecerdasan emosional adalah keterampilan yang dimiliki individu untuk
mengelola emosi dengan baik, sehingga dapat dimanfaatkan untuk
memecahkan berbagai masalah kehidupan sehari-hari (Goleman, 1995).
Salah satu faktor eksternal yang membentuk kecerdasan emosional
adalah keluarga. Keluarga merupakan sekolah pertama bagi individu untuk
belajar mengenai emosi (Goleman, 1995). Pengalaman-pengalaman yang
terjadi selama masa kanak-kanak hingga remaja sangat mempengaruhi
kehidupan emosi seseorang. Berkembangnya kecerdasan emosional remaja
tidak dapat dipisahkan pola asuh yang mereka terima dari orang tua. Pola asuh
merupakan cara orang tua membesarkan anak dengan memenuhi kebutuhan
anak, memberikan perlindungan, mendidik anak, serta menanamkan nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat agar anak hidup selaras dengan lingkungan
(Baumrind dalam Berk, 2006).
Remaja belajar mengenai peran-peran yang ada dalam masyarakat seperti
nilai-nilai, sikap serta perilaku yang pantas dan tidak pantas, atau baik dan
buruk melalui pengasuhan orang tua. Pola asuh orang tua sangat berpengaruh
terhadap kecerdasan emosional remaja (Gottman dan DeClaire, 2008).
Remaja yang diasuh oleh orang tua authoritative merasakan kehangatan,
penerimaan, dukungan dan kasih sayang yang diekspresikan oleh orang tua.
positif, dan kemampuan regulasi emosi pada remaja (Rohner 1999,). Regulasi
emosi merupakan salah satu aspek dari kecerdasan emosional. Individu yang
mampu meregulasi emosi akan memanfaatkan emosi, termasuk emosi negatif,
dan mengelolanya untuk mencapai tujuan tertentu (Salovey & Grewal, 2005).
Salah satu karakteristik pola asuh authoritarian adalah tingginya kontrol
yang diberian orang tua kepada remaja, tetapi tidak disertai dengan
kehangatan. Orang tua yang menerapkan pola asuh authoritarian menetapkan
aturan dan batasan yang ketat pada remaja. Orang tua juga menerapkan taktik
hukuman atas perilaku remaja yang menyimpang dari standar yang telah
ditetapkan (Baumrind dalam Santrock, 2014). Remaja yang mendapatkan pola
asuh authoritarian sangat rentan mengami kecemasan, depresi , serta berbagai
emosi negatif lainnya. Remaja yang diasuh dengan pola asuh authoritarian
mengalami kesulitan untuk mengatur emosi mereka sendiri (Gottman dan
DeClaire, 2008). Ketidakmampuan remaja dalam mengatur emosi akan
berdampak pada kemampuan mereka dalam mengidentifikasi emosi yang ada
pada diri mereka sendiri serta orang lain. Salah satu aspek kecerdasan
emosional yang paling mendasar adalah kemampuan individu untuk
menyadari dan mengidentifikasi emosi pada diri sendiri. (Salovey & Grewal,
2005)
Orang tua yang menerapkan pola asuh permissive (indulgent) cenderung
memberikan kehangatan yang tinggi tanpa disertai dengan kontrol atas
remaja untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan. Orang tua
berpendapat bahwa kebebasan yang diberikan akan mendorong kreativitas
serta rasa percaya diri pada remaja (Santrock, 2014). Remaja yang diasuh
dengan pola asuh permissive cenderung memiliki kontrol diri yang rendah,
dan memiliki kesadaran emosi (emotional-self awarness) yang rendah. Hal ini
dikarenakan remaja selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan dan tidak
mendapatkan tuntutan untuk mengendalikan perilaku. Akibatnya remaja tidak
mampu untuk menangani emosi-emosi yang sulit dan mengalami kesulitan
dalam menjalin relasi dengan orang lain (Gottman dan DeClaire, 2008).
Jenis pola asuh yang terakhir adalah pola asuh uninvolved. Karakteristik
dari pola asuh orang tua uninvolved adalah rendahnya kehangatan serta
kontrol orang tua terhadap remaja. Dengan kata lain, orang tua tidak terlibat
dengan kehidupan remaja. Remaja yang mendapatkan pola asuh uninvolved
dari orang tuanya cenderung memiliki perasaan tidak berharga (Santrock,
2014). Berdasarkan teori Baumrind mengenai pola pengasuhan, orang tua
yang menerapkan pola asuh uninvolved tidak terlibat secara emosional dengan
anak-anaknya (Baumrind dalam Santrock, 2014). Hal ini membuat remaja
tidak merasakan penerimaan dan kehangatan dari orang tua. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Rohner, Khaleque, dan Cournoyer pada tahun
2009, remaja yang mempersepsi penolakan dari orang tua cenderung memiliki
masalah perilaku, temperamen yang buruk, dan empati yang rendah. Remaja
emosi, kesulitan untuk mengekspresikan perasaannya dan sulit untuk
membangun relasi dengan orang lain. Salah satu ciri dari individu yang
memiliki kecerdasan emosional adalah mampu mengekspresikan perasaannya
serta meregulasi emosi secara positif untuk membangun hubungan dengan
orang lain.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh
E. Bagan Pengaruh Pola Asuh pada Kecerdasan Emosional Remaja
1. Bagan pengaruh pola asuh authoritative pada kecerdasan emosional remaja
Pola Asuh
Authoritative
Kontrol Tinggi Responsivitas
Tinggi
- Memberikan Tuntutan
untuk bertanggung jawab
- Menjelaskan alasan dibalik pendisiplinan
- Menekankan
komunikasi dua arah
- Mengekspresikan afeksi positif (kasih sayang, kehangatan, dan penerimaan)
- Merasa diterima dan disayangi
- Merasasa didukung
- Memiliki emosi yang stabil
2. Bagan Pengaruh Pola Asuh Authoritarian pada Kecerdasan Emosional Remaja
Pola Asuh Authoritarian
Kontrol Tinggi Responsivitas
Rendah
- Memberlakukan aturan
tegas
- Memberlakukan
hukuman atas perilaku
remaja yang menyimpang dari standar mereka
- Menjaga jarak dan tidak hangat
- Membatasi pertukaran pendapat
- Ketidakstabilan emosi - Tingkat depresi tinggi - Kesulitan untuk
mengekspresikan emosi
3. Bagan pengaruh Pola asuh permissive pada kecerdasan emosional remaja
Pola Asuh Permissive
Kontrol Rendah Responsivitas
Tinggi
- Memberikan kebebasan penuh kepada remaja.
- Membiarkan remaja memonitor aktiviasnya sendiri
- Hangat
- Terbuka secara afektif namun cenderung memanjakan
- Kesulitan dalam menjalin relasi dengan orang lain
- Kurangnya pengendalian diri
- Kesulitan dalam memahami emosi diri
4. Bagan pengaruh pola asuh uninvolved pada kecerdasan emosional remaja
Pola Asuh Uninvolved
Kontrol Rendah Responsivitas
Rendah
- Tidak memberikan
tuntutan apapun kepada
remaja
- Tidak memberlakukan
kontrol kepada remaja
- Tidak peka dengan kebutuhan fisik maupun psikologis remaja
- Menarik diri secara emosional
- Merasakan penolakan dari orang tua
- Merasa tidak disayangi
- Depresi
- Tempramen buruk
- Empati Rendah
F. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah :
1. Pola asuh authoritative berpengaruh positif signifikan pada kecerdasan
emosional remaja ; peningkatan skor pada pola asuh authoritative
meningkatkan skor kecerdasan emosional.
2. Pola asuh authoritarian berpengaruh negatif signifikan pada kecerdasan
emosional remaja ; peningkatan skor pada pola asuh authoritarian
menurunkan skor kecerdasan emosional.
3. Pola asuh permissive berpengaruh negatif signifikan pada kecerdasan
emosional remaja ; peningkatan skor pada pola asuh permissive
menurunkan skor kecerdasan emosional.
4. Pola asuh uninvolved berpengaruh negatif signifikan pada kecerdasan
emosional remaja ; peningkatan skor pada pola asuh uninvolved
39
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif korelasional dengan
teknik analisis regresi (Sugiyono, 2009). Penelitian ini bertujuan untuk
melihat apakah pola asuh orang tua authoritative, authoritarian,
permissive, dan uninvolved memprediksi kecerdasan emosional remaja.
B. Identifikasi Variabel
Penelitian ini memiliki dua variabel, yaitu :
1. Variabel independen : Pola asuh orang tua yang terdiri dari pola
asuh authoritative, pola asuh authoritarian, pola asuh permissive, dan
pola asuh uninvolved.
2. Variabel dependen : Kecerdasan emosional
C. Definisi Operasional 1. Pola Asuh
Pola asuh adalah serangkaian interaksi orang tua untuk
bekerjasama memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, dan mengajarkan
norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat sehingga
berpengaruh pada perilaku individu.
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala pola asuh
Cara pengkategorian pola asuh menggunakan kategori bukan
jenjang (nominal). Tujuan kategori ini adalah menempatkan
individu ke dalam kelompok-kelompok diagnosis yang tidak memiliki makna “lebih” dan “kurang” atau “tinggi” dan “rendah”
(Azwar, 2002). Pengkategorian pola asuh dilakukan dengan
mengubah skor subjek untuk setiap pola asuh ke dalam Z score.
Rumus yang digunakan untuk menghitung Z score (Azwar,2008) :
Z = (X-M) / SD
Keterangan :
Z = Z score
X = Skor Subjek
M = Mean Kelompok Subjek
SD = Standar Deviasi Kelompok
Subjek akan masuk ke dalam kategori dari masing-masing pola
asuh berdasarkan nilai Z score yang paling tinggi karena telah
menunjukkan kecenderungan dari pola asuh yang diterima oleh
2. Kecerdasan emosional
Kecerdasan emosional adalah kemampuan remaja untuk
memahami, menggunakan dan meregulasi emosi secara efektif untuk
mencapai suatu tujuan. Kecerdasan emosional diukur menggunakan
skala kecerdasan emosional yang disusun empat aspek yang dari
kecerdasan emosional yaitu :
a) Mempersepsi emosi
b) Menggunakan emosi
c) Memahami dan menganalisa emosi
d) Mengatur dan Meregulasi emosi
D. Subjek Penelitian
Subjek dalam pemelitian ini adalah remaja yang berusia 13-18 tahun
tahun. Subjek merupakan pelajar sekolah menengah pertama (SMP) dan
sekolah menengah atas (SMA) di Bekasi. Pemilihan subjek menggunakan
metode non probability purposive sampling, yaitu pemilihan subjek
berdasarkan ciri-ciri tertentu yang berkaitan dengan sifat-sifat populasi
yang sudah diketahui sebelumnya (Ary, Jacobs, Sorensen & Walket,
2014). Peneliti menetapkan dua kriteria untuk penetapan subjek yaitu :
1) Remaja laki-laki atau perempuan dengan rentang usia 13-18 tahun,
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulkan data dilakukan dengan cara menyebarkan skala
yang diisi oleh subjek. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah
skala pola asuh orang tua yang terdiri dari skala pola asuh authoritative,
authoritarian, permissive, uninvolved, dan skala kecerdasan emosional.
F. Alat Pengumpulan Data
1. Skala Pola Asuh Orang tua
Peneliti menggunakan skala pola asuh orang tua yang disusun
berdasarkan dua dimensi pola asuh menurut Baumrind (dalam
Santrock, 2014). Kedua dimensi tersebut adalah kontrol dan
responsivitas.
Pernyataan-pernyataan dalam skala ini terdiri dari item favorable
dan item unfavorable. Pemberian skor pada skala pola asuh orang tua
adalah sebagai berikut :
Tabel 3
Skor Item Skala Pola Asuh Orang tua
Respon Skor Item
Favorable
Skor Item Unfavorable
Sangat Setuju 4 1
Setuju 3 2
Tidak Setuju 2 3
Tabel 4
Sebaran Item Skala Pola Asuh Sebelum Seleksi Item
2. Skala Kecerdasan Emosional
Peneliti menggunakan skala Kecerdasan Emosional yang
disusun berdasarkan aspek-aspek teori kecerdasan emosional menurut
Salovey dan Mayer (2005). Aspek-aspek yang digunakan dalam skala
ini, yaitu :
a. Mempersepsi emosi
b. Menggunakan emosi
c. Memahami dan menganalisis emosi
d. Mengatur atau meregulasi emosi
Pernyataan-pernyataan dalam skala ini terdiri dari item
favorable dan item unfavorable. Pemberian skor pada skala
kecerdasan emosional adalah sebagai berikut :
Tabel 5
Skor Item Skala Kecerdasan Emosional
Respon Skor Item
Sebaran Item Skala Kecerdasan Emosional Sebelum Seleksi Item
G. Validitas dan Reliabilitas
1. Validitas Skala
Validitas adalah kemampuan suatu alat ukur dalam
mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Alat ukur
memiliki validitas tinggi apabila alat ukur tesebut memberi hasil yang
sesuai dengan tujuan pengukuran (Azwar, 2003). Uji validitas dalam
penelitian ini menggunakan dua jenis validitas, yaitu validitas isi dan
validitas konstruk.
Validitas isi adalah analisis logis atau empiris terhadap
seberapa memadai isi tes mewakili ranah isi serta seberapa relevan
ranah isi tersebut sesuai dengan interpretasi skor tes yang
dimaksudkan. Isi tes mengacu pada tema-tema, pilihan kata, serta
format atau bentuk item, tugas, atau pertanyaan yang digunakan dalam
tes. Validitas isi lazim diperoleh melalui penilaian pakar atau ahli
terhadap kesesuaian antara bagian-bagian tes dan konstruk yang
diukur (Supratiknya, 2014).
Dalam penelitian ini validitas isi diperoleh melalui penilaian
Dosen Pembimbing Skripsi, Dosen Psikologi, dan Guru BK yang
merupakan lulusan S2 Psikologi. Penilaian meliputi format skala,
penyusunan kalimat, pemilihan kata, dan kesesuaian antara item
dengan indikator dari atribut yang hendak diukur. Selain itu, penilaian
mahasiswa dan siswa SMP & SMA. Penilaian dilakukan dengan
meminta penilaian dan saran perbaikan mengenai kalimat yang dapat
dipahami untuk setiap item.
Validitas konstruk adalah penilaian tentang sejauh mana
item-item dan komponen-komponen dalam tes saling berhubungan
sedemikian rupa sesuai dengan konstruk yang diukur. Pengujian ini
terkait dengan konsistensi internal atau homogenitas tes. Konsistensi
internal atau homogenitas tes yang tinggi dipandang merupakan bukti
yang kuat bahwa tes tersebut mengukur sebuah konstruk yang
memang hendak diukur oleh peneliti (Supratiknya, 2014).
Validitas konstruk dalam penelitian ini dilakukan melalui
perhitungan korelasi item total. Korelasi item total menggambarkan
tentang hubungan antara masing-masing item dengan skor total tes
sebagai kriteria internal (Supratiknya, 2014). Perhitungan korelasi
item total ini akan dijabarkan lebih detail pada bagian seleksi item.
2. Seleksi Item
Uji coba dilakukan pada tanggal 27 dan 28 Mei 2016. Uji coba
melibatkan 60 remaja berusia 13-18 tahun di SMP Pa Van Der Steur,
dan siswa-siswi SMA di Bimbingan belajar New Concept, Bekasi.
Peneliti menyebarkan 60 buah skala, akan tetapi terdapat 5 buah skala
yang tidak dapat dipergunakan dikarenakan subjek tidak mengisi skala
Seleksi item dilakukan dengan menghitung korelasi item total
dari item yang terdapat pada masing-masing skala yang digunakan
saat uji coba. Perhitungan korelasi item total dapat menunjukkan
item-item yang paling baik mengukur konstruk atau isi yang sedang diukur.
Semakin tinggi korelasi antara skor item dan skor total skala, semakin
baik juga item yang bersangkutan. Item-item yang berkorelasi negatif
dan berkorelasi positif, tetapi niainya rendah dengan skor total harus
digugurkan. Item yang mencapai koefisien korelasi diatas 0.20 daya
bedanya dianggap memuaskan (Supratiknya, 2014).
Peneliti menggunakan koefisien korelasi berbeda pada
masing-masing skala untuk mendapatkan jumlah item yang mencukupi.
Berikut merupakan koefisien korelasi yang digunakan pada
masing-masing skala.
Tabel 7
Koefisien korelasi Skala Pola Asuh Orang tua
Skala Koefisien Korelasi
Skala Pola Asuh Authoritative rᵢₓ ≥ 0.20 Skala Pola Asuh Authoritarian rᵢₓ ≥0 .30 Skala Pola Asuh Permissive rᵢₓ ≥ 0.30 Skala Pola Asuh Uninvolved rᵢₓ ≥ 0.30 Skala Kecerdasan Emosional rᵢₓ ≥ 0.25
Uji seleksi item menggunakan korelasi item total melalui SPSS
for Windows versi 21. Seleksi item pada skala pola asuh orang tua