• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DI PENGADILAN NEGERI SURABAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DI PENGADILAN NEGERI SURABAYA."

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Per syaratan Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum UPN “Veteran” J awa Timur

Oleh :

ANGGA PARAMITRA NPM. 0671010015

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR

FAKULTAS HUKUM

(2)

Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini yang berjudul : ” PENERAPAN SANKSI PIDANA

TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN

PSIKOTROPIKA DI PENGADILAN NEGERI SURABAYA ”.

Penulisan skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan sesuai kurikulum

yang ada di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Disamping itu dapat memberikan hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmu dalam

mengadakan penelitian guna penyusunan skripsi.

Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan, dan dorongan

oleh beberapa pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih yang tak

terhingga kepada:

1. Bapak Hariyo Sulistiyantoro, S.H., M.M selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur , serta selaku Dosen Pembimbing

Utama yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam

pembuatan laporan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik.

2. Bapak Sutrisno, S.H., M.Hum selaku Wadek I Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur;

3. Bapak Drs. EC Gendut Soekarno, MS selaku Wadek II Ilmu Hukum Fakultas

(3)

5. Bu Mas Anienda TF., S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing Pendamping yang

telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam pembuatan

laporan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik;

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur.

7. Bapak Sariyanto S.Sos selaku Kepala Bagian Tata Usaha Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

8. Bu Hj. Dedeh Suryanti S.H selaku hakim anak di Pengadilan Negeri Surabaya yang

telah memberikan bimbingan dalam penyelesaian skripsi.

9. Seluruh Pegawai Pengadilan yang berada di Ruang Kearsipan di Pengadilan Negeri

Surabaya terutama buat Bu Elly S.H, Bu Aris S.H, dan Bapak Widodo, terimakasih

atas bantuannya, serta pegawai lainnya yang turut membantu yang penulis tidak

dapat sebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya dalam

penyusunan skripsi ini.

10. Bapakku Sugianto dan Ibuku Tri Para Iriyanti atas dukungan moril dan materiil

serta doa penuh kasih sayang dan juga buat kakak ku Argo, S.H yang menjadi

pemberi dorongan terbesar untuk terselesaikan proposal skripsi ini.

11. Buat kekasihku tercinta ”Yhohana Kusuma Wardani, STP” yang telah memberikan

(4)

UKM Tennis Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan

masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, Penulis mengharapkan kritik dan saran

yang membangun dari semua pihak. Oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya

membangun penulis harapkan guna perbaikan dan penyempurnaan sehingga skripsi ini

dapat memberi manfaat bagi semua pihak.

Surabaya, November 2011

(5)

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

HALAMAN PERSETUJ UAN DAN PENGESAHAN ...iv

KATA PENGANTAR...v

DAFTAR ISI ...viii

DAFTAR TABEL...xi

DAFTAR LAMPIRAN ...xii

ABSTRAK… ...xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Kajian Pustaka ... 8

1.5.1 Pengertian Narkotika... 8

1.5.2 Penggolongan Narkotika...10

1.5.3 Pengertian Psikotropika ...13

1.5.4 Penggolongan Psikotropika ...15

1.5.6 Pengertian Anak ...17

(6)

1.6 Metodologi Penelitian ... 22

1.6.1 Jenis Penelitian ... 22

1.6.2 Sumber Data ... 22

1.6.2.1 Data Primer………….. ...23

1.6.2.2 DataSekunder……… ...23

1.6.3 Metode Pengumpulan Data ... 23

1.6.3.1 Penelitian Kepustakaan ...24

1.6.3.1 Wawancara ...24

1.6.4 Analisis Data ... 24

1.7 Sistematika Penulisan ...25

1.8 Lokasi Penelitian ... 26

BAB II PEMERIKSAAN PE RKARA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA ... 27

2.1 Konsep Diversi dan Restorative Justice yang Dipergunakan Di PN Surabaya ... 27

2.1.1 Pengaturan Hukum Pidana Terhadap Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika ... 33

(7)

PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DAN

PSIKOTROPIKA DI PN SURABAYA ... 46

3.1 Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak

Pelaku Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika ... 46

3.2 Analisis Vonis Rehabilitasi Terhadap Anak Pelaku Penyalahgunaan

Narkotika dan Psikotropika ... 54

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan ... 60

4.2. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN :

1. Surat Ijin Penelitian.

2. Lembar Wawancara.

(8)

NPM : 0671010015

Tempat/Tanggal Lahir : Gresik, 30 November 1986

Program Studi : Strata 1 (S1)

Judul Skripsi :

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DI PENGADILAN NEGERI

SURABAYA

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran penanganan perkara bagi anak yang melakukan tindak pidana narkotika dan psikotropika, dan untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap anak pelaku tidak pidana narkotika dan psikotropika khususnya di Pengadilan Negeri Surabaya. Penelitian ini mengunakan metode yuridis sosiologis, yaitu Menemukan fakta-fakta yang ada di lapangan kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan memperoleh data primer yang diperoleh langsung dari Pengadilan Negeri Surabaya sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan. Analisis data menggunakan metode deskriptif analisis.

Hasil penelitian yang dapat disimpulkan bahwa dalam penanganan perkara anak yang malkukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika hakim harus berpedoman pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang lebih mengutamakan perlindungan anak dalam proses peradilan. Dan sanksi hukuman yang dipergunakan dalam penerapan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika adalah sesuai dengan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak juncto undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Narkotika.

(9)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat

yang adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan pancasila

dan Undang – undang Dasar Republik Indonesia 1945 dalam wadah suatu Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dalam suasana

perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan

pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai1.

Pembangunan nasional tidak bisa lepas dari kehidupan manusia sebagai

sarana utama. Sumber daya manusia hal yang paling penting dalam

melaksanakan pembangunan karena pembangunan tidak akan berjalan tanpa

dilandasi dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu,

pembangunan sumber daya manusia menjadi prioritas. Dengan meningkatnya

kualitas sumber daya manusia, dapat menjadikan modal dalam berkompetisi

diera globalisasi saat ini.

Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya

akhir-akhir ini semakin marak di Indonesia. Adapun yang dimksud narkotika menurut

(10)

Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 1 angka 1 adalah

sebagai berikut :

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantugan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.

Tentang psikotropika itu sendiri diatur dalam Undang-undang nomor 5 tahun

1997 tentang psikotropika pasal 1 angka 1 :

Psikotropika adalah obat baik alamiah maupun sintetis bukan

narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif

pada susunan syaraf yang yang menyebabkan perubahan khas pada

aktifitas mental dan perilaku.

Narkotika dan Psikotropika apabila dipergunakan secara tepat baik dosis

maupun ukuran penggunaannya, seperti untuk pengobatan dan penelitian ilmiah

dapat memberikan manfaat bagi kepentingan manusia. Namun sebaliknya, bila

digunakan melebihi dosis atau ukuran yang benar, maka akan menimbulkan

gangguan kesehatan bagi si pemakai, bahakan lebih fatal lagi menagkibatkan

kematiaan, serta tidak stabilnya tatanan kehidupan sosial di masyarakat2.

Penyalahgunaan narkotika dan psikotropika adalah merupakan tindakan suatu

kejahatan dan mengancam keselamatan, baik fisik maupun jiwa pemakai dan

(11)

juga terhadap masyarakat di sekitar secara sosial.3 Upaya pemberantasan

narkotika dan psikotropika pun sudah sering dilakukan namun masih sedikit

untuk menghindarkan narkotika dan psikotropika dari kalangan remaja maupun

dewasa. Telah dibentuk Badan Koordinasi Pelaksanaan Instruksi Presiden

(Bakorlak Inpres). No 6 tahun 1971 yang bertugas yang menentukan

kebijaksanaan dan mengkoordinasi segenap upaya bidang penggolongan

masalah lalu lintas perdagangan gelap dan penyalahgunaan narkotika,

psikotropika, dan zat adiktif lainnya disamping masalah kenakalan remaja

lainnya.4

Penyalahgunaan narkotika dan psikotropika merupakan suatu problema

yang sangat kompleks, karena itu butuh kesadaran dari semua pihak baik dari

pemerintah, masyarakat maupun pelaku itu sendiri untuk segera sadar akan

bahaya tersembunyi, tidak kelihatan (tetapi mempunyai potensi untuk muncul)

dari penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Salah satu upaya pemerintah

untuk mengatasi masalah ini dengan membuat Undang-undang nomor 5 tahun

1997 tentang psikotropika dan Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang

Narkotika yang sekarang telah diperbarui menjadi Undang-undang nomor 35

tahun 2009 tentang narkotika.

3Ibid, hal 49

4 Pramuka Saka Bhayangkara, Wahai Kaum Muda Jangan Berpacu Dengan Penyalahgunaan

(12)

Dampak yang paling luas dan berat penyalahgunaan peredaran gelap

narkotika dan psikotropika adalah terhadap generasi muda yang merupakan aset

bangsa yang paling berharga. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional

(BNN), kasus pemakaian narkotika dan psikotropika oleh pelaku dengan tingkat

pendidikan SD hingga tahun 2007 berjumlah 12.858 korban5.

Penyebaran narkotika dan psikotropika menjadi makin mudah karena

anak Sekolah Dasar (SD) juga sudah mulai mencoba-coba menghisap rokok.

Tidak jarang pengedar narkotika dan psikotropika menyisipkan zat-zat adiktif

(zat yang menyebabkan efek kecanduan) kepada lintingan tembakaunya. Pada

awalnya mereka mengkonsumsi narkotika dan psikotropika biasanya diawali

dengan perkenalannya dengan rokok. Dari kebiasaan inilah, pergaulan mulai

meningkat, apalagi ketika anak tersebut bergabung ke dalam lingkungan

orang-orang yang sudah menjadi pecandu narkotika dan psikotropika. Awalnya

mencoba, lalu kemudian ketergantungan.

Berdasarkan fenomena tersebut, ternyata memperlihatkan betapa

banyaknya perilaku anak yang menjurus kepada tindak pidana penyalahgunaan

narkotika dan psikotropika. Mengingat masyarakat pada saat ini dapat dengan

mudah medapatkan narkotika dan psikotropika dari oknum-oknum yang tidak

bertanggung jawab. Misalnya saja dari bandar narkotika dan psikotropika yang

senang mencari mangsa di daerah sekolah, diskotik, tempat pelacuran, dan

5 Badan Narkotika Nasional (BNN), Pedoman Penyalahgunaan Narkoba Bagi Pemuda, Jakarta, 2004,

(13)

tempat-tempat perkumpulan genk. Hal itu terjadi, antara lain karena kurangnya

perhatian orang tua dan banyaknya masalah rumah tangga, sehingga

mengakibatkan anak - anak memilih narkotika dan psikotropika sebagai

pelariaanya. saat ini para orang tua sangat longggar dalam memberikan

pengawasan dan bimbingan terhadap generasi muda, karena sibuknya mencari

nafkah untuk keluarga, sehingga mereka mudah terjerumus pada obat-obatan

yang bisa merusak syaraf manusia tersebut. Para orang tua akhirnya merasa

cemas dan takut bila anaknya para orang tua murid dan berharap agar ada

komunikasi yang baik antara guru dan murid, khususnya soal perilaku anak.

Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peranan stategis yang

mempunyai cirri dan sifat khusus, selain itu anak merupakan titipan dari Tuhan

yang diberikan kepada orang tua untuk dididik dan dilindungi sebagai penerus

bangsa. Dan karena kota Surabaya adalah sebagai Ibu Kota dari Jawa Timur, di

Surabaya pasti terdapat berbagai macam kejahatan-kejahatan.

Namun terkait dengan masalah penyalahgunaan narkotika dan

psikotropika, baik Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika

maupun Undang-undang nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika hanya

menerapkan sanksi bagi pelaku tindak pidana berdasarkan golongan narkotika

dan psikotropika yang disalahgunakan.

Bagi sebagian orang, menjatuhkan pidana bagi anak dianggap tidak

(14)

anak tetap penting dilakukan, agar sikap buruk anak tidak terus menjadi

permanen sampai ia dewasa.

Bagir Manan berpendapat bahwa anak-anak di lapangan hukum pidana diperlakukan sebagai “orang dewasa kecil”, sehingga seluruh proses perkaranya kecuali di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan sama dengan perkara orang dewasa. Perlakuan yang berbeda hanya pada waktu pemeriksaan di sidang pengadilan, sidang untuk perkara anak dilakukan secara tertutup (Pasal 153 ayat (3) KUHAP) dan petugasnya (hakim dan jaksa) tidak memakai toga. Semua itu terkait dengan kepentingan fisik, mental dan sosial anak yang bersangkutan.6

Pemeriksaan perkara anak dilakukan secara tertutup sesuai dengan

ketentuan Pasal 42 ayat (3) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak (selanjutnya disebut Undang-undang Pengadilan Anak)

menyatakan bahwa proses penyidikan anak wajib dirahasiakan. Oleh karena itu

semua tindakan penyidik dalam rangka penyidikan anak wajib dirahasiakan, dan

tanpa ada kecualinya.

Tidak ada pengaturan tentang batasan umur pelaku tindak pidana,

khususnya pelaku tindak pidana yang belum dewasa. Tetapi dalam pasal 4

undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah mengatur

batasan umur dalam pengajuan anak ke persidangan.

Berdasarkan uraian diatas, maka skripsi ini ditulis dengan mengangkat

hal tersebut sebagai bahan penulisan hukum dengan judul “ PENERAPAN

SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA

6 Bagir Manan di dalam buku Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta, Djambatan,

(15)

NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DI PENGADILAN NEGERI

SURABAYA”.

1.2 Per umusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang ada di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pemeriksaan perkara terhadap anak pelaku tindak pidana

penyalahgunaan narkotika dan psikotropika di PN Surabaya ?

2. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap anak pelaku tindak pidana

penyalahgunaan narkotika dan psikotropika di PN Surabaya ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk memberikan gambaran penanganan perkara bagi anak yang melakukan

tindak pidana narkotika dan psikotropika, dan

2. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap anak pelaku tindak

pidana narkotika dan psikotropika khususnya di Pengadilan Negeri Surabaya.

1.4 Kegunaan Penelitian

1. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan teori tambahan dan

informasi khususnya pada pihak-pihak yang mengalami kasus tindak

pidana mengenai narkotika dan psikotropika.

b. Sebagai wawasan untuk memahami dan menganalisis penerapan sanksi

pidana yang dikeluarkan oleh Hakim PN Surabaya terhadap anak pelaku

(16)

2. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum,

khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum tindak pidana mengenai

narkotika dan psikotropika khususnya yang terjadi pada anak serta dapat

menambah bahan-bahan kepustakaan.

b. Menambah pustaka dibidang ilmu hukum khususnya dalam

penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.

1.5 Ka jian Pustaka

1.5.1 Penger tian Nar kotika

Di Indonesia, istilah narkotika berasal dari bahasa Inggris,

narcotics yang berarti obat bius, yang sama artinya dengan kata narcosis

dalam bahasa yunani yang artinya menidurkan atau membius. Arti

narkotika secara umum adalah zat yang dapat menimbulkan perubahan

perasaan, suasana pengamatan, atau penglihatan karena zat tersebut

mempengaruhi susunan saraf pusat.7

Narkotika menurut Soedjono Dirdjosisworo adalah sejenis zat

yang bila dipergunakan (dimasukkan dalam tubuh) akan membawa

pengaruh terhadap tubuh si pemakai, pengaruh tersebut berupa

7 Satgas Luhpen Narkoba Mabes POLRI, Penanggulangan Penyalahgunaan Bahaya Narkoba,

(17)

menenangkan, merangsang, dan menimbulkan khayalan-khayalan

(halusinasi).8

Sesuai dengan pengertian pasal 1 butir 1 Undang-undang

Narkotika yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang

berasal dari tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan

ketergantungan.

Dari pengertian diatas hal yang sama dengan narkotika dan

psikotropika adalah bentuknya sama-sama berupa zat atau obat alamiah

atau sintetis. Perbedaannya pada narkotika ada yang berasal dari tanaman,

sedang dalam pengertian narkotika dan psikotropika tidak disebutkan

demikian. Narkotika dan psikotropika pengaruhnya tertuju pada susunan

saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas terhadap aktifitas mental

dan perilaku. Sedang pada narkotika dalam pengertiannya tidak

menguraikan pengaruh seperti itu, tetapi langsung memberikan hubungan

kausalitas, bahwa narkotika dapat menurunkan kesadaran, hilangnya rasa

nyeri. Baik narkotika maupun psikotropika sama-sama menimbulkan akibat

pada ketergantungan.9

8

Soedjono Dirdjosisworo, Hukum tentang Narkotika di Indonesia, Karya Nusantara, Bandung, 1990, hlm 9.

9

(18)

1.5.2 Penggolongan Nar kotika

Dalam Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang narkotika dalam

pasal 2 ayat (2) disebutkan, bahwa narkotika digolongkan menjadi 3

golongan, antara lain :

1. Narkotika Golongan I

Adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam

terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan

ketergantungan.

Yang termasuk narkotika golongan I ada 26 macam. Yang

popular disalahgunakan adalah tanaman Genus Cannabis dan

kokaina. Cannabis di Indonesia dikenal dengan nama ganja atau

biasa disebut anak muda jaman sekarang cimeng, Sedangkan untuk

Kokaina adalah bubuk putih yang diambil dari daun pohon koka

dan menjadi perangsang yang hebat.10

Jenis-jenis narkotika golongan I seperti tersebut diatas

dilarang untuk diproduksi dan/atau digunakan dalam proses

produksi kecuali dalam jumlah terbatas untuk kepentingan tertentu.

Hal ini diatur pada pasal 9 ayat 1 Undang-undang No.22 tahun

1997 tentang Narkotika :

10 O.C. Kaligis, Narkoba dan Peradilannya di Indonesia (Reformasi hukum Pidana melalui

(19)

Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan

dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas

untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan

dengan pengawasan yang ketat dari Menteri Kesehatan.”

Dalam hal penyaluran narkotika golongan I ini hanya dapat

dilakukan oleh pabrik obat-obatan tertentu dan/atau pedagang besar

farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan untuk

kepntingan pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana

dinyatakan dalam pasal 37 Undang-undang No.22 tahun 1997

tentang Narkotika.

2. Narkotika golongan II

Menurut pasal 2 ayat (2) huruf b, narkotika golongan ini

adalah narkotika yang berkhsasiat dalam pengobatan dan

digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan

ketergantungan.

Jenis narkotika golongan II yang paling populer digunakan

adalah jenis heroin yang merupakan keturunan dari morfin. Heroin

dibuat dari pengeringan ampas bunga opium yang mempunyai

kandungan morfin dan banyak digunakan dalam pengobatan batuk

dan diare. Ada juga heroin jenis sintetis yang digunakan untuk

(20)

dengan kadar lebih rendah dikenal dengan sebutan putauw.11

Putauw merupakan jenis narkotika yang paling sering

disalahgunakan. Sifat putauw ini adalah paling berat dan paling

berbahaya. Putauw menggunakan bahan dasar heroin dengan kelas

rendah dengan kualitas buruk dan sangat cepat menyebabkan

terjadinya kecanduan.

Jenis heroin yang juga sering disalahgunakan adalah jenis

dynamite yang berkualitas tinggi sedangkan brown atau Mexican

adalah jenis heroin yang kualitasnya lebih rendah dari heroinputih

atau putauw.

3. Narkotika golongan III

Narkotika golongan III sebagaimana yang dijelaskan dalam

pasal 2 ayat (2) huruf c Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang

Narkotika adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan

banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan

ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan dalam

ketergantungan. Kegunaan narkotika ini adalah sama dengan

narkotika golongan II yaitu untuk pelayanan kesehatan dan/atau

untuk pengembangan ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara

memproduksi dan menyalurkannya yang diatur dalam satu

(21)

ketentuan yang sama dengan narkotika golongan II. Salah satu

narkotika golongan II yang sangat populer adalah kodein. Kodein

ini ditemukan pada opium mentah sebagai kotoran dari sejumlah

morfin.

Perbedaan mendasar dari ketiga golongan narkotika ini

adalah sebagai berikut:

a. Narkotika Golongan I : berguna untuk ilmu pengetahuan dan

tidak digunakan untuk terapi dengan resiko ketergantungan

sangat tinggi.

b. Narkotika Golongan II : Berguna untuk pengobatan dan

digunakan sebagai alternative pengobatan terakhir serta

sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dangan resiko

ketergantungan tinggi.

c. Narkotika Golongan III : berguna untuk pengobatan, terapi dan

pengembangan ilmu pengetahuan dengan resiko ketergantungan

rendah.12

1.5.3 Penger tian Psikotr opika

Adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan

narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada

susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas

(22)

mental dan perilaku. Menurut Nanizar Zaman Joenoes, Psikotropika adalah

zat atau bahan atau obat yang mempengaruhi psyche atau keadaan jiwa.

Keadaan tersebut seperti:

1. Keadaan jiwa diubah menjadi tenang, ada perasaan nyaman,

tertidur.

2. Dalam hal lain pemakai menjadi gembira, hilang rasa sedih dan

susah serta perasaan senang (europhia).

3. Bahan atau obat yang memberikan halusinasi yaitu dimana pemakai

melihat atau merasakan sesuatu lebih indah dari sebenarnya yang

dihadapi.13

Zat atau obat ini baru diperkenalkan sejak lahirnya suatu cabang

ilmu farmakologi yakni psikorfarmakologi yang khusus mempelajari

psikotropika. Dalam United Nation Cofrence for Adoption of Protokolon

Psychotropic Substence disebutkan batasan-batasan zat psikotropik adalah

bentuk bahan yang memiliki kapasitas yang menyebabkan :

a. Keadaan ketergantungan;

b. Depresi dan stimulant susunan saraf pusat (SSP)

c. Menyebabkan halunisasi;

d. Menyebabkan gangguan fungsi motorik atau persepsi atau mood.14

(23)

1.5.4 Penggolongan Psikotropika

Undang-undang Psikotropika No. 5 tahun 1997 pasal 2 ayat (2),

membedakan jenis-jenis psikotropika menjadi 4 golongan, yaitu :

a) Psikotropika Golongan I

b) Psikotropika Golongan II

c) Psikotropika Golongan III

d) Psikotropika Golongan IV

Adanya penggolongan tentang jenis-jenis psikotropika tersebut,

karena yang diatur dalam Undang-undang No.5 tahun 1997 hanyalah

psiktropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma

ketergantungan.

Adapun penggolongan jenis psikotropika adalah sebagai berikut:

1. Psikotropika golongan I

Adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk

kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi

serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma

ketergantungan. Misalnya Bromlafetamina, efisiklidina,

etriptamia, katinona, psolosibina, rolisiklidina.

(24)

2. Psikotropika golongan II

Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang

berkhasiatuntuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi

dan/ atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi

kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Antaralain,

Amfetamina, deksamfetamina, fenetilina, fenmerazina,

fensilikdina, levamfetamina, meklokualon, metamfetamina,

rasemat, metakualon, metilfenidat, sekobarbita, zipepprol.

3. Psikotropika golongan III

Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang

berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi

dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi

sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Misalnya

amorbirtal, buprenorfina, butalbital, flunitrazepam, Katina,

glutetimida, pentazosina, pentobarbital, siklobarbital.

4. Psikotropika golongan IV

Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang

berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi

dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi

ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Seperti

(25)

bromazepam, brotizolam, diazepam, etinamat, kamazepam,

lefetamina, nimetazepam, triazolam, vinilbital, dan lain-lain.15

1.5.6 Penger tian Anak

Anak merupakan generasi muda penerus cita-cita bangsa dan

merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Anak dalam

pemaknaan yang umum mendapat perhatian baik dalam bidang ilmu

pengetahuan, agama, hukum, dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak

semakin aktual dalam lingkungkan sosial.

Kedudukan anak dalam lingkungan hukum hukum sebagai subjek

hukum ditentukan dari sistem hukum terhadap anak sebagai kelompok

masyarakat yang berada di dalam status hukum dan tergolong tidakmampu atau

di bawah umur. Maksud tidak mampu karena kedudukan akal dan pertumbuhan

fisik yang sedang berkembang dalam diri anak yang bersangkutan. Meletakkan

anak sebagai subjek hukum yang lahir dari proses sosialisasi berbagai nilai

kedalam peristiwa hukum pidana maupun hubungan kotrak yang berada dalam

lingkup hukum perdata menjadi mata rantai yang tidak dapat dipisahkan.16 Anak

merupakan potensi sumber daya manusia di masa depan .

15

Gat ot Supramono, op .cit., hlm 19-23

16

(26)

1.5.6.1 Pengertian anak menurut ketentuan undang-undang nomor 3 tahun 1997

tentangpengadilan anak pasal 1 angka 1 dan angka 2 perihal ketentuan

umum adalah sebagi berikut :

Pasal 1 angka 1

Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8

(delapan) tahun tetapi belum mancapai umur 18 (delapan belas) tahun dan

belum pernah kawin.

Pasal 1 angka 2

Anak nakal adalah :

a. anak yang melakukan tindak pidana atau,

b. anak yang melakukan tindakan dinyatakan terlarang bagi anak, baik

menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum

lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Berdasarkan pasal-pasal yang telah ditulis sebagaimana hal diatas, maka

apabila yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan

psikotropika masih belum dewasa, maka yang menjadi acuan adalah

undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak.

1.5.6.2 Pengertian anak menurut ketentuan undang-undang nomor 23 tahun 2002

tentang Undang – undang Perlindungan anak pasal 1 angka 1 adalah sebagai

(27)

Pasal 1 angka 1

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan

dan perkembangan fisik, mental, sosial secara utuh yang selaras dan

seimbang. Maka dari itu, dalam hal pengenaan sanksi tindak pidana yang

dilakukan oleh orang yang dewasa dan orang yang belum dewasa harus

dibedakan.

1.5.7 Pr oses Pemer ikasaan

Pemeriksaan perkara anak dilakukan secara tertutup sesuai dengan

ketentuan Pasal 42 ayat (3) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak (selanjutnya disebut Undang-undang Pengadilan Anak)

menyatakan bahwa proses penyidikan anak wajib dirahasiakan. Oleh

karena itu semua tindakan penyidik dalam rangka penyidikan anak wajib

dirahasiakan, dan tanpa ada kecualinya.

15.8 Upaya Hukum

Upaya hukum ialah suatu usaha setiap pribadi atau badan hukum

yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh

keadilan dan perlindungan atau kepastian hukum, menurut cara-cara yang

ditetapkan undang-undang.

Upaya hukum yang dapat ditempuh, KUHP membedakan upaya

(28)

a. Upaya hukum biasa, upaya hukum biasa terdiri dari tiga bagian (di

dalam KUHP hanya diatur mengenai kasasi dan banding), yaitu :

1. Verzet.

Verzet adalah perlawanan terhadap putusan diluar

hadirnya terdakwa (verstek) yang hanya menyangkut

perampasan kemerdekaan terdakwa. Verzet diajukan

pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam waktu dan hari

sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa.

2. Banding.

Banding adalah mohon supaya perkara yang telah

diputus oleh pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang oleh

pengadilan yang lebih tinggi (tingkat banding), karena merasa

belum puas dengan keputusan pengadilan tingkat pertama.

3. Kasasi.

Kasasi artinya pembatalan putusan oleh Mahkamah

Agung (MA). Sedangkan pengertian pengadilan kasasi ialah

Pengadilan memeriksa apakah judex fatie tidak salah dalam

melaksankan peradilan.

b. Upaya hukum luar biasa untuk upaya hukum luar biasa (istimewa)

(29)

1. Rekes Sipil (Peninjauan Kembali).

Kata penijauan kembali diterjemahkan dari kata

“Herziening”, M. H. Tirtaamijaya menjelaskan Herziening

sebagai berikut : itu adalah sebagai jalan utnuk memperbaiki

suatu putusan yang telah menjadi tetap jadinya tidak dapat

diubah lagi dengan maksud memperbaiki sesuatu kealpaan

hakim yang merugikan si terhukum, kalau perbaikan itu

dilakukan maka ia harus memenuhi syarat, yakni ada sesuatu

keadaan yang pada pemeriksaan hakim, yang tidak diketahui

oleh hakim itu, jika ia mengetahui keadaan itu, akan

memberikan putusan lain.

2. Dender Verzet.

Dender Verzet terjadi apabila dalam suatu putusan

pengadilan merugikan kepentingan dari pihak ketiga, maka

pihak ketiga tersebut dapat mengajukan perlawanan terhadap

putusan tersebut. dasar hukumnya adalah 378-384 Rv dan

pasal 195 (6) HIR. Dikatakan sebagai upaya huku luar biasa

karena pada dasarnya suatu putusan hanya mengikat pihak

ketiga (tapi dalam hal ini, hasil putusan akan mengikat orang

lain/ pihak ketiga, leh sebab itu dikatakan luar biasa).

Denderverzet diajukan ke pengadilan Negeri yang memutus

(30)

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 J enis Penelitian

Tipe penelitian skripsi ini adalah secara yuridis sosiologis, yaitu meneliti

perundang-undangan dan kepustakaan di bidang hukum yang berkaitan dengan

masalah diatas.

Penelitian hukum sosilogis mengungkapkan hukum yang hidup (living

law) dalam masyarakat melalui perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat.

Empirical law research, yaitu penelitian hukum positif tidak tertulis mengenai

perilaku anggota masyarakat dalam hubungan hidup bermasyarakat. Penelitian

hukum empiris memperoleh data dari data primer yaitu data yang diperoleh

langsung dari Pengadilan Negeri sebagai sumber pertama dengan melalui

penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui pengamatan dan wawancara.

Penelitian hukum sebagai penelitian sosiologis (empiris) dapat direalisasikan

kepada penelitian terhadap efektivitas hukum yang berlaku ataupun penelitian

terhadap identifikasi hukum.

1.6.2 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer,

(31)

1.6.2.1 Data primer yaitu berupa data berupa subyek hukum yang langsung

sebagai sumber informasi, seperti panitera, pegawai pemerintah, tokoh

masyarakat adat dan sebagainya17.

1.6.2.2 Data sekunder yaitu data yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan

hukum skunder dan bahan hukum tersier, yaitu dapat berupa sebagai

berikut :

1. Sumber Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya

mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada

kaitannya dengan permasalahan yang dibahas.

2. Sumber bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya

menjelaskan bahan hukum primer, dimana bahan hukum sekunder

berupa buku literatur, hasil penelitian para pakar dan jurnal hukum

untuk memperluas wawasan penulis mengenai bidang penulisan.

3. Sumber bahan hukum tersier adalah merupakan bahan hukum sebagai

tambahan pelengkap dari kedua bahan sebelumnya.

1.6.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

studi kepustakaan, adapun maksudnya adalah sebagai berikut :

17

(32)

1.6.3.1 Penelitian kepustakaan

Penelitian kepustakaan adalah bentuk penelitian dengan cara

mengumpulkan dan memerikasa atau menelusuri dokumen-dokumen atau

kepustakaan yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang

dibutuhkan dalam penelitian18.

Dalam hal ini penulis akan menganalisa perbandingan pelaksanaan

yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Surabaya dan mengumpulkan

literatur-literatur hukum, internet, serta semua bahan yang terkait dengan

permasalahan yang dibahas.

1.6.3.2 Wawancara

Wawancara adalah suatu proses interaksi dan komunikasi yang dilakukan

oleh pewawancara dan terwawancara untuk memperoleh informasi

lengkap.

Adapun prakteknya nanti penulis akan melakukan wawancara

langsung dengan pegawai dan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya.

1.6.4 Analisis Data

Pengolahan data menggunakan metode diskriptif analisis artinya data

yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data

sekunder. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan stuktur hukum positif yaitu suatu

kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan

(33)

hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang

menjadi objek kajian. Setelah data tersebut rampung, maka penulis

menganalisanya dengan sistematik terhadap data yang berbentuk kualitatif,

guna memudahkan pemecahan masalah yang hendak dilaksanakan.

1.7 Sistematika Penulisan

Skripsi ini nantinya disusun dalam empat bab. Tiap-tiap bab dibagi-bagi

beberapa subbab yang saling mendukung. Bab-bab yang tersusun tersebut

nantinya merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan antara yang satu

dengan yang lain.

Bab Pertama, Pendahuluan. Didalamnya menguraikan tentang latar

belakang masalah, kemudian berdasarkan masalah tersebut maka dirumuskan

permasalahan. Selanjutnya disajikan tujuan dan manfaat penlitian sebagai

harapan yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Pada bagian kajian pustaka

yang merupakan landasan dari penulisan skripsi. Kemudian diuraikan beberapa

konsep definisi yang berkaitan dengan judul penelitian. Selanjutnya diuraikan

tentang metode penelitian yang salah satu syarat dalam setiap penelitian. Intinya

mengemukakan tentang tipe penelitian dan pendekatan masalah, sumber bahan

hukum, langkah penelitian, dan bab ini diakhiri dengan sistematika penulisan.

Bab Kedua, menguraikan rumusan masalah yang pertama tentang

pemeriksaan perkara terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan

psikotropika, bab ini terdapat tiga subbab yang pertama mengenai Konsep

(34)

menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana),

yang kedua mengenai ketentuan hukum tentang tindak pidana yang dilakukan

oleh anak dan yang ketiga mengenai proses pemeriksaan dan peradilan terhadap

anak pelaku penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.

Bab Ketiga, menguraikan rumusan masalah yang kedua tentang

bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap anak pelaku tindak pidana

penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, bab ini terdapat dua subbab yang

pertama mengenai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap

anak pelaku penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dan analisis vonis

rehabilitasi terhadap anak pelaku penyalahgunaan narkotika dan psikotropika .

Bab Keempat, Berdasar uraian-uraian dalam bab dua dan bab tiga diatas

tentang jawaban dari rumusan masalah yang dijadikan obyek penulisan,

selanjutnya ditarik kesimpulan dan saran dalam bab keempat sebagai penutup.

1.8 Lokasi Penelitian

Sesuai dengan judul penelitian, lokasi penelitian adalah di Pengadilan

Negeri Surabaya karena :

1. Surabaya ibu kota jawa timur dan merupakan kota Metropolis kedua setelah

Jakarta.

2. Sebagai Ibu Kota dari Jawa Timur di Surabaya pasti terdapat berbagai macam

kejahatan-kejahatan. Alasan-alasan tersebut yang menjadikan keinginan

(35)

2.1 Konsep Diversi dan Restorative Justice yang Dipergunakan di PN Sur abaya

Perlindungan hukum bagi anak dalam proses peradilan tidak dapat

dilepaskan dari apa yang sebenarnya menjadi tujuan atau dasar pemikiran

peradilan anak. Tujuan dasar pemikiran dari peradilan anak jelas tidak dapat

dilepaskan dari tujuan utama untuk mewujudkan kesejahteraan anak yang pada

dasarnya merupakan bagian integral dari kesejahteraan sosial. Bahwasanya

kesejahteraan atau kepentigan anak berada dibawah kepentingan masyarakat,

tetapi justru harus dilihat bahwa mendahulukan atau mengutamakan kesejahteraan

atau kepentingan anak itu pada hakikatnya merupakan murupakan bagian usaha

dari mewujudkan kejahteraan sosial.1

Menurut konsep diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus

anak yang berhadapan dengan hukum, karena sifat ketidakmampuan anak,

pemberian hukum terhadap anak bukan semata-mata untuk menghukum tetapi

mendidik dan memperbaiki kembali. Menghindarkan anak dari eksplorasi dan

kekerasan, akan lebih baik diversi dan apabila dihukum maka tidak baik.

(36)

Selain itu diversi juga dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu

kesempatan pada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui

jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat diversi berupaya

memberikan keadilan kepada anak yang terlanjur melakukan tindak pidana

sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum2.

Perlindungan anak dalam proses peradilan harus juga dapat

menggambarkan adanya jaminan-jaminan khusus bagi anak di bidang hukum dan

peradilan. Jaminan hukum yang bersifat khusus tidak harus bertentangan hukum

yang umum yang artinya, jaminan hukum yang berlaku bagi setiap orang pada

umumnya juga harus tetap berlaku pada anak.

Oleh karena itu di dalam hak-hak anak (rights of juveniles) bahwa

jaminan-jaminan procedural yang pokok/ mendasar (basic procedural

safeguards) harus dijamin pada setiap tahap proses peradilan anak yaitu, antar

lain 3:

a. Hak untuk diberitahukan tuduhan,

b. Hak untuk tetap diam,

c. Hak memperoleh penasehat hukum,

d. Hak untuk hadirnya orang tua/ wali,

e. Hak untuk menghadapkan saksi dan pemeriksaan siding para saksi,

2 Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2009, hal 1

3 Agung Wahyono, Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak Di Indonesia, Sinar Grafika,

(37)

f. Hak untuk banding ke tingkat yang lebih atas,

Anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika

sangat dipengaruhi beberapa faktor. Pada umumnya secara keseluruhannya

faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terutama anak dan remaja melakukan

penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dapat dibedakan atas faktor internal

dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dari

dalam anak itu sendiri, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari

luar dirinya4.

Penyebabnya sangatlah kompleks akibat interaksi sebagai faktor,

diantaranya:

1. Faktor Internal :

Kebanyakan dimulai pada saat anak menjadi remaja, sebab pada saat itu

anak sedang mengalami perubahan biologis, psikologi maupun sosial yang pesat.

Anak yang beranjak remaja mempunyai resiko yang lebih besar menggunakan

narkotika dan psikotropika karena mereka mempunyai sifat-sifat yang

diantaranya:

a. Cenderung memberontak,

b. Memiliki gangguan jiwa lain, misalnya : depresi, cemas,

c. Perilaku yang menyimpang dari aturan atau norma yang ada,

4 Suhasril, Moh. Taufik Makaro, Moch . Zakky, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta,

(38)

d. Kurangnya percaya diri,

e. Mudah kecewa, agresif, dan destruktif,

f. Murung, pemalu, pendiam

g. Merasa bosan dan jenuh,

h. Keinginan untuk bersenang-senang yang berlebihan,

i. Keinginan untuk mencoba yang sedang mode

j. Identitas diri yang kabur

k. kemampuan komunikasi yang rendah

l. Putus sekolah

m. Kurang menghayati iman dan kepercayaan.

2. Faktor eksternal :

Faktor lingkungan meliputi : faktor keluarga, lingkungan pergaulan baik

sekitar rumah, sekolah, teman sebaya, maupun masyarakat.

Lingkungan keluarga :

a. Komunikasi orang tua dengan anak yang kurang baik,

b. Hubungan kurang harmonis,

c. orang tua yang bercerai, kawin lagi

d. Orang tua terlampau sibuk

e. Orang tua otoriter

f. Kurangnya orang yang menjadi teladan dalam hidupnya

(39)

Lingkungan sekolah :

a. Sekolah yang kurang disiplin,

b. Sekolah terletak dekat dengan tempat hiburan,

c. Adanya murid pengguna narkotika dan psikotropika.

Lingkungan teman sebaya :

a. Berteman dengan penyalahguna

b. Tekanan atau ancaman dari teman.

Lingkungan masyarakat atau sosial :

a. Lemahnya penegak hukum,

b. Situasi politik, sosial, dan ekonomi yang kurang mendukung.

Faktor-faktor tersebuat diatas memang tidak selalu membuat seseorang

kelak menjadi penyalahguna narkotika dan psikotropika. Akan tetapi makin

mengatur secara diversi. Tetapi adanya pasal 5 ayat 2 dalam undang-undang

nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak menyatakan “ Apabila menurut hasil

pemerikasaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana ayat (1) masih

dapat dibina oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan

kembali anak tersebut kepada tua, wali atau orang tua asuhnya “.Pendapat

penyidik menurut pasal 5 ayat 2 ini yang merupakan bentuk diversi. Diversi

adalah suatu bentuk pembelokan atau penyimpanganan penanganan anak pelaku

deliquen diluar jalur yustisial konvensional.

Seperti dikatakan dalam Comentary rule 11 Resolusi PBB40/33. Diversi

(40)

ini, diversi dapat mengehindarkan anak dalam proses stigmatisasi yang lazimnya

tejadi dalm proses pemidanaan anak lewat sistem peradilan pidana anak.

Pengadilan Negeri Surabaya menerapkan psosedur khusus dan upaya

diversi dalam kasus anak adalah dengan menaruh perhatian yang seksama atas

penanganan perkara anak meliputi :

1. Menyelenggarakan penegendalian proses administrasi khusus jalannya

peradilan anak dengan jalan memonitor pada saat perkara anak

dilimpahkan sampai dengan vonis hakim dalam buku bantu register

perkara anak.

2. Menyelenggarakan proses peradilan anak dengan menyediakan ruang

khusus persidangan dan ruang tunggu, sebagai bentuk keterpaduan

pelaksanaan hak-hak.

3. Menempatkan penjatuhan pidana (pemenjaraan) kepada anak yang terlibat

tindak pidana sebagai langkah terakhir.

4. Pengawasan kinerja anak melalui minutasi perkara anak dalam forum rapat

bulanan.

5. Pengawasan terhadap pelaksanaan hak-hak anak dalam proses ataupun

pengawasan pelaksanaan puusan oleh hakim pengawas lembaga

permasyarakatan yang ditunjuk. 5

5

(41)

Sasaran akhir konsep peradilan restorative ini mengharapkan jumlah

anak-anak yang ditangkap, ditahan, dan divonis penjara, mengahapuskan stigma

dan mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat

berguna kelak di kemudian hari, pelaku pidana anak dapat menyadari

kesalahannya, sehingga tidak mengulangi perbuatannya, mengurangi beban kerja

polisi, jaksa, rutan, pengadilan, dan lapas, menghemat keuangan negara,

memberdayakan orang tua dan masyarakat dalam mengatasi kesalahan anak,

pengintregrasian kembali anak ke dalam masyarakat.

2.1.1 Pengatur an Huk um Pidana Ter hadap Penyalahgunaan Nar kotika dan

Psikotr opika

Perkembangan narkotika dan psikotropika secara historis diawali

dengan peredaran narkotika, yang diatur dalam Verdovende Middelen

Ordonnantie (Staatsblad No.278 jo No 536). Dalam kehidupan

bermasyarakat, aturan ini lebih dikenal dengan sebutan peraturan obat bius.

Peraturan perundang-undangan ini materi hukumnya hanya mengatur

mengenai perdagangan dan peredaran narkotika dan psikotropika.6

Diundangkannya Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika

karena didasari oleh beberapa faktor yang salah satunya ialah semakin

banyaknya korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat

membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

6 Suhasril, Moh. Taufik Makaro, Moch . Zakky, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta,

(42)

Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan

Undang-undang nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika adalah

merupakan salah satu Undang-undang yang mengatur tindak pidana di luar

KUHP. Dalam pasal 63 ayat 2 KUHP menyebutkan, jika suatu perbuatan

masuk dalam suatu aturan pidana bersifat umum, diatur pula dalam aturan

yang bersifat khusus, maka yang bersifat khusus itu yang diterapkan.

Menurut Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika,

definisi narkotika terkandung dalam pasal 1 angka 1 yakni sebagai berikut :

Narkotika adalah zat atau obat yang betasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan.

Jenis-jenis Narkotika dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009

tentang Narkotika, pada pasal 6 bahwa narkotika digolongkan menjadi :

a. Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya digunakan untuk

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam

terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan

ketergantungan. yakni diantaranya Tumbuhan Paper somniferum I,

Opium mentah yaitu getah yang membeku sendiri. diperoleh dari buah

tanaman Papaver .

Opium masak terdiri dari : candu, jicing, jicingkon, tumbuhan coca,

(43)

b. Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan

digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi

dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta

mempuyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan, beberapa

diantaranya adalah morphine,exgonina, petidine.

c. Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan

banyak digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan

ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan

ketergantungansalah satu diantaranya adalah codein alkaloida berupa

serbuk putih atau dalam benruk tablet, terkandung dalam opium atau

sintetis dari morfine dan digunakan sebagai peredam batuk dan sebagai

analgesic.

Menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang

Psikotropika, memberikan definisi psikotropika sebagai berikut :

Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis

bukan narkotika, berkhasiat psikoaktif malalui pengaruh selektif pada

susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas

mental dan perilaku.

Undang-undang Psikotropika juga mengatur penggolongan jenis

psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma

(44)

a. Psikotropika Golongan I adalah Psikotropika yang hanya dapat

digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam

terapi, serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma

ketergantungan.

b. Psikotropika Golongan II adalah Psikotropika yang berkhasiat

pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan

ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan

sindroma ketergantungan.

c. Psikotropika Golongan III adalah Psikotropika yang berkhasiat

pengobatan dan banyak digunaka dalam terapi dan/ atau untuk tujuan

ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan

sindroma ketergantungan.

d. Psikotropika Golongan IV adalah Psikotropika yang berkhasiat

pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/ atau untuk

tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan

mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang

Psikotropika hanyalah psikotropika golongan III dan golongan IV karena

psikotropika golongan I dan golongan II dengan adanya pasal 153

Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, maka golongan I dan

(45)

Mengingat akibat yang dapat ditimbulkan oleh psikotropika,

khususnya yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma

ketergantungan apabila disalahgunakan untuk maksud selain digunakan

selain digunakan pelayananan kesehatan dan/ atau ilmu pengetahuan, maka

diperlukan suatu perangkat hukum untuk mengendalikan psikotropika

secara khusus. Selain itu, Indonesia telah meratifikasi Konvesi Psikotropika

1971. Oleh karena itu, pemerintah wajib memberlakukan mengendalikan

psikotropika secara khusus sesuai denagn Konvensi tersebut.

Tujuannya dibuat Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang

Narkotika dan Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika

adalah :

1. menjamin ketersediaan baik Narkotika maupun Psikotropika untuk

pelayanan kesehatan dan/ atau pengembanagan ilmu pengetahuan dan

teknologi.

2. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari

Narkotika dan Psikotropika.

3. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Psikotropika

4. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi

penyalahguna dan pecandu Narkotika dan Psikotropika.

Oleh sebab itu, semua rumusan delik dalam kedua undang-undang

(46)

dari penanaman, produksi, penyaluran, dan lalu lintas peredaran sampai ke

pemakaiannya.

Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan

Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropikamengatur secara

khusus ketentuan-ketentuan pidana sebagaimana yang diatur dalam bab XV

pasal 111 sampai dengan pasal 148 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009

tentang Narkotika, serta dalam Bab XIV pasal 59 sampai dengan pasal 72

Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Semua tindak

pidana yang diatur dalam undang-undang tersebut merupakan suatu

kejahatan, alasannya adalah bahwa narkotika dipergunakan untuk

pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan

diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan

mengingat besarnya mengingat akibat yang ditimbulkan dari pemakaian

narkotika secara tidak sah.7

Penyalahgunaan adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis

narkotika dan psikotropika secara berkala atau teratur diluar indikasi medis,

sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis, gangguan fungsi

sosial.

Menurut ketentuan umum Undang-undang Nomor 35 tahun 2009

tentang Narkotika, definisi penyalahguna adalah orang yang menggunakan

7 Suhasril, Moh. Taufik Makaro, Moch . Zakky, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta,

(47)

narkotika tanpa hak dan melawan hukum. Sedangkan menurut Taufik

Makaro, penyalahgunaan narkotika dan psikotropika adalah merupakan

suatu tindakan yang mengancam keselamatan, baik fisik maupun jiwa si

pemakai dan juga asyarakat di sekitar secara sosial, sehingga bahaya akibat

dari penyalahgunaan narkotika dan psikotropika tersebut dapat bersifat

bahaya pribadi bagi si pemakai dan dapat pula berupa bahaya sosial

terhadap masyarakat dan lingkungan.8

Penyalahgunaan narkotika dan psikotropika merupakan suatu

proses yang makin meningkat dari taraf coba-coba ke taraf penggunaan

untuk hiburan, penggunaan situasional, penggunaan secara teratur sampai

pada ketergantungan. Memasuki taraf coba-coba bisa langsung terseret

kepada taraf ketergantungan oleh karena sifat narkotika dan psikotropika

yang mempunyai daya menimbulkan ketergantungan yang tinggi.

2.1.2 Ketentuan Hukum tentang Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Anak

Menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak dalam pasal 1 angka (1) dijelaskan bahwa anak adalah seseorang yang

belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan.

Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk

dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud dengan batas usia anak

(48)

adalah pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam

status hukum sehingga anak tersebut beralih menjadi usia dewasa atau menjadi

seorang subyek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap

perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak itu.

Konsep tentang anak nakal manurut Soedarto menganut penggunaan

istilah “ Juvenile Deliuency ” yang didalamnya meliputi tindak pidana yang

dilakukan oleh anak–anak, sehingga dapat disimpulakan bahwa tindak pidana

anak-anak yang merupakan bagian dari kenakalan anak-anak/ remaja. Dalam

istilah yang lazim, peerkataan “ Juvenile “ sering digunakan sebagai istilah lain

dari anak-anak. Terhadap istilah ini ada dua penafsiran dalam pengertiaanya :

pertama pengertian anak untuk pertimbangan aparat penegak hukum (Polisi,

Jaksa, Hakim) dalam rangka menerapkan kebijakan pidana dalam proses

peradilan anak. Dari yang pertama ini hanya dimaksudkan untuk membedakan

antara pelaku pidana yang masih anak-anak ( non adult offender ) dengan pelaku

tindak pidana yang sudah dewasa ( adult offender ). Kemudian pengertian yang

kedua adalah pengertian remaja, sebutan ini biasanya didasarkan pada kondisi

psikologis seseorang, dimana pada usia belasan tahun sering disebut sebagai

remaja. Namun demikian pengertian inipun tidak semua orang dapat

menerimanya, karena pengertian Juvenile “ terlalu umum dan mencakup

semua orang yang masih muda usianya.9

(49)

Sedangkan Deliquency artinya doing wrong, terabaikan / mengabaikan,

yang kemudian diperluas artinya menjadi sosial, kriminal, pelanggaran

peraturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi. 10

Yang dimkasud anak menurut ketentuan pasal 1 angka 1 (satu)

Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah orang yang dalam

perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum

mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan

dalam pasal 1 butir 2 (dua) dijelaskan bahwa yang dimaksud anak nakal adalah :

a. Anak yang melakukan tindak pidana;

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik

menurut peraturan perundang-undangan maupaun peraturan hukum lain yang

hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Tindak pidana anak mengandung pengertian perbuatan-perbuatan yang

merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak, yang melanggar

nilai-nilai atau norma-norma yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang dapat

merugikan orang lain atau masyarakat tersebut, biasanya disebut dengan

Juvenile Deliuency ” . Tindak pidana yang dimaksud tersebut merupakan tindak

pidana baik yang berada dalam KUHP. Tindak pidana yang diatur diluar KUHP

diantaranya diatur dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang

Narkotika dan Undang-undang 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

(50)

2.2 Pr oses Pemer iksaan Per kar a ter hadap Anak Pelaku Penyalahgunaan

Nar kotika dan Psikotr opika di PN Sur abaya

Kebijakan khusus dalam prosedur beracara terhadap anak

penyalahgunaan narkotika dan psikotropika berdasar Undang-undang Nomor 3

tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diantaranya adalah pemeriksaan perkara

anak dilakukan dalam sidang tertutup untuk melindungi kepentingan anak. Hal

ini dimaksudkan agar tercipta suasana tenang dan penuh kekeluargaan sehingga

anak dapat mengutarakan segala peristiwa dan segala perasaanya secara terbuka

dan jujur selama siding berlangsung. Pengaturan tersebur sejalan dengan

pemikiran pasal 8 Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak, yang mengatur bahwa :

(1) Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup,

(2) Dalam hal tertentu dan dipandang pada pemeriksaan perkara anak

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dalam sidang

terbuka,

(3) Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh

anak yang bersangkutan beserta orang tua, wali atau orang tua asuh

penasehat hukum, dan pembibing kemasyarakatan,

(4) Selain mereka yang disebut dalam ayat (3), orang-orang tertentu atas izin

Hakim atau Majelis Hakim dapat menghadiri persidangan sebagaimana

(51)

(5) Pemberitaan mengenai pekara anak mulai sejak penyidikan sampai saat

sebelum pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari

nama anak, orang tua, wali, atau orang tua asuh,

(6) Putusan pengadilan dalam memeriksa perkara anak sebagaimana

dimaksud dalam pasal (1) diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Kebijakan lain terkait dengan prosedur beracara terhadap anak pelaku

penyalahguna narkotika dan psikotropika berdasar Undang-undang Nomor 3

tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah hakim yang memeriksa dan yang

memutus perkara anak dalam tingkat pertama, banding hingga kasasi adalah

hakim tunggal. Namun dalam hal terentu dan dipandang perlu ketua

pengadilan negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara dengan hakim

majelis.

Kehadiran hakim tunggal dalam hal ini tidak bertentangan dengan

Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kehakiman. Karena pasal 15 ayat (1) undang-undang tersebut disebutkan

bahwa, “ Semua pengadilan memeriksa dan memutus dengan

sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali apabila undang-undang menentukan

lain “. Sehingga, pengecualian disini membuka kemungkinan untuk

pemeriksaan oleh hakim tunggal. Beberapa keuntungan dengan menggunakan

hakim tunggal ini, antaranya lain sebagai berikut :

a. Perkara diselesaikan dengan lancar, jika oleh majelis hakim akan

(52)

b. Hakim tunggal akan dituntut untuk lebih bertanggung jawab secara

pribadi, sedangkan majelis hakim tidak,

c. Dengan hakim tunggal anak tidak menjadi bingung, sedangkan dengan

majelis hakim kemungkinan menjadi bingung berhadapan dengan 3 (tiga)

orang sehingga jiwanya cenderung tertekan,

d. Kerjasama hakim tunggal dengan pejabat-pejabat pengawsan dari sosial

juga lebih mudah diadakan, sehingga putusan yang diberikan akan lebih

baik dan tepat,

e. Hakim akan dapat mengikuti perkembangan anak yang sedang menjalani

pidananya, sehingga dengan tepat dapat mengambil ketetapan dalam hal

diajukanya permohonan pelepasan bersyarat,

f. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan hakim tunggal adalah

pilihan yang paling tepat digunakan dalam sidang anak.11

Selain itu, berdasar wawancara di PN Surabaya dengan Hakim

Dedeh Suryanti, SH dalam ketentuan pasal 6 Undang-undang Nomor 3

tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur bahwa Hakim, Penuntut

Umum, Penyidik, dan Penasehat Hukum serta petugas lainnya dalam

Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas.Hakim dalam

memeriksa perkara anak dilakukan dalam sidang tertutup. Walaupun

dilaksanakan dalam sidang tetutup, dalam hal tertentu dan dipandang

(53)

perlu hakim dapat menetapkan pemeriksaan perkara dilakukan secara

terbuka, tanpa mengurangi hak anak. Hal tertentu dan dipandang perlu

tersebut antara lain karena sifat dan keadaan perkara harus dilakukan

secara terbuka. Suatu sifat perkara akan diperiksa secara terbuka,

misalnya perkara pelanggaran lalu lintas, sedangkan dari keadaaan

perkara misalnya pemeriksaan perkara di tempat kejadian perkara.12

12

(54)

SURABAYA

3.1 Per timbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Ter hadap Anak Pelaku

Penyalahgunaan Nar kotika dan Psikotr opika

Narkotika dan Psikotropika merupakan hasil proses kemajuan teknologi

untuk digunakan dalam kepentingan pengobatan dan ilmu penegtahuan.

Terjadinya fenomena penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan

psikotropika menuntut perlu adanya tindakan nyata untuk pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.

Dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) jelas terkandung

bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur pidana,

jadi meskipun seorang anak telah berbuat dan melakukan tindak pidana dan

memenuhi unsur pidana, belum berarti bahwa anak tersebut dapat dipidana karena

unsur unsur kesalahan yang merupakan dasar pertanggunjawaban pidana.

Menurut Moeljatno bahwa untuk dapatnya seseorang dipidana :

1. adanya perbuatan pidana,

2. orang yang berbuat harus dapat dipertangungjawaban,

3. adanya sikap dan batin atas perbuatan yang berupa kesengajaan atau

(55)

4. tidak adanya alasan pemaaf.13

Dalam tindak pidana narkotika dan psikotropika tidak dikenal dengan

alasan pamaaf, karena tindak pidana ini disebut sebagai tindak pidana kejahatan,

hal ini sesuai dengan pasal 68 Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang

Psikotropika.

Terhadap anak yang melakukan tindak pidana berupa penyalahgunaan

narkotika dan psikotropika merupakan perbuatan yang dilarang oleh peraturan

perundang-undangan yang mana perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang

diataur diluar KUHP yaitu Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang

Narkotika dan Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

Terkait ancaman pidana terhadap pelaku

Gambar

Tabel 1  Jenis Sanksi Pidana yang Dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS KOMPETENSI PEKERJA LULUSAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SEBAGAI IMPLEMENTASI PROGRAM PRAKTEK KERJA INDUSTRI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Capaian Pembelajaran : Memiliki kemampuan membuat, menganalisis, menyajikan rencana pembelajaran matematika serta mendemonstasikan pembelajaran sebaya untuk materi

Efek ekstrak daun dewandaru ( Eugenis uniflora ) sebagai penghambat pembentukan biofilm pada Staphylococcus aureus secara in vitro.. Fakultas Kedokteran

Elastisitas penawaran output (jagung) baik di Provinsi Jawa Timur maupun di Jawa Barat terhadap perubahan harga sendiri adalah elastis, sedangkan terhadap perubahan harga

<div class=berita> <p>Situs ini adalah situs pengelolaan aplikasi HP berbasis J2ME yang menyediakan informasi jalur bis kota Yogyakarta. Pada situs ini Anda

Penggunaan CT pengukuran terlentang sebagai penilaian dasar dari lordosis sagital dari torakolumbalis tulang belakang cedera tampaknya tidak cocok ketika tegak radiografi

 Menentukan aturan operasi hitung campuran dan menggunakannya dalam pemecahan soal. 3 x 35 menit

Motor DC Power Window pada prinsipnya sama dengan motor DC pada umumnya yaitu suatu motor yang dapat mengubah energi listrik searah menjadi mekanis yang berupa