ABSTRAK
Skripsi ini berjudul: “USAHA MENINGKATKAN PELAKSANAAN PEMBINAAN IMAN MANTAN PENDERITA KUSTA DI LINGKUNGAN SITANALA TANGERANG KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA MELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)”. Pemilihan judul ini bertitik tolak dari keprihatinan penulis terhadap pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang, Keuskupan Agung Jakarta. Menurut pengamatan penulis, pelaksanaan pembinaan iman di lingkungan Sitanala Tangerang ini kurang berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan oleh keterampilan pembina yang kurang kreatif dan menarik sehingga pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala terkesan kaku dan membosankan.
Permasalahan pokok skripsi ini bagaimana meningkatkan pelaksanaan pembinaan mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang agar sungguh-sungguh membantu mereka untuk mengembangkan imannya supaya semakin percaya diri, tidak minder dan tidak putus asa. Menanggapi permasalahan di atas, penulis menggunakan buku-buku dan sumber lain yang relevan serta diperkaya refleksi pribadi. Data mengenai pembinaan iman mantan penderita kusta diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara oleh penulis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pembinaan iman di lingkungan Sitanala Tangerang perlu ditingkatkan.
ABSTRACT
This thesis is entitled: " THE EFFORT TO IMPROVE FAITH FORMATION OF FORMER LEPROSY PATIENTS IN SITANALA TANGERANG IN THE ARCHDIOCESE OF JAKARTA THROUGH CATHECESIS MODEL OF SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)". This title is selected based on the concerns of the author towards the implementation of faith formation to the former leprosys patients in Tangerang Sitanala, Archdiocese of Jakarta. According to the writer's observation, the implementation of faith formation in Tangerang Sitanala environment is not improving. This is due to the skills of the catechist less creative and interesting so that the implementation of faith formation in the former leprosy patients Sitanala seems stiff and boring.
The main problem of this thesis is on how to improve the implementation of the guidance of former leprosy patients in Tangerang Sitanala environment so that it truly helps them to develop their faith in order to be more confident and more anthusiastic. Respond to those problems, the authors use books and other relevant sources as well as personal reflections. Data on the faith formation of former leprosy patients are obtained through direct observation and interviews by the author. The results showed that the implementation of faith formation in Tangerang Sitanala environment needs to be improved.
Thus, in order to improve the implementation of faith formation in the former leprosy patients Sitanala Tangerang, the author proposes a program of faith formation in the form of catechesis models of Shared Christian Praxis (SCP). This model is considered suitable for the implementation of faith formation for former leprosy patients since it is based on personal life experiences of the participants. Thus, the former leprosy patients are expected to live their faith and to realize their hope.
USAH MA MELAL Progr HA MENIN ANTAN PEN TANGE LUI KATE Di
ram Studi Il
PR KEKHU FAKUL NGKATKA NDERITA ERANG K EKESE MO iajukan untu Memperole lmu Pendid ROGRAM USUSAN P JURUSA LTAS KEGU UNIVERS i AN PELAK A KUSTA D KEUSKUPA ODEL SHA
S K R I P
uk Memenu
eh Gelar Sa
dikan Kekhu Oleh Atik Wula NIM: 0911 STUDI ILM PENDIDIKA AN ILMU P URUAN DA SITAS SAN YOGYAKA 2015 KSANAAN DI LINGKU AN AGUNG ARED CHR
P S I
uhi Salah Sa
arjana Pendi ususan Pend : andari 24008 MU PENDI AN AGAM PENDIDIK AN ILMU P NATA DHA ARTA 5 PEMBINA UNGAN SI G JAKART RISTIAN PR atu Syarat idikan didikan Aga IDIKAN MA KATOL KAN PENDIDIK ARMA AAN IMAN ITANALA TA
PRAXIS (SC
SKRIPSI
USAHA
MENINGKATKAN PELAKSANAAN PEMBINAAN
IMAN
I\,LANTAN
PENI}ERITA KUSTA
I}I
LINGKUNGAN
STTANALATANGERANG KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA
MELALUI
KATEKESE MODEL
SHAREDCHRISTAN
PRAXIS (SCP)Oleh:
Atik
WulandariMM:
09112408Telah disetujui oleh:
Pembimbing
fi
IJA
"411/l
llr
il'
,t
SKRIPSI
USAIIA MENINGKATKAN PELAKSANAAN PEMBINAAN
IMAN
MANTAN PENI}ERITA KUSTA DI LINGKUNGAN
STTANALATANGERANG KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA
MELALUI
KATEKESE MODEL
SHARED CHRISTTAN PKAXIS (SCP)Dipersiapkan dan dihrlis oleh:
Atik
WulandariNIM:
091124008Telah dipertahankan di depan Panitia Penguii
Pada tanggaL A7 Desernber 20i 5
Dan dinyatakan memenuhi syarat
SUSLINAN
PANITIA
PENGUJINama
Ketua
Sekretaris Anggota
. Yoseph Kristianto, SFK.,
M.Pd
-...---: 1. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, SJ., M.Ed
2. Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd
3. P. Banyu
Dewq HS.S.Ag.
M.Siill
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
Mantan Penderita Kusta di Lingkungan Sitanala di Tangerang Keuskupan Agung
Jakarta, Orang tua, saudara-saudaraku, teman-teman, para pembimbingku dan
v
MOTTO
“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan
memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan”
PERNYATAAI\ KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis
ini
tidakmemuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan'daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 07 Desember 2015
Penulis,
LEMBAR PERIIYATAAN
PUBLIKASI
KARYA ILMIAH
UNTUKPERSETUJUAN
KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan
di
bawah ini,Dharma:
saya mahasiswa Universitas Sanata
Nama
No. Mahasiswa
: Atik Wulandari : 091 124008
Demi
pengembanganilmu
pengetahuan,saya
memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karyailmiah
saya yang berjudul:USAHA
MENINGKATKAN
PELAKSANAAN
PBMBINAAN
IMAN
MANTAN
PBNDERITA
KUSTA
DI
LINGKUNGAN
SITANALATANGERANG
MELALUI
KATEKESE MODEL
SHARED CHMSTIANPRAXIS (SCP). Berdasarkan perangkat yang diperlukan (bila ada).
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas
Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan
mempublikasikannya
di
intemet atau medialain
untuk kepentingan akademis tanpa perlu izin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetapmencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian penyataan ini saya buat dengan sebenamya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 07 Desember 2015 akan, Yang r
vll
viii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul: “USAHA MENINGKATKAN PELAKSANAAN PEMBINAAN IMAN MANTAN PENDERITA KUSTA DI LINGKUNGAN SITANALA TANGERANG KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA MELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)”. Pemilihan judul ini bertitik tolak dari keprihatinan penulis terhadap pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang, Keuskupan Agung Jakarta. Menurut pengamatan penulis, pelaksanaan pembinaan iman di lingkungan Sitanala Tangerang ini kurang berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan oleh keterampilan pembina yang kurang kreatif dan menarik sehingga pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala terkesan kaku dan membosankan.
Permasalahan pokok skripsi ini bagaimana meningkatkan pelaksanaan pembinaan mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang agar sungguh-sungguh membantu mereka untuk mengembangkan imannya supaya semakin percaya diri, tidak minder dan tidak putus asa. Menanggapi permasalahan di atas, penulis menggunakan buku-buku dan sumber lain yang relevan serta diperkaya refleksi pribadi. Data mengenai pembinaan iman mantan penderita kusta diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara oleh penulis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pembinaan iman di lingkungan Sitanala Tangerang perlu ditingkatkan.
ix
ABSTRACT
This thesis is entitled: " THE EFFORT TO IMPROVE FAITH FORMATION OF FORMER LEPROSY PATIENTS IN SITANALA TANGERANG IN THE ARCHDIOCESE OF JAKARTA THROUGH CATHECESIS MODEL OF SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)". This title is selected based on the concerns of the author towards the implementation of faith formation to the former leprosys patients in Tangerang Sitanala, Archdiocese of Jakarta. According to the writer's observation, the implementation of faith formation in Tangerang Sitanala environment is not improving. This is due to the skills of the catechist less creative and interesting so that the implementation of faith formation in the former leprosy patients Sitanala seems stiff and boring.
The main problem of this thesis is on how to improve the implementation of the guidance of former leprosy patients in Tangerang Sitanala environment so that it truly helps them to develop their faith in order to be more confident and more anthusiastic. Respond to those problems, the authors use books and other relevant sources as well as personal reflections. Data on the faith formation of former leprosy patients are obtained through direct observation and interviews by the author. The results showed that the implementation of faith formation in Tangerang Sitanala environment needs to be improved.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Bapa Yang Maha Kasih karena rahmat dan
kasih-Nya, skripsi dengan judul USAHAMENINGKATKAN PELAKSANAAN PEMBINAAN IMAN MANTAN PENDERITA KUSTA DI LINGKUNGAN SITANALA TANGERANG KEUSKUPAN AGUNG JAKARTAMELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP) ini dapat terselesaikan dengan baik.
Tujuan penyusunan skripsi ini adalah memberikan sumbangan pemikiran
untuk meningkatkan pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta di
lingkungan Sitanala Tangerang Keuskupan Agung Jakarta. Skripsi ini tidak akan
selesai tanpa bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu dalam
kesempatan ini, penulis dengan penuh rasa syukur mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Romo Drs. FX. Heryatno Wono Wulung, SJ., M.Ed, selaku dosen pembimbing
utama yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dengan penuh
kesabaran, memberikan saran dan kritikan kepada penulis dalam menuangkan
gagasan sehingga penulis dapat termotivasi dalam menyelesaikan skripsi;
2. Bapak Yoseph Kristianto, SFK, M.Pd, selaku dosen pembimbing akademik
dan dosen penguji II yang telah memberikan semangat dan nasehat kepada
penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini dengan penuh kesabaran;
3. Bapak P. Banyu Dewa, HS.S.Ag. M.Si, selaku dosen penguji III yang selalu
xi
4. Semua dosen-dosen IPPAK, yang sudah membantu penulis dalam menuntut
ilmu di Sanata Dharma;
5. Ibu Magdalena Pujiwinarti selaku Ketua Lingkungan Sitanala Tangerang yang
sudah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian;
6. Para mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala yang sudah memberikan
semangat, dan membantu sebagai narasumber sehingga penelitian dapat
terselesaikan dengan lancar;
7. Bapak Tugimin dan Ibu Christiana Sulbijah, selaku orang tua penulis yang
selalu mendampingi, memberi kasih sayang dan membantu penulis hingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar;
8. Kakak-kakak tercinta Yohanes Agus Margono, C. Ari Dewi Perwita Sari,
Paulus Dwi Agus Untoro dan Anastasia Ari Widiastutik yang selalu
memberikan semangat dan dorongan, juga untuk keponakan-keponakanku
Ansella Nichesa, Natanael Cevin dan Beatrice Vania yang selalu menghibur
penulis;
9. Mas Martinus Dedik Wibowo, yang tidak henti-hentinya memberikan harapan,
motivasi dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini;
10. Teman-teman mahasiswa khususnya angkatan ’09 terima kasih atas canda
tawanya dan dukungannya;
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu;
Semoga kebaikan dan bantuan yang diberikan kepada penulis senantiasa
Penulis menyadari bahwa skripsi
ini
masih jauhdari sempurna.
Segalakritik dan
saran yang membangun derni perbaikan skripsiini
akan penulis terimadengan senang hati. Akhir kata, semoga skripsi
ini
dapat memberikan manfaat danberguna bagi siapa saja yang membacanya.
Yogyakarta, 07 Desember 2015
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR SINGKATAN ... xviii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan masalah ... 4
C. Tujuan Penulisan ... 4
D. Manfaat Penulisan ... 5
E. Metode Penulisan ... 5
F. Sistematika Penulisan ... 6
BAB II. PEMBINAAN IMAN MANTAN PENDERITA KUSTA DEMI MEMULIHKAN RASA PERCAYA DIRI A. Pembinaan Iman pada Umumnya dan Katekese ... 7
1. Pembinaan Iman pada Umumnya ... 7
a. Pengertian Pembinaan ... 7
b. Pengertian Iman ... 8
c. Pembinaan Iman ... 10
2. Katekese ... 10
a. Pengertian Katekese ... 10
xiv
c. Ciri-Ciri Katekese ... 14
d. Fungsi Katekese ... 15
e. Isi dan Suasana Katekese ... 16
f. Media dan Sarana Katekese ... 17
g. Model-Model Katekese ... 21
B. Gambaran Umum Penderita Kusta dan Penyakit Kusta ... 23
1. Gambaran Umum Penderita Kusta ... 23
2. Gambaran Penyakit Kusta ... 24
a. Pengertian Kusta ... 24
b. Penyebab Kusta ... 25
c. Penularan Kusta ... 26
d. Tanda dan Gejala Kusta ... 26
e. Klasifikasi Kusta ... 28
C. Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta Demi Memulihkan Rasa Percaya Diri ... 29
1. Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta ... 29
2. Model Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta ... 29
3. Tujuan Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta ... 30
BAB III: PEMBINAAN IMAN MANTAN PENDERITA KUSTA DI LINGKUNGAN SITANALA TANGERANG, KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA A. Gambaran Umum Umat Katolik di Lingkungan Sitanala Tangerang ... 31
1. Gambaran Umum Umat Katolik di Lingkungan Sitanala ... 31
2. Gambaran Umum Komunitas Mantan Penderita Kusta di Lingkungan Sitanala ... 32
3. Gambaran Umum Pembinaan Iman di Lingkungan Sitanala ... 33
B. Penelitian Pembinaan Iman ... 35
1. Latar Belakang ... 35
2. Tujuan Penelitian ... 36
3. Jenis Penelitian ... 36
4. Instrumen Pengumpulan Data ... 36
xv
6. Tempat dan Waktu Penelitian ... 38
7. Variabel Penelitian ... 38
C. Laporan Hasil Penelitian Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta di Lingkungan Sitanala Tangerang Keuskupan Agung Jakarta ... 40
1. Pelaksanaan Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta ... 42
a. Frekuensi Kehadiran Mantan Penderita Kusta dalam Pembinaan Iman di Lingkungan Sitanala ... 42
b. Ketercapaian Tujuan Pembinaan Iman ... 42
c. Relevansi Tujuan dengan Kebutuhan Hidup Peserta ... 43
d. Proses Pelaksanaan Pembinaan Iman di Lingkungan Sitanala . 43 e. Sarana dalam Pembinaan Iman ... 44
f. Metode dalam Pembinaan Iman ... 44
2. Partisipasi Mantan Penderita Kusta dalam Pembinaan Iman ... 45
3. Manfaat Pembinaan Iman Mantan Penderitaan Kusta ... 45
4. Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Pembinaan Iman ... 46
a. Faktor-Faktor Pendukung Pelaksanaan Pembinaan Iman di Lingkungan Sitanala ... 46
b. Faktor-Faktor Penghambat Pelaksanaan Pembinaan Iman di Lingkungan Sitanala ... 47
D. Pembahasan Hasil Penelitian Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta di Lingkungan Sitanala Tangerang Keuskupan Agung Jakarta ... 47
1. Pelaksanaan Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta ... 47
a. Dari Segi Peserta ... 47
b. Dari Segi Tujuan ... 49
c. Dari Segi Relevansi ... 49
d. Dari Segi Proses ... 50
e. Dari Segi Sarana ... 51
f. Dari Segi Metode ... 52
2. Partisipasi Mantan Penderita Kusta dalam Pembinaan Iman ... 53
xvi
4. Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Pembinaan
Iman ... 54
E. Kesimpulan Hasil Penelitian ... 55
F. Hal-Hal yang Mendukung dan Menghambat Penelitian ... 56
BAB IV: USAHA MENINGKATKAN PELAKSANAAN PEMBINAAN IMAN MANTAN PENDERITA KUSTA DI LINGKUNGAN SITANALA TANGERANG A. Pokok-Pokok Katekese Shared Christian Praxis (SCP) ... 58
1. Praksis ... 58
2. Refleksi Kritis ... 59
3. Tradisi ... 60
4. Visi ... 61
5. Langkah-Langkah Shared Christian Praxis (SCP) ... 62
a. Langkah I: Pengungkapan Pengalaman Hidup Faktual ... 62
b. Langkah II: Refleksi Kritis dan Sharing Pengalaman Hidup Faktual ... 63
c. Langkah III: Mengusahakan supaya Tradisi dan Visi Kristiani Lebih Terjangkau ... 64
d. Langkah IV: Interpretasi/ Tafsir Dialektis antara Tradisi dan Visi Kristiani dengan Tradisi dan Visi Peserta ... 65
e. Langkah V: Keputusan Baru demi Makin Terwujudnya Kerajaan Allah di Dunia Ini ... 65
B. Alasan Pemilihan Shared Christian Praxis (SCP) sebagai Model Katekese untuk Meningkatkan Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta di Lingkungan Sitanala Tangerang ... 66
C. Usulan Program ... 68
1. Pengertian Program ... 68
2. Tujuan Program ... 69
3. Sasaran Kelompok ... 69
4. Rumusan Tema dan Tujuan ... 69
5. Matriks ... 71
xvii
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ... 94
B. Saran ... 95
DAFTAR PUSTAKA ... 97
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Surat Ijin Penelitian ... (1)
Lampiran 2 : Surat Keterangan Tanda Bukti Penelitian ... (2)
Lampiran 3 : Panduan Pertanyaan Wawancara ... (3)
Lampiran 4 : Data Responden ... (4)
Lampiran 5: Transkip Hasil Wawancara ... (7)
Lampiran 6 : Perikop Injil Yohanes 16: 29- 33 ... (17)
xviii
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan nama-nama Kitab dalam Skripsi ini diambil dari
Alkitan terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), IKAPI, Jakarta, Edisi 5,
Tahun 2004.
Kis : Kisah Para Rasul
Luk : Lukas
Mrk : Markus
Yak : Yakobus
Yes : Yesaya
Yoh : Yohanes
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus dan segenap umat beriman tentang katekese
masa kini, 16 Oktober 1979.
DV : Dei Verbum, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Wahyu Ilahi, 18 November 1965.
EN :Evangelii Nuntiandi, Anjuran Apostolik Paus Paulus kepada para uskup, imam-imam dan umat beriman seluruh gereja Katolik tentang Pewartaan
xix
C. Singkatan Lain
Art : Artikel
APP : Aksi Puasa Pembangunan
bdk. : Bandingkan
BKSN : Bulan Kitab Suci Nasional
Depkes : Departemen Kesehatan
Dr : Doktor
Kep.Men.Kes : Keputusan Menteri Kesehatan
KK : Kepala Keluarga
Prof : Profesor
RL : Responden Laki-Laki
RP : Responden Perempuan
SCP : Shared Christian Praxis
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kampung kusta Sitanala merupakan sebuah daerah di Tangerang yang
memiliki Rumah Sakit khusus untuk para penderita kusta. Di dalam lingkup
Rumah Sakit Sitanala ini ada sebuah bangunan yang bernama Kompleks
Serbaguna. Kompleks ini ditempati oleh para mantan penderita kusta yang sudah
sembuh berjumlah 16 orang, total penduduk di kompleks ± 2000 jiwa dari 500
Kepala Keluarga. Namun ada 2 orang mantan penderita kusta lagi yang tinggal di
lingkungan luar kompleks serbaguna yang bergabung dengan masyarakat umum.
Kampung ini terletak di Karangsari, Sewan, Kecamatan Neglasari, Tangerang,
Keuskupan Agung Jakarta. Transportasi untuk menuju kompleks ini dapat
dijangkau dengan angkutan kota, becak, taksi, dan kendaraan pribadi.
Mata pencaharian mayoritas penduduk di sekitar adalah wirausaha. Para
mantan penderita kusta yang sudah sembuh pun juga berpencaharian sebagai
wirausaha, bengkel, sopir angkutan umum. Modal untuk usaha mereka dimintakan
kepada donatur oleh Ibu Theresia Sri Munarsih yang pernah menjadi perawat di
Sitanala sekaligus mantan penderita kusta. Awalnya mereka tidak pernah disapa
oleh masyarakat sekitar karena masyarakat takut tertular. Namun sekarang mereka
mulai disapa oleh masyarakat dan sebagian mantan penderita kusta dapat bekerja
di luar kompleks karena masyarakat melihat mereka sudah sembuh walaupun
Dengan adanya kompleks serbaguna ini, mantan penderita kusta dapat
menjalani aktivitasnya masing-masing bersama keluarganya. Ketika mantan
penderita kusta tersebut sudah dinyatakan sembuh, mereka memutuskan untuk
tidak kembali ke tempat asal dan menetap di lingkungan sekitar Rumah Sakit ini
dikarenakan merasa malu dengan dampak penyakit kusta yang menyebabkan
kecacatan permanen pada tubuh mereka. Sosialisasi dengan masyarakat pun masih
kurang karena mereka merasa tidak berarti dan kurang percaya dengan kebaikan
Tuhan yang mereka alami selama ini. Sebagian mantan penderita kusta ini malu
untuk bergabung bahkan berjabat tangan sekalipun.
Dalam kehidupan sehari-hari mereka mempunyai harapan agar dapat
bersosialisasi dengan masyarakat lain seperti pada umumnya tanpa ada yang
merasa dijauhi atau dianggap menjijikkan. Selain itu juga dapat mengikuti
pembinaan iman di lingkungan. Namun yang terjadi saat ini mereka masih ada
yang kurang disapa dan terhambat untuk ikut pembinaan iman di lingkungan
karena kondisi mereka yang mengalami cacat (kaki palsu) sehingga untuk berjalan
sampai ke tempat pelaksanaan pembinaan iman tidak memungkinkan. Umat lain
pun tidak ada yang menjemput maupun mengantar mantan penderita kusta untuk
mengikuti pembinaan iman di lingkungan sekitar. Hambatan yang mereka alami
sangat bermacam-macam antara lain: kurangnya kesadaran dan sapaan dari
masyarakat, faktor keadaan fisik yang tidak memungkinkan untuk mengikuti
pembinaan di lingkungan sekitar, kurangnya kepedulian umat terhadap mantan
penderita kusta, pembinaan iman tidak diadakan tersendiri di dalam kompleks
Melihat situasi yang sudah ada bahwa kurang adanya kegiatan
pembinaan iman bersama serta kurangnya hubungan sosialisasi dengan
masyarakat sekitar, maka sangatlah penting dengan adanya peningkatan
pembinaan iman di lingkungan Sitanala. Pembinaan iman ini akan dapat
membantu mengembangkan iman mantan penderita kusta.
Maka, pembinaan iman yang ditujukan untuk mantan penderita kusta
sangat penting untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang sebenarnya menjadi
harapan mereka selama ini. Pendekatan secara pribadi juga penting karena selama
ini banyak dilakukan secara umum sehingga kurang mengetahui apa yang menjadi
harapan mereka sesungguhnya. Dengan pendekatan pribadi dan dari hati ke hati
diharapkan nantinya mereka lebih gembira dan senang karena yang menjadi
harapan mereka terpenuhi serta memiliki rasa percaya diri, tidak malu, tidak
minder, tidak putus asa, dll.
Dalam proses katekese, peserta dapat mengungkapkan pengalamannya
baik pengalaman pribadi maupun pengalaman berdasarkan peristiwa-peristiwa
yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Dengan itu mereka menjadi terbuka
hati bahwa masih banyak orang lain yang juga menderita tetapi tetap kuat karena
percaya kepada Tuhan yang diimaninya. Mereka dapat belajar bagaimana
menghadapi segala peristiwa hidup dan penyakit kusta yang sudah pernah mereka
alami dalam terang iman. Selain itu, sharing pengalaman hidup ini juga dapat
meneguhkan mantan penderita kusta antara yang satu dengan yang lain dan dapat
menjadi sebuah pengalaman baru yang didapat sehingga mereka semakin
Terdorong oleh situasi tersebut, maka penulis menyusun skripsi dengan
judul : “USAHA MENINGKATKAN PELAKSANAAN PEMBINAAN IMAN
MANTAN PENDERITA KUSTA DI LINGKUNGAN SITANALA
TANGERANG KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA MELALUI KATEKESE
MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)”
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan
skripsi sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta
sungguh-sungguh memperkembangkan iman mereka?
2. Sejauh mana pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta di
lingkungan Sitanala Tangerang telah membantu mereka untuk
memperkembangkan imannya?
3. Usaha macam apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan
pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang?
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan permasalahan, penulisan ini bertujuan untuk:
1. Memberikan gambaran tentang pembinaan iman mantan penderita kusta
2. Mendapatkan gambaran sejauh mana pelaksanaan pembinaan iman bagi
mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang telah membantu
mereka untuk memperkembangkan imannya.
3. Katekese Shared Christian Praxis (SCP) menggambarkan model sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan pelaksanaan pembinaan iman mantan
penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang.
D. MANFAAT PENULISAN
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menambah wawasan bagi para pembina iman yang mendampingi mantan
penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang untuk mengembangkan
imannya.
2. Membantu mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang untuk
menghayati dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari.
3. Menambah wawasan para pembaca tentang pelaksanaan pembinaan iman
mantan penderita kusta.
E. METODE PENULISAN
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskripsi
analitis yaitu metode pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan/melukiskan keadaan subjek/objek penelitian pada saat sekarang
penelitian. Penulis juga mengamati dan terjun langsung ke lingkungan Sitanala
Tangerang Keuskupan Agung Tangerang yang menjadi sasaran penelitian.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Tulisan ini mengambil judul “Usaha Meningkatkan Pelaksanaan Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta di Lingkungan Sitanala Tangerang Keuskupan Agung Jakarta Melalui Katekese Model Shared Christian Praxis (SCP)”. Judul ini akan diuraikan menjadi lima bab. Bab pertama menguraikan tentang latar belakang penulisan, rumusan permasalahan,
tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab kedua menguraikan gambaran tentang pembinaan iman dan katekese pada
umumnya. Selanjutnya penulis memberikan gambaran umum tentang mantan
penderita kusta dan penyakit kusta. Bab ketiga, penulis memaparkan tentang
gambaran umum umat katolik di lingkungan Sitanala Tangerang, penelitian
pembinaan iman, laporan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian
pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang
Keuskupan Agung Jakarta. Bab keempat berupa sumbangan pemikian dalam
bentuk katekese model Shared Christian Praxis (SCP) sebagai model untuk meningkatkan pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan
Sitanala Tangerang. Akhir dari keseluruhan pemaparan ini adalah bab kelima.
Bagian ini berisi kesimpulan skripsi dan saran bagi berkembangnya pembinaan
BAB II
PEMBINAAN IMAN MANTAN PENDERITA KUSTA DEMI MEMULIHKAN RASA PERCAYA DIRI
Bab I telah membahas mengenai pendahuluan dan latar belakang situasi
mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang. Dengan adanya
pendahuluan tersebut penulis dapat melanjutkan penulisan bab II ini. Bab ini
merupakan studi pustaka yang menggunakan sumber-sumber yang relevan untuk
memperkaya dan memperdalam gagasan. Selanjutnya bab II ini dibagi menjadi
tiga bagian. Pertama, penulis menjelaskan tentang pembinaan iman dan katekese
pada uumnya. Kedua, dilanjutkan dengan gambaran umum mantan penderita
kusta dan penyakit kusta. Ketiga, penulis membahas pembinaan iman mantan
penderita kusta demi memulihkan rasa percaya diri
A. Pembinaan Iman Pada Umumnya Dan Katekese 1. Pembinaan Iman Pada Umumnya
a. Pengertian Pembinaan
Pembinaan dimengerti sebagai terjemahan dari kata Inggris yaitu
training, yang berarti latihan, pendidikan, dan pembinaan. Sejauh berhubungan dengan pengembangan manusia, pembinaan merupakan bagian dari pendidikan.
Mangunhardjana (1986: 11) mengatakan tentang arti pembinaan iman sebagai
berikut:
Dalam pembinaan, orang tidak sekedar dibantu untuk mempelajari ilmu
murni, tetapi ilmu yang dipraktekkan. Selain itu orang juga tidak hanya dibantu
untuk mendapatkan pengetahuan demi pengetahuan, tetapi pengetahuan untuk
dijalankan. Dalam pembinaan, orang dilatih untuk mengenal kemampuan dan
mengembangkannya, agar dapat memanfaatkannya secara penuh dalam bidang
hidup atau kerja mereka. Oleh karena itu unsur pokok dalam pembinaan adalah
mendapatkan sikap, attitute, dan kecakapan, skill (Mangunhardjana, 1986: 12).
b. Pengertian Iman
Sejauh dilihat dari pihak Allah yang menjumpai dan memberikan Diri
kepada manusia, wahyu merupakan pertemuan Allah dan manusia. Tetapi Allah
tetap Allah, dan di hadapan Allah manusia harus tetap mengaku diri sebagai
“hamba yang tak berguna” (Luk 17:10). Iman adalah penyerahan diri secara total
kepada Allah yang menyatakan diri tidak karena terpaksa, melainkan “dengan
sukarela”. Meskipun tidak setingkat, hubungan itu sungguh merupakan hubungan
persahabatan. Sebagaimana Allah “dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa
manusia” (DV, 2), begitu juga jawaban manusia berasal dari hati yang tulus dan
ikhlas. Sejak semula Gereja menekankan bahwa iman bersifat bebas merdeka.
Dalam iman, manusia menyadari dan mengakui bahwa Allah yang
tak-terbatas berkenan memasuki hidup manusia yang serba tak-terbatas, menyapa dan
memanggilnya. Iman berarti jawaban manusia atas panggilan Allah, penyerahan
pribadi kepada Allah yang menjumpai manusia secara pribadi juga. Dalam iman
memang merupakan pengalaman dasar, kendati belum berarti pertemuan dengan
Allah dalam arti penuh. Di atas pengalaman dasar itulah dibangun iman dan
penyerahan kepada Allah. Manusia dari dirinya sendiri tak mungkin mengenal
Allah. Umat Kristiani mengenal Allah secara pribadi sebagai Bapa, melalui Yesus
(Komisi Kateketik KWI, 1996: 127).
Bila sabda Allah adalah wahyu, maka tanggapan manusia dari sabda
Allah ialah iman. Bila inisiatif berasal dari Allah, maka jawaban adalah dari
manusia. Maka sabda Allah mengundang jawaban manusia, kesediaan Allah
mengundang kesediaan manusia untuk membuka diri, tindakan Allah mendesak
tindakan manusia dan pemberian diri Allah mengharapkan penyerahan diri
manusia. Maka wahyu itu menuntut iman.
Iman adalah pertemuan pribadi dan mendalam antara Allah yang hidup
dengan manusia. Penerimaan secara menyeluruh akan pribadi yang mewahyukan
dan memberikan diri oleh manusia. Menyerahkan diri dengan penuh cinta
merupakan suatu penyerahan yang tanpa batas untuk hidup bagi Allah dan
mengatur hidup sesuai dengan perintah-Nya. Semua ini tentu akan mengakibatkan
suatu perjanjian dan sumpah untuk bersekutu dalam cinta kasih. Oleh sebab itu
hubungan antara pribadi manusia dengan Allah adalah dialog, perjanjian dan
persekutuan (Amalorpavadass, 1972: 16).
Asal-usul kata Ibrani untuk kata iman adalah he’ emin (dari kata dasar
áman). Dengan demikian, beriman berarti merasa aman, menyerahkan beban atau kelemahan pribadi kepada orang lain. Secara rohani beriman berarti menaruh
emeth-Nya, oleh kesetiaan dan keteguhan yang tidak terguncangkan; berkata
amen (= teguh, kuat dan pantas dipercaya) kepada Allah, yang setia pada janji-Nya dan yang kuasa untuk menyatakannya (Telaumbanua, 1997: 47- 49).
c. Pembinaan Iman
Pembinaan iman tidak lepas dari katekese karena katekese merupakan
usaha pembinaan iman yang perlu direncanakan secara berkala yang mempunyai
arah dan tujuan demi pengembangan iman umat. Namun demikian pembinaan
iman dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan oleh pembina dan secara
khusus diciptakan agar orang beriman dapat berkumpul dan saling
mengkomunikasikan pengalaman imannya sebagai pengalaman perjumpaan
dengan Allah melalui sabda-Nya. Pembinaan iman merupakan bentuk pelayanan
sabda yang dilakukan untuk membantu umat untuk semakin menghayati imannya
kepada Yesus Kristus yang berkarya di dalam hidupnya. Dengan demikian
pembinaan iman membantu dan mendorong umat untuk mengembangkan
imannya menjadi semakin matang, dewasa dan ikut terlibat untuk bertanggung
jawab di dalam hidup menggerejaa dan memasyarakat. Iman harus dihayati dan
diwujudkan dalam kehidupan nyata, karena pada hakekatnya “iman tanpa
perbuatan adalah mati” (bdk. Yak. 2:7).
2. Katekese
a. Pengertian Katekese
Pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang-orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen.
Dari rumusan ini dapat dimaksudkan bahwa katekese dapat ditujukan
untuk seluruh orang beriman dalam Kristus, yang secara bebas berkumpul untuk
memahami ajaran Kristus. hal ini bertujuan untuk membantu umat menuju
kepenuhan imannya.
Katekese sebagai komunikasi iman Gereja akan Kristus. Dalam
sejarahnya komunikasi iman mendapat arah dan warna berbeda-beda, kendati ada
unsur-unsur yang tetap terpelihara, ditentukan oleh jaman dan wilayah
berlangsungnya komunikasi iman itu. Katekese erat hubungannya dengan
evangelisasi, yakni “membawa kabar Gembira ke dalam tata hidup manusia untuk
mengubah dan membaharuinya dari dalam pada bidang hidup batin pribadi dan
kolektif suatu bangsa, kegiatan-kegiatan dalam dimana mereka terlibat dan di
lingkungan hidup mereka yang konkret” (EN, 18).
Katekese umat dimengerti sebagai komunikasi iman umat atau tukar
pengalaman iman antar anggota jemaat. Ini berarti, katekese dari umat dan untuk
umat, katekese yang menjemaat, yang berdasarkan situasi konkret setempat
menurut pola Yesus Kristus. Yang berkatekese adalah umat beriman
(Telaumbanua, 1997: 9).
Katekese umat diartikan sebagai komunikasi iman atau tukar pengalaman
iman (penghayatan iman) antara anggota jemaat/kelompok. Katekese umat
merupakan komunikasi iman dari peserta sebagai sesama dalam iman yang
Katekese sebagai komunikasi iman jemaat yang terarah dan terpadu
dengan ciri-cirinya mengandung pengertian inter-relasi yaitu hubungan pribadi
antar jemaat yang memungkinkan pertemuan dan komunikasi iman itu sendiri.
Sebaliknya pertemuan dan komunikasi iman jemaat yang kontinu dapat
menimbulkan dan memperdalam hubungan inter-relasi atau hubungan pribadi
antar pribadi. Dengan demikian, benar bahwa “dalam Katekese Inter-relasi antara
pribadi dengan jemaat lebih mengemuka” (Sarjumunarsa, 1985: 53).
b. Tujuan Katekese
Katekese bertujuan membangunkan, memelihara dan
memperkembangkan iman, sambil membaharui, memperdalam dan
menyempurnakan pertobatan pertama dengan jalan membuatnya makin bersifat
pribadi dan berbuah dalam tindakan (Amalorpavadass, 1972: 8).
Dalam buku Katekese Umat mengenai hubungan dengan Katekese Umat,
PKKI II menegaskan bahwa:
Tujuan komunikasi iman itu ialah supaya dalam terang Injili kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari. Dan kita bertobat (metanoia) kepada Allah dan semakin menyadari kehadirannya dalam kenyataan hidup sehari-hari. Dengan demikian kita semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih dan makin dikukuhkan hidup Kristiani kita. Demikian pula kita makin bersatu dalam Kristus, makin menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan Gereja semesta. Sehingga kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita di tengah masyarakat.
Rumusan ini menegaskan bahwa tujuan Katekese Umat di atas lebih
memperlihatkan peserta sendiri dan menegaskan tujuan sebagai Gereja dan
membantu umat untuk hidup dengan semakin sadar akan iman yang
mendalam/utuh.
Katekese menempatkan pengalaman religius kembali ke dalam hidup
konkret. Dengan demikian peserta dibantu untuk menafsirkan pengalaman
hidupnya sebagai sejarah penyelamatannya (Lalu, 2005: 73-74). Katekese
bertujuan untuk mewujudkan dimensi praktek keagamaan, dimensi perasaan atau
pengalaman keagamaan, dimensi lanjutan dari semuannya itu yakni perilaku
konkret dalam kehidupan sehari-hari sehingga orang dapat mengintegrasikannya
di dalam dirinya sesuai dengan tahap perkembangan pribadinya (Hutabarat, 1981:
11).
Paus Yohanes Paulus II, dalam Ajaran Apostolik Catechesi Tradendae,
(1979 art 20) menyatakan:
Tujuan katekese sebagai usaha pembinaan iman adalah: “berkat bantuan Allah mengembangkan iman yang baru mulai tumbuh, dan dari hari ke hari memekarkan menuju kepenuhannya serta makin memantapkan perihidup Kristus umat beriman, muda maupun tua”.
Dari rumusan ini terkandung makna bahwa pembinaan iman mempunyai
tujuan untuk membantu mengembangkan iman umat secara terus menerus yang
dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Dari hari ke hari umat dapat menghayati
kehidupannya menurut semangat dan teladan Yesus Kristus. Akan tetapi disadari
pula bahwa upaya untuk memperkembangkan iman bukan merupakan usaha
manusia semata melainkan berkat rahmat dan bantuan Roh Kudus. Roh Kuduslah
yang membimbing dan berkarya didalam hati, pikiran mendorong dan
c. Ciri-ciri Katekese
Huber (1979: 94) menjelaskan bahwa ciri-ciri katekese sebagai berikut:
1) Belajar hidup dari iman
Pelayanan katekese berarti ingin tolong menolong supaya umat dapat
belajar hidup dari iman. Dengan adanya katekese umat diundang untuk
mendalami dan memperluas imannya secara bertanggung jawab. Umat
ditantang untuk menemukan arti hidupnya. Katekese tidaklah pertama-tama
menyuguhkan sederetan pengajaran namun ingin menolong bahwa manusia
menjalani hidup ini oleh cinta yang adalah Allah sendiri. Keterbukaan
manusia terhadap cinta kasih Allah memampukan untuk melihat dan
mengalami berapa hidupnya menjadi sangat berarti. Dengan demikian
pengalaman-pengalaman serta sikap-sikap rasa percaya, pengharapan serta
pertobatan akan tumbuh dan berkembang dalam diri manusia.
2) Katekese memungkinkan pengalaman hidup
Pelaksanaan katekese tidak hanya bertitik tolak dari isi kenyataan iman
saja namun bertumpu pada keadaan dan pengalaman manusia beserta segala
persoalan hidupnya.
3) Katekese menumbuhkan hidup rohani
Segi yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan karya katekese ialah
dorongan yang menumbuhkan ungkapan-ungkapan iman. Berdoa dan
menyapa Allah dapat sekaligus mengarah kan arah hidupnya dan saling
melengkapi. Spiritualitas itulah yang merupakan suatu dorongan untuk manju
4) “Tanpa tindakan kosonglah iman”
Katekese mengajak orang untuk merefleksikan persoalan hidupnya
bahwa iman akan Allah yang tampak dalam Yesus Kristus bisa membaharui
hidup manusia sebagai pribadi dan bersama-sama. Dengan demikian, iman
dihayati secara nyata, yaitu bahwa orang yang hidup bersumber pada Injil
dan bertindak dari dorongannya.
5) Katekese menyangkut nilai-nilai
Iman dan hidup adalah hubungan sedemikian dekat yang terjalin satu
sama lain. Pelayanan yang muncul dari iman selalu memunculkan nilai-nilai
hidup yang begitu berarti. Nilai-nilai itu misalnya saja kejujuran, rasa
solidaritas, kepedulian, semangat kawan yang mendalam dan lain-lain.
Katekese ingin membantu manusia untuk mewujudkan dan mengembangkan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
d. Fungsi Katekese
Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, katekese mempunyai fungsi yang
membantu umat untuk menghayati imannya. Fungsi-fungsi katekese antara lain:
mempersiapkan manusia untuk menerima karya Roh Kudus, menolong manusia
supaya persatuannya dengan Allah menjadi kenyataan, memberikan sumbangan
agar keseluruhan kebenaran rencana Allah dapat ditangkap dengan
mempersiapkan umat beriman membaca Kitab Suci dan belajar dari Tradisi,
membantu orang untuk mentafsirkan kejadian-kejadian hidup manusia, khususnya
memberikan bantuan agar jemaat beriman dapat ikut serta dalam dialog ekumenis,
termasuk dialog dengan budaya dan dengan orang non Kristiani, mengarahkan
harapan manusia kepada kebaikan-kebaikan yang akan datang, menerangkan dan
mengenakan kepada hidup manusia kebenaran-kebenaran iman sesuai dengan
perkembangan pribadi, mewartakan Firman Allah dan mengajarkannya dalam
bahasa yang dapat dimengerti oleh para pendengar sambil tetap setia pada ajaran
Gereja (Hutabarat, 1982: 46).
e. Isi dan Suasana Katekese
Dalam proses katekese, ada dua unsur penting yang harus diperhatikan,
yaitu isi dan suasana. Isi katekese tidak dapat dilepaskan dari pengaruh suasana,
baik faktor perkembangan psikologis peserta katekese itu sendiri dan aspek-aspek
eksternalnya, yaitu lingkungan, sarana, pendekatan dan metodenya. Maka
diperlukan suasana akomodatif yang mampu menghantar isi kepada peserta
katekese. Suasana tanpa isi akan membuat proses katekese hanya sekedar ruang
hiburan, tetapi isi tanpa suasana akan membuat proses katekese bagaikan ruang
ceramah yang membosankan dan sama sekali tidak edukatif bagi segi afektifitas
peserta katekese. Untuk itu segi isi dan suasana menjadi bagian yang tak
terpisahkan. Isi haruslah berjalan dengan suasana, begitupun suasana haruslah
memuat isi yang membangun iman peserta katekese. Isi pokok pembinaan iman
adalah seluruh hidup Yesus Kristus (CT, 6). Sifat Kristosentris katekese bukan
untuk menyampaikan ajarannya sendiri atau seorang guru lain, melainkan ajaran
yang tak lain ialah Dia sendiri. Yesus adalah jalan kebenaran dan hidup (Yoh.
14:6).
Pembinaan iman yang berpusat pada Yesus Kristus berarti
mengkomunikasikan sabda, ajaran dan seluruh misteri hidup Yesus Kristus.
Dalam komunikasi ini setiap peserta diharapkan dapat saling terbuka dan saling
mendengarkan agar sabda yang direnungkan dapat sungguh-sungguh dihayati dan
menemukan makna bagi hidup diri sendiri maupun bagi sesama. Selain itu peserta
secara pribadi membina relasi dengan Yesus dan seluruh hidup, sikap dan
tindakannya dijiwai oleh hidup Yesus sendiri.
f. Media dan Sarana Katekese
Salah satu media yang dapat digunakan agar katekese itu menarik adalah
media komunikasi populer. Media komunikasi populer adalah media yang
digunakan untuk menyampaikan pesan dalam proses komunikasi yang
metodologinya bersifat “dekat” dengan kehidupan dewasa ini, misalnya televisi,
radio, film, foto digital, poster, hasil download internet, tampilan-tampilan presentasi dengan powerpoint dan flash player, musik, potongan artikel, potongan cergam-komik, dan lain-lain. Media komunikasi populer ini dapat menjadi salah
satu bantuan, agar jembatan untuk menghubungkan pengalaman hidup orang
zaman sekarang dengan visi kristianitas mampu terjadi. Media komunikasi
populer ini menjadi sarana supaya terjadi proses sintesis antara media dan
mempengaruhi umat berkaitan dengan gaya hidup (life style) dan pandangan-pandangan hidup umat dewasa ini.
Penggunaan sarana dalam katekese akan lebih menarik apabila pembina
memiliki keterampilan yang cukup dalam hal menggunakan berbagai macam
metode. Oleh karena itu sarana sangat berkaitan erat dengan metode yang akan
digunakan dalam pembinaan iman. Beberapa metode dan sekaligus sarana yang
mendukung yang dapat digunakan dalam pembinaan iman:
1) Metode Bercerita
Metode bercerita adalah cara menyajikan bahan pelajaran,
memperlihatkan, memberitahu dan menerangkan suatu yang bersifat fiktif atau
non fiktif kepada peserta untuk mencapai tujuan pelajaran. Latar belakang dari
manfaat metode bercerita adalah:
a) Kekuatan Cerita
Rahasia sebuah cerita adalah bahwa orang tidak merasa diajar, “digurui”
melainkan diajak berpikir, memahami, merasakan dan menyampaikan cerita
tersebut. Cerita sarat dengan “nilai-nilai”. Melalui cerita orang diajak “masuk
dalam dunia cerita” dan berhadapan dengan cerita tersebut secara keseluruhan.
b) Teknik Bercerita
¾ Menyiapkan cerita dengan sungguh-sungguh, melatih cerita sendiri secara
berulang-ulang sebelum bercerita di hadapan peserta, tidak menanggap
“enteng” saja tentang cerita tersebut sehingga perlu disiapkan dengan
¾ Bercerita dengan cara yang hidup dan menarik. Hidup karena cerita tersebut
dibawakan dengan sungguh-sungguh dan diungkapkan sesuai dengan situasi
menyeluruh dalam cerita tersebut. Menjadi hidup bagi pendengarnya bila
masalahnya juga menarik. Menarik karena isi, sifat dan bentuk cerita tersebut
sesuai atau berdekatan dengan situasi pendengarnya.
Sarana yang dapat digunakan dalam metode bercerita adalah cerita
bergambar, cerita rakyat, boneka, alat tulis, gambar-gambar Yesus dan karya-Nya
serta gambar-gambar Kudus dan lain-lain, sesuai dengan tema atau isi cerita yang
akan disampaikan kepada peserta.
2) Metode Sosiodrama
Drama berarti karya sastra/tulis yang bertujuan menggambarkan
kehidupan penderitaan, kebahagiaan, perjuangan hidup dan segala seluk- beluk
kehidupan lewat tingkah laku, gerak, ekspresi dan dialog pemain. Dalam drama
kegiatannya penuh dengan aktivitas seperti akting, bermain, berpura-pura,
menarik dialog. Hal ini sesuai dengan situasi kejiwaan peserta. Tujuan drama
adalah peserta belajar mengendalikan diri dalam hal emosi dan kejiwaannya,
belajar memupuk sifat untuk menjadi baik, penggerak untuk berimajinasi. Dalam
bermain drama peserta langsung terlibat dalam kegiatan, belajar mengalami
menjadi tokoh dan semua yang ada dalam diri tokoh. Dengan
keterlibatan/partisipasi langsung, peserta akan banyak belajar kehidupan dari
mengerti dan mendalami makna hidupnya, dan merubah hidupnya menjadi lebih
baik.
Sarana yang dapat digunakan dalam metode sosiodrama adalah topeng,
teks drama, alat tulis, kain dan lain sebagainya sesuai dengan tema dan isi dari
drama yang akan dimainkan.
3) Metode Tanya Jawab
Metode Tanya jawab adalah cara lisan menyajikan bahan untuk mencapai
tujuan pengajaran. Metode ini akan sangat efektif bila dipadukan dengan metode
yang lain seperti: ceramah, kerja kelompok, demonstrasi, dll. Metode tanya jawab
berfungsi sebagai alat untuk mengetahui apa yang dipahami peserta berkaitan
dengan bahan yang diberikan, menarik perhatian peserta, penguasaan peserta
terhadap bahan. Tipe-tipe pertanyaan yang baik adalah:
¾ Pertanyaan fakta (mengembangkan daya ingatan).
¾ Pertanyaan perbandingan-perbandingan (mengembangkan daya pengenalan,
daya pikir).
¾ Pertanyaan analisa terhadap sesuatu (mengembangkan daya analisa).
¾ Pertanyaan pengira-iraan (mengembangkan daya pikir dan perasaan).
Sarana yang dapat digunakan dalam metode tanya jawab ini adalah
g. Model-Model Katekese
Dalam kegiatan pembinaan iman terdapat bermacam-macam model yang
digunakan pada dewasa ini. Langkah-langkah yang terjadi dalam pembinaan iman
pada umumnya mengandung tiga unsur dasar, yakni: pengalaman hidup konkret,
teks Kitab Suci atau Tradisi dan penerapan konkret pada hidup peserta katekese.
Oleh karena itu, bertolak dari awal atau dasarnya pembinaan iman, dalam
langkah-langkah pembinaan iman atau katekese pada umumnya terdapat tiga
model, yakni: model ‘pengalaman hidup’ yang lebih bertolak pada pengalaman
hidup konkret sehari-hari; model ‘biblis’ lebih bertolak pada pengalaman Kitab
Suci atau Tradisi; dan model ‘campuran biblis dan pengalaman hidup’ yang lebih
bertolak pada hubungan antara Kitab Suci atau Tradisi dengan pengalaman hidup
konkret (Sumarno Ds, 2012: 1).
1) Model Pengalaman Hidup
Model pengalaman hidup ini merupakan model katekese yang dimulai
dari pengalaman hidup peserta. Dalam proses pelaksanaan katekese, peserta
mengungkapkan pengalamannya baik pengalaman pribadi maupun pengalaman
berdasarkan peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi di tengah masyarakat.
Pengalaman ini juga bisa diambil dari surat kabar atau cerita yang relevan.
Pengalaman-pengalaman ini diolah dan didalami bersama-sama dalam
kelompok kemudian peserta berusaha mencari makna dari pengalaman tersebut
berdasarkan Kitab Suci. Kitab Suci dibacakan dan direnungkan secara pribadi.
Pendamping memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk membantu peserta
Kekuatan model pengalaman hidup ini adalah peserta merasa tersentuh
dan semakin diteguhkan karena tema yang diangkat berdasarkan situasi konkrit
yang mereka alami. Kelemahannya adalah seakan-akan menomorduakan Kitab
Suci sebagai sumber iman Kristiani, dan peserta kurang memahami Kitab Suci.
Bila penekanannya pada pengalaman hidup tidak semua peserta mampu
merefleksikan pengalaman hidupnya sehari-hari.
2) Model Biblis/Tradisi
Model biblis merupakan suatu model katekese yang bertitik tolak dari
Kitab Suci. Dalam proses katekese, Kitab Suci dibacakan kemudian direnungkan
dan didalami secara pribadi maupun bersama untuk menemukan inti teks. Inti teks
Kitab Suci tersebut dihubungkan dengan pengalaman hidup peserta agar mereka
merasakan ramat dan kehadiran Allah dalam hidupnya sehari-hari.
Kekuatan model ini adalah berpedoman pada Kitab Suci sebagai dasar
hidup beriman Kristiani. Kelemahannya adalah situasi hidup peserta kurang
disentuh, karena ajarannya tidak dihubungkan dalam hidup para peserta katekese.
3) Model Campuran: Biblis dan Pengalaman Hidup
Model campuran merupakan model katekese yang mengajak umat untuk
saling mengkomunikasikan pengalaman imannya, baik pengalaman pribadi
maupun pengalaman bersama. Dalam proses katekese, Kitab Suci dibacakan dan
direnungkan secara pribadi kemudian disajikan pengalaman hidup. Pengalaman
pokok yang diperoleh dari pengalaman hidup peserta direfleksikan, dianalisis
kemudian dihubungkan dengan bacaan Kitab Suci yang sudah dibacakan.
Kekuatan model ini adalah peserta semakin memahami bahwa
pesan-pesan Kitab Suci dipahami dan dimengerti sebagai suati yang hidup sesuai dengan
zamannya. Kelemahannya adalah tidak semua peserta mampu
menghubungkannya dengan pesan inti Kitab Suci sehingga muncul rasa jenuh.
B. Gambaran Umum Mantan Penderita Kusta dan Penyakit Kusta 1. Gambaran Umum Mantan Penderita Kusta
Anggapan anggota masyarakat yang keliru menafsirkan tentang penyakit
kusta ini membuat para mantan penderita kusta semakin terpuruk dan tidak
percaya diri lagi. Masyarakat yang diharapkan untuk memperhatikan dan
merawatnya justru mengucilkannya. Apabila petugas kesehatan yang merawatnya
telah menyatakan sembuh, maka masyarakat tetap saja menganggapnya sakit dan
mereka tetap dikucilkan. Situasi dan keadaan seperti ini yang menyebabkan
kondisi kejiwaan mantan penderita kusta menjadi tertekan sehingga merasa
minder, putus asa bahkan tidak percaya diri lagi untuk bersosialisasi terhadap
masyarakat lain. Mereka menjadi sangat sensitif dan mudah tersinggung. Harga
diri yang mereka miliki menjadi jiwanya terpuruk dan sulit untuk memulihkan
rasa percaya dirinya. Keadaan ini sangat menyedihkan karena kendati sudah
dinyatakan sembuh namun mereka tidak berani hidup di tengah masyarakat dan
memilih tetap tinggal di lingkungan Sitanala. Dengan kenyataan hidup yang
dialaminya mereka memiliki harapan hidup pribadinya semakin diterima oleh
2. Gambaran Penyakit Kusta
Penyakit kusta yang diderita oleh suatu kelompok masyarakat merupakan
suatu penyakit communicable diasease atau menular. a. Pengertian Kusta
Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis yang menyerang kulit,
membrane mukosa dan saraf perifer yang disebabkan oleh bakteri aerob dan tahan
asam yaitu Mycobacterium leprae (Soedarto, 2002). Penyakit kusta adalah penyakit yang menyerang kulit dan saraf tepi disebabkan oleh bakteri (Chin,
2006). Tantut Susanto dkk (2013:20) menyampaikan pandangan Naik et al yang mengatakan bahwa kusta adalah penyakit bakteri kronis pada manusia yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang kulit, saraf perifer dan mukosa hidung. Kusta apabila tidak didiagnosis dan diobati secara dini dapat
menyebabkan cacat pada mata, tangan dan kaki. Kusta merupakan penyakit kronis
yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) atau biasa disebut juga dengan Morbus Hansen yang menyerang saraf perifer, kulit, dan
organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati dan sumsum tulang
kecuali susunan saraf pusat (Mansjoer et al, 2000). Oleh karena itu dalam buku yang berjudul Perawatan Klien Kusta di Komunitas (Tantut Susanto dkk, 2013: 20) menyimpulkan bahwa kustaadalah:
Suatu penyakit kulit yang bersifat kronis dan disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae, dan apabila tidak ditangani secara tepat akan dapat mengakibatkan kecacatan yang serius pada mata, tangan dan kaki.
Rumusan ini menegaskan bahwa penyakit kusta adalah penyakit menular,
menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat
(Kemenkes RI, 2007).
b. Penyebab Kusta
Tantut Susanto dkk (2013:21) mengemukakan pandangan Remme yanag
mengungkapkan penyakit kusta adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae (M. leprae) yang bersifat asam dan gram positif.
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler dan terutama berada pada makrofag. Mycobacterium leprae mempunyai ukuran panjang 2-7 mikrometer dan lebar 0.3 – 0,4 mikrometer. Mycobacterium leprae mempunyai dinding sel yang banyak mengandung lemak dan lapisan lilin, sehingga
mengakibatkan bakteri ini tahan asam. Penentuan Mycobacterium leprae tahan asam atau tidak, dengan cara perawatan teknik Ziehl Neelsen dengan menggunakan larutan Karbol Fuhsin, Asam Alkohol, dan Metilen Blue. Faktor penyebab penyakit kusta tersebut ditunjang oleh beberapa hal dalam proses
penularan penyakit kusta.
Mycobacterium leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen
pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran
1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang
tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin. Kuman
ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo (Kemenkes RI,
c. Penularan Kusta
Dalam bukunya Tantut Susanto dkk (2013:21) menyampaikan pandangan
Sehgal yang menjelaskan bahwa lingkungan paling alami dan yang baik bagi
perkembangan Mycobacterium leprae adalah sel eukaryotic, dan kebanyakan kasus ditemukan pada manusia, tetapi juga ditemukan pada armadillo. Depkes RI
(2006) mengemukakan bahwa penyakit kusta juga dapat ditularkan melalui
monyet dan telapak kaki tikus yang tidak memiliki kelenjar thymus (Athymic nude mouse).
Penularan kusta belum diketahui secara pasti, namun sebagian besar ahli
berpendapat bahwa dapat melalui saluran nafas bagian atas dan kulit.
Mycobacterium leprae sering berkembang pada tubuh manusia yang mempunyai suhu lebih rendah, seperti daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit
(Mansjoer et al, 2000). Jaringan tubuh yang dingin tersebut, diantaranya adalah kulit, saraf tepi, hidung, laring, faring, mata dan testis (Jawetz et al 1996). Tantut Susanto dkk (2013:22) mengemukakan pandangan Burn yang mengatakan bahwa
area tubuh yang memiliki suhu rendah adalah area superficial, termasuk mata,
mukosa saluran pernafasan atas, testis, otot-otot kecil dan tulang pada tangan, kaki
dan wajah, serta saraf perifer dan kulit.
d. Tanda dan Gejala Kusta
Depkes RI (2006) menyatakan bahwa untuk menetapkan diagnosis
1) Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa; kelainan kulit/lesi dapat berbentuk
bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematuos) yang mati rasa (anaesthesi).
2) Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf; gangguan
fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini berupa gangguan fungsi sensoris, gangguan fungsi motoris, gangguan fungsi otonom. Gangguan fungsi sensoris
merupakan gangguan yang ditandai dengan keadaan mati rasa. Gangguan
fungsi motoris merupakan gangguan yang ditandai dengan kelemahan otot
(parese), atau kelumpuhan (paralise), sedangkan gangguan fungsi otonom merupakan gangguan yang ditandai denhan kering dan retak-retak.
3) Adanya bakteri tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA
positif). Sseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu
dari tanda-tanda utama di atas.
Tantut Susanto dkk (2013:21) menyampaikan pandangan Zulkifli tentang
gejala umum yang muncul dan merupakan persepsi umum di masyarakat adalah
adanya bercak tipis seperti panu pada badan. Pada bercak putih mula-mula
muncul sedikit, tetapi semakin lama akan melebar dan banyak. Adanya pelebaran
saraf terutama saraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus serta peroneus.
Kurang aktifnya kelenjar keringat sehingga kulit tampak lebih mengkilat dan tipis.
Beberapa gejala yang akan dialami oleh penderita penyakit kusta diantaranya
adalah panas dari derajat rendah sampai dengan menggigil, tidak nafsu makan,
kepala, kadang-kadang disertai iritasi. Penderita kusta akan mengalami kemerahan
pada testis dan radang pleura, kadang-kadang disertai dengan penurunan fungsi
ginjal, radang ginjal dan pembesaran hati dan empedu, serta radang serabut saraf.
e. Klasifikasi Kusta
Sebenarnya dikenal banyak jenis klasifikasi penyakit kusta yang cukup
menyulitkan, misalnya klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi
India dan WHO. Sebagian besar penentuan klasifikasi ini didasarkan pada tingkat
kekebalan tubuh (kekebalan seluler) dan jumlah kuman.
Pada tahun 1982 sekelompok ahli WHO mengembangkan klasifikasi
untuk memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh
penderita kusta hanya dibagi dalam 2 tipe yaitu tipe Paucibacillar (PB) dan tipe
Multibacillary (MB). Dasar dari klasifikasi ini adalah gambaran klinis dan hasil pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) melalui skin smear. Pada pertengahan tahun 1997, WHO Expert Committee menganjurkan klasifikasi kusta menjadi PB lesi tunggal (Single lesion), PB lesi 2-3 dan MB. Sampai sekarang secara nasional pengobatan PB lesi tunggal disamakan dengan PB lesi 2-3
(http://www.rsk-drsitanala.com/index.php/component/content/article?id=82 accesed on May 15,
C. Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta Demi Memulihkan Rasa Percaya Diri
1. Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta
Dalam situasi konkret yang terjadi di lingkungan Sitanala, pelaksanaan
pembinaan iman iniakan membantu mengembangkan iman dan memulihkan rasa
percaya diri mantan penderita kusta karena dilihat dari kehidupan mereka. Mantan
penderita kusta ingin hidup mandiri dan tidak pernah ingin jadi peminta-minta.
Mantan penderita kusta ingin diterima masyarakat namun ruang gerak mereka
ternyata membatasi keinginan-keinginan itu. Mantan penderita kusta di
lingkungan Sitanala Tangerang justru takut kembali ke rumah. Sudah terbayang
dalam pikiran mereka, bagaimana keluarga dan tetangga tidak akan menghiraukan
kehadiran mereka.
Namun hal ini bukan semata-mata pembinaan, juga pendampingan lebih
dekat sehingga mampu mengetahui dan memahami lebih jauh tentang apa yang
menjadi harapan mereka sesungguhnya. Dengan pendekatan pribadi dan dari hati
ke hati mereka diharapkan nantinya lebih gembira dan senang karena yang
menjadi harapan mereka terpenuhi. Sesuai dengan sasaran pembinaan iman ke
arah kedewasaan iman, maka diharapkan mantan penderita kusta semakin dapat
mengembangkan iman dari pengalaman hidupnya dan percaya diri dengan segala
keterlibatannya dalam menggereja dan bermasyarakat.
2. Model Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta
Model katekese pembinaan iman yang cocok untuk mantan penderita
biblis/tradisi dan model campuran (pengalaman hidup dan biblis/tradisi). Namun
dalam situasi konkret ini penulis lebih menekankan pada katekese model Shared Christian Praxis (SCP) atau sharing pengalaman hidup. Dengan dilaksanakannya pembinaan iman dengan model ini mantan penderita kusta menjadi terbuka hati
untuk sharing dan menyadari bahwa masih banyak orang lain yang juga menderita
tetapi tetap kuat karena percaya kepada Tuhan yang diimaninya. Pengalaman
hidup yang dialaminya dapat mereka jadikan suatu pembelajaran yang penuh arti
dan makna. Selain itu juga dapat mereka bagikan kepada sesama dan orang lain
yang tidak mengalami penyakit kusta. Sharing gambaran umum tentang penyakit
kusta juga dapat dibagikan agar orang lain juga mendapat pengetahuan baru dan
tidak menjadi suatu hal yang menakutkan namun dapat mencegahnya.
3. Tujuan Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta
Tujuan dari pembinaan ini yakni membantu para mantan penderita kusta
untuk memulihkan rasa percaya diri sehingga dalam menjalani kehidupannya
sehari-hari tidak merasa minder, putus asa. Selain itu mantan penderita kusta
semakin menyadari akan kehadiran-Nya dalam kenyataan hidup sehari-hari,
dengan demikian akan semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta
BAB III
PEMBINAAN IMAN MANTAN PENDERITA KUSTA DI LINGKUNGAN SITANALA TANGERANG
KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA
Pada bab ini, penulis akan membahas gambaran umum umat Katolik di
lingkungan Sitanala Tangerang. Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan iman
di lingkungan Sitanala maka penulis mengadakan penelitian sederhana dengan
menggunakan wawancara terstruktur. Penelitian ini ditujukan untuk mantan
penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang. Data-data tersebut kemudian
dianalisis untuk mendapatkan gambaran nyata yang terjadi di lingkungan Sitanala
tentang pembinaan iman para mantan penderita kusta, terlebih dahulu akan
diuraikan gambaran umum umat Katolik di lingkungan Sitanala. Selanjutnya akan
diuraikan mengenai penelitian pembinaan iman mantan penderita kusta di
lingkungan Sitanala Tangerang, Keuskupan Agung Jakarta dan pembahasan hasil
penelitian.
A. Gambaran Umum Umat Katolik di Lingkungan Sitanala Tangerang 1. Gambaran Umum Umat Katolik di Lingkungan Sitanala
Umat Katolik di lingkungan Sitanala memiliki tingkat ekonomi yang
berkecukupan. Mata pencaharian mereka sangat bervariasi. Untuk bertahan hidup
mereka membuka usaha sabagai guru, tukang penjahit, tukang becak, tukang
bengkel, petugas kebersihan, membuat kerajinan, membuka warung nasi, dan
bercocok tanam dengan memanfaatkan lahan terlantar di sekitar Rumah Sakit.
Hubungan relasi antar umat Katolik dengan masyarakat lain cukup baik. Sebagain
dalam tingkat gereja seperti koor, prodiakon dan lain-lain. Mereka yang sehat saja
yang terlibat dalam kegiatan gereja.
2. Gambaran Umum Komunitas Mantan Penderita Kusta di Lingkungan Sitanala
Ibu Theresia Sri Munarsih yang pernah menjadi perawat di Rumah Sakit
Sitanala yang kini menjadi mantan penderita kusta mengatakan bahwa komunitas
mantan penderita kusta ini bermula dari sebuah Rumah Sakit Kusta Sitanala
berlokasi di Kota Tangerang Provinsi Banten dengan menempati lahan seluas 54
hektar. Rumah Sakit Kusta Sitanala Tangerang merupakan pindahan dari
Leprosarium Lenteng Agung. Pada tanggal 28 Juli 1951 Rumah Sakit Kusta ini
didirikan oleh Departemen Kesehatan RI dengan nama "Rumah Sakit Sewan",
karena lokasi terletak di Desa Karangsari Kampung Sewan, Kecamatan Neglasari.
Rumah Sakit ini diresmikan oleh Ny. Rahmi Hatta selaku Ibu Wakil Presiden RI
Pertama. Peresmian ini dilaksanakan sekaligus untuk menghargai jasa seorang
dokter yang pertama kali berkecimpung dalam menangani penderita kusta, yaitu
dr. J.B. Sitanala yang berasal dari Maluku. Pada tahun 1962 Rumah Sakit Sewan
dirubah namanya menjadi "Pusat Rehabilitasi Sitanala" oleh Menteri Kesehatan
RI saat itu Prof. Dr. Satrio, dan pada perkembangan selanjutnya menjadi Rumah
Sakit Kusta Dr. Sitanala Tangerang dengan Kep.Men.Kes.RI Nomor 140, Tahun
1978. Rumah Sakit Kusta Sitanala merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di
Berdasarkan pengamatan penulis, penduduk yang bermula di belakang
kompleks Rumah Sakit Kusta Sitanala, Desa Karang Sari, Kecamatan Neglasari,
Kota Tangerang, Banten, sekilas tak ada yang tampak tak lazim. Hanya ada
deretan rumah petak kecil yang berdiri berjajar dengan jalanan tanah berbatu yang
becek, pagar bambu di pinggir jalan, masjid, beberapa warung. Kusta masih
dianggap sebagai penyakit kotor atau kutukan akibat macam-macam perbuatan
jahat yang pernah dilakukan. Orang kampung biasanya tidak mau menerima
mereka kembali di kampung halamannya sehingga mereka memutuskan untuk
tidak kembali ke rumahnya. Pihak Rumah Sakit pun menyediakan rumah untuk
transit bagi mantan penderita sampai mereka bisa membangun rumah sendiri di
lahan kosong di dekat Rumah Sakit. Menurut Muhammad Mitam (55), Ketua RT
01/RW 13 di kampung itu, sebagian besar warga kampung adalah mantan
penderita kusta yang sebelumnya menjalani pengobatan di Rumah Sakit Kusta
Sitanala. Dari 500 KK yang tinggal di RT 01/RW 13 ± 2000 jiwa.
3. Gambaran Umum Pembinaan Iman di Lingkungan Sitanala Tangerang
Berdasarkan hasil perbincangan pada tanggal 17 Desember 2014 dengan
Ibu Theresia Sri Munarsih yang pernah menjadi perawat di Sitanala sekaligus
mantan penderita kusta, maka diperoleh data mengenai pembinaan iman yang ada
di lingkungan Sitanala. Keberadaan umat di lingkungan Sitanala cukup hidup
karena adanya kegiatan pembinaan iman yang dilakukan secara bersama di
lingkungan-lingkungan sekitar. Kegiatan pembinaan ini dilaksanakan secara
rosario. Melalui kegiatan pembinaan ini rasa persaudaraan dan persatuan antara
umat di lingkungan Sitanala lebih terbangun. Keterlibatan umat yang hadir dalam
hidup menggereja di lingkup lingkungan baik kendati mereka cukup sibuk bekerja
mencari nafkah untuk menghidupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kehidupan sosial masyarakat antara mantan penderita kusta dan
masyarakat masih kurang karena mereka (mantan penderita kusta) merasa minder
dan kurang percaya diri. Sebagian mantan penderita kusta ini malu untuk
bergabung. Mereka masih ada yang kurang disapa dan terhambat untuk mengikuti
pembinaan iman di lingkungan sekitar karena kondisi fisik mereka yang
mengalami cacat (kaki palsu) sehingga untuk menempuh perjalanan sampai ke
tempat dimana pembinaan iman itu dilaksanakan tidak memungkinkan. Umat lain
pun tidak ada yang menjemput maupun mengantar para mantan penderita kusta
untuk mengikuti pembinaan iman di lingkungan sekitar. Mereka memang tidak
dapat ikut pembinaan iman bersama umat di lingkungan sekitar namun mereka
ada kegiatan kumpul doa bersama p