SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Per syaratan Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum UPN “Veteran” J awa Timur
Oleh :
ANGGA PARAMITRA NPM. 0671010015
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS HUKUM
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul : ” PENERAPAN SANKSI PIDANA
TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN
PSIKOTROPIKA DI PENGADILAN NEGERI SURABAYA ”.
Penulisan skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan sesuai kurikulum
yang ada di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Disamping itu dapat memberikan hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmu dalam
mengadakan penelitian guna penyusunan skripsi.
Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan, dan dorongan
oleh beberapa pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih yang tak
terhingga kepada:
1. Bapak Hariyo Sulistiyantoro, S.H., M.M selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur , serta selaku Dosen Pembimbing
Utama yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam
pembuatan laporan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik.
2. Bapak Sutrisno, S.H., M.Hum selaku Wadek I Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur;
3. Bapak Drs. EC Gendut Soekarno, MS selaku Wadek II Ilmu Hukum Fakultas
5. Bu Mas Anienda TF., S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing Pendamping yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam pembuatan
laporan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik;
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.
7. Bapak Sariyanto S.Sos selaku Kepala Bagian Tata Usaha Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
8. Bu Hj. Dedeh Suryanti S.H selaku hakim anak di Pengadilan Negeri Surabaya yang
telah memberikan bimbingan dalam penyelesaian skripsi.
9. Seluruh Pegawai Pengadilan yang berada di Ruang Kearsipan di Pengadilan Negeri
Surabaya terutama buat Bu Elly S.H, Bu Aris S.H, dan Bapak Widodo, terimakasih
atas bantuannya, serta pegawai lainnya yang turut membantu yang penulis tidak
dapat sebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya dalam
penyusunan skripsi ini.
10. Bapakku Sugianto dan Ibuku Tri Para Iriyanti atas dukungan moril dan materiil
serta doa penuh kasih sayang dan juga buat kakak ku Argo, S.H yang menjadi
pemberi dorongan terbesar untuk terselesaikan proposal skripsi ini.
11. Buat kekasihku tercinta ”Yhohana Kusuma Wardani, STP” yang telah memberikan
UKM Tennis Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan
masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, Penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak. Oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya
membangun penulis harapkan guna perbaikan dan penyempurnaan sehingga skripsi ini
dapat memberi manfaat bagi semua pihak.
Surabaya, November 2011
HALAMAN PENGESAHAN ...iii
HALAMAN PERSETUJ UAN DAN PENGESAHAN ...iv
KATA PENGANTAR...v
DAFTAR ISI ...viii
DAFTAR TABEL...xi
DAFTAR LAMPIRAN ...xii
ABSTRAK… ...xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 7
1.5 Kajian Pustaka ... 8
1.5.1 Pengertian Narkotika... 8
1.5.2 Penggolongan Narkotika...10
1.5.3 Pengertian Psikotropika ...13
1.5.4 Penggolongan Psikotropika ...15
1.5.6 Pengertian Anak ...17
1.6 Metodologi Penelitian ... 22
1.6.1 Jenis Penelitian ... 22
1.6.2 Sumber Data ... 22
1.6.2.1 Data Primer………….. ...23
1.6.2.2 DataSekunder……… ...23
1.6.3 Metode Pengumpulan Data ... 23
1.6.3.1 Penelitian Kepustakaan ...24
1.6.3.1 Wawancara ...24
1.6.4 Analisis Data ... 24
1.7 Sistematika Penulisan ...25
1.8 Lokasi Penelitian ... 26
BAB II PEMERIKSAAN PE RKARA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA ... 27
2.1 Konsep Diversi dan Restorative Justice yang Dipergunakan Di PN Surabaya ... 27
2.1.1 Pengaturan Hukum Pidana Terhadap Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika ... 33
PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DAN
PSIKOTROPIKA DI PN SURABAYA ... 46
3.1 Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak
Pelaku Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika ... 46
3.2 Analisis Vonis Rehabilitasi Terhadap Anak Pelaku Penyalahgunaan
Narkotika dan Psikotropika ... 54
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ... 60
4.2. Saran ... 61
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN :
1. Surat Ijin Penelitian.
2. Lembar Wawancara.
NPM : 0671010015
Tempat/Tanggal Lahir : Gresik, 30 November 1986
Program Studi : Strata 1 (S1)
Judul Skripsi :
PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DI PENGADILAN NEGERI
SURABAYA
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran penanganan perkara bagi anak yang melakukan tindak pidana narkotika dan psikotropika, dan untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap anak pelaku tidak pidana narkotika dan psikotropika khususnya di Pengadilan Negeri Surabaya. Penelitian ini mengunakan metode yuridis sosiologis, yaitu Menemukan fakta-fakta yang ada di lapangan kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan memperoleh data primer yang diperoleh langsung dari Pengadilan Negeri Surabaya sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan. Analisis data menggunakan metode deskriptif analisis.
Hasil penelitian yang dapat disimpulkan bahwa dalam penanganan perkara anak yang malkukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika hakim harus berpedoman pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang lebih mengutamakan perlindungan anak dalam proses peradilan. Dan sanksi hukuman yang dipergunakan dalam penerapan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika adalah sesuai dengan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak juncto undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Narkotika.
1 1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat
yang adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan pancasila
dan Undang – undang Dasar Republik Indonesia 1945 dalam wadah suatu Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dalam suasana
perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan
pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai1.
Pembangunan nasional tidak bisa lepas dari kehidupan manusia sebagai
sarana utama. Sumber daya manusia hal yang paling penting dalam
melaksanakan pembangunan karena pembangunan tidak akan berjalan tanpa
dilandasi dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu,
pembangunan sumber daya manusia menjadi prioritas. Dengan meningkatnya
kualitas sumber daya manusia, dapat menjadikan modal dalam berkompetisi
diera globalisasi saat ini.
Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
akhir-akhir ini semakin marak di Indonesia. Adapun yang dimksud narkotika menurut
Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 1 angka 1 adalah
sebagai berikut :
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantugan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.
Tentang psikotropika itu sendiri diatur dalam Undang-undang nomor 5 tahun
1997 tentang psikotropika pasal 1 angka 1 :
Psikotropika adalah obat baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan syaraf yang yang menyebabkan perubahan khas pada
aktifitas mental dan perilaku.
Narkotika dan Psikotropika apabila dipergunakan secara tepat baik dosis
maupun ukuran penggunaannya, seperti untuk pengobatan dan penelitian ilmiah
dapat memberikan manfaat bagi kepentingan manusia. Namun sebaliknya, bila
digunakan melebihi dosis atau ukuran yang benar, maka akan menimbulkan
gangguan kesehatan bagi si pemakai, bahakan lebih fatal lagi menagkibatkan
kematiaan, serta tidak stabilnya tatanan kehidupan sosial di masyarakat2.
Penyalahgunaan narkotika dan psikotropika adalah merupakan tindakan suatu
kejahatan dan mengancam keselamatan, baik fisik maupun jiwa pemakai dan
juga terhadap masyarakat di sekitar secara sosial.3 Upaya pemberantasan
narkotika dan psikotropika pun sudah sering dilakukan namun masih sedikit
untuk menghindarkan narkotika dan psikotropika dari kalangan remaja maupun
dewasa. Telah dibentuk Badan Koordinasi Pelaksanaan Instruksi Presiden
(Bakorlak Inpres). No 6 tahun 1971 yang bertugas yang menentukan
kebijaksanaan dan mengkoordinasi segenap upaya bidang penggolongan
masalah lalu lintas perdagangan gelap dan penyalahgunaan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya disamping masalah kenakalan remaja
lainnya.4
Penyalahgunaan narkotika dan psikotropika merupakan suatu problema
yang sangat kompleks, karena itu butuh kesadaran dari semua pihak baik dari
pemerintah, masyarakat maupun pelaku itu sendiri untuk segera sadar akan
bahaya tersembunyi, tidak kelihatan (tetapi mempunyai potensi untuk muncul)
dari penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Salah satu upaya pemerintah
untuk mengatasi masalah ini dengan membuat Undang-undang nomor 5 tahun
1997 tentang psikotropika dan Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang
Narkotika yang sekarang telah diperbarui menjadi Undang-undang nomor 35
tahun 2009 tentang narkotika.
3Ibid, hal 49
4 Pramuka Saka Bhayangkara, Wahai Kaum Muda Jangan Berpacu Dengan Penyalahgunaan
Dampak yang paling luas dan berat penyalahgunaan peredaran gelap
narkotika dan psikotropika adalah terhadap generasi muda yang merupakan aset
bangsa yang paling berharga. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional
(BNN), kasus pemakaian narkotika dan psikotropika oleh pelaku dengan tingkat
pendidikan SD hingga tahun 2007 berjumlah 12.858 korban5.
Penyebaran narkotika dan psikotropika menjadi makin mudah karena
anak Sekolah Dasar (SD) juga sudah mulai mencoba-coba menghisap rokok.
Tidak jarang pengedar narkotika dan psikotropika menyisipkan zat-zat adiktif
(zat yang menyebabkan efek kecanduan) kepada lintingan tembakaunya. Pada
awalnya mereka mengkonsumsi narkotika dan psikotropika biasanya diawali
dengan perkenalannya dengan rokok. Dari kebiasaan inilah, pergaulan mulai
meningkat, apalagi ketika anak tersebut bergabung ke dalam lingkungan
orang-orang yang sudah menjadi pecandu narkotika dan psikotropika. Awalnya
mencoba, lalu kemudian ketergantungan.
Berdasarkan fenomena tersebut, ternyata memperlihatkan betapa
banyaknya perilaku anak yang menjurus kepada tindak pidana penyalahgunaan
narkotika dan psikotropika. Mengingat masyarakat pada saat ini dapat dengan
mudah medapatkan narkotika dan psikotropika dari oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab. Misalnya saja dari bandar narkotika dan psikotropika yang
senang mencari mangsa di daerah sekolah, diskotik, tempat pelacuran, dan
5 Badan Narkotika Nasional (BNN), Pedoman Penyalahgunaan Narkoba Bagi Pemuda, Jakarta, 2004,
tempat-tempat perkumpulan genk. Hal itu terjadi, antara lain karena kurangnya
perhatian orang tua dan banyaknya masalah rumah tangga, sehingga
mengakibatkan anak - anak memilih narkotika dan psikotropika sebagai
pelariaanya. saat ini para orang tua sangat longggar dalam memberikan
pengawasan dan bimbingan terhadap generasi muda, karena sibuknya mencari
nafkah untuk keluarga, sehingga mereka mudah terjerumus pada obat-obatan
yang bisa merusak syaraf manusia tersebut. Para orang tua akhirnya merasa
cemas dan takut bila anaknya para orang tua murid dan berharap agar ada
komunikasi yang baik antara guru dan murid, khususnya soal perilaku anak.
Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peranan stategis yang
mempunyai cirri dan sifat khusus, selain itu anak merupakan titipan dari Tuhan
yang diberikan kepada orang tua untuk dididik dan dilindungi sebagai penerus
bangsa. Dan karena kota Surabaya adalah sebagai Ibu Kota dari Jawa Timur, di
Surabaya pasti terdapat berbagai macam kejahatan-kejahatan.
Namun terkait dengan masalah penyalahgunaan narkotika dan
psikotropika, baik Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika
maupun Undang-undang nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika hanya
menerapkan sanksi bagi pelaku tindak pidana berdasarkan golongan narkotika
dan psikotropika yang disalahgunakan.
Bagi sebagian orang, menjatuhkan pidana bagi anak dianggap tidak
anak tetap penting dilakukan, agar sikap buruk anak tidak terus menjadi
permanen sampai ia dewasa.
Bagir Manan berpendapat bahwa anak-anak di lapangan hukum pidana diperlakukan sebagai “orang dewasa kecil”, sehingga seluruh proses perkaranya kecuali di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan sama dengan perkara orang dewasa. Perlakuan yang berbeda hanya pada waktu pemeriksaan di sidang pengadilan, sidang untuk perkara anak dilakukan secara tertutup (Pasal 153 ayat (3) KUHAP) dan petugasnya (hakim dan jaksa) tidak memakai toga. Semua itu terkait dengan kepentingan fisik, mental dan sosial anak yang bersangkutan.6
Pemeriksaan perkara anak dilakukan secara tertutup sesuai dengan
ketentuan Pasal 42 ayat (3) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak (selanjutnya disebut Undang-undang Pengadilan Anak)
menyatakan bahwa proses penyidikan anak wajib dirahasiakan. Oleh karena itu
semua tindakan penyidik dalam rangka penyidikan anak wajib dirahasiakan, dan
tanpa ada kecualinya.
Tidak ada pengaturan tentang batasan umur pelaku tindak pidana,
khususnya pelaku tindak pidana yang belum dewasa. Tetapi dalam pasal 4
undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah mengatur
batasan umur dalam pengajuan anak ke persidangan.
Berdasarkan uraian diatas, maka skripsi ini ditulis dengan mengangkat
hal tersebut sebagai bahan penulisan hukum dengan judul “ PENERAPAN
SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
6 Bagir Manan di dalam buku Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta, Djambatan,
NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DI PENGADILAN NEGERI
SURABAYA”.
1.2 Per umusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang ada di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pemeriksaan perkara terhadap anak pelaku tindak pidana
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika di PN Surabaya ?
2. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap anak pelaku tindak pidana
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika di PN Surabaya ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk memberikan gambaran penanganan perkara bagi anak yang melakukan
tindak pidana narkotika dan psikotropika, dan
2. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap anak pelaku tindak
pidana narkotika dan psikotropika khususnya di Pengadilan Negeri Surabaya.
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan teori tambahan dan
informasi khususnya pada pihak-pihak yang mengalami kasus tindak
pidana mengenai narkotika dan psikotropika.
b. Sebagai wawasan untuk memahami dan menganalisis penerapan sanksi
pidana yang dikeluarkan oleh Hakim PN Surabaya terhadap anak pelaku
2. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum,
khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum tindak pidana mengenai
narkotika dan psikotropika khususnya yang terjadi pada anak serta dapat
menambah bahan-bahan kepustakaan.
b. Menambah pustaka dibidang ilmu hukum khususnya dalam
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.
1.5 Ka jian Pustaka
1.5.1 Penger tian Nar kotika
Di Indonesia, istilah narkotika berasal dari bahasa Inggris,
narcotics yang berarti obat bius, yang sama artinya dengan kata narcosis
dalam bahasa yunani yang artinya menidurkan atau membius. Arti
narkotika secara umum adalah zat yang dapat menimbulkan perubahan
perasaan, suasana pengamatan, atau penglihatan karena zat tersebut
mempengaruhi susunan saraf pusat.7
Narkotika menurut Soedjono Dirdjosisworo adalah sejenis zat
yang bila dipergunakan (dimasukkan dalam tubuh) akan membawa
pengaruh terhadap tubuh si pemakai, pengaruh tersebut berupa
7 Satgas Luhpen Narkoba Mabes POLRI, Penanggulangan Penyalahgunaan Bahaya Narkoba,
menenangkan, merangsang, dan menimbulkan khayalan-khayalan
(halusinasi).8
Sesuai dengan pengertian pasal 1 butir 1 Undang-undang
Narkotika yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang
berasal dari tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan.
Dari pengertian diatas hal yang sama dengan narkotika dan
psikotropika adalah bentuknya sama-sama berupa zat atau obat alamiah
atau sintetis. Perbedaannya pada narkotika ada yang berasal dari tanaman,
sedang dalam pengertian narkotika dan psikotropika tidak disebutkan
demikian. Narkotika dan psikotropika pengaruhnya tertuju pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas terhadap aktifitas mental
dan perilaku. Sedang pada narkotika dalam pengertiannya tidak
menguraikan pengaruh seperti itu, tetapi langsung memberikan hubungan
kausalitas, bahwa narkotika dapat menurunkan kesadaran, hilangnya rasa
nyeri. Baik narkotika maupun psikotropika sama-sama menimbulkan akibat
pada ketergantungan.9
8
Soedjono Dirdjosisworo, Hukum tentang Narkotika di Indonesia, Karya Nusantara, Bandung, 1990, hlm 9.
9
1.5.2 Penggolongan Nar kotika
Dalam Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang narkotika dalam
pasal 2 ayat (2) disebutkan, bahwa narkotika digolongkan menjadi 3
golongan, antara lain :
1. Narkotika Golongan I
Adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
Yang termasuk narkotika golongan I ada 26 macam. Yang
popular disalahgunakan adalah tanaman Genus Cannabis dan
kokaina. Cannabis di Indonesia dikenal dengan nama ganja atau
biasa disebut anak muda jaman sekarang cimeng, Sedangkan untuk
Kokaina adalah bubuk putih yang diambil dari daun pohon koka
dan menjadi perangsang yang hebat.10
Jenis-jenis narkotika golongan I seperti tersebut diatas
dilarang untuk diproduksi dan/atau digunakan dalam proses
produksi kecuali dalam jumlah terbatas untuk kepentingan tertentu.
Hal ini diatur pada pasal 9 ayat 1 Undang-undang No.22 tahun
1997 tentang Narkotika :
10 O.C. Kaligis, Narkoba dan Peradilannya di Indonesia (Reformasi hukum Pidana melalui
Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan
dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas
untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan
dengan pengawasan yang ketat dari Menteri Kesehatan.”
Dalam hal penyaluran narkotika golongan I ini hanya dapat
dilakukan oleh pabrik obat-obatan tertentu dan/atau pedagang besar
farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan untuk
kepntingan pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 37 Undang-undang No.22 tahun 1997
tentang Narkotika.
2. Narkotika golongan II
Menurut pasal 2 ayat (2) huruf b, narkotika golongan ini
adalah narkotika yang berkhsasiat dalam pengobatan dan
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
Jenis narkotika golongan II yang paling populer digunakan
adalah jenis heroin yang merupakan keturunan dari morfin. Heroin
dibuat dari pengeringan ampas bunga opium yang mempunyai
kandungan morfin dan banyak digunakan dalam pengobatan batuk
dan diare. Ada juga heroin jenis sintetis yang digunakan untuk
dengan kadar lebih rendah dikenal dengan sebutan putauw.11
Putauw merupakan jenis narkotika yang paling sering
disalahgunakan. Sifat putauw ini adalah paling berat dan paling
berbahaya. Putauw menggunakan bahan dasar heroin dengan kelas
rendah dengan kualitas buruk dan sangat cepat menyebabkan
terjadinya kecanduan.
Jenis heroin yang juga sering disalahgunakan adalah jenis
dynamite yang berkualitas tinggi sedangkan brown atau Mexican
adalah jenis heroin yang kualitasnya lebih rendah dari heroinputih
atau putauw.
3. Narkotika golongan III
Narkotika golongan III sebagaimana yang dijelaskan dalam
pasal 2 ayat (2) huruf c Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang
Narkotika adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan dalam
ketergantungan. Kegunaan narkotika ini adalah sama dengan
narkotika golongan II yaitu untuk pelayanan kesehatan dan/atau
untuk pengembangan ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara
memproduksi dan menyalurkannya yang diatur dalam satu
ketentuan yang sama dengan narkotika golongan II. Salah satu
narkotika golongan II yang sangat populer adalah kodein. Kodein
ini ditemukan pada opium mentah sebagai kotoran dari sejumlah
morfin.
Perbedaan mendasar dari ketiga golongan narkotika ini
adalah sebagai berikut:
a. Narkotika Golongan I : berguna untuk ilmu pengetahuan dan
tidak digunakan untuk terapi dengan resiko ketergantungan
sangat tinggi.
b. Narkotika Golongan II : Berguna untuk pengobatan dan
digunakan sebagai alternative pengobatan terakhir serta
sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dangan resiko
ketergantungan tinggi.
c. Narkotika Golongan III : berguna untuk pengobatan, terapi dan
pengembangan ilmu pengetahuan dengan resiko ketergantungan
rendah.12
1.5.3 Penger tian Psikotr opika
Adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku. Menurut Nanizar Zaman Joenoes, Psikotropika adalah
zat atau bahan atau obat yang mempengaruhi psyche atau keadaan jiwa.
Keadaan tersebut seperti:
1. Keadaan jiwa diubah menjadi tenang, ada perasaan nyaman,
tertidur.
2. Dalam hal lain pemakai menjadi gembira, hilang rasa sedih dan
susah serta perasaan senang (europhia).
3. Bahan atau obat yang memberikan halusinasi yaitu dimana pemakai
melihat atau merasakan sesuatu lebih indah dari sebenarnya yang
dihadapi.13
Zat atau obat ini baru diperkenalkan sejak lahirnya suatu cabang
ilmu farmakologi yakni psikorfarmakologi yang khusus mempelajari
psikotropika. Dalam United Nation Cofrence for Adoption of Protokolon
Psychotropic Substence disebutkan batasan-batasan zat psikotropik adalah
bentuk bahan yang memiliki kapasitas yang menyebabkan :
a. Keadaan ketergantungan;
b. Depresi dan stimulant susunan saraf pusat (SSP)
c. Menyebabkan halunisasi;
d. Menyebabkan gangguan fungsi motorik atau persepsi atau mood.14
1.5.4 Penggolongan Psikotropika
Undang-undang Psikotropika No. 5 tahun 1997 pasal 2 ayat (2),
membedakan jenis-jenis psikotropika menjadi 4 golongan, yaitu :
a) Psikotropika Golongan I
b) Psikotropika Golongan II
c) Psikotropika Golongan III
d) Psikotropika Golongan IV
Adanya penggolongan tentang jenis-jenis psikotropika tersebut,
karena yang diatur dalam Undang-undang No.5 tahun 1997 hanyalah
psiktropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma
ketergantungan.
Adapun penggolongan jenis psikotropika adalah sebagai berikut:
1. Psikotropika golongan I
Adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk
kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi
serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Misalnya Bromlafetamina, efisiklidina,
etriptamia, katinona, psolosibina, rolisiklidina.
2. Psikotropika golongan II
Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang
berkhasiatuntuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi
dan/ atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Antaralain,
Amfetamina, deksamfetamina, fenetilina, fenmerazina,
fensilikdina, levamfetamina, meklokualon, metamfetamina,
rasemat, metakualon, metilfenidat, sekobarbita, zipepprol.
3. Psikotropika golongan III
Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang
berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Misalnya
amorbirtal, buprenorfina, butalbital, flunitrazepam, Katina,
glutetimida, pentazosina, pentobarbital, siklobarbital.
4. Psikotropika golongan IV
Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang
berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Seperti
bromazepam, brotizolam, diazepam, etinamat, kamazepam,
lefetamina, nimetazepam, triazolam, vinilbital, dan lain-lain.15
1.5.6 Penger tian Anak
Anak merupakan generasi muda penerus cita-cita bangsa dan
merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Anak dalam
pemaknaan yang umum mendapat perhatian baik dalam bidang ilmu
pengetahuan, agama, hukum, dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak
semakin aktual dalam lingkungkan sosial.
Kedudukan anak dalam lingkungan hukum hukum sebagai subjek
hukum ditentukan dari sistem hukum terhadap anak sebagai kelompok
masyarakat yang berada di dalam status hukum dan tergolong tidakmampu atau
di bawah umur. Maksud tidak mampu karena kedudukan akal dan pertumbuhan
fisik yang sedang berkembang dalam diri anak yang bersangkutan. Meletakkan
anak sebagai subjek hukum yang lahir dari proses sosialisasi berbagai nilai
kedalam peristiwa hukum pidana maupun hubungan kotrak yang berada dalam
lingkup hukum perdata menjadi mata rantai yang tidak dapat dipisahkan.16 Anak
merupakan potensi sumber daya manusia di masa depan .
15
Gat ot Supramono, op .cit., hlm 19-23
16
1.5.6.1 Pengertian anak menurut ketentuan undang-undang nomor 3 tahun 1997
tentangpengadilan anak pasal 1 angka 1 dan angka 2 perihal ketentuan
umum adalah sebagi berikut :
Pasal 1 angka 1
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mancapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin.
Pasal 1 angka 2
Anak nakal adalah :
a. anak yang melakukan tindak pidana atau,
b. anak yang melakukan tindakan dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum
lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Berdasarkan pasal-pasal yang telah ditulis sebagaimana hal diatas, maka
apabila yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan
psikotropika masih belum dewasa, maka yang menjadi acuan adalah
undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak.
1.5.6.2 Pengertian anak menurut ketentuan undang-undang nomor 23 tahun 2002
tentang Undang – undang Perlindungan anak pasal 1 angka 1 adalah sebagai
Pasal 1 angka 1
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan
dan perkembangan fisik, mental, sosial secara utuh yang selaras dan
seimbang. Maka dari itu, dalam hal pengenaan sanksi tindak pidana yang
dilakukan oleh orang yang dewasa dan orang yang belum dewasa harus
dibedakan.
1.5.7 Pr oses Pemer ikasaan
Pemeriksaan perkara anak dilakukan secara tertutup sesuai dengan
ketentuan Pasal 42 ayat (3) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak (selanjutnya disebut Undang-undang Pengadilan Anak)
menyatakan bahwa proses penyidikan anak wajib dirahasiakan. Oleh
karena itu semua tindakan penyidik dalam rangka penyidikan anak wajib
dirahasiakan, dan tanpa ada kecualinya.
15.8 Upaya Hukum
Upaya hukum ialah suatu usaha setiap pribadi atau badan hukum
yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh
keadilan dan perlindungan atau kepastian hukum, menurut cara-cara yang
ditetapkan undang-undang.
Upaya hukum yang dapat ditempuh, KUHP membedakan upaya
a. Upaya hukum biasa, upaya hukum biasa terdiri dari tiga bagian (di
dalam KUHP hanya diatur mengenai kasasi dan banding), yaitu :
1. Verzet.
Verzet adalah perlawanan terhadap putusan diluar
hadirnya terdakwa (verstek) yang hanya menyangkut
perampasan kemerdekaan terdakwa. Verzet diajukan
pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam waktu dan hari
sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa.
2. Banding.
Banding adalah mohon supaya perkara yang telah
diputus oleh pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang oleh
pengadilan yang lebih tinggi (tingkat banding), karena merasa
belum puas dengan keputusan pengadilan tingkat pertama.
3. Kasasi.
Kasasi artinya pembatalan putusan oleh Mahkamah
Agung (MA). Sedangkan pengertian pengadilan kasasi ialah
Pengadilan memeriksa apakah judex fatie tidak salah dalam
melaksankan peradilan.
b. Upaya hukum luar biasa untuk upaya hukum luar biasa (istimewa)
1. Rekes Sipil (Peninjauan Kembali).
Kata penijauan kembali diterjemahkan dari kata
“Herziening”, M. H. Tirtaamijaya menjelaskan Herziening
sebagai berikut : itu adalah sebagai jalan utnuk memperbaiki
suatu putusan yang telah menjadi tetap jadinya tidak dapat
diubah lagi dengan maksud memperbaiki sesuatu kealpaan
hakim yang merugikan si terhukum, kalau perbaikan itu
dilakukan maka ia harus memenuhi syarat, yakni ada sesuatu
keadaan yang pada pemeriksaan hakim, yang tidak diketahui
oleh hakim itu, jika ia mengetahui keadaan itu, akan
memberikan putusan lain.
2. Dender Verzet.
Dender Verzet terjadi apabila dalam suatu putusan
pengadilan merugikan kepentingan dari pihak ketiga, maka
pihak ketiga tersebut dapat mengajukan perlawanan terhadap
putusan tersebut. dasar hukumnya adalah 378-384 Rv dan
pasal 195 (6) HIR. Dikatakan sebagai upaya huku luar biasa
karena pada dasarnya suatu putusan hanya mengikat pihak
ketiga (tapi dalam hal ini, hasil putusan akan mengikat orang
lain/ pihak ketiga, leh sebab itu dikatakan luar biasa).
Denderverzet diajukan ke pengadilan Negeri yang memutus
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 J enis Penelitian
Tipe penelitian skripsi ini adalah secara yuridis sosiologis, yaitu meneliti
perundang-undangan dan kepustakaan di bidang hukum yang berkaitan dengan
masalah diatas.
Penelitian hukum sosilogis mengungkapkan hukum yang hidup (living
law) dalam masyarakat melalui perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat.
Empirical law research, yaitu penelitian hukum positif tidak tertulis mengenai
perilaku anggota masyarakat dalam hubungan hidup bermasyarakat. Penelitian
hukum empiris memperoleh data dari data primer yaitu data yang diperoleh
langsung dari Pengadilan Negeri sebagai sumber pertama dengan melalui
penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui pengamatan dan wawancara.
Penelitian hukum sebagai penelitian sosiologis (empiris) dapat direalisasikan
kepada penelitian terhadap efektivitas hukum yang berlaku ataupun penelitian
terhadap identifikasi hukum.
1.6.2 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer,
1.6.2.1 Data primer yaitu berupa data berupa subyek hukum yang langsung
sebagai sumber informasi, seperti panitera, pegawai pemerintah, tokoh
masyarakat adat dan sebagainya17.
1.6.2.2 Data sekunder yaitu data yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum skunder dan bahan hukum tersier, yaitu dapat berupa sebagai
berikut :
1. Sumber Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya
mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada
kaitannya dengan permasalahan yang dibahas.
2. Sumber bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya
menjelaskan bahan hukum primer, dimana bahan hukum sekunder
berupa buku literatur, hasil penelitian para pakar dan jurnal hukum
untuk memperluas wawasan penulis mengenai bidang penulisan.
3. Sumber bahan hukum tersier adalah merupakan bahan hukum sebagai
tambahan pelengkap dari kedua bahan sebelumnya.
1.6.3 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi kepustakaan, adapun maksudnya adalah sebagai berikut :
17
1.6.3.1 Penelitian kepustakaan
Penelitian kepustakaan adalah bentuk penelitian dengan cara
mengumpulkan dan memerikasa atau menelusuri dokumen-dokumen atau
kepustakaan yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang
dibutuhkan dalam penelitian18.
Dalam hal ini penulis akan menganalisa perbandingan pelaksanaan
yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Surabaya dan mengumpulkan
literatur-literatur hukum, internet, serta semua bahan yang terkait dengan
permasalahan yang dibahas.
1.6.3.2 Wawancara
Wawancara adalah suatu proses interaksi dan komunikasi yang dilakukan
oleh pewawancara dan terwawancara untuk memperoleh informasi
lengkap.
Adapun prakteknya nanti penulis akan melakukan wawancara
langsung dengan pegawai dan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya.
1.6.4 Analisis Data
Pengolahan data menggunakan metode diskriptif analisis artinya data
yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data
sekunder. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan stuktur hukum positif yaitu suatu
kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan
hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang
menjadi objek kajian. Setelah data tersebut rampung, maka penulis
menganalisanya dengan sistematik terhadap data yang berbentuk kualitatif,
guna memudahkan pemecahan masalah yang hendak dilaksanakan.
1.7 Sistematika Penulisan
Skripsi ini nantinya disusun dalam empat bab. Tiap-tiap bab dibagi-bagi
beberapa subbab yang saling mendukung. Bab-bab yang tersusun tersebut
nantinya merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan antara yang satu
dengan yang lain.
Bab Pertama, Pendahuluan. Didalamnya menguraikan tentang latar
belakang masalah, kemudian berdasarkan masalah tersebut maka dirumuskan
permasalahan. Selanjutnya disajikan tujuan dan manfaat penlitian sebagai
harapan yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Pada bagian kajian pustaka
yang merupakan landasan dari penulisan skripsi. Kemudian diuraikan beberapa
konsep definisi yang berkaitan dengan judul penelitian. Selanjutnya diuraikan
tentang metode penelitian yang salah satu syarat dalam setiap penelitian. Intinya
mengemukakan tentang tipe penelitian dan pendekatan masalah, sumber bahan
hukum, langkah penelitian, dan bab ini diakhiri dengan sistematika penulisan.
Bab Kedua, menguraikan rumusan masalah yang pertama tentang
pemeriksaan perkara terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan
psikotropika, bab ini terdapat tiga subbab yang pertama mengenai Konsep
menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana),
yang kedua mengenai ketentuan hukum tentang tindak pidana yang dilakukan
oleh anak dan yang ketiga mengenai proses pemeriksaan dan peradilan terhadap
anak pelaku penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.
Bab Ketiga, menguraikan rumusan masalah yang kedua tentang
bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap anak pelaku tindak pidana
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, bab ini terdapat dua subbab yang
pertama mengenai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap
anak pelaku penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dan analisis vonis
rehabilitasi terhadap anak pelaku penyalahgunaan narkotika dan psikotropika .
Bab Keempat, Berdasar uraian-uraian dalam bab dua dan bab tiga diatas
tentang jawaban dari rumusan masalah yang dijadikan obyek penulisan,
selanjutnya ditarik kesimpulan dan saran dalam bab keempat sebagai penutup.
1.8 Lokasi Penelitian
Sesuai dengan judul penelitian, lokasi penelitian adalah di Pengadilan
Negeri Surabaya karena :
1. Surabaya ibu kota jawa timur dan merupakan kota Metropolis kedua setelah
Jakarta.
2. Sebagai Ibu Kota dari Jawa Timur di Surabaya pasti terdapat berbagai macam
kejahatan-kejahatan. Alasan-alasan tersebut yang menjadikan keinginan
2.1 Konsep Diversi dan Restorative Justice yang Dipergunakan di PN Sur abaya
Perlindungan hukum bagi anak dalam proses peradilan tidak dapat
dilepaskan dari apa yang sebenarnya menjadi tujuan atau dasar pemikiran
peradilan anak. Tujuan dasar pemikiran dari peradilan anak jelas tidak dapat
dilepaskan dari tujuan utama untuk mewujudkan kesejahteraan anak yang pada
dasarnya merupakan bagian integral dari kesejahteraan sosial. Bahwasanya
kesejahteraan atau kepentigan anak berada dibawah kepentingan masyarakat,
tetapi justru harus dilihat bahwa mendahulukan atau mengutamakan kesejahteraan
atau kepentingan anak itu pada hakikatnya merupakan murupakan bagian usaha
dari mewujudkan kejahteraan sosial.1
Menurut konsep diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus
anak yang berhadapan dengan hukum, karena sifat ketidakmampuan anak,
pemberian hukum terhadap anak bukan semata-mata untuk menghukum tetapi
mendidik dan memperbaiki kembali. Menghindarkan anak dari eksplorasi dan
kekerasan, akan lebih baik diversi dan apabila dihukum maka tidak baik.
Selain itu diversi juga dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu
kesempatan pada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui
jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat diversi berupaya
memberikan keadilan kepada anak yang terlanjur melakukan tindak pidana
sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum2.
Perlindungan anak dalam proses peradilan harus juga dapat
menggambarkan adanya jaminan-jaminan khusus bagi anak di bidang hukum dan
peradilan. Jaminan hukum yang bersifat khusus tidak harus bertentangan hukum
yang umum yang artinya, jaminan hukum yang berlaku bagi setiap orang pada
umumnya juga harus tetap berlaku pada anak.
Oleh karena itu di dalam hak-hak anak (rights of juveniles) bahwa
jaminan-jaminan procedural yang pokok/ mendasar (basic procedural
safeguards) harus dijamin pada setiap tahap proses peradilan anak yaitu, antar
lain 3:
a. Hak untuk diberitahukan tuduhan,
b. Hak untuk tetap diam,
c. Hak memperoleh penasehat hukum,
d. Hak untuk hadirnya orang tua/ wali,
e. Hak untuk menghadapkan saksi dan pemeriksaan siding para saksi,
2 Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2009, hal 1
3 Agung Wahyono, Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak Di Indonesia, Sinar Grafika,
f. Hak untuk banding ke tingkat yang lebih atas,
Anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika
sangat dipengaruhi beberapa faktor. Pada umumnya secara keseluruhannya
faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terutama anak dan remaja melakukan
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dapat dibedakan atas faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dari
dalam anak itu sendiri, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari
luar dirinya4.
Penyebabnya sangatlah kompleks akibat interaksi sebagai faktor,
diantaranya:
1. Faktor Internal :
Kebanyakan dimulai pada saat anak menjadi remaja, sebab pada saat itu
anak sedang mengalami perubahan biologis, psikologi maupun sosial yang pesat.
Anak yang beranjak remaja mempunyai resiko yang lebih besar menggunakan
narkotika dan psikotropika karena mereka mempunyai sifat-sifat yang
diantaranya:
a. Cenderung memberontak,
b. Memiliki gangguan jiwa lain, misalnya : depresi, cemas,
c. Perilaku yang menyimpang dari aturan atau norma yang ada,
4 Suhasril, Moh. Taufik Makaro, Moch . Zakky, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta,
d. Kurangnya percaya diri,
e. Mudah kecewa, agresif, dan destruktif,
f. Murung, pemalu, pendiam
g. Merasa bosan dan jenuh,
h. Keinginan untuk bersenang-senang yang berlebihan,
i. Keinginan untuk mencoba yang sedang mode
j. Identitas diri yang kabur
k. kemampuan komunikasi yang rendah
l. Putus sekolah
m. Kurang menghayati iman dan kepercayaan.
2. Faktor eksternal :
Faktor lingkungan meliputi : faktor keluarga, lingkungan pergaulan baik
sekitar rumah, sekolah, teman sebaya, maupun masyarakat.
Lingkungan keluarga :
a. Komunikasi orang tua dengan anak yang kurang baik,
b. Hubungan kurang harmonis,
c. orang tua yang bercerai, kawin lagi
d. Orang tua terlampau sibuk
e. Orang tua otoriter
f. Kurangnya orang yang menjadi teladan dalam hidupnya
Lingkungan sekolah :
a. Sekolah yang kurang disiplin,
b. Sekolah terletak dekat dengan tempat hiburan,
c. Adanya murid pengguna narkotika dan psikotropika.
Lingkungan teman sebaya :
a. Berteman dengan penyalahguna
b. Tekanan atau ancaman dari teman.
Lingkungan masyarakat atau sosial :
a. Lemahnya penegak hukum,
b. Situasi politik, sosial, dan ekonomi yang kurang mendukung.
Faktor-faktor tersebuat diatas memang tidak selalu membuat seseorang
kelak menjadi penyalahguna narkotika dan psikotropika. Akan tetapi makin
mengatur secara diversi. Tetapi adanya pasal 5 ayat 2 dalam undang-undang
nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak menyatakan “ Apabila menurut hasil
pemerikasaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana ayat (1) masih
dapat dibina oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan
kembali anak tersebut kepada tua, wali atau orang tua asuhnya “.Pendapat
penyidik menurut pasal 5 ayat 2 ini yang merupakan bentuk diversi. Diversi
adalah suatu bentuk pembelokan atau penyimpanganan penanganan anak pelaku
deliquen diluar jalur yustisial konvensional.
Seperti dikatakan dalam Comentary rule 11 Resolusi PBB40/33. Diversi
ini, diversi dapat mengehindarkan anak dalam proses stigmatisasi yang lazimnya
tejadi dalm proses pemidanaan anak lewat sistem peradilan pidana anak.
Pengadilan Negeri Surabaya menerapkan psosedur khusus dan upaya
diversi dalam kasus anak adalah dengan menaruh perhatian yang seksama atas
penanganan perkara anak meliputi :
1. Menyelenggarakan penegendalian proses administrasi khusus jalannya
peradilan anak dengan jalan memonitor pada saat perkara anak
dilimpahkan sampai dengan vonis hakim dalam buku bantu register
perkara anak.
2. Menyelenggarakan proses peradilan anak dengan menyediakan ruang
khusus persidangan dan ruang tunggu, sebagai bentuk keterpaduan
pelaksanaan hak-hak.
3. Menempatkan penjatuhan pidana (pemenjaraan) kepada anak yang terlibat
tindak pidana sebagai langkah terakhir.
4. Pengawasan kinerja anak melalui minutasi perkara anak dalam forum rapat
bulanan.
5. Pengawasan terhadap pelaksanaan hak-hak anak dalam proses ataupun
pengawasan pelaksanaan puusan oleh hakim pengawas lembaga
permasyarakatan yang ditunjuk. 5
5
Sasaran akhir konsep peradilan restorative ini mengharapkan jumlah
anak-anak yang ditangkap, ditahan, dan divonis penjara, mengahapuskan stigma
dan mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat
berguna kelak di kemudian hari, pelaku pidana anak dapat menyadari
kesalahannya, sehingga tidak mengulangi perbuatannya, mengurangi beban kerja
polisi, jaksa, rutan, pengadilan, dan lapas, menghemat keuangan negara,
memberdayakan orang tua dan masyarakat dalam mengatasi kesalahan anak,
pengintregrasian kembali anak ke dalam masyarakat.
2.1.1 Pengatur an Huk um Pidana Ter hadap Penyalahgunaan Nar kotika dan
Psikotr opika
Perkembangan narkotika dan psikotropika secara historis diawali
dengan peredaran narkotika, yang diatur dalam Verdovende Middelen
Ordonnantie (Staatsblad No.278 jo No 536). Dalam kehidupan
bermasyarakat, aturan ini lebih dikenal dengan sebutan peraturan obat bius.
Peraturan perundang-undangan ini materi hukumnya hanya mengatur
mengenai perdagangan dan peredaran narkotika dan psikotropika.6
Diundangkannya Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
karena didasari oleh beberapa faktor yang salah satunya ialah semakin
banyaknya korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat
membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
6 Suhasril, Moh. Taufik Makaro, Moch . Zakky, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta,
Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan
Undang-undang nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika adalah
merupakan salah satu Undang-undang yang mengatur tindak pidana di luar
KUHP. Dalam pasal 63 ayat 2 KUHP menyebutkan, jika suatu perbuatan
masuk dalam suatu aturan pidana bersifat umum, diatur pula dalam aturan
yang bersifat khusus, maka yang bersifat khusus itu yang diterapkan.
Menurut Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika,
definisi narkotika terkandung dalam pasal 1 angka 1 yakni sebagai berikut :
Narkotika adalah zat atau obat yang betasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan.
Jenis-jenis Narkotika dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika, pada pasal 6 bahwa narkotika digolongkan menjadi :
a. Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan. yakni diantaranya Tumbuhan Paper somniferum I,
Opium mentah yaitu getah yang membeku sendiri. diperoleh dari buah
tanaman Papaver .
Opium masak terdiri dari : candu, jicing, jicingkon, tumbuhan coca,
b. Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempuyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan, beberapa
diantaranya adalah morphine,exgonina, petidine.
c. Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungansalah satu diantaranya adalah codein alkaloida berupa
serbuk putih atau dalam benruk tablet, terkandung dalam opium atau
sintetis dari morfine dan digunakan sebagai peredam batuk dan sebagai
analgesic.
Menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang
Psikotropika, memberikan definisi psikotropika sebagai berikut :
Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis
bukan narkotika, berkhasiat psikoaktif malalui pengaruh selektif pada
susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku.
Undang-undang Psikotropika juga mengatur penggolongan jenis
psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma
a. Psikotropika Golongan I adalah Psikotropika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi, serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan.
b. Psikotropika Golongan II adalah Psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan
sindroma ketergantungan.
c. Psikotropika Golongan III adalah Psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan banyak digunaka dalam terapi dan/ atau untuk tujuan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan
sindroma ketergantungan.
d. Psikotropika Golongan IV adalah Psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/ atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang
Psikotropika hanyalah psikotropika golongan III dan golongan IV karena
psikotropika golongan I dan golongan II dengan adanya pasal 153
Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, maka golongan I dan
Mengingat akibat yang dapat ditimbulkan oleh psikotropika,
khususnya yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma
ketergantungan apabila disalahgunakan untuk maksud selain digunakan
selain digunakan pelayananan kesehatan dan/ atau ilmu pengetahuan, maka
diperlukan suatu perangkat hukum untuk mengendalikan psikotropika
secara khusus. Selain itu, Indonesia telah meratifikasi Konvesi Psikotropika
1971. Oleh karena itu, pemerintah wajib memberlakukan mengendalikan
psikotropika secara khusus sesuai denagn Konvensi tersebut.
Tujuannya dibuat Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika dan Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
adalah :
1. menjamin ketersediaan baik Narkotika maupun Psikotropika untuk
pelayanan kesehatan dan/ atau pengembanagan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
2. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
Narkotika dan Psikotropika.
3. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Psikotropika
4. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi
penyalahguna dan pecandu Narkotika dan Psikotropika.
Oleh sebab itu, semua rumusan delik dalam kedua undang-undang
dari penanaman, produksi, penyaluran, dan lalu lintas peredaran sampai ke
pemakaiannya.
Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan
Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropikamengatur secara
khusus ketentuan-ketentuan pidana sebagaimana yang diatur dalam bab XV
pasal 111 sampai dengan pasal 148 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika, serta dalam Bab XIV pasal 59 sampai dengan pasal 72
Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Semua tindak
pidana yang diatur dalam undang-undang tersebut merupakan suatu
kejahatan, alasannya adalah bahwa narkotika dipergunakan untuk
pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan
diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan
mengingat besarnya mengingat akibat yang ditimbulkan dari pemakaian
narkotika secara tidak sah.7
Penyalahgunaan adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis
narkotika dan psikotropika secara berkala atau teratur diluar indikasi medis,
sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis, gangguan fungsi
sosial.
Menurut ketentuan umum Undang-undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika, definisi penyalahguna adalah orang yang menggunakan
7 Suhasril, Moh. Taufik Makaro, Moch . Zakky, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta,
narkotika tanpa hak dan melawan hukum. Sedangkan menurut Taufik
Makaro, penyalahgunaan narkotika dan psikotropika adalah merupakan
suatu tindakan yang mengancam keselamatan, baik fisik maupun jiwa si
pemakai dan juga asyarakat di sekitar secara sosial, sehingga bahaya akibat
dari penyalahgunaan narkotika dan psikotropika tersebut dapat bersifat
bahaya pribadi bagi si pemakai dan dapat pula berupa bahaya sosial
terhadap masyarakat dan lingkungan.8
Penyalahgunaan narkotika dan psikotropika merupakan suatu
proses yang makin meningkat dari taraf coba-coba ke taraf penggunaan
untuk hiburan, penggunaan situasional, penggunaan secara teratur sampai
pada ketergantungan. Memasuki taraf coba-coba bisa langsung terseret
kepada taraf ketergantungan oleh karena sifat narkotika dan psikotropika
yang mempunyai daya menimbulkan ketergantungan yang tinggi.
2.1.2 Ketentuan Hukum tentang Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Anak
Menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dalam pasal 1 angka (1) dijelaskan bahwa anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk
dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud dengan batas usia anak
adalah pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam
status hukum sehingga anak tersebut beralih menjadi usia dewasa atau menjadi
seorang subyek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap
perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak itu.
Konsep tentang anak nakal manurut Soedarto menganut penggunaan
istilah “ Juvenile Deliuency ” yang didalamnya meliputi tindak pidana yang
dilakukan oleh anak–anak, sehingga dapat disimpulakan bahwa tindak pidana
anak-anak yang merupakan bagian dari kenakalan anak-anak/ remaja. Dalam
istilah yang lazim, peerkataan “ Juvenile “ sering digunakan sebagai istilah lain
dari anak-anak. Terhadap istilah ini ada dua penafsiran dalam pengertiaanya :
pertama pengertian anak untuk pertimbangan aparat penegak hukum (Polisi,
Jaksa, Hakim) dalam rangka menerapkan kebijakan pidana dalam proses
peradilan anak. Dari yang pertama ini hanya dimaksudkan untuk membedakan
antara pelaku pidana yang masih anak-anak ( non adult offender ) dengan pelaku
tindak pidana yang sudah dewasa ( adult offender ). Kemudian pengertian yang
kedua adalah pengertian remaja, sebutan ini biasanya didasarkan pada kondisi
psikologis seseorang, dimana pada usia belasan tahun sering disebut sebagai
remaja. Namun demikian pengertian inipun tidak semua orang dapat
menerimanya, karena pengertian “ Juvenile “ terlalu umum dan mencakup
semua orang yang masih muda usianya.9
Sedangkan Deliquency artinya doing wrong, terabaikan / mengabaikan,
yang kemudian diperluas artinya menjadi sosial, kriminal, pelanggaran
peraturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi. 10
Yang dimkasud anak menurut ketentuan pasal 1 angka 1 (satu)
Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah orang yang dalam
perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan
dalam pasal 1 butir 2 (dua) dijelaskan bahwa yang dimaksud anak nakal adalah :
a. Anak yang melakukan tindak pidana;
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik
menurut peraturan perundang-undangan maupaun peraturan hukum lain yang
hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Tindak pidana anak mengandung pengertian perbuatan-perbuatan yang
merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak, yang melanggar
nilai-nilai atau norma-norma yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang dapat
merugikan orang lain atau masyarakat tersebut, biasanya disebut dengan “
Juvenile Deliuency ” . Tindak pidana yang dimaksud tersebut merupakan tindak
pidana baik yang berada dalam KUHP. Tindak pidana yang diatur diluar KUHP
diantaranya diatur dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika dan Undang-undang 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
2.2 Pr oses Pemer iksaan Per kar a ter hadap Anak Pelaku Penyalahgunaan
Nar kotika dan Psikotr opika di PN Sur abaya
Kebijakan khusus dalam prosedur beracara terhadap anak
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika berdasar Undang-undang Nomor 3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diantaranya adalah pemeriksaan perkara
anak dilakukan dalam sidang tertutup untuk melindungi kepentingan anak. Hal
ini dimaksudkan agar tercipta suasana tenang dan penuh kekeluargaan sehingga
anak dapat mengutarakan segala peristiwa dan segala perasaanya secara terbuka
dan jujur selama siding berlangsung. Pengaturan tersebur sejalan dengan
pemikiran pasal 8 Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, yang mengatur bahwa :
(1) Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup,
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang pada pemeriksaan perkara anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dalam sidang
terbuka,
(3) Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh
anak yang bersangkutan beserta orang tua, wali atau orang tua asuh
penasehat hukum, dan pembibing kemasyarakatan,
(4) Selain mereka yang disebut dalam ayat (3), orang-orang tertentu atas izin
Hakim atau Majelis Hakim dapat menghadiri persidangan sebagaimana
(5) Pemberitaan mengenai pekara anak mulai sejak penyidikan sampai saat
sebelum pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari
nama anak, orang tua, wali, atau orang tua asuh,
(6) Putusan pengadilan dalam memeriksa perkara anak sebagaimana
dimaksud dalam pasal (1) diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Kebijakan lain terkait dengan prosedur beracara terhadap anak pelaku
penyalahguna narkotika dan psikotropika berdasar Undang-undang Nomor 3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah hakim yang memeriksa dan yang
memutus perkara anak dalam tingkat pertama, banding hingga kasasi adalah
hakim tunggal. Namun dalam hal terentu dan dipandang perlu ketua
pengadilan negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara dengan hakim
majelis.
Kehadiran hakim tunggal dalam hal ini tidak bertentangan dengan
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehakiman. Karena pasal 15 ayat (1) undang-undang tersebut disebutkan
bahwa, “ Semua pengadilan memeriksa dan memutus dengan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali apabila undang-undang menentukan
lain “. Sehingga, pengecualian disini membuka kemungkinan untuk
pemeriksaan oleh hakim tunggal. Beberapa keuntungan dengan menggunakan
hakim tunggal ini, antaranya lain sebagai berikut :
a. Perkara diselesaikan dengan lancar, jika oleh majelis hakim akan
b. Hakim tunggal akan dituntut untuk lebih bertanggung jawab secara
pribadi, sedangkan majelis hakim tidak,
c. Dengan hakim tunggal anak tidak menjadi bingung, sedangkan dengan
majelis hakim kemungkinan menjadi bingung berhadapan dengan 3 (tiga)
orang sehingga jiwanya cenderung tertekan,
d. Kerjasama hakim tunggal dengan pejabat-pejabat pengawsan dari sosial
juga lebih mudah diadakan, sehingga putusan yang diberikan akan lebih
baik dan tepat,
e. Hakim akan dapat mengikuti perkembangan anak yang sedang menjalani
pidananya, sehingga dengan tepat dapat mengambil ketetapan dalam hal
diajukanya permohonan pelepasan bersyarat,
f. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan hakim tunggal adalah
pilihan yang paling tepat digunakan dalam sidang anak.11
Selain itu, berdasar wawancara di PN Surabaya dengan Hakim
Dedeh Suryanti, SH dalam ketentuan pasal 6 Undang-undang Nomor 3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur bahwa Hakim, Penuntut
Umum, Penyidik, dan Penasehat Hukum serta petugas lainnya dalam
Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas.Hakim dalam
memeriksa perkara anak dilakukan dalam sidang tertutup. Walaupun
dilaksanakan dalam sidang tetutup, dalam hal tertentu dan dipandang
perlu hakim dapat menetapkan pemeriksaan perkara dilakukan secara
terbuka, tanpa mengurangi hak anak. Hal tertentu dan dipandang perlu
tersebut antara lain karena sifat dan keadaan perkara harus dilakukan
secara terbuka. Suatu sifat perkara akan diperiksa secara terbuka,
misalnya perkara pelanggaran lalu lintas, sedangkan dari keadaaan
perkara misalnya pemeriksaan perkara di tempat kejadian perkara.12
12
SURABAYA
3.1 Per timbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Ter hadap Anak Pelaku
Penyalahgunaan Nar kotika dan Psikotr opika
Narkotika dan Psikotropika merupakan hasil proses kemajuan teknologi
untuk digunakan dalam kepentingan pengobatan dan ilmu penegtahuan.
Terjadinya fenomena penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan
psikotropika menuntut perlu adanya tindakan nyata untuk pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
Dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) jelas terkandung
bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur pidana,
jadi meskipun seorang anak telah berbuat dan melakukan tindak pidana dan
memenuhi unsur pidana, belum berarti bahwa anak tersebut dapat dipidana karena
unsur unsur kesalahan yang merupakan dasar pertanggunjawaban pidana.
Menurut Moeljatno bahwa untuk dapatnya seseorang dipidana :
1. adanya perbuatan pidana,
2. orang yang berbuat harus dapat dipertangungjawaban,
3. adanya sikap dan batin atas perbuatan yang berupa kesengajaan atau
4. tidak adanya alasan pemaaf.13
Dalam tindak pidana narkotika dan psikotropika tidak dikenal dengan
alasan pamaaf, karena tindak pidana ini disebut sebagai tindak pidana kejahatan,
hal ini sesuai dengan pasal 68 Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang
Psikotropika.
Terhadap anak yang melakukan tindak pidana berupa penyalahgunaan
narkotika dan psikotropika merupakan perbuatan yang dilarang oleh peraturan
perundang-undangan yang mana perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang
diataur diluar KUHP yaitu Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika dan Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
Terkait ancaman pidana terhadap pelaku