• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rinitis alergi adalah salah satu penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai oleh immunoglobulin E dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama. Gejalanya dapat berupa bersin, hidung beringus, hidung tersumbat dan rasa gatal pada hidung dan mata yang bisa sembuh secara spontan atau dengan pengobatan (Bousquet, 2001).

Prevalensi rinitis alergi semakin meningkat pada dekade terakhir ini.

Penelitian di Finlandia mendapatkan peningkatan prevalensi rinitis alergi dari 5%

menjadi 15% (Rimpela et al.,1995). Penelitian di Ankara, Turki, mendapatkan peningkatan prevalensi rinitis alergi 18,7% pada anak laki-laki dan 14,1% pada anak perempuan usia 6-13 tahun (Kolyuncu et al., 1999).

The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC)

melakukan penelitian pada anak usia 6-7 tahun di 38 negara dan anak usia 13-14 tahun di 56 negara pada tahun 1996. Prevalensi rinitis alergi usia 6-7 tahun 0,8-14,9%

dan usia 13-14 tahun 1,4-39,7%. Berdasarkan hasil studi ISAAC tersebut daerah dengan prevalensi tinggi alergi antara lain Inggris, Australia, New Zealand, Amerika Utara dan Selatan, sedangkan daerah prevalensi asma dan rinitis alergi rendah (<5%) antara lain Eropa Timur, Indonesia (Bandung), Yunani, Cina, Taiwan dan India (Strachan et al., 1997).

Penelitian epidemiologi asma dan alergi di Jakarta pada tahun 2006 mendapatkan prevalensi rinitis alergi meningkat dari 9% menjadi 12,3% (Yunus et

(2)

al., 2001). Penelitian dengan menggunakan kuesioner ISAAC pada anak berumur 13-

14 tahun di Semarang mendapatkan hasil prevalensi rinitis alergi dalam 12 bulan terakhir 17,3% (Widodo & Suprihati, 2004). Penelitian serupa dilakukan kembali pada anak berumur 6-7 tahun di Semarang pada tahun 2005 dan mendapatkan prevalensi rinitis alergi 11,5% (Nency & Notoatmojo, 2005). Penelitian di Bandung pada tahun 2007 dengan kuesioner ISAAC terhadap anak-anak di 3 Puskesmas Bandung mendapatkan hasil bahwa manifestasi terbanyak adalah rinitis alergi (15,77%) (Weninggalih et al., 2009).

Rinitis alergi tidak menyebabkan kematian tetapi dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya karena dapat terjadi gangguan tidur, penurunan konsentrasi dan produktifitas kerja, penurunan prestasi di sekolah serta aktifitas sosial bahkan dapat terjadi gangguan psikologis seperti depresi jika alerginya berat (Quraishi et al., 2004). International Congress of Allergy and Clinical Immunology (ICACI) tahun 1997 di Mexico mengemukakan rinitis alergi

menyebabkan hilangnya 3,5 juta hari kerja dan 2 juta hari sekolah setiap tahun dan menghabiskan dana 3,8 milyar US$ sebagai akibat kehilangan produktivitas kerja dan untuk terapi antihistamin di Amerika Serikat (Bosquet, 2001).

Penyakit alergi seperti rinitis alergi dan asma muncul lebih lambat jika dibandingkan dengan alergi makanan dan dermatitis atopi, cenderung meningkat sesuai dengan pertambahan umur, biasanya pada saat anak berumur 3-4 tahun serta berlanjut sampai anak masuk sekolah bahkan rinitis alergi dapat berlangsung sampai anak kuliah (Lieu, 2006). Penyakit alergi yang timbul pada anak-anak harus dapat dicegah sedini mungkin karena anak memerlukan proses tumbuh kembang secara

(3)

optimal. Berbagai penelitian telah dilakukan dengan tujuan mencari faktor pencegahan terhadap rinitis alergi. Faktor pencegah tersebut diantaranya adalah dengan pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif di mana selain memberikan manfaat nutrisi diduga mampu melindungi bayi terhadap kejadian penyakit alergi termasuk rinitis alergi (Depkes, 2005).

Pemberian ASI eksklusif di Indonesia pada bayi 0-6 bulan mengalami penurunan dari 62,2% (2007) menjadi 56,2% (2008), sedangkan cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai enam bulan turun dari 28,6 persen pada 2007 menjadi 24,3 persen pada 2008 (SUSENAS, 2007-2008). Cakupan pemberian ASI eksklusif di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2007 sebesar 34%

meningkat 1,49% dibanding tahun 2006, tetapi angka ini belum mencapai target SPM (40%) (Profil Kesehatan Provinsi DIY, 2008).

Penelitian mengenai pengaruh pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian rinitis alergi pada anak di Provinsi DIY sepanjang pengetahuan penulis belum ada yang melakukan sehingga disini kami meneliti hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian rinitis alergi pada anak di Provinsi DIY.

B. Perumusan Masalah

Prevalensi dan insidensi rinitis alergi semakin meningkat di dunia juga di negara berkembang termasuk Indonesia. Rinitis alergi dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup penderitanya. Rinitis alergi dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara lain: (1) Genetik yaitu riwayat keluarga atopi (2) Usia anak (3) Polusi lingkungan (4) Paparan asap rokok (5) Sensitisasi alergen (6) Infeksi bakteri/virus (7) Binatang peliharaan berbulu di dalam rumah (8) Pemberian ASI tidak eksklusif (9)

(4)

Jenis kelamin (10) Vaksinasi (11) Proses persalinan (12) Jumlah anggota keluarga (13) Tempat penitipan anak Pemberian ASI eksklusif pada sebagian besar penelitian dikatakan dapat bermanfaat karena dapat menurunkan kejadian alergi, asma, dermatitis atopi dan rinitis alergi pada anak. Pemberian ASI eksklusif di Indonesia semakin menurun dan angka cakupan pemberian ASI eksklusif di DIY belum mencapai target standar pelayanan minimal. Masih belum adanya penelitian mengenai pengaruh pemberian ASI eksklusif dengan kejadian rinitis alergi pada anak khususnya di Provinsi DIY sehingga perlu dipelajari hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian rinitis alergi pada anak di Provinsi DIY.

C. Pertanyaan Penelitian

Apakah pemberian ASI eksklusif dapat mencegah kejadian rinitis alergi pada anak?

D. Tujuan Penelitian

Mengetahui apakah pemberian ASI eksklusif merupakan faktor protektif kejadian rinitis alergi pada anak.

E. Keaslian Penelitian

1. Saarinem et al. (1995) melakukan penelitian kohort prospektif mengenai pemberian ASI terhadap 236 anak di Finlandia selama 17 tahun. Anak kemudian dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan lama pemberian ASI yaitu pemberian ASI dengan waktu yang lama (> 6 bulan), pemberian ASI dengan waktu sedang (1-6 bulan) dan pemberian ASI dengan waktu yang singkat atau tidak diberi ASI (<1 bulan). Hasil penelitian adalah pada saat anak berumur 1 dan 3 tahun prevalensi manifestasi atopi dan alergi saluran pernapasan paling tinggi terjadi pada

(5)

kelompok anak dengan pemberian ASI singkat atau tidak diberi ASI sama sekali (p<0,05 dan p=0,01). Anak-anak tersebut diperiksa kembali pada umur 17 tahun dan mendapatkan hasil prevalensi kejadian atopi pada kelompok pemberian ASI yang lama, sedang, dan singkat berturut-turut adalah 42% (95% Interval Kepercayaan (IK) 31-52), 36% (95% IK 28-44), 65% (95% IK 56-74) (p=0,02) Kesimpulan dari penelitian ini adalah ASI dapat mencegah penyakit atopi dan alergi saluran pernapasan pada anak dan remaja.

2. Kull et al. (2002) melakukan penelitian kohort prospektif tentang hubungan pemberian ASI dengan kejadian penyakit alergi pada bayi (dermatitis atopi, asma bronchial, rinitis alergi) di Swedia pada tahun 1994-1996, jumlah sampel sebanyak 4089 bayi. Hasil penelitian menyatakan pemberian ASI eksklusif selama 4 bulan merupakan faktor protektif sampai anak berumur 2 tahun terhadap kejadian rinitis alergi (RR 0,7; 95% IK 0,5-1,0).

3. Sears et al. (2002) melakukan penelitian jangka panjang (longitudinal study) mengenai hubungan antara perkembangan atopi dan asma pada anak-anak dan dewasa muda di New Zealand. Penelitian dengan rancang kohort pada 1661 anak yang lahir di Dunedin, New Zealand pada tahun 1972 dan diikuti sampai anak berumur 26 tahun. Hasil penelitian adalah 504 (49%) anak mendapat ASI ≥ 4 minggu dan 535 (51%) anak tidak mendapat ASI. Anak yang mendapat ASI lebih mengalami atopi terhadap kucing, debu tungau rumah, dan rumput-rumputan pada umur 13-21 tahun dibandingkan anak yang tidak mendapat ASI. Kesimpulan ASI tidak melindungi terhadap atopi pada jangka panjang.

(6)

4. Obihara et al. (2005) melakukan penelitian di Cape Town, Afrika Selatan pada bulan Juli-Desember, 2002, tentang hubungan lama pemberian ASI dengan kejadian penyakit alergi pada anak-anak umur 6-14 tahun (asma, rinitis alergi, eksim). Penelitian dilakukan dengan rancang cross sectional, jumlah sampel 861 anak dan menggunakan kuesioner. Hasil dari penelitian adalah pada anak dengan pemberian ASI yang lebih lama kejadian penyakit alergi dan hay fever lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan anak yang lama pemberian ASI lebih singkat (adjusted OR (aOR) 0,50; 95% Interval Kepercayaan (IK) 0,31-0,82 dan aOR 0,53; 95% IK 0,29-0,99).

5. Goycochea et al. (2009) melakukan penelitian mengenai hubungan antara prematuritas, berat badan lahir rendah dan ASI eksklusif dengan rinitis alergi pada pasien anak di RS Nacional Cayetano Heredia, Peru. Penelitian dengan menggunakan kuesioner, berlangsung pada bulan Agustus 2006-Juni 2007 dengan rancang kasus kontrol, jumlah sampel 369 anak. Hasil penelitian adalah adanya hubungan antara rinitis alergi dengan ASI eksklusif (OR 0,53; 95% IK 0,35-0,80, p = 0,0025), ada hubungan antara rinitis alergi dengan ASI eksklusif dengan riwayat keluarga atopi (OR 0,52; 95% IK 0,33-0,78; p = 0,0025) dan adanya hubungan antara rinitis alergi dengan ASI eksklusif dan paparan rokok (OR 0,56;

95% IK 0,36-0,84; p = 0,0064). Kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya efek proteksi dari ASI eksklusif terhadap rinitis alergi pada anak. Tidak ada hubungan antara prematuritas dan berat badan lahir rendah terhadap perkembangan terjadinya rinitis alergi.

(7)

6. Kramer et al. (2007) melakukan penelitian di Bellarus dengan menggunakan kuesioner International study of asthma and allergies in childhood (ISAAC) dan uji tusuk kulit (5 alergen inhalan) pada 17.046 pasangan ibu dan bayi yang difollow up pada umur 6,5 tahun. Penelitian dengan rancang cluster randomized trial (dilakukan intervensi promosi ASI eksklusif sesuai program WHO pada

kelompok percobaan) meneliti tentang efek lama pemberian ASI eksklusif pada risiko alergi dan asma. Hasil dari penelitian adalah intervensi promosi ASI meningkatkan pemberian ASI eksklusif sampai umur 3 bulan (44,3% v 6,4%;

p<0,001) dan peningkatan lama pemberian ASI tidak eksklusif sampai umur 12 bulan. Tidak ada penurunan risiko gejala, diagnosis alergi ataupun hasil tes tusuk kulit yang positif pada kelompok percobaan, bahkan kenyataannya sesudah mengeksklusi enam bagian (tiga kelompok percobaan dan tiga kelompok kontrol) yang banyak hasil uji tusuk kulitnya positif didapatkan peningkatan risiko alergi yang signifikan terhadap empat dari lima antigen, sehingga kesimpulannya penelitian ini tidak mendukung efek perlindungan ASI eksklusif dan lama pemberian ASI terhadap kejadian alergi.

7. Ehlayel et al. (2008) melakukan penelitian dengan rancang cross sectional tentang lamanya pemberian ASI eksklusif dan risiko penyakit alergi pada anak di negara berkembang. Penelitian pada 1500 anak (0-5 tahun) dan 1278 ibu (18-47 tahun) di Doha, Qatar, pada bulan Oktober 2006 sampai September 2007. Hasil penelitian adalah anak yang mendapat ASI eksklusif sebesar 59,3%. Prevalensi rinitis alergi 22,6% pada anak yang mendapat ASI eksklusif dan 34,2% pada anak yang tidak mendapat ASI eksklusif. Hubungan antara pemberian ASI eksklusif

(8)

dengan kejadian rinitis alergi pada anak adalah sama pada anak dengan riwayat keluarga atopi (p<0,001) dan pada anak tanpa riwayat keluarga atopi (p<0,001).

Kesimpulan pada negara berkembang pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi risiko penyakit alergi bahkan juga pada kondisi ibu yang alergi.

8. Codispoti et al. (2010) melakukan penelitian di Cincinnati, Ohio, dengan rancang kohort dan jumlah sampel 361 bayi risiko tinggi alergi. Lamanya penelitian adalah 3 tahun, dimana meneliti tentang hubungan pemberian ASI, sensitisasi aeroallergen dan paparan lingkungan selama bayi terhadap kejadian rinitis alergi

pada anak. Pada umur 3 tahun 606 anak dikumpulkan, dievaluasi kesehatannya dan dilakukan tes tusuk kulit. Rinitis alergi ditemukan pada 116 anak (19%) dan 245 (40%) adalah anak tidak atopi tanpa gejala alergi, 151 (25%) anak atopi tanpa gejala dan 94 (16%) anak tidak atopi dengan gejala rinitis. Dari 361 anak dengan rinitis alergi, 80 anak (22,2%) adalah Afro-Amerika dan 281 (77,8%) non Afrika- Amerika. Pemberian ASI yang lebih lama (≥4 bulan) pada anak Afrika-Amerika (aOR 0,8; 95% IK 0,6-0,9) dan banyaknya jumlah anak dalam rumah bersifat proteksi terhadap kejadian rinitis alergi (aOR 0,4; 95% IK 0,2-0,8). Uji tusuk kulit yang positif terhadap alergen makanan dan alergen pohon pada bayi meningkatkan risiko rinitis alergi pada umur 3 tahun (aOR 4,4; 95% IK 2,1-9,2 dan aOR 6,8;

95% IK 2,5-18,7).

9. Nency dan Notoatmojo. (2005) melakukan penelitian dengan rancang cross sectional di Semarang, Indonesia mengenai prevalensi dan faktor risiko alergi pada anak usia 6-7 tahun. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2003-Maret 2004 dengan bantuan kuesioner ISAAC. Hasil penelitian didapatkan angka

(9)

kejadian rinitis alergi 11,5%. Faktor risiko yang signifikan adalah jenis kelamin laki-laki terhadap kejadian rinitis (rasio prevalens 1,88 (1,27-2,78); p 0,002).

Beberapa penelitian tentang pengaruh pemberian ASI terhadap kejadian alergi menunjukkan hasil yang saling bertolak belakang, ada penelitian dengan hasil pemberian ASI dapat mencegah kejadian penyakit alergi (asma, rinitis alergi, hay fever) pada anak, namun ada juga penelitian dengan hasil sebaliknya. Hasil penelitian yang berbeda ini antara lain disebabkan oleh karena masih ada yang belum memakai gold standard untuk menegakkan diagnosis alergi, metode penelitian yang berbeda,

definisi pemberian ASI yang berbeda juga adanya kesalahan dalam mengklasifikasikan riwayat pemberian ASI pada anak. Salah satu solusinya adalah dengan melakukan penelitian secara randomized control trial akan tetapi hal ini bertentangan dengan etika penelitian (Kramer et al., 2007).

Penelitian mengenai pengaruh pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian rinitis alergi pada anak di Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang pengetahuan penulis belum ada yang melakukan, hal ini dilakukan dengan penelusuran komprehensif menggunakan kata kunci: ASI eksklusif, penyakit alergi, rinitis alergi, anak usia sekolah dasar, Yogyakarta, Indonesia.

Penelitian yang akan dilakukan mempunyai perbedaan dalam hal:

a. Pemberian ASI eksklusif .

b. Karakteristik subjek penelitian: subjek yang kami teliti berasal dari populasi anak sekolah dasar (usia 6-12 tahun) di Provinsi DIY, dimasukkan sebagai subjek penelitian dengan menggunakan uji tusuk kulit dan kuesioner.

(10)

c. Waktu penelitian: penelitian ini dilakukan untuk memperbarui penelitian yang sudah ada sehingga dapat menambah bukti tentang adanya hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian rinitis alergi pada anak.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan pengetahuan mengenai rinitis alergi juga masukan dalam meningkatkan penyuluhan mengenai manfaat pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian rinitis alergi pada anak.

2. Manfaat praktis

a. Dalam bidang akademik dan ilmiah: manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan data tentang kejadian rinitis alergi pada anak yang tidak mendapat ASI eksklusif dengan yang mendapatkan ASI eksklusif, mengetahui faktor risiko terjadinya rinitis alergi dan meninjau kembali segi-segi positif pemberian ASI eksklusif.

b. Bagi bidang pelayanan masyarakat: hasil penelitian dapat memberi pengetahuan kepada keluarga dan anak mengenai rinitis alergi serta dapat menambah motivasi untuk dapat berperan serta dalam penelitian yang dilakukan untuk mengetahui lebih jauh tentang rinitis alergi. Hasil penelitian juga dapat digunakan sebagai bahan masukan dan informasi penyuluhan tentang manfaat pemberian ASI eksklusif sehingga dapat memberi dukungan dan menambah motivasi ibu untuk memberikan ASI eksklusif kepada anaknya.

c. Bagi bidang pengembangan penelitian: dapat mengembangkan penelitian tentang rinitis alergi serta pemberian ASI eksklusif.

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor Resiko utama tersebut mendorong peneliti untuk menjawab permasalahan tentang “Adakah hubungan faktor resiko (status gizi, BBLR, pemberian ASI Eksklusif, polusi

Sedangkan penelitian yang akan diteliti oleh peneliti adalah hubungan antara karakteritik Ibu menyusui terhadap pemberian ASI eksklusif di Desa Tinggarjaya

Dari uraian latar belakang dapat didentifikasi masalah antara lain pemberian cuti yang terlalu singkat juga mempengaruhi pemberian ASI yang diharapkan eksklusif selama

Hasil penelitian Mahyuni (2018) menyatakan ibu berpendidikan sampai dengan SMA dan Perguruan Tinggi mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang ASI

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk lebih lanjut mengenai hubungan pola asuh orang tua, riwayat pemberian ASI eklusif, dan pengetahuan orang tua tentang gizi

Menjadi bahan informasi mengenai hubungan kehamilan remaja, pemberian MP-ASI, dan riwayat imunisasi terhadap kejadian stunting pada baduta usia 6-24 bulan di wilayah

Sebagai upaya dalam menurunkan angka kematian serta meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait dengan cakupan pemberian ASI

Setelah program berjalan dan dilakukan evaluasi, diketahui bahwa pengetahuan dan perilaku memberikan ASI eksklusif pada bayi hingga usia 6 bulan memiliki proporsi lebih