• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISSN No Jurnal Sangkareang Mataram 19

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ISSN No Jurnal Sangkareang Mataram 19"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

INTERACTION OF FUSARIUM SP. WITH GYRINOPS VERSTEEGII SEEDLING BY MORPHOLOGICAL, ANATOMICAL, AND CHEMICAL OBSERVATION

By

I Gde Adi Suryawan Wangiyana

Forestry Faculty of Nusa Tenggara Barat University

Abstract: Studi of interaction between Gyrinops versteegii and Fusarium Sp. could lead advance understanding in agarwood cultivation. The aim of this research is to observe interaction between Fusarium Sp. and Gyrinops versteegii based on morphological, anatomical and chemical observation.

Gyrinops versteegii seedling from Lingsar was inoculated by Fusarium sp using grafting method.

Morphological observation conducted by observation of chlorosis in leaf and dark colorization in stem.

Anatomical observation conducted by observation of seedling stem tissue. Chemical observation conducted by thin layer chromatography. Based on morphological observation, chlorosis of leaf occurred after 14 days inoculation followed by necrosis of leaf at 21 days after inoculation. Penetration of fungal mycelia, fungal conidia and formation of dark coloration on seedling tissue were observed from anatomical observation. Similar spot with similar Rf (0.22) value were observe from seedling sample at 14 days inoculation, 21 days inoculation and also sample of Gyrinops versteegii 6 month after inoculation.

All of those spots have similar Rf with standard agarwood oil (Rf = 0.23). Organoleptic test confirmed aromatic odor from seedling at 14 days and 21 day inoculation even though the aromatic odor is not as strong as aromatic odor of Gyrinops versteegii tree at 6 month inoculation. It could be concluded that the inoculation of Fusarium sp. on Gyrinops versteegii resulting: chlorosis and necrosis of leaf, dark colorization of stem, aromatic odor and identical Rf spot of Thin Layer Chromatography

Keywords : Interaction Of Fusarium Sp. Morphological, Anatomical, And Chemical Observation

PENDAHULUAN

Gaharu adalah salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu bernilai ekonomis tinggi (Wangiyana, 2015). Salah satu tanaman penghasil gaharu endemik di provinsi Nusa Tenggara Barat adalah Gyrinops versteegii yang diharapkan menjadi solusi untuk permasalahan tingkat kemiskinan yang tinggi di Provinsi tersebut (Siddik, 2010). Untuk itulah budidaya tanaman penghasil gaharu perlu terus ditingkatkan.

Salah satu proses paling penting dalam budidaya gaharu adalah induksi pembentukan gubal pada pohon gaharu (Gyrinops versteegii) (Wangiyana, 2016). Pada dasarnya, gubal gaharu merupakan suatu respon fisiologis G. versteegii dan tanaman penghasil gaharu lainnya terhadap gangguan yang diterima baik secara fisik, kimiawi maupun biologis. Gangguan secara biologis dengan pemberian Fungi patogen merupakan salah satu metode yang banyak dikembangkan dan memberikan hasil optimal. Salah satu kelompok Fungi yang sangat potensial digunakan sebagai penginduksi adalah Fusarium Sp. (Santoso et al., 2011).

Penggunaan fungi seperti Fusarium Sp.

sebagai inokulan akan memberikan dampak fisiologis dan juga sitologis pada pohon G.

versteegii. Pohon G. versteegii akan mengalami gejala terinfeksi penyakit seperti klorosis pada

daun sampai daun berguguran serta adanya perubahan warna kulit kayu disekitar area inokulasi (Putri, 2011). Selain itu terjadi akumulasi senyawa seskuiterpenoid dan feniletilkromon pada batang disekitar area inokulasi yang beraroma wangi (Novriyanti, 2011). Akan tetapi studi mengenai dampak sitologis inokulasi Fusarium Sp.

masih cukup jarang dilaukan.

Studi sitologis mampu memberikan informasi perilaku Fusarim Sp. pada jaringan tanaman inang.

Informasi tersebut dapat memberikan rekomendasi tahapan penelitian lanjutan terkait interaksi antara Fusarium Sp. dan tanaman gaharu yang mampu memberikan pemahaman menyeluruh terkait budidaya gaharu. Selain itu, studi sitologis juga dapat menjadi landasan kuat untuk melakukan studi molekular (Putri, 2011). Oleh karena itulah penelitian ini bertujuan untuk: melakukan studi interaksi isolat Fusarium Sp dengan Gyrinops versteegii melalui pengamatan morfologis, anatomis dan kimiawi.

METODE

a. Preparasi Isolat Fusarium

Isolat Fusarium Sp. yang digunakan adalah isolat Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (Yosephin et al., 2012). Sebelum

(2)

digunakan untuk inokulasi, isolat diremajakan terlebih dahulu pada medium ekstrak tauge. Sub kultur isolat Fusairum Sp. dari medium PDA kultur stok ke medium peremajaan Ekstrak Tuage Agar dilakukan dengan teknik pemotongan. Isolat diinkubasi pada temperatur 27o C selama 7 hari.

b. Inokulasi Fusarium Sp. pada bibit G.

versteegii

Bibit G. versteegii diperoleh dari perkebunan gaharu di Lingsar Kabupaten Lombok Barat. Bibit yang digunakan berumur 1 tahun dengan diameter batang rata – rata 0,5 cm dan tinggi batang rata – rata 30 cm. inokulasi isolat Fusarium Sp. pada bibit G. versteegii dilakukan menggunakan metode Putri (2011) dengan beberapa modifikasi. Batang bibit dilukai sepanjang 2 cm dengan cutter steril kemudian dikerik sampai bagian kambium. Seluruh permukaan batang yang telah dilukai diinokulasikan miselium isolat Fusarium Sp.

menggunakan cotton swab steril. Selanjutnya area inokulasi dibalut dengan kapas basah yang ditempelkan pada batang dengan selotip. Sebagai kontrol, digunakan bibit G. versteegii yang dilukai namun tidak diinokulasikan isolat Fusarium Sp.

serta bibit G. versteegii yang tidak dilukai maupun diinokulasikan isolat Fusarium Sp. Pengamtan hasil inokulasi dilakukan pada hari ke – 7, ke – 14 dan ke – 21 setelah inokulasi.

c. Pengamatan Hasil Inokulasi

Pengamatan hasil inokulasi meliputi pengamatan secara morfologis, anatomis dan uji organoleptik. Pengamatan secara morfologis meliputi gejala klorosis pada daun sampai perubahan warna pada batang bibit disekitar areal inokulasi. Pengamatan anatomis meliputi pengamatan terhadap sayatan membujur batang bibit G. versteegii terkait ada tidaknya infkesi miselium isolat Fusarium Sp. Uji organoleptik dilakukan untuk mengamati aroma wangi hasil inokulasi. Deteksi aroma wangi dilakukan di sekitar area inokulasi setelah kapas penutup dibuka.

Selain itu dilakukan pula penyayatan sebagian kecil sampel barang untuk dibakar dan dideteksi aroma hasil pembakarannya. Aroma wangi yang terdeteksi diberi skor dengan kriteria: - (tidak wangi), + (agak wangi), ++ (wangi), +++ (sangat wangi).

d. Preparasi sampel batang G. versteegii hasil inokulasi

Preparasi dilakukan sesuai dengan metode Yangyang et al. (2013) dengan beberapa modifikasi. Sampel batang bibit G. versteegii dipotong ukuran 1 – 2 mm kemudian dihaluskan

hingga menjadi serbuk. Serbuk kemudian disaring dengan menggunakan ayakan ukuran 20 mesh kemudian direndam dalam larutan metanol dengan agitasi 120 rpm selama 60 menit. Selanjutnya dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring Advantec qualitative grade No. 2.

Residu yang terbentuk selanjuntya dikeringkan pada oven temperatur 50oC kemudian di resuspensikan pada larutan metanol. Sampel disimpan pada suhu 4oC sampai saatnya dilakukan Kromatografi Lapis Tipis

e. Kromatografi Lapis Tipis

Sampel batang yang telah dipreparasi selanjutnya dipartisi dengan menggunakan metode kromatografi lapis tipis. Sampel bibit 7 hari setelah inokulasi, 14 hari setelah inokulasi, 21 hari setelah inokulasi serta kontrol diteteskan pada plat silika GF 254 (Merck) kemudian dimasukkan dalam bejana pengembang berisi eluen kloroform : dietil eter (10 : 1). Minyak gaharu digunakan sebagai standar dalam kromatografi. Hasil kromatografi diamati dibawah sinar UV transluminator pada panjang gelombang 254 nm. Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai Rf dengan menggunakan rumus:

pelarut uh jarak temp

diselidiki yang

zat uh jarak temp R

f

Nilai Rf tiap spot yang terbentuk pada plat Silika GF dibandingkan dengan nilai Rf standar (minyak gaharu).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Inokulasi Fusarium. Sp pada bibit Gyrinops versteegii memberikan berbagai dampak yang dapat diamati secara morfologis, anatomis maupun kimiawi. Berbagai hasil yang diperoleh dapat mengkonfirmasi hal tersebut.

(3)

Gambar 1. Bibit G. versteegii belum menunjukkan gejala klorosis 7 hari setelah inokulasi (a), gejala klorosis mulai terjadi 14 hari setelah inokulasi (b), klorosis diikuti nekrosis daun pada 21 hari setelah inokulasi (c), daun mulai mengering dan gugur (d)

Gejala klorosis dan daun menjadi rontok terlihat jelas dari bibit G. versteegii pasca inokulasi. gejala ini terjadi secara gradual mulai dari 14 hari setelah inokulasi. Bermula dari terjadinya klorosis pada daun kemudian dilanjutnya dengan nekrosis pada daun yang ditandai dengan perubahan warna daun menjadi coklat gelap. Pada akhirnya daun yang mengalami nekrosis berguguran dimulai dari bagian terdekat dengan area inokulasi. Untuk lebih jelasnya dapat diamati pada gambar 1.

Gambar 2. Perubahan warna pada batang bibit G.

versteegii pasca inokulasi. kontrol tanpa inokulasi (a), 7 hari setelah inokulasi (b), 14 hari setelah inokulasi (c), 21 hari setelah inokulasi (d)

Selain klorosis dan nekrosis pada daun, perubahan morfologis juga tampak pada batang bibit G. versteegii berupa perubahan warna.

Perubahan warna ini muncul secara gradual mulai dari 14 hari setelah inokulasi. Awalnya batang bibit

(yang dikerik kulit batangnya) berwarna putih kemudian berubah menjadi kecoklatan sampai pada akhirnya berwarna hitam.

Tabel 1. Hasil Uji Organoleptik Jenis perlakuan Waktu inokulasi

7 hari 14 hari 21 hari

Inokulasi isolat BIMA - + +

Kontrol dilukai - - -

Kontrol tanpa dilukai - - -

Kontrol pohon G.versteegii inokulasi isolat Fusarium Sp (6 bulan pasca inokulasi)

+++

Keterangan: - (tidak wangi), + (agak wangi), ++

(wangi), +++ (wangi sekali)

Pengamatan tingkat aroma wangi dari hasil inokulasi dilakukan melalui uji organoleptik memberikan hasil yang cukup memuaskan.

Perubahan aroma baru terjadi pada 14 hari setelah inokulasi. Aroma wangi tidak teramati pada kontrol baik itu bibit yang dilukai maupun tidak dilukai.

Meskipun demikian, aroma wangi dari bibit G.

versteegii masih kalah jauh dibandingkan dengan kontrol pohon gaharu dengan waktu inokulasi 6 bulan.

Berdasarkan hasil Pengamatan inokulasi secara anatomis terlihat bahwa terdapat perbedaan pada jaringan batang bibit G. versteegii dengan dan tanpa inokulasi. Pada gambar 3 terlihat bahwa batang bibit G. versteegii yang tidak diinokulasi terlihat bersih dari infeksi miselium jamur.

Sebaliknya pada batang yang diinokulasi terdapat banyak infeksi miselium jamur menembus jaringan stele bibit.

Gambar 3. Jaringan stele batang tanpa infeksi hifa jamur (a), infeksi hifa pada jaringan stele (b)

(4)

Selain terdapat infeksi miselium jamur, pada jaringan batang yang diinokulasi juga terdapat konidia Fusarium dan juga akumulasi resin.

Konidia ini muncul setelah jaringan batang dipenuhi oleh miselium jamur. Sementara itu akumulasi resin ditandai dengan adanya perubahan warna gelap pada jaringan stele. Resin tersebut terakumulasi paling banyak pada hari ke 21 setelah inokulasi.

Gambar 4. Mikrokonidia pada jaringan stele (c) dan pembentukan resin berupa perubahan warna pada jaringan stele (d)

Gambar 5. Hasil kromatografi lapis tipis sampel batang bibit pada 7, 14 dan 21 hari setelah inokulasi.

Hasil kromatografi lapis tipis menunjukkan bahwa sampel menunjukkan posisi spot yang berdekatan.

Spot pada sampel bibit 14 hari dan 21 hari setelah inokulasi memiliki posisi yang sama dengan kontrol inokulasi pohon gharu. Ketiga sampel tersebut menghasilkan spot dengan nilai Rf 0,22 dan sangat dekat dengan spot standar minyak gaharu yang memiliki nilai Rf 0,23.

PEMBAHASAN

Gejala klorosis merupakan gejala umum yang terjadi pada tanaman ketika terinfeksi patogen. Hal tersebut juga dialami oleh bibit G. versteegii yang di inokulasi isolat Fusarium Sp. Gejala klorosis terjadi secara gradual dimulai dari daun yang paling dekat dengan areal inokulasi. klorosis kemudian menyebar pada daun dengan posisi lebih atas sesuai dengan arah tranpsort zat. Selanjutnya klororsis diikuti oleh nekrosis pada daun yang ditandai dengan bagian daun yang berwarna kuning berubah menjadi coklat kehitaman.

Sejalan dengan perubahan pada daun, batang bibit G. versteegii juga mengalami perubahan.

Perubahan yang teramati adalah warna batang menjadi kecoklatan hingga berubah menjadi hitam.

perubahan secara morfologis yang terjadi pasca inokulasi baik pada organ daun maupun batang sesuai dengan penelitian Putri (2013) yang melakukan inokulasi jamur pada bibit Aquilaria.

dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan morfologis tersebut merupakan gejala umum yang terjadi pada infeksi jamur pada tanaman penghasil gaharu.

Perubahan warna pada batang bibit gaharu menjadi warna kecoklatan diikuti dengan perubahan aroma yang diuji secara organoleptik.

Menurut Azwin (2016), perubahan warna pada batang tanaman penghasil gaharu (karas) sejalan dengan perubahan warna pada batang yang diinokulasi menjadi kecoklatan. Dengan demikian perubahan warna tersebut terkait erat dengan adanya akumulasi senyawa beraroma wangi pada organ batang. Senyawa inilah yang bertanggung jawab terhadap aroma wangi yang dihasilkan oleh berbagai komoditas gaharu.

Terdapat berbagai macam senyawa beraroma wangi yang secara alami dihasilkan oleh tanaman penghasil gaharu sebagai respon infeksi jamur.

Menurut Novriyanti et al. (2011) senyawa resin gaharu didominasi oleh senyawa seskuiterpenoid dan feniletil kromon. Secara keseluruhan resin gaharu mengandung lebih dari 58 senyawa aromatik dengan konsentrasi berbeda tergantung jenis tanaman penghasil gaharu. konsentrasi senyawa tersebut berbanding lurus dengan tingkat aroma wangi yang dihasilkan. Pada tabel hasil uji organoleptik, tingkat aroma wangi yang dihasilkan

(5)

oleh bibit pada 21 hari setelah inokulasi masih jauh dibawah kontrol pohon G. versteegii pada 6 bulan setelah inokulasi. hal ini disebabkan akumulasi senyawa beraroma wangi pada pohon jauh lebih besar dibandingkan pada bibit mengingat waktu inokulasi pohon yang jauh lebih lama dibandingkan dengan bibit.

Pengamatan hasil inokulasi secara anatomis menunjukkan hasil bahwa terdapat infeksi jamur pada jaringan batang. Infkesi ini terdeteksi berupa adanya miselium jamur (gambar 3) maupun konidia berbentuk bulan sabit (gambar 4) yang menunjukkan bahwa jamur yang menginfeksi tergolong Fusariam Sp. Menurut Faizal et al.

(2017), miselium jamur yang menyelubungi jaringan pengangkut merupkan gejala anatomis yang umum terjadi pada tanaman penghasil gaharu pasca inokulasi.

Pengamatan hasil inokulasi secara anatomis sekaligus dapat mengkonfirmasi bahwa perbuhan warna pada batang bibit dapat teramati secara mikroskopis. Hal ini terlihat dari timbulnya warna coklat pada jaringan stele batang bibit (gambar).

Warna coklat tersebut menunjukkan adanya akumulasi senyawa resin pada jaringan batang bibit G. versteegii. menurut Siburian et al. (2013), secara anatomis kumpulan resin dari tanaman penghasil gaharu pasca inokulasi dapat diamati pada jaringan Included phloem. Included phloem merupakan jaringan yang terbentuk pada pertumbuhan sekunder. Jaringan ini memiliki dinding sangat tipis dan minim penebalan lignin sehingga ketika sel penyusunnya mati, jaringan ini menjadi jaringan utama penimbun resin.

Hasil kromatografi lapis tipis menunjukan bahwa sampel bibit G. versteegii dan pohon G.

versteegii serta standart minyak gaharu memiliki spot dengan nilai Rf yang berdekatan. Sampel Bibit G. versteegii dan pohon G. versteegii sama – sama memiliki nilai Rf 0,22. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan senyawa yang terkandung pada keduanya adalah sama. Hanya saja spot yang dihasilkan dari sampel pohon G. versteegii jaun lebih besar dan tebal dibandingkan dengan bibit G.

versteegii. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi senyawa yang dimiliki pohon lebih banyak dibandingkan dengan bibit. Meskipun nilai Rf standart minyak gaharu sedikit berbeda dibandingkan sampel, namun nilai yang masih berdekatan menunjukkan bahwa senyawa yang dihasilkan sampel tidak jauh berbeda dengan senyawa yang terkandung dalam minyak gaharu.

PENUTUP

Berdasarkan hasil pengamatan hasil inokulasi isolat Fusarium Sp. memberikan dampak berupa klorosis dan nekrosis daun perubahan warna pada

batang karena adanya akumulasi resin pada jaringan stele batang yang bertanggung jawab terhadap timbulnya aroma wangi pada batang bibit dan teridentifikasi berupa spot dengan nilai Rf yang sama dengan kontrol.

DAFTAR PUSTAKA

Azwin, 2016. Inokulasi Fusarium sp. pada pohon karas (Aquilaria malaccensis Lamk.) terhadap pembentukan gaharu. Wahana Forestra: Jurnal Kehutanan Vol. 11, No. 2 Faizal, A., R. R. Esyanti, E. N. Aulianisa, Iriawati, E. Santoso, M. Turjaman. 2017.

Formation of agarwood from Aquilaria malaccensis in response to inoculation of local strains of Fusarium solani. Tree (2017) 31: 189 – 197

Novriyanti, E. E. Santoso, B. Wiyono, and M.

Turjaman. 2011. Chemical study of Eaglewood (gaharu) Resulting from Inoculation of Fusarium sp. on Aquilaria microcarpa. In: Proceeding of Gaharu Workshop Development of Gaharu Production Technology. Ed: M.

Turjaman.

Putri, A.L. 2011. Studi Interaksi Fusarium Sp.

dengan Pohon Gaharu (Aquilaria Sp.) Menggunakan Pendekatan Sitologi. Tesis.

Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 2011

Santoso, E.R. S.B. Irianto, M. Turjaman, I.R.

Sitepu, S. Santosa, Najmulah, A. Yani, Aryanto. 2011b. Gaharu-Producing Tree Induction Technology. In: Proceeding of Gaharu Workshop Development of Gaharu Production Technology. M.

Turjaman (editor). R & D Centre for Forest Conservation and Rehabilitation Forestry Research and Development Agency (Forda) Ministry of Forestry Indonesia. ITTO PD425/06 Rev. 1 (I).

Siburian, R. H., U. J. Siregar, I. Z. Siregar, E.

Santoso and I. Wahyudi. 2013.

BIOTROPIA. Vol. 20 No. 2, 2013: 104 – 111.

Siddik, M. 2010. Pengembangan Rantai Nilai Komoditas Gaharu Sebagai Alternatif Pengentasan Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Agroteksos Vol. 20 No.2-3, Desember 2010.

(6)

Yangyang, Y., H. Chen, Y. Yang, Z. Zhang, J.

Wei, H. Meng, W. Chen, J. Feng, B. Gan, X. Chen, Z. Gao, J. Huang, B. Chen and H. Chen. 2013. Whole-Tree Agarwood- Inducing Technique: An Efficient Novel Technique for Producing High-Quality Agarwood in Cultivated Aquilaria sinensis Trees. Molecules 2013, 18, 3086-3106.

Yosephin, M.M.A.N., S. Adisasmuko, M.M. Budi Utomo, 2012. Isolasi dan Karakterisasi Fungi Pembentuk Gaharu Hasil Eksplorasi yang Berasal dari Empat Lokasi Di Nusa Tenggara Barat. Seminar Nasonal HHBK. Mataram.

Wangiyana, I G. A. S., 2015. Pemanfaatan Medium Alternatif untuk Pertumbuhan Isolat Fusarium Sp. Penginduksi Pembentukan Gaharu pada Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke. Jurnal Sangkareang Mataram. 1 (3), 54 – 59.

Wangiyana, I G. A. S., 2016. Molecular Phylogenetic Analyze of Fusarium from Agarwood and Others Fusarium with Different Type of Nutrition Based on Gen ITS 1. Jurnal Sangkareang Mataram. 2 (1), 1 – 5.

Wangiyana, I G. A. S., 2016. Phylogenetic Analysis of Aquilaria and Gyrinops Member Based on trnL-trnF Gene Sequence of Chloroplast. Jurnal Sangkareang Mataram. 2 (4), 41 – 46.

Referensi

Dokumen terkait

Juga Bayi postmatur yaitu bayi lahir dari usia gestasi, tanpa memperhatikan berat badan lahir (Arief, 2009). Suhu memberikan pengaruh pada panas tubuh bayi, hipotermi

Sedangkan, 381,65 Ha (53,52%) tidak memenuhi kriteria yang ditentukan, sehingga perlu diperbarui kembali pola penggunaan lahan yang dibangun dalam zona penyangga (sempadan)

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menghasilkan dokumen analisis pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pengunjung perpustakaan sehingga

Berdasarkan latar belakang dan fokus masalah yang telah disampaikan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul

d) Hasil audit sistem informasi terhadap Unit Pelaksana Teknis (UPT) Telematika Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dengan menggunakan Standar

(2) Zona L5 yang merupakan kawasan rawan letusan gunung berapi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Kecamatan Pantar Tengah dan Kecamatan Pantar Barat pada Kabupaten

Hasil yang dicapai adalah bahwa sistem ini dapat membantu mereka dalam merencanakan pola makan seimbang dengan informasi-informasi yang ada didalam sistem dan dapat digunakan