• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH STRATEGI THINK-TALK-WRITE TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN ANALOGI DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH STRATEGI THINK-TALK-WRITE TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN ANALOGI DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA."

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Definisi Operasional ... 15

F. Hipotesis ... 16

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 18

A. Kemampuan Penalaran Matematis ... 18

B. Penalaran Induktif ... 20

C. Kemampuan Analogi Matematis ... 23

D. Kemampuan Komunikasi Matematis ... 25

(2)

F. Keterkaitan antara Strategi Think-Talk-Write dengan

Kemampuan Analogi dan Komunikasi Matematis ... 30

G. Sikap Siswa terhadap Matematika ... 32

H. Teori Belajar Pendukung ... 33

I. Penelitian yang Relevan ... 37

J. Pembelajaran Konvensional ... 38

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

A. Metode Penelitian ... 40

B. Populasi dan Sampel ... 41

C. Instrumen Penelitian ... 42

1. Tes ... 42

2. Angket ... 48

3. Observasi ... 50

4. Wawancara ... 50

D. Analisis Hasil Uji Coba ... 50

E. Teknik Analisis Data ... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 60

A. Hasil Penelitian... 60

1. Analisis Data Kemampuan Analogi ... 62

a. Analisis Data Pretes Kemampuan Analogi ... 62

(3)

c. Analisis Data Gain Kemampuan Analogi ... 68

2. Analisis Data Kemampuan Komunikasi Matematis... 72

a. Analisis Data Pretes Kemampuan Komunikasi ... 72

b. Analisis Data Postes Kemampuan Komunikasi ... 75

c. Analisis Data Gain Kemampuan Komunikasi ... 78

3. Analisis Skala Sikap ... 82

a. Analisis Data Skala Sikap terhadap Matematika ... 82

b. Analisis Data Skala Sikap terhadap Kemampuan Analogi dan Komunikasi Matematis ... 83

c. Analisis Data Skala Sikap terhadap Pembelajaran dengan Strategi Think-Talk-Write ... 85

4. Aktifitas Siswa dalam Proses Pembelajaran ... 87

B. Pembahasan ... 87

1. Proses Pembelajaran dengan Strategi Think-Talk-Write ... 88

2. Peningkatan Kemampuan Analogi Matematis ... 95

3. Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis ... 96

4. Sikap Siswa terhadap Matematika ... 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 99

A. Kesimpulan ... 99

B. Saran-saran ... 100

(4)
(5)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu hal penting untuk menentukan maju

mundurnya suatu bangsa. Untuk menghasilkan sumber daya manusia sebagai

subyek dalam pembangunan yang baik, diperlukan modal dari hasil pendidikan itu

sendiri. Dalam proses belajar mengajar di kelas terdapat keterkaitan erat antara

guru, siswa, kurikulum, sarana, dan prasarana. Guru mempunyai tugas sebagai

pengajar, dan guru memilih metode serta pendekatan pembelajaran yang tepat

sesuai dengan materi yang disampaikan demi tercapainya tujuan pendidikan.

Banyak negara yang mengakui bahwa persoalan pendidikan merupakan

persoalan yang pelik. Namun semuanya merasakan bahwa pendidikan merupakan

salah satu tugas negara yang sangat penting. Bangsa yang ingin maju,

membangun, dan berusaha memperbaiki keadaan masyarakat dan berniat untuk

mengatakan bahwa pendidikan merupakan kunci keberhasilan suatu bangsa.

Dalam undang-undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang

sistem Pendidikan Nasional BAB VI pasal 14 tertulis “Jenjang pendidikan formal

di Indonesia terdiri dari Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah (SMP dan SMA

atau sederajat), dan pendidikan tinggi”. Bab X pasal 37 tertulis “Kurikulum

pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah wajib

memuat pendidikan matematika, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, ilmu

(6)

2

dan olahraga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal”. Ini berarti setiap siswa

yang berada pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah wajib mengikuti

pelajaran Matematika.

Pada kenyataannya, tidak sedikit siswa yang kurang berminat dalam

mengikuti pelajaran matematika. Sebagian besar siswa yang mengikuti pelajaran

matematika di kelas hanya duduk pasif dan siap menerima materi pelajaran yang

akan disampaikan oleh guru, mereka tidak ikut terlibat secara aktif sehingga

pembelajaran yang terjadi hanya transfer pengetahuan. Sebagaimana yang

diungkapkan oleh Maonde (2004) bahwa siswa secara dominan bersikap pasif,

mendengarkan dan membuat catatan tentang penjelasan guru dalam mengikuti

pelajaran di kelas.

Proses pembelajaran di Indonesia pada umumnya menggunakan metode

ceramah atau ekspositori, yaitu model pembelajaran dengan dominasi guru. Guru

senantiasa mentransfer ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada siswa, dan

siswa duduk dengan rapih dan siap menerima informasi atau pelajaran dari guru.

Berdasarkan hasil pengamatan Ruseffendi (dalam Ratnaningsih, 2003: 2)

ternyata beberapa kota besar yaitu Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan

dan Padang kebanyakan siswa belajar pasif. Ini artinya dalam proses pembelajaran

guru hanya mentransfer ilmu kepada siswa, sedangkan siswa berperan sebagai

“makhluk” yang siap dijejali dengan ilmu yang diberikan oleh guru, sehingga

siswa terkesan kaku dan siswa hanya duduk pasif menerima materi pelajaran.

Akibat kebiasaan menjadi penonton di dalam kelas, siswa yang sudah merasa

(7)

3

yang demikian kurang mengembangkan kemampuan bernalar siswa, kurang

mengundang sikap kreatif dan kritis, membuat siswa kurang aktif, dan

membosankan. Dampaknya sikap siswa terhadap pembelajaran matematika

cenderung menjadi negatif, dan akhirnya mengakibatkan rendahnya hasil belajar

siswa.

Sikap siswa terhadap matematika tidak dapat dipisahkan dari

kemampuan matematis siswa. Siswa yang memiliki kemampuan lemah cenderung

akan bersikap negatif terhadap matematika, sebaliknya siswa yang memiliki

kemampuan matematika yang baik cenderung akan bersikap positif terhadap

matematika. Namun dapat pula terjadi sebaliknya, siswa yang bersikap negatif

terhadap matematika akan cenderung memiliki kemampuan matematika yang

lemah, sedangkan siswa yang bersikap positif terhadap matematika akan

cenderung akan memiliki kemampuan yang baik pula.

Salah satu kemampuan matematis yang berperan penting dalam

keberhasilan siswa adalah kemampuan penalaran. Hal ini dikarenakan matematika

dan penalaran adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena matematika

dipahami melalui penalaran, sedangkan penalaran dipahami dan dilatihkan

melalui pelajaran matematika. Henningsen dan Stein (1997) menanamkan proses

matematika itu dengan istilah bernalar dan berfikir matematis tingkat tinggi

(high-level mathematical thinking and reasoning). NCTM (2000) menyatakan

aspek-aspek yang termasuk ke dalam berpikir tingkat tinggi ini adalah pemecahan

masalah matematis, komunikasi matematis, penalaran matematis, dan koneksi

(8)

4

Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang di lakukan oleh Prowsil

dan Jearakul (dalam Priatna, 2003: 4) bahwa pada siswa sekolah menengah di

Thailand terdapat keterkaitan yang signifikan antara kemampuan penalaran dan

hasil belajar matematika mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan

penalaran berperan penting dalam keberhasilan siswa. Siswa yang memiliki

kemampuan penalaran yang baik diharapkan mempunyai prestasi belajar

matematika yang baik pula.

Keraf (dalam Shadiq, 2004) menyatakan bahwa penalaran merupakan

proses berfikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau

evidensi-evidensi yang diketahui menuju pada suatu kesimpulan. Hal yang sama juga

diungkapkan Wahyudin (2008) menyatakan bahwa penalaran dan pembuktian

matematis menawarkan cara yang tangguh untuk membangun dan

mengekspresikan gagasan tentang beragam fenomena yang luas. Orang-orang

menggunakan nalar dan berfikir secara analitis cenderung memperhatikan

pola-pola, struktur, atau keteraturan-ketaraturan baik itu dalam situasi-situasi dunia

nyata maupun dalam objek simbolis.

Secara garis besar terdapat dua jenis penalaran, yaitu penalaran induktif

yang disebut pula induksi dan penalaran deduktif yang disebut pula deduksi. Copi,

Shuter dan Pierce, Suppes, dan Soekadijo (dalam Sumarmo, 1987: 39-42)

mengungkapkan bahwa penalaran deduktif meliputi: modus ponens, modus

tollens, silogisme hipotetik, dan silogisme dengan kuantifikasi. Penalaran induktif

meliputi: analogi, generalisasi, dan hubungan kausal. Menurut Soekadijo

(9)

5

bukan yang lain, tetapi dua hal yang berbeda itu dibandingkan satu dengan yang

lain. Dalam analogi yang dicari adalah keserupaan dari dua hal yang berbeda, dan

menarik kesimpulan atas dasar keserupaan itu. Dengan demikian analogi dapat

dimanfaatkan sebagai penjelas atau sebagai dasar penalaran.

Menurut Shuter dan Pierce (dalam Sumarmo, 1987), analogi adalah

penalaran yang dari satu hal tertentu kepada satu hal yang lain yang serupa yang

kemudian menyimpulkan apa yang benar untuk satu hal yang juga akan benar

untuk hal lain. Hal senada juga diungkapkan Mundiri (2010) yang menyatakan

bahwa analogi merupakan proses penalaran dari satu fenomena menuju fenomena

lain yang sejenis kemudian disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada fenomena

yang pertama akan terjadi pada fenomena yang lain.

Matz (dalam Priatna, 2003: 4) mengemukakan bahwa kesalahan yang

dilakukan siswa sekolah menengah dalam mengerjakan soal matematika

dikarenakan kurangnya penalaran terhadap kaidah dasar matematika. Hal ini

disebabkan karena pembelajaran matematika yang dilakukan di SMP dan SMA

tidak banyak memperdalam logika atau penalaran. Siswa lebih sering diberi

soal-soal perhitungan dengan menggunakan algoritma yang ada tanpa adanya

kebebasan dalam menjawab. Kurangnya penggunaan kemampuan bernalar dalam

menyelesaikan masalah matematika menyebabkan siswa kesulitan dalam

menyelesaikan persoalan dalam kehidupannya. Hal ini dibuktikan dengan hasil

The Third International Mathematics and Science Study-Repeat (TIMSS-R) tahun

2003 memperlihatkan bahwa nilai kemampuan penalaran matematis siswa

(10)

6

Agar matematika dirasakan lebih bermanfaat dalam kehidupan siswa,

maka pembelajaran matematika di tingkat SMP dan SMA harus lebih banyak

berorientasi pada bagaimana cara mengembangkan kemampuan penalaran

(penalaran analogi) dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dalam matematika

dan tidak banyak menekankan pada algoritma atau aturan-aturan tertentu. Dengan

membantu, membimbing, memotivasi dan melatih siswa dalam menggunakan

kemampuan penalarannya, baik di bidang matematika maupun di bidang lainnya

diharapkan siswa tidak akan mengalami kesulitan ketika mereka menghadapi

permasalahan dalam kehidupannya atau ketika melanjutkan sekolah ke jenjang

yang lebih tinggi.

Namun pada kenyataannya tidak semua orang menyadari pentingnya

kemampuan penalaran, khususnya analogi. Hal ini dibuktikan dengan masih

banyak hasil penelitian yang menemukan bahwa kemampuan penalaran matematis

masih rendah. Alamsyah (2000) dalam penelitiannya menemukan bahwa

kemampuan penalaran siswa sangat rendah. Hal tersebut terlihat dari skor rata-rata

siswa sebesar 13, 59. Penelitian Priatna (2003) menemukan bahwa kualitas

kemampuan penalaran (analogi) matematis masih rendah, karena skornya hanya

49% dari skor ideal. Herdian (2010) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa

kemampuan analogi siswa yang memiliki kemampuan rendah berada pada

kualifikasi kurang. Hal ini terjadi karena proses pembelajaran melalui metode

discovery dirasakan lebih sulit bagi siswa lemah dan sebaliknya bagi siswa

(11)

7

Selain penalaran analogi, kemampuan komunikasi juga merupakan

kemampuan yang termasuk dalam berpikir tingkat tinggi dan kemampuan ini

termasuk dalam kemampuan berpikir matematis yang masih rendah. Hasil

penelitian Rohaeti dan Wihatma (dalam Herawati 2006) menunjukkan bahwa

rata-rata kemampuan komunikasi siswa berasa pada kualifikasi kurang. Terutama

dalam mengkomunikasikan ide-ide matematis kurang sekali. Hal ini berakibat

siswa jarang memberikan tanggapan karena belum mampu menjelaskan ide-ide

matematis dengan baik. Siswa jarang bertanya karena belum mampu membuat

dan menyusun pertanyaan tentang matematika yang dipelajari dan siswa kurang

mampu membuat kesimpulan dari materi matematika yang dipelajari. Melalui

kemampuan komunikasi matematis yang baik, diharapkan siswa dapat

mengorganisasi dan mengkonsolidasi berpikir matematis secara lisan maupun

tulisan.

Menurut Collins (dalam Asikin, 2002) salah satu tujuan yang ingin

dicapai dalam pembelajaran matematika adalah memberikan kesempatan

seluas-luasnya kepada para siswa untuk mengembangkan dan mengintegrasikan

keterampilan komunikasi melalui lisan dan tulisan, pemodelan, speaking, writing,

talking, drawing serta mempresentasikan apa yang telah dipelajari. Hal yang sama

juga terulang dalam tujuan yang dirumuskan dalam NCTM (2000).

Kemampuan komunikasi sangat perlu dihadirkan secara intensif agar

siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dan menghilangkanya kesan bahwa

matematika merupakan pelajaran yang asing dan menakutkan. Kemampuan

(12)

8

adalah bahasa yang syarat dengan notasi dan istilah hingga konsep yang

terbentuk, dipahami, dan dimanipulasi oleh siswa. Menurut Barody (1993) ada

dua alasan mengapa komunikasi matematis penting, yaitu: (1) mathematics as

language, maksudnya adalah matematika tidak hanya sekedar alat bantu berfikir,

alat bantu untuk menemukan pola, atau menyelesaikan masalah, akan tetapi

matematika juga an invaluable for communicating a variety of ideas, precisely,

and succinctly dan (2) mathematics is learning as social activity, maksudnya

adalah sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika, seperti halnya

interaksi antar siswa, komunikasi guru dengan siswa, komunikasi guru dengan

siswa merupakan bagian penting pada pembelajaran matemtika dalam upaya

membimbing siswa memahami konsep atau mencari solusi suatu masalah.

Salah satu kompetensi yang harus dimiliki siswa adalah menggunakan

bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan mengkomunikasikan gagasan dan

informasi, serta untuk berinteraksi dengan orang lain. Pada kompetensi umum

bahan kajian matematika disebutkan bahwa dengan belajar matematika siswa

diharapkan memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol,

tabel, grafik untuk memperjelas keadaan atau masalah. Karena kemampuan

komunikasi matematik penting untuk dimiliki siswa, guru harus memberikan

permasalahan-permasalahan yang dapat melatih kemampuan komunikasi dengan

memperhatikan karateristik model pembelajaran yang digunakan. Menurut

Baroody (1993), pada pembelajaran matematika dengan pendekatan tradisional,

kemampuan komunikasi siswa masih sangat terbatas hanya pada jawaban verbal

(13)

9

(2000) berpendapat guru dapat mempercepat peningkatan komunikasi matematis

dengan cara memberikan tugas matematika dalam berbagai variasi. Komunikasi

matematis akan berperan efektif manakala guru mengkondisikan siswa agar

mendengarkan secara aktif (listen actively) sebaik mereka mempercakapkannya.

Penerapan komunikasi dalam pembelajaran matematika menyebabkan

siswa menyebabkan dua hal positif, yaitu siswa berkomunikasi ketika belajar

matematika dan siswa belajar berkomunikasi secara matematis. Misalnya, ketika

siswa berdiskusi dalam belajar matematika, siswa akan saling bertanya atau

menjawab pertanyaan dengan mengemukakan penjelasan dan alasan yang

melibatkan konsep, representasi, secara model matematika. Pugalee (2001)

menyebutkan bahwa jika siswa diberi kesempatan berkomunikasi tentang

matematika, maka siswa akan berupaya meningkatkan keterampilan dan proses

pikirnya yang kruasial dalam pengembangan kemahiran menulis dan membaca

matematika atau melek matematis.

Untuk menghasilkan matematika sebagai alat komunikasi seperti paparan

di atas, NCTM (2000) telah menggariskan secara rinci keterampilan-keterampilan

secara kunci komunikasi matematik yang dapat dilakukan di dalam kelas dan

harus dipandang sebagai bagian integral dari kurikulum matematika.

Keterampilan keterampilan kunci komunikasi matematis tersebut adalah membuat

representasi, berbicara atau berdiskusi, menyimak atau mendengar, menulis, dan

membaca.

Jika kita amati secara seksama, masih rendahnya kemampuan analogi

(14)

10

oleh siswa, tidak terlepas dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan di kelas,

dalam pembelajaran siswa hendaknya diberikan kesempatan yang sangat luas

untuk menggali dan menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan

banyak terlibat di dalam proses pembelajaran matematika yang berlangsung.

Timbullah pertanyaan, pembelajaran yang bagaimanakah yang dapat mendorong

kemampuan analogi dan komunikasi matematis siswa.

Salah satu keputusan yang perlu diambil oleh guru tentang pembelajaran

adalah pemilihan strategi pembelajaran yang digunakan. Menurut Djahiri (dalam

Achmad; 2005) pemilihan strategi pembelajaran yang sesuai dengan tujuan

kurikulum dan potensi siswa merupakan kemampuan dan keterampilan dasar yang

harus dimiliki oleh seorang guru. Hal ini didasari oleh asumsi, bahwa ketepatan

guru dalam memilih strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru berpengaruh

terhadap kualitas PBM yang dilakukannya.

Sumarmo (dalam Helmaheri, 2004: 5) mengatakan agar pembelajaran

dapat memaksimalkan proses dan hasil belajar matematika, guru perlu mendorong

siswa untuk terlibat secara aktif dalam diskusi, bertanya serta menjawab

pertanyaan, berpikir secara kritis, menjelaskan setiap jawaban yang diberikan,

serta mengajukan alasan untuk setiap jawaban yang diajukan. Pembelajaran yang

diberikan pada kondisi ini ditekankan pada penggunaan diskusi, baik diskusi

dalam kelompok kecil maupun diskusi dalam kelas secara keseluruhan. Meskipun

kesimpulan tersebut diambil berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap

sekolah dasar, namun pengembangannya sangat mungkin untuk siswa pada

(15)

11

Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan tersebut dan dikaitkan

dengan kondisi ideal yang mungkin dapat dicapai siswa dalam pembelajaran

seperti telah dipaparkan sebelumnya, diperlukan upaya dari guru dan pemerhati

proses belajar-mengajar matematika untuk mendesain strategi pembelajaran yang

dapat meningkatkan kemampuan analogi dan komunikasi matematis. Salah

satunya adalah dengan pembelajaran menggunakan strategi Think-Talk-Write

(TTW). Model pembelajaran yang digunakan ini mengharuskan siswa terlibat

berpikir, berbicara, dan menulis dalam proses pembelajaran yang terbentuk dalam

pengelompokan secara heterogen dengan anggota 3-4 orang siswa. Menurut

Baroody (dalam Ansari; 2003: 7) penggunaan pembelajaran dengan strategi

think-talk-write ini bertujuan untuk mempercepat kemahiran dalam menggunakan

strategi penyelesaian, membantu siswa dalam mempercepat pemahaman, memberi

kesempatan pada siswa mendiskusikan suatu strategi penyelesaian untuk

mempercepat penalaran.

Huiker dan Laughlin (1997) sebagai orang-orang yang memperkenalkan

strategi pembelajaran ini menyebutkan bahwa penerapan TTW memungkinkan

seluruh siswa mengemukakan ide-ide pemikirannya, membangun secara tepat

untuk berfikir dan refleksi, mengorganisasikan ide-ide, serta mengetes ide tersebut

sebelum siswa diminta untuk menulis. Adapun karakteristik pembelajaran dengan

strategi think-talk-write terletak pada prosedur pembelajaran yang harus dilakukan

siswa.

Pada tahap think, siswa menginterpretasikan informasi berupa pernyataan

(16)

12

merepresentasikan ide-ide dan konsep matematikanya secara lisan maupun

tulisan. Ide-ide atau konsep tersebut dicari keterkaitan dan perbedaannya.

Selanjutnya siswa mendiskusikan hasil yang didapatnya pada tahap talk. Pada

tahap ini siswa dikelompokkan dalam kelompok kecil yang terdiri dari 3-4 orang,

siswa mendiskusikan keterkaitan-keterkaitan dan perbedaan-perbedaan untuk

mencari kesimpulan yang ada pada LKS yang selanjutnya kesimpulan tersebut

dituliskan pada tahap write. Pada tahap ini siswa menyempurnakan representasi

ide dan konsep matematis secara eksternal berupa kata-kata (teks tertulis), grafik,

tabel, diagram, gambar, persamaan (ekspresi matematis), atau wujud kongkrit

(alat peraga) dengan menggunakan bahasanya sendiri.

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, penulis tertarik untuk

melakukan penelitian tentang “Pengaruh Strategi Think-Talk-Write terhadap

Peningkatkan Kemampuan Analogi dan Komunikasi Matematis Siswa”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahan yang akan

dibahas dalam penelitian ini berfokus pada: metode pembelajaran yang digunakan

(konvensional dan strategi Think-Talk-Write), kemampuan matematika siswa

(kemampuan analogi dan komunikasi matematis), serta sikap siswa terhadap

(17)

13

1. Apakah peningkatan kemampuan analogi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan menggunakan strategi think-talk-write lebih baik

daripada kemampuan analogi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran konvensional?

2. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang

memperoleh pembelajaran dengan menggunakan strategi think-talk-write lebih

baik daripada kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran konvensional?

3. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran dengan strategi

Think-talk-write ?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi

tentang pengaruh penerapan pembelajaran strategi think-talk-write terhadap

kemampuan analogi dan komunikasi matematis siswa. Kemudian secara khusus,

penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan analogi matematis siswa yang

memperoleh pembelajaran dengan menggunakan strategi think-talk-write

lebih baik daripada kemampuan analogi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran konvensional.

2. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa

(18)

think-talk-14

write lebih baik daripada kemampuan komunikasi matematis siswa yang

memperoleh pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran konvensional.

3. Mendeskripsikan sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan

strategi think-talk-write.

D. Manfaat Penelitian

Sebagaimana telah diuraikan bahwa kemampuan matematis dalam hal ini

kemampuan analogi dan komunikasi matematis sangat penting dalam

pembelajaran matematika. Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :

1. Memberi informasi tentang peningkatan kemampuan analogi dan komunikasi

matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan strategi

think-talk-write.

2. Memberikan alternatif strategi pembelajaran yang digunakan dalam

pembelajaran matematika untuk dapat dikembangkan menjadi lebih baik

dengan cara memperbaiki kelemahan dan kekurangan dan mengoptimalkan

hal-hal yang sudah baik.

3. Memberi pengalaman baru bagi siswa dan mendorong siswa untuk terlibat

aktif dalam pembelajaran matematika di kelas, sehingga selain dapat

meningkatkan kemampuan analogi dan komunikasi matematis, juga membuat

(19)

15

E. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi perbedaan persepsi (ambigu) mengenai hal-hal yang

dimaksudkan dalam penelitian ini, penulis memberikan beberapa definisi

operasional sebagai berikut:

1. Kemampuan analogi matematis adalah suatu proses berpikir dalam menarik

suatu kesimpulan yang didasarkan pada suatu perbandingan-perbandingan

dengan pengetahuan lainnya, sehingga siswa dapat mengembangkan

kemampuan berpikirnya untuk memikirkan bagaimana penyelesaiannya

dengan membandingkan pengetahuan yang didapat sesuai dengan kesimpulan

yang telah didapatnya.

2. Kemampuan komunikasi matematis adalah suatu kemampuan yang dimiliki

siswa untuk mengkomunikasikan ide atau gagasan tentang matematika, baik

secara lisan atau tertulis berupa gambar, diagram, grafik ataupun persamaan

matematika. Kemampuan komunikasi matematis diungkap dalam tiga

kategori: (a) pemunculan model konsteptual, seperti gambar, diagram tabel

dan grafik (aspek drawing), (b) membentuk model matematika atau

persamaan aljabar (aspek mathematical expressions), dan (c) argumentasi

verbal yang didasarkan pada analisis terhadap gambar dan konsep-konsep

formal (aspek written texts).

3. Strategi Think-Talk-Write merupakan rangkaian pembelajaran yang terdiri

dari 3 tahap yaitu :

a. THINK : siswa secara individu membaca teks bacaan pada buku panduan

(20)

16

penyelesaian), menandai konsep yang dianggap penting, atau yang tidak di

pahami, dan hasilnya di tulis dalam catatan kecil.

b. TALK : Siswa mengkomunikasikan hasil kegiatan membacanya pada tahap

think melalui diskusi (Brainstorming, sharing, membuat kesepakatan, atau

negoisasi ide dalam kelompoknya yang terdiri dari 3-4 orang ) sampai

mendapatkan solusi.

c. WRITE : Siswa menulis kembali hasil diskusi pada lembaran soal berupa

landasan, keterkaitan, strategi, serta solusi dari soal.

4. Pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

pembelajaran yang menggunakan pembelajaran ekspositori (ceramah), di

mana guru menjelaskan materi pelajaran, siswa mendengarkan dan mencatat

penjelasan yang disampaikan guru, kemudian siswa mengerjakan latihan, dan

siswa mengajukan pertanyaan bila tidak mengerti.

F. Hipotesis

Berdasarkan anggapan dasar yang telah dikemukakan di atas maka

hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Peningkatan kemampuan analogi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan menggunakan strategi think-talk-write lebih baik

daripada kemampuan analogi matematis siswa yang memperoleh

(21)

17

2. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan menggunakan strategi think-talk-write lebih baik

daripada kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran konvensional.

3. Mendeskripsikan sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan

(22)

40

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian jenis kuasi-eksperimen, dengan

subjek tidak dikelompokkan secara acak tetapi peneliti menerima keadaan subjek

apa adanya (Ruseffendi, 1994: 47). Pada penelitian ini ada dua kelompok sampel

penelitian yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelopmpok

eksperimen yaitu kelompok yang diberikan pembelajaran dengan strategi

think-talk-write, sedangkan kelompok kontrol yaitu kelompok yang diberikan

pembelajaran konvensional. Kedua kelompok diberikan pretes dan postes, dengan

menggunakan instrumen yang sama. Sudjana, dkk (2005) menyatakan bahwa

penelitian eksperimen adalah suatu penelitian yang berusaha mencari pengaruh

variabel tertentu terhadap variabel lain dalam kondisi yang terkontrol secara ketat.

Pada penelitian ini terdapat dua variabel bebas dan variabel terikat.

Variabel bebas yaitu pembelajaran dengan menggunakan strategi think-talk-write,

sedangkan variabel terikatnya yaitu kemampuan analogi dan komunikasi

matematis siswa kelas VIII SMP Ibnu Sina Batam.

Pendekatan kualitatif digunakan untuk memperoleh gambaran tentang

skala sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan strategi

think-talk-write. Kedangkan pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh hasil

belajar siswa tentang kemampuan analogi dan komunikasi matematis siswa pada

(23)

41

Desain penelitian yang digunakan adalah “pretest-posttest control group

design” (Sugiono, 2007: 116). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini

terdiri dari tes kemampuan analogi dan komunikasi matematis, angket skala sikap,

dan lembar observasi. Adapun rancangan penelitian yang dilakukan seperti

berikut:

Kelompok Eksperimen : O X O

Kelompok Kontrol : O O

Keterangan:

O : Pretes dan postes kemampuan analogi dan komunikasi matematis

X : Perlakuan dengan menggunakan Strategi Think-Talk- Write (TTW)

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Menurut Sudjana (2005) populasi adalah totalitas semua nilai yang

mungkin, baik hasil menghitung maupun mengukur, kuantitatif ataupun kualitatif,

dari karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap dan jelas.

Pada penelitian ini penulis mengambil populasi SMP Ibnu Sina Batam. Hal ini

dikarenakan untuk memudahkan komunikasi dan sekolah tersebut berada pada

kategori menengah dilihat dari hasil ujian nasional tahun 2010-2011. Berdasarkan

hal tersebut pula maka penelitian ini akan dilakukan di SMP Ibnu Sina Batam.

Sampel mengambil 2 kelas yang telah ditentukan oleh guru, dilihat dari

kondisi dan kemampuan siswa yang sama. Piaget (dalam Oakley, 2004)

menyatakan bahwa seorang individu yang ada pada usia 12-16 tahun ada dalam

(24)

42

dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan dalam menyelesaikan

persoalan-persoalan yang ada. Karena kemampuan analogi dan komunikasi

matematis sudah berada pada tahapan berpikir tingkat tinggi. Untuk itu diambil

kelas VIII, satu kelas dijadikan kelas kontrol dan satu kelas lagi dijadikan kelas

eksperimen.

Pada kelas kontrol akan diadakan pembelajaran konvensional dengan

metode ekpositori dan pemberian latihan-latihan soal dan pada kelas eksperimen

akan diadakan pengajaran dengan strategi think-talk-write dan dilakukan latihan

soal dengan instrument soal yang sama dengan kelas kontrol. Dari sini dilakukan

tes akhir ini dapat dilihat apakah terjadi perbedaan skor antara kelas eksperimen

dengan kelas kontrol.

C. Instrumen Penelitian

Sebagai upaya untuk mendapatkan data dan informasi yang lengkap

mengenai hal-hal yang ingin dikaji dalam penelitian ini, maka dibuatlah

seperangkat instrumen. Penelitian ini menggunakan empat jenis instrumen, yaitu

tes, angket, observasi dan wawancara.

1. Tes

Tes yang digunakan adalah tes kemampuan analogi dan komunikasi

matematis yang terdiri dari tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest). Tes yang

diberikan pada setiap kelas eksperimen dan kelas kontrol baik soal-soal untuk

pretest maupun posttest ekuivalen/ relatif sama. Tes awal dilakukan untuk

(25)

43

dan digunakan sebagai tolak ukur peningkatan prestasi belajar sebelum

mendapatkan pembelajaran dengan metode yang akan diterapkan, sedangkan tes

akhir dilakukan untuk mengetahui perolehan hasil belajar dan ada tidaknya

pengaruh yang signifikan setelah mendapatkan pembelajaran dengan metode

pembelajaran yang akan diterapkan. Jadi, pemberian tes pada penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh hasil belajar matematika antara

siswa yang mendapat pembelajaran dengan strategi think-talk-write maupun

konvensional terhadap kemampuan analogi dan komunikasi matematis siswa.

Data mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam penelitian, karena

data merupakan penggambaran variabel yang diteliti dan berfungsi sebagai alat

pembuktian hipotesis. Benar tidaknya data sangat menentukan bermutu tidaknya

hasil penelitian. Sedangkan benar tidaknya data, tergantung dari baik tidaknya

instrumen pengumpul data. Oleh karena itu, perlu dilakukan ujicoba terhadap

instrumen tes sebelum digunakan. Uji coba dilakukan pada siswa yang telah

mendapatkan materi yang akan disampaikan. Uji coba dilakukan untuk

mengetahui tingkat validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda

instrumen tersebut.

a. Validitas

Suatu instrumen dikatakan valid (absah atau shahih) apabila instrumen

tersebut mampu untuk mengevaluasi/ mengukur apa yang seharusnya dievaluasi.

Oleh karena itu untuk menentukan validitas suatu alat evaluasi hendaknya dilihat

(26)

44

1) Validitas Isi

Validitas isi suatu alat evaluasi artinya ketepatan alat tersebut ditinjau dari segi

materi yang dievaluasikan yaitu materi (bahan ajar) yang dipakai sebagai alat

evaluasi tersebut yang merupakan sampel representatif dari penguasaan yang

dikuasai. Arikunto (2002: 67) menyatakan bahwa validitas isi (content validity),

artinya tes yang digunakan merupakan sampel yang mewakili kemampuan yang

akan diukur.

Suatu test matematika dikatakan memiliki validitas isi yang baik apabila dapat

mengukur Kompetensi Dasar (KD), Standar Kompetensi (SK) serta indikator

yang telah ditentukan sesuai dengan kurikulum KTSP. Pertimbangan para pakar

(dosen pembibing dan mahasiswa S3 yang sedang menempuh perkuliahan) sangat

berperan dalam menyusun validitas isi suatu instrumen dalam hal yang berkaitan

dengan konsep-konsep matematika.

2) Validitas Muka

Validitas muka atau sering disebut pula validitas tampilan suatu alat evaluasi yaitu

keabsahan susunan kalimat atau kata-kata dalam soal sehingga jelas pengertiannya

atau tidak menimbulkan multi tafsir. Validitas muka adalah derajat kesesuaian tes

dengan jenjang sekolah/ pendidikan peserta didik. Soal tes disesuaikan dengan

tingkat pendidikan subyek penelitian.

3) Validitas Butir Soal

Validitas butir soal dari suatu tes adalah ketepatan mengukur yang dimiliki oleh

(27)

45

totalitas), dalam mengukur apa yang seharusnya diukur lewat butir soal tersebut.

Sebuah butir soal dikatakan valid bila mempunyai dukungan yang besar terhadap

skor total. Untuk menentukan perhitungan validitas butir soal digunakan rumus

korelasi produk moment pearson (Suherman dan Sukjaya, 1990: 154), yaitu :

rxy =

Keterangan:

rxy = Koefisien korelasi antara variabel x dan variabel y

n = Jumlah peserta tes.

x = Skor siswa pada tiap butir soal

y = Skor total tiap responden/siswa.

Setelah didapat harga koefisien validitas maka harga tersebut

diinterpretasikan terhadap kriteria tertentu dengan menggunakan tolak ukur yang

dibuat Guilford (Suherman, 1990: 147) seperti pada Tabel 3.1

Tabel 3.1

Reliabilitas suatu alat ukur atau alat evaluasi dimaksudkan sebagai suatu

alat yang memberikan hasil yang tetap sama. Untuk menentukan koefisien

(28)

46

reliabilitas tes bentuk uraian digunakan rumus Cronbach Alpha sebagai berikut:

r = 11

r = koefisien reliabilitas

n = banyaknya butir soal

si2 = varians skor tiap butir soal

st2 = varians skor total

Setelah didapat harga koefisien reliabilitas maka harga tersebut

diinterpretasikan terhadap kriteria tertentu dengan menggunakan tolak ukur yang

dibuat Guilford (Suherman, 1990: 177) seperti pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2

Bermutu atau tidaknya butir-butir soal pada instrumen dapat diketahui dari

derajat kesukaran atau taraf kesulitan yang dimiliki oleh masing-masing butir soal

tersebut. Soal tes hasil belajar dapat dinyatakan sebagai butir-butir soal yang baik,

apabila soal-soal tersebut tidak terlalu sukar dan tidak pula terlalu mudah. Soal

yang terlalu mudah tidak dapat merangsang siswa untuk berusaha

(29)

47

dan tidak bersemangat lagi untuk mencoba karena di luar jangkauannya

(Arikunto, 2001). Taraf kesukaran bertujuan untuk mengetahui bobot soal yang

sesuai dengan kriteria perangkat soal yang diharuskan. Penentuan siswa kelompok

atas dan siswa kelompok bawah, dilakukan dengan cara mengurutkan terlebih

dahulu skor siswa dari yang tertinggi hingga terendah.

Untuk mengetahui tingkat kesukaran tiap butir soal menggunakan rumus

sebagai berikut :

TK = Tingkat kesukaran

SA = Jumlah skor kelompok atas

SB = Jumlah skor kelompok bawah

IA = Jumlah skor ideal kelompok atas

IB = Jumlah skor idea kelompok bawah

Skala penilaian tndeks kesukaran menurut Suherman (2004:170), tabel 3.3

Tabel 3.3

Daya pembeda adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan

kemampuan siswa. Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut

(30)

48

(daya pembeda) dihitung dengan membagi siswa kedalam dua kelompok, yaitu:

kelompok atas (the higher group) – kelompok siswa yang tergolong pandai dan

kelompok bawah (the lower group) – kelompok siswa yang tergolong rendah.

Untuk mengetahui daya pembeda tiap butir soal menggunakan rumus

sebagai berikut :

IA SB SA DP 

Dengan :

DP = Daya Pembeda

SA = Jumlah skor kelompok atas

SB = Jumlah skor kelompok bawah

IA = Jumlah skor ideal kelompok atas

Skala penilaian daya pembeda menurut Suherman (2004:161), Tabel 3.4.

Tabel 3.4

Klasifikasi Daya Pembeda Soal

Daya Pembeda Interpretasi

DP ≤ 0,00 Sangat jelek

0,00 < DP ≤ 0,20 Jelek

0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup

0,40 < DP ≤ 0,70 Baik

0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat Baik

2. Angket

Angket yang digunakan adalah angket sikap siswa terhadap matematika.

Angket ini bertujuan mengungkapkan sikap siswa terhadap matematika setelah

memperoleh pembelajaran. Angket siswa terdiri dari tiga macam yaitu skala sikap

(31)

49

terhadap soal kemampuan analogi dan komunikasi matematis, sikap siswa

terhadap pembelajaran dengan strategi think-talk-write.

Skala sikap yang berhubungan dengan sikap siswa terhadap pembelajaran

dengan strategi think-talk-write berupa pernyataan-pernyataan untuk

mengungkapkan sikap siswa terhadap pembelajaran dengan strategi

think-talk-write, sikap siswa terhadap soal kemampuan analogi dan komunikasi matematis,

sikap siswa terhadap pelajaran matematika. Model skala sikap yang digunakan

adalah angket sikap skala Likert.

Angket siswa diberikan kepada siswa pada kelas eksperimen setelah

kegiatan pembelajaran berakhir yaitu setelah tes akhir. Skala sikap digunakan

untuk melihat sikap siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan realistik

(PR), sikap siswa terhadap soal kemampuan analogi dan komunikasi matematis

dan sikap siswa terhadap pelajaran matematika, maka penulis menyusun skala

sikap yang terdiri dari 30 pernyataan bersifat positif dan negatif untuk direspon

siswa yang mencakup sikap siswa terhadap ketiga obyek tersebut dengan pilihan

jawaban SS (Sangat Setuju), S (setuju), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak

Setuju). Pilihan jawaban N (Netral) tidak digunakan untuk menghindari keraguan

siswa. Langkah-langkah mengukur skala sikap sebagai berikut: pemberian skor

butir skala sikap dengan berpedoman kepada model skala Likert, yaitu (1) untuk

pernyataan positif, jawaban SS diberi skor 4, S diberi skor 3, TS diberi skor 2, dan

STS diberi skor 1; (2) untuk pernyataan negatif, jawaban SS diberi skor 1, S diberi

skor 2, TS diberi skor 3, dan STS diberi skor 4. Siswa diharapkan dapat memberi

(32)

50

yang telah mengalami proses pembelajaran dengan pendekatan realistik.

Pernyataan-pernyataan yang diberikan berdasarkan pada pengalaman yang telah

dimiliki siswa. Skala sikap ini bertujuan untuk mengetahui sikap siswa terhadap

pembelajaran dengan pembelajaran dengan strategi think-talk-write, sikap siswa

terhadap soal kemampuan analogi dan komunikasi matematis dan sikap siswa

terhadap pelajaran matematika, karena itu tidak diujicobakan terlebih dahulu.

3. Observasi

Lembar observasi digunakan untuk mengukur aktivitas siswa selama

pembelajaran berlangsung. Data observasi ini diperoleh melalui pengisian lembar

observasi aktivitas siswa selama pembelajaran dengan strategi think-talk-write.

Adapun aktivitas siswa yang diobservasi berdasarkan indikator dari kemampuan

analogi dan komunikasi siswa.

4. Wawancara

Pedoman wawancara merupakan panduan yang digunakan untuk mencari

informasi tambahan terhadap proses pembelajaran yang sudah dilakukan. Siswa

yang dipilih untuk diwawancarai berasal dari kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Banyaknya siswa yang diwawancarai pada setiap kelasnya adalah tiga orang,

sehingga total siswa yang diwawancarai berjumlah 6 orang.

D. Analisis Hasil Uji Coba Instrumen

Instrumen yang diujicobakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, (1)

(33)

51

komunikasi matematis, dan (3) instrumen sikap siswa terhadap matematika.

Berikut akan dijabarkan hasil uji coba dan analisis instrumen penelitian ini.

1. Analisis Hasil Uji Coba Tes Kemampuan Analogi Matematis Siswa

Instrumen tes kemampuan analogi matematika ini terdiri dari lima soal

uraian. Masing-masing soal memiliki bobot penilaian sama yaitu empat.

Instrumen ini sebelum digunakan dalam penelitian, diujicobakan terlebih dahulu

kepada siswa yang telah mendapatkan materi yang akan diajarkan dalam

penelitian ini. Uji coba instrumen ini bertujuan untuk melihat validas soal,

reliabilitas soal, daya pembeda dan tingkat kesukaran soal. Berikut adalah hasil uji

coba instrumen tes kemampuan analogi matematis siswa.

a. Validitas Butir Tes

Validitas butir tes kemampuan analogi matematis siswa dalam penelitian

ini dapat dilihat pada Tabel 3.5 berikut:

Tabel 3.5

Hasil Uji Validitas Kemampuan Analogi Matematis Siswa

No Soal

1 2 3 4 5

r xy 0,74 0,68 0,61 0,63 0,55

Interpretasi tinggi sedang sedang sedang sedang

b. Reliabilitas

Koefisien reliabilitas instrument tes kemampuan analogi matematis siswa

(34)

52

Tabel 3.6

Hasil Reliabilitas Kemampuan Analogi Matematis Siswa

Indeks daya pembeda instrumen tes kemampuan analogi matematis siswa

dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.7 berikut:

Tabel 3.7

Hasil Uji Daya Pembeda Kemampuan Analogi Matematis Siswa

Tingkat kesukaran instrumen tes kemampuan analogi matematis siswa

dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.8 berikut:

Tabel 3.8

Hasil Uji Tingkat Kesukaran Kemampuan Analogi Matematis Siswa

No Soal

1 2 3 4 5

Tingkat Kesukaran 0,70 0,65 0,65 0,59 0,48

Interpretasi Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang

2. Analisis Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

Siswa

Instrumen tes kemampuan komunikasi matematis siswa ini terdiri dari

(35)

53

Instrumen ini sebelum digunakan dalam penelitian, diuji cobakan terlebih dahulu

kepada siswa yang telah mendapatkan materi yang akan diajarkan dalam

penelitian ini. Uji coba instrumen ini bertujuan untuk melihat validitas soal,

reliabilitas soal, daya pembeda dan tingkat kesukaran soal. Berikut adalah hasil uji

coba instrumen tes kemampuan analogi matematis siswa.

a. Validitas Butir Tes

Validitas butir tes kemampuan komunikasi matematis siswa dalam

penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.9 berikut:

Tabel 3.9

Hasil Uji Validitas Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa No Soal

6 7 8 9 10

r xy 0,72 0,49 0,86 0,81 0,57

Interpretasi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Sedang

b. Reliabilitas

Koefisien reliabilitas instrument tes kemampuan komunikasi matematis

siswa dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.10 berikut:

Tabel 3.10

Hasil Reliabilitas Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa

No Soal

6 7 8 9 10

Reliabilitas 0,78

Interpretasi Tinggi

c. Daya Pembeda

Indeks daya pembeda instrumen tes kemampuan komunikasi matematis

(36)

54

Tabel 3.11

Hasil Uji Daya Pembeda Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa

Nomor Soal

6 7 8 9 10

Daya Pembeda 0,60 0,30 0,60 0,65 0,50 Interpretasi Baik Cukup Baik Baik Baik

d. Tingkat Kesukaran

Tingkat kesukaran instrumen tes kemampuan komunikasi matematis

siswa dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.12 berikut:

Tabel 3.12

Hasil Uji Tingkat Kesukaran Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa

No Soal

6 7 8 9 10

Tingkat Kesukaran 0,70 0,70 0,70 0,68 0,55

Interpretasi Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang

E. Teknik Analisis Data

Ada dua jenis data yang dianalisis dalam penelitian ini, yaitu data

kuantitatif dan kulitatif. Data kuantitatif adalah data hasil tes kemampuan analogi

matematis dan komunikasi matematis siswa, sedangkan data kualitatif adalah data

hasil observasi, skala sikap.

Data-data yang diperoleh dari hasil pretes, postes/gain dianalisis secara

statistik. Sedangkan hasil pengamatan observasi pembelajaran dianalisis secara

deskriptif. Untuk pengolahan data penulis digunakan bantuan program software

SPSS 16 dan Microsoft Excell.

Untuk menguji hipotesis dilakukan pengolahan data secara statistik

(37)

55

1. Uji Normalitas Data

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui normal atau tidaknya

distribusi data yang menjadi syarat untuk menentukan jenis statistik yang akan

digunakan dalam analisis selanjutnya. Data yang akan diuji normalitas dalam

penelitian ini ada dua kelompok yaitu: kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol.

Untuk mengetahui data tersebut normal atau tidak digunakan uji

Kolmogorov-Smirnov pada taraf signifikansi 

Pengujian dilakukan berdasarkan hipotesis statistik sebagai berikut:

HO : Sampel berasal dari data berdistribusi normal

HA : Sampel berasal dari data berdistribusi tidak normal

Kriteria pengujian :

Tolak HO jika signifikansi hasil perhitungan < = 0,05, sedangkan untuk kondisi

lainnya HOditerima.

2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas adalah pengujian mengenai sama tidaknya

variansi-variansi dua buah distribusi (Ruseffendi, 1993: 373). Arikunto (2003: 120)

berpendapat, pengujian homogenitas sampel menjadi sangat penting apabila

peneliti bermaksud melakukan generalisasi untuk hasil penelitiannya serta

penelitiannya diambil dari kelompok-kelompok terpisah yang berasal dari satu

populasi.

Untuk mengetahui data tersebut homogen atau tidak, digunakanlah uji

(38)

56

Pengujian dilakukan berdasarkan hipotesis statistik sebagai berikut:

HO: -eksperimen = -kontrol

HA : -eksperimen≠-kontrol

Keterangan:

HO: Varians kedua kelompok adalah homogen

HA : Varians kedua kelompok tidak homogen

Kriteria pengujian :

Tolak HO jika signifikansi hasil perhitungan < = 0,05, sedangkan untuk kondisi

lainnya HO diterima.

3. Uji Perbedaan Dua Rata-rata

Data kemampuan analogi dan komunikasi matematis siswa yang didapat

dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis dengan uji-t, uji ini dilakukan untuk

mengetahui dan memeriksa efektifitas perlakuan.

a. Analisis Pretes

Untuk mengetahui data tersebut homogen atau tidak, digunakanlah uji dua pihak

pada taraf signifikansi 

Pengujian dilakukan berdasarkan hipotesis statistik sebagai berikut:

HO : -eksperimen = -kontrol

HA : -eksperimen≠-kontrol

Keterangan :

HO : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen dan

(39)

57

HA: Terdapat perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas

kontrol

Kriteria Pengujian:

Tolak HO jika perhitungan hasil signifikansi < = 0,025, sedangkan untuk

kondisi lainnya HO diterima.

b. Analisis Postes

Untuk mengetahui data tersebut lebih baik atau tidak, digunakanlah uji satu pihak

pada taraf signifikansi 

Pengujian dilakukan berdasarkan hipotesis statistik sebagai berikut:

HO: -eksperimen = -kontrol

HA : -eksperimen > -kontrol

Keterangan :

HO : Rerata skor siswa kelas eksperimen tidak lebih baik daripada kelas

kontrol.

HA : Rerata skor siswa kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol.

Kriteria Pengujian:

Tolak HO jika signifikansi hasil perhitungan < = 0,05, sedangkan untuk kondisi

lainnya HO diterima.

Apabila dua data yang akan diuji perbedaan reratanya berdistribusi

normal tetapi variansnya tidak homogen maka dilanjutkan dengan uji-t’ (dalam

(40)

58

Apabila sebaran data tidak berdistribusi normal maka untuk menguji

kesamaan dua rata-rata digunakan statistik uji nonparametrik yaitu uji Mann

Whitney (statistik U).

4. Gain Ternormalisasi

Untuk mengetahui apakah peningkatan kemampuan analogi dan

komunikasi matematis yang terjadi pada siswa, peneliti menganalisis data hasil tes

dengan rumus menggunakan rumus Gain ternormalisasi (indeks Gain) jika

kemampuan awal siswa berbeda. Rumus yang digunakan adalah:

� �= � − �� max� − ��

Kererangan :

� � = Gain ternormalisasi

� = Skor postes

�� = Skor pretes

���� = Skor maksimal

( Hake dalam http://arxiv.org/ftp/physics/papers/0605/0605148.pdf)

Kriteria indeks Gain (g) adalah:

Gain Interprestasi

(N)g > 0,7 Tinggi

0,3 < (N)g ≤ 0,7 Sedang

(N)g ≤ 0,3 Rendah

(41)

59

5. Analisis Data Skala Sikap

Data yang diperoleh melalui angket dianalisa dengan menggunakan cara

pemberian skor butir skala sikap model Likert. Penentuan skor skala sikap dapat

dilakukan dengan apriori dan dapat pula secara aposteriori (Subino, 1987). Secara

apriori, maka skala yan berarah positif akan mempunyai

kemungkinan-kemungkinan skor 4 bagi SS, 3 bagi S, 2 bagi TS, dan 1 bagi STS, sedangkan bagi

skala yang berarah negatif maka kemungkinan skor tersebut menjadi sebaliknya.

Penentuan skor skala sikap dalam penelitian ini dilakukan secara aposteriori, di

mana kemungkinan skor bagi setiap kemungkinan jawaban itu didasarkan atas

hasil uji coba.

6. Pengolahan Lembar Observasi

Aktivitas siswa selama pembelajaran strategi think-talk-write diperoleh

melalui observasi yang dilakukan oleh guru dan partner guru (observer) pada

setiap pertemuan. Observer diberikan pembekalan untuk memberikan penilaian

kepada siswa sesuai dengan indikator yang terdapat pada lembar format observasi.

Hasil penilaian yang dilakukan pada setiap aspek kegiatan siswa dinyatakan

dalam kategori penilaian, yaitu sangat baik diberi nilai 4, baik diberi nilai 3, cukup

diberi nilai 2, dan kurang diberi nilai 1.

Persentase pada suatu aktivitas dihitung dengan rumus sebagai berikut:

= × 100 %

(42)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada Bab IV mengenai peningkatan

kemampuan analogi dan komunikasi matematis siswa SMP. Yang belajar melalui

pembelajaran dengan strategi think-talk-write dan siswa yang belajar melalui

pembelajaran biasa, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Peningkatan kemampuan analogi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan menggunakan strategi think-talk-write lebih baik

daripada kemampuan analogi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran konvensional.

2. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan menggunakan strategi think-talk-write lebih baik

daripada kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran konvensional.

3. Setelah mendapatkan pembelajaran, siswa menunjukkan sikap positif

terhadap pembelajaran dengan strategi think-talk-write, soal-soal analogi dan

komunikasi matematis, dan manfaat matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Secara umum dapat dikatakan bahwa siswa memperlihatkan sikap yang

positif terhadap keseluruhan aspek pembelajaran dengan strategi

(43)

100

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis mengemukakan beberapa

saran sebagai berikut:

1. Karena pembelajaran melalui strategi think-talk-write dapat meningkatkan

kemampuan analogi dan komunikasi matematis, dan sikap siswa terhadap

pelajaran matematika positif, maka instansi terkait hendaknya mendukung

sosialisasi pembelajaran dengan strategi think-talk-write di sekolah melalui

pendidikan dan latihan (diklat) guru matematika;

2. Karena masih banyak siswa belum mampu menjelaskan ide-ide matematis

dengan baik, sebaiknya guru menciptakan suasana belajar yang lebih banyak

memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan ide-ide dalam

bahasa dan cara mereka sendiri, sehingga siswa memahami makna yang

terkandung dalam pembelajaran dan siswa dalam belajar menjadi berani

berargumentasi baik secara kritis, sistematis, maupun logis.

3. Karena masih ada beberapa siswa yang skor peningkatan kemampuannya

berada di bawah rata-rata skor peningkatan kelas kontrol, diharapkan

penelitian yang selanjutnya dapat memberikan peningkatan yang menyeluruh

terhadap kemampuan analogi dan komunikasi matematis siswa pada jenjang

sekolah menengah pertama.

4. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat memberikan penilaian yang dilihat

perindikator, agar telihat secara spesifik siswa kurang atau lebih terhadap

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, A. (2005). Implementasi Model Cooperative Learning dalam

Pendidikan IPS di Tingkat Persekolahan. [Online]. Tersedia: http://re-searchengines.com/0805arief6.html [9 Januari 2012]

Alamsyah. (2000). Suatu Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan

Analogi Matematika. Tesis PPS UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Ansari, B. I. (2003). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan

Komunikasi Siswa SMU Melalui Strateti Think-Talk-Write. Disertasi

Doktor PPS UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rieneka Cipta

Asikin, M. (2002).“Menumbuhkan Kemampuan Komunikasi Matematika melalui

Pembelajaran Matematika Realistik”. Jurnal Matematika atau

Pembelajarannya (Prosiding Konferensi Nasional Matematika XI). 7,

(Edisi Khusus), (492-496).

Baroody. A. J. (1993). Problem Solving, Reasioning, and Communicating, K-8.

Helping Children think Mathematically. New York: Macmillan Publishing

Company

Cai, J dan Patricia (2000). Fostering Mathematics Thinking Throught Multiple Solutions. Mathematics Teaching in Middle School. Vol V. USA:NCTM

Haji, S. (2004). Pengaruh Pendekatan Matematika Realistik Terhadap Hasil

Belajar Matematika Sekolah Dasar. Disertasi Doktor pada PPS UPI: Tidak

Diterbitkan

Hariyanto (2000). Perbandingan Hasil Belajar Matematika antara Siswa yang

Pembelajarannya Menggunakan Model Kooperatif Tipe Jigsaw dengan Model Tradisional di Kelas II MAN Jember. Tesis PPS UPI. Bandung:

Tidak Diterbitkan

Helmaheri (2004). Menumbuhkembangkan Kemampuan Komunikasi Pemecahan

Masalah Matemastis Siswa SLTP melalui Strategi Think-Talk-Write dalam Kelompok Kecil. Tesis PPS UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

(45)

102

Vol. 28, No. 5. (Nov., 1997), pp. 524-549. National Council of Teachers of

Mathematics

Herawati. (2006). Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi

Matematis Siswa melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Matematika Realistik dalam Kelompok Kecil. Tesis PPS UPI: Tidak Diterbitkan.

Herdian. (2010). Pengaruh Metode Discovery terhadap Kemampuan Analogi dan

Generalisasi Matematis Siswa SMP. Tesis PPS UPI. Bandung: Tidak

Diterbitkan.

Huinker, D. dan Laughlin, C. (1996). ”Talk Your Way into Writing”. Dalam

Communication in Mathematics K-12 and Beyond, 1996 year book. The

National Council of Teachers of Mathematics.

Hulukati, E.(2005). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Generatif. Disertasi Doktor pada PPS UPI: Tidak Diterbitkan.

Maonde, F. (2004). Evaluasi Kualitas Soal Matematika SLTP pada Ebtanas di

Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Badan Pendidikan dan Pengembangan Departemen

Pendidikan Nasional.

Mundiri. (2010). Logika. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Naga, S. D. (1980). Berhitung Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Gramedia.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). Principles and Standards

for School Mathematics. Reston, Va: NCTM, 2000

Oakley, L. (2004). Cognitive Development. London: Routledge

Popham, J dan Eci L. Baker. (1992). Teknik Mengajar secara Sistematis. Jakarta: Rineka Cipta

Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematis Siswa

kelas 2 SLTP di Kota Bandung. Disertasi Doktor PPS UPI. Bandung:

Tidak Diterbitkan.

Pugalee, D.A. (2001). Using Communication to Develop Students’ Mathematical

Litarcy. JRME. V6 January 2001.

Ratnaningsih, N. (2003). Kemampuan Berfikir Matematis Siswa Menengah Umum

(SMU) Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis PPS UPI.

(46)

103

Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang

Non-Eksakta lainnya. Bandung: TARSITO.

. E. T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru

Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. (Edisi Revisi). Bandung: Tarsito

. (1994). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang

Eksakta lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press

. E. T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru

Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

. E. T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan.

Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sardiman. (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT

Rajagrafindo Persada

Sastrosudirjo, S.S. (1988). Hubungan Kemampuan Penalaran dan Prestasi

Belajar untuk Siswa SMP. Jurnal Kependidikan no.1 Tahun ke 18: IKIP

Yogyakarta.

Shadiq, F. (2004). Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Diklat

Pengembang Matematika SMA Jenjang Dasar. PPP Matematika

Sitorus, N. (2005). Penerapan Model Pembelajaran Conceptual Undrestanding

Procedur (CUPs) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas 2 SMP Negeri 12 Bandung. Skripsi jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI

Bandung: Tidak Diterbitkan.

Soekadijo, G. R. (1999). Logika Dasar Tradisional, Simbolik, dan Induktif. Jakarta: Gramedia.

Subino. (1987). Konstruksi dan Analisis Tes, suatu Pengantar Kepada Teori Tes

dan Pengukuran. Jakarta: Debdikbud

Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito

(47)

104

Suherman, E. dan Sukjaya, Y. (1990). Petunjuk Untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijaya Kusumah.

Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika siswa

dikaitkan dengan Pembelajaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi Doktor PPS UPI. Bandung: Tidak

Diterbitkan.

Suprihatin, T. (2003). Pengembangan Kemampuan Komunikasi Siswa melalui

Pembelajaran Keterampilan Metakognitif dengan Pemecahan Masalah.

Skripsi FPMIPA UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan

Suriadi. (2006). Pembelajaran dengan Pendekatan Discovery dan Menekankan

Aspek Analogi untuk Meningkatkan Pemahaman Matematik dan Kemampuan Berfikir Kritis Siswa SMA. Tesis PPS UPI. Bandung: Tidak

Diterbitkan.

Suryadi, D. (2005). Pengamatan Pendekatan Pembelajaran tidak Langsung Serta

Pendidikan Gabungan Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi

Doktor PPS UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Suzana, Y. (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran

Matematika Siswa Sekolah Menengah Umum melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kognitif. Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Syofni. (1989). Hubungan Kemampuan Penalaran dalam Matematika dan

Prestasi Matematika Siswa Kelas I SMAN di Kodya Surabaya. Tesis UPI

Bandung: Tidak diterbitkan.

Talking, writing, and mathematical thinking [Online]. https://secure.ncte.org/

library/NCTEFiles/Resources/Books/Sample/21349Chap01.pdf [25 januari 2012]

TIMSS 2011 Mathematics Framework. [Online]. http://timss.bc.edu/timss2011/ downloads/TIMSS2011_Frameworks-Chapter1.pdf [20 Januari 2012]

Gambar

Tabel 3.1 Klasifikasi Koefisien Validitas
Tabel 3.2 Klasifikasi Reliabilitas
Tabel 3.3 Klasifikasi Tingkat Kesukaran Soal
Tabel 3.4 Klasifikasi Daya Pembeda Soal
+5

Referensi

Dokumen terkait

(1) Menyimpang dari ketentuan Pasal 3, maka dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan penguasaan tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan dengan segera, atas

EFEKTIVITAS PERMAINAN TRIVIAL PURSUIT DALAM MENINGKATKAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA JEPANG.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Selatan yang menyebabkan penyakit pada bagian bawah batang Eucalyptus. grandis dan

Pengaruh motivasi dan tingkat disiplin terhadap hasil belajar siswa dalam pembelajaran sepakbola.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Kini dengan tiga lapis sistem keamanan yang membentuk suatu piramida keamanan yang terdiri dari penggunaan SIM card, proses authhentikasi yang akan memeiksa terlebih dahulu

Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam dengan Menggunakan Metode “Discovery” dan “Inquiry” , Bagian 1.Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen

Teknologi Komunikasi adalah segala hal yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat yang satu ke lainnya.. Berbasis

Selain tampilan antar muka yang dibuat semenarik mungkin, aplikasi ini menampilkan pencarian kata dalam bahasa Indonesia dengan lebih mudah dan cepat, sehingga dapat