DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN... i
PERNYATAAN ... ii
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR BAGAN ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 8
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
1.5 Hipotesis Penelitian ... 10
1.6 Definisi Operasional ... 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kemampuan Prosedural... 12
2.2 Pemahaman Konsep Matematis ... 14
2.3 Pendekatan Brain Based Learning ... 17
2.4 Pembelajaran Konvensional ... 24
2.6 Teori Belajar yang Mendukung Pendekatan Brain-Based
Learning ... 27
2.7 Penelitian yang Relevan ... 29
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 31
3.2 Populasi dan Sampel penelitian ... 33
3.3 Variabel Penelitian ... 36
3.4 Instrumen Penelitian ... 36
3.4.1 Tes Kemampuan Prosedural dan Pemahaman Konsep Matematis ... 37
3.4.2 Validitas, Reliabilitas, Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda ... 39
3.4.3 Instrumen Skala Sikap ... 47
3.4.4 Lembar Observasi ... 48
3.4.5 Bahan Ajar ... 49
3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 49
3.6 Tehnik Analisis Data ... 49
3.7 Data Non-Tes ... 58
3.8 Lokasi Penelitian ... 59
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 4.1 Hasil Penelitian ... 60
4.1.1 Statistik Deskriptif Hasil Penelitian ... 61
4.1.2 Analisis Hasil Pretes ... 64
4.1.3 Analisis Hasil Postes ... 71
4.1.4 Analisis Sikap Siswa ... 78
4.1.5 Observasi Aktivitas Guru dan Siswa ... 86
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 94
4.2.1 Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Brain Based Learning ... 94
4.2.2 Kemampuan Prosedural dan Pemahaman Konsep Matematis Siswa ... 97
4.2.3 Sikap Siswa Terhadap Pelaksanaan Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Brain- Based Learning ... 100
4.2.4 Aktivitas Guru dan Siswa ... 101
4.2.5 Keterbatasan Penelitian ... 102
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 5.1 Kesimpulan ... 103
5.2 Saran ... 104
DAFTAR PUSTAKA ... 106
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Uji Normalitas dan Homogenitas nilai UTS... 36
Tabel 3.2 Pedoman Penskoran Kemampuan Prosedural ... 38
Tabel 3.3 Pedoman Penskoran Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis . 38 Tabel 3.4 Interpretasi Koefisien Korelasi validitas ... 39
Tabel 3.5 Uji validitas Tes kemampuan Prosedural ... 40
Tabel 3.6 Uji Validitas Tes Kemampuan pemahaman Konsep Matematis ... 40
Tabel 3.7 Interpretasi Koefisien Korelasi Reliabilitas ... 42
Tabel 3.8 Kriteria Tingkat Kesukaran ... 43
Tabel 3.9 Tingkat Kesukaran Butir Soal Tes Kemampuan Prosedural dan Pemahaman Konsep matematis ... 44
Tabel 3.10 Klasifikasi Daya Pembeda ... 45
Tabel 3.11 Daya Pembeda Tes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis dan Kemampuan Prosedural ... 46
Tabel 3.12 Kriteria Skor Gain Ternormalisasi ... 56
Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Skor Kemampuan Prosedural ... 62
Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Skor Pemahaman Konsep Matematis ... 62
Tabel 4.3 Uji Normalitas Skor Pretes Kemampuan Prosedural ... 65
Tabel 4.4 Uji Homogenitas Varians Skor Pretes Kemampuan Prosedural ... 66
Tabel 4.5 Uji Kesamaan Rerata Skor Pretes Kemampuan Prosedural ... 67
Tabel 4.7 Uji Homogenitas Varians Skor Pretes Kemampuan Pemahaman
Konsep Matematis ... 69
Tabel 4.8 Uji Kesamaan Rerata Skor Pretes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ... 70
Tabel 4.9 Uji Normalitas Skor Postes Kemampuan Prosedural ... 71
Tabel 4.10 Uji Homogenitas Varians Skor Postes Kemampuan Prosedural ... 73
Tabel 4.11 Uji Perbedaan Rerata Skor Postes Kemampuan Prosedural... 74
Tabel 4.12 Uji Normalitas Skor Postes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ... 75
Tabel 4.13 Uji Homogenitas Varians Skor Postes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ... 76
Tabel 4.14 Uji Perbedaan Rerata Skor Postes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ... 77
Tabel 4.15 Distribusi Skala Sikap Pada Kelas BBL ... 78
Tabel 4.16 Distribusi Skala Siakap Siswa Terhadap Pelajaran Matematika. ... 80
Tabel 4.17 Distribusi Skala Sikap Siswa Terhadap pembelajaran dengan Pendekatan Brain-Based Learning. ... 82
Tabel 4.18 Distribusi Skala Sikap Siswa TerhadapSoal Prosedural dan Pemahaman . ... 84
Tabel 4.19 UjiNormalitas N-gain Kemampuan Prosedural. ... 89
Tabel 4.20 Uji Homogenitas N-gain Kemampuan Prosedural. ... 90
Tabel 4.21 Hasil Uji Beda Rerata N-gain Kemampuan Prosedural ... 90
Tabel 4.22 Uji Normalitas N-gain Kemampuan Pemahaman Konsep ... 92
Tabel 4.23 Uji Homogenitas N-gain Kemampuan Pemampuan Pemahaman Konsep Matematis ... 92
DAFTAR BAGAN
Halaman
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 4.1 Histogram Hasil Pretes Tes Kemampuan Prosedural Kelas
Konvensional ... 65
Gambar 4.2 Histogram Hasil Pretes Tes Kemampuan Prosedural Kelas BBL ... 66
Gambar 4.3 Histogram Hasil Pretes Tes Kemampuan Pemahaman Konsep
Matematis Kelas Konvensional ... 69
Gambar 4.4 Histogram Hasil Pretes Tes Kemampuan Pemahaman Konsep
Matematis Kelas BBL ... 69
Gambar 4.5 Histogram Hasil Postes Tes Kemampuan Prosedural Kelas
Konvensional ... 72
Gambar 4.6 Histogram Hasil Postes Tes Kemampuan Prosedural Kelas BBL .... 72
Gambar 4.7 Histogram Hasil Postes Tes Kemampuan Pemahaman Konsep
Matematis Kelas Konvensional ... 76
Gambar 4.8 Histogram Hasil Postes Tes Kemampuan Pemahaman Konsep
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A
A.1. Silabus Penelitian ... 109
A.2. Rencana Pembelajaran kelas BBL... 110
A.3. Rencana Pembelajaran kelas Konvensional ... 137
A.4. Lembar Kerja Siswa ... 153
A.5. Soal Tes Individu ... 195
Lampiran B. B.1. Kisi-Kisi Soal kemampuan Prosedural ...203
B.2. Kisi-Kisi Soal kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ...205
B.3. Soal Tes Kemampuan Prosedural ... 207
B.4. Soal Tes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ... 208
B.5. Jawaban Tes Kemampuan Prosedural ... 210
B.6. Jawaban Tes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ... 212
B.7. Kisi-kiasi Angket skala Sikap ... 215
B.8. Angket Untuk Siswa ... 216
B.9. Lembar Observai Guru ... 218
B.10. Lembar Observai Siswa ... 220
Lampiran C
Siswa Kelas Konvensional ... 221
C.2. Data Nilai hasil Ujian Tengah Semester Siswa Kelas BBL ... 222
C.3. Hasil Perhitungan Anates Kemampuan Prosedural. ...223
C.3. Hasil Perhitungan Anates Kemampuan Pemahaman Konsep ...228
Lampiran D D.1. Nilai Pretes Kemampuan Prosedural Kelas BBL ... 234
D.2. Nilai Pretes Kemampuan Prosedural Kelas Konvensional ... 235
D.3. Nilai Pretes Kemampuan Pemahaman konsep Kelas BBL ... 236
D.4. Nilai Pretes Kemampuan Pemahaman Konsep Kelas Konvensional ... 237
D.5. Nilai Postes Kemampuan Prosedural Kelas BBL ... 238
D.6. Nilai Postes Kemampuan Prosedural Kelas Konvensional ... 239
D.7. Nilai Postes Kemampuan Pemahaman Konsep Kelas BBL ... 240
D.8. Nilai Postes Kemampuan Pemahaman Konsep Kelas Konvensional ... 241
D.9. Uji Normalitas Nilai Ujian Tengah Semester (UTS) ...242
D.10. Uji Homogenitas Nilai Ujian Tengah Semester (UTS) ...243
D.11. Uji Beda Rerata Nilai Ujian Tengah Semester (UTS) ...244
D.12. Uji Normalitas Pretes Kemampuan Prosedural ...245
D.13. Uji Homogenitas Pretes Kemampuan Prosedural ...246
D.14. Uji Beda Rerata Pretes Kemampuan Prosedural ...247
D.15. Uji Normalitas Pretes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ...248
D.16. Uji Homogenitas Pretes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ...249
D.18. Uji Normalitas Postes Kemampuan Prosedural ...251
D.19. Uji Homogenitas Postes Kemampuan Prosedural ...252
D.20. Uji Beda Rerata Postes Kemampuan Prosedural ...253
D.21. Uji Normalitas Postes Kemampuan Pemahaman Konsep
Matematis ...254
D.22. Uji Homogenitas Postes Kemampuan Pemahaman Konsep
Matematis ...255
D.23. Uji Beda Rerata Postes Kemampuan Pemahaman Konsep
Matematis ...256
D.24. Gain Ternormalisasi Kemampuan Prosedural Kelas BBL ... 257
D.25. Gain Ternormalisasi Kemampuan Prosedural Kelas
Konvensional ... 258
D.26. Gain Ternormalisasi Kemampuan Pemahaman Konsep
kelas BBL ... 259
D.27. Gain Ternormalisasi Kemampuan Pemahaman Konsep
Kelas Konvensional ... 260
Lampiran E
E.1. Pemberian Skor Item skala Sikap ... 261
E.2. Skor Skala Sikap Tiap Butir Pernyataan ... 262
E.3. Rekapitulasi Skor Skala sikap Tiap Aspek ... 263
Lampiran F
F.1. Hasil Observasi Terhadap Siswa ... 264
BAB I
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan dan pembelajaran merupakan suatu proses yang diarahkan
untuk mengembangkan potensi manusia agar mempunyai dan memiliki
kemampuan nyata dalam perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor. Oleh karena
itu proses pendidikan dan pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang paling
sentral. Hal ini mengandung arti bahwa keberhasilan proses pendidikan ditentukan
oleh berhasil atau tidaknya proses pembelajaran itu sendiri.
Proses pembelajaran merupakan proses interaksi edukatif yang dilakukan
oleh guru dan murid untuk memperoleh sesuatu yang mengakibatkan
terbentuknya pola-pola perilaku baru yang menyeluruh menuju ke arah yang
lebih meningkat dan lebih baik pada pribadi yang belajar.
Proses pembelajaran saat ini kebanyakan masih belum menunjukan hasil
yang memuaskan, upaya guru yang mengarah pada peningkatan proses
belajar-mengajar belum optimal dan metode serta pendekatan yang digunakan
guru belum beranjak dari pola-pola tradisional, sehingga tujuan pembelajaran
yang diharapkan tidak tercapai.
Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
tujuan mempelajari mata pelajaran matematika adalah agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut; 1). Memahami konsep matematika, menjelaskan
luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah, 2). Menggunakan
penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika, 3). Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh, 4). Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel,
diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, 5). Memiliki
sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa
ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet
dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Berdasarkan kurikulum KTSP di atas, tujuan umum pendidikan
matematika adalah menitikberatkan pada pemahaman konsep, penalaran,
kemampuan pemecahan masalah, komunikasi matematis, dan memiliki
menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan. Untuk mewujudkan tujuan
pembelajaran pada kurikulum KTSP tersebut, maka proses pembelajaran perlu
mendapat perhatian dan penanganan yang serius. Untuk mengantisipasi hal ini,
sejak dini perlu dilakukan suatu usaha atau upaya, sehingga siswa tertarik pada
mata pelajaran matematika dan siswa termotivasi untuk belajar matematika
sehingga akan berakibat pada optimalnya hasil siswa dalam belajar matematika.
Tujuan pembelajaran matematika yang diharapkan berdasarkan KTSP,
khususnya pada aspek kemampuan pemahaman konsep matematis, ternyata masih
belum tercapai. Hal tersebut terungkap dari hasil pengamatan peneliti di lapangan,
Jawa Barat, kemampuan siswa dalam pemahaman konsep matematisnya masih
sangat rendah. Hal tersebut ditunjukan oleh rendahnya nilai ulangan yang masih
dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditentukan oleh guru
matematika di sekolah tersebut yaitu 60. Hasil pengamatan peneliti tersebut sangat
relevan dengan hasil penelitian yang dilakukan Wahyudin (1999) bahwa
kemampuan matematika siswa kita masih sangat rendah. Secara rinci Wahyudin
menemukan lima kelemahan yang ada pada siswa, salah satunya adalah siswa
kurang memiliki kemampuan untuk memahami serta menggali konsep-konsep
dasar matematika yang sedang dibicarakan dengan pokok bahasan yang sedang
dibicarakan.
Lebih luas lagi, apabila dibandingkan dengan hasil laporan oleh survei
Programme for International Student Assesment (PISA), ternyata prestasi literasi
matematika untuk anak-anak Indonesia yang berusia sekitar 15 tahun masih
rendah. Pada PISA tahun 2003, Indonesia berada di peringkat 38 dari 40 negara,
dengan rerata skor 360 dan rerata skor internasional adalah 500. Pada tahun 2006
rerata skor siswa kita naik menjadi 391, yaitu peringkat 50 dari 57 negara dan
rerata skor internasional adalah 500, sedangkan pada tahun 2009 Indonesia hanya
menempati peringkat 61 dari 65 negara, dengan rerata skor 371, sementara
rata-rata skor internasional adalah 496. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah
siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat. Aspek
literasi matematis yang diukur adalah mengidentifikasikan dan memahami serta
menggunakan dasar-dasar matematika yang diperlukan seseorang dalam
bahwa kemampuan pemahaman konsep matematis siswa kita masih sangat
rendah.
Rendahnya kemampuan pemahaman matematis siswa kita diakibatkan
oleh beberapa faktor, salah satunya diungkapkan oleh Turmudi (2008: 11) yang
memandang bahwa pembelajaran matematika selama ini kurang melibatkan siswa
secara aktif, sebagaimana dikemukakannya bahwa “pembelajaran matematika
selama ini disampaikan kepada siswa secara informatif, artinya siswa hanya
memperoleh informasi dari guru saja sehingga derajat “kemelekatannya” juga
dapat dikatakan rendah”. Dengan pembelajaran seperti ini, siswa sebagai subjek
belajar kurang dilibatkan dalam menemukan konsep-konsep pelajaran yang harus
dikuasainya. Hal ini menyebabkan konsep-konsep yang diberikan tidak membekas
tajam dalam ingatan siswa sehingga siswa mudah lupa dan sering kebingungan
dalam memecahkan suatu permasalahan yang berbeda dari yang pernah
dicontohkan oleh gurunya.
Kemudian faktor selanjutnya adalah tidak adanya variasi model
pembelajaran yang dilakukan. Dengan strategi seperti itu, siswa menerima
pelajaran matematika secara pasif dan bahkan hanya menghafal rumus-rumus
tanpa memahami makna dan manfaat dari apa yang dipelajari, sehingga siswa
akan merasa jenuh dalam mempelajari matematika. Akibatnya kemampuan siswa
dalam pemahaman konsep matematisnya rendah dan minat siswa untuk belajar
matematika kurang sehingga berdampak pada kemampuan siswa yang diharapkan
Salah satu kemampuan siswa yang dapat dinilai adalah kemampuan
kognitif. Menurut Bloom (dalam Ruseffendi, 1991: 35), kemampuan kognitif
manusia di bagi ke dalam 6 tingkatan yaitu: (1) Tingkat Pengetahuan, (2) Tingkat
Pemahaman, (3) Tingkat Aplikasi, (4) Tingkat Analisis, (5) Tingkat sintesis, (6)
Tingkat Evaluasi.
Kompetensi matematis dalam ranah kognitif termasuk tingkat pemahaman
matematika. Kompetensi matematika menurut Kilpatrick, Swafford, dan Findel
(2001), yaitu, conceptual understanding, procedural fluency, strategic
competence, dan adaptive reasoning.
Salah satu aspek pemahaman matematika yang terpenting dimiliki oleh
siswa adalah conceptual understanding atau diistilahkan “pemahaman konsep”.
Mempelajari matematika berarti belajar tentang konsep-konsep dan
struktur-struktur yang terdapat dalam bahasan yang dipelajari serta berusaha mencari
hubungan-hubungannya.
Pemahaman siswa akan konsep matematika haruslah disertai penguasaan
prosedur yang baik dan benar agar mereka mengetahui apa yang mendasari
konsep tersebut. Kesalahan yang seringkali muncul apabila pemahaman konsep
terlepas dari prosedur ialah siswa kesulitan untuk mengaitkan suatu permasalahan
matematika dengan konsep serta alasan yang mendasarinya, begitu pula
sebaliknya jika prosedur pemecahan masalah dikuasai namun konsepnya tidak
mereka pahami, siswa akan berhadapan dengan masalah yang sama.
Kemampuan procedural fluency berpengaruh terhadap kompetensi
mencari jalan keluar dalam permasalahan dengan fleksibel, teliti, secara efisien
dan sewajarnya. ketelitian dan efisien sangat penting dalam suatu prosedur, karena
sudah tersusun secara prosedur sehingga melakukan sedikit kesalahan. Oleh
karena itu, kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis sudah
seharusnya dimiliki oleh siswa, salah satu caranya adalah dengan meningkatkan
kualitas pembelajaran matematika dan menciptakan pembelajaran matematika
yang menyenangkan.
Untuk menciptakan suasana pembelajaran matematika yang berkualitas
dan menyenangkan, hendaklah guru memperhatikan salah satu hal penting dalam
tubuh manusia yang selama ini masih kurang dioptimalkan, yaitu otak.
Berat otak manusia dewasa pada umumnya hanya sekitar satu setengah
kilogram (Jensen, 2007: 40). Namun, organ kecil ini sangat memegang peranan
penting dalam pelaksanaan pembelajaran, karena organ kecil inilah yang
mengolah segala informasi yang didapatkan.
Secara keseluruhan, tingkah laku manusia dikendalikan oleh otak. Struktur
komposisi otak sangat berpengaruh terhadap sifat setiap orang.
Pandangan-pandangan negatif siswa terhadap matematika sering membuat mereka malas dan
kesulitan dalam memahami konsep, hal tersebut muncul karena komposisi otak
yang dibangun kurang optimal sehingga memunculkan karakter yang negatif
(Jensen, 2007: 45).
Hal penting lainnya yaitu proses pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran
banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah guru dapat
harus berpijak pada prinsip-prinsip tertentu. Dimyati dan Mujiono (1994)
mengemukakan ada tujuh prinsip pembelajaran, yaitu: perhatian dan motivasi,
keaktifan, keterlibatan langsung, pengulangan, tantangan, balikan dan penguatan,
dan perbedaan individual. Prinsip-prinsip pembelajaran tersebut, dituangkan
dalam suatu pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran sehingga pelaksanaan
pembelajaran di kelas menjadi lebih bermakna, dan kemampuan siswa yang
diharapkan dapat tercapai.
Salah satu strategi pembelajaran yang bisa dilakukan adalah dengan
menggunakan suatu model pembelajaran yang dapat memaksimalkan fungsi otak
sehingga kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis siswa bisa
tercapai serta motivasi siswa untuk belajar matematika bisa muncul. Strategi
pembelajaran yang dimaksud adalah dengan melakukan pembelajaran dengan
pendekatan Brain-Based Learning .
Pendekatan Brain-Based Learning adalah pembelajaran yang diselaraskan
dengan cara otak bekerja yang didesain secara alamiah untuk belajar (Jensen,
2007:12). Tahapan-tahapan perencanaan pembelajaran dengan Pendekatan
Brain-Based Learning menurut Jensen (2007: 484) antara lain: tahap pra-pemaparan,
tahap persiapan, tahap inisiasi dan akuisisi, tahap elaborasi, tahap inkubasi dan
formasi memori, tahap verifikasi dan pengecekan keyakinan, dan tahap perayaan
dan integrasi.
Terdapat tiga strategi utama yang dapat dikembangkan dalam
implementasi pendekatan Brain-Based Learning (Syafa’at, 2009) yaitu:
(2) menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan; dan (3) menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi siswa
Berdasarkan strategi-strategi tersebut, pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan Brain-Based Learning dalam pembelajaran matematika memberikan
kesempatan pada siswa dalam hal kemampuan berpikir siswa khususnya
kemampuan dalam prosedural dan pemahaman konsep matematis siswa, dengan
demikian pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Brain-Based Learning
diduga dapat meningkatkan kemampuan prosedural dan pemahaman konsep
matematis siswa. Selain itu, lingkungan pembelajaran yang menantang dan
menyenangkan juga akan memotivasi siswa untuk aktif berpartisipasi dan
beraktifitas secara optimal dalam pembelajaran sehingga motivasi siswa terhadap
pelajaran matematika bisa bisa meningkat.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian terhadap pendekatan Brain-Based Learning dengan judul
“Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Brain-Based Learning untuk
Meningkatkan Kemampuan Prosedural dan Pemahaman Konsep Matematis
Siswa Kelas X Madrasah Aliyah”
1.2. Rumusan Masalah
Mengacu kepada latar belakang masalah, maka dalam rencana penelitian
ini permasalahan dibatasi hanya pada kajian aspek kemampuan prosedural dan
pemahaman konsep matematis yaitu apakah pendekatan Brain-Based Learning
dapat meningkatkan kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis
Rumusan masalah di atas dapat dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Apakah peningkatan kemampuan prosedural siswa yang mendapatkan
pembelajaran dengan Pendekatan Brain-Based Learning lebih baik daripada
siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?
2. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematis siswa yang
mendapatkan pembelajaran dengan Pendekatan Brain-Based Learning lebih
baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?
3. Bagaimana aktivitas siswa dalam proses pembelajaran matematika dengan
menggunakan pendekatan Brain- Based Learning?
4. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan
menggunakan pendekatan Brain-Based Learning?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan
diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menelaah perbedaan peningkatan kemampuan prosedural siswa yang
mendapatkan pembelajaran matematika dengan Pendekatan Brain-Based
Learning dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
2. Menelaah perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematis
siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan Pendekatan
Brain-Based Learning dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
3. Mengetahui aktivitas siswa dalam proses pembelajaran matematika dengan
4. Mendeskripsikan sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan
Pendekatan Brain-Based Learning.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi siswa, pembelajaran matematika dengan Pendekatan Brain-Based
Learning diharapkan dapat meningkatkan kemampuan prosedural dan
pemahaman konsep matematis siswa.
2. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan variasi strategi
pembelajaran matematika agar dapat diaplikasikan dan dikembangkan menjadi
lebih baik sehingga dapat meningkatkan kemampuan prosedural dan
pemahaman konsep matematis siswa.
3. Bagi sekolah, sebagai bahan masukan dalam rangka mengembangkan
kemampuan lainnya yang erat kaitannya dengan pembelajaran matematika.
4. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
dapat tidaknya pembelajaran matematika dengan Pendekatan Brain-Based
Learning meningkatkan kemampuan prosedural dan pemahaman konsep
matematis siswa.
1.5. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan kemampuan prosedural siswa yang mendapatkan pembelajaran
dengan Pendekatan Brain-Based Learning lebih baik daripada siswa yang
2. Peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematis siswa yang
mendapatkan pembelajaran dengan Pendekatan Brain-Based Learning lebih
baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
1.6. Definisi Operasional
1. Pendekatan Brain-Based Learning adalah pembelajaran yang diselaraskan
dengan cara otak yang didesain secara alamiah untuk belajar yang
dibangun di atas sebuah pertanyaan fundamental “ Apa yang terbaik bagi
otak?”
2. Kemampuan prosedural adalah pengetahuan mengenai prosedur secara
umum, pengetahuan dalam menampilkan prosedur secara fleksibel, tepat
dan efisien.
3. Pemahaman konsep matematis adalah kemampuan siswa dalam
menyatakan ulang secara verbal konsep yang telah dipelajari, menerapkan
konsep secara algoritma, menyajikan konsep dalam berbagai bentuk
representasi matematika serta kemampuan mengaitkan berbagai konsep.
4. Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang berpusat pada guru
dan proses belajar sangat mengutamakan metode ceramah atau ekspositori,
BAB II
KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kemampuan Prosedural (Procedural Fluency)
Sebagaimana telah dijelaskan di awal, di antara berbagai aspek kecakapan
yang harus dikuasai siswa ialah kemampuan kemahiran prosedural (procedural
fluency). Kemampuan procedural fluency sangatlah dibutuhkan untuk menunjang
aspek kecakapan matematika lainnya yaitu conceptual understanding atau
pemahaman konsep. Kedua jenis kecakapan ini, yakni conceptual understanding
dan procedural fluency merupakan aspek utama yang menjadi perhatian dan
prioritas (Kilpatrick, et al., 2001: 116).
Pemahaman siswa akan konsep matematika haruslah disertai penguasaan
prosedur yang baik dan benar agar mereka mengetahui apa yang mendasari
konsep tersebut. Kesalahan yang seringkali muncul apabila pemahaman konsep
terlepas dari prosedur ialah dalam menghadapinya siswa akan merasa kesulitan
untuk mengaitkan suatu permasalahan matematika dengan konsep serta alasan
yang mendasarinya, begitu pula sebaliknya jika prosedur pemecahan masalah
dikuasai namun konsepnya tidak mereka pahami, siswa akan berhadapan dengan
masalah yang sama. Hal ini disebabkan ketika sebuah keahlian atau kemampuan
dipelajari tanpa pemahaman akan menjadikannya sebagai bagian dari serpihan
pengetahuan yang terisolasi (Bransford, Brown, dan Cooking, 1999; Hiebert dan
Carpenter, 1992 dalam Kilpatrick, et al., 2001: 123).
Tanpa penguasaan prosedur yang cukup baik, siswa akan kesulitan
permasalahan matematika. Akibat lain jika siswa yang belajar mengenai prosedur
tanpa memahami konsepnya adalah siswa akan merasa kesulitan ketika menemui
permasalahan matematika yang relatif baru. Oleh karena itu penguasaan konsep
dan penguasaan prosedur seharusnya sejalan agar siswa dapat memodifikasi
prosedur yang mereka kuasai untuk memudahkan mereka dalam memahami suatu
konsep.
Untuk membedakannya dengan jenis kecakapan matematis lainnya,
(Kilpatrick, et al., 2001: 150), mengemukakan kemampuan Procedural fluency
memiliki tiga indikator:
1) Pengetahuan mengenai prosedur secara umum.
2) Pengetahuan mengenai kapan dan bagaimana menggunakan prosedur dengan
benar.
3) Pengetahuan dalam menampilkan prosedur secara fleksibel, tepat dan efisien.
Algoritma haruslah dikuasai oleh siswa, karena dengan algoritma, siswa
memperoleh insight ke dalam fakta bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan
yang terbentuk dengan baik dalam pengertian bahwa matematika merupakan
pengetahuan yang terorganisasi dengan rapih dan tertata, berisi pola, serta dapat
diprediksi ketepatannya (Kilpatrick, et al., 2001: 121).
Untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan procedural
fluency, siswa memperolehnya terutama sekali melalui latihan dalam mengerjakan
soal-soal, karena hanya dengan latihan, akurasi dan efisiensi prosedur
penyelesaian masalah dapat dikuasai dan ditingkatkan. Lebih jauh lagi, latihan
menggunakan prosedur secara fleksibel. Pada akhirnya, hal ini akan mengantarkan
siswa pada pemahaman akan konsep matematika yang menjadikan mereka
memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah, serta tidak rentan terhadap
common errors. Selain itu juga, mereka tidak mudah lupa pada konsep yang telah
dikuasai sebelumnya.
2.2. Pemahaman Konsep (Conceptual Understanding)
Salah satu kecakapan (proficiency) dalam matematika yang terpenting
dimiliki oleh siswa adalah conceptual understanding atau diistilahkan pemahaman
konsep. Mempelajari matematika berarti belajar tentang konsep-konsep dan
struktur-struktur yang terdapat dalam bahasan yang dipelajari serta berusaha
mencari hubungan-hubungannya.
Penguasaan konsep sangat diperlukan, karena dengan menguasai konsep
akan memberikan peluang kepada siswa untuk lebih fleksibel dan menarik dalam
belajar. Artinya siswa akan lebih mampu melakukan modifikasi secara akurat
setiap materi pelajaran sesuai dengan keaneka ragaman keadaan dan
lingkungannya serta sekaligus meningkatkan keaktifan, kemandirian serta
kreativitas siswa. Dengan demikian belajar yang menekankan pada penguasaan
konsep, siswa secara bertahap akan memiliki kemampuan baru yang akan tetap
tersimpan.
Pemahaman konsep merupakan tingkatan hasil belajar seseorang sehingga
dapat mendefinisikan atau menjelaskan suatu bagian informasi dengan kata-kata
sendiri. Berarti seorang siswa dituntut tidak hanya sebatas mengingat suatu
menggunakan kalimat sendiri. Dengan kemampuan siswa menjelaskan atau
mendefinisikan, maka siswa tersebut telah memahami konsep atau prinsip dari
suatu pelajaran meskipun penjelasan yang diberikan mempunyai susunan kalimat
tidak sama dengan konsep yang diberikan tetapi maksudnya sama.
Siswa dengan conceptual understanding tahu lebih dari sekedar fakta yang
ada dan rumus. Mereka mengerti mengapa ide matematika itu penting dan konteks
mana yang berguna dalam menyelesaikan suatu permasalahan (Kilpatrik, et al.:
2001: 118). Selain itu pengetahuan yang dipelajari dengan pemahaman
memberikan dasar untuk men-generalisasi pengetahuan baru dan menyelesaikan
permasalahan yang baru dan tidak rutin (Bransford, Brown, dan Cooking, 1999
dalam Kilpatrick, et al., 2001: 119). Beberapa indikator pemahaman konsep
(Kilpatrick, et al., 2001: 200) antara lain:
1) Kemampuan menyatakan ulang secara verbal konsep yang telah dipelajari.
2) Kemampuan mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi atau
tidaknya persyaratan yang membentuk konsep tersebut.
3) Kemampuan menerapkan konsep secara algoritma.
4) Kemampuan memberikan contoh dan lawan contoh dari konsep yang telah
dipelajari.
5) Kemampuan menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi
matematika.
6) Kemampuan mengaitkan berbagai konsep (internal dan eksternal matematika.
Menurut Ariyani (dalam Sumarmo,1987) ada beberapa jenis Pemahaman
menurut beberapa ahli yaitu:
1. Polya membedakan empat jenis pemahaman, yaitu:
a. pemahaman mekanis, yaitu dapat mengingat dan menerapkan
sesuatu atau perhitungan sederhana
b. pemahaman induktif, yaitu dapat mencobakan sesuatu dalam kasus
sederhana dan tahu bahwa sesuatu itu berlaku ubtuk kasus yang
serupa
c. pemahaman rasional, yaitu dapat membuktikan sesuatu
d. pemahaman intuitif, yaitu dapat memperkirakan kebenaran sesuatu
tanpa ragu-ragu, sebelum menganalisis secara analitik
2. Polattsek membedakan dua jenis pemahaman, yaitu:
a. pemahaman komputasional, yaitu dapat menerapkan sesuatu pada
perhitungan rutin atau sederhana, atau mengerjakan sesuatu secara
algoritmik saja.
b. pemahaman fungsional, yaitu dapat mengaitkan sesuatu dengan hal
lainnya secara benar dan menyadari proses yang dilakukan.
3. Copeland membedakan dua jenis pemahaman:
a. knowing how to, yaitu dapat mengerjakan sesuatu dengan sadar akan
proses yang dikerjakannya,
b. knowing, yaitu dapat mengerjakan sesuatu dengan sadar akan proses
yang dikerjakannya.
a. pemahaman instrumental, yaitu hapal sesuatu secara terpisah atau
dapat menerapkan sesuatu pada perhitungan rutin atau sederhana,
mengerjakan sesuatu secara algoritmik saja.
b. pemahaman relasional, yaitu dapat mengakibatkan sesuatu dengan hal
lainnya secara benar dan menyadari proses yang dilakukan.
2.3. Pendekatan Brain-Based Learning
Pembelajaran berbasis kemampuan otak mempertimbangkan apa yang
sifatnya alami bagi otak manusia dan bagaimana otak dipengaruhi oleh
lingkungan (Jensen, 2007: 5). Otak merupakan salah satu organ terpenting pada
manusia, karena otak merupakan pusat dari seluruh aktivitas manusia, seperti
berpikir, mengingat, berimajinasi, menyelidiki, belajar, dan sebagainya.
Berdasarkan fungsi otak tersebut, menunjukkan bahwa otak sangat berperan
dalam pembelajaran.
Otak yang optimal adalah otak yang semua potensi yang dimilikinya
teroptimalkan dengan baik. Oleh karena itu, agar otak optimal, diperlukan suatu
pembelajaran yang berdasarkan struktur dan cara kerja otak, yang biasa disebut
dengan Brain-Based Learning. Pendekatan ini adalah pembelajaran yang
diselaraskan dengan cara otak yang didesain secara alamiah untuk belajar.
Pendekatan Brain-Based Learning (berbasis kemampuan otak) ini adalah sebuah
pendekatan yang multidisipliner yang dibangun di atas sebuah pertanyaan
Pembelajaran berbasis pada otak adalah cara berpikir baru tentang proses
pembelajaran. Ini bukan sebuah program, dogma atau resep bagi para guru,
namun ini hanyalah merupakan serangkaian prinsip, serta dasar pengetahuan dan
keterampilan yang dengannya guru diharapkan dapat membuat
keputusan-keputusan yang lebih baik tentang proses pembelajaran yang memang dibutuhkan
saat sekarang ini.
Setiap otak manusia berkembang secara unik, bahkan otak dari orang
kembar identik pun berbeda. Hal yang paling menakjubkan adalah bahwa manusia
secara virtual memiliki DNA yang sama kurang lebih 99,5 persen bagian
tubuhnya. Akan tetapi, angka 0,5 persen yang unik membuat setiap manusia
menjadi berbeda (Jensen, 2007: 212).
Gardner memunculkan teori kecerdasan majemuk berdasarkan otak
manusia yang unik yang kemudian membagi kecerdasan menjadi delapan bagian
yaitu, intrapersonal, interpersonal, linguistik, matematik, musik, visual (spatial),
jasmani (kinestetik), dan natural (Gardner, H., 1983 dalam Given, 2007: 71). Hal
inilah yang mendasari bahwa gaya pembelajaran untuk otak yang lebih dominan
pada linguistik akan berbeda dengan gaya pembelajaran untuk otak yang lebih
dominan pada musik. Akan sulit jadinya ketika seorang guru akan melakukan
kegiatan belajar-mengajar pada sekelompok siswa yang memiliki kecerdasan yang
berbeda-beda jika guru tersebut berdasar pada teori Gardner. Sedangkan dalam
Brain-Based Learning diharapkan semua siswa yang memiliki kecerdasan yang
Dua hal yang paling penting untuk diingat dalam membangun sebuah
pendekatan gaya pembelajaran berbasis kemampuan otak yang sukses: 1)
Memberikan berbagai pendekatan berbeda; dan 2) Menawarkan pilihan (Jensen,
2007: 229). Seperti telah disebutkan di awal, bahwa otak adalah suatu sistem yang
unik yang dimiliki oleh tiap manusia. Ketika kita mengelompokkan
perbedaan-perbedaan gaya pembelajaran tiap otak, yang memang benar adanya, alangkah
lebih baik kita menggunakan pembelajaran yang bisa merangkum semua
perbedaan itu. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan berbagai
pendekatan yang berbeda saat proses belajar mengajar. Sebagai pembelajar kita
tidak memiliki gaya pembelajaran yang ditentukan secara genetik atau menjadi
satu-satunya gaya pembelajaran. Sebagian besar otak kita terlibat dalam hampir
semua tindakan pembelajaran. (Jensen, 2007: 229)
Riset menunjukkan (Given, 2007: 58) bahwa otak mengembangkan lima
sistem pembelajaran, yaitu:
1. Sistem Pembelajaran Emosional
Daniel Goleman (dalam Given, 2007:80) penulis Emotional Intelligence,
menyatakan bahwa orang yang mengalami gangguan emosional tidak bisa
mengingat, memperhatikan, belajar atau membuat keputusan secara jernih karena
stress membuat orang menjadi bodoh. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa emosi dan kognisi saling berhubungan. Emosi positif dapat
meningkatkan perolehan pengetahuan dan keterampilan, sedangkan emosi negatif
dapat menghambat prestasi akademis. Meskipun demikian, emosi negatif
sehingga sistem tersebut dapat merespon tantangan berbahaya atau tantangan
berpeluang (Given, 2007:79).
Emosi adalah sumber informasi yang penting bagi pembelajaran dan harus
digunakan untuk menginformasikan kita, dan bukannya ditaklukkan (Jensen,
2007: 323). Oleh karena itu seharusnya siswa dapat mengendalikan emosi yang
dimilikinya agar siswa mengetahui apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus
dicapai dalam pembelajaran, dengan peran dari guru juga tentunya.
Para pembelajar tidak hanya perlu belajar, tetapi mereka perlu tahu bahwa
mereka telah belajar tentang apa yang diajarkan (Jensen, 2007: 331). Disinilah
diperlukan catatan mengenai tujuan yang jelas mengenai apa yang akan dipelajari.
2. Sistem Pembelajaran Sosial
Para pakar neurobiologi percaya bahwa sistem sosial manusia memiliki
kecenderungan untuk berkelompok, menjalin hubungan, hidup berdampingan dan
bekerjasama (Given, 2007: 131). Akibatnya, sekalipun manusia sangat
menghargai kemandirian, saling bergantung merupakan ciri alamiah manusia,
sehingga sistem pembelajaran sosial menginginkan untuk menjadi bagian dari
kelompok, dihormati, dan untuk mendapat perhatian dari orang lain.
3. Sistem Pembelajaran Kognitif
Sistem pembelajaran kognitif adalah sistem pemrosesan informasi pada
otak. Siswa menyerap informasi dari dunia luar dan semua sistem lain, kemudian
menginterpretasikan input tersebut, serta memandu pemecahan masalah dengan
terlebih dahului memberikan dugaan atas masalah tersebut, dan akhirnya
terkait langsung dengan pembelajaran akademis, sehingga sangat diperhatikan
oleh pendidik. Tugas paling berat sistem kognitif diantaranya menilai sensasi
emosional dan situasi sosial, kemudian mengambil tindakan berdasarkan penilaian
tersebut untuk tetap memegang kendali atas emosi primer sambil
mempertimbangkan kebutuhan untuk menjadi bagian dari masyarakat.
4. Sistem Pembelajaran Fisik
Sistem pembelajaran fisik otak mengubah keinginan, visi dan niat menjadi
sebuah tindakan, karena sistem operasi ini didorong oleh kebutuhan untuk
melakukan sesuatu. Sistem ini menyukai gerakan, aktivitas, dan pembelajaran
praktis dan melibatkan proses interaksi dengan lingkungan untuk
mengembangkan pengetahun dan keterampilan baru atau mengungkapkan
beragam emosi atau konsep. Riset mutakhir jelas (Given, 2007:251) menunjukkan
bahwa tubuh memiliki pengaruh sangat spesifik terhadap mekanisme pikiran.
Karenanya, dalam berbagai cara tubuh memiliki pikirannya sendiri. Paul E.
Dennison (dalam Given 2007: 315) menemukan suatu cara agar siswa dapat lebih
menikmati belajar yang disebut Brain Gym (senam otak). Gerakan pada Brain
Gym membantu sistem badan menjadi relaks dan membantu menyiapkan murid
untuk mengolah informasi tanpa pengaruh emosi negatif.
5. Sistem Pembelajaran Reflektif
Pembelajaran reflektif merupakan sistem yang memantau dan mengatur
aktivitas semua sitem otak lainnya. Sistem ini berkaitan dengan pemikiran tingkat
merenungkan kegiatan belajar yang telah dilakukan, serta memikirkan solusi yang
tepat dalam kegiatan belajarnya agar optimal.
Sejalan dengan pendapat diatas, menurut Syapa’at (2009), terdapat tiga
strategi utama dalam implementasi Brain-Based Learning, yaitu: menciptakan
lingkungan belajar yang menantang kemampuan berpikir siswa, menciptakan
lingkungan pembelajaran yang menyenangkan, menciptakan situasi pembelajaran
yang aktif dan bermakna bagi siswa.
Menurut Jensen (2007: 484) terdapat tujuh tahap garis besar perencanaan
kemampuan berbasis otak, antara lain:
Tahap 1: Pra-Pemaparan
Fase ini memberikan sebuah ulasan kepada otak tentang pembelajaran
baru sebelum benar-benar menggali lebih jauh. Pra-pemaparan membantu otak
membangun peta konseptual yang lebih baik.
Sebenarnya, tahap pra-pemaparan ini dilakukan sejak beberapa hari sebelum
pembelajaran dimulai. Hal-hal yang dilakukan pada tahap ini sebelum
pembelajaran dimulai adalah guru memajang peta konsep mengenai materi yang
akan dipelajari. Selain itu, guru juga melakukan pendekatan dan membangun
hubungan yang positif dengan siswa. Hal ini dilakukan agar ketika pembelajaran
berlangsung nanti siswa sudah merasa nyaman belajar dengan guru yang akan
mengajar mereka. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan membimbing
siswa untuk melakukan senam otak (brain gym). Kegiatan senam otak bisa
dilakukan dengan cara menyuruh siswa menuliskan nama mereka pada sebuah
Kemudian, guru memberikan beberapa pertanyaan apersepsi yang dapat
menstimulus siswa.
Tahap 2: Persiapan
Pada tahap persiapan, guru memberikan penjelasan awal mengenai materi yang
akan dipelajari dan mengaitkan materi tersebut dengan kehidupan sehari-hari.
Siswa menanggapi apa yang disampaikan oleh guru.
Tahap 3: Inisiasi dan Akuisisi
Tahap ini merupakan tahap penciptaan koneksi atau pada saat
neuron-neuron itu saling “berkomunikasi” satu sama lain.
Pada tahap inisiasi dan akuisisi, guru membagi siswa ke dalam beberapa
kelompok. Siswa bergabung dengan teman-teman kelompoknya. Kemudian, guru
membagikan Lembar Kerja Siswa (LKS) pada setiap kelompok dan Lembar Kerja
Siswa (LKS) tersebut dipelajari oleh siswa terlebih dahulu sebelum diisi. Setelah
itu, siswa berdiskusi dengan teman-teman kelompoknya untuk mengisi Lembar
Kerja Siswa (LKS) tersebut.
Tahap 4: Elaborasi
Tahap elaborasi memberikan kesempatan kepada otak untuk menyortir,
menyelidiki, menganalisis, menguji, dan memperdalam pembelajaran.
Pada tahap elaborasi, siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompok di
depan kelas, sedangkan siswa yang lain memperhatikan, mengungkapkan
pendapat, atau memberikan pertanyaan. Dari hasil presentasi yang dilakukan pada
tahap ini, diharapkan siswa dapat menemukan jawaban yang yang tepat dari
harus membimbing siswa dalam berdiskusi agar proses diskusi berjalan dengan
lancar.
Tahap 5: Inkubasi dan Formasi Memori
Tahap ini menekankan bahwa waktu istirahat dan waktu untuk mengulang
kembali merupakan suatu hal yang penting.
Pada tahap inkubasi dan memasukkan memori, siswa melakukan
peregangan sambil menonton video yang dapat memotivasi mereka untuk belajar.
Selain itu, guru juga memberikan soal-soal latihan sederhana berupa soal-soal
pemahaman yang berkaitan dengan materi yang baru saja dipelajari. Siswa
mengerjakan soal-soal latihan tersebut tanpa bimbingan guru.
Tahap 6: Verifikasi dan Pengecekan Keyakinan
Dalam tahap ini, guru mengecek apakah siswa sudah paham dengan materi
yang telah dipelajari atau belum. Siswa juga perlu tahu apakah dirinya sudah
memahami materi atau belum.
Pada tahap verifikasi dan pengecekan keyakinan, guru memberikan
soal-soal latihan yang setingkat lebih rumit. Siswa mengerjakan soal-soal-soal-soal tersebut
dengan bimbingan guru. Setelah itu, guru bersama dengan siswa mengecek
pekerjaan siswa. Jika siswa belum selesai mengerjakan soal-soal tersebut,
biasanya guru menugaskan siswa untuk menyelesaikannya di rumah.
Tahap 7: Perayaan dan Integrasi
Dalam fase perayaan sangat penting untuk melibatkan emosi. Buatlah fase
ini ceria, dan menyenangkan. Tahap ini menanamkan semua arti penting dari
Pada tahap perayaan dan integrasi, siswa, dengan bimbingan guru,
menyimpulkan materi yang baru saja dipelajari. Kemudian, guru memberikan PR
(Pekerjaan Rumah) untuk siswa dan memberi tahu siswa tentang materi apa yang
akan dipelajari pada pertemuan selanjutnya. Sebagai penutup, guru bersama
dengan siswa melakukan perayaan kecil, seperti bersorak dan bertepuk tangan
bersama.
2.4. Pembelajaran Konvensional
Tidak sedikit para guru masih mengajar dengan model pembelajaran
matematika klasikal. Guru mengajar kepada sekelompok siswa dalam suatu kelas
dengan memandang siswa memiliki kemampuan yang tidak berbeda, sehingga
setiap siswa diberi pelayanan yang sama. Guru menjelaskan konsep kemudian
memberikan contoh bagaimana menyelesaikan soal. Siswa belajar dengan cara
mendengar dan menonton guru melakukan aktivitas matematika, kemudian guru
mencoba memecahkan soal sendiri dengan satu cara penyelesaian dan memberi
soal latihan.
Pembelajaran konvensional yang menekankan pada latihan mengerjakan
soal (drill) dengan mengulang prosedur serta lebih banyak menggunakan rumus
atau algoritma tertentu menyebabkan siswa kurang memahami konsep sehingga
jika siswa diberi soal latihan maka siswa kebingungan karena tidak tahu harus
mulai dari mana mereka bekerja.
2.5. Sikap Siswa terhadap Matematika
Sikap merupakan kecenderungan tingkah laku untuk berbuat sesuatu
berupa orang-orang maupun berupa objek-objek tertentu (Rohendi, 2009: 159).
Sikap bersumber dari orang tua, guru dan anggota kelompok rekan sekerja, artinya
sikap yang dimiliki oleh seseorang mempunyai kecenderungan dengan sikap
orang tuanya. Selain sumber sikap dari orang tua (keluarga), tentu saja guru akan
menjadi sumber sikap yang dominan sehingga banyak siswa memodelkan sikap
gurunya. Tampilan guru yang simpatik akan menjadi rujukan sikap bagi siswanya
oleh sebab itu guru dituntut bersikap positif dan simpatik. Selanjutnya sikap akan
terbentuk dari lingkungan, dalam hal ini seseorang selalu bersosialisasi dengan
lingkungan (teman sekerja, teman kelompok, dan lain-lain).
Sikap berkaitan dengan segala sesuatu yang pernah dialami atau
pengalaman seseorang tersebut baik itu berasal dari keluarga, lingkungan
organisasi maupun lingkungan masyarakat luas. Sikap juga erat kaitannya dengan
kepribadian seseorang, artinya ada penyesuaian antara harapan dengan kenyataan
yang diperoleh. Sikap positif dan negatif dapat keluar dari seseorang tergantung
kepada bagaimana seseorang menyikapi harapan dan kenyataan, sikap positif dan
negatif juga dipengaruhi sejauhmana pengalaman-pengalaman dari seseorang itu
dapat manjadi sebuah pelajaran.
Dalam proses pembelajaran matematika perlu diperhatikan sikap positif
siswa terhadap matematika. Hal ini penting mengingat sikap positif terhadap
matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika (Ruseffendi,
1991).
Berkaitan dengan sikap positif siswa terhadap matematika, beberapa
menyenangi matematika hanya pada permulaan mereka berkenalan dengan
matematika yang sederhana. Makin tinggi tingkatan sekolahnya dan makin sukar
matematika yang dipelajarinya akan semakin berkurang minatnya. Oleh karena
itu, sebaiknya dilakukan usaha-usaha agar sikap positif siswa terhadap
matematika tetap ada. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah menarik
perhatian siswa dengan suatu pembelajaran matematika yang menyenangkan dan
nyaman bagi siswa, sehingga dengan sendirinya keyakinan diri pada matematika
muncul kembali. Hal ini selanjutnya diharapkan berakibat pada pemahaman
konsep dan hasil belajar dari pembelajaran matematika yang telah berlangsung.
2.6 Teori Belajar yang Mendukung Model Pembelajaran Brain Based Learning (BBL)
Teori atau landasan filosofis yang mendukung model BBL, diantaranya yaitu
aliran psikologi tingkah laku (behaviorisme) dan pendekatan pembelajaran
matematika berdasarkan paham konstruktivisme.
a. Aliran Psikologi Tingkah Laku (Behaviorisme)
Tokoh-tokoh aliran psikologi tingkah laku diantaranya adalah David
Ausubel, Edward L. Thorndike dan Jean Piaget. Teori Ausubel (Ruseffendi, 1988:
172) terkenal dengan belajar bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum
belajar dimulai. Teori Thorndike (Hudoyo, 1988: 12) diantaranya mengungkapkan
the law of exercise (hukum latihan) yang dasarnya menunjukkan bahwa hubungan
diulang, sebaliknya hubungan stimulus respon akan semakin lemah manakala
tidak pernah diulang. Jadi semakin sering suatu pelajaran diulang, maka akan
semakin dikuasai pelajaran itu. Sedangkan teori Piaget (Ruseffendi, 1988:
132-133) mengungkapkan:
a. Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu
terjadi dengan urutan yang sama.
b. Tahap-tahap itu didefinisikan sebagai kluster dari operasi-operasi mental
(pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis, penarikan
kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual.
c. Gerak melalui tahap-tahap itu dilengkakan oleh keseimbangan yang
menguraikan interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif
yang timbul.
b. Aliran Konstruktivisme
Teori konstruktivisme didasari oleh ide-ide Piaget, Vygotsky dan lain-lain.
Piaget berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah
memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Menurut
Sanjaya (2008), pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka
akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya
diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang
bermakna, pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu
dilupakan. Senada dengan hal tersebut, Suherman, dkk (2003) mengungkapkan
bahwa dalam kelas konstruktivis seorang guru tidak mengajarkan kepada anak
mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan
permasalahan. Hal ini berarti siswa mengkonstruksi pengetahuannya melalui
interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka.
Hal yang sama juga diungkapkan Wood dan Cobb (Suherman, dkk.,
2003), para ahli konstruksivisme mengatakan bahwa ketika siswa mencoba
menyelesaikan tugas-tugas di kelas, maka pengetahuan matematika dikonstruksi
secara aktif, dan mereka setuju bahwa belajar matematika melibatkan manipulasi
aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Mereka
menolak paham bahwa matematika dipelajari dalam satu koleksi yang berpola
linear. Setiap tahap dari pembelajaran melibatkan suatu proses penelitian terhadap
makna dan penyampaian keterampilan hafalan dengan cara yang tidak ada
jaminan bahwa siswa akan menggunakan keterampilan inteligennya dalam setting
matematika.
Beberapa prinsip pembelajaran dengan konstruksivisme diantaranya
dikemukakan oleh Steffe dan Kieren (Suherman.dkk, 2003) yaitu observasi dan
mendengar aktifitas dan pembicaraan matematika siswa adalah sumber yang kuat
dan petunjuk untuk mengajar. Lebih jauh dikatakan bahwa dalam
konstruktiivisme aktivitas matematika mungkin diwujudkan melalui tantangan
masalah, kerja dalam kelompok kecil dan diskusi kelas. Disebutkan pula bahwa
dalam konstruktivisme proses pembelajaran senantiasa “problem centered
approach”, di mana guru dan siswa terikat dalam pembicaraan yang memiliki
Pendekatan paham konstruktivisme mengungkapkan bahwa belajar
matematika adalah proses pemecahan masalah. Ruseffendi (1989: 241)
menyatakan bahwa pemecahan masalah itu lebih mengutamakan kepada proses
daripada kepada hasilnya (output). Guru bukan hanya sebagai pemberi jawaban
akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk
(mengkonstruksi) pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur
matematika.
2.7 Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini, antara lain hasil penelitian
yang dilakukan oleh Aziz-Ur-Rehman1 dan Dr. Maqsood Alam Bokharidari
(2011). Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui efektifitas dari
pengetahuan bawaan otak yaitu pengolahan paralel, pencarian makna bawaan,
pola, persepsi melalui penciptaan bagian dan keutuhan, serta keunikan otak
terhadap peningkatan prestasi belajar. Dalam penelitian tersebut, diambil sampel
sebanyak 60 orang dari 211 siswa kelas IX (sembilan) secara acak untuk
selanjutnya dibagi menjadi kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil penelitian
menunjukan bahwa pembelajaran yang berpusat pada otak (Brain-Based
Learning) lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional .
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Muhammet ozden dan Mehmet
Gultekin (2008). Penelitian tersebut dilakukan pada mata pelajaran IPA kelas 5
Sekolah Dasar di Turki pada tahun akademik 2004-2005. Dalam penelitian
tersebut berlangsung selama 11 hari dengan total 18 jam pelajaran. Hasil dari
penelitian tersebut adalah: 1) Prestasi belajar siswa pada kelas yang menggunakan
pendekatan Brain-Based Learning lebih baik daripada siswa yang dalam
pembelajarannya menggunakan pendekatan konvensional, 2) Retensi (daya ingat)
siswa pada kelas yang menggunakan pendekatan Brain-Based Learning lebih
baik daripada siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan pendekatan
konvensional.
Jika pada penelitian diatas, pendekatan Brain-Based Learning dapat
meningkatkan kemampuan strategis, prestasi belajar, dan retensi (daya ingat),
maka dengan langkah dan prinsif yang sama dengan penelitian diatas, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian terhadap kemampuan prosedural dan
pemahaman konsep matematis dengan menggunakan pendekatan Brain-Based
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1Kesimpulan
Penelitian ini menganalisis pembelajaran matematika dengan pendekatan
brain based learning dalam usaha untuk meningkatkan kemampuan prosedural
dan pemahaman konsep matematis siswa kelas X (sepuluh) Madrasah Aliyah.
Berdasarkan analisis data dan temuan yang diperoleh selama menerapkan
pembelajaran matematika di Madrasah Aliyah (MA) Persis 99 Rancabango , maka
dapat disimpulkan bahwa:
1. Peningkatan kemampuan prosedural siswa setelah memperoleh
pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based Learning lebih
baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional.
2. Peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematis siswa setelah
memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based
Learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara
konvensional.
3. Berdasarkan hasil analisis angket skala sikap siswa, siswa bersikap positif
terhadap pelajaran matematika, pembelajaran matematika dengan
pendekatan Brain -Based Learning, dan terhadap soal-soal kemampuan
prosedural dan pemahaman konsep matematis.
4. Berdasarkan hasil observasi, kualitas akivitas siswa dalam proses
aspek kegiatan yang relevan dengan kegiatan pembelajaran cenderung
mengalami peningkatan.
5.2Saran
Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, maka penulis mengajukan
beberapa saran, yaitu:
1. Kepada guru
Hasil penelitian menunjukkan pembelajaran matematika dengan
pendekatan Brain-Based Learning dapat meningkatkan kemampuan
prosedural dan pemahaman konsep matematis, aktivitas, dan juga sikap
siswa. Untuk itu disarankan kepada guru supaya pembelajaran matematika
dengan pendekatan brain based learning dapat dijadikan sebagai salah
satu alternatif pembelajaran di dalam kelas.
2. Kepada instansi terkait
Karena pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based
Learning dapat meningkatkan kemampuan prosedural dan pemahaman
konsep matematis, dan tanggapan siswa juga positif, maka diharapkan
dukungan dari instansi terkait untuk mensosialisasikan penggunaan
pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based Learning di
sekolah melalui MGMP matematika, pelatihan-pelatihan guru matematika
atau melalui seminar.
3. Kepada peneliti
a. Kemampuan matematika yang diteliti dalam penelitian ini adalah
X (sepuluh) pada materi trigonometri. untuk itu bagi para peneliti
selanjutnya kiranya dapat menerapkan pembelajaran matematika
dengan pendekatan Brain-Based Learning pada kelas dan materi yang
berbeda serta aspek kemampuan yang lain.
b. Populasi pada penelitian ini hanya siswa kelas X Madrasah Aliyah
Persis 99 Rancabango, dan teknik pengambilan sampel yang digunakan
adalah Purposive sampling. Mungkin di kesempatan yang lain para
peneliti dapat menggunakan populasi yang lebih besar dan teknik
pengambilan sampel secara acak, agar hasilnya dapat digeneralisasikan
untuk populasi yang besar tersebut.
c. Ujicoba instrumen pada penelitian ini diberikan kepada siswa yang
belum pernah memperoleh pembelajaran matematika kemampuan
prosedural dan pemahaman konsep matematis. Disarankan kepada
peneliti yang akan membahas tentang pembelajaran matematika dengan
pendekatan Brain-Based Learning, ujicoba instrumen hendaknya
kepada siswa yang sudah memperoleh pembelajaran matematika
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Z.(2009). Evaluasi Pembelajaran. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Arikunto, S. (2002). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Aryani, K.(2010). Peningkatan Kemampuan Menulis dan Pemahaman Konsep
Matematika Melalui Pembelajaran Dengan Strategi WritingFrom A
Prompt dan Writing In Ferformance Tasks Pada siswa SMP. Tesis
Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Aziz-Ur-Rehman1, Dr. Maqsood Alam Bokhari. oeffectiveness of brain-based
learning theory at secondary level. Vol. 3. No. 4. July, 2011, I Part
A.Sousa, D. (2009). How the Brain Learns Mathematics . International Electronic
Journal of Elementary Education Vol.1, Issue 2, March, 2009.
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Pengembangan Silabus
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta : CV. Laksana
Mandiri.
Dimyati dan Mudjiono. (1994).Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:P3MTK-Ditjen
Dikti-Depdikbud.
Given, B.K .(2007). Brain-based teching. Bandung : Kaifa.
Hudoyo, H. (1985). Teori Belajar Dalam Proses Belajar-Mengajar Matematika.
Jakarta: Depdikbud.
Jensen, Eric. (2007). Brain-based Learning.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kilpatrick et al. (2001). Adding it up: Helping Children Learn Mathematics.
Muhammet Ozden& Mehmet Gultekin. The Effects of Brain-Based Learning on
Academic Achievement and Retention of Knowledge in Science Course.
Electronic Journal of Science Education Vol. 12, No. 1 (2008).
Meltzer, D.E. (2002). The Relationship Between Mathematics Preparation and
Conceptual Learning Gain in Physics. American Journal of Physics.
Tersedia:
http://www.physics,iastate.edu/per/docs/AJP-Dec-2002-Vol.70-1259-1268.pdf.(21 April 2007)
Puspitasari, N. (2011). Pembelajaran Berbasis Maslaah dengan Strategi
Kooperatif Jigsaw untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan
Koneksi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis Universitas
Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan.
Riduwan. (2004). Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-karyawan dan peneliti
pemula. Bandung: Alfabeta.
Rohendi, D. (2009). Kemampuan Pemahaman, Koneksi, dan Pemecahan Masalah
Matematik: Eksperimen terhadap Siswa Sekolah Menengah Atas Melalui
Pembelajaran Elektronik (E-Learning). Disertasi Pascasarjana UPI
Bandung: Tidak diterbitkan.
Rose,C&Nichlm, J.M (2002). Accelerated Learning.Bandung: Nuansa
Ruseffendi,E.T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non
Ekasakta Lainnya. Bandung : Tarsito.
___________. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya
dalam Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Bandung:
___________. (1989). Dasar-dasar Matematika Modern dan Komputer untuk
Guru. Bandung: Tarsito.
Sanjaya, W. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Syapa’at, A.(2009). Brain-Based Learning.[Online].
Tersedia:http: //matematika.upi.edu/index.php/ brain-based-learning.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabeta.
Suherman, E, et al. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
JICA. Universitas Pendidikan Indonesia Press.
Suherman, E. dan Sukjaya, Y. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.
Sumarmo, U. (2010). Berpikir dan Disposisi : Apa, Mengapa dan Bagaimana
Dikembangkan pada Peserta Didik. FMIPA Universitas Pendidikan
Indonesia. Tidak Diterbitkan.
Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cipta Pustaka.
Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran. Bandung :
Universitas Pendidikan Indonesia.