SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Syar at Dalam Memperoleh Gelar Sar jana Ilmu Administr asi Negara FISIP UPN “Veteran” J awa Timur
Oleh: AGUS RIYADI NPM. 0841110044
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
Disusun Oleh: AGUS RIYADI NPM. 0841110044
Telah disetujui untuk mengikuti UjianSkripsi
Menyetujui,
Pembimbing
Dr. Lukman Arif, MSi NIP: 196411021994031001
Mengetahui
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur
Dra. Ec. Hj. Supar wati, MSi
KUALITAS PELAYANAN PROSES PERKARA SERTIFIKAT GANDA DI PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA SURABAYA
Disusun Oleh: AGUS RIYADI NPM. 0841110044
Telah dipertahankan di hadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skr ipsi J ur usan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Univer sitas Pembangunan “Veteran” J awa Timur Pada Tanggal: 10 J uli 2014
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur
LEMBAR REVISI
J udul Penelitian : Kualitas Pelayanan Proses Per kara Sertifikat Ganda
Di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Sur abaya
Nama Mahasiswa : Agus Riyadi
NPM : 0841110044
Pr ogram Studi : Ilmu Administrasi Negara
Fakultas : FISIP
Menyatakan bahwa Skripsi ini telah dir evisi, dan disahkan;
Pada Tanggal: 17 J uli 2014
Dosen Penguji I
Dr. Lukman Arif, MSi NIP: 196411021994031001
Dosen Penguji II
Dra. Sr i Wibawani, MSi NIP. 196704061994032001
Dosen Penguji III
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulilah atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayahnya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Kualitas Pelayanan ProsesPerkara Sertifikat Ganda Di
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya”.
Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih
jauh dari kata sempurna, oleh karena itu segala masukan dan saran yang bersifat
menyempurnakan bagi skripsi ini, penulis akan menerima dengan baik.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya terutama kepada Bapak Dr. Lukman Arif, Msi selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dengan
penuh kesabaran. Selain itu juga penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Ibu Dra. Suparwati, Msi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Dr. Lukman arif, Msi, selaku ketua jurusan Ilmu Administrasi Publik,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.
3. Ibu Dra. Susi Hardjati, Map, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Administrasi
Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan
4. Para Dosen pengajar Jurusan Administrasi Publik yang telah banyak memberi
masukan dalam proses belajar-mengajar.
5. Bapak H.R. Suhardoto, SH. MH selaku ketuaPengadilanTinggi Tata Usaha
Negara Kota Surabaya.
6. Bapak Edi Supriaji A, Md, SH selaku Petugas wilayah III bagian kepegawaian
7. Dedy Mardianto dan Adi Nendra Saputra, SH selaku informan penelitian yang telah
memberikan waktunya untuk sesi wawancara dengan peneliti.
8. Bapak, Ibu dan Teman-teman yang telah memberi doa sehingga skripsi
inidapatterselesaikan.
Akhir kata penulis sadar bahwa ini masih banyak kekurangannya sehingga
penulis mengharapkan masukan-masukan yang membangun.
Surabaya, 3 Juli 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...
LEMBAR PERSETUJUAN ...
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
ABSTRAKSI ... ix
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 8
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1. Hasil Penelitian Terdahulu ... 10
2.2. Landasan Teori ... 12
2.2.1. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) ... 12
2.2.2. Pelayanan Publik ... 18
2.2.3. Kualitas Layanan ... 21
2.2.3.1. PengertianSengketa ... 24
2.2.3.2. Sengketa Tata Usaha Negara ... 25
2.2.5. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara ... 26
2.2.6. Sertifikat Tanah ... 38
2.2.6.1. Pengertian Sertifikat ... 38
2.2.6.2. Sertifikat Cacat Hukum ... 41
2.3. Kerangka Berpikir ... 45
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 46
3.1. Jenis Penelitian ... 46
3.2. Situs Penelitian ... 47
3.3. Fokus Penelitian ... 47
3.4. Informan dan Teknik Penarikan Informan ... 51
3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 52
3.6. Teknik Analisa Data ... 53
3.7. Keabsahan Data ... 57
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61
4.1. Profil Objek Penelitian ... 61
4.1.1. Gambaran Umum Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya ... 61
4.1.2. Visi, Misi, dan Tujuan PTTUN ... 64
4.1.4. Komposisi Pegawai Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara Surabaya ... 79
4.2. Proses Pelayanan di PTTUN Surabaya ... 81
4.3. Penilaian Atas Kualitas Layanan di PTTUN Surabaya ... 83
4.4. Pembahasan ... 104
BAB V. PENUTUP ... 116
5.1. Kesimpulan ... 116
5.2. Saran ... 117
DAFTAR PUSTAKA ... 118
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Data Jumlah Kasus Yang Telah Diputus Pada PTUN Surabaya 6
Gambar 1.2. Kasus Berdasarkan Jenis Perkara ... 6
Gambar 2.1. Kerangka Berfikir ... 42
Gambar 3.1. Analisis Interaktif Menurut Miles dan Huberman ... 57
Gambar 4. 1. Bagan Struktur OrganisasiPengadilan Tinggi Tata Usaha
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Pegawai Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya
BerdasarkanJenisKelamin ... 79
Tabel4.2.Pegawai PengadilanTinggi Tata Usaha Negara Surabaya
Menurut Tingkat Pendidikan ... 79
Tabel4.3.JumlahPengadilanTinggi Tata Usaha Negara Surabaya
MenurutGolonganRuang ... 80
Tabel 4.4. Rekapan Penilaian Atas DimensiReliability di PTTUN Surabaya 87
Tabel 4.5. Rekapan Penilaian Atas DimensiAssurance di PTTUN Surabaya 93
Tabel 4.6. Rekapan Penilaian Atas DimensiTangible di PTTUN Surabaya 97
Tabel 4.7. Rekapan Penilaian Atas DimensiEmphaty di PTTUN Surabaya 100
Tabel 4.8. Rekapan Penilaian Atas DimensiResponsiveness di PTTUN
Surabaya ... 103
Tabel 4.9. Rekapan Penilaian Atas Dimensi Responsiveness di PTTUN
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Panduan Wawancara ... 121
Lampiran 2. Hasil Wawancara ... 123
ABSTRAKSI
Agus Riyadi “KUALITAS PELAYANAN PROSES PERKARA SERTIFIKAT GANDA DI PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA SURABAYA”
Penelitian ini berangkat dari permasalahan banyaknya kasus yang ditangani oleh PTTUN Surabaya. Kasus yang ditangani PTTUN Surabaya dapat digolongkan menjadi beberapa kasus, yaitu perijinan, kepegawaian, lelang, kependudukan dan kewarganegaraan, partai politik, tender, pertanahan, dan kasus lain, termasuk di dalamnya adalah piutang. Kasus yang paling banyak ditangani pada periode 2011-2013 adalah kasus pertanahan, yaitu sebannyak 118 kasus. Di antara kasus pertanahan yang ditangani adalah kasus sertifikat ganda. Kualitas pelayanan menjadi kunci dalam penanganan kasus-kasus yang ada tersebut, oleh karena permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah kualitas pelayanan pada penanganan kasus sengketa sertifikat ganda di Kantor Pengadilan Tinggi TUN Surabaya?”.
Jenis penelitian kualitatif yang digunakan adalah case study, yaitu metode penelitian kualitatif dimana peneliti menggali suatu fenomena tertentu (kasus) dalam suatu waktu dan kegiatan (program, even, proses, institusi, atau kelompok sosial), serta mengumpulkan informasi yang rinci dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama periode tertentu. Penelitian studi kasus dipilih karena penelitian ini memfokuskan pada dimensi kualitas pelayanan pada penangangan kasus sertifikat ganda di PTTUN Surabaya. Teknik penarikan informan penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik teknik accidental sampling, yaitu pihak yang sedang berperkara yang secara kebetulan dapat ditemui oleh peneliti ketika melakukan penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Dimensireliabilty sudah baik, hanya
kesalahan kecil dalam proses pelayanan seperti salah ketik harus
diminimalisir;DimensiAssurance cukup baik, hanya saja kemampuan komunikasi pegawai yang masih kurang perlu ditingkatkan dan keramahan pegawai juga perlu ditingkatkan. Citra PTTUN sebagai sebuah lembaga peradilan yang bersih juga perlu ditingkatkan, Dimensitangibles sudah baik, hanya saja saja beberapa pegawai yang memakai sandal jepit setelah jam istirahat siang; Dimensiemphaty
sudah baik, hanya saja diperlukan perhatian yang lebih bersifat personal kepada masing-masing orang yang datang ke PTTUN Surabaya untuk menciptakan pelayanan yang lebih baik; dan DimensiResponsiveness masih kurang, perlu kerja keras untuk meningkatkan dimensi responsifitas layanan di PTTUN Surabaya. Secara umum, kualitas layanan di PTTUN Surabaya masuk dalam kategori cukup baik
1.1. Latar Belakang
Sebuah negara akan dapat berjalan dengan baik dan mencapai sasaran
yang telah dirumuskan apabila negara tersebut mempunyai alat negara yang baik.
Salah satu alat negara yang harus dijalankan adalah adanya administrasi negara.
Pembangunan administrasi Negara tidak bisa dibangun dengan mudah karena
administrasi negara selain merupakan salah satu sistem sosial dengan berbagai
kompleksitas dimensinya, juga merupakan salah satu sub sistem dari suatu sistem
yang lebih besar yaitu sistem kehidupan bangsa dan negara. Terlebih lagi dalam
era globalisasi sekarang ini sistem administrasi negara juga terkait dan
dipengaruhi oleh perkembangan dunia internasional, misalnya perkembangan
perdagangan internasional.
Negara Indonesia merupakan negara hukum sehngga hukumlah yang
mempunyai arti penting terutama dalam semua segi-segi kehidupan masyarakat.
Segala penyelenggaraan yang dilaksanakan oleh negara dengan perantaraan
pemerintahnya harus sesuai dan menurut saluran-saluran yang telah ditentukan
terlebih dahulu oleh hukum. Karena negara Indonesia merupakan negara hukum,
tiap tindakan penyelenggara negara harus berdasarkan hukum. Peraturan
perundang-undangan yang telah diadakan lebih dahulu, merupakan batas
norma-norma hukum dan peraturan-peraturan hukum harus ditaati, juga oleh pemerintah
atau badan-badannya sendiri.
Salah satu upaya pemerintah dalam rangka mewujudkan hukum yang ada
serta mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih maka Negara Indonesia
membentuk PTUN dimana peradilan PTUN tersebut berdiri sendiri atau dengan
kata lain terpisah dari Peradilan Umum. Keberadaan pengadilan administrasi
negara (PTUN) di berbagai negara modern terutama negara-negara penganut
paham Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu tonggak yang
menjadi tumpuan harapan masyarakat atau warga negara untuk mempertahankan
hak-haknya yang dirugikan oleh perbuatan hukum publik pejabat administrasi
negara karena keputusan atau kebijakan yang dikeluarkannya. Melihat kenyataan
tersebut, dapat dipahami bahwa peradilan administrasi negara (PTUN) diperlukan
keberadaannya, sebagai salah satu jalur bagi para pencari keadilan yang merasa
kepentingannya dirugikan karena dalam melaksanakan kekuasaannya itu ternyata
badan atau pejabat administrasi negara yang bersangkutan terbukti melanggar
ketentuan hukum.
Di Indonesia, pengadilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU
No.5 Tahun 1986 Jo UU No. 9 Tahun 2004. Berdasarkan Pasal 24 ayat (3)
Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan 10 November
2001 Jo pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
dikenal 4 lingkungan lembaga peradilan, yaitu:
1. Peradilan Umum
3. Peradilan Militer dan;
4. Peradilan Tata Usaha Negara.
Tujuan pembentukan dan kedudukan suatu PTUN dalam suatu negara,
terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Negara Kesatuan Republik
Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, oleh
karenanya hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi disamping juga hak
masyarakatnya. Kepentingan perseorangan adalah seimbang dengan kepentingan
masyarakat atau kepentingan umum. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh S.F
Marbun, tujuan pembentukan PTUN adalah untuk memberikan perlindungan
terhadap semua warga negara yang merasa haknya dirugikan-sekalipun hal itu
dilakukan oleh alat negara sendiri.
Disamping itu untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan umum
dengan kepentingan perseorangan agar berjalan selaras dan rasa keadilan dalam
masyarakat terpelihara serta dapat ditingkatkan, yang sekaligus merupakan public
servicenegara terhadap warganya. Selain itu, tujuan dibentuknya peradilan
administrasi negara (PTUN) adalah untuk melindungi warga masyarakat yang
kepentingan hukumnya seringkali tertindih atau terjepit dengan semakin luasnya
campur tangan penguasa ke dalam kehidupan masyarakat. Melalui PTUN
masyarakat dapat menggugat penguasa dan mendapatkan tindakan korektif dari
PTUN. Dengan demikian PTUN adalah sebagai salah satu badan peradilan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman, merupakan kekuasaan yang merdeka yang
berada di bawah Mahkamah Agung dalam rangka menyelenggarakan peradilan
merupakan bagian dari perlindungan hukum bagi rakyat atas perbuatan hukum
publik oleh pejabat administrasi negara yang melanggar hukum.
Berdasarkan hal tersebut, maka peradilan administrasi negara (PTUN)
diadakan dalam rangka memberikan perlindungan (berdasarkan keadilan,
kebenaran dan ketertiban dan kepastian hukum) kepada rakyat pencari keadilan
(justiciabelen) yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu perbuatan hukum
publik oleh pejabat administrasi negara, melalui pemeriksaan, pemutusan dan
penyelesaian sengketa dalam bidang administrasi negara.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun segala bentuk
tindakan pejabat administrasi negara telah diatur dalam norma-norma hukum
administrasi negara akan tetapi bila tidak ada lembaga penegak hukum dari
hukum administrasi negara itu sendiri, maka norma-norma tersebut tidak
mempunyai arti apa-apa. Oleh sebab itu eksistensi (PTUN) sesuatu yang wajib,
dengan maksud selain sebagai sarana kontrol yuridis terhadap pelaksana
administrasi negara juga sebagai suatu bentuk atau wadah perlindungan hukum
bagi masyarakat karena dari segi kedudukan hukumnya berada pada posisi yang
lemah. Mekanisme perlindungan hukum ini penting karena di dalam kehidupan
masyarakat sering ditemui permasalahan atau sengketa antara individu, baik
perorangan maupun kelompok, dengan Pemerintah yang berkaitan dengan
kebijakan-kebijakan dan Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat
KTUN) yang dikeluarkan oleh Pejabat administrasi negara dalam
menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Undang-Undang Nomor 9
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya
disingkat UU PTUN 1986) menyebut sengketa tersebut sebagai sengketa TUN.
Sengketa TUN muncul jikalau seseorang atau badan hukum perdata merasa
dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan. Sebagaimana diketahui
bahwa, Pejabat TUN dalam fungsi menyelenggarakan kepentingan dan
kesejahteraan umum tidak terlepas dari tindakan mengeluarkan keputusan,
sehingga tidak menutup kemungkinan pula keputusan tadi menimbulkan kerugian.
Di Jawa Timur, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dijalankan oleh
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya. Pembentukan Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara Surabaya didasarkan pada Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1993 Tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara Surabaya. Pembentukan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat
(2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara,
perlu dibentuk Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di setiap ibukota Propinsi.
Berdasarkan data putusan yang diupload pada direktori putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia, jumlah kasus yang ada pada PTUN
Surabaya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Data jumlah putusan kasus ini
dapat dilihat pada Gambar 1.1. Berdasarkan data yang ada pada Gambar 1.1 dapat
dilihat bahwa jumlah kasus yang telah diputus pada tahun 2011 adalah sebanyak
123 kasus, pada tahun 2012 sebanyak 143 kasus. Sementara pada tahun 2013
jumlah kasus yang telah diputus adalah sebanyak 48 kasus (Periode akhir Juli
Gambar 1.1
Data J umlah Kasus Yang Telah Diputus Pada PTUN Surabaya
Sumber: http://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pttun-surabaya/periode/putus
Gambar 1.2
Kasus Berdasar kan J enis Per kara
http://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pttun-Berdasarkan jenis perkara, kasus yang ada pada PTTUN Surabaya dapat
digolongkan menjadi beberapa kasus, yaitu perijinan, kepegawaian, lelang,
kependudukan dan kewarganegaraan, partai politik, tender, pertanahan, dan kasus
lain, termasuk di dalamnya adalah piutang. Berdasarkan data yang ada dapat
dilihat bahwa kasus paling banyak yang terjadi di PTTUN Surabaya adalah kasus
pertanahan dengan jumlah 118 kasus. Berdasarkan kondisi ini maka penelitian ini
akan difokuskan pada kasus pertanahan saja.
Di antara kasus pertanahan yang ada salah satunya adalah sengketa yang
terjadi karena adanya sertifikat ganda. Sekarang dalam praktek tidak jarang terjadi
beredarnya sertifikat palsu, sertifikat asli tetapi palsu atau sertifikat ganda di
masyarakat sehingga pemegang hak atas tanah perlu mencari informasi tentang
kebenaran data fisik dan data yuridis yang tertera dalam sertifikat tersebut di
Kantor Pertanahan setempat. Pada umumnya masalah baru muncul dan diketahui
terjadi penerbitan sertifikat ganda, yaitu untuk sebidang tanah diterbitkan lebih
dari satu sertifikat yang letak tanahnya saling tumpang tindih, ketika pemegang
sertifikat yang bersangkutan akan melakukan suatu perbuatan hukum atas bidang
tanah yang dimaksud.
Salah satu kunci sukses dalam penanganan kasus adalah bagaimana proses
penanganan kasus yang sedang berjalan tersebut dilaksanakan dengan baik. Proses
yang dilakukan dengan baik akan menjadikan kasus dapat terselesaikan dengan
cepat dan pihak-pihak yang berperkara juga akan merasa terlayani dengan baik.
Sebagai institusi publik yang memberikan pelayanan kepada publik, maka kualitas
dari Pengadilan Tinggi TUN Surabaya. Kualitas layanan yang baik akan
menjadikan pengguna layanan menjadi puas dan tentu akan meningkatkan citra
Pengadilan Tinggi TUN Surabaya.
Bertitik pangkal dari uraian di atas dan ketentuan-ketentuan yang ada,
serta karena sertifikat merupakan produk Instansi Pemerintah yang dikeluarkan
melalui proses yang ketat dan teliti, maka penulis tertarik untuk mengkaji
permasalahan tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul “Kualitas Pelayanan
Pada Pr oses Per kar a Sertifikat Ganda Di Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara Surabaya”.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
“Bagaimanakah kualitas pelayanan pada penanganan kasus sengketa sertifikat
ganda di Kantor Pengadilan Tinggi TUN Surabaya?”
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas pelayanan pada
penanganan kasus sengketa sertifikat ganda di Kantor Pengadilan Tinggi TUN
Surabaya.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberi masukan bagi Kantor
Pengadilan Tinggi PTUN Surabaya untuk menyempurnakan kualitas layanan
pada penanganan kasus yang selama ini dijalankan.
2. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan penelitian ini dapat mengkonfirmasi bahwa penanganan kasus
merupakan aspek penting dalam sistem pelayanan di Pengadilan Tinggi
Usaha Negara Surabaya
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat melengkapi perbendaharaan
perpustakaan UPN Veteran Surabaya dan kelak berguna bagi dosen dan
mahasiswa yang hendak melakukan penelitian lanjutan serta sebagai bahan
2.1. Hasil Penelitian Ter dahulu
Bagian ini akan membahas tentang penelitian terdahulu yang relevan
dengan penelitian ini. Salah satu penelitian dilakukan oleh Arif (2011) dengan
judul “Kualitas Pelayanan Publik Di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin
Makassar, Studi Kasus Pelayanan Jasa Penumpang”.Penelitian ini dilaksanakan di
Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar, Data primer dikumpulkan
dengan teknik wawancara mendalam dengan penumpang dan pejabat pengelola
bandara serta observasi langsung, sedangkan data sekunder diperoleh dari laporan,
artikel dan standar operasional pelayanan. Data dianalisis dengan menggunakan
analisis teori service quality.
Hasil analisa data menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik pada
Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar belum maksimal, dimana
penilaian negatif dari penumpang lebih dominan dari penilaian positifnya.
Penilaian positif terhadap beberapa dimensi fasilitas publik diantaranya adalah:
tampilan fisik bandara baik dari interior maupun eksterior, penampilan petugas,
kesejukan dan kapasitas terminal serta kecukupan jumlah trolley. Begitupun dari
kualitas pelayanan dalam bidang keterampilan petugas, kemudahan mendapatkan
informasi, kecepatan dalam pelayanan pemeriksaan keamanan serta check in dan
kejelasan mengenai prosedur pelayanan. Penilaian negatif dari penumpang
diabaikan demi peningkatan kualitas pelayanan yaitu: Penggunaan bandara
sebagai sarana promosi dan pemasangan iklan, kehandalan sarana dan prasarana
pendukung fasilitas pelayanan publik seperti toilet, perparkiran, dan arus lalu
lintas belum memenuhi standar pelayanan, kesopanan dan keramahan petugas
dalam menangani masalah yang dihadapi penumpang, kemudahan mendapatkan
informasi, layanan bus bandara dan pelayanan non formal yakni calo dan
angkutan liar di bandara.
Penelitian lain dilakukan oleh Thariq (2013) dengan judul “Kualitas
Pelayanan Publik di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Malinau,
Studi Implementasi Pelayanan Administrasi Kependudukan”.Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui tentang kualitas pelayananpublik di Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Malinau dalampelaksanaan pelayanan
administrasi kependudukan yakni pengurusan KTP danKK. Metode yang digunakan
dalam pengumpulan data adalah metode observasi, tanya jawab dan
documentresearch.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik terutama
dalam pelayanan administrasi kependudukan sudah cukup baik namun masih belum
maksimal dengan melihat transparansi dalam pelayanan, tanggung jawab aparatur
pelayanan, kondisi pelayanan, partisipasi penerima pelayanan, kesamaan hak dalam
memberikan pelayanan serta keseimbangan hak dan kewajiban aparatur pelayanan.
Kendala yang dihadapi dalam melaksanakan pelayanan administrasi kependudukan
seperti sarana dan prasarana yang kurang memadai untuk melakukan pelayanan,
keadaan geografis Malinau yang cukup luas, dana yang terbatas serta masalah
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Peradilan ini dibentuk dengan yang ditandai dengan disahkannya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran
Negara tahun 1986 Nomor 77 Tambahan Lembaran Negara 3344)Lembaran
Negara tahun 1986 Nomor 77 Tambahan Lembaran Negara 3344 pada tanggal
29Desember 1986 dalam konsideran “menimbang” Undang-Undang tersebut
disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara
(PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang
sejahtera, aman, tentram, serta tertib yang menjamin kedudukan warga
masyarakat dalam hukum serta menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi,
seimbang dan selaras antara aparatur dibidang tata Usaha Negara dan para warga
masyarakat, ini juga berarti menunjukkan salah satu langkah dalam upaya
pembangunan bidang hukum, guna lebih memberi isi pada makna negara hukum
Indonesia yang di dasarkan kepada pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3 dimana dijelaskan
Negara Indonesia adalah sebuah Negara hukum “Negara Indonesia adalah negara
hukum.Negara hukum yang menjadi maksud disini adalah bukanlah hanya
sekedar artian dalam arti formal, atau negara penjaga malam, tetapi dalam artian
luas yaitu materill. Maksud dari materill adalah tindakan penguasa harus
berdasarkan undang-undang dan dapat berlaku asas legalitas. Maka dalam negara
hukum materill tindakan dari penguasa dalam hal mendesak demi kepentingan
opportunitas (asas yang dapat berlaku apabila pemerintah membuat sebuah hal
yang menyimpang tetapi dengan tujuan yang baik dan benar).
Dalam pembangunan hukum di Indonesia, pembuatan sebuah
Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara merupakan suatu hal yang baru
dalam sejarah Peradilan di Indonesia, karena sebelum Peraturan Tata Usaha
Negara ini lahir, di parisada nusantara baik pada masa sebelum dan sesudah
kemerdekaan sampai pada tahun 1986 belum pernah ada dibentuk lembaga
Peradilan yang membidangi Tata Usaha Negara (TUN).
Tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan administrasi dalam
suatu bangsa adalah terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Bagi Republik
Indonesia yang merupakan negara hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945, hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi
dan disamping itu hak masyarakat (Wijaya, 2005).
Dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1986 telah dijelaskan secara
terperinci tentang pengertian yang termuat dalam Undang-undang itu, yakniTata
Usaha Negara adalah administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun daerah.
Karakteristik merupakan sebuah perpanjangan kata dari Karakter, dalam kamus
besar Bahasa Indonesia (KBBI) karakter adalah 1) sifat-sifat kejiwaan, akhlak,
atau budi pekerti yang membeadakan seseorang dengan yang lainnya, 2) karakter
juga dapat bermakna huruf. Dalam artiannya, karakteristik adalah sebuah ciri khas
yang dimiliki dan tidak dimiliki dengan yang lainnya. Hukum acara dari Peradilan
hakikatnya merupakan sebuah hukum publik. Hukum formal disebut juga
berfungsi sebagai publiekrechtelijk instrumentarium untuk menegakkan sebuah
hukum formal.
Dalam arti luas “Peradilan Administrasi Negara adalah peradilan yang
menyangkut pejabat-pejabat dan instansi administrasi negara, baik yang bersifat:
perkara pidana, perkara perdata, perkara agama, perkara adat, dan perkara
administratif murni. Sedangkan dalam arti sempit peradilan administrasi negara
adalah peradilan yang menyelesaikan perkara-perkara administrasi murni
semata-mata” dan menurut Abduh (1979) bahwa yang diadili peradilan administrasi,
adalah pelanggaran-pelanggaran dari ketentuan yang mengatur tentang
administrasi, apakah sebagai aparatur/ sebagai fungsi serta proses.
Pada saat ini terkadang masih terdapat banyak kesalahpahaman terhadap
peradilan administrasi dan peradilan tata usaha negara. Di dalam Undang-undang
nomor 5 tahun 1986 telah dijelaskan secara terperinci tentang pengertian yang
termuat dalam Undang-undang itu, yaitu “Tata Usaha Negara adalah administrasi
Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan
baik di pusat maupun daerah”.
Hukum acara dari Peradilan Tata Usaha Negara merupakan bentuk dari
sebuah hukum formal yang pada hakikatnya merupakan sebuah hukum publik.
Hukum formal disebut juga berfungsi sebagai publiekrechtelijk instrumentarium
untuk menegakkan sebuah hukum formal.
Hal-hal yang menjadi karakteristik Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal
1. Peranan hakim yang aktif (dominus litis)
Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah karena hakim tata usaha negara
dibebani dengan tugas untuk mencari sebuah kebenaran yang bersifat materiil
dan dapat dipertanggung jawabkan. (pasal 63 ayat 2a dan b/ pasal 80 ayat 1/
pasal 85/ pasal 95 ayat 1/ dan pasal 103 ayat 1 Undang-Undang Peradilan Tata
Usaha Negara). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi
kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat tata usaha negara
sedangkan penggugat adalah sebuah badan hukum perdata atau orang
perseorangan (pasal 58).
2. Kompensasi ketidak seimbangan antara kedudukan antara penggugat dan juga
oleh tergugat.
3. Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas (vrijbewijs)
yang terbatas.
Hakim yang menetapkan beban pembuktian, dimana terdapat perbedaan
dengan ketentuan pasal 1865 BW. Asas ini dianut dalam pasal 107
Undang-undang no. 5 tahun 1986 hanya saja masih dibatasi ketentuan pasal 100.
4. Gugatan di pengadilan tidak bersifat mutlak dan bersifat menundapelaksanaan
suatu keputusan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) yangdigugat.
Di dalam pasal 67 dijelaskan tentang hal tersebut dimana keputusan
TataUsaha Negara yang di gugat itu diperintahkan penundaannya.
Pengadilanakan mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan
TataUsaha Negara tersebut hanya apabila: pertama, terdapat keadaan
akansangat tidak seimbang dan sebanding dengan manfaat bagi
kepentinganyang akan dilindungi oleh keputusan dan pelaksanaan dari
keputusan tatausaha negara itu; kedua, pelaksanaan keputusan Tata Usaha
Negara yangdigugat tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan
umumdalam rangka pembangunan.
5. Keputusan yang akan ditetapkan oleh hakim adalah tidak boleh bersifatultra
petita (melebihi tuntutan dari penggugat dalam persidangan) tetapiakan
dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa penggugatkedalam
sesuatu keadaan yang lebih buruk) selama masih diatur di
dalamundang-undang.
6. Terhadap putusan hakim tata usaha negara berlaku dan mengikat asas
ergaomnes. Dimana dimaksudkan bahwa putusan itu tidak hanya berlaku
bagipara pihak yang bersengketa, tetapi juga akan berlaku bagi para pihak
lainyang akan terkait.Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum
publik. Dengan demikian putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi
siapa saja. Dalam rangka ini pasal 83 bertentangan dengan asas erga omnes.
7. Dalam proses pemeriksaan yang dipersidangan akan berlaku asas auti et
alteram partem. Dimana asas ini dimaksudkan para pihak yang saling
bersengketa harus diberikan kesempatan-kesempatan untuk memberikan
penjelasan tentang perkara tersebut sebelum hakim memberikan sebuah
keputusan.
8. Dalam mengajukan sebuah gugatan harus terdapat kepentingan oleh salah satu
boleh mengajukan sebuah gugatan. Gugatan yang ditujukan haruslah memiliki
hal yang kuat dan penting bagi si penggugat dan memiliki dasar yang kuat
dalam pengajuan gugatan.
9. Kebenaran yang akan dicapai adalah sebuah kebenaran materill dengan tujuan
yaitu menyeimbangkan dari sebuah kepentingan perseorangan dengan
kepentingan bersama.
Suatu keputusan Tata Usaha Negara yang akan selalu mengandung asas
“prasumptio iustae causa”, yaitu bahwa suatu keputusan Tata Usaha Negara
(TUN) atau disebut beschikking harus selalu dianggap sah selama belum
dibuktikan sebaliknya sehingga pada prinsipnya harus selalu dan dapat harus
segera dilaksanakan (Triwulan, Titik, dan Widodo, 2001).Asas
“Pramsumptioiustae causa”, yaitu bahwa suatu keputusan tata usaha negara
(beschikking) harus selalu dianggap sah selama belum dibuktikan sebaliknya,
sehingga pada prinsipnya harus selalu dapat segera dilaksanakan.
Dalam pengontrolan dan untuk menilai tindakan hukum pemerintah dalam
bidang hukum publik, maka harus digunakan beberapa asas, yaitu:
1. Asas perlindungan terhadap kepentingan umum atau publik yang menonjol
disamping perlindungan terhadap individu.
2. Asas “self respect” atau “self obidence” dari aparatur pemerintah terhadap
putusan-putusan peradilan administrasi, karena tidak dikenal adanya upaya
pemaksa yang langsung melalui juru sita seperti halnya dalam prosedur
Mengenai perlindungan terhadap dua sisi yaitu kepentingan umum atau
publik dan kepentingan individu, disebutkan dalam penjelasan umum
Undang-undang no. 5 tahun 1986 angka 1 bahwa disamping hak-hak perseorangan,
masyarakat juga mepunyai hak-hak tertentu. Oleh karena itu tujuan Peradilan Tata
Usaha Negara sebenarnya tidak hanya semata-mata memberikan perlindungan
terhadap hak masyarakat. Ditinjau dari segi pernyataan tersebut persoalan
selanjutnya merupakan mekanisme untuk melakukan penyeimbangan antara dua
sisi kepentingan tersebut, dimana hak itu perlu untuk ditransparansikan. Sebab
masalahnya akan menyangkut segi ukuran objektif pemberian keadilan secara
konsisten yang berkaitan pula dengan masalah kemandirian institusi peradilan
dalam hakim memutus suatu perkara.
2.2.2. Pelayanan Publik
Kata pelayanan berasal dari kata “layanan” yang menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah perihal atau “cara melayani; servis; atau kemudahan
yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa” (KBBI, 2008).
Definisi pelayanan menurut Nasution (2005) adalah aktifitas atau manfaat yang
ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud
dan tidak menghasilkan kepemilikan apapun. Produknya mungkin terikat atau
tidak terikat pada produk fisik. Sedangkan pengertian publik menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2008) adalah orang banyak (umum).
Pelayanan publik berhubungan dengan pelayanan yang masuk kategori
pemerintah daerah dan BUMN/BUMD. Ketiga komponen yang menangani sektor
publik menyediakan pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, keamanan
dan ketertiban, bantuan sosial dan penyiaran. Dengan demikian yang dimaksud
pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh negara dan perusahan
milik negara kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam
rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat (Nurcholis, 2005).
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 1
disebutkan yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas
barang, jasa dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik. Pengertian yang sama mengenai pelayanan publik juga tertuang
dalam Perda Jawa Timur Nomor 11 tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di
daerah Jawa Timur, yaitu segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan penduduk atas suatu
barang, jasa dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan terkait dengan kepentingan publik. Pelayanan publik adalah pemberian
layanan (melayani) keperluan orang yang mempunyai kepentingan pada
organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Uraian mengenai pelayanan publik menyebutkan pelayanan publik
diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Penyelenggara dalam hal ini
adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen,
badan hukum lain yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang untuk kegiatan
pelayanan publik dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk
kegiatan pelayanan publik.
Faktor utama yang menjadi penghambat dalam pelayanan publik yang baik
dapat dianalisa dari dua sisi, yakni birokrasi dan standar pelayanan publik. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa dalam tubuh pemerintahan negara Indonesia pada
semua jenjang dan jenisnya memiliki sturuktur birokrasi yang panjang, gemuk,
dan berbelit. Hal ini mengakibatkan panjang dan berbelit-belitnya suatu urusan di
sebuah lembaga penyedia layanan publik, yang tentu saja membutuhkan waktu
lebih lama dan biaya mahal. Keadaan ini diperburuk oleh mentalitas mayoritas
aparat pemerintah yang masih feodalistik dan justru minta dilayani oleh rakyat.
Proses rekrutmen kepegawaian yang kurang memperhatikan profesionalisme
seseorang juga menjadi faktor penghambat pelaksanaan pelayanan publik dengan
baik. Selain itu, sistem penggajian yang rendah seringkali menjadi pemicu setiap
petugas negara menjalankan aksi “mempersulit urusan” dari anggota masyarakat
yang berurusan dengan mereka.
Sebagai sebuah negara besar yang sedang membangun, kebutuhan
pelayanan publik yang baik dan berkualitas adalah mutlak. Hal ini diperlukan
dalam rangka mendorong percepatan pembangunan bangsa dan negara Indonesia
menuju pencapaian cita-cita nasional yakni mewujudkan masyarakat yang
sejahtera, adil dan makmur. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah sesuatu yang wajib mendapat
menjadi sebuah tulisan di lembaran negara tetapi dapat diwujudkan demi
terciptanya pelayanan publik yang baik dan dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat.
2.2.3. Kualitas Layanan
Menurut Lovelock dan Wright (2007) kualitas jasa adalah evaluasi
kognitif jangka panjang pelanggan terhadap penyerahan jasa instansi. Dalam
konsep SERVQUAL (Service Quality), yaitu persepsi konsumen atas layanan
yang nyata diterima (perceived service) dengan layanan yang sesungguhnya
diharapkan (expected service) (Parasuraman, et al., dalam Rizan, 2010). Jika
pelanggan memahami penyerahan jasa yang sesungguhnya lebih baik dari yang
diharapkan, mereka akan senang, jika penyerahan jasa tersebut berada di bawah
harapannya, mereka akan merasa tidak senang.Penaksiran service quality
difokuskan pada dimensi pada service atau jasa yaitu dititikberatkan pada
penilaian yang menggambarkan tanggapan konsumen dari elemen-elemen service
dalam interaksi kualitas dan lingkungan fisik kualitas yang dibangun melalui
pengalaman interaksi antara pelanggan dengan instansi penyedia jasa atau layanan
secara bertahap.
Harapan pelanggan atas kualitas produk atau jasa terbentuk oleh beberapa
faktor, yaitu (Tangkilisan, 2007):
Faktor ini merupakan faktor yang bersifat stabil dan mendorong pelanggan
untuk meningkatkan sensivitasnya terhadap jasa.
2. Personal need
Kebutuhan yang dirasakan seorang mendasar bagi kesejahteraannya juga
sangat menentukan harapannya.
3. Transitory service intensifier
Faktor ini merupakan faktor individual yang bersifat sementara (jangka
pendek) yang meningkatkan sensitivitas pelanggan terhadap jasa.
4. Perceived service alternative
Merupakan persepsi pelanggan terhadap tingkat atau derajat pelayanan
instansi yang sejenis.
5. Self perceived role
Faktor ini adalah persepsi pelanggan tentang tingkat atau derajat keterlibatan
dalam mempengaruhi jasa yang diterimanya.
6. Situational factor
Faktor situasional terdiri atas segala kemungkinan yang bisa mempengaruhi
kinerja jasa, yang berada di luar kendali penyedia jasa.
7. Explicit sevice promises
Faktor ini merupakan pernyataan (secara personal atau nonpersonal) oleh
organisasi tentang jasanya kepada pelanggan.
Faktor ini menyangkut petunjuk yang berkaitan dengan jasa yang memberikan
kesimpulan bagi pelanggan tentang jasa yang bagaimana seharusnya dan yang
akan diberikan.
9. Word of mouth (Rekomendasi atau saran dari orang lain)
Merupakan pernyataan secara personal atau nonpersonal yang disampaikan
oleh orang lain selain organisasi (sertvice provider) kepada pelanggan.
10.Past experience
Pengalaman masa lampau meliputi hal-hal yang telah dipelajari atau diketahui
pelanggan dari yang pernah diterima di masa lalu.
Menurut Parasuraman, et al., (dalam Lupiyoadi & Hamdani, 2008),
kualitas layanan diukur melalui lima dimensi sebagai berikut:
1. Kehandalan (Reliability)
Kemampuan instansi untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang
dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan
pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua
pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik dan dengan akurasi yang
tinggi.
2. Jaminan dan kepastian (Assurance)
Pengetahuan, kesopan-santunan, dan kemampuan para pegawai instansi untuk
menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada instansi. Hal ini meliputi
beberapa komponen antara lain komunikasi (communication), kredibilitas
(credibilty), keamanan (security), kompetensi (competence) dan sopan santun
3. Berwujud (Tangibles)
Kemampuan suatu instansi dalam menunjukkan esksitensinya pada pihak
eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik instansi
yang dapat diandalkan, keadaan fisik lingkungan sekitarnya merupakan bukti
fisik nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa.
4. Perhatian (empathy)
Memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang
diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan
konsumen. Di mana suatu instansi diharapkan memiliki pengertian dan
pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara
spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.
5. Ketanggapan (Responsiveness)
Suatu kebijakan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat
(responsif) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang
jelas.
2.2.4. Sengketa Tata Usaha Negara
2.2.3.1.Pengertian Sengketa
Sengketa dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008) berarti pertentangan atau
konflik.Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,
kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu obyek
permasalahan. Senada dengan hal tersebut, Winardi (2000) mengemukaan bahwa
kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu
obyek kepemilikan yang menimbulkan akibat hokum antara satu dengan yang
lain.
Sedangkan menurut Achmad (2003) berpendapat sengketa adalah
pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda
tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hokum
bagi keduanya.Berdasarkan kedua pendapat di atas maka dapat dikatakan bahwa
sengketa adalah perilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat
menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hokum bagi
salah satu di antara keduanya.
2.2.3.2.Sengketa Tata Usaha Negara
Sengketa dapat dibedakan atas 2 bagian, yaitu sengketa intern dan
sengketa ekstern.Sengketa intern atau sengketa antara administrasi Negara terjadi
di dalam lingkungan administrasi Negara (TUN) itu sendiri, baik yang terjadi
dalam satu departemen (instansi) maupun sengketa yang terjadi antar departemen
(instansi). Perbuatan administrasi Negara (TUN) dapat dikelompokkan ke dalam
tiga (3) macam perbuatan, yakni: mengeluarkan keputusan mengeluarkan
peraturan perundang-undangan, dan melakukan perbuatan materiil (Irwan, 2009).
Dalam melakukan perbuatan tersebut badan atau pejabat tata usaha Negara tidak
jarang terjadi tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hokum,
tersebut. Kerugian yang ditimbulkan inilah yang akan mengakibatkan adanya
sengketa TUN.
Sengketa ekstern atau sengketa antara adminstrasi Negara dengan rakyat
adalah perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara adminstrasi
Negara dengan rakyat sebagai subyek yang berperkara ditimbulkan oleh unsur
dari unsur peradilan administrasi murni yang mensyaratkan adanya minimal dua
pihak dan sekurang-kurangnya salah satu pihak harus administasi Negara, yang
mencakup adminstrasi Negara di tingkat daerah maupun administasi Negara pusat
yang ada di daerah. Dengan demikian sengketa intern adalah menyangkut
persoalan kewenangan pejabat TUN yang disengketakan dalam satu departemen
(Instansi) atau kewenangan suatu departemen (instansi) terhadap departemen yang
lainnya yang disebabkan tumpang tindihnya kewenangan sehingga menimbulkan
kekaburan kewenangan.Sengketa ini dapat juga disebut sebagai hukum antar
wewenang (Irwan, 2009).
Yang menjadi pangkal sengketa adalah keputusan Tata Usaha
Negara.Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
badan atau pejabat TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
2.2.5. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Secara sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang
Materil dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik tersendiri yang
membedakan peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Sebelum membahas
tentang mekanisme penyelesaian sengketa TUN di PTUN, terlebih dahulu akan
diuraikan hal-hal yang merupakan ciri Hukum Acara Peratun sebagai pembeda
dengan Peradilan lainnya.
Hadjon (2001) menyatakan bahwa ciri khas hukum acara peradilan tata
usaha negara terletak pada asas-asas hukum yang mendasarinya, yaitu:
1. Asas praduga rechmatig (vemoeden van rechtmatigheid = praesumptio instae
causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa harus
dianggap sebagai rechmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini,
gugatan tidak menuda pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat (1) UU
No.5 Tahun 1986);
2. Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini
berbeda dengan ketentuan pasal 1865 BW. Asas ini dianut dalam Pasal 107
UU No.5 Tahun 1986 hanya saja masih dibatasi ketentuan Pasal 100;
3. Asas keaktifan hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk
mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat TUN,
sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas
ini antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 58, Pasal 63 ayat (1 dan 2),
Pasal 80, dan Pasal 85;
4. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”.
Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan
bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan Pasal 83 tentang intervensi
bertentangan dengan asas “erga omnes”.
Tahapan dalam proses penangangan sengketa tata usaha negara adalah
sebagai berikut:
1. Pengajuan Sur at Gugatan
Berdasarkan pasal 53 ayat 1 jo pasal 1 butir 4 UU 5/1986, maka dapat
disimpulkan bahwa gugatan pada Peradilan TUN (Peratun) adalah suatu tuntutan
hukum yang diajukan oleh orang atau badan hukum perdata terhadap badan atau
pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan TUN, yang merugikan kepentingan
orang atau badan hukum perdata tersebut dengan permintaan supaya Peratun
menyatakan batal atau tidak sah keputusan TUN tersebut atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.
Gugatan yang telah disusun/dibuat oleh penggugat atau kuasanya,
kemudian didaftarkan di Kepaniteraan PTUN yang berwenang sesuai dengan
ketentuan pasal 54 UU 5/1986. Setelah itu oleh panitera mengadakan penelitian
administratif baik administrasi yang diharuskan penggugat dalam mengajukan
gugatan (misal: membayar persekot biaya dll), serta teradap surat gugatannya
sudah memenuhi pasal 56 atau belum. Menurut pasal 56 UU 5/86, pada pokoknya
gugatan harus memenuhi sebagai berikut :
a. Syarat formil, yang berisi identitas penggugat, tergugat maupun kuasanya
b. Syarat materil:
1) Dasar gugatan / posita gugatan
Bahwa gugatan tidak dapat diajukan setiap waktu kehendak penggugat
karena dalam pasal 55 jo 3 UU 5/1986 telah membatasi secara limitatif. Apabila
yang digugat berupa keputusan TUN (keputusan positif kongkit) maka gugatan
hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak
diumumkan atau diterimanya surat keputusan TUN.
Hal tersebut akan menimbul masalah apabila surat keputusan tersebut
merugikan kepentingan pihak ketiga. Terhadap permasalah ini, untuk memenuhi
kebutuhan praktek di peratun, MARI telah mengeluarkan SEMA no 2 tahun 1991,
yang pada pokoknya menyatakan bahwa perhitungan tenggang waktu dihitung
secara kausitis, yaitu 90 hari sejak saat pihak ketiga mengetahuinya.
Apabila obyek sengketa berupa keputusan TUN yang bersifat fiktif
permohonan sebagaimana perhitungan tenggang waktu berdasarkan pasal 3 ayat 2
dan 3 UU 5/1986 dengan cara sebagai berikut:
a. Tenggang waktu 90 hari sejak lewat tenggang waktu proses permohonan
sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan dasarnya
b. Tenggang waktu 90 hari dihitung sejak lewat waktu 4 (empat) bulan sejak
tanggal diterimanya permohonan.
2. Pr osedur Dismissal
Prosedur dismissal adalah suatu proses penelitian terhadap gugatan yang
masuk di PTUN yang dilakukan oleh Ketua pengadilan.
Setelah dilakukan penelitian administratif oleh panitera maka tahap
selanjutnya adalah prosedur dismissal yang eksistensinya serta alasan-alasannya
secara terperinci tentang tata cara dalam prosedur dismissal, maka Mahkamah
Agung didalam SEMA no 2 tahun 1991, pada pokoknya menyatakan:
a. Prosedur dismissal dilaksanakan oleh Ketua dan dapat menunjuk Hakim
sebagai reportir
b. Pemeriksaan dilaksanakan dalam rapat permusyawaratan atau dilaksanakan
secara singkat
c. Ketua pengadilan berwenang memanggil dan mendengarkan keterangan para
pihak sebelum menentukan penetapan dismissal aapbila diangap perlu
d. Penetapan dismissal berisi gugatan dinyatakan tidak dapt diterima atau tidak
berdasar dan tanda tangani oleh ketua dan panitera
e. Penetapan dismissal diucapkan dalam rapat permusyawaratan, sebelum hari
pesidangan ditentukan dengan memanggil kedua pihak untuk
mendengarkannya.
Terhadap penetapan dismissal dari Ketua Pengadilan dapat dilakukan
upaya hukum perlawanan yang diatur dalam pasal 63 ayat 3, yang pada pokoknya
sebagai berikut:
a. Tenggang waktu perlawanan adalah 14 hari sejak penetapan dismissal
diucapkan
b. Perlawanan diajukan sesuai pasal 56, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
dengan acara singkat
c. Dalam hal perlawanan dibenarkan maka penetapan dismissal gugur demi
hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut
d. Terhadap putusan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum
3. Pemeriksaaan Gugatan
Dalam UU no 5/1986 Hakim/Majelis Hakim dalam memeriksa sengketa
TUN dapat dilakukan melalui 3 (tiga) acara pemeriksaan yaitu:
a. Pemeriksaan acara singkat
Dalam pasal 62 ayat 4 UU no 5 tahun 1985, pada pokoknya menentukan
bahwa karena adanya perlawanan penggugat atas penetapan dismissal ketua
(pasal 62 ayat 2 dan 3), maka perlawanan tersebut diperiksa dan di putus
dengan acara singkat. Oleh karena itu, dapat kita ambil kesimpulan bahwa
pemeriksaan singkat ada karena adannya perlawanan penggugat tentang
gugatannya tidak dapat diterima. Pemeriksaan dalam acara singkat ini,
dilakukan oleh majelis hakim yang di tunjuk ketua dan pemeriksaan tidak
perlu sampai pada materi gugatan. Melainkan hal-hal yang terdapat pada
materi pasal 62 (pertimbangan putusan kenapa sampai gugatannya di tolak dan
apa yang harus di penuhi). Apabila gugatan perlawanan dikabulkan, maka
dilanjutkan dengan acara biasa, dan apabila perlawanan tidak dikabulkan,
maka penetapan dismissal yang dibuat ketua berkekuatan hukum tetap.
Setelah menerima putusan yang diputus oleh hakim baik di terima atau
ditolaknya perlawanan, maka tidak ada upaya hokum lagi melainkan dengan
b. Pemeriksaan acara cepat
Dalam ps 98 (1), Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup
mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya,
penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada Pengadilan supaya
pemeriksaan sengketa dipercepat. Yang harus di perhatikan adalah adanya
permohonan penggugat, dan permohonan tersebut karena ada alasan
kepentingan yang cukup mendesak. Permohonan tersebut apabila tidak di
kabulkan, dilakukan dengan acara pemeriksaan biasa & tidak ada upaya
hokum atas penetapan ini, dan apabila dikabulkan, dalam waktu 7 hari ketua
menunjuk hakim tunggal, dan menentukan waktu, hari dan tanggal sidang.
Dalam pemeriksaan ini, tidak perlu dilakukan pemeriksaan persiapan seperti
pada acara biasa. Pemeriksaan dalam acara cepat, dilakukan / sampai pada
pokok perkara yang sehingga menghasilkan putusan.
c. Pemeriksaan acara biasa
Dalam pemeriksaan acara biasa pada umumnya dilakukan apabila penggugat
tidak mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan TUN untuk beracara
dengan acara cepat. Pemeriksaan acara biasa dilakukan sebagaimana diatur
dalam pasal UU TUN yang pada pemeriksaan diawali dengan pengajuan
gugatan (ps 53-56), rapat permusyawaratan (ps 62), pemeriksaan persiapan (ps
63), penetapan hari sidang (ps 59 ayat 3, 4 & ps 64) panggilan para pihak yang
berperkara (ps 59 ayat 3, 4, ps 64 ayat 2, pasal 65 & ps 66), pemeriksaan di
siding pengadilan yang di mulai dengan pembacaan gugatan oleh ketua
dikabulkan atau di tolaknya permohonan intervensi ( 83 ayat 2), jawab
menjawab / replik-duplik (pasal 75 & 76), pembuktian ( pasal 100),
kesimpulan masing-masing pihak tergugat & penggugat ( ps 97 ayat 1) dan
putusan hakim ps 97 ayat 2, 108, 109 & 112). Pemeriksaan dengan acara biasa
pada umumnya digunakan yang dikarenakan pada pemeriksaan singkat dan
cepat, harus ada permohonan atau keberatan (dlm pemeriksaan singkat),
sehinggaapabila permohonan / keberatan ditolak, maka digunakan
pemeriksaan acara biasa.
4. Putusan
Dalam suatu pemeriksaan sengketa di PTUN sudah selesai maka tahap
akhir dari penyelesaian sengketa adalah putusan.Putusan merupakan hasil
musyawarah majelis Hakim dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk
umum yang tata caranya diatr dalam pasal 97, dan putusan harus memenuhi syarat
formil yang dituangkan dalam pasal 109 UU5/1986.
Putusan pengadilan TUN dapat berupa :
a. Gugatan gugur (pasal 71)
b. Gugatan tidak dapat diterima (pasal 77)
c. Gugatan ditolak
d. Gugatan dikabulkan
1) Seluruhnya
2) Sebagian
Apabila gugatan dikabulkan dapat dibebani kewajiban bagi tergugat
a. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan atau
b. Pencabutan keputusan TUN dan menerbutiak keputusan TUN yang baru atau
c. Penerbitan keputusan TUN dalam hal didasarkan pasal 3
d. Pembebanan ganti rugi
e. Rehabilitasi
Perihal putusan yang sering menimbulkan masalah dalam praktek adalah
menyangkut pelaksanaan (eksekusi). Putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap yang dapat dilaksanakan, dan pelaksanaan putusan Peraturan
tidak dikenal pelaksanaan putusan riel, akan tetapi pelaksanaannya hanya secara
administratif, dan Ketua PTUN wajib mengawasi pelaksanaan putusan (pasal 119).
Pelaksanaan putusan oleh penulis dibedakan menjadi 3 (tiga) :
a. Eksekusi Sukarela, apabila pihak tergugat setelah menerim pemberitahuan
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam kemauannya
sendiri melaksanakan diktum putusan
b. Eksekusi otomatis, apabila setelah 4 (empat) bulan putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap telah dikirim kepada tergugat dan tergugat
tidak mau melaksanakan kewajiban pencabutan keputusan TUN, maka
keputusan TUN tersebut dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum
lagi
c. Eksekusi Hirachis, apabila dalam putusan pihak tergugat dibebani kewajiban
selain pencabutan keputusan TUN dan pihak tergugat tidak mau
melaksanakannya, maka atas permohonan penggugat, Ketua PTUN dengan
tergugat tidak melaksanakannya, maka Ketua PTUN memerintahkan eksekusi
melalui instansi atasannya menurut jenjang jabatan sampai pada batas
akhirnya ke Presiden (pasal 116 ayat 3, 4, 5 dan 6 UU 5/1986).
Apabila ada putusan yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna,
yaitu bila ada kewajiban rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian tidak bisa
dilaksanakan dikarenakan jabatan tersebut telah terisi, maka pihak tergugat dapat
dibebani membayar sejumlah uang atau kompensasi lainnya (pasal 117 dan 121
UU 5/1986). Mengenai besarnya uang kompensasi dan ganti rugi ditentukan
dalam Peraturan Pemerintah no 43 tahun 1991 dan peraturan pelaksanaannya
yaitu Surat Keputusan Menteri Keuangan no. 1129/KMK.01/1991.
5. Upaya Hukum
a. Upaya Hukum Banding.
Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan
pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 UU
Peratun terhadap putusan PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan
banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara (PTTUN). Bunyi Pasal 122 UU Peratun tersebut adalah
“Terhadap putusan pengadilan tata usaha negara dapat dimintakan
pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada pengadilan
tinggi tata usaha negara”.
Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon
menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
setelah putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut.
Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan
pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua
belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor
Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu
30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut.
Para pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori banding,
disertai surat-surat dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha
Negara yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan
kontra memori banding diberikan kepada pihak lawan dengan
perantara Panitera Pengadilan (Pasal 126).
Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan
sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi
TUN berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara
kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan
sendiri untuk pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan
TataUsaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemeriksaan
tambahan.
Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh
Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan
Tinggi TUN yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
surat-surat pemeriksaan dan surat-surat-surat-surat lain kepada Pengadilan TUN yang
memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama, dan selanjutnya meneruskan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 127).
Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan
setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh
Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut
permohonan pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang
bersangkutan, walaupun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan
pemeriksaan banding belum lampau (Pasal 129).
b. Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali
Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya
hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi
diatur dalam pasal 131 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa
pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk
acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No.14 Tahun 1985
Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi
untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan
Agama atau oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara,
dilakukan menurut ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya
Agama, dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga
berpuncak pada Mahkamah Agung.
Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas
terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka
dapat ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke
Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam
pasal 132 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa :
Ayat (1) : “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan
Kembali pada Mahkamah Agung.”
Ayat (2) : “Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan
menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1)
UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.”
2.2.6. Sertifikat Tanah
2.2.6.1.Pengertian Sertifikat
Pasal 1 angka 20 PP 24/1997 menjelaskan bahwa yang dimaksud sertifikat
adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19ayat (2) huruf
c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan,tanah wakaf, hak milik atas satuan
rumah susun dan haktanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam
bukutanah yang bersangkutan.Buku Tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar
yangmemuat data yuridis dan data fisik suatu obyek pendaftaran tanahyang sudah
Menurut Chomsah (2002), yang dimaksud dengansertifikat adalah surat
tanda bukti hak yang terdiri salinan buku tanah dan suratukur, diberi sampul,
dijilid menjadi satu, yang bentuknyaditetapkan oleh Menteri Negara
Agraria/Kepala BadanPertanahan Nasional.Surat Ukur adalah dokumen yang
memuat data fisik suatubidang tanah dalam bentuk peta dan uraian(Pasal 1 angka
17 PP24/1997). Peta Pendaftaran adalah peta yang menggambarkan bidang
ataubidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan tanah (pasal 1angka 15 PP
24/1997).
Sertifikat diberikan bagi tanah-tanah yang sudah ada suratukurnya
ataupuntanah-tanah yang sudah diselenggarakanPengukuran Desa demi Desa,
karenanyasertifikat merupakanpembuktian yang kuat, baik subyek maupun obyek
ilmu hak atastanah.Menurut Effendie (2003), sertifikat tanah adalah salinan dari
buku tanah dansalinan dari surat ukur yang keduanyakemudian dijilid menjadi
satu serta diberisampul yang bentuknyaditetapkan oleh Menteri Negara.
Mengenai jenis sertifikat Chomsah (2002) berpendapatbahwa sampai saat
ini ada 3 jenis sertifikat, yaitu:
1. Sertifikat hak atas tanah yang biasa disebut sertifikat.
2. Sertifikat hak atas tanah yang sebelum Undang-UndangNomor: 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan dikenaldengan Sertifikat Hypotheek dan Sertifikat
Credietverband.Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996tentang Hak Tanggungan, penyebutan sertifikat hyphoteekdan sertifikat
credietverband sudah tidak dipergunakan lagiyang ada penyebutannya adalah