Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ... i
ABSTRAK ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3. Paradigma penelitian ... 4
1.4. Analisis Masalah dan Defenisi Operasional ... 7
1.5. Pembatasan Masalah ... 9
1.6. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
1.7. Metode Penelitian ... 10
1.8. Kerangka Penulisan ... 10
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Menengah Kejuruan ... 12
2.2. Pendidikan Guru ... 14
2.3. Pelatihan Guru ... 17
2.4. Pengalaman Mengajar ... 29
2.5. Profesionalisme Guru ... 31
2.6 Fortofolio ... 36
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tujuan Penelitian ... 41
3.5. Metode Penelitian ... 43
3.6. Data dan Pengembangan Instrumen Penelitian ... 43
3.7. Pengujian Hipotesis ... 49
3.8. Rangkuman Hasil Pengujian Instrumen Penelitian ... 55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Profil Sekolah Menengah Negeri 6 Bandung ... 57
4.2. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 58
4.2.1. Analisis Deskriptif Data Variabel ... 58
4.2.2. Uji Persyaratan Analisis ... 67
4.2.3. Pengujian Hipotesis ... 69
4.2.4. Interpretasi Hasil Penelitian ... 90
4.3. Keterbatasan Penelitian ... 92
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 94
5.2. Implikasi ... 97
5.3. Saran ... 99
DAFTAR PUSTAKA ... 101
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Masalah
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting karena pendidikan
merupakan salah satu penentu mutu sumber daya manusia. Mutu pendidikan ditentukan oleh banyak faktor antara lain : tenaga kependidikan, prasarana dan sarana, biaya dan lain-lain. Komponen lebih banyak berperan adalah tenaga
kependidikan yang bermutu yaitu yang mampu menjawab tantangan-tantangan dengan cepat dan bertanggung jawab. Pendidikan yang bermutu sangat
membutuhkan tenaga kependidikan yang profesional. Tenaga kependidikan yang profesional perlu pengembangan melalui pendidikan, pelatihan maupun melalui pengalaman mengajar.
Untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan tenaga kerja terampil, Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)
merencanakan merubah nisbah (ratio) jumlah SMA dan SMK dari 70 : 30 menjadi 30 : 70 yang diharapkan bisa tercapai dalam tahun 2025. Sejalan dengan program
tersebut, melalui strategi kebijakan Depdiknas di samping upaya meningkatkan mutu pendidikan di semua jenis dan jenjang pendidikan, maka Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan melakukan upaya terobosan dengan
mencanangkan program 1000 SMK Bertaraf Nasional dan 200 SMK Bertaraf Internasional.
mendefinisikan bahwa: “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.” Selanjutnya dalam ayat 4 dari pasal yang sama, makna pendidik professional “. . . adalah pekerjaan atau
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang . . . yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.”
Selanjutnya dalam Bab III dari undang-undang yang sama, dalam pasal 7
dijabarkan prinsip profesionalitas yang mencakup sembilan karakteristik kepribadian seorang guru meliputi :
(a). Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme, (b). Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya.(c). Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.(d). Mematuhi kode etik profesi.(e). Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas.(f) Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya.(g). Memiliki kesempatan untuk mengernbangkan profesinya secara berkelanjutan.(h). Memperoleh perlindungan hukurn dalam rnelaksanakan tugas profesisionalnya.(i). Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum”.
Lebih lanjut dalam pasal 8 dipersyaratkan bahwa, “Guru wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.”
Kemudian dalam pasal 9 dan 10 dijelaskan bahwa, kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program Sarjana (S1) atau program Diploma IV.
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Apabila para guru SMK telah memenuhi berbagai persyaratan tersebut di atas, maka diyakini program-program terobosan yang dikemukakan di atas akan
dengan mudah dicapai. Namun kenyataan di lapangan masih dijumpai kendala, antara lain: (a) Masih banyak guru yang kurang kompeten serta penugasan yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan atau keilmuan. (b) Kualitas guru
masih rendah, kurang kompeten atau tidak memenuhi persyaratan di atas. Hal ini didukung oleh hasil survey Balitbang Depdiknas (2001) yang menyatakan bahwa,
guru yang sudah layak mengajar baru 38% dan sisanya 62% belum layak mengajar karena tidak memenuhi persyaratan di atas. Padahal untuk menghasilkan lulusan SMK dengan kompetensi seperti yang dipersyaratkan dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional (Permen) No. 23 Tahun 2006 diperlukan guru-guru dengan kualifikasi seperti yang diaatur oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut di atas, pemerintah menyelenggarakan program-program pendidikan dan latihan (diklat)
untuk pendidik dan tenaga kependidikan untuk mencapai kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikasi guru. Di samping itu timbul pula wacana bahwa, profesionalitas guru dapat pula dicapai melalui pengalaman mengajar yang cukup
lama.
Dari uraian ini upaya meningkatkan mutu pendidikan, khususnya pendidikan
yang diperoleh guru melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman mengajar dalam membangun profesionalisme guru.
1.2. Perumusan Masalah
Dengan berasumsi bahwa guru yang telah memenuhi kualifikasi akademik yang baik akan mampu pula berprestasi dalam pelatihan dan dalam pelaksanaan tugas profesi sebagai guru, maka penelitian ini diarahkan dengan perumusan
masalah: Hubungan antara Pendidikan, Pelatihan dan Pengalaman Mengajar dengan Profesionalisme Guru Sekolah Menengah Kejuruan.”
Berdasarkan pokok permasalahan tersebut di atas, dalam penelitian ini terdapat empat variabel operasional yakni, pendidikan guru, pelatihan guru, pengalaman mengajar dan profesionalisme guru. Melalui penelitian ini diharapkan
dapat diungkapkan kontribusi dari tiga variabel pertama (variabel independen) terhadap mencapai predikat guru profesional (variabel dependen). Dengan
mengetahui kontribusi dari masing-masing variabel independent itu, akan dapat diambil kesimpulan-kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimanakan hubungan pendidikan dalam pembentukan profesionalisme guru?
b. Bagaimanakan hubungan pelatihan dalam pembentukan profesionalisme guru? c. Bagaimanakan hubungan pengalaman mengajar dalam pembentukan
d. Bagaimanakah hubungan antara pendidikan, pelatihan dan pengalaman mengajar secara bersama-sama dalam pembentukan profesionalisme guru?
Jawaban atas keempat pertanyaan penelitian tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai indikator untuk menilai manfaat penyelenggaraan diklat
pendidik dan tenaga kependidikan dan sebagai indikator efektivitas proses belajar sepanjang hayat di kalang pendidik. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang permasalahan penelitian ini akan diuraikan lebih lanjut dalam
paragraf-paragraf selanjutnya.
1.3. Paradigma Penelitian
Pokok permasalahan yang telah diuraikan dalam paragraf 1.2. di atas perlu didukung dengan suatu paradigma penelitian (pola pikir) agar lingkup penelitian menjadi lebih jelas. Pengkajian itu didasarkan pada paradigma yang dilukiskan
pada Gambar 1.01.
Gambar 1.01: Paradigma Penelitian X1
X2 Y
rX 1Y
Y X
r 2
X3
rX 3Y
Dalam membahas model pembelajaran (model of teaching), Dunkin dan
Biddle (1974:38) menempatkan pendidikan, pengalaman pelatihan dan karakteristik guru merupakan presage variables, yakni variabel-variabel yang
mendahului sebelum menjalankan pekerjaan sebagai guru. Herbert (1967), Nuthall dan Snook (1973) menyarankan kegiatan pembelajaran dalam tiga bentuk dasar (Dunkin & Biddle, 1974:38):
The first form [lecturing] is one in which the teacher is in control of the treatment of the subject matter. The teacher is leacturing, performing, demonstrating or exhibiting materials. In the second form (teacher-pupil interaction) both teacher and pupil have some control over the treatment of subject matter. Usually this involves verbal interact- ion. In the third form [seat work] the students are displaced from the direct control of the teacher and are angaged in assigned or unassigned exercises, practical work, or study. In this last form of lesson the teacher’s control is indirect.
Kegiatan pertama berkaitan dengan persiapan mengajar, sementara kegiatan kedua berupa interaksi guru-siswa merupaka karakteristik khusus yang mewarnai kegiatan pembelajaran dalam kelas. Kegiatan ketiga dikenal dengan kegiatan
mandiri siswa berupa pemberian tugas di kelas, laboratorium/bengkel atau pekerjaan rumah. Dalam hubungan kegiatan ketiga ini guru tidak melakukan
pengendalian secara langsung.
Paradigma penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa profesionalisme (Y) seorang guru merupakan fungsi dari penerapan keahlian yang diperoleh dari
penerapan konsep belajar sepanjang hayat (X3). Namun dalam kenyataan tidak semua guru berhasil mencapai tingkat profesional karena kurangnya motivasi
bekerja untuk mencapai prestasi yang lebih baik dari waktu ke waktu. Pada umumnya guru beranggapan bahwa, setelah memenuhi persyaratan pendidikan
dan pelatihan yang dipersyaratkan, maka mengajar merupakan pekerjaan rutin belaka, sehingga lamanya pengalaman mengajar apabila dicatat hanya merupakan catatan yang sama dari hari ke hari. Hal inilah yang menyangsikan bahwa pe-
ngalaman mengajar dapat digunakan sebagai indikator profesionalisme guru. Secara teori, ketiga variabel independen tersebut di atas berkontribusi terhadap
pencapaian profesionalisme guru, sehingga hubungan antara presage variables dengan profesionalisme guru dapat digambarkan sebagai hubungan korelasional jamak (multiple correlation) dalam arti masing-masing variabel independen
memiliki kontribusi dalam pencapaian tingkat profesionalisme guru.
1.4. Analisis Masalah dan Definisi Operasional
Dengan batasan yang ditetapkan berdasarkan paradigma penelitian di atas, variabel-variabel penelitian tersebut perlu dijabarkan dalam bentuk
definisi-definisi operasional dalam kondisi pembelajaran yang dinamis. Pertama, kesiapan dan kreativitas guru diperkirakan tergantung pada latarbelakang guru berupa tingkat pendidikan yang ditempuh, ragam pelatihan keterampilan yang ditempuh
serta mengalaman mengajar, pengalaman bekerja di industri, pengembangan diri dengan penerapan belajar sepanjang hayat. Diperkirakan guru dengan latar
keterampilan serta pengalaman industri akan lebih kreatif dan berhasil dalam menjalan fungsinya sebagai guru profesional.
Kedua, ketersediaan fasilitas praktek (produksi) yang sesuai dengan bidang kejuruan sekolah yang bersangkutan yang terpelihara dengan baik akan
mendukung kelancaran aktivitas pembelajaran dan peningkatan keterampilan siswa. Peningkatan keterampilan siswa akan mendukung kelancaran penyelesaian tugas-tugas dengan mutu dan standar waktu yang ditetapkan. Pada pihak guru,
fasilitas praktek yang memadai dapat mendorong mengembangkan materi pembelajaran dan pelatihan yang bervariasi sehingga siswa dapat memperoleh
wawasan yang luas tentang manfaat fasilitas praktek tersebut.
Ketiga, tingkat mutu produk dan waktu pengerjaan yang makin singkat memungkinkan siswa mengerjakan lebih banyak tugas-tugas baik teori maupun
praktek. Fenomena ini tidak terlepas dari peran guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran yang dapat digunakan sebagai indikator profesionalisme guru. Hal
ini akan makin nyata jika baik guru maupun siswa secara berkala melakukan karyawisata ke industri-industri untuk memperluas wawasan pekerjaan.
Keempat, profesionalisme guru dapat dicapai jika guru secara berkesinambungan mengembangkan kemampuan melalui belajar mandiri (reliance learning) berdasarkan konsep belajar sepanjang hayat, membuat catatan
harian sebagai dasar untuk memperbaiki kinerja pembelajaran baik pada pihak guru maupun siswa.
a. Pendidikan guru didefinisikan sebagai: “Pengalaman formatif yang mencakup tingkat semua pendidikan formal dan kesesuaiannya dengan mata pelajaran yang dibina oleh guru yang bersangkutan.” Undang-Undang R.I. Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengisyaratkan bahwa setiap guru
berpendidikan minimal S1 atau D4.
b. Pelatihan guru didefinisikan sebagai “ragam pelatihan yang mendukung penerapan kemampuan yang diperoleh dari pendidikan formal dan sesuai dengan kejuruan dan tugas-tugas sebagai guru, dan bersertifikat” Variabel ini diinventori dari jenis pelatihan yang pernah ditempuh serta kesesuaiannya
dengan mata pelajaran yang dibina
c. Pengalaman mengajar didefinisikan sebagai “keseluruhan pengalaman dan upaya pemanfaatan pengalaman untuk memecahkan masalah-masalah baru dalam pendidikan berdasarkan konsep transfer of learning.” Variabel ini diinventori dari portofolio guru yang bersangkutan.
d. Profesionalisme guru didefinisikan sebagai “penampilan dalam pelaksanaan tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode, keterampilan kognitif, rasa tanggung-jawab, kepribadian, sosial dan spiritual, serta kesejawatan di antara sesama guru dan kepemilikan sertifikat guru” Variabel-variabel dependen ini diinventori berdasarkan unsur-unsur
yang membentuk definisi di atas dan portofolio guru yang bersangkutan
1.5. Pembatasan Masalah
dipersyaratkan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, pasal 8. Penelitian ini bersifat studi kasus di SMKN 6 Bandung sehingga hasil yang
diperoleh tidak berlaku untuk SMK lainnya.
1.6. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian
Terdapat dua macam penelitian, yakni: (1) Untuk mengungkapkan
kontribusi pendidikan, pelatihan, dan pengalaman mengajar sebagai guru dalam mendukung perbentukan profesionalisme guru. (2) Tinggi
rendahnya kontribusi variabel-variabel independen dapat digunakan sebagai dasar atau fokus pembinaan karir guru.
b. Manfaat Penelitian
Sekurang-kurangnya terdapat dua manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini, yakni: (1) Sebagai indikator untuk memprediksi
karakteristik laju kinerja guru dalam pengembangan diri menuju guru yang profesional. (2) Sebagai dasar perencanaan pembinaan karir guru.
1.7. Metode Penelitian
Berdasarkan uraian pada paragraf 1.3. telah tersirat bahwa metode penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif yang bersifat deskriptif analitis sehingga berdasarkan statistik yang diperoleh dapat jawaban
Penjabaran lebih lanjut penerapan metode penelitian akan diuraikan dalam Bab III dari naskah ini.
1.8. Kerangka Penulisan Tesis
Pembahasan masalah penelitian yang dikemukakan dalam tesis ini, diawali dengan mengemukakan latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah, paradigma penelitian, analisis masalah dan definisi-definisi operasional, tujuan
dan manfaat penelitian, metode penelitian dan kerangka penulisan tesis dalam Bab I. Kemudian dalam Bab II dikemukakan landasan teori yang dipakai dalam
penelitian ini. Selanjutnya dalam Bab III dikemukakan secara rinci tujuan peneliti- an, asumsi-asumsi, hipotesis penelitian, pengembangan instrumen penelitian dan rancangan pengolahan data.
Kegiatan penelitian dan pengolahan data disajikan dalam Bab IV. Dalam bab ini dijelaskan langkah-langkah persiapan yang bersifat administratif dan
teknis. Pelaksanaan penelitian mencakup pengumpulan data, pengolahan data dan interpretasi hasil pengolahan data. Tesis ini ditutup dengan Bab V yang
BAB II
LANDASAN TEORI
Peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sejalan dengan tantangan kehidupan global sehingga menuntut guru
untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Tugas guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik, mengasuh, membimbing dan membentuk kepribadian siswa guna menyiapkan dan
mengembangkan sumber daya manusia. Guru harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Perkembangan IPTEK
menimbulkan revolusi metodologi proses belajar mengajar yang memungkinkan pelaksanaan pendidikan tidak terikat pada lokasi dan dapat dilaksanakan secara sentral. Kemajuan teknologi serta berbagai sarana pendidikan jarak jauh telah
membuktikan keefektifan yang tinggi selain mempunyai daya pengikat nasional ke arah pembentukan watak dan ketahanan nasional. Implementasi IPTEK di
sekolah membutuhkan keterbukaan diri pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keberhasilan dan kegagalan pendidikan salah satunya ditentukan
oleh sikap profesionalisme seorang guru.
2.1. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Menengah Kejuruan
Menurut Soenarto (2005:3) pendidikan menengah kejuruan mempunyai tiga
fungsi sebagai berikut:
a. Menyiapkan siswa menjadi manusia Indonesia seutuhnya yang mampu
b. Menyiapkan siswa menjadi tenaga kerja yang produktif: (1) untuk memenuhi kebutuhan tenaga bagi dunia kerja dan industri; (2) menciptakan lapangan
kerja bagi dirinya dan bagi orang lain; (3) mengubah status siswa dari ketergantungan menjadi warga negara yang berpenghasilan sendiri
c. Menyiapkan siswa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sehingga: (1) mampu mengikuti, menguasai, dan menyesuaikan diri dengan kemajuan iptek; (2) memiliki kemampuan dasar untuk dapat mengembangkan
diri secara berkelanjutan; (3) memiliki keahlian menerapkan iptek dan berproduksi sesuai dengan bidang keahliannya
Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun
2006 Bagian C dikemukakan: “Pendidikan kejuruan bertujuan untuk
meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan peserta didik untuk hidup mandiri dan mengikuti pendikan lanjutan sesuai dengan program kejuruannya. Agar dapat bekerja secara efektif dan efisien
serta mengembangkan keahlian dan keterampilan, mereka harus memiliki stamina yang tinggi, menguasai bidang keahliannya dan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan
teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi, serta memiliki kemampuan
mengembangkan diri.”
Fungsi dan tujuan pendidikan menengah kejuruan yang dikenal dengan
to different technologies, tasks and conditions.” Pendidikan dan pelatihan
kejuruan hendaknya membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan dasar dan
keterampilan yang me- mudahkan para lulusan mendapatkan pekerjaan atau berwirausaha serta mampu mengadaptasi berbagai bentuk teknologi secara
produktif dengan sasaran tercapainya: “The ultimate economic objective of education and training is improved personal and social productivity.” (Gasskov,
2000:5). Dengan demikian untuk menjalankan fungsi pendidikan menengah
kejuruan tersebut diperlukan guru-guru yang memiliki kualifikasi seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2005, pasal 8, yakni guru yang
“memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.” Pendidikan yang ditempuh oleh seorang guru diharapkan dapat
mengantarkan seorang guru sampai pada tataran guru yang profesional atau dengan kata lain, guru yang profesional harus menempuh pendidikan keguruan
minimal lulus tingkat sarjana. 2.2. Pendidikan Guru
Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang dirujuk dalam paragraph 2.1. di atas, guru SMK dipersyaratkan lulus program Strata 1 (S1) atau program diploma IV (DIV). Persyaratan ini sama dengan di
persyaratan pendidikan guru kini telah meningkat pada tataran magister (S2) seperti yang berlaku di negara- negara Eropa.
Di samping persyaratan akademik, seorang guru harus memiliki kompetensi guru yang meliputi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan
kompetensi profesional yang diperoleh dari pendidikan profesi. Bagi guru pendidikan menengah kejuruan, makna dari kepemilikan kompetensi profesional berarti, guru yang bersangkutan harus memiliki sertifikat kompetensi dalam
bidang kejuruan yang dibina. Hal ini penting karena lulusan SMK dituntut untuk menempuh ujian kompetensi seperti yang dipersyaratkan dalam Peraturan
Mendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standard Kompetensi Lulusan (SKL).
Prinsip profesionalitas sebagaimana tertuang dalam pasal 7 ayat 10 (UU No. 14 Tahun 2005) mencakup:
a. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme
b. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan, dan ahlak mulia
c. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas
d. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas e. memiliki tanggung-jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan f. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja
g. memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat
h. memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan
dan
i. memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru
Arena penerapan keprofesionalan guru adalah di sekolah dan lingkungan
antara siswa dan guru dalam proses pembelajaran. Menurut Bellack dkk (1966) proses interaksi dalam pembelajaran dapat diibaratkan dalam suatu permainan
(“game”) dengan peraturan baik untuk guru maupun untuk siswa seperti dikemukakan oleh Nuthall dan Snook (1973:52,53):
They (Bellack et al.) characterize the game as one in which the object is to angage in verbal discourse about subject matter. The teacher obeys a set of rules which stipu- late that he must do of the talking and must structure the specific form and content of verbal game at any one time. If he plays in the way expected of a teacher he will spend most of his time asking questions and commenting on pupil responses. From time to time he will spend time structuring the content and providing summaries of previous discourse.
The rules of the pupils are restrictive. The pupil’s primary task is to answer questi- ons, to reply when called on. The pupil mus respond as though the teacher always asks questions which a pupil shoulf be able to answer. He may not respond evaluati- vely, but may, under certain conditions, ask the occational question.
The pupil is expected to pay attention to the progress of a lesson even though hr will be not be expected to respond more than six or seven times in an hour. When he is asked to respond his respond will be repeated, praised, or commented on by the teacher. Most of his time will be taken up listening to other pupils’ responses and the teacher’s comments to those responses.
Cuplikan di atas menggambarkan episode-episode dalam interaksi pembelajaran dalam kelas antara guru dan siswa. Hoetker dan Ahlbrand (1969) melalui studi
literature menemukan bahwa, bahasa game itu telah berlangsung lebih dari 60 tahun; dan dalam kenyataan praktek tersebut masih digunakan dalam proses pembelajaran hingga saat ini.
Dari episode-episode interaksi pembelajaran tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (a) Agar interaksi pembelajaran berjalan lancar, guru
pendengar yang baik atas jawaban-jawaban yang diberikan siswa sehingga dapat memberikan penguatan atas pemahaman siswa atas masalah yang ditanyakan
(commenting on pupil responses). (c) Pada setiap akhir episode pembelajaran, guru harus menstrukturisasi materi dan membuat rangkuman materi yang
disajikan kepada para siswa. (d) Membangun pengertian atas “peraturan permainan” bagaimana sikap para siswa ketika temannya sedang memberikan
jawaban atas pertanyaan guru dan mengikuti bagaimana pembelajaran
berlangsung.
Proses pembelajaran merupakan momentum guru menerapkan
kompetensinya atau menampilkan keprofesionalannya yang menurut J. Weigand dkk (1977:vi) mencakup: (1) assess- ing intellectual levels; (2) implementing motivational techniques; (3) implementing objectives; (4) implementing questioning skills; (5) implementing sequenced instruction; (6) implementing diagnostic evaluation; (7) implementing interpersonal communication.
Berdasarkan uraian dalam paragraf 2.2. ini dapat diperoleh gambaran bagaimana kompleksitas proses pembelajaran yang baik. Terhadap pekerjaan
guru, Dunkin dan Biddle (1974:36) menilai: “Teaching is an exciting challenging job, rewarding when performed well, discouraging when performed poorly.” Sementara T.N. Reksoatmodjo (1993:248) melalui penelitiannya merumuskan 13
dalil, tiga di antaranya menyatakan: (1) Mengajar adalah belajar bagi guru; (2) Mengajar adalah pekerjaan hipotetik; apabila dikerjakan dengan benar, banyak
meningkatkan efektivitas pengajaran. Fenomena ini erat hubungannya dengan prinsip profesionalitas yang menekankan bahwa profesionalisme guru perlu
dibentuk sejak seseorang bercita-cita menjadi guru. Diawali dengan dimilikinya bakat, panggilan jiwa dan idealisme serta memiliki komitmen untuk
meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan, dan akhak mulia.
2.3. Pelatihan Guru 2.3.1 Pengertian
Yang dimaksud dengan pelatihan di sini sama dengan pendidikan dan
pelatihan (diklat). Pendidikan dan pelatihan ini biasanya dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) dalam bidang pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan. Pendidikan dan pelatihan yang disingkat diklat
atau dikjartih merupakan salah satu fungsi operasional manajemen sumber daya manusia, yang harus dilaksanakan karena merupakan tanggung jawab dalam
rangka pengembangan guru, khususnya yang menganut kualitas guru. Dengan pendidikan dan pelatihan berarti memberikan memberikan kesempatan pada guru
untuk meningkatkan kualitas kerjanya. Pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini bukan pendidikan awal akan tetapi pendidikan setelah bekerja atau mengajar di SMK.
Menurut Undang-undang nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional :
”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah
untuk mengembangkan kompetensi, membentuk watak, dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, inovatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis bertanggung jawab.
Menurut Komarudin Sastradipoera (2005:51) :
”Pendidikan (education) sumber daya manusia merupakan proses pengembangan
jangka panjang yang mencakup pengajaran dan praktik sistematik yang menekankan pada konsep-konsep teoritis dan abstrak. Sedangkan pelatihan
(training) yang kadang-kadang disebut juga ‟latihan‟ adalah salah satu jenis proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem
pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dan dengan metode
yang lebih mengutamakan praktik daripada teori”.
Pelatihan adalah salah satu bentuk penyelenggaraan program pengembangan
sumber daya manusia (SDM), sedangkan SDM merupakan faktor input penting dalam pembangunan. (Mohamad Ali, 2000:143). Pelatihan adalah pembelajaran
menekankan kepada proses peningkatan kemampuan seorang individu dalam melaksanakan tugasnya.
Menurut Soenarto (2005:8) mendefinisikan pelatihan mengandung 5 komponen yang satu dengan yang lain saling terkait :
(1) Learning (belajar) adalah proses untuk memperoleh, menguasai, dan atau meningkatkan cognitive (pengetahuan), psychomotor (keterampilan), affective (sikap atau attitudes, nilai values, ketertarikan atau interest), dan connotive
adalah niat sungguh-sungguh untuk melakukan pekerjaan dengan cermat, tepat dengan kesungguhan (properly)
(2) Performance (kinerja atau perilaku kerja) adalah penampilan dan hasil yang dicapai dari melakukan pekerjaan. Perilaku kerja yang baik adalah bekerja yang efektif, efisien, dan hasil kerja yang berkualitas, baik, disebabkan karena
si pekerja memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang baik untuk melakukan pekerjaan tersebut. Mengubah perilaku kerja berarti membuat atau
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap menjadi lebih baik untuk melakukan pekerjaan. Dengan demikian seorang pimpinan mengambil
keputusan untuk mengadakan pelatihan dalam rangka mengubah perilaku kerja (job performance) apabila :
(a) Pekerja tidak mengetahui bagaimana melakukan pekerjaan
(b) Pekerja harus melakukan pekerjaan yang memerlukan pengetahuan, keterampilan, dan atau sikap yang berbeda dengan yang yang telah
(c) Pekerja diberi tugas baru yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan baru untuk mengerjakannya
(3) People (orang) dalam kaitan dengan pekerjaan adalah orang dewasa, pekerja atau pencari kerja. Pekerja mulai dari manajer, supervisor, teknisi, sampai
dengan pesuruh
(4) Job atau Pekerjaan. Job adalah kumpulan dari tugas yang harus diselesaikan seseorang, dari sejumlah tugas yang sangat bervariasi ditinjau dari tingkat
kesulitan, kesederhanaan (kekomplekan), tingkat hubungan antara satu tugas dengan yang lain. Demikian juga untuk melakukan suatu pekerjaan
diperlukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang sangat bervariasi antara satu perkerjaan dengan yang lain. Untuk dapat berhasil dalam mengerjakan suatu pekerjaan, dengan kata lain bekerja yang efektif,
diperlukan motivasi secara internal
(5) Future (masa yang akan datang), mengandung arti bahwa pekerjaan yang
dilakukan adalah bukan yang lalu atau sekarang namun untuk waktu yang akan datang. Hal ini mengandung arti bahwa orang yang mengikuti pelatihan,
akan menunjukan perilaku kerja yang baik pada waktu sebelum mengikuti pelatihan
Dengan demikian seorang guru, yang mengikuti pelatihan akan belajar,
meningkat wawasan, berubah perilakunya, seorang guru harus dapat mengajar lebih baik daripada sebelum mengikuti pelatihan. Seorang yang telah mengikuti
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan bukan hanya merupakan usaha untuk meningkatkan pengetahuan teoritis dari
seorang saja, tetapi cakupannya lebih luas dan lebh bersifat umum. Sedangkan pelatihan merupakan bagian dari pendidikan dan tujuannya untuk meningkatkan
kompetensi dan keterampilan seseorang lebih bersifat khusus dan lebih menekankan kompetensi.
Pendidikan dan pelatihan merupakan dua konsep yang sama, yaitu untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan. Tetapi jika dilihat dari tujuan, umumnya kedua konsep tersebut dapat dibedakan. Pendidikan lebih
ditekankan pada peningkatan pengetahuan untuk melakukan pekerjaan pada masa yang akan datang, dilakukan dengan melalui pendekatan yang terintegrasi dengan kegiatan lain dan untuk mengubah perilaku kerja. Sedangkan pelatihan lebih
ditekankan kepada peningkatan kemampuan dan keterampilan dalam melakukan pekerjaan yang spesifik. Dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa
pendidikan dan pelatihan adalah suatu bentuk kegiatan yang merupakan bagian pengembangan seseorang dalam usaha meningkatkan kemampuan profesional
personal sekolah terutama guru dengan cara mengubah sikap meningkatkan keterampilan dan pengetahuan.
2.2.2 Tujuan Pelatihan
Setiap aktivitas yang akan dilakukan, dimulai dengan apa tujuan aktivitas,
harus dirumuskan secara jelas sehingga akan mempermudah dalam pencapaiannya.
Menurut Moekijat (1995:15) tujuan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengembangkan keahlian sehingga pekerjaan dapat diselesaikan lebih cepat dan efektif
2. Untuk mengembangkan pengetahuan sehingga pekerjaan dapat diselesaikan
dengan rasional
3. Untuk mengembangkan sikap sehingga menimbulkan kerja sama dengan
teman-teman pegawai dan dengan manajemen (pimpinan)
Pelatihan dapat didefinisikan sebagai pengembangan secara sistematis pola pengetahuan, sikap, keahlian yang diperlukan oleh seseorang untuk melaksanakan
tugas atau pekerjaannya secara memadai (John Westerman dan Poulin Doghox, 1997 dalam Mulyana, S. 1993:9).
Menurut Goad (1973) pelatihan adalah suatu proses membantu orang lain dalam memperoleh skill dan pengetahuan (M. Saleh Marzuki, 1992:5). Sedangkan
Michael J. Jucius (dalam Moekijat 1991:2) menjelaskan istilah pelatihan menunjukan setiap proses untuk mengembangkan bakat, keterampilan dan kemampuan pegawai guna menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Sedangkan Andrew E. Sikula dalam A. Anwar Prabu Mangkunegara (2000:4) mengemukakan bahwa Pelatihan (training) adalah suatu proses
keterampilan teknis dalam tujuan terbatas. Kemudian Siegel dan Lane dalam Marwansyah dan Mukharam (2000:63) mengemukakan bahwa pelatihan adalah
upaya organisasi yang terencana untuk membantu para karyawannya mempelajari pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang terkait dengan suatu pekerjaan
agar mereka dapat meningkatkan prestasi kerja.
Pendapat lain dikemukakan oleh Casio (1992) seperti dikutip oleh Agus Dharma (1998:13) mengatakan bahwa pelatihan adalah program terencana yang
dirancang untuk meningkatkan unjuk kerja pada tingkat individu, kelompok, dan atau organisasi. Werther dan Davis (1996) dalam Marzuki, S. (1992:24)
mengatakan bahwa pelatihan adalah kegiatan-kegiatan yang memberi pelajaran kepada para karyawan tentang bagaimana menjalankan pekerjaan/tugas-tugas mereka saat ini. Kemudian Broad dan Newrstrom (1993) (dalam Moekijat 1993:7)
berpendapat bahwa pelatihan adalah pengalaman-pengalaman instruksional (instructional experiences) yang diberikan terutama oleh pimpinan bagi karyawan,
yang dirancang untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan baru yang diharapkan dapat segera diterapkan begitu karyawan bekerja kembali (atau
beberapa saat sudah kembali). Pendapat senada dikemukakan oleh Henry Simamora (1988:18) mereka mengatakan bahwa pelatihan adalah upaya terencana dan sistematis untuk menyesuaikan dan mengembangkan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap melalui pengalaman belajar, untuk mewujudkan unjuk kerja yang efektif dalam suatu kegiatan atau rangkaian.
dan sistematis untuk menambah dan meningkatkan kemampuan individu atau pegawai baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan dan sikap, agar
individu atau pegawai tersebut dapat memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.
Memperhatikan berbagai pendapat di atas, ternyata tujuan pelatihan tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja, akan tetapi juga untuk mengembangkan bakat seseorang, sehingga dapat bekerja sesuai
dengan yang dipersyaratkan.
Mengenai tujuan pelatihan ini, Moekijat (1993:2) menjelaskan tujuan umum
pelatihan sebagai berikut : (1) untuk mengembangkan keahlian, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih efektif. (2) untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional, dan (3) untuk
mengembangkan sikap sehingga menimbulkan kemauan kerjasama dengan teman-teman pegawai dan dengan manajemen (pimpinan).
Menurut Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998:223) mengemukakan bahwa tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan
dan sikap karyawan serta meningkatkan kualitas dan produktivitas organisasi secara keseluruhan dengan kata lain tujuan pelatihan adalah meningkatkan kinerja dan pada gilirannya akan meningkatkan daya saing.
Manfaat pelatihan menurut beberapa ahli seperti Robinson dalam M. Saleh Marzuki (1992:28) mengemukakan manfaat pelatihan sebagai berikut :
Keterampilan tertentu diajarkan agar karyawan dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan standar yang diinginkan; (c) Pelatihan juga dapat memperbaiki
sikap-sikap terhadap pekerjaan, terhadap pimpinan atau karyawan; dan (d) manfaat lain daripada pelatihan adalah memperbaiki standar keselamatan.
Sedangkan manfaat pelatihan menurut Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998:215) berpendapat sebagai berikut : Mengurangi kesalahan produksi; meningkatkan produktivitas; meningkatkan kualitas; meningkatkan fleksibilitas
karyawan; respon yang lebih baik terhadap perubahan: meningkatkan komunikasi; kerjasama tim yang lebih baik; dan hubungan karyawan yang lebih harmonis.
Pendapat senada dikemukakan oleh Henry Simamora (1988:346) mengatakan bahwa tujuan-tujuan utama pelatihan pada intinya dapat dikelompokkan ke dalam lima bidang diantaranya memperbaiki kinerja dan
manfaat pelatihan diantaranya meningkatkan kuantitas dan kualitas produktivitas. Memperhatikan beragam pendapat di atas maka pengertian pelatihan, tujuan
dan manfaatnya tiada lain untuk meningkatkan kinerja yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi positif terhadap produktivitas dan kualitas organisasi.
Selanjutnya, di dalam Undang -Undang Guru No. 14 Tahun 2005 menyebutkan tentang hak dan kewajiban guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Hak seorang guru dalam tugas keprofesionalan adalah:
1) Memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial
3) Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual
4) Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi
5) Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk
menunjang kelancaran tugas keprofesionalan
6) Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan
kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan 7) Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas
8) Memiliki kebebasan untuk berserikat dan organisasi profesi, memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan 9) Memiliki kesempatan untuk berperan mengembangkan dan meningkatkan
kualifikasi akademik dan kompetensi dan/atau memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya (Bab IV
Pasal 14, halaman 6)
Pelatihan profesional guru merupakan suatu upaya untuk meningkatkan
kinerja guru dengan cara meningkatkan kompetensi profesionalnya. Tujuan pokok
pelatihan profesional guru adalah memecahkan kelemahan kinerja guru baik pada
saat ini maupun masa datang ke arah level kinerja yang lebih diinginkan.
Pelatihan profesional guru meliputi : jenis pelatihan, esensi materi pelatihan,
tingkat pelatihan yang pernah diikuti, partisipasi peserta dalam pelatihan atau
Bahkan Salah satu komponen penting dalam kebijakan Direktorat PLP Departemen Pendidikan Nasional adalah pelatihan bagi guru, kepala sekolah,
pengawas, pengelola proyek dll. Kegiatan pelatihan ini tentu saja dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan/kompetensi sumberdaya manusia tersebut
sehingga proses penyelenggaraan pendidikan dapat ditingkatkan. Bagi guru, setelah mereka mengikuti pelatihan diharapkan memiliki paling tidak tiga kompetensi pokok, yaitu penguasaan mata pelajaran yang diajarkan, metodologi
pengajaran, dan evaluasi hasil belajarnya, serta peragaan unjuk kerja yang merupakan pengintegrasian dari ketiga kompetensi pokok tersebut.
Yang dimaksud dengan pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi adalah pelatihan yang mengacu pada kompetensi yang akan dicapai dan diperlukan oleh peserta didik, sehingga isi/materi pelatihan yang akan dilatihkan merupakan
gabungan/integrasi bidang-bidang ilmu sumber bahan pelatihan yang secara utuh diperlukan untuk mencapai kompetensi.
Misalnya, untuk pelatihan guru terintegrasi berbasis kompetensi harus dimulai dari pengindentifikasian perangkat kemampuan/kompetensi yang
diperlukan oleh guru, kemudian baru dipilih isi/materi/bahan pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi yang diperlukan untuk mencapai perangkat kompetensi tersebut yaitu tujuan pelajaran, alat evaluasi, materi pelajaran, teori dan
keterampilan keguruan karakteristik peserta didik, metodologi pengajaran, media pendidikan, dan pengelolaan proses belajar mengajar. Jadi, sekali datang
terintegrasi yang memang diperlukan untuk mencapai perangkat kompetensi yang telah diidentifikasi.
Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bidang Mesin dan Teknik Industri (PPPPTK BMTI) melaksanakan
kegiatan pendidikan dan pelatihan (dikjartih) bagi para pendidik (guru) dan tenaga kependidikan di Sekolah Menengah Kejuruan. Dalam rangka melaksanakan tugas pokok dan fungsinya itu maka salah satu bidang yang ada ialah bidang Fasilitasi
Peningkatan Kompetensi (Fastingkom) yang bertugas melaksanakan kegiatan diklat yang sudah disusun oleh Bidang Program dan Informasi.
Kegiatan diklat yang dilaksanakan di PPPPTK BMTI meliputi seluruh program yang ada di SMK (Teknik), seperti Tenik Mesin, Teknik Otomotif, Teknik Bangunan, Teknik Elektro, dan Teknik Listrik. Selain diklat kejuruan
(vokasi) terdapat pula diklat yang sifatnya normatif dan diklat adaptif. Diklat normatif adalah diklat yang dilakukan untuk peningkatan guru normatif, seperti
Bahasa Indonesia, PPKn, Penjas atau Pendidikan Agama. Diklat adaptif ialah diklat yang dilakukan untuk peningkatan guru adaptif, seperti fisika, kimia,
Bahasa Inggris, Matematika atau mata pelajaran sains lainnya. 2.4 Pengalaman Mengajar
Ada dua kata dalam istilah ini, yakni kata „pengalaman‟ dan kata
„mengajar‟. Kata pengalaman di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
diartikan sebagai sesuatu yang sudah pernah dialami(dilewati, dilalui, dijalani, ditanggung, dan sebagainya). Orang yang banyak melewati banyak peristiwa
Sedangkan kata mengajar diartikan sebagai menstransfer ilmu pengetahuan, atau melakukan kegiatan belajar dan mengajar.
Seorang guru yang sudah berpengalaman di dalam mengajar, selain sudah lama pengabdiannya di dalam mengajar, ia juga sudah melaksanakan berbagai
metode dan media pembelajaran yang sesuai dengan karasteristik siswa atau materi pelajarannya. Dengan kata lain, guru yang berpengalaman sudah banyak menjumpai beragam problema dan ia mampu melampauinya dengan beragam
solusi pula.
Dalam keseluruhan kegiatan pendidikan di tingkat operasional, guru
merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional, dan eksperiensial. Sejalan dengan tugas utamanya sebagai pendidik di sekolah, guru melakukan tugas-tugas kinerja pendidikan
dalam bimbingan, pengajaran, dan latihan. Semua kegiatan itu sangat terkait dengan upaya pengembangan para peserta didik melalui keteladanan, penciptaan
lingkungan pendidikan yang kondusif, membimbing, mengajar, dan melatih peserta didik. Dengan perkembangan dan tuntutan yang berkembang dewasa ini,
peran-peran guru mengalami perluasan yaitu sebagai: pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih (coaches), guru memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi peserta
didik untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sebagai latihan untuk mencapai hasil pembelajaran optimal. Sebagai konselor, guru menciptakan
peserta didik dan membantunya ke arah perkembangan optimal. Sebagai manajer pembelajaran, guru mengelola keseluruhan kegiatan pembelajaran dengan
mendinamiskan seluruh sumber-sumber penunjang pembelajaran. Sebagai partisipan, guru tidak hanya berperilaku mengajar akan tetapi juga berperilaku
belajar melalui interaksinya dengan peserta didik. Sebagai pemimpin, guru menjadi seseorang yang menggerakkan peserta didik dan orang lain untuk mewujudkan perilaku pembelajaran yang efektif. Sebagai pembelajar, guru secara
terus-menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya. Sebagai pengarang, guru secara kreatif dan
inovatif menghasilkan berbagai karya yang akan digunakan untuk melaksanakan tugasnya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara
keseluruhan, guru merupakan unsur strategis sebagai anggota, agen, dan pendidik masyarakat. Sebagai anggota masyarakat guru berperan sebagai teladan bagi bagi
masyarakat di sekitarnya baik kehidupan pribadinya maupun kehidupan keluarganya. Sebagai agen masyarakat, guru berperan sebagai mediator
(penengah) antara masyarakat dengan dunia pendidikan khususnya di sekolah. Dalam kaitan ini, guru akan membawa dan mengembangkan berbagai upaya pendidikan di sekolah ke dalam kehidupan di masyarakat, dan juga membawa
kehidupan di masyarakat ke sekolah. Selanjutnya sebagai pendidik masyarakat, bersama unsur masyarakat lainnya guru berperan mengembangkan berbagai upaya
2.5 Profesionalisme Guru 2.5.1 Pengertian Profesi
Menurut Mc Cully (1969:1330) profesi adalah a vocation an wich
professional knowledge of some departement a learning science is used in its application to the of other or in the pratice of an art found it.
Dari pengertian tersebut dapat disarikan bahwa dalam suatu pekerjaan yang bersifat profesional dipergunakan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual, yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian langsung
dapat diabadikan bagi kemaslatan orang lain.
Selanjutnya Sikun Pribadi (1976:16) menyebutkan bahwa profesi itu pada
hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu.
Dari rumusan mengenai pengertian profesi tersebut di atas, ternyata pekerjaan profesional berbeda dari pekerjaan lainnya karena suatu profesi
memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Berbicara tentang profesionalisme, kita akan berbicara pula tentang hakikat
profesi itu sendiri. Yang dimaksud dengan hakikat adalah suatu hal yang paling dalam atau sesuatu hal yang paling dalam atau sesuatu hal yang paling mendasar.
Apabila sesuatu tidak memiliki esensi, hal tersebut akan sia-sia dan kemudian akan lenyap dengan sendirinya.
Kebudayaan (1984:10) adalah tanggapan yang bijaksana serta pelayanan dan pengabdian yang ditandai oleh keahlian, teknik dan prosedur yang mantap serta
sikap kepribadian tertentu.
Rumusan di atas memberikan gambaran bahwa seorang pekerja profesional
pada hakikatnya akan melakukan pelayanan ataupun pengabdian yang dilandasi dengan kemampuan profesional serta falsafah yang mantap, yang harus dimiliki seseorang pekerja profesional tersebut. Tenaga kependidikan sebagai pekerja
profesional dituntut memiliki kemampuan profesional kependidikan serta memiliki kepribadian yang mantap sebagai tenaga kependidikan.
Menurut Oemar hamalik (1986:2) dinyatakan bahwa suatu pernyataan atau suatu janji yang dinyatakan oleh seseorang profesional tidak sama dengan pernyataan yang dikemukakan oleh seseorang yang tidak profesional. Pernyataan
profesional mengandung makna terbuka yang sungguh-sungguh keluar dari lubuk hatinya. Pernyataan demikian mengandung norma-norma atau nilai-nilai yang
etis. Seseorang yang membuat pernyataan yakin dan sadar benar bahwa pernyataan yang dibuatnya itu adalah baik. Baik dalam arti bermanfaat bagi orang
banyak dan bagi diri sendiri.
2.5.2 Profesinalisme Guru
Profesionalisme pada dasarnya dianggap suatu nilai yang murni jika individu mengamalkan tanggungjawab mereka dengan penuh dedikasi, tidak
berkait rapat dengan mutu pendidikan di beberapa segi, seperti sikap dan nilai guru dalam pengajaran, akan mempengaruhi minat, sikap dan nilai pelajar.
Profesionalisme merupakan sikap mental yang senantiasa mendorong untuk mewujudkan diri, sebagai seorang yang bertanggung jawab pada profesinya.
Menurut H. Mohamad Surya, kualitas profesionalisme ditunjukkan oleh lima unjuk kerja sebagai berikut;
1) Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal
2) Meningkatkan dan memelihara citra profesi
3) Keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional
yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya
4) Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi
5) Memiliki kebanggaan terhadap profesinya
Guru profesional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian
tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode, intelektual, rasa tanggung jawab, pribadi, sosial, spiritual, dan kesejawatan, yaitu
rasa kebersamaan di antara sesama guru. Guru profesional tidak dapat diukur dengan lamanya masa kerja, karena tidak selalu menjadi jaminan bahwa seorang guru profesional.
Tabrani Rusyan (1990:6) menyatakan bahwa guru yang profesional harus memenuhi persyaratan profesi, yakni:
2) Menekankan pad suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya
3) Menuntut adanya tingkat pendidikan tinggi
4) Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang
dilaksanakan
5) Memungkinkan pengembangan sejalan dengan dinamika kehidupan
Bertolak dari persyaratan yang dituntut oleh suatu jabatan profesi tampaklah
secara jelas bahwa untuk suatu jabatan profesional harus melalui jenjang pendidikan yang mempersiapkannya dengan bekal pengetahuan, nilai-nilai dan
sikap serta keterampilan yang sesuai dengan bidang profesionalnya. Demikian pula halnya profesionalisme tenaga kependidikan.
Bahkan didalam undang-undang guru dan dosen pasal 7, prinsip profesional
mencakup karakteristik sebagai berikut: (1) memiliki bakat, minat, panggilan, dan idealisme, (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan
sesuai dengan bidang tugas, (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas, (4) memiliki ikatan kesejawatan dan kode etik profesi (5)
bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan, (8) memiliki
jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, (9) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang
Guru yang profesional juga harus mampu mendisiplinkan diri dalam mengatur waktu untuk kepentingan diri, keluarga, tugas dan kemasyarakatan.
”Persoalan guru senantiasa aktual dan berkembang seiring
perubahan-perubahan yang mengitari, perubahan-perubahan sains, teknologi, dan peradaban
masyarakatnya. Secara internal berkaitan dengan kualifikasi, kompetensi, kesejahteraan, jaminan rasa aman, dan semacamnya. Secara eksternal; krisis etika moral anak bangsa dan tantangan masyarakat global yang ditandai tingginya
kompetensi, transparansi, efisiensi, kualitas tinggi dan profesionalisasi” (Sidi,
2001: 38).
Guru sebagai tenaga pendidikan secara substantif memegang peranan tidak hanya melakukan pengajaran atau transfer ilmu pengetahuan (kognitif), tetapi juga dituntut untuk mampu memberikan bimbingan dan pelatihan. Di dalam Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 ditegaskan pada pasal 39 bahwa:
Tenaga pendidikan selain bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan,
pengembangan, pelayanan dalam satuan pendidikan, juga sebagai tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses serta menilai
hasil pembelajaran, bimbingan dan pelatihan.
Secara implikatif sikap profesionalisme guru dibutuhkan dalam upaya strategis untuk terlaksana dan tercapainya tujuan Kurikulum Berbasis
Kompetensi, dimulai dari implikasi dalam kelas. lebih jauh akan berpengaruh terhadap sistem pendidikan yang berlangsung dalam sekolah. Suatu sistem yang
Berkembangnya potensi manusia Indoensia yang bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tanpa lupa mengembangkan kecerdasan kognitif, afektif dan
psikomotriknya.
Profesionalisme guru merupakan tuntutan kerja seiring dengan
perkembangan sains teknologi dan merebaknya globalisme dalam berbagai sektor kehidupan. Suatu pola kerja yang diproyeksikan untuk terciptanya pembelajaran yang kondusif dengan memperhatikan keberagaman sebagai sumber inspirasi
untuk melakukan perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan.
2.6 Portofolio Guru
Portofolio guru merupakan suatu kumpulan dari pekerjaan yang dihasilkan oleh seorang guru, yang didesain untuk menggambarkan talenta yang dimilikinya.
Portofolio guru dikonstruksi oleh guru itu sendiri yang menyoroti dan memperlihatkan tentang pengetahuan dan keterampilannya dalam proses belajar
mengajar.
Portofolio dapat dijadikan sebagai bahan refleksi. Dalam arti, untuk mengkritisi
dan mengevaluasi efektivitas pekerjaan yang dilakukan guru yang bersangkutan, baik dalam hal pengajaran maupun tentang interaksinya dengan siswa atau rekan sejawat.
Apa yang harus tercakup atau terkait dalam portofolio guru sesungguhnya tergantung bagaimana portofolio itu akan digunakan. Sebuah portofolio dapat
mencakup beberapa hal berikut ini :
Deskripsi kelas: waktu, tingkatan dan isi. (class description: time, grade and
content)
Ujian tertulis : (National Teacher’s Exam, State licensure tests)
Pernyataan Pribadi (A personal statement) tentang filsafat dan tujuan
pengajaran
Dokumentasi tentang upaya peningkatan kemampuan dalam mengajar, seperti
: seminar, loka karya, penataran dan sebagainya
Implementasi tentang rencana, selebaran (handouts) dan catatan-catatan
pengajaran
Catatan nilai pekerjaan siswa, seperti tes, quiz dan class projects
Video/Audio Tape tentang pengajaran di kelas
Catatan observasi dari rekan sejawat
Refleksi tertulis tentang pengajaran
Seringkali terjadi miskonsepsi seolah-olah portofolio guru hanya merupakan
kumpulan yang hanya menampung tentang pengajaran dan evaluasi yang dilakukan oleh seorang guru. Padahal secara ideal, portofolio merupakan sebuah
dokumen yang diciptakan oleh guru, yang menyatakan, menghubungkan dan menggambarkan kewajiban, tingkat kemahiran dan pertumbuhannya dalam pengajaran. Setiap portofolio hendaknya didokumentasikan dalam sebuah
appendiks atau sebuah referensi. Ukuran sebuah portofolio beragam, tetapi pada umumnya dua sampai dengan sepuluh halaman, termasuk apendiks.
tujuan untuk mengevaluasi tentang efektivitas dalam mengajar yang otentik yang dapat diguna kepentingan pemberian lisensi (licensure) atau membuat keputusan
tentang ketenagakerjaan (employment decision). Kedua, portofolio guru digunakan untuk kepentingan umpan balik bagi guru yang bersangkutan sehingga
dapat meningkatkan pengajaran dan derajat profesionalismenya.
Sebagai suatu bentuk pengukuran yang otentik, portofolio guru memiliki peranan penting dari keseluruhan evaluasi tentang guru. Beberapa universitas di
Amerika, seperti : University of Colorado , Marquette University and Murray State University, sekarang telah menggunakan portofolio untuk keputusan
personil.
Kendati demikian, penggunaan portofolio guru untuk keputusan tingkat tinggi, seperti untuk program sertifikasi agaknya sulit untuk dilaksanakan, karena alasan
faktor subyektivitas, keragaman isi dan konstruksi, serta tidak adanya konsensus tentang apa yang seharusnya diketahui dan dilakukan oleh seorang guru (what a
teacher should know and be able to do).
Portofolio digunakan untuk kepentingan pembuatan keputusan tentang personil
yang cenderung bersifat fleksibel dan subyektif. Konstruksi portofolio bersifat unik dan disesuaikan dengan individu yang bersangkutan.
Langkah-Langkah untuk mengimplentasikan Program Portofolio :
1. Memulai secara perlahan-lahan (start slowly). Untuk melembagakan pengukuran portofio, baik untuk kepentingan kemahiran maupun pertumbuhan
untuk pengembangan, implementasi hingga penentuan regulasi tentang program portofio.
2. Memperoleh Penerimaan (gain acceptance). Penerimaan penggunaan portofolio sebagai alat pendidikan oleh pihak administrator (baca: kepala
sekolah) dan guru merupakan hal yang amat penting.
3. Pembentukan rasa memiliki. Setiap guru harus dilibatkan dari mulai sampai dengan pengembangan program portofolio. Sehingga terbentuk rasa memiliki
tentang aturan dan penggunaan program
4. Mengkomunikasikan implementasi. Guru membutuhkan kejelasan bagaimana
portofolio digunakan. Untuk itu, perlu adanya upaya untuk mengkomunikasikan segala sesuatunya yang berkenaan dengan program portofolio secara detail.
5. Selektif. Portofolio berisi item-item yang terseleksi secara hati-hati yang merefleksikan substansi dari kemahiran dan prestasi seorang guru.
6. Realistik. Portofolio hanya merupakan salah bentuk pengukuran otentik yang hendaknya digunakan sebagai salah satu bagian saja dari proses pengukuran
untuk menunjang pengukuran-pengukuran lainnya. 2.7 Hipotesis.
Hipotesis penelitian yang akan diuji dirumuskan sebagai berikut :
Hipotesis I : Ho :
ρ
y1 = Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan profesionalisme guru.Hipotesis II: Ho :
ρ
y1 = Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pelatihan dengan profesionalisme guru.H1:
ρ
y1≠Terdapat hubungan yang signifikan antara pelatihan dengan profesionalisme guru.Hipotesis III: Ho :
ρ
y1 = Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengalaman mengajar denganprofesionalisme guru.
H1 :
ρ
y1≠ Terdapat hubungan yang signifikan antara kondisi pengalaman mengajar dengan profesionalisme guru.Hipotesis IV: Ho :
ρ
y1 = Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan, pelatihan, pengalaman mengajar secara bersama-sama dengan profesionalismeguru.
H1:
ρ
y1 ≠Terdapat hubungan hubungan yang signifikan antara pendidikan, pelatihan, pengalaman mengajar secara bersama-sama dengan profesionalisme guru.. Keterangan :
2.8 Hasil Penelitian yang Relevan.
Penelitian yang relevan dan telah dilakukan oleh peneliti terdahulu yang ada kaitannya dengan pendidikan, pelatihan, pengalaman mengajar dan profesionalisme guru adalah sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Mas Ayu Fadilah (2007) diperoleh hasil
bahwa : Guru merupakan pekerjaan profesional, suatu profesi yang menuntut keahlian tertentu yang karena sifatnya membutuhkan persyaratan dasar, keterampilan teknis dan sikap kepribadian, oleh sebab itu guru harus
memiliki kualifikasi profesional sehingga mampu mengemban tugas dengan baik dan profesional, oleh karena itu sekolah harus melihat kualitas
Guru, kinerja Guru yang tinggi dilandasi dengan adanya kedisiplinan sarana dan fasilitas yang mendukung, penguasaan bidang studi, pemahaman peserta didik penerapan pembelajaran yang mendidik, dan
pengembangan kpribadian dan keprofesionalan. Hal inilah yang menyangkut dalam pengembangan profesionalisme Guru. Masalah dalam
penelitian ini adalah faktor waktu dan tenaga kedisiplinan Guru, mengikuti pelatihan dan seminar, faktor keahlian, tanggung jawab Guru terhadap
peserta didik, sarana dan fasilitas mengajar yang disediakan disekolah, serta kerja sama antar teman sejawat. Hal yang sama pula diperoleh dari penelitian ini yang mengatakan semakin sering guru mengikuti
pendidikan maupun pelatihan maka akan menambah kemampuan guru didlam penguasaan bidang studi serta mampu dalam penerapannya.
bukanlah pendidikan tentang konsep-konsep mendidik, tetapi yang lebih utama adalah pendidikan ilmu murni. Oleh karenanya kerjasama dengan
universitas perlu dikembangkan untuk membuat sebuah link peng-update-an keilmupeng-update-an guru. Selain memberikpeng-update-an pelupeng-update-ang belajar dpeng-update-an berkembpeng-update-ang
kepada guru di daerah, pemerintah daerah juga perlu mempelopori forum ilmiah guru. Forum yang akan memberikan kesempatan kepada guru-guru daerah untuk saling bertukar metode mengajar, keilmuan baru dan
sekaligus melatih guru untuk menyampaikan idenya secara ilmiah. Dalam forum ilmiah ini, sangat perlu pula mengundang pakar/ilmuan/praktisi
untuk menambah keluasan keilmuan para guru. Hal yang sama pula diperoleh dari penelitian ini yang mengatakan semakin sering guru mengikuti pendidikan maupun pelatihan maka akan menambah
BAB III
RANCANGAN PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah diuraikan dalam Bab I, maka tujuan utama yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk memperoleh jawaban atas keempat pertanyaan penelitian yang dikemukakan dalam paragraf
1.2. dari tesis ini, yaitu:
a. Untuk mengungkapkan karakteristik kontribusi ketiga variabel independen
terhadap pembentukan profesionalisme guru
b. Untuk mengungkapkan hubungan program-program pendidikan dan pelatihan guru dengan pembentukan profesionalisme guru
c. Untuk mengungkapkan hubungan pengalaman mengajar dengan pembentukan profesionalisme guru
d. Untuk mengungkapkan hubungan antara pendidikan guru, pelatihan guru, dan pengalaman mengajar dengan profesionalisme guru
3.2. Asumsi-Asumsi Penelitian
Asumsi-asumsi penelitian merupakan landasan pemikiran yang menentukan
batas-batas dalam keseluruhan proses penelitian ini. Dengan demikian kesimpulan yang diturunkan sebagai hasil penelitian akan berada dalam batas-batas tersebut
a. Responden adalah para guru yang mengajar di SMK Negeri 6 Kota Bandung dan telah memiliki kualifikasi akademik sesuai ketentuan yang ditetapkan
dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
b. Pada waktu mengajar, responden (para guru) menggunakan segala
kemampuan yang diperoleh dari hasil pendidikan guru dan pelatihan guru c. Sebelum mengajar, responden (para guru) menyiapkan Satuan Acara
Pembelajaran (SAP) berdasarkan GBPP yang berlaku
d. Hubungan antara variabel-variabel independen dengan variabel dependen merupakan model linier, aditif dan korelasional
3.3. Hipotesis Penelitian
Dengan berpegang pada pembatasan masalah dan analisis masalah yang
akan diteliti dengan variabel-variabel penelitian yang dipilih, maka untuk mengarahkan penelitian dirumuskan dua hipotesis utama:
a. Terdapat hubungan korelasional yang signifikan antara variabel-variabel independen (X1, X2, X3) dengan variabel dependen (Y)
b. Terdapat hubungan korelasional jamak antara variabel-variabel independen (X1, X2, X3) secara bersama-sama dengan variabel dependen (Y)
c. Terdapat hubungan kontributif yang signifikan antara variabel-variabel
3.4. Populasi dan Sampel
Sesuai masalah yang diteliti, maka populasi responden adalah semua guru
SMK Negeri 6 Kota Bandung yang berjumlah 36 orang; namun karena jumlahnya mendekati 30 orang, maka keseluruhannya dijadikam responden penelitian ini.
Dengan demikian jumlah responden sama dengan populasi guru SMK Negeri 6 Kota Bandung.
3.5. Metode Penelitian
Berdasarkan paradigma penelitian seperti diuraikan dalam paragraf 1.3.,
maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif yang bersifat deskriptif analitis.
3.6. Data dan Pengembangan Instrumen Penelitian
Data dari empat macam variabel penelitian akan dikumpulkan dari para
responden dengan mengadakan angket dalam bentuk skala sikap model Likert dan inventori ragam pendidikan, pelatihan dan mengalaman mengajar para responden.
a. Uji Normalitas Sebaran Frekuensi Jawaban.
Sebelum digunakan untuk mengumpulkan data, keempat instrumen yang berbentuk skala model Likert tersebut terlebih dahulu diujikan kepada
sebagian guru yang dipilih secara acak. Data yang diperoleh dari ujicoba tersebut sebelum digunakan, jawaban atas setiap pertanyaan/pernyataan
diperbaiki. Uji normalitas tersebut adalah untuk memeriksa ketepatan skala dari setiap pernyataan melalaui analisis sebaran frekuensi (Edward,
1957:149-152).
Langkah-langkah analisis adalah sebagai berikut:
1. Menghitung frekuensi setiap kategori jawaban dari setiap pernyataan. Misalkan untuk pernyataan ke-n diperoleh :
Frekuensi jawaban Sangat Setuju (SS) = fSS,n
Frekuensi jawaban Setuju (S) = fS,n
Frekuensi jawaban Tidak Setuju (TS) = fTS,n
Frekuensi jawaban Sangat Tidak Setuju (STS) = fSTS,n
2. Menghitung proporsi setiap kategori jawaban; misalkan proporsi dinyatakan dengan px, maka perhitungan ini dapat dinyatakan dengan
rumus (T.N. Reksoatmodjo, 2007:198):
Xn n X n X f f p (3.01)3. Menghitung proporsi kumulatif pk dan menentukan titik-tengah proporsi kumulatif Md dengan rumus (T.N. Reksoatmodjo, 2007:199):
5 3 4 3 2 3 2 1 2 1 1 X X X X p pk pk p pk pk p pk pk p pk (3.02)