• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUALITAS PELAYANAN PROSES PERKARA SERTIFIKAT GANDA DI PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA SURABAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KUALITAS PELAYANAN PROSES PERKARA SERTIFIKAT GANDA DI PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA SURABAYA."

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Syar at Dalam Memperoleh Gelar Sar jana Ilmu Administr asi Negara FISIP UPN “Veteran” J awa Timur

Oleh: AGUS RIYADI NPM. 0841110044

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

(2)

Disusun Oleh: AGUS RIYADI NPM. 0841110044

Telah disetujui untuk mengikuti UjianSkripsi

Menyetujui,

Pembimbing

Dr. Lukman Arif, MSi NIP: 196411021994031001

Mengetahui

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur

Dra. Ec. Hj. Supar wati, MSi

(3)

KUALITAS PELAYANAN PROSES PERKARA SERTIFIKAT GANDA DI PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA SURABAYA

Disusun Oleh: AGUS RIYADI NPM. 0841110044

Telah dipertahankan di hadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skr ipsi J ur usan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Univer sitas Pembangunan “Veteran” J awa Timur Pada Tanggal: 10 J uli 2014

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur

(4)

LEMBAR REVISI

J udul Penelitian : Kualitas Pelayanan Proses Per kara Sertifikat Ganda

Di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Sur abaya

Nama Mahasiswa : Agus Riyadi

NPM : 0841110044

Pr ogram Studi : Ilmu Administrasi Negara

Fakultas : FISIP

Menyatakan bahwa Skripsi ini telah dir evisi, dan disahkan;

Pada Tanggal: 17 J uli 2014

Dosen Penguji I

Dr. Lukman Arif, MSi NIP: 196411021994031001

Dosen Penguji II

Dra. Sr i Wibawani, MSi NIP. 196704061994032001

Dosen Penguji III

(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulilah atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayahnya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Kualitas Pelayanan ProsesPerkara Sertifikat Ganda Di

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya”.

Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih

jauh dari kata sempurna, oleh karena itu segala masukan dan saran yang bersifat

menyempurnakan bagi skripsi ini, penulis akan menerima dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya terutama kepada Bapak Dr. Lukman Arif, Msi selaku

dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dengan

penuh kesabaran. Selain itu juga penulis ingin menyampaikan terima kasih

kepada:

1. Ibu Dra. Suparwati, Msi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Dr. Lukman arif, Msi, selaku ketua jurusan Ilmu Administrasi Publik,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur.

3. Ibu Dra. Susi Hardjati, Map, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Administrasi

Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan

(7)

4. Para Dosen pengajar Jurusan Administrasi Publik yang telah banyak memberi

masukan dalam proses belajar-mengajar.

5. Bapak H.R. Suhardoto, SH. MH selaku ketuaPengadilanTinggi Tata Usaha

Negara Kota Surabaya.

6. Bapak Edi Supriaji A, Md, SH selaku Petugas wilayah III bagian kepegawaian

7. Dedy Mardianto dan Adi Nendra Saputra, SH selaku informan penelitian yang telah

memberikan waktunya untuk sesi wawancara dengan peneliti.

8. Bapak, Ibu dan Teman-teman yang telah memberi doa sehingga skripsi

inidapatterselesaikan.

Akhir kata penulis sadar bahwa ini masih banyak kekurangannya sehingga

penulis mengharapkan masukan-masukan yang membangun.

Surabaya, 3 Juli 2014

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...

LEMBAR PERSETUJUAN ...

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

ABSTRAKSI ... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Hasil Penelitian Terdahulu ... 10

2.2. Landasan Teori ... 12

2.2.1. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) ... 12

2.2.2. Pelayanan Publik ... 18

2.2.3. Kualitas Layanan ... 21

(9)

2.2.3.1. PengertianSengketa ... 24

2.2.3.2. Sengketa Tata Usaha Negara ... 25

2.2.5. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara ... 26

2.2.6. Sertifikat Tanah ... 38

2.2.6.1. Pengertian Sertifikat ... 38

2.2.6.2. Sertifikat Cacat Hukum ... 41

2.3. Kerangka Berpikir ... 45

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 46

3.1. Jenis Penelitian ... 46

3.2. Situs Penelitian ... 47

3.3. Fokus Penelitian ... 47

3.4. Informan dan Teknik Penarikan Informan ... 51

3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 52

3.6. Teknik Analisa Data ... 53

3.7. Keabsahan Data ... 57

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

4.1. Profil Objek Penelitian ... 61

4.1.1. Gambaran Umum Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya ... 61

4.1.2. Visi, Misi, dan Tujuan PTTUN ... 64

(10)

4.1.4. Komposisi Pegawai Pengadilan Tinggi Tata Usaha

Negara Surabaya ... 79

4.2. Proses Pelayanan di PTTUN Surabaya ... 81

4.3. Penilaian Atas Kualitas Layanan di PTTUN Surabaya ... 83

4.4. Pembahasan ... 104

BAB V. PENUTUP ... 116

5.1. Kesimpulan ... 116

5.2. Saran ... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 118

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Data Jumlah Kasus Yang Telah Diputus Pada PTUN Surabaya 6

Gambar 1.2. Kasus Berdasarkan Jenis Perkara ... 6

Gambar 2.1. Kerangka Berfikir ... 42

Gambar 3.1. Analisis Interaktif Menurut Miles dan Huberman ... 57

Gambar 4. 1. Bagan Struktur OrganisasiPengadilan Tinggi Tata Usaha

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Pegawai Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya

BerdasarkanJenisKelamin ... 79

Tabel4.2.Pegawai PengadilanTinggi Tata Usaha Negara Surabaya

Menurut Tingkat Pendidikan ... 79

Tabel4.3.JumlahPengadilanTinggi Tata Usaha Negara Surabaya

MenurutGolonganRuang ... 80

Tabel 4.4. Rekapan Penilaian Atas DimensiReliability di PTTUN Surabaya 87

Tabel 4.5. Rekapan Penilaian Atas DimensiAssurance di PTTUN Surabaya 93

Tabel 4.6. Rekapan Penilaian Atas DimensiTangible di PTTUN Surabaya 97

Tabel 4.7. Rekapan Penilaian Atas DimensiEmphaty di PTTUN Surabaya 100

Tabel 4.8. Rekapan Penilaian Atas DimensiResponsiveness di PTTUN

Surabaya ... 103

Tabel 4.9. Rekapan Penilaian Atas Dimensi Responsiveness di PTTUN

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Panduan Wawancara ... 121

Lampiran 2. Hasil Wawancara ... 123

(14)

ABSTRAKSI

Agus Riyadi “KUALITAS PELAYANAN PROSES PERKARA SERTIFIKAT GANDA DI PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA SURABAYA”

Penelitian ini berangkat dari permasalahan banyaknya kasus yang ditangani oleh PTTUN Surabaya. Kasus yang ditangani PTTUN Surabaya dapat digolongkan menjadi beberapa kasus, yaitu perijinan, kepegawaian, lelang, kependudukan dan kewarganegaraan, partai politik, tender, pertanahan, dan kasus lain, termasuk di dalamnya adalah piutang. Kasus yang paling banyak ditangani pada periode 2011-2013 adalah kasus pertanahan, yaitu sebannyak 118 kasus. Di antara kasus pertanahan yang ditangani adalah kasus sertifikat ganda. Kualitas pelayanan menjadi kunci dalam penanganan kasus-kasus yang ada tersebut, oleh karena permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah kualitas pelayanan pada penanganan kasus sengketa sertifikat ganda di Kantor Pengadilan Tinggi TUN Surabaya?”.

Jenis penelitian kualitatif yang digunakan adalah case study, yaitu metode penelitian kualitatif dimana peneliti menggali suatu fenomena tertentu (kasus) dalam suatu waktu dan kegiatan (program, even, proses, institusi, atau kelompok sosial), serta mengumpulkan informasi yang rinci dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama periode tertentu. Penelitian studi kasus dipilih karena penelitian ini memfokuskan pada dimensi kualitas pelayanan pada penangangan kasus sertifikat ganda di PTTUN Surabaya. Teknik penarikan informan penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik teknik accidental sampling, yaitu pihak yang sedang berperkara yang secara kebetulan dapat ditemui oleh peneliti ketika melakukan penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Dimensireliabilty sudah baik, hanya

kesalahan kecil dalam proses pelayanan seperti salah ketik harus

diminimalisir;DimensiAssurance cukup baik, hanya saja kemampuan komunikasi pegawai yang masih kurang perlu ditingkatkan dan keramahan pegawai juga perlu ditingkatkan. Citra PTTUN sebagai sebuah lembaga peradilan yang bersih juga perlu ditingkatkan, Dimensitangibles sudah baik, hanya saja saja beberapa pegawai yang memakai sandal jepit setelah jam istirahat siang; Dimensiemphaty

sudah baik, hanya saja diperlukan perhatian yang lebih bersifat personal kepada masing-masing orang yang datang ke PTTUN Surabaya untuk menciptakan pelayanan yang lebih baik; dan DimensiResponsiveness masih kurang, perlu kerja keras untuk meningkatkan dimensi responsifitas layanan di PTTUN Surabaya. Secara umum, kualitas layanan di PTTUN Surabaya masuk dalam kategori cukup baik

(15)

1.1. Latar Belakang

Sebuah negara akan dapat berjalan dengan baik dan mencapai sasaran

yang telah dirumuskan apabila negara tersebut mempunyai alat negara yang baik.

Salah satu alat negara yang harus dijalankan adalah adanya administrasi negara.

Pembangunan administrasi Negara tidak bisa dibangun dengan mudah karena

administrasi negara selain merupakan salah satu sistem sosial dengan berbagai

kompleksitas dimensinya, juga merupakan salah satu sub sistem dari suatu sistem

yang lebih besar yaitu sistem kehidupan bangsa dan negara. Terlebih lagi dalam

era globalisasi sekarang ini sistem administrasi negara juga terkait dan

dipengaruhi oleh perkembangan dunia internasional, misalnya perkembangan

perdagangan internasional.

Negara Indonesia merupakan negara hukum sehngga hukumlah yang

mempunyai arti penting terutama dalam semua segi-segi kehidupan masyarakat.

Segala penyelenggaraan yang dilaksanakan oleh negara dengan perantaraan

pemerintahnya harus sesuai dan menurut saluran-saluran yang telah ditentukan

terlebih dahulu oleh hukum. Karena negara Indonesia merupakan negara hukum,

tiap tindakan penyelenggara negara harus berdasarkan hukum. Peraturan

perundang-undangan yang telah diadakan lebih dahulu, merupakan batas

(16)

norma-norma hukum dan peraturan-peraturan hukum harus ditaati, juga oleh pemerintah

atau badan-badannya sendiri.

Salah satu upaya pemerintah dalam rangka mewujudkan hukum yang ada

serta mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih maka Negara Indonesia

membentuk PTUN dimana peradilan PTUN tersebut berdiri sendiri atau dengan

kata lain terpisah dari Peradilan Umum. Keberadaan pengadilan administrasi

negara (PTUN) di berbagai negara modern terutama negara-negara penganut

paham Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu tonggak yang

menjadi tumpuan harapan masyarakat atau warga negara untuk mempertahankan

hak-haknya yang dirugikan oleh perbuatan hukum publik pejabat administrasi

negara karena keputusan atau kebijakan yang dikeluarkannya. Melihat kenyataan

tersebut, dapat dipahami bahwa peradilan administrasi negara (PTUN) diperlukan

keberadaannya, sebagai salah satu jalur bagi para pencari keadilan yang merasa

kepentingannya dirugikan karena dalam melaksanakan kekuasaannya itu ternyata

badan atau pejabat administrasi negara yang bersangkutan terbukti melanggar

ketentuan hukum.

Di Indonesia, pengadilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU

No.5 Tahun 1986 Jo UU No. 9 Tahun 2004. Berdasarkan Pasal 24 ayat (3)

Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan 10 November

2001 Jo pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

dikenal 4 lingkungan lembaga peradilan, yaitu:

1. Peradilan Umum

(17)

3. Peradilan Militer dan;

4. Peradilan Tata Usaha Negara.

Tujuan pembentukan dan kedudukan suatu PTUN dalam suatu negara,

terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Negara Kesatuan Republik

Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, oleh

karenanya hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi disamping juga hak

masyarakatnya. Kepentingan perseorangan adalah seimbang dengan kepentingan

masyarakat atau kepentingan umum. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh S.F

Marbun, tujuan pembentukan PTUN adalah untuk memberikan perlindungan

terhadap semua warga negara yang merasa haknya dirugikan-sekalipun hal itu

dilakukan oleh alat negara sendiri.

Disamping itu untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan umum

dengan kepentingan perseorangan agar berjalan selaras dan rasa keadilan dalam

masyarakat terpelihara serta dapat ditingkatkan, yang sekaligus merupakan public

servicenegara terhadap warganya. Selain itu, tujuan dibentuknya peradilan

administrasi negara (PTUN) adalah untuk melindungi warga masyarakat yang

kepentingan hukumnya seringkali tertindih atau terjepit dengan semakin luasnya

campur tangan penguasa ke dalam kehidupan masyarakat. Melalui PTUN

masyarakat dapat menggugat penguasa dan mendapatkan tindakan korektif dari

PTUN. Dengan demikian PTUN adalah sebagai salah satu badan peradilan yang

melaksanakan kekuasaan kehakiman, merupakan kekuasaan yang merdeka yang

berada di bawah Mahkamah Agung dalam rangka menyelenggarakan peradilan

(18)

merupakan bagian dari perlindungan hukum bagi rakyat atas perbuatan hukum

publik oleh pejabat administrasi negara yang melanggar hukum.

Berdasarkan hal tersebut, maka peradilan administrasi negara (PTUN)

diadakan dalam rangka memberikan perlindungan (berdasarkan keadilan,

kebenaran dan ketertiban dan kepastian hukum) kepada rakyat pencari keadilan

(justiciabelen) yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu perbuatan hukum

publik oleh pejabat administrasi negara, melalui pemeriksaan, pemutusan dan

penyelesaian sengketa dalam bidang administrasi negara.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun segala bentuk

tindakan pejabat administrasi negara telah diatur dalam norma-norma hukum

administrasi negara akan tetapi bila tidak ada lembaga penegak hukum dari

hukum administrasi negara itu sendiri, maka norma-norma tersebut tidak

mempunyai arti apa-apa. Oleh sebab itu eksistensi (PTUN) sesuatu yang wajib,

dengan maksud selain sebagai sarana kontrol yuridis terhadap pelaksana

administrasi negara juga sebagai suatu bentuk atau wadah perlindungan hukum

bagi masyarakat karena dari segi kedudukan hukumnya berada pada posisi yang

lemah. Mekanisme perlindungan hukum ini penting karena di dalam kehidupan

masyarakat sering ditemui permasalahan atau sengketa antara individu, baik

perorangan maupun kelompok, dengan Pemerintah yang berkaitan dengan

kebijakan-kebijakan dan Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat

KTUN) yang dikeluarkan oleh Pejabat administrasi negara dalam

menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Undang-Undang Nomor 9

(19)

Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya

disingkat UU PTUN 1986) menyebut sengketa tersebut sebagai sengketa TUN.

Sengketa TUN muncul jikalau seseorang atau badan hukum perdata merasa

dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan. Sebagaimana diketahui

bahwa, Pejabat TUN dalam fungsi menyelenggarakan kepentingan dan

kesejahteraan umum tidak terlepas dari tindakan mengeluarkan keputusan,

sehingga tidak menutup kemungkinan pula keputusan tadi menimbulkan kerugian.

Di Jawa Timur, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dijalankan oleh

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya. Pembentukan Pengadilan Tinggi

Tata Usaha Negara Surabaya didasarkan pada Undang Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 1993 Tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata

Usaha Negara Surabaya. Pembentukan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat

(2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara,

perlu dibentuk Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di setiap ibukota Propinsi.

Berdasarkan data putusan yang diupload pada direktori putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia, jumlah kasus yang ada pada PTUN

Surabaya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Data jumlah putusan kasus ini

dapat dilihat pada Gambar 1.1. Berdasarkan data yang ada pada Gambar 1.1 dapat

dilihat bahwa jumlah kasus yang telah diputus pada tahun 2011 adalah sebanyak

123 kasus, pada tahun 2012 sebanyak 143 kasus. Sementara pada tahun 2013

jumlah kasus yang telah diputus adalah sebanyak 48 kasus (Periode akhir Juli

(20)

Gambar 1.1

Data J umlah Kasus Yang Telah Diputus Pada PTUN Surabaya

Sumber: http://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pttun-surabaya/periode/putus

Gambar 1.2

Kasus Berdasar kan J enis Per kara

(21)

http://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pttun-Berdasarkan jenis perkara, kasus yang ada pada PTTUN Surabaya dapat

digolongkan menjadi beberapa kasus, yaitu perijinan, kepegawaian, lelang,

kependudukan dan kewarganegaraan, partai politik, tender, pertanahan, dan kasus

lain, termasuk di dalamnya adalah piutang. Berdasarkan data yang ada dapat

dilihat bahwa kasus paling banyak yang terjadi di PTTUN Surabaya adalah kasus

pertanahan dengan jumlah 118 kasus. Berdasarkan kondisi ini maka penelitian ini

akan difokuskan pada kasus pertanahan saja.

Di antara kasus pertanahan yang ada salah satunya adalah sengketa yang

terjadi karena adanya sertifikat ganda. Sekarang dalam praktek tidak jarang terjadi

beredarnya sertifikat palsu, sertifikat asli tetapi palsu atau sertifikat ganda di

masyarakat sehingga pemegang hak atas tanah perlu mencari informasi tentang

kebenaran data fisik dan data yuridis yang tertera dalam sertifikat tersebut di

Kantor Pertanahan setempat. Pada umumnya masalah baru muncul dan diketahui

terjadi penerbitan sertifikat ganda, yaitu untuk sebidang tanah diterbitkan lebih

dari satu sertifikat yang letak tanahnya saling tumpang tindih, ketika pemegang

sertifikat yang bersangkutan akan melakukan suatu perbuatan hukum atas bidang

tanah yang dimaksud.

Salah satu kunci sukses dalam penanganan kasus adalah bagaimana proses

penanganan kasus yang sedang berjalan tersebut dilaksanakan dengan baik. Proses

yang dilakukan dengan baik akan menjadikan kasus dapat terselesaikan dengan

cepat dan pihak-pihak yang berperkara juga akan merasa terlayani dengan baik.

Sebagai institusi publik yang memberikan pelayanan kepada publik, maka kualitas

(22)

dari Pengadilan Tinggi TUN Surabaya. Kualitas layanan yang baik akan

menjadikan pengguna layanan menjadi puas dan tentu akan meningkatkan citra

Pengadilan Tinggi TUN Surabaya.

Bertitik pangkal dari uraian di atas dan ketentuan-ketentuan yang ada,

serta karena sertifikat merupakan produk Instansi Pemerintah yang dikeluarkan

melalui proses yang ketat dan teliti, maka penulis tertarik untuk mengkaji

permasalahan tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul “Kualitas Pelayanan

Pada Pr oses Per kar a Sertifikat Ganda Di Pengadilan Tinggi Tata Usaha

Negara Surabaya”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

“Bagaimanakah kualitas pelayanan pada penanganan kasus sengketa sertifikat

ganda di Kantor Pengadilan Tinggi TUN Surabaya?”

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas pelayanan pada

penanganan kasus sengketa sertifikat ganda di Kantor Pengadilan Tinggi TUN

Surabaya.

1.4. Manfaat Penelitian

(23)

1. Manfaat Praktis

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberi masukan bagi Kantor

Pengadilan Tinggi PTUN Surabaya untuk menyempurnakan kualitas layanan

pada penanganan kasus yang selama ini dijalankan.

2. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan penelitian ini dapat mengkonfirmasi bahwa penanganan kasus

merupakan aspek penting dalam sistem pelayanan di Pengadilan Tinggi

Usaha Negara Surabaya

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat melengkapi perbendaharaan

perpustakaan UPN Veteran Surabaya dan kelak berguna bagi dosen dan

mahasiswa yang hendak melakukan penelitian lanjutan serta sebagai bahan

(24)

2.1. Hasil Penelitian Ter dahulu

Bagian ini akan membahas tentang penelitian terdahulu yang relevan

dengan penelitian ini. Salah satu penelitian dilakukan oleh Arif (2011) dengan

judul “Kualitas Pelayanan Publik Di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin

Makassar, Studi Kasus Pelayanan Jasa Penumpang”.Penelitian ini dilaksanakan di

Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar, Data primer dikumpulkan

dengan teknik wawancara mendalam dengan penumpang dan pejabat pengelola

bandara serta observasi langsung, sedangkan data sekunder diperoleh dari laporan,

artikel dan standar operasional pelayanan. Data dianalisis dengan menggunakan

analisis teori service quality.

Hasil analisa data menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik pada

Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar belum maksimal, dimana

penilaian negatif dari penumpang lebih dominan dari penilaian positifnya.

Penilaian positif terhadap beberapa dimensi fasilitas publik diantaranya adalah:

tampilan fisik bandara baik dari interior maupun eksterior, penampilan petugas,

kesejukan dan kapasitas terminal serta kecukupan jumlah trolley. Begitupun dari

kualitas pelayanan dalam bidang keterampilan petugas, kemudahan mendapatkan

informasi, kecepatan dalam pelayanan pemeriksaan keamanan serta check in dan

kejelasan mengenai prosedur pelayanan. Penilaian negatif dari penumpang

(25)

diabaikan demi peningkatan kualitas pelayanan yaitu: Penggunaan bandara

sebagai sarana promosi dan pemasangan iklan, kehandalan sarana dan prasarana

pendukung fasilitas pelayanan publik seperti toilet, perparkiran, dan arus lalu

lintas belum memenuhi standar pelayanan, kesopanan dan keramahan petugas

dalam menangani masalah yang dihadapi penumpang, kemudahan mendapatkan

informasi, layanan bus bandara dan pelayanan non formal yakni calo dan

angkutan liar di bandara.

Penelitian lain dilakukan oleh Thariq (2013) dengan judul “Kualitas

Pelayanan Publik di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Malinau,

Studi Implementasi Pelayanan Administrasi Kependudukan”.Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui tentang kualitas pelayananpublik di Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Malinau dalampelaksanaan pelayanan

administrasi kependudukan yakni pengurusan KTP danKK. Metode yang digunakan

dalam pengumpulan data adalah metode observasi, tanya jawab dan

documentresearch.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik terutama

dalam pelayanan administrasi kependudukan sudah cukup baik namun masih belum

maksimal dengan melihat transparansi dalam pelayanan, tanggung jawab aparatur

pelayanan, kondisi pelayanan, partisipasi penerima pelayanan, kesamaan hak dalam

memberikan pelayanan serta keseimbangan hak dan kewajiban aparatur pelayanan.

Kendala yang dihadapi dalam melaksanakan pelayanan administrasi kependudukan

seperti sarana dan prasarana yang kurang memadai untuk melakukan pelayanan,

keadaan geografis Malinau yang cukup luas, dana yang terbatas serta masalah

(26)

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Peradilan ini dibentuk dengan yang ditandai dengan disahkannya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran

Negara tahun 1986 Nomor 77 Tambahan Lembaran Negara 3344)Lembaran

Negara tahun 1986 Nomor 77 Tambahan Lembaran Negara 3344 pada tanggal

29Desember 1986 dalam konsideran “menimbang” Undang-Undang tersebut

disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara

(PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang

sejahtera, aman, tentram, serta tertib yang menjamin kedudukan warga

masyarakat dalam hukum serta menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi,

seimbang dan selaras antara aparatur dibidang tata Usaha Negara dan para warga

masyarakat, ini juga berarti menunjukkan salah satu langkah dalam upaya

pembangunan bidang hukum, guna lebih memberi isi pada makna negara hukum

Indonesia yang di dasarkan kepada pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3 dimana dijelaskan

Negara Indonesia adalah sebuah Negara hukum “Negara Indonesia adalah negara

hukum.Negara hukum yang menjadi maksud disini adalah bukanlah hanya

sekedar artian dalam arti formal, atau negara penjaga malam, tetapi dalam artian

luas yaitu materill. Maksud dari materill adalah tindakan penguasa harus

berdasarkan undang-undang dan dapat berlaku asas legalitas. Maka dalam negara

hukum materill tindakan dari penguasa dalam hal mendesak demi kepentingan

(27)

opportunitas (asas yang dapat berlaku apabila pemerintah membuat sebuah hal

yang menyimpang tetapi dengan tujuan yang baik dan benar).

Dalam pembangunan hukum di Indonesia, pembuatan sebuah

Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara merupakan suatu hal yang baru

dalam sejarah Peradilan di Indonesia, karena sebelum Peraturan Tata Usaha

Negara ini lahir, di parisada nusantara baik pada masa sebelum dan sesudah

kemerdekaan sampai pada tahun 1986 belum pernah ada dibentuk lembaga

Peradilan yang membidangi Tata Usaha Negara (TUN).

Tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan administrasi dalam

suatu bangsa adalah terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Bagi Republik

Indonesia yang merupakan negara hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undang-undang Dasar 1945, hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi

dan disamping itu hak masyarakat (Wijaya, 2005).

Dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1986 telah dijelaskan secara

terperinci tentang pengertian yang termuat dalam Undang-undang itu, yakniTata

Usaha Negara adalah administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk

menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun daerah.

Karakteristik merupakan sebuah perpanjangan kata dari Karakter, dalam kamus

besar Bahasa Indonesia (KBBI) karakter adalah 1) sifat-sifat kejiwaan, akhlak,

atau budi pekerti yang membeadakan seseorang dengan yang lainnya, 2) karakter

juga dapat bermakna huruf. Dalam artiannya, karakteristik adalah sebuah ciri khas

yang dimiliki dan tidak dimiliki dengan yang lainnya. Hukum acara dari Peradilan

(28)

hakikatnya merupakan sebuah hukum publik. Hukum formal disebut juga

berfungsi sebagai publiekrechtelijk instrumentarium untuk menegakkan sebuah

hukum formal.

Dalam arti luas “Peradilan Administrasi Negara adalah peradilan yang

menyangkut pejabat-pejabat dan instansi administrasi negara, baik yang bersifat:

perkara pidana, perkara perdata, perkara agama, perkara adat, dan perkara

administratif murni. Sedangkan dalam arti sempit peradilan administrasi negara

adalah peradilan yang menyelesaikan perkara-perkara administrasi murni

semata-mata” dan menurut Abduh (1979) bahwa yang diadili peradilan administrasi,

adalah pelanggaran-pelanggaran dari ketentuan yang mengatur tentang

administrasi, apakah sebagai aparatur/ sebagai fungsi serta proses.

Pada saat ini terkadang masih terdapat banyak kesalahpahaman terhadap

peradilan administrasi dan peradilan tata usaha negara. Di dalam Undang-undang

nomor 5 tahun 1986 telah dijelaskan secara terperinci tentang pengertian yang

termuat dalam Undang-undang itu, yaitu “Tata Usaha Negara adalah administrasi

Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan

baik di pusat maupun daerah”.

Hukum acara dari Peradilan Tata Usaha Negara merupakan bentuk dari

sebuah hukum formal yang pada hakikatnya merupakan sebuah hukum publik.

Hukum formal disebut juga berfungsi sebagai publiekrechtelijk instrumentarium

untuk menegakkan sebuah hukum formal.

Hal-hal yang menjadi karakteristik Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal

(29)

1. Peranan hakim yang aktif (dominus litis)

Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah karena hakim tata usaha negara

dibebani dengan tugas untuk mencari sebuah kebenaran yang bersifat materiil

dan dapat dipertanggung jawabkan. (pasal 63 ayat 2a dan b/ pasal 80 ayat 1/

pasal 85/ pasal 95 ayat 1/ dan pasal 103 ayat 1 Undang-Undang Peradilan Tata

Usaha Negara). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi

kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat tata usaha negara

sedangkan penggugat adalah sebuah badan hukum perdata atau orang

perseorangan (pasal 58).

2. Kompensasi ketidak seimbangan antara kedudukan antara penggugat dan juga

oleh tergugat.

3. Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas (vrijbewijs)

yang terbatas.

Hakim yang menetapkan beban pembuktian, dimana terdapat perbedaan

dengan ketentuan pasal 1865 BW. Asas ini dianut dalam pasal 107

Undang-undang no. 5 tahun 1986 hanya saja masih dibatasi ketentuan pasal 100.

4. Gugatan di pengadilan tidak bersifat mutlak dan bersifat menundapelaksanaan

suatu keputusan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) yangdigugat.

Di dalam pasal 67 dijelaskan tentang hal tersebut dimana keputusan

TataUsaha Negara yang di gugat itu diperintahkan penundaannya.

Pengadilanakan mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan

TataUsaha Negara tersebut hanya apabila: pertama, terdapat keadaan

(30)

akansangat tidak seimbang dan sebanding dengan manfaat bagi

kepentinganyang akan dilindungi oleh keputusan dan pelaksanaan dari

keputusan tatausaha negara itu; kedua, pelaksanaan keputusan Tata Usaha

Negara yangdigugat tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan

umumdalam rangka pembangunan.

5. Keputusan yang akan ditetapkan oleh hakim adalah tidak boleh bersifatultra

petita (melebihi tuntutan dari penggugat dalam persidangan) tetapiakan

dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa penggugatkedalam

sesuatu keadaan yang lebih buruk) selama masih diatur di

dalamundang-undang.

6. Terhadap putusan hakim tata usaha negara berlaku dan mengikat asas

ergaomnes. Dimana dimaksudkan bahwa putusan itu tidak hanya berlaku

bagipara pihak yang bersengketa, tetapi juga akan berlaku bagi para pihak

lainyang akan terkait.Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum

publik. Dengan demikian putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi

siapa saja. Dalam rangka ini pasal 83 bertentangan dengan asas erga omnes.

7. Dalam proses pemeriksaan yang dipersidangan akan berlaku asas auti et

alteram partem. Dimana asas ini dimaksudkan para pihak yang saling

bersengketa harus diberikan kesempatan-kesempatan untuk memberikan

penjelasan tentang perkara tersebut sebelum hakim memberikan sebuah

keputusan.

8. Dalam mengajukan sebuah gugatan harus terdapat kepentingan oleh salah satu

(31)

boleh mengajukan sebuah gugatan. Gugatan yang ditujukan haruslah memiliki

hal yang kuat dan penting bagi si penggugat dan memiliki dasar yang kuat

dalam pengajuan gugatan.

9. Kebenaran yang akan dicapai adalah sebuah kebenaran materill dengan tujuan

yaitu menyeimbangkan dari sebuah kepentingan perseorangan dengan

kepentingan bersama.

Suatu keputusan Tata Usaha Negara yang akan selalu mengandung asas

prasumptio iustae causa”, yaitu bahwa suatu keputusan Tata Usaha Negara

(TUN) atau disebut beschikking harus selalu dianggap sah selama belum

dibuktikan sebaliknya sehingga pada prinsipnya harus selalu dan dapat harus

segera dilaksanakan (Triwulan, Titik, dan Widodo, 2001).Asas

Pramsumptioiustae causa”, yaitu bahwa suatu keputusan tata usaha negara

(beschikking) harus selalu dianggap sah selama belum dibuktikan sebaliknya,

sehingga pada prinsipnya harus selalu dapat segera dilaksanakan.

Dalam pengontrolan dan untuk menilai tindakan hukum pemerintah dalam

bidang hukum publik, maka harus digunakan beberapa asas, yaitu:

1. Asas perlindungan terhadap kepentingan umum atau publik yang menonjol

disamping perlindungan terhadap individu.

2. Asas “self respect” atau “self obidence” dari aparatur pemerintah terhadap

putusan-putusan peradilan administrasi, karena tidak dikenal adanya upaya

pemaksa yang langsung melalui juru sita seperti halnya dalam prosedur

(32)

Mengenai perlindungan terhadap dua sisi yaitu kepentingan umum atau

publik dan kepentingan individu, disebutkan dalam penjelasan umum

Undang-undang no. 5 tahun 1986 angka 1 bahwa disamping hak-hak perseorangan,

masyarakat juga mepunyai hak-hak tertentu. Oleh karena itu tujuan Peradilan Tata

Usaha Negara sebenarnya tidak hanya semata-mata memberikan perlindungan

terhadap hak masyarakat. Ditinjau dari segi pernyataan tersebut persoalan

selanjutnya merupakan mekanisme untuk melakukan penyeimbangan antara dua

sisi kepentingan tersebut, dimana hak itu perlu untuk ditransparansikan. Sebab

masalahnya akan menyangkut segi ukuran objektif pemberian keadilan secara

konsisten yang berkaitan pula dengan masalah kemandirian institusi peradilan

dalam hakim memutus suatu perkara.

2.2.2. Pelayanan Publik

Kata pelayanan berasal dari kata “layanan” yang menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia adalah perihal atau “cara melayani; servis; atau kemudahan

yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa” (KBBI, 2008).

Definisi pelayanan menurut Nasution (2005) adalah aktifitas atau manfaat yang

ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud

dan tidak menghasilkan kepemilikan apapun. Produknya mungkin terikat atau

tidak terikat pada produk fisik. Sedangkan pengertian publik menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia (2008) adalah orang banyak (umum).

Pelayanan publik berhubungan dengan pelayanan yang masuk kategori

(33)

pemerintah daerah dan BUMN/BUMD. Ketiga komponen yang menangani sektor

publik menyediakan pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, keamanan

dan ketertiban, bantuan sosial dan penyiaran. Dengan demikian yang dimaksud

pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh negara dan perusahan

milik negara kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam

rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat (Nurcholis, 2005).

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 1

disebutkan yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah kegiatan atau

rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas

barang, jasa dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara

pelayanan publik. Pengertian yang sama mengenai pelayanan publik juga tertuang

dalam Perda Jawa Timur Nomor 11 tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di

daerah Jawa Timur, yaitu segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan

dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan penduduk atas suatu

barang, jasa dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara

pelayanan terkait dengan kepentingan publik. Pelayanan publik adalah pemberian

layanan (melayani) keperluan orang yang mempunyai kepentingan pada

organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.

Uraian mengenai pelayanan publik menyebutkan pelayanan publik

diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Penyelenggara dalam hal ini

adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen,

(34)

badan hukum lain yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang untuk kegiatan

pelayanan publik dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk

kegiatan pelayanan publik.

Faktor utama yang menjadi penghambat dalam pelayanan publik yang baik

dapat dianalisa dari dua sisi, yakni birokrasi dan standar pelayanan publik. Sudah

menjadi rahasia umum bahwa dalam tubuh pemerintahan negara Indonesia pada

semua jenjang dan jenisnya memiliki sturuktur birokrasi yang panjang, gemuk,

dan berbelit. Hal ini mengakibatkan panjang dan berbelit-belitnya suatu urusan di

sebuah lembaga penyedia layanan publik, yang tentu saja membutuhkan waktu

lebih lama dan biaya mahal. Keadaan ini diperburuk oleh mentalitas mayoritas

aparat pemerintah yang masih feodalistik dan justru minta dilayani oleh rakyat.

Proses rekrutmen kepegawaian yang kurang memperhatikan profesionalisme

seseorang juga menjadi faktor penghambat pelaksanaan pelayanan publik dengan

baik. Selain itu, sistem penggajian yang rendah seringkali menjadi pemicu setiap

petugas negara menjalankan aksi “mempersulit urusan” dari anggota masyarakat

yang berurusan dengan mereka.

Sebagai sebuah negara besar yang sedang membangun, kebutuhan

pelayanan publik yang baik dan berkualitas adalah mutlak. Hal ini diperlukan

dalam rangka mendorong percepatan pembangunan bangsa dan negara Indonesia

menuju pencapaian cita-cita nasional yakni mewujudkan masyarakat yang

sejahtera, adil dan makmur. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah sesuatu yang wajib mendapat

(35)

menjadi sebuah tulisan di lembaran negara tetapi dapat diwujudkan demi

terciptanya pelayanan publik yang baik dan dapat memenuhi kebutuhan

masyarakat.

2.2.3. Kualitas Layanan

Menurut Lovelock dan Wright (2007) kualitas jasa adalah evaluasi

kognitif jangka panjang pelanggan terhadap penyerahan jasa instansi. Dalam

konsep SERVQUAL (Service Quality), yaitu persepsi konsumen atas layanan

yang nyata diterima (perceived service) dengan layanan yang sesungguhnya

diharapkan (expected service) (Parasuraman, et al., dalam Rizan, 2010). Jika

pelanggan memahami penyerahan jasa yang sesungguhnya lebih baik dari yang

diharapkan, mereka akan senang, jika penyerahan jasa tersebut berada di bawah

harapannya, mereka akan merasa tidak senang.Penaksiran service quality

difokuskan pada dimensi pada service atau jasa yaitu dititikberatkan pada

penilaian yang menggambarkan tanggapan konsumen dari elemen-elemen service

dalam interaksi kualitas dan lingkungan fisik kualitas yang dibangun melalui

pengalaman interaksi antara pelanggan dengan instansi penyedia jasa atau layanan

secara bertahap.

Harapan pelanggan atas kualitas produk atau jasa terbentuk oleh beberapa

faktor, yaitu (Tangkilisan, 2007):

(36)

Faktor ini merupakan faktor yang bersifat stabil dan mendorong pelanggan

untuk meningkatkan sensivitasnya terhadap jasa.

2. Personal need

Kebutuhan yang dirasakan seorang mendasar bagi kesejahteraannya juga

sangat menentukan harapannya.

3. Transitory service intensifier

Faktor ini merupakan faktor individual yang bersifat sementara (jangka

pendek) yang meningkatkan sensitivitas pelanggan terhadap jasa.

4. Perceived service alternative

Merupakan persepsi pelanggan terhadap tingkat atau derajat pelayanan

instansi yang sejenis.

5. Self perceived role

Faktor ini adalah persepsi pelanggan tentang tingkat atau derajat keterlibatan

dalam mempengaruhi jasa yang diterimanya.

6. Situational factor

Faktor situasional terdiri atas segala kemungkinan yang bisa mempengaruhi

kinerja jasa, yang berada di luar kendali penyedia jasa.

7. Explicit sevice promises

Faktor ini merupakan pernyataan (secara personal atau nonpersonal) oleh

organisasi tentang jasanya kepada pelanggan.

(37)

Faktor ini menyangkut petunjuk yang berkaitan dengan jasa yang memberikan

kesimpulan bagi pelanggan tentang jasa yang bagaimana seharusnya dan yang

akan diberikan.

9. Word of mouth (Rekomendasi atau saran dari orang lain)

Merupakan pernyataan secara personal atau nonpersonal yang disampaikan

oleh orang lain selain organisasi (sertvice provider) kepada pelanggan.

10.Past experience

Pengalaman masa lampau meliputi hal-hal yang telah dipelajari atau diketahui

pelanggan dari yang pernah diterima di masa lalu.

Menurut Parasuraman, et al., (dalam Lupiyoadi & Hamdani, 2008),

kualitas layanan diukur melalui lima dimensi sebagai berikut:

1. Kehandalan (Reliability)

Kemampuan instansi untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang

dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan

pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua

pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik dan dengan akurasi yang

tinggi.

2. Jaminan dan kepastian (Assurance)

Pengetahuan, kesopan-santunan, dan kemampuan para pegawai instansi untuk

menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada instansi. Hal ini meliputi

beberapa komponen antara lain komunikasi (communication), kredibilitas

(credibilty), keamanan (security), kompetensi (competence) dan sopan santun

(38)

3. Berwujud (Tangibles)

Kemampuan suatu instansi dalam menunjukkan esksitensinya pada pihak

eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik instansi

yang dapat diandalkan, keadaan fisik lingkungan sekitarnya merupakan bukti

fisik nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa.

4. Perhatian (empathy)

Memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang

diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan

konsumen. Di mana suatu instansi diharapkan memiliki pengertian dan

pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara

spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.

5. Ketanggapan (Responsiveness)

Suatu kebijakan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat

(responsif) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang

jelas.

2.2.4. Sengketa Tata Usaha Negara

2.2.3.1.Pengertian Sengketa

Sengketa dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008) berarti pertentangan atau

konflik.Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,

kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu obyek

permasalahan. Senada dengan hal tersebut, Winardi (2000) mengemukaan bahwa

(39)

kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu

obyek kepemilikan yang menimbulkan akibat hokum antara satu dengan yang

lain.

Sedangkan menurut Achmad (2003) berpendapat sengketa adalah

pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda

tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hokum

bagi keduanya.Berdasarkan kedua pendapat di atas maka dapat dikatakan bahwa

sengketa adalah perilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat

menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hokum bagi

salah satu di antara keduanya.

2.2.3.2.Sengketa Tata Usaha Negara

Sengketa dapat dibedakan atas 2 bagian, yaitu sengketa intern dan

sengketa ekstern.Sengketa intern atau sengketa antara administrasi Negara terjadi

di dalam lingkungan administrasi Negara (TUN) itu sendiri, baik yang terjadi

dalam satu departemen (instansi) maupun sengketa yang terjadi antar departemen

(instansi). Perbuatan administrasi Negara (TUN) dapat dikelompokkan ke dalam

tiga (3) macam perbuatan, yakni: mengeluarkan keputusan mengeluarkan

peraturan perundang-undangan, dan melakukan perbuatan materiil (Irwan, 2009).

Dalam melakukan perbuatan tersebut badan atau pejabat tata usaha Negara tidak

jarang terjadi tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hokum,

(40)

tersebut. Kerugian yang ditimbulkan inilah yang akan mengakibatkan adanya

sengketa TUN.

Sengketa ekstern atau sengketa antara adminstrasi Negara dengan rakyat

adalah perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara adminstrasi

Negara dengan rakyat sebagai subyek yang berperkara ditimbulkan oleh unsur

dari unsur peradilan administrasi murni yang mensyaratkan adanya minimal dua

pihak dan sekurang-kurangnya salah satu pihak harus administasi Negara, yang

mencakup adminstrasi Negara di tingkat daerah maupun administasi Negara pusat

yang ada di daerah. Dengan demikian sengketa intern adalah menyangkut

persoalan kewenangan pejabat TUN yang disengketakan dalam satu departemen

(Instansi) atau kewenangan suatu departemen (instansi) terhadap departemen yang

lainnya yang disebabkan tumpang tindihnya kewenangan sehingga menimbulkan

kekaburan kewenangan.Sengketa ini dapat juga disebut sebagai hukum antar

wewenang (Irwan, 2009).

Yang menjadi pangkal sengketa adalah keputusan Tata Usaha

Negara.Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh

badan atau pejabat TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat

hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

2.2.5. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara

Secara sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang

(41)

Materil dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik tersendiri yang

membedakan peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Sebelum membahas

tentang mekanisme penyelesaian sengketa TUN di PTUN, terlebih dahulu akan

diuraikan hal-hal yang merupakan ciri Hukum Acara Peratun sebagai pembeda

dengan Peradilan lainnya.

Hadjon (2001) menyatakan bahwa ciri khas hukum acara peradilan tata

usaha negara terletak pada asas-asas hukum yang mendasarinya, yaitu:

1. Asas praduga rechmatig (vemoeden van rechtmatigheid = praesumptio instae

causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa harus

dianggap sebagai rechmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini,

gugatan tidak menuda pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat (1) UU

No.5 Tahun 1986);

2. Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini

berbeda dengan ketentuan pasal 1865 BW. Asas ini dianut dalam Pasal 107

UU No.5 Tahun 1986 hanya saja masih dibatasi ketentuan Pasal 100;

3. Asas keaktifan hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk

mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat TUN,

sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas

ini antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 58, Pasal 63 ayat (1 dan 2),

Pasal 80, dan Pasal 85;

4. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”.

Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan

(42)

bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan Pasal 83 tentang intervensi

bertentangan dengan asas “erga omnes”.

Tahapan dalam proses penangangan sengketa tata usaha negara adalah

sebagai berikut:

1. Pengajuan Sur at Gugatan

Berdasarkan pasal 53 ayat 1 jo pasal 1 butir 4 UU 5/1986, maka dapat

disimpulkan bahwa gugatan pada Peradilan TUN (Peratun) adalah suatu tuntutan

hukum yang diajukan oleh orang atau badan hukum perdata terhadap badan atau

pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan TUN, yang merugikan kepentingan

orang atau badan hukum perdata tersebut dengan permintaan supaya Peratun

menyatakan batal atau tidak sah keputusan TUN tersebut atau tanpa disertai

tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.

Gugatan yang telah disusun/dibuat oleh penggugat atau kuasanya,

kemudian didaftarkan di Kepaniteraan PTUN yang berwenang sesuai dengan

ketentuan pasal 54 UU 5/1986. Setelah itu oleh panitera mengadakan penelitian

administratif baik administrasi yang diharuskan penggugat dalam mengajukan

gugatan (misal: membayar persekot biaya dll), serta teradap surat gugatannya

sudah memenuhi pasal 56 atau belum. Menurut pasal 56 UU 5/86, pada pokoknya

gugatan harus memenuhi sebagai berikut :

a. Syarat formil, yang berisi identitas penggugat, tergugat maupun kuasanya

b. Syarat materil:

1) Dasar gugatan / posita gugatan

(43)

Bahwa gugatan tidak dapat diajukan setiap waktu kehendak penggugat

karena dalam pasal 55 jo 3 UU 5/1986 telah membatasi secara limitatif. Apabila

yang digugat berupa keputusan TUN (keputusan positif kongkit) maka gugatan

hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak

diumumkan atau diterimanya surat keputusan TUN.

Hal tersebut akan menimbul masalah apabila surat keputusan tersebut

merugikan kepentingan pihak ketiga. Terhadap permasalah ini, untuk memenuhi

kebutuhan praktek di peratun, MARI telah mengeluarkan SEMA no 2 tahun 1991,

yang pada pokoknya menyatakan bahwa perhitungan tenggang waktu dihitung

secara kausitis, yaitu 90 hari sejak saat pihak ketiga mengetahuinya.

Apabila obyek sengketa berupa keputusan TUN yang bersifat fiktif

permohonan sebagaimana perhitungan tenggang waktu berdasarkan pasal 3 ayat 2

dan 3 UU 5/1986 dengan cara sebagai berikut:

a. Tenggang waktu 90 hari sejak lewat tenggang waktu proses permohonan

sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan dasarnya

b. Tenggang waktu 90 hari dihitung sejak lewat waktu 4 (empat) bulan sejak

tanggal diterimanya permohonan.

2. Pr osedur Dismissal

Prosedur dismissal adalah suatu proses penelitian terhadap gugatan yang

masuk di PTUN yang dilakukan oleh Ketua pengadilan.

Setelah dilakukan penelitian administratif oleh panitera maka tahap

selanjutnya adalah prosedur dismissal yang eksistensinya serta alasan-alasannya

(44)

secara terperinci tentang tata cara dalam prosedur dismissal, maka Mahkamah

Agung didalam SEMA no 2 tahun 1991, pada pokoknya menyatakan:

a. Prosedur dismissal dilaksanakan oleh Ketua dan dapat menunjuk Hakim

sebagai reportir

b. Pemeriksaan dilaksanakan dalam rapat permusyawaratan atau dilaksanakan

secara singkat

c. Ketua pengadilan berwenang memanggil dan mendengarkan keterangan para

pihak sebelum menentukan penetapan dismissal aapbila diangap perlu

d. Penetapan dismissal berisi gugatan dinyatakan tidak dapt diterima atau tidak

berdasar dan tanda tangani oleh ketua dan panitera

e. Penetapan dismissal diucapkan dalam rapat permusyawaratan, sebelum hari

pesidangan ditentukan dengan memanggil kedua pihak untuk

mendengarkannya.

Terhadap penetapan dismissal dari Ketua Pengadilan dapat dilakukan

upaya hukum perlawanan yang diatur dalam pasal 63 ayat 3, yang pada pokoknya

sebagai berikut:

a. Tenggang waktu perlawanan adalah 14 hari sejak penetapan dismissal

diucapkan

b. Perlawanan diajukan sesuai pasal 56, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan

dengan acara singkat

c. Dalam hal perlawanan dibenarkan maka penetapan dismissal gugur demi

hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut

(45)

d. Terhadap putusan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum

3. Pemeriksaaan Gugatan

Dalam UU no 5/1986 Hakim/Majelis Hakim dalam memeriksa sengketa

TUN dapat dilakukan melalui 3 (tiga) acara pemeriksaan yaitu:

a. Pemeriksaan acara singkat

Dalam pasal 62 ayat 4 UU no 5 tahun 1985, pada pokoknya menentukan

bahwa karena adanya perlawanan penggugat atas penetapan dismissal ketua

(pasal 62 ayat 2 dan 3), maka perlawanan tersebut diperiksa dan di putus

dengan acara singkat. Oleh karena itu, dapat kita ambil kesimpulan bahwa

pemeriksaan singkat ada karena adannya perlawanan penggugat tentang

gugatannya tidak dapat diterima. Pemeriksaan dalam acara singkat ini,

dilakukan oleh majelis hakim yang di tunjuk ketua dan pemeriksaan tidak

perlu sampai pada materi gugatan. Melainkan hal-hal yang terdapat pada

materi pasal 62 (pertimbangan putusan kenapa sampai gugatannya di tolak dan

apa yang harus di penuhi). Apabila gugatan perlawanan dikabulkan, maka

dilanjutkan dengan acara biasa, dan apabila perlawanan tidak dikabulkan,

maka penetapan dismissal yang dibuat ketua berkekuatan hukum tetap.

Setelah menerima putusan yang diputus oleh hakim baik di terima atau

ditolaknya perlawanan, maka tidak ada upaya hokum lagi melainkan dengan

(46)

b. Pemeriksaan acara cepat

Dalam ps 98 (1), Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup

mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya,

penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada Pengadilan supaya

pemeriksaan sengketa dipercepat. Yang harus di perhatikan adalah adanya

permohonan penggugat, dan permohonan tersebut karena ada alasan

kepentingan yang cukup mendesak. Permohonan tersebut apabila tidak di

kabulkan, dilakukan dengan acara pemeriksaan biasa & tidak ada upaya

hokum atas penetapan ini, dan apabila dikabulkan, dalam waktu 7 hari ketua

menunjuk hakim tunggal, dan menentukan waktu, hari dan tanggal sidang.

Dalam pemeriksaan ini, tidak perlu dilakukan pemeriksaan persiapan seperti

pada acara biasa. Pemeriksaan dalam acara cepat, dilakukan / sampai pada

pokok perkara yang sehingga menghasilkan putusan.

c. Pemeriksaan acara biasa

Dalam pemeriksaan acara biasa pada umumnya dilakukan apabila penggugat

tidak mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan TUN untuk beracara

dengan acara cepat. Pemeriksaan acara biasa dilakukan sebagaimana diatur

dalam pasal UU TUN yang pada pemeriksaan diawali dengan pengajuan

gugatan (ps 53-56), rapat permusyawaratan (ps 62), pemeriksaan persiapan (ps

63), penetapan hari sidang (ps 59 ayat 3, 4 & ps 64) panggilan para pihak yang

berperkara (ps 59 ayat 3, 4, ps 64 ayat 2, pasal 65 & ps 66), pemeriksaan di

siding pengadilan yang di mulai dengan pembacaan gugatan oleh ketua

(47)

dikabulkan atau di tolaknya permohonan intervensi ( 83 ayat 2), jawab

menjawab / replik-duplik (pasal 75 & 76), pembuktian ( pasal 100),

kesimpulan masing-masing pihak tergugat & penggugat ( ps 97 ayat 1) dan

putusan hakim ps 97 ayat 2, 108, 109 & 112). Pemeriksaan dengan acara biasa

pada umumnya digunakan yang dikarenakan pada pemeriksaan singkat dan

cepat, harus ada permohonan atau keberatan (dlm pemeriksaan singkat),

sehinggaapabila permohonan / keberatan ditolak, maka digunakan

pemeriksaan acara biasa.

4. Putusan

Dalam suatu pemeriksaan sengketa di PTUN sudah selesai maka tahap

akhir dari penyelesaian sengketa adalah putusan.Putusan merupakan hasil

musyawarah majelis Hakim dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk

umum yang tata caranya diatr dalam pasal 97, dan putusan harus memenuhi syarat

formil yang dituangkan dalam pasal 109 UU5/1986.

Putusan pengadilan TUN dapat berupa :

a. Gugatan gugur (pasal 71)

b. Gugatan tidak dapat diterima (pasal 77)

c. Gugatan ditolak

d. Gugatan dikabulkan

1) Seluruhnya

2) Sebagian

Apabila gugatan dikabulkan dapat dibebani kewajiban bagi tergugat

(48)

a. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan atau

b. Pencabutan keputusan TUN dan menerbutiak keputusan TUN yang baru atau

c. Penerbitan keputusan TUN dalam hal didasarkan pasal 3

d. Pembebanan ganti rugi

e. Rehabilitasi

Perihal putusan yang sering menimbulkan masalah dalam praktek adalah

menyangkut pelaksanaan (eksekusi). Putusan yang telah mempunyai kekuatan

hukum yang tetap yang dapat dilaksanakan, dan pelaksanaan putusan Peraturan

tidak dikenal pelaksanaan putusan riel, akan tetapi pelaksanaannya hanya secara

administratif, dan Ketua PTUN wajib mengawasi pelaksanaan putusan (pasal 119).

Pelaksanaan putusan oleh penulis dibedakan menjadi 3 (tiga) :

a. Eksekusi Sukarela, apabila pihak tergugat setelah menerim pemberitahuan

putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam kemauannya

sendiri melaksanakan diktum putusan

b. Eksekusi otomatis, apabila setelah 4 (empat) bulan putusan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap telah dikirim kepada tergugat dan tergugat

tidak mau melaksanakan kewajiban pencabutan keputusan TUN, maka

keputusan TUN tersebut dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum

lagi

c. Eksekusi Hirachis, apabila dalam putusan pihak tergugat dibebani kewajiban

selain pencabutan keputusan TUN dan pihak tergugat tidak mau

melaksanakannya, maka atas permohonan penggugat, Ketua PTUN dengan

(49)

tergugat tidak melaksanakannya, maka Ketua PTUN memerintahkan eksekusi

melalui instansi atasannya menurut jenjang jabatan sampai pada batas

akhirnya ke Presiden (pasal 116 ayat 3, 4, 5 dan 6 UU 5/1986).

Apabila ada putusan yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna,

yaitu bila ada kewajiban rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian tidak bisa

dilaksanakan dikarenakan jabatan tersebut telah terisi, maka pihak tergugat dapat

dibebani membayar sejumlah uang atau kompensasi lainnya (pasal 117 dan 121

UU 5/1986). Mengenai besarnya uang kompensasi dan ganti rugi ditentukan

dalam Peraturan Pemerintah no 43 tahun 1991 dan peraturan pelaksanaannya

yaitu Surat Keputusan Menteri Keuangan no. 1129/KMK.01/1991.

5. Upaya Hukum

a. Upaya Hukum Banding.

Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan

pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 UU

Peratun terhadap putusan PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan

banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata

Usaha Negara (PTTUN). Bunyi Pasal 122 UU Peratun tersebut adalah

“Terhadap putusan pengadilan tata usaha negara dapat dimintakan

pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada pengadilan

tinggi tata usaha negara”.

Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon

(50)

menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari

setelah putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut.

Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan

pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua

belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor

Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu

30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut.

Para pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori banding,

disertai surat-surat dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha

Negara yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan

kontra memori banding diberikan kepada pihak lawan dengan

perantara Panitera Pengadilan (Pasal 126).

Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan

sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi

TUN berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara

kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan

sendiri untuk pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan

TataUsaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemeriksaan

tambahan.

Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh

Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan

Tinggi TUN yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari

(51)

surat-surat pemeriksaan dan surat-surat-surat-surat lain kepada Pengadilan TUN yang

memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama, dan selanjutnya meneruskan

kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 127).

Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan

setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh

Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut

permohonan pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang

bersangkutan, walaupun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan

pemeriksaan banding belum lampau (Pasal 129).

b. Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali

Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya

hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi

diatur dalam pasal 131 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa

pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk

acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No.14 Tahun 1985

Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi

untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan

Agama atau oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara,

dilakukan menurut ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya

(52)

Agama, dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga

berpuncak pada Mahkamah Agung.

Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas

terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka

dapat ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke

Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam

pasal 132 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa :

Ayat (1) :Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan

Kembali pada Mahkamah Agung.”

Ayat (2) : “Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan

menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1)

UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.”

2.2.6. Sertifikat Tanah

2.2.6.1.Pengertian Sertifikat

Pasal 1 angka 20 PP 24/1997 menjelaskan bahwa yang dimaksud sertifikat

adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19ayat (2) huruf

c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan,tanah wakaf, hak milik atas satuan

rumah susun dan haktanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam

bukutanah yang bersangkutan.Buku Tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar

yangmemuat data yuridis dan data fisik suatu obyek pendaftaran tanahyang sudah

(53)

Menurut Chomsah (2002), yang dimaksud dengansertifikat adalah surat

tanda bukti hak yang terdiri salinan buku tanah dan suratukur, diberi sampul,

dijilid menjadi satu, yang bentuknyaditetapkan oleh Menteri Negara

Agraria/Kepala BadanPertanahan Nasional.Surat Ukur adalah dokumen yang

memuat data fisik suatubidang tanah dalam bentuk peta dan uraian(Pasal 1 angka

17 PP24/1997). Peta Pendaftaran adalah peta yang menggambarkan bidang

ataubidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan tanah (pasal 1angka 15 PP

24/1997).

Sertifikat diberikan bagi tanah-tanah yang sudah ada suratukurnya

ataupuntanah-tanah yang sudah diselenggarakanPengukuran Desa demi Desa,

karenanyasertifikat merupakanpembuktian yang kuat, baik subyek maupun obyek

ilmu hak atastanah.Menurut Effendie (2003), sertifikat tanah adalah salinan dari

buku tanah dansalinan dari surat ukur yang keduanyakemudian dijilid menjadi

satu serta diberisampul yang bentuknyaditetapkan oleh Menteri Negara.

Mengenai jenis sertifikat Chomsah (2002) berpendapatbahwa sampai saat

ini ada 3 jenis sertifikat, yaitu:

1. Sertifikat hak atas tanah yang biasa disebut sertifikat.

2. Sertifikat hak atas tanah yang sebelum Undang-UndangNomor: 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan dikenaldengan Sertifikat Hypotheek dan Sertifikat

Credietverband.Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996tentang Hak Tanggungan, penyebutan sertifikat hyphoteekdan sertifikat

credietverband sudah tidak dipergunakan lagiyang ada penyebutannya adalah

Gambar

Gambar 1.1 Data Jumlah Kasus Yang Telah Diputus Pada PTUN Surabaya
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir
Gambar 3.1 Analisis Interaktif Menurut Miles dan Huberman
Gambar 4. 1
+7

Referensi

Dokumen terkait

untuk melikuidasi persekutuan, seperti penagihan piutang, konversi aset non kas menjadi kas, pembayaran kewajiban  persekutuan, dan distribusi laba bersih yang

- Hitunglah daya yang ditransmisikan oleh belt, jika puli yang berdiameter besar berputar dengan kecepatan 200 rpm dan tegangan maksimum yang diizinkan pada sabuk adalah 1

Manajemen sering diartikan sebagai seni untuk melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang lain atau sekelompok orang yang memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk mengelola

Keseimbangan labil : Sebuah pararel epipedum miring ( balok miring ) yang bidang diagonalnya AB tegak lurus pada bidang alasnya diletakkan diatas bidang datar, maka ia dalam

Peran serta masyarakat dan partisipasinya dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan desa dari seluruh aspeknya, tidak akan dapat berjalan secara maksimal, bilamana

Pada luka insisi operasi dilakukan infiltrasi anestesi local levobupivakain pada sekitar luka karena sekresi IL-10 akan tetap dipertahankan dibandingkan tanpa

Berdasarkan hasil penelitian ini dan penelitian terdahulu dapat ditunjukkan bahwa pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) terhadap kemampuan berhitung

Setelah mendapatkan data yang diperoleh dengan menggunakan kriteria tersebut di atas, maka selanjutnya data-data tersebut diolah untuk mengetahui perbandingan perangkingan