• Tidak ada hasil yang ditemukan

Usaha meningkatkan pelaksananaan pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang Keuskupan Agung Jakarta melalui katekese model Shared Christian Praxis (SCP).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Usaha meningkatkan pelaksananaan pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang Keuskupan Agung Jakarta melalui katekese model Shared Christian Praxis (SCP)."

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul: “USAHA MENINGKATKAN PELAKSANAAN PEMBINAAN IMAN MANTAN PENDERITA KUSTA DI LINGKUNGAN SITANALA TANGERANG KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA MELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)”. Pemilihan judul ini bertitik tolak dari keprihatinan penulis terhadap pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang, Keuskupan Agung Jakarta. Menurut pengamatan penulis, pelaksanaan pembinaan iman di lingkungan Sitanala Tangerang ini kurang berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan oleh keterampilan pembina yang kurang kreatif dan menarik sehingga pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala terkesan kaku dan membosankan.

Permasalahan pokok skripsi ini bagaimana meningkatkan pelaksanaan pembinaan mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang agar sungguh-sungguh membantu mereka untuk mengembangkan imannya supaya semakin percaya diri, tidak minder dan tidak putus asa. Menanggapi permasalahan di atas, penulis menggunakan buku-buku dan sumber lain yang relevan serta diperkaya refleksi pribadi. Data mengenai pembinaan iman mantan penderita kusta diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara oleh penulis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pembinaan iman di lingkungan Sitanala Tangerang perlu ditingkatkan.

(2)

ABSTRACT

This thesis is entitled: " THE EFFORT TO IMPROVE FAITH FORMATION OF FORMER LEPROSY PATIENTS IN SITANALA TANGERANG IN THE ARCHDIOCESE OF JAKARTA THROUGH CATHECESIS MODEL OF SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)". This title is selected based on the concerns of the author towards the implementation of faith formation to the former leprosys patients in Tangerang Sitanala, Archdiocese of Jakarta. According to the writer's observation, the implementation of faith formation in Tangerang Sitanala environment is not improving. This is due to the skills of the catechist less creative and interesting so that the implementation of faith formation in the former leprosy patients Sitanala seems stiff and boring.

The main problem of this thesis is on how to improve the implementation of the guidance of former leprosy patients in Tangerang Sitanala environment so that it truly helps them to develop their faith in order to be more confident and more anthusiastic. Respond to those problems, the authors use books and other relevant sources as well as personal reflections. Data on the faith formation of former leprosy patients are obtained through direct observation and interviews by the author. The results showed that the implementation of faith formation in Tangerang Sitanala environment needs to be improved.

Thus, in order to improve the implementation of faith formation in the former leprosy patients Sitanala Tangerang, the author proposes a program of faith formation in the form of catechesis models of Shared Christian Praxis (SCP). This model is considered suitable for the implementation of faith formation for former leprosy patients since it is based on personal life experiences of the participants. Thus, the former leprosy patients are expected to live their faith and to realize their hope.

(3)

  USAH MA MELAL Progr HA MENIN ANTAN PEN TANGE LUI KATE Di

ram Studi Il

PR KEKHU FAKUL NGKATKA NDERITA ERANG K EKESE MO iajukan untu Memperole lmu Pendid ROGRAM USUSAN P JURUSA LTAS KEGU UNIVERS i AN PELAK A KUSTA D KEUSKUPA ODEL SHA

S K R I P

uk Memenu

eh Gelar Sa

dikan Kekhu Oleh Atik Wula NIM: 0911 STUDI ILM PENDIDIKA AN ILMU P URUAN DA SITAS SAN YOGYAKA 2015 KSANAAN DI LINGKU AN AGUNG ARED CHR

P S I

uhi Salah Sa

arjana Pendi ususan Pend : andari 24008 MU PENDI AN AGAM PENDIDIK AN ILMU P NATA DHA ARTA 5 PEMBINA UNGAN SI G JAKART RISTIAN PR atu Syarat idikan didikan Aga IDIKAN MA KATOL KAN PENDIDIK ARMA AAN IMAN ITANALA TA

PRAXIS (SC

(4)

SKRIPSI

USAHA

MENINGKATKAN PELAKSANAAN PEMBINAAN

IMAN

I\,LANTAN

PENI}ERITA KUSTA

I}I

LINGKUNGAN

STTANALA

TANGERANG KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA

MELALUI

KATEKESE MODEL

SHARED

CHRISTAN

PRAXIS (SCP)

Oleh:

Atik

Wulandari

MM:

09112408

Telah disetujui oleh:

Pembimbing

fi

IJA

"411/l

llr

il'

,t

(5)

SKRIPSI

USAIIA MENINGKATKAN PELAKSANAAN PEMBINAAN

IMAN

MANTAN PENI}ERITA KUSTA DI LINGKUNGAN

STTANALA

TANGERANG KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA

MELALUI

KATEKESE MODEL

SHARED CHRISTTAN PKAXIS (SCP)

Dipersiapkan dan dihrlis oleh:

Atik

Wulandari

NIM:

091124008

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguii

Pada tanggaL A7 Desernber 20i 5

Dan dinyatakan memenuhi syarat

SUSLINAN

PANITIA

PENGUJI

Nama

Ketua

Sekretaris Anggota

. Yoseph Kristianto, SFK.,

M.Pd

-...---: 1. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, SJ., M.Ed

2. Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd

3. P. Banyu

Dewq HS.S.Ag.

M.Si

ill

(6)

iv

 

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

Mantan Penderita Kusta di Lingkungan Sitanala di Tangerang Keuskupan Agung

Jakarta, Orang tua, saudara-saudaraku, teman-teman, para pembimbingku dan

(7)

v

 

MOTTO

“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan

memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan”

(8)

PERNYATAAI\ KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis

ini

tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan'daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 07 Desember 2015

Penulis,

(9)

LEMBAR PERIIYATAAN

PUBLIKASI

KARYA ILMIAH

UNTUK

PERSETUJUAN

KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan

di

bawah ini,

Dharma:

saya mahasiswa Universitas Sanata

Nama

No. Mahasiswa

: Atik Wulandari : 091 124008

Demi

pengembangan

ilmu

pengetahuan,

saya

memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya

ilmiah

saya yang berjudul:

USAHA

MENINGKATKAN

PELAKSANAAN

PBMBINAAN

IMAN

MANTAN

PBNDERITA

KUSTA

DI

LINGKUNGAN

SITANALA

TANGERANG

MELALUI

KATEKESE MODEL

SHARED CHMSTIAN

PRAXIS (SCP). Berdasarkan perangkat yang diperlukan (bila ada).

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas

Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,

mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan

mempublikasikannya

di

intemet atau media

lain

untuk kepentingan akademis tanpa perlu izin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap

mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian penyataan ini saya buat dengan sebenamya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 07 Desember 2015 akan, Yang r

vll

(10)

viii

 

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul: “USAHA MENINGKATKAN PELAKSANAAN PEMBINAAN IMAN MANTAN PENDERITA KUSTA DI LINGKUNGAN SITANALA TANGERANG KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA MELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)”. Pemilihan judul ini bertitik tolak dari keprihatinan penulis terhadap pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang, Keuskupan Agung Jakarta. Menurut pengamatan penulis, pelaksanaan pembinaan iman di lingkungan Sitanala Tangerang ini kurang berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan oleh keterampilan pembina yang kurang kreatif dan menarik sehingga pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala terkesan kaku dan membosankan.

Permasalahan pokok skripsi ini bagaimana meningkatkan pelaksanaan pembinaan mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang agar sungguh-sungguh membantu mereka untuk mengembangkan imannya supaya semakin percaya diri, tidak minder dan tidak putus asa. Menanggapi permasalahan di atas, penulis menggunakan buku-buku dan sumber lain yang relevan serta diperkaya refleksi pribadi. Data mengenai pembinaan iman mantan penderita kusta diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara oleh penulis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pembinaan iman di lingkungan Sitanala Tangerang perlu ditingkatkan.

(11)

ix

 

ABSTRACT

This thesis is entitled: " THE EFFORT TO IMPROVE FAITH FORMATION OF FORMER LEPROSY PATIENTS IN SITANALA TANGERANG IN THE ARCHDIOCESE OF JAKARTA THROUGH CATHECESIS MODEL OF SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)". This title is selected based on the concerns of the author towards the implementation of faith formation to the former leprosys patients in Tangerang Sitanala, Archdiocese of Jakarta. According to the writer's observation, the implementation of faith formation in Tangerang Sitanala environment is not improving. This is due to the skills of the catechist less creative and interesting so that the implementation of faith formation in the former leprosy patients Sitanala seems stiff and boring.

The main problem of this thesis is on how to improve the implementation of the guidance of former leprosy patients in Tangerang Sitanala environment so that it truly helps them to develop their faith in order to be more confident and more anthusiastic. Respond to those problems, the authors use books and other relevant sources as well as personal reflections. Data on the faith formation of former leprosy patients are obtained through direct observation and interviews by the author. The results showed that the implementation of faith formation in Tangerang Sitanala environment needs to be improved.

(12)

x

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa Yang Maha Kasih karena rahmat dan

kasih-Nya, skripsi dengan judul USAHAMENINGKATKAN PELAKSANAAN PEMBINAAN IMAN MANTAN PENDERITA KUSTA DI LINGKUNGAN SITANALA TANGERANG KEUSKUPAN AGUNG JAKARTAMELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP) ini dapat terselesaikan dengan baik.

Tujuan penyusunan skripsi ini adalah memberikan sumbangan pemikiran

untuk meningkatkan pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta di

lingkungan Sitanala Tangerang Keuskupan Agung Jakarta. Skripsi ini tidak akan

selesai tanpa bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu dalam

kesempatan ini, penulis dengan penuh rasa syukur mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Romo Drs. FX. Heryatno Wono Wulung, SJ., M.Ed, selaku dosen pembimbing

utama yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dengan penuh

kesabaran, memberikan saran dan kritikan kepada penulis dalam menuangkan

gagasan sehingga penulis dapat termotivasi dalam menyelesaikan skripsi;

2. Bapak Yoseph Kristianto, SFK, M.Pd, selaku dosen pembimbing akademik

dan dosen penguji II yang telah memberikan semangat dan nasehat kepada

penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini dengan penuh kesabaran;

3. Bapak P. Banyu Dewa, HS.S.Ag. M.Si, selaku dosen penguji III yang selalu

(13)

xi

 

4. Semua dosen-dosen IPPAK, yang sudah membantu penulis dalam menuntut

ilmu di Sanata Dharma;

5. Ibu Magdalena Pujiwinarti selaku Ketua Lingkungan Sitanala Tangerang yang

sudah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian;

6. Para mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala yang sudah memberikan

semangat, dan membantu sebagai narasumber sehingga penelitian dapat

terselesaikan dengan lancar;

7. Bapak Tugimin dan Ibu Christiana Sulbijah, selaku orang tua penulis yang

selalu mendampingi, memberi kasih sayang dan membantu penulis hingga

skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar;

8. Kakak-kakak tercinta Yohanes Agus Margono, C. Ari Dewi Perwita Sari,

Paulus Dwi Agus Untoro dan Anastasia Ari Widiastutik yang selalu

memberikan semangat dan dorongan, juga untuk keponakan-keponakanku

Ansella Nichesa, Natanael Cevin dan Beatrice Vania yang selalu menghibur

penulis;

9. Mas Martinus Dedik Wibowo, yang tidak henti-hentinya memberikan harapan,

motivasi dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini;

10. Teman-teman mahasiswa khususnya angkatan ’09 terima kasih atas canda

tawanya dan dukungannya;

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu;

Semoga kebaikan dan bantuan yang diberikan kepada penulis senantiasa

(14)

Penulis menyadari bahwa skripsi

ini

masih jauh

dari sempurna.

Segala

kritik dan

saran yang membangun derni perbaikan skripsi

ini

akan penulis terima

dengan senang hati. Akhir kata, semoga skripsi

ini

dapat memberikan manfaat dan

berguna bagi siapa saja yang membacanya.

Yogyakarta, 07 Desember 2015

(15)

xiii

 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan masalah ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 4

D. Manfaat Penulisan ... 5

E. Metode Penulisan ... 5

F. Sistematika Penulisan ... 6

BAB II. PEMBINAAN IMAN MANTAN PENDERITA KUSTA DEMI MEMULIHKAN RASA PERCAYA DIRI A. Pembinaan Iman pada Umumnya dan Katekese ... 7

1. Pembinaan Iman pada Umumnya ... 7

a. Pengertian Pembinaan ... 7

b. Pengertian Iman ... 8

c. Pembinaan Iman ... 10

2. Katekese ... 10

a. Pengertian Katekese ... 10

(16)

xiv

 

c. Ciri-Ciri Katekese ... 14

d. Fungsi Katekese ... 15

e. Isi dan Suasana Katekese ... 16

f. Media dan Sarana Katekese ... 17

g. Model-Model Katekese ... 21

B. Gambaran Umum Penderita Kusta dan Penyakit Kusta ... 23

1. Gambaran Umum Penderita Kusta ... 23

2. Gambaran Penyakit Kusta ... 24

a. Pengertian Kusta ... 24

b. Penyebab Kusta ... 25

c. Penularan Kusta ... 26

d. Tanda dan Gejala Kusta ... 26

e. Klasifikasi Kusta ... 28

C. Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta Demi Memulihkan Rasa Percaya Diri ... 29

1. Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta ... 29

2. Model Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta ... 29

3. Tujuan Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta ... 30

BAB III: PEMBINAAN IMAN MANTAN PENDERITA KUSTA DI LINGKUNGAN SITANALA TANGERANG, KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA A. Gambaran Umum Umat Katolik di Lingkungan Sitanala Tangerang ... 31

1. Gambaran Umum Umat Katolik di Lingkungan Sitanala ... 31

2. Gambaran Umum Komunitas Mantan Penderita Kusta di Lingkungan Sitanala ... 32

3. Gambaran Umum Pembinaan Iman di Lingkungan Sitanala ... 33

B. Penelitian Pembinaan Iman ... 35

1. Latar Belakang ... 35

2. Tujuan Penelitian ... 36

3. Jenis Penelitian ... 36

4. Instrumen Pengumpulan Data ... 36

(17)

xv

 

6. Tempat dan Waktu Penelitian ... 38

7. Variabel Penelitian ... 38

C. Laporan Hasil Penelitian Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta di Lingkungan Sitanala Tangerang Keuskupan Agung Jakarta ... 40

1. Pelaksanaan Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta ... 42

a. Frekuensi Kehadiran Mantan Penderita Kusta dalam Pembinaan Iman di Lingkungan Sitanala ... 42

b. Ketercapaian Tujuan Pembinaan Iman ... 42

c. Relevansi Tujuan dengan Kebutuhan Hidup Peserta ... 43

d. Proses Pelaksanaan Pembinaan Iman di Lingkungan Sitanala . 43 e. Sarana dalam Pembinaan Iman ... 44

f. Metode dalam Pembinaan Iman ... 44

2. Partisipasi Mantan Penderita Kusta dalam Pembinaan Iman ... 45

3. Manfaat Pembinaan Iman Mantan Penderitaan Kusta ... 45

4. Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Pembinaan Iman ... 46

a. Faktor-Faktor Pendukung Pelaksanaan Pembinaan Iman di Lingkungan Sitanala ... 46

b. Faktor-Faktor Penghambat Pelaksanaan Pembinaan Iman di Lingkungan Sitanala ... 47

D. Pembahasan Hasil Penelitian Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta di Lingkungan Sitanala Tangerang Keuskupan Agung Jakarta ... 47

1. Pelaksanaan Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta ... 47

a. Dari Segi Peserta ... 47

b. Dari Segi Tujuan ... 49

c. Dari Segi Relevansi ... 49

d. Dari Segi Proses ... 50

e. Dari Segi Sarana ... 51

f. Dari Segi Metode ... 52

2. Partisipasi Mantan Penderita Kusta dalam Pembinaan Iman ... 53

(18)

xvi

 

4. Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Pembinaan

Iman ... 54

E. Kesimpulan Hasil Penelitian ... 55

F. Hal-Hal yang Mendukung dan Menghambat Penelitian ... 56

BAB IV: USAHA MENINGKATKAN PELAKSANAAN PEMBINAAN IMAN MANTAN PENDERITA KUSTA DI LINGKUNGAN SITANALA TANGERANG A. Pokok-Pokok Katekese Shared Christian Praxis (SCP) ... 58

1. Praksis ... 58

2. Refleksi Kritis ... 59

3. Tradisi ... 60

4. Visi ... 61

5. Langkah-Langkah Shared Christian Praxis (SCP) ... 62

a. Langkah I: Pengungkapan Pengalaman Hidup Faktual ... 62

b. Langkah II: Refleksi Kritis dan Sharing Pengalaman Hidup Faktual ... 63

c. Langkah III: Mengusahakan supaya Tradisi dan Visi Kristiani Lebih Terjangkau ... 64

d. Langkah IV: Interpretasi/ Tafsir Dialektis antara Tradisi dan Visi Kristiani dengan Tradisi dan Visi Peserta ... 65

e. Langkah V: Keputusan Baru demi Makin Terwujudnya Kerajaan Allah di Dunia Ini ... 65

B. Alasan Pemilihan Shared Christian Praxis (SCP) sebagai Model Katekese untuk Meningkatkan Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta di Lingkungan Sitanala Tangerang ... 66

C. Usulan Program ... 68

1. Pengertian Program ... 68

2. Tujuan Program ... 69

3. Sasaran Kelompok ... 69

4. Rumusan Tema dan Tujuan ... 69

5. Matriks ... 71

(19)

xvii

 

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 97

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Surat Ijin Penelitian ... (1)

Lampiran 2 : Surat Keterangan Tanda Bukti Penelitian ... (2)

Lampiran 3 : Panduan Pertanyaan Wawancara ... (3)

Lampiran 4 : Data Responden ... (4)

Lampiran 5: Transkip Hasil Wawancara ... (7)

Lampiran 6 : Perikop Injil Yohanes 16: 29- 33 ... (17)

(20)

xviii

 

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan nama-nama Kitab dalam Skripsi ini diambil dari

Alkitan terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), IKAPI, Jakarta, Edisi 5,

Tahun 2004.

Kis : Kisah Para Rasul

Luk : Lukas

Mrk : Markus

Yak : Yakobus

Yes : Yesaya

Yoh : Yohanes

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus dan segenap umat beriman tentang katekese

masa kini, 16 Oktober 1979.

DV : Dei Verbum, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Wahyu Ilahi, 18 November 1965.

EN :Evangelii Nuntiandi, Anjuran Apostolik Paus Paulus kepada para uskup, imam-imam dan umat beriman seluruh gereja Katolik tentang Pewartaan

(21)

xix

 

C. Singkatan Lain

Art : Artikel

APP : Aksi Puasa Pembangunan

bdk. : Bandingkan

BKSN : Bulan Kitab Suci Nasional

Depkes : Departemen Kesehatan

Dr : Doktor

Kep.Men.Kes : Keputusan Menteri Kesehatan

KK : Kepala Keluarga

Prof : Profesor

RL : Responden Laki-Laki

RP : Responden Perempuan

SCP : Shared Christian Praxis

(22)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kampung kusta Sitanala merupakan sebuah daerah di Tangerang yang

memiliki Rumah Sakit khusus untuk para penderita kusta. Di dalam lingkup

Rumah Sakit Sitanala ini ada sebuah bangunan yang bernama Kompleks

Serbaguna. Kompleks ini ditempati oleh para mantan penderita kusta yang sudah

sembuh berjumlah 16 orang, total penduduk di kompleks ± 2000 jiwa dari 500

Kepala Keluarga. Namun ada 2 orang mantan penderita kusta lagi yang tinggal di

lingkungan luar kompleks serbaguna yang bergabung dengan masyarakat umum.

Kampung ini terletak di Karangsari, Sewan, Kecamatan Neglasari, Tangerang,

Keuskupan Agung Jakarta. Transportasi untuk menuju kompleks ini dapat

dijangkau dengan angkutan kota, becak, taksi, dan kendaraan pribadi.

Mata pencaharian mayoritas penduduk di sekitar adalah wirausaha. Para

mantan penderita kusta yang sudah sembuh pun juga berpencaharian sebagai

wirausaha, bengkel, sopir angkutan umum. Modal untuk usaha mereka dimintakan

kepada donatur oleh Ibu Theresia Sri Munarsih yang pernah menjadi perawat di

Sitanala sekaligus mantan penderita kusta. Awalnya mereka tidak pernah disapa

oleh masyarakat sekitar karena masyarakat takut tertular. Namun sekarang mereka

mulai disapa oleh masyarakat dan sebagian mantan penderita kusta dapat bekerja

di luar kompleks karena masyarakat melihat mereka sudah sembuh walaupun

(23)

Dengan adanya kompleks serbaguna ini, mantan penderita kusta dapat

menjalani aktivitasnya masing-masing bersama keluarganya. Ketika mantan

penderita kusta tersebut sudah dinyatakan sembuh, mereka memutuskan untuk

tidak kembali ke tempat asal dan menetap di lingkungan sekitar Rumah Sakit ini

dikarenakan merasa malu dengan dampak penyakit kusta yang menyebabkan

kecacatan permanen pada tubuh mereka. Sosialisasi dengan masyarakat pun masih

kurang karena mereka merasa tidak berarti dan kurang percaya dengan kebaikan

Tuhan yang mereka alami selama ini. Sebagian mantan penderita kusta ini malu

untuk bergabung bahkan berjabat tangan sekalipun.

Dalam kehidupan sehari-hari mereka mempunyai harapan agar dapat

bersosialisasi dengan masyarakat lain seperti pada umumnya tanpa ada yang

merasa dijauhi atau dianggap menjijikkan. Selain itu juga dapat mengikuti

pembinaan iman di lingkungan. Namun yang terjadi saat ini mereka masih ada

yang kurang disapa dan terhambat untuk ikut pembinaan iman di lingkungan

karena kondisi mereka yang mengalami cacat (kaki palsu) sehingga untuk berjalan

sampai ke tempat pelaksanaan pembinaan iman tidak memungkinkan. Umat lain

pun tidak ada yang menjemput maupun mengantar mantan penderita kusta untuk

mengikuti pembinaan iman di lingkungan sekitar. Hambatan yang mereka alami

sangat bermacam-macam antara lain: kurangnya kesadaran dan sapaan dari

masyarakat, faktor keadaan fisik yang tidak memungkinkan untuk mengikuti

pembinaan di lingkungan sekitar, kurangnya kepedulian umat terhadap mantan

penderita kusta, pembinaan iman tidak diadakan tersendiri di dalam kompleks

(24)

Melihat situasi yang sudah ada bahwa kurang adanya kegiatan

pembinaan iman bersama serta kurangnya hubungan sosialisasi dengan

masyarakat sekitar, maka sangatlah penting dengan adanya peningkatan

pembinaan iman di lingkungan Sitanala. Pembinaan iman ini akan dapat

membantu mengembangkan iman mantan penderita kusta.

Maka, pembinaan iman yang ditujukan untuk mantan penderita kusta

sangat penting untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang sebenarnya menjadi

harapan mereka selama ini. Pendekatan secara pribadi juga penting karena selama

ini banyak dilakukan secara umum sehingga kurang mengetahui apa yang menjadi

harapan mereka sesungguhnya. Dengan pendekatan pribadi dan dari hati ke hati

diharapkan nantinya mereka lebih gembira dan senang karena yang menjadi

harapan mereka terpenuhi serta memiliki rasa percaya diri, tidak malu, tidak

minder, tidak putus asa, dll.

Dalam proses katekese, peserta dapat mengungkapkan pengalamannya

baik pengalaman pribadi maupun pengalaman berdasarkan peristiwa-peristiwa

yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Dengan itu mereka menjadi terbuka

hati bahwa masih banyak orang lain yang juga menderita tetapi tetap kuat karena

percaya kepada Tuhan yang diimaninya. Mereka dapat belajar bagaimana

menghadapi segala peristiwa hidup dan penyakit kusta yang sudah pernah mereka

alami dalam terang iman. Selain itu, sharing pengalaman hidup ini juga dapat

meneguhkan mantan penderita kusta antara yang satu dengan yang lain dan dapat

menjadi sebuah pengalaman baru yang didapat sehingga mereka semakin

(25)

Terdorong oleh situasi tersebut, maka penulis menyusun skripsi dengan

judul : “USAHA MENINGKATKAN PELAKSANAAN PEMBINAAN IMAN

MANTAN PENDERITA KUSTA DI LINGKUNGAN SITANALA

TANGERANG KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA MELALUI KATEKESE

MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)”

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan

skripsi sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta

sungguh-sungguh memperkembangkan iman mereka?

2. Sejauh mana pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta di

lingkungan Sitanala Tangerang telah membantu mereka untuk

memperkembangkan imannya?

3. Usaha macam apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan

pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang?

C. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan rumusan permasalahan, penulisan ini bertujuan untuk:

1. Memberikan gambaran tentang pembinaan iman mantan penderita kusta

(26)

2. Mendapatkan gambaran sejauh mana pelaksanaan pembinaan iman bagi

mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang telah membantu

mereka untuk memperkembangkan imannya.

3. Katekese Shared Christian Praxis (SCP) menggambarkan model sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan pelaksanaan pembinaan iman mantan

penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang.

D. MANFAAT PENULISAN

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menambah wawasan bagi para pembina iman yang mendampingi mantan

penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang untuk mengembangkan

imannya.

2. Membantu mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang untuk

menghayati dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari.

3. Menambah wawasan para pembaca tentang pelaksanaan pembinaan iman

mantan penderita kusta.

E. METODE PENULISAN

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskripsi

analitis yaitu metode pemecahan masalah yang diselidiki dengan

menggambarkan/melukiskan keadaan subjek/objek penelitian pada saat sekarang

(27)

penelitian. Penulis juga mengamati dan terjun langsung ke lingkungan Sitanala

Tangerang Keuskupan Agung Tangerang yang menjadi sasaran penelitian.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Tulisan ini mengambil judul “Usaha Meningkatkan Pelaksanaan Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta di Lingkungan Sitanala Tangerang Keuskupan Agung Jakarta Melalui Katekese Model Shared Christian Praxis (SCP)”. Judul ini akan diuraikan menjadi lima bab. Bab pertama menguraikan tentang latar belakang penulisan, rumusan permasalahan,

tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab kedua menguraikan gambaran tentang pembinaan iman dan katekese pada

umumnya. Selanjutnya penulis memberikan gambaran umum tentang mantan

penderita kusta dan penyakit kusta. Bab ketiga, penulis memaparkan tentang

gambaran umum umat katolik di lingkungan Sitanala Tangerang, penelitian

pembinaan iman, laporan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian

pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang

Keuskupan Agung Jakarta. Bab keempat berupa sumbangan pemikian dalam

bentuk katekese model Shared Christian Praxis (SCP) sebagai model untuk meningkatkan pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan

Sitanala Tangerang. Akhir dari keseluruhan pemaparan ini adalah bab kelima.

Bagian ini berisi kesimpulan skripsi dan saran bagi berkembangnya pembinaan

(28)

BAB II

PEMBINAAN IMAN MANTAN PENDERITA KUSTA DEMI MEMULIHKAN RASA PERCAYA DIRI

Bab I telah membahas mengenai pendahuluan dan latar belakang situasi

mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang. Dengan adanya

pendahuluan tersebut penulis dapat melanjutkan penulisan bab II ini. Bab ini

merupakan studi pustaka yang menggunakan sumber-sumber yang relevan untuk

memperkaya dan memperdalam gagasan. Selanjutnya bab II ini dibagi menjadi

tiga bagian. Pertama, penulis menjelaskan tentang pembinaan iman dan katekese

pada uumnya. Kedua, dilanjutkan dengan gambaran umum mantan penderita

kusta dan penyakit kusta. Ketiga, penulis membahas pembinaan iman mantan

penderita kusta demi memulihkan rasa percaya diri

A. Pembinaan Iman Pada Umumnya Dan Katekese 1. Pembinaan Iman Pada Umumnya

a. Pengertian Pembinaan

Pembinaan dimengerti sebagai terjemahan dari kata Inggris yaitu

training, yang berarti latihan, pendidikan, dan pembinaan. Sejauh berhubungan dengan pengembangan manusia, pembinaan merupakan bagian dari pendidikan.

Mangunhardjana (1986: 11) mengatakan tentang arti pembinaan iman sebagai

berikut:

(29)

Dalam pembinaan, orang tidak sekedar dibantu untuk mempelajari ilmu

murni, tetapi ilmu yang dipraktekkan. Selain itu orang juga tidak hanya dibantu

untuk mendapatkan pengetahuan demi pengetahuan, tetapi pengetahuan untuk

dijalankan. Dalam pembinaan, orang dilatih untuk mengenal kemampuan dan

mengembangkannya, agar dapat memanfaatkannya secara penuh dalam bidang

hidup atau kerja mereka. Oleh karena itu unsur pokok dalam pembinaan adalah

mendapatkan sikap, attitute, dan kecakapan, skill (Mangunhardjana, 1986: 12).

b. Pengertian Iman

Sejauh dilihat dari pihak Allah yang menjumpai dan memberikan Diri

kepada manusia, wahyu merupakan pertemuan Allah dan manusia. Tetapi Allah

tetap Allah, dan di hadapan Allah manusia harus tetap mengaku diri sebagai

“hamba yang tak berguna” (Luk 17:10). Iman adalah penyerahan diri secara total

kepada Allah yang menyatakan diri tidak karena terpaksa, melainkan “dengan

sukarela”. Meskipun tidak setingkat, hubungan itu sungguh merupakan hubungan

persahabatan. Sebagaimana Allah “dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa

manusia” (DV, 2), begitu juga jawaban manusia berasal dari hati yang tulus dan

ikhlas. Sejak semula Gereja menekankan bahwa iman bersifat bebas merdeka.

Dalam iman, manusia menyadari dan mengakui bahwa Allah yang

tak-terbatas berkenan memasuki hidup manusia yang serba tak-terbatas, menyapa dan

memanggilnya. Iman berarti jawaban manusia atas panggilan Allah, penyerahan

pribadi kepada Allah yang menjumpai manusia secara pribadi juga. Dalam iman

(30)

memang merupakan pengalaman dasar, kendati belum berarti pertemuan dengan

Allah dalam arti penuh. Di atas pengalaman dasar itulah dibangun iman dan

penyerahan kepada Allah. Manusia dari dirinya sendiri tak mungkin mengenal

Allah. Umat Kristiani mengenal Allah secara pribadi sebagai Bapa, melalui Yesus

(Komisi Kateketik KWI, 1996: 127).

Bila sabda Allah adalah wahyu, maka tanggapan manusia dari sabda

Allah ialah iman. Bila inisiatif berasal dari Allah, maka jawaban adalah dari

manusia. Maka sabda Allah mengundang jawaban manusia, kesediaan Allah

mengundang kesediaan manusia untuk membuka diri, tindakan Allah mendesak

tindakan manusia dan pemberian diri Allah mengharapkan penyerahan diri

manusia. Maka wahyu itu menuntut iman.

Iman adalah pertemuan pribadi dan mendalam antara Allah yang hidup

dengan manusia. Penerimaan secara menyeluruh akan pribadi yang mewahyukan

dan memberikan diri oleh manusia. Menyerahkan diri dengan penuh cinta

merupakan suatu penyerahan yang tanpa batas untuk hidup bagi Allah dan

mengatur hidup sesuai dengan perintah-Nya. Semua ini tentu akan mengakibatkan

suatu perjanjian dan sumpah untuk bersekutu dalam cinta kasih. Oleh sebab itu

hubungan antara pribadi manusia dengan Allah adalah dialog, perjanjian dan

persekutuan (Amalorpavadass, 1972: 16).

Asal-usul kata Ibrani untuk kata iman adalah he’ emin (dari kata dasar

áman). Dengan demikian, beriman berarti merasa aman, menyerahkan beban atau kelemahan pribadi kepada orang lain. Secara rohani beriman berarti menaruh

(31)

emeth-Nya, oleh kesetiaan dan keteguhan yang tidak terguncangkan; berkata

amen (= teguh, kuat dan pantas dipercaya) kepada Allah, yang setia pada janji-Nya dan yang kuasa untuk menyatakannya (Telaumbanua, 1997: 47- 49).

c. Pembinaan Iman

Pembinaan iman tidak lepas dari katekese karena katekese merupakan

usaha pembinaan iman yang perlu direncanakan secara berkala yang mempunyai

arah dan tujuan demi pengembangan iman umat. Namun demikian pembinaan

iman dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan oleh pembina dan secara

khusus diciptakan agar orang beriman dapat berkumpul dan saling

mengkomunikasikan pengalaman imannya sebagai pengalaman perjumpaan

dengan Allah melalui sabda-Nya. Pembinaan iman merupakan bentuk pelayanan

sabda yang dilakukan untuk membantu umat untuk semakin menghayati imannya

kepada Yesus Kristus yang berkarya di dalam hidupnya. Dengan demikian

pembinaan iman membantu dan mendorong umat untuk mengembangkan

imannya menjadi semakin matang, dewasa dan ikut terlibat untuk bertanggung

jawab di dalam hidup menggerejaa dan memasyarakat. Iman harus dihayati dan

diwujudkan dalam kehidupan nyata, karena pada hakekatnya “iman tanpa

perbuatan adalah mati” (bdk. Yak. 2:7).

2. Katekese

a. Pengertian Katekese

(32)

Pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang-orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen.

Dari rumusan ini dapat dimaksudkan bahwa katekese dapat ditujukan

untuk seluruh orang beriman dalam Kristus, yang secara bebas berkumpul untuk

memahami ajaran Kristus. hal ini bertujuan untuk membantu umat menuju

kepenuhan imannya.

Katekese sebagai komunikasi iman Gereja akan Kristus. Dalam

sejarahnya komunikasi iman mendapat arah dan warna berbeda-beda, kendati ada

unsur-unsur yang tetap terpelihara, ditentukan oleh jaman dan wilayah

berlangsungnya komunikasi iman itu. Katekese erat hubungannya dengan

evangelisasi, yakni “membawa kabar Gembira ke dalam tata hidup manusia untuk

mengubah dan membaharuinya dari dalam pada bidang hidup batin pribadi dan

kolektif suatu bangsa, kegiatan-kegiatan dalam dimana mereka terlibat dan di

lingkungan hidup mereka yang konkret” (EN, 18).

Katekese umat dimengerti sebagai komunikasi iman umat atau tukar

pengalaman iman antar anggota jemaat. Ini berarti, katekese dari umat dan untuk

umat, katekese yang menjemaat, yang berdasarkan situasi konkret setempat

menurut pola Yesus Kristus. Yang berkatekese adalah umat beriman

(Telaumbanua, 1997: 9).

Katekese umat diartikan sebagai komunikasi iman atau tukar pengalaman

iman (penghayatan iman) antara anggota jemaat/kelompok. Katekese umat

merupakan komunikasi iman dari peserta sebagai sesama dalam iman yang

(33)

Katekese sebagai komunikasi iman jemaat yang terarah dan terpadu

dengan ciri-cirinya mengandung pengertian inter-relasi yaitu hubungan pribadi

antar jemaat yang memungkinkan pertemuan dan komunikasi iman itu sendiri.

Sebaliknya pertemuan dan komunikasi iman jemaat yang kontinu dapat

menimbulkan dan memperdalam hubungan inter-relasi atau hubungan pribadi

antar pribadi. Dengan demikian, benar bahwa “dalam Katekese Inter-relasi antara

pribadi dengan jemaat lebih mengemuka” (Sarjumunarsa, 1985: 53).

b. Tujuan Katekese

Katekese bertujuan membangunkan, memelihara dan

memperkembangkan iman, sambil membaharui, memperdalam dan

menyempurnakan pertobatan pertama dengan jalan membuatnya makin bersifat

pribadi dan berbuah dalam tindakan (Amalorpavadass, 1972: 8).

Dalam buku Katekese Umat mengenai hubungan dengan Katekese Umat,

PKKI II menegaskan bahwa:

Tujuan komunikasi iman itu ialah supaya dalam terang Injili kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari. Dan kita bertobat (metanoia) kepada Allah dan semakin menyadari kehadirannya dalam kenyataan hidup sehari-hari. Dengan demikian kita semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih dan makin dikukuhkan hidup Kristiani kita. Demikian pula kita makin bersatu dalam Kristus, makin menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan Gereja semesta. Sehingga kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita di tengah masyarakat.

Rumusan ini menegaskan bahwa tujuan Katekese Umat di atas lebih

memperlihatkan peserta sendiri dan menegaskan tujuan sebagai Gereja dan

(34)

membantu umat untuk hidup dengan semakin sadar akan iman yang

mendalam/utuh.

Katekese menempatkan pengalaman religius kembali ke dalam hidup

konkret. Dengan demikian peserta dibantu untuk menafsirkan pengalaman

hidupnya sebagai sejarah penyelamatannya (Lalu, 2005: 73-74). Katekese

bertujuan untuk mewujudkan dimensi praktek keagamaan, dimensi perasaan atau

pengalaman keagamaan, dimensi lanjutan dari semuannya itu yakni perilaku

konkret dalam kehidupan sehari-hari sehingga orang dapat mengintegrasikannya

di dalam dirinya sesuai dengan tahap perkembangan pribadinya (Hutabarat, 1981:

11).

Paus Yohanes Paulus II, dalam Ajaran Apostolik Catechesi Tradendae,

(1979 art 20) menyatakan:

Tujuan katekese sebagai usaha pembinaan iman adalah: “berkat bantuan Allah mengembangkan iman yang baru mulai tumbuh, dan dari hari ke hari memekarkan menuju kepenuhannya serta makin memantapkan perihidup Kristus umat beriman, muda maupun tua”.

Dari rumusan ini terkandung makna bahwa pembinaan iman mempunyai

tujuan untuk membantu mengembangkan iman umat secara terus menerus yang

dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Dari hari ke hari umat dapat menghayati

kehidupannya menurut semangat dan teladan Yesus Kristus. Akan tetapi disadari

pula bahwa upaya untuk memperkembangkan iman bukan merupakan usaha

manusia semata melainkan berkat rahmat dan bantuan Roh Kudus. Roh Kuduslah

yang membimbing dan berkarya didalam hati, pikiran mendorong dan

(35)

c. Ciri-ciri Katekese

Huber (1979: 94) menjelaskan bahwa ciri-ciri katekese sebagai berikut:

1) Belajar hidup dari iman

Pelayanan katekese berarti ingin tolong menolong supaya umat dapat

belajar hidup dari iman. Dengan adanya katekese umat diundang untuk

mendalami dan memperluas imannya secara bertanggung jawab. Umat

ditantang untuk menemukan arti hidupnya. Katekese tidaklah pertama-tama

menyuguhkan sederetan pengajaran namun ingin menolong bahwa manusia

menjalani hidup ini oleh cinta yang adalah Allah sendiri. Keterbukaan

manusia terhadap cinta kasih Allah memampukan untuk melihat dan

mengalami berapa hidupnya menjadi sangat berarti. Dengan demikian

pengalaman-pengalaman serta sikap-sikap rasa percaya, pengharapan serta

pertobatan akan tumbuh dan berkembang dalam diri manusia.

2) Katekese memungkinkan pengalaman hidup

Pelaksanaan katekese tidak hanya bertitik tolak dari isi kenyataan iman

saja namun bertumpu pada keadaan dan pengalaman manusia beserta segala

persoalan hidupnya.

3) Katekese menumbuhkan hidup rohani

Segi yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan karya katekese ialah

dorongan yang menumbuhkan ungkapan-ungkapan iman. Berdoa dan

menyapa Allah dapat sekaligus mengarah kan arah hidupnya dan saling

melengkapi. Spiritualitas itulah yang merupakan suatu dorongan untuk manju

(36)

4) “Tanpa tindakan kosonglah iman”

Katekese mengajak orang untuk merefleksikan persoalan hidupnya

bahwa iman akan Allah yang tampak dalam Yesus Kristus bisa membaharui

hidup manusia sebagai pribadi dan bersama-sama. Dengan demikian, iman

dihayati secara nyata, yaitu bahwa orang yang hidup bersumber pada Injil

dan bertindak dari dorongannya.

5) Katekese menyangkut nilai-nilai

Iman dan hidup adalah hubungan sedemikian dekat yang terjalin satu

sama lain. Pelayanan yang muncul dari iman selalu memunculkan nilai-nilai

hidup yang begitu berarti. Nilai-nilai itu misalnya saja kejujuran, rasa

solidaritas, kepedulian, semangat kawan yang mendalam dan lain-lain.

Katekese ingin membantu manusia untuk mewujudkan dan mengembangkan

nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

d. Fungsi Katekese

Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, katekese mempunyai fungsi yang

membantu umat untuk menghayati imannya. Fungsi-fungsi katekese antara lain:

mempersiapkan manusia untuk menerima karya Roh Kudus, menolong manusia

supaya persatuannya dengan Allah menjadi kenyataan, memberikan sumbangan

agar keseluruhan kebenaran rencana Allah dapat ditangkap dengan

mempersiapkan umat beriman membaca Kitab Suci dan belajar dari Tradisi,

membantu orang untuk mentafsirkan kejadian-kejadian hidup manusia, khususnya

(37)

memberikan bantuan agar jemaat beriman dapat ikut serta dalam dialog ekumenis,

termasuk dialog dengan budaya dan dengan orang non Kristiani, mengarahkan

harapan manusia kepada kebaikan-kebaikan yang akan datang, menerangkan dan

mengenakan kepada hidup manusia kebenaran-kebenaran iman sesuai dengan

perkembangan pribadi, mewartakan Firman Allah dan mengajarkannya dalam

bahasa yang dapat dimengerti oleh para pendengar sambil tetap setia pada ajaran

Gereja (Hutabarat, 1982: 46).

e. Isi dan Suasana Katekese

Dalam proses katekese, ada dua unsur penting yang harus diperhatikan,

yaitu isi dan suasana. Isi katekese tidak dapat dilepaskan dari pengaruh suasana,

baik faktor perkembangan psikologis peserta katekese itu sendiri dan aspek-aspek

eksternalnya, yaitu lingkungan, sarana, pendekatan dan metodenya. Maka

diperlukan suasana akomodatif yang mampu menghantar isi kepada peserta

katekese. Suasana tanpa isi akan membuat proses katekese hanya sekedar ruang

hiburan, tetapi isi tanpa suasana akan membuat proses katekese bagaikan ruang

ceramah yang membosankan dan sama sekali tidak edukatif bagi segi afektifitas

peserta katekese. Untuk itu segi isi dan suasana menjadi bagian yang tak

terpisahkan. Isi haruslah berjalan dengan suasana, begitupun suasana haruslah

memuat isi yang membangun iman peserta katekese. Isi pokok pembinaan iman

adalah seluruh hidup Yesus Kristus (CT, 6). Sifat Kristosentris katekese bukan

untuk menyampaikan ajarannya sendiri atau seorang guru lain, melainkan ajaran

(38)

yang tak lain ialah Dia sendiri. Yesus adalah jalan kebenaran dan hidup (Yoh.

14:6).

Pembinaan iman yang berpusat pada Yesus Kristus berarti

mengkomunikasikan sabda, ajaran dan seluruh misteri hidup Yesus Kristus.

Dalam komunikasi ini setiap peserta diharapkan dapat saling terbuka dan saling

mendengarkan agar sabda yang direnungkan dapat sungguh-sungguh dihayati dan

menemukan makna bagi hidup diri sendiri maupun bagi sesama. Selain itu peserta

secara pribadi membina relasi dengan Yesus dan seluruh hidup, sikap dan

tindakannya dijiwai oleh hidup Yesus sendiri.

f. Media dan Sarana Katekese

Salah satu media yang dapat digunakan agar katekese itu menarik adalah

media komunikasi populer. Media komunikasi populer adalah media yang

digunakan untuk menyampaikan pesan dalam proses komunikasi yang

metodologinya bersifat “dekat” dengan kehidupan dewasa ini, misalnya televisi,

radio, film, foto digital, poster, hasil download internet, tampilan-tampilan presentasi dengan powerpoint dan flash player, musik, potongan artikel, potongan cergam-komik, dan lain-lain. Media komunikasi populer ini dapat menjadi salah

satu bantuan, agar jembatan untuk menghubungkan pengalaman hidup orang

zaman sekarang dengan visi kristianitas mampu terjadi. Media komunikasi

populer ini menjadi sarana supaya terjadi proses sintesis antara media dan

(39)

mempengaruhi umat berkaitan dengan gaya hidup (life style) dan pandangan-pandangan hidup umat dewasa ini.

Penggunaan sarana dalam katekese akan lebih menarik apabila pembina

memiliki keterampilan yang cukup dalam hal menggunakan berbagai macam

metode. Oleh karena itu sarana sangat berkaitan erat dengan metode yang akan

digunakan dalam pembinaan iman. Beberapa metode dan sekaligus sarana yang

mendukung yang dapat digunakan dalam pembinaan iman:

1) Metode Bercerita

Metode bercerita adalah cara menyajikan bahan pelajaran,

memperlihatkan, memberitahu dan menerangkan suatu yang bersifat fiktif atau

non fiktif kepada peserta untuk mencapai tujuan pelajaran. Latar belakang dari

manfaat metode bercerita adalah:

a) Kekuatan Cerita

Rahasia sebuah cerita adalah bahwa orang tidak merasa diajar, “digurui”

melainkan diajak berpikir, memahami, merasakan dan menyampaikan cerita

tersebut. Cerita sarat dengan “nilai-nilai”. Melalui cerita orang diajak “masuk

dalam dunia cerita” dan berhadapan dengan cerita tersebut secara keseluruhan.

b) Teknik Bercerita

¾ Menyiapkan cerita dengan sungguh-sungguh, melatih cerita sendiri secara

berulang-ulang sebelum bercerita di hadapan peserta, tidak menanggap

“enteng” saja tentang cerita tersebut sehingga perlu disiapkan dengan

(40)

¾ Bercerita dengan cara yang hidup dan menarik. Hidup karena cerita tersebut

dibawakan dengan sungguh-sungguh dan diungkapkan sesuai dengan situasi

menyeluruh dalam cerita tersebut. Menjadi hidup bagi pendengarnya bila

masalahnya juga menarik. Menarik karena isi, sifat dan bentuk cerita tersebut

sesuai atau berdekatan dengan situasi pendengarnya.

Sarana yang dapat digunakan dalam metode bercerita adalah cerita

bergambar, cerita rakyat, boneka, alat tulis, gambar-gambar Yesus dan karya-Nya

serta gambar-gambar Kudus dan lain-lain, sesuai dengan tema atau isi cerita yang

akan disampaikan kepada peserta.

2) Metode Sosiodrama

Drama berarti karya sastra/tulis yang bertujuan menggambarkan

kehidupan penderitaan, kebahagiaan, perjuangan hidup dan segala seluk- beluk

kehidupan lewat tingkah laku, gerak, ekspresi dan dialog pemain. Dalam drama

kegiatannya penuh dengan aktivitas seperti akting, bermain, berpura-pura,

menarik dialog. Hal ini sesuai dengan situasi kejiwaan peserta. Tujuan drama

adalah peserta belajar mengendalikan diri dalam hal emosi dan kejiwaannya,

belajar memupuk sifat untuk menjadi baik, penggerak untuk berimajinasi. Dalam

bermain drama peserta langsung terlibat dalam kegiatan, belajar mengalami

menjadi tokoh dan semua yang ada dalam diri tokoh. Dengan

keterlibatan/partisipasi langsung, peserta akan banyak belajar kehidupan dari

(41)

mengerti dan mendalami makna hidupnya, dan merubah hidupnya menjadi lebih

baik.

Sarana yang dapat digunakan dalam metode sosiodrama adalah topeng,

teks drama, alat tulis, kain dan lain sebagainya sesuai dengan tema dan isi dari

drama yang akan dimainkan.

3) Metode Tanya Jawab

Metode Tanya jawab adalah cara lisan menyajikan bahan untuk mencapai

tujuan pengajaran. Metode ini akan sangat efektif bila dipadukan dengan metode

yang lain seperti: ceramah, kerja kelompok, demonstrasi, dll. Metode tanya jawab

berfungsi sebagai alat untuk mengetahui apa yang dipahami peserta berkaitan

dengan bahan yang diberikan, menarik perhatian peserta, penguasaan peserta

terhadap bahan. Tipe-tipe pertanyaan yang baik adalah:

¾ Pertanyaan fakta (mengembangkan daya ingatan).

¾ Pertanyaan perbandingan-perbandingan (mengembangkan daya pengenalan,

daya pikir).

¾ Pertanyaan analisa terhadap sesuatu (mengembangkan daya analisa).

¾ Pertanyaan pengira-iraan (mengembangkan daya pikir dan perasaan).

Sarana yang dapat digunakan dalam metode tanya jawab ini adalah

(42)

g. Model-Model Katekese

Dalam kegiatan pembinaan iman terdapat bermacam-macam model yang

digunakan pada dewasa ini. Langkah-langkah yang terjadi dalam pembinaan iman

pada umumnya mengandung tiga unsur dasar, yakni: pengalaman hidup konkret,

teks Kitab Suci atau Tradisi dan penerapan konkret pada hidup peserta katekese.

Oleh karena itu, bertolak dari awal atau dasarnya pembinaan iman, dalam

langkah-langkah pembinaan iman atau katekese pada umumnya terdapat tiga

model, yakni: model ‘pengalaman hidup’ yang lebih bertolak pada pengalaman

hidup konkret sehari-hari; model ‘biblis’ lebih bertolak pada pengalaman Kitab

Suci atau Tradisi; dan model ‘campuran biblis dan pengalaman hidup’ yang lebih

bertolak pada hubungan antara Kitab Suci atau Tradisi dengan pengalaman hidup

konkret (Sumarno Ds, 2012: 1).

1) Model Pengalaman Hidup

Model pengalaman hidup ini merupakan model katekese yang dimulai

dari pengalaman hidup peserta. Dalam proses pelaksanaan katekese, peserta

mengungkapkan pengalamannya baik pengalaman pribadi maupun pengalaman

berdasarkan peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi di tengah masyarakat.

Pengalaman ini juga bisa diambil dari surat kabar atau cerita yang relevan.

Pengalaman-pengalaman ini diolah dan didalami bersama-sama dalam

kelompok kemudian peserta berusaha mencari makna dari pengalaman tersebut

berdasarkan Kitab Suci. Kitab Suci dibacakan dan direnungkan secara pribadi.

Pendamping memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk membantu peserta

(43)

Kekuatan model pengalaman hidup ini adalah peserta merasa tersentuh

dan semakin diteguhkan karena tema yang diangkat berdasarkan situasi konkrit

yang mereka alami. Kelemahannya adalah seakan-akan menomorduakan Kitab

Suci sebagai sumber iman Kristiani, dan peserta kurang memahami Kitab Suci.

Bila penekanannya pada pengalaman hidup tidak semua peserta mampu

merefleksikan pengalaman hidupnya sehari-hari.

2) Model Biblis/Tradisi

Model biblis merupakan suatu model katekese yang bertitik tolak dari

Kitab Suci. Dalam proses katekese, Kitab Suci dibacakan kemudian direnungkan

dan didalami secara pribadi maupun bersama untuk menemukan inti teks. Inti teks

Kitab Suci tersebut dihubungkan dengan pengalaman hidup peserta agar mereka

merasakan ramat dan kehadiran Allah dalam hidupnya sehari-hari.

Kekuatan model ini adalah berpedoman pada Kitab Suci sebagai dasar

hidup beriman Kristiani. Kelemahannya adalah situasi hidup peserta kurang

disentuh, karena ajarannya tidak dihubungkan dalam hidup para peserta katekese.

3) Model Campuran: Biblis dan Pengalaman Hidup

Model campuran merupakan model katekese yang mengajak umat untuk

saling mengkomunikasikan pengalaman imannya, baik pengalaman pribadi

maupun pengalaman bersama. Dalam proses katekese, Kitab Suci dibacakan dan

direnungkan secara pribadi kemudian disajikan pengalaman hidup. Pengalaman

(44)

pokok yang diperoleh dari pengalaman hidup peserta direfleksikan, dianalisis

kemudian dihubungkan dengan bacaan Kitab Suci yang sudah dibacakan.

Kekuatan model ini adalah peserta semakin memahami bahwa

pesan-pesan Kitab Suci dipahami dan dimengerti sebagai suati yang hidup sesuai dengan

zamannya. Kelemahannya adalah tidak semua peserta mampu

menghubungkannya dengan pesan inti Kitab Suci sehingga muncul rasa jenuh.

B. Gambaran Umum Mantan Penderita Kusta dan Penyakit Kusta 1. Gambaran Umum Mantan Penderita Kusta

Anggapan anggota masyarakat yang keliru menafsirkan tentang penyakit

kusta ini membuat para mantan penderita kusta semakin terpuruk dan tidak

percaya diri lagi. Masyarakat yang diharapkan untuk memperhatikan dan

merawatnya justru mengucilkannya. Apabila petugas kesehatan yang merawatnya

telah menyatakan sembuh, maka masyarakat tetap saja menganggapnya sakit dan

mereka tetap dikucilkan. Situasi dan keadaan seperti ini yang menyebabkan

kondisi kejiwaan mantan penderita kusta menjadi tertekan sehingga merasa

minder, putus asa bahkan tidak percaya diri lagi untuk bersosialisasi terhadap

masyarakat lain. Mereka menjadi sangat sensitif dan mudah tersinggung. Harga

diri yang mereka miliki menjadi jiwanya terpuruk dan sulit untuk memulihkan

rasa percaya dirinya. Keadaan ini sangat menyedihkan karena kendati sudah

dinyatakan sembuh namun mereka tidak berani hidup di tengah masyarakat dan

memilih tetap tinggal di lingkungan Sitanala. Dengan kenyataan hidup yang

dialaminya mereka memiliki harapan hidup pribadinya semakin diterima oleh

(45)

2. Gambaran Penyakit Kusta

Penyakit kusta yang diderita oleh suatu kelompok masyarakat merupakan

suatu penyakit communicable diasease atau menular. a. Pengertian Kusta

Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis yang menyerang kulit,

membrane mukosa dan saraf perifer yang disebabkan oleh bakteri aerob dan tahan

asam yaitu Mycobacterium leprae (Soedarto, 2002). Penyakit kusta adalah penyakit yang menyerang kulit dan saraf tepi disebabkan oleh bakteri (Chin,

2006). Tantut Susanto dkk (2013:20) menyampaikan pandangan Naik et al yang mengatakan bahwa kusta adalah penyakit bakteri kronis pada manusia yang

disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang kulit, saraf perifer dan mukosa hidung. Kusta apabila tidak didiagnosis dan diobati secara dini dapat

menyebabkan cacat pada mata, tangan dan kaki. Kusta merupakan penyakit kronis

yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) atau biasa disebut juga dengan Morbus Hansen yang menyerang saraf perifer, kulit, dan

organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati dan sumsum tulang

kecuali susunan saraf pusat (Mansjoer et al, 2000). Oleh karena itu dalam buku yang berjudul Perawatan Klien Kusta di Komunitas (Tantut Susanto dkk, 2013: 20) menyimpulkan bahwa kustaadalah:

Suatu penyakit kulit yang bersifat kronis dan disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium leprae, dan apabila tidak ditangani secara tepat akan dapat mengakibatkan kecacatan yang serius pada mata, tangan dan kaki.

Rumusan ini menegaskan bahwa penyakit kusta adalah penyakit menular,

(46)

menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat

(Kemenkes RI, 2007).

b. Penyebab Kusta

Tantut Susanto dkk (2013:21) mengemukakan pandangan Remme yanag

mengungkapkan penyakit kusta adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh

Mycobacterium leprae (M. leprae) yang bersifat asam dan gram positif.

Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler dan terutama berada pada makrofag. Mycobacterium leprae mempunyai ukuran panjang 2-7 mikrometer dan lebar 0.3 – 0,4 mikrometer. Mycobacterium leprae mempunyai dinding sel yang banyak mengandung lemak dan lapisan lilin, sehingga

mengakibatkan bakteri ini tahan asam. Penentuan Mycobacterium leprae tahan asam atau tidak, dengan cara perawatan teknik Ziehl Neelsen dengan menggunakan larutan Karbol Fuhsin, Asam Alkohol, dan Metilen Blue. Faktor penyebab penyakit kusta tersebut ditunjang oleh beberapa hal dalam proses

penularan penyakit kusta.

Mycobacterium leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen

pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran

1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang

tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin. Kuman

ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo (Kemenkes RI,

(47)

c. Penularan Kusta

Dalam bukunya Tantut Susanto dkk (2013:21) menyampaikan pandangan

Sehgal yang menjelaskan bahwa lingkungan paling alami dan yang baik bagi

perkembangan Mycobacterium leprae adalah sel eukaryotic, dan kebanyakan kasus ditemukan pada manusia, tetapi juga ditemukan pada armadillo. Depkes RI

(2006) mengemukakan bahwa penyakit kusta juga dapat ditularkan melalui

monyet dan telapak kaki tikus yang tidak memiliki kelenjar thymus (Athymic nude mouse).

Penularan kusta belum diketahui secara pasti, namun sebagian besar ahli

berpendapat bahwa dapat melalui saluran nafas bagian atas dan kulit.

Mycobacterium leprae sering berkembang pada tubuh manusia yang mempunyai suhu lebih rendah, seperti daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit

(Mansjoer et al, 2000). Jaringan tubuh yang dingin tersebut, diantaranya adalah kulit, saraf tepi, hidung, laring, faring, mata dan testis (Jawetz et al 1996). Tantut Susanto dkk (2013:22) mengemukakan pandangan Burn yang mengatakan bahwa

area tubuh yang memiliki suhu rendah adalah area superficial, termasuk mata,

mukosa saluran pernafasan atas, testis, otot-otot kecil dan tulang pada tangan, kaki

dan wajah, serta saraf perifer dan kulit.

d. Tanda dan Gejala Kusta

Depkes RI (2006) menyatakan bahwa untuk menetapkan diagnosis

(48)

1) Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa; kelainan kulit/lesi dapat berbentuk

bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematuos) yang mati rasa (anaesthesi).

2) Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf; gangguan

fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini berupa gangguan fungsi sensoris, gangguan fungsi motoris, gangguan fungsi otonom. Gangguan fungsi sensoris

merupakan gangguan yang ditandai dengan keadaan mati rasa. Gangguan

fungsi motoris merupakan gangguan yang ditandai dengan kelemahan otot

(parese), atau kelumpuhan (paralise), sedangkan gangguan fungsi otonom merupakan gangguan yang ditandai denhan kering dan retak-retak.

3) Adanya bakteri tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA

positif). Sseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu

dari tanda-tanda utama di atas.

Tantut Susanto dkk (2013:21) menyampaikan pandangan Zulkifli tentang

gejala umum yang muncul dan merupakan persepsi umum di masyarakat adalah

adanya bercak tipis seperti panu pada badan. Pada bercak putih mula-mula

muncul sedikit, tetapi semakin lama akan melebar dan banyak. Adanya pelebaran

saraf terutama saraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus serta peroneus.

Kurang aktifnya kelenjar keringat sehingga kulit tampak lebih mengkilat dan tipis.

Beberapa gejala yang akan dialami oleh penderita penyakit kusta diantaranya

adalah panas dari derajat rendah sampai dengan menggigil, tidak nafsu makan,

(49)

kepala, kadang-kadang disertai iritasi. Penderita kusta akan mengalami kemerahan

pada testis dan radang pleura, kadang-kadang disertai dengan penurunan fungsi

ginjal, radang ginjal dan pembesaran hati dan empedu, serta radang serabut saraf.

e. Klasifikasi Kusta

Sebenarnya dikenal banyak jenis klasifikasi penyakit kusta yang cukup

menyulitkan, misalnya klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi

India dan WHO. Sebagian besar penentuan klasifikasi ini didasarkan pada tingkat

kekebalan tubuh (kekebalan seluler) dan jumlah kuman.

Pada tahun 1982 sekelompok ahli WHO mengembangkan klasifikasi

untuk memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh

penderita kusta hanya dibagi dalam 2 tipe yaitu tipe Paucibacillar (PB) dan tipe

Multibacillary (MB). Dasar dari klasifikasi ini adalah gambaran klinis dan hasil pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) melalui skin smear. Pada pertengahan tahun 1997, WHO Expert Committee menganjurkan klasifikasi kusta menjadi PB lesi tunggal (Single lesion), PB lesi 2-3 dan MB. Sampai sekarang secara nasional pengobatan PB lesi tunggal disamakan dengan PB lesi 2-3

(http://www.rsk-drsitanala.com/index.php/component/content/article?id=82 accesed on May 15,

(50)

C. Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta Demi Memulihkan Rasa Percaya Diri

1. Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta

Dalam situasi konkret yang terjadi di lingkungan Sitanala, pelaksanaan

pembinaan iman iniakan membantu mengembangkan iman dan memulihkan rasa

percaya diri mantan penderita kusta karena dilihat dari kehidupan mereka. Mantan

penderita kusta ingin hidup mandiri dan tidak pernah ingin jadi peminta-minta.

Mantan penderita kusta ingin diterima masyarakat namun ruang gerak mereka

ternyata membatasi keinginan-keinginan itu. Mantan penderita kusta di

lingkungan Sitanala Tangerang justru takut kembali ke rumah. Sudah terbayang

dalam pikiran mereka, bagaimana keluarga dan tetangga tidak akan menghiraukan

kehadiran mereka.

Namun hal ini bukan semata-mata pembinaan, juga pendampingan lebih

dekat sehingga mampu mengetahui dan memahami lebih jauh tentang apa yang

menjadi harapan mereka sesungguhnya. Dengan pendekatan pribadi dan dari hati

ke hati mereka diharapkan nantinya lebih gembira dan senang karena yang

menjadi harapan mereka terpenuhi. Sesuai dengan sasaran pembinaan iman ke

arah kedewasaan iman, maka diharapkan mantan penderita kusta semakin dapat

mengembangkan iman dari pengalaman hidupnya dan percaya diri dengan segala

keterlibatannya dalam menggereja dan bermasyarakat.

2. Model Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta

Model katekese pembinaan iman yang cocok untuk mantan penderita

(51)

biblis/tradisi dan model campuran (pengalaman hidup dan biblis/tradisi). Namun

dalam situasi konkret ini penulis lebih menekankan pada katekese model Shared Christian Praxis (SCP) atau sharing pengalaman hidup. Dengan dilaksanakannya pembinaan iman dengan model ini mantan penderita kusta menjadi terbuka hati

untuk sharing dan menyadari bahwa masih banyak orang lain yang juga menderita

tetapi tetap kuat karena percaya kepada Tuhan yang diimaninya. Pengalaman

hidup yang dialaminya dapat mereka jadikan suatu pembelajaran yang penuh arti

dan makna. Selain itu juga dapat mereka bagikan kepada sesama dan orang lain

yang tidak mengalami penyakit kusta. Sharing gambaran umum tentang penyakit

kusta juga dapat dibagikan agar orang lain juga mendapat pengetahuan baru dan

tidak menjadi suatu hal yang menakutkan namun dapat mencegahnya.

3. Tujuan Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta

Tujuan dari pembinaan ini yakni membantu para mantan penderita kusta

untuk memulihkan rasa percaya diri sehingga dalam menjalani kehidupannya

sehari-hari tidak merasa minder, putus asa. Selain itu mantan penderita kusta

semakin menyadari akan kehadiran-Nya dalam kenyataan hidup sehari-hari,

dengan demikian akan semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta

(52)

BAB III

PEMBINAAN IMAN MANTAN PENDERITA KUSTA DI LINGKUNGAN SITANALA TANGERANG

KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA

Pada bab ini, penulis akan membahas gambaran umum umat Katolik di

lingkungan Sitanala Tangerang. Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan iman

di lingkungan Sitanala maka penulis mengadakan penelitian sederhana dengan

menggunakan wawancara terstruktur. Penelitian ini ditujukan untuk mantan

penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang. Data-data tersebut kemudian

dianalisis untuk mendapatkan gambaran nyata yang terjadi di lingkungan Sitanala

tentang pembinaan iman para mantan penderita kusta, terlebih dahulu akan

diuraikan gambaran umum umat Katolik di lingkungan Sitanala. Selanjutnya akan

diuraikan mengenai penelitian pembinaan iman mantan penderita kusta di

lingkungan Sitanala Tangerang, Keuskupan Agung Jakarta dan pembahasan hasil

penelitian.

A. Gambaran Umum Umat Katolik di Lingkungan Sitanala Tangerang 1. Gambaran Umum Umat Katolik di Lingkungan Sitanala

Umat Katolik di lingkungan Sitanala memiliki tingkat ekonomi yang

berkecukupan. Mata pencaharian mereka sangat bervariasi. Untuk bertahan hidup

mereka membuka usaha sabagai guru, tukang penjahit, tukang becak, tukang

bengkel, petugas kebersihan, membuat kerajinan, membuka warung nasi, dan

bercocok tanam dengan memanfaatkan lahan terlantar di sekitar Rumah Sakit.

Hubungan relasi antar umat Katolik dengan masyarakat lain cukup baik. Sebagain

(53)

dalam tingkat gereja seperti koor, prodiakon dan lain-lain. Mereka yang sehat saja

yang terlibat dalam kegiatan gereja.

2. Gambaran Umum Komunitas Mantan Penderita Kusta di Lingkungan Sitanala

Ibu Theresia Sri Munarsih yang pernah menjadi perawat di Rumah Sakit

Sitanala yang kini menjadi mantan penderita kusta mengatakan bahwa komunitas

mantan penderita kusta ini bermula dari sebuah Rumah Sakit Kusta Sitanala

berlokasi di Kota Tangerang Provinsi Banten dengan menempati lahan seluas 54

hektar. Rumah Sakit Kusta Sitanala Tangerang merupakan pindahan dari

Leprosarium Lenteng Agung. Pada tanggal 28 Juli 1951 Rumah Sakit Kusta ini

didirikan oleh Departemen Kesehatan RI dengan nama "Rumah Sakit Sewan",

karena lokasi terletak di Desa Karangsari Kampung Sewan, Kecamatan Neglasari.

Rumah Sakit ini diresmikan oleh Ny. Rahmi Hatta selaku Ibu Wakil Presiden RI

Pertama. Peresmian ini dilaksanakan sekaligus untuk menghargai jasa seorang

dokter yang pertama kali berkecimpung dalam menangani penderita kusta, yaitu

dr. J.B. Sitanala yang berasal dari Maluku. Pada tahun 1962 Rumah Sakit Sewan

dirubah namanya menjadi "Pusat Rehabilitasi Sitanala" oleh Menteri Kesehatan

RI saat itu Prof. Dr. Satrio, dan pada perkembangan selanjutnya menjadi Rumah

Sakit Kusta Dr. Sitanala Tangerang dengan Kep.Men.Kes.RI Nomor 140, Tahun

1978. Rumah Sakit Kusta Sitanala merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di

(54)

Berdasarkan pengamatan penulis, penduduk yang bermula di belakang

kompleks Rumah Sakit Kusta Sitanala, Desa Karang Sari, Kecamatan Neglasari,

Kota Tangerang, Banten, sekilas tak ada yang tampak tak lazim. Hanya ada

deretan rumah petak kecil yang berdiri berjajar dengan jalanan tanah berbatu yang

becek, pagar bambu di pinggir jalan, masjid, beberapa warung. Kusta masih

dianggap sebagai penyakit kotor atau kutukan akibat macam-macam perbuatan

jahat yang pernah dilakukan. Orang kampung biasanya tidak mau menerima

mereka kembali di kampung halamannya sehingga mereka memutuskan untuk

tidak kembali ke rumahnya. Pihak Rumah Sakit pun menyediakan rumah untuk

transit bagi mantan penderita sampai mereka bisa membangun rumah sendiri di

lahan kosong di dekat Rumah Sakit. Menurut Muhammad Mitam (55), Ketua RT

01/RW 13 di kampung itu, sebagian besar warga kampung adalah mantan

penderita kusta yang sebelumnya menjalani pengobatan di Rumah Sakit Kusta

Sitanala. Dari 500 KK yang tinggal di RT 01/RW 13 ± 2000 jiwa.

3. Gambaran Umum Pembinaan Iman di Lingkungan Sitanala Tangerang

Berdasarkan hasil perbincangan pada tanggal 17 Desember 2014 dengan

Ibu Theresia Sri Munarsih yang pernah menjadi perawat di Sitanala sekaligus

mantan penderita kusta, maka diperoleh data mengenai pembinaan iman yang ada

di lingkungan Sitanala. Keberadaan umat di lingkungan Sitanala cukup hidup

karena adanya kegiatan pembinaan iman yang dilakukan secara bersama di

lingkungan-lingkungan sekitar. Kegiatan pembinaan ini dilaksanakan secara

(55)

rosario. Melalui kegiatan pembinaan ini rasa persaudaraan dan persatuan antara

umat di lingkungan Sitanala lebih terbangun. Keterlibatan umat yang hadir dalam

hidup menggereja di lingkup lingkungan baik kendati mereka cukup sibuk bekerja

mencari nafkah untuk menghidupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kehidupan sosial masyarakat antara mantan penderita kusta dan

masyarakat masih kurang karena mereka (mantan penderita kusta) merasa minder

dan kurang percaya diri. Sebagian mantan penderita kusta ini malu untuk

bergabung. Mereka masih ada yang kurang disapa dan terhambat untuk mengikuti

pembinaan iman di lingkungan sekitar karena kondisi fisik mereka yang

mengalami cacat (kaki palsu) sehingga untuk menempuh perjalanan sampai ke

tempat dimana pembinaan iman itu dilaksanakan tidak memungkinkan. Umat lain

pun tidak ada yang menjemput maupun mengantar para mantan penderita kusta

untuk mengikuti pembinaan iman di lingkungan sekitar. Mereka memang tidak

dapat ikut pembinaan iman bersama umat di lingkungan sekitar namun mereka

ada kegiatan kumpul doa bersama p

Gambar

Tabel 1:
Tabel 2 Identitas Responden
Tabel 3 Usia Responden

Referensi

Dokumen terkait

Pada bulan Juli 2010 di perairan Aceh seperti terlihat pada Gambar 1b, daerah yang memiliki klorofil-a dengan kategori subur terdeteksi di sebelah utara pulo Aceh, di sekitar

pseudomagnoliarium yang termikosis terus mengalami peningkatan setiap harinya, akan tetapi persentase mikosis tertinggi terjadi pada perlakuan P5 kerapatan spora 10 9

Untuk melihat forum yang telah anda buat maka anda cukup mengklik nama forum pada halaman mata kuliah, setelah itu maka akan terlihat tampilan seperti gambar 1.14 berikut:..

(5) RKA-SKPD yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihimpun oleh PPKD dan selanjutnya disampaikan oleh Bupati kepada DPRD untuk

Prakiraan penjalaran asap pada level ketinggian 50 meter sampai dengan tanggal 19 Agustus 2009 pukul 07.00 WIB, di wilayah Sumut arahnya menuju Utara sampai ke Selat Malaka,

• Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan alamat luar surat ialah sebagai berikut.. Satuan yang terhormat disingkat

Peraturan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 28 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 46 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Minimal

Kesimpulan yang dapat kita ambil dari berbagai hal yang ditimbulkan oleh kecemasan salah satunya adalah terganggunya kualitas hidup lansia dan pastinya akan membuat gangguan pada