• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA :Studi pada Mata Pelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA :Studi pada Mata Pelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten Bandung."

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

JUDUL ………..i

LEMBAR PENGESAHAN ...………...………ii

LEMBAR PERNYATAAN ...………...………..iv

UCAPAN TERIMAKASIH ..………...………..v

ABSTRAK …....………..………viii DAFTAR ISI ...………..……….x

DAFTAR TABEL ..……….………...…xiii

DAFTAR GAMBAR ...……….xvi

DAFTAR LAMPIRAN …..……….………xviii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...…. 1

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah………. 11

C. Tujuan Penelitian…..………. 14

D. Manfaat Penelitian………... 14

E. Paradigma Penelitian………...….. 16

F. Metode Penelitian…….………. 21

G. Struktur Organisasi Disertasi………. 22

BAB II KAJIAN TEORETIK

A. Hakekat Pendidikan Madrasah Aliyah………..

1. Pengertian Madrasah Aliyah………

2. Tujuan Pendidikan Madrasah Aliyah………..

3. Kurikulum Madrasah Aliyah………...

4. Kompetensi Siswa Madrasah Aliyah………..

23

23

27

28

34

B. Hakekat Fiqh………..

1. Pengertian dan Hal Ihwal Fiqh………

2. Tujuan Fiqh di Madrasah Aliyah……….

3. Materi Fiqh bagi Siswa Madrasah Aliyah………...

37

37

42

(2)

5. Standar Kompetensi Lulusan, Standar Kompetensi,

Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Fiqh Madrasah Aliyah 48

C. Hakekat Pembelajaran………...

1. Definisi Pembelajaran………..

2. Teori Pembelajaran………..

a. Teori Kognitif………

b. Teori Konstruktivisme………...

Hasil Pembelajaran……….. Model Pembelajaran………

50

50

57

57

66

70

76

D. Hakekat Berpikir Kritis………... 87

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan………... 98

BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. Metode Penelitian………... 102

B. Lokasi dan Subjek Penelitian……… 104

C. Definisi Operasional……….. 106

D. Teknik Pengumpulan Data dan Pengembangan Instrumen….. 111

E. Analisis Data……….. 115

F. Tahap-tahap Pelaksanaan Penelitian……….. 116

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Studi Pendahuluan……… 121

B. Pengembangan Model Pembelajaran……… 157

C. Efektivitas Model………... 235

D. Faktor Pendukung dan Penghambat……….. 259

E. Pembahasan Hasil Penelitian………..………... 264

3

(3)

B. Implikasi……… 303

C. Rekomendasi……….. 306

DAFTAR PUSTAKA……….. 308

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mata pelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah adalah salah satu mata pelajaran

Pendidikan Agama Islam (PAI) yang merupakan peningkatan dari fiqh yang telah

dipelajari oleh siswa di Madrasah Tsanawiyah/SMP. Peningkatan tersebut

dilakukan dengan cara mempelajari, memperdalam serta memperkaya kajian fiqh

baik yang menyangkut aspek ibadah maupun muamalah, yang dilandasi oleh

prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah ushul fiqh serta menggali tujuan dan

hikmahnya, sebagai persiapan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi

dan untuk hidup bermasyarakat (Depag, 2006: 13).

Secara substansial mata pelajaran Fiqh memiliki kontribusi dalam

memberikan motivasi kepada siswa untuk mempraktikkan dan menerapkan

hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagai perwujudan keserasian,

keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan

diri manusia itu sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya ataupun

lingkungannya.

Selaras dengan pernyataan di atas, mata pelajaran Fiqh di Madrasah

Aliyah bertujuan untuk: (1) mengetahui dan memahami prinsip-prinsip,

kaidah-kaidah dan tata cara pelaksanaan hukum Islam baik yang menyangkut aspek

ibadah maupun muamalah untuk dijadikan pedoman hidup dalam kehidupan

pribadi dan sosial; (2) melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam

dengan benar dan baik, sebagai perwujudan dari ketaatan dalam menjalankan

ajaran agama Islam baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan

diri manusia itu sendiri, sesama manusia, dan makhluk lainnya maupun hubungan

dengan lingkungannya; (3) mengenal, memahami, dan menghayati terhadap

sumber hukum Islam dengan memanfaatkan ushul fiqh sebagai metode penetapan

dan pengembangan hukum Islam dari sumbernya; (4) menerapkan kaidah-kaidah

dan dalil-dalil syara’ dalam rangka melahirkan hukum Islam yang diambil dari

(5)

Berdasarkan deskripsi tujuan tersebut, fiqh adalah salah satu aspek dari

Pendidikan Agama Islam yang memiliki makna strategis dan fungsional bagi

kehidupan sehari-hari manusia muslim dalam kehidupan pribadi, keluarga,

masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu fiqh perlu dibelajarkan kepada siswa

dengan pendekatan yang efektif. Sebagai bagian dari Pendidikan Agama Islam

(PAI), pendekatan pembelajaran fiqh yang digunakan sama dengan pendekatan

pembelajaran PAI pada umumnya, yakni pendekatan keimanan, pengamalan,

pembiasaan, rasional, emosional, fungsional, dan keteladanan (Puskur, 2003: 13).

Pendekatan keimanan dalam pembelajaran fiqh digunakan karena fiqh

adalah pemahaman hukum-hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan

al-Hadits yang diyakini bahwa keduanya adalah wahyu yang datang dari Allah

SWT. Keyakinan kepada Allah SWT adalah langkah awal dan mendasar serta

menjadi fondasi dalam memahami fiqh. Fiqh juga bukan semata pemahaman

terhadap hukum-hukum Islam, melainkan juga pelaksanaannya dalam kehidupan

sehari berdasarkan atas pemahaman terhadap hukum-hukum Islam tersebut.

Pendekatan pengamalan digunakan dalam pembelajaran fiqh, karena fiqh sendiri

adalah ilmu tentang amaliah/perbuatan yang menekankan demonstrasi perbuatan.

Berfiqh adalah berbuat, tanpa berbuat berarti tidak berfiqh.

Di samping itu, pembelajaran fiqh menghendaki adanya pembiasaan

pelaksanaan terhadap apa yang dipahami dari fiqh, sehingga guru perlu

memberlakukan pembiasaan pada siswa agar mereka terbiasa dengan perilaku

fiqhnya. Pendekatan lainnya adalah pendekatan rasional. Pendekatan ini

digunakan dalam pembelajaran fiqh yang bersifat tafkiriyah-istinbathiyah bahkan

pendekatan ini dapat diklaim sebagai pendekatan yang sangat tepat untuk

memahami fiqh dengan sebenarnya. Fiqh bukanlah sebatas produk hukum, tetapi

yang lebih penting lagi adalah bahwa fiqh dipahami sebagai sebuah proses

menghasilkan produk hukum. Fiqh dalam arti produk tidak membutuhkan

pembelajaran yang rumit karena sifatnya informatif dan tidak membutuhkan

pemikiran yang tinggi, tetapi fiqh dalam arti proses memerlukan pembelajaran

(6)

Pendekatan emosional dalam pembelajaran fiqh digunakan untuk

menggugah siswa pada pemahaman bahwa berfiqh tidak hanya berarti

pelaksanaan formalitas produk-produk hukum Islam tetapi harus pula menginsafi

bahwa pelaksanaan formalitas produk hukum Islam akan lebih bermakna bila

dibarengi dengan etika, estetika dan kemurnian hati. Pendekatan ini mendekati

pendekatan ketashawufan. Misalnya, secara aturan formal fiqh bahwa seorang

laki-laki yang shalat dengan hanya memakai celana pendek yang menutupi

auratnya sudah dianggap sah. Akan tetapi dalam perspektif etika, estetika,

pelaksanaan shalat yang demikian belum memenuhi kesempurnaan.

Adapun pendekatan fungsional dalam pembelajaran fiqh digunakan

didasarkankan pada pemikiran bahwa fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum

perbuatan muslim. Oleh karena itu pembelajaran fiqh diberikan dengan

pertimbangan kepraktisan, kemanfaatan, dan kebutuhan siswa dalam kehidupan

sehari-harinya, pembelajaran fiqh harus practicable dan applicable. Kurikulum

fiqh untuk pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan sehari-sehari siswa,

misalnya shalat, jual beli, pinjam meminjam, interaksi sosial dalam arti luas

menyangkut sosial ekonomi, sosial politik, sosial budaya dan lain-lain.

Pendekatan keteladanan digunakan dalam pembelajaran fiqh karena fiqh

pada dasarnya adalah ilmu tentang perbuatan formal mukallaf yang menghendaki

untuk dilaksanakan oleh setiap mukallaf. Pelaksanaan fiqh dalam kehidupan

sehari-hari membutuhkan contoh, pemodelan atau keteladanan dari orang-orang

yang dianggap lebih dewasa, yakni guru fiqh di madrasah. Guru fiqh harus

mampu menunjukkan dirinya sebagai contoh, model atau suri tauladan bagi siswa.

Apa yang diperbuat oleh guru adalah implementasi fiqh dalam kehidupan

sehari-harinya sehingga siswa mau mengambil teladan darinya.

Pendekatan-pendekatan di atas adalah pendekatan yang secara langsung

terkait dengan karakteristik materi fiqh. Hasil wawancara dan pengamatan di

lapangan menunjukkan bahwa guru-guru fiqh Madrasah Aliyah secara umum

telah melakukan pembelajaran fiqh dengan menggunakan pendekatan-pendekatan

tersebut. Hal ini dapat dipahami karena mereka adalah lulusan sarjana ilmu agama

(7)

keimanan, pengamalan, pembiasaan, emosional, fungsional, dan keteladanan

mendapat perhatian lebih oleh guru-guru fiqh untuk digunakan dalam

pembelajaran fiqh. Pendekatan-pendekatan ini diakui mereka dapat membentuk

kepribadian siswa yang baik sebagai muslim. Namun pada sisi yang lain,

pendekatan-pendekatan tersebut tidak mampu mengantarkan siswa menjadi

pribadi yang memiliki kemampuan bertindak secara rasional dan logis. Hal ini

disebabkan pendekatan-pendekatan tersebut tidak mengembangkan aspek

keterampilan berpikir kritis siswa. Kemampuan berpikir kritis sejatinya

merupakan tuntutan kurikulum fiqh di Madrasah Aliyah yang harus dibelajarkan

kepada siswa.

Atas dasar itu semua, maka pembelajaran fiqh membutuhkan sebuah

proses pembelajaran yang komprehensif, aktif, kreatif, konstruktif dan inovatif

yang dikembangkan dengan landasan filosofis, psikologis, sosio-kultural dan

perkembangan ilmu pengetahuan untuk mencapai keberhasilan yang maksimal.

Pembelajaran diarahkan kepada peningkatan dan pengembangan kemampuan

siswa memecahkan masalah-masalah fiqh dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran yang humanistis dan konstruktifistik sangat diharapkan bisa

diimplementasikan di dalam proses belajar mengajar di kelas. Guru sebagai

fasilitator utama dalam pembelajaran memiliki kewajiban untuk mengarahkan

pembelajaran ke arah penciptaan kemampuan berpikir kritis siswa.

Berpikir kritis dapat dikembangkan dengan memperkaya pengalaman

siswa yang bermakna. Pengalaman tersebut dapat berupa kesempatan berpendapat

secara lisan maupun tulisan layaknya seorang ilmuwan (Beyer, 2005: 15). Diskusi

yang muncul dari pertanyaan-pertanyaan divergen atau masalah tidak terstruktur

(ill-structured problem), serta kegiatan praktikum yang menuntut pengamatan terhadap gejala atau fenomena akan menantang kemampuan berpikir siswa

(Broadbear, 2003: 1-8).

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran fiqh di

Madrasah Aliyah lebih mengarah kepada penghafalan informasi produk-produk

fiqh, misalnya apa hukumnya zakat harta, tidak diarahkan kepada bagaimana

(8)

filosofis dan teologisnya, apa dampak individual dan sosialnya, dan seterusnya?

Pembelajarannya ditujukan pada penguasaan fiqh sebagai produk, bukan sebagai

sebuah proses, sehingga hanya akan menghasilkan kompilasi hafalan, bukan

pemahaman terhadap proses istinbath yang menghasilkan produk yang berupa furu’, tanpa adanya pemahaman terhadap hubungan antara furu’ dan ushulnya. Model pembelajarannya pun cenderung menggunakan model ekspositori dengan

menggunakan metode ceramah, sedikit menggunakan metode diskusi atau metode

lainnya yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif

membangun pengetahuan fiqhnya. Pembelajaran dianggap berhasil jika siswa

secara ekspositoris mampu menyampaikan hafalannya tentang definisi, pengertian

atau konsep tanpa didasari berpikir kritis.

Pembelajaran terhadap materi fiqh tidak didahului dengan materi ushul

fiqh, dan pengantar fiqh. Jika sebelumnya didahului dengan ushul fiqh dan pengantar fiqhnya, maka akan kondusif bagi pembelajaran fiqh dengan tekanan

pada proses, dari pada produk istinbathnya. Hal ini mengindikasikan bahwa

pembelajaran tidak dilakukan secara aktif, kreatif, produktif dan inovatif. Hal ini

menjadi indikasi bahwa proses pembelajaran tidak mengarahkan siswa kepada

pemahaman fiqh secara kritis yang didasarkan pada keterampilan berpikir kritis.

Pembelajaran fiqh tidak menjelaskan aspek dalil yang dipergunakan,

proses istinbath, kemudian natijah hukumnya, yang oleh karena itu keseluruhan

silabinya harus didesain menjadi tiga komponen tersebut. Dengan cara demikian

akan kondusif bagi lahirnya pemahaman terhadap fiqh dengan tekanan pada

proses istinbath, sehingga siswa mampu menilai validitas produk yang berupa

natijah hukum itu sesuai dengan ketepatan penentuan dalil dan penggunaan

kaidah-kaidah istinbathnya.

Penguasaan terhadap pengetahuan fiqh mestinya ditujukan pada: Pertama,

aspek the state of the art dari disiplin tersebut, yakni penguasaan pengetahuan

tentang pembentukan dan keseluruhan perkembangan fiqh sampai sekarang.

Kedua, analisis filosofisnya yang ditekankan pada cara berpikir keilmuan yang mendasari pengetahuan tersebut dengan pembahasan secara eksplisit mengenai

(9)

mengidentifikasi masalah-masalah yang timbul di sekitar disiplin keilmuan fiqh

tersebut (Ibrahim, S., 2008: 2-8).

Dari paparan di atas diketahui bahwa pembelajaran fiqh masih

menekankan kepada hasil/produk bukan pada proses pembelajaran. Pembelajaran

fiqh dengan tekanan pada produk, berarti membelajarkan siswa sebatas pada

pengetahuan tentang hasil-hasil fiqh bukan pada bagaimana proses menghasilkan

produk itu. Efek negatifnya adalah, siswa akan menjadi orang yang hanya

mengekor dalam melaksanakan fiqh, dan dapat menjadi orang yang fanatik buta

dalam berfiqh. Mereka tidak memiliki daya kritis dalam berfiqh.

Ketidakmampuan berpikir kritis ini disebabkan karena pembelajaran fiqh yang

bersifat ekspositoris atas produk-produk fiqh bukan pembelajaran yang didasarkan

pada pemahaman proses isthinbathy (proses menghasilkan produk fiqh). Hasil

wawancara prasurvey dengan guru-guru fiqh menunjukkan bahwa pembelajaran

fiqh cenderung ekspositoris, tidak mengeksplor potensi berpikir kritis siswa.

Pendekatan ushul fiqh hampir tidak digunakan dalam pembelajaran fiqh. Diakui

oleh guru-guru, bahwa kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fiqh

masih rendah. Wawancara secara acak dengan beberapa siswa dari kelas dan

Madrasah Aliyah yang berbeda menunjukkan bahwa mereka mengalami kesulitan

menjawab ketika diberikan pertanyaan problematik tentang persoalan fiqh.

Diakuinya bahwa kesulitan yang dialami lebih disebabkan karena kebiasaan

pembelajaran mereka yang cenderung informatif. Hal ini mengindikasikan bahwa

kemampuan berpikir kritis yang dimilikinya masih lemah.

Dengan demikian, persoalan mendasar mengenai pembelajaran fiqh adalah

bahwa siswa kurang atau bahkan tidak dikembangkan kemampuan berfikir

kritisnya. Padahal berfikir kritis adalah bagian penting dalam pembelajaran fiqh.

Ketidakmampuan siswa untuk berpikir kritis akan meyebabkan dampak negatif

bagi pemahaman dan penghayatan mereka terhadap fiqh. Dampak negatif itu

diindikasikan dengan pemahaman fiqh yang sempit dan pengamalan fiqh yang

bersifat taklid buta. Taklid buta dapat menimbulkan fanatisme bodoh yang

membabi buta. Dampak negatif lainnya adalah, siswa kurang atau tidak kuat

(10)

Kemampuan berpikir (kecerdasan) merupakan aktivitas mental akibat

diperolehnya pengetahuan dan pengalaman. Dari sisi biologi, Piaget (2003: 13)

berpendapat bahwa meningkatnya kemampuan berpikir beriringan dengan

semakin berfungsinya saraf-saraf otak. Ia mengkategorikan tiga tingkatan proses

berpikir yakni: pre-operational age pada masa kanak-kanak, concrete operational

age pada masa remaja dan formal operational stage pada orang dewasa. Ia

mengatakan bahwa tingkat formal operational tidak terbentuk secara utuh hingga

usia 15 tahun. Menjelang usia 15 tahun, seorang anak mungkin berperilaku

cognitive formal operational dalam satu situasi dan berperilaku cognitive concrete operational dalam situasi lain. Namun setelah berusia 15 tahun, perilaku kognitif mereka menjadi lebih konsisten. Bila didasarkan kepada tingkat perkembangan

kognitif yang dikemukakan oleh Piaget ini, maka usia siswa Madrasah Aliyah

sekolah menengah termasuk ke dalam tingkat berpikir operasional formal. Pada

tahap ini, proses berpikir kritis sudah dapat dikembangkan (Presseisen dalam

Costa, 1985: 25).

Merujuk pada teori Piaget tersebut, usia 15 tahun dijadikan patokan

bahwa seseorang telah mencapai tingkat kedewasaan berpikir dengan tiga ciri

utama yakni: hypothetico-deductive (berpikir hipotesis deduktif), scientific

(inductive) reasoning (berpikir kritis/induktif), dan reflective abstraction (berfikir reflektif) (Brainerd, 1978: 204). Usia 15 tahun adalah usia seseorang memiliki

kemampuan memadai untuk berpikir tinggi (dewasa); usia 15 tahun adalah usia

anak untuk masuk Sekolah Menengah Atas (Madrasah Aliyah). Dengan demikian

siswa Madrasah Aliyah telah memiliki kemampuan dasar untuk berpikir dewasa.

Namun dalam kenyataannya pola berpikir ini belum menunjukkan tingkat yang

memadai. Sikap mandiri dalam belajar pun belum tampak pada siswa Madrasah

Aliyah secara umum.

Dalam konteks teologis, Allah SWT. menghendaki umat Islam mampu

berpikir dengan baik. Hal ini terbukti istilah “berpikir” disebut berulang di

(11)

(Maqdisi, 1323 H.: 349). Menurut Shihab (2002: 41, vol. 13), makna “yatafakkarun” dalam ayat-ayat tersebut adalah merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah. Sedangkan al-Maraghi (1989: 257, Juz 25) mengartikan “yatafakkarun” tidak hanya memperhatikan dan memikirkan dengan benar tetapi juga mengambil pelajaran dari padanya. Pada ayat lain dalam al-Qur’an terdapat

kata “ulul albab” untuk menunjuk orang yang berpikir. Secara eksplisit tampak

jelas bahwa ayat-ayat tersebut menyuruh manusia untuk berpikir. Namun secara

implisit, ayat-ayat tersebut tidak sekadar mendorong manusia untuk berpikir,

tetapi juga mendorong manusia untuk membiasakan diri dengan kemampuan

berpikir tinggi di dalam memahami fenomena kehidupan sehari-hari.

Di samping menggunakan kata ”yatafakkarun”, kata yang memiliki makna

senafas dengan ”berfikir” adalah ”’aqala” mengandung arti memahami, dan berfikir (QS. 2: 242, Q.S. 8: 22, dan Q.S. 16: 11-12); kata ”nazhara” yang berarti melihat secara abstrak dalam arti berfikir dan merenungkan atau menalar (Q.S. 50:

6-7, Q.S.86: 5-7, Q.S.88: 17-20); kata ”tadabbara” mengandung arti merenungkan (Q.S.: 38: 29, Q.S.47: 12-13); dan masih banyak lagi (Sirajudin,

2004: 20-22).

Kemampuan berpikir kritis tidak bisa muncul dengan sendirinya dan

bukan kemampuan yang dibawa sejak lahir, tetapi merupakan kemampuan yang

dibentuk oleh pengalaman-pengalaman masa lalu (Asch, 2005: 585). Allport

(1963: 92-93) menegaskan bahwa kemampuan tersebut diperoleh melalui prinsip-prinsip belajar. O’Driscoll (1981: 279) menguatkan bahwa kemampuan berpikir berkembang sepanjang waktu dan menjadi semakin jelas dan halus melalui

gesekan-gesekan pengalaman, pengalaman yang semakin kuat sebagai hasil

kontak sesorang dengan benda atau situasi akan dapat mempengaruhi pola

pikirannya, dan pada gilirannya sikapnya pun akan berubah.

Ada beberapa faktor yang dapat menjadi kendala bagi berkembangnya

sikap kritis siswa yang terkait dengan praktek pendidikan yang berlangsung antara

lain: (1) sistem pendidikan kurang menempatkan IQ sebagai ukuran keberhasilan;

(2) praktek pendidikan lebih berorientasi pada ijazah dari pada penguasaan ilmu;

(12)

(4) motivasi membaca siswa rendah; (5) guru mengajar hanya sekadar memenuhi

kewajiban beban jam mengajar; (6) kegiatan belajar mengajar masih berorientasi

transfer of knowledge yang tidak konstruktivistik; (7) model pembelajaran yang digunakan guru masih pasif artinya tidak aktif, kreatif, inovatif, efektif dan

menyenangkan (Anonimous, 2005: 27).

Lalu lemahnya sumber daya guru (man behind the gun) dalam

pengembangan pendekatan dan metode yang lebih variatif, minimnya berbagai

sarana pelatihan dan pengembangan, serta rendahnya atau lemahnya kinerja

mereka dalam pembimbingan siswa, adalah faktor lain yang diasumsikan sebagai

persoalan yang menyebabkan lemahnya pembelajaran fiqh. Kompetensi dan

profesionalisme guru fiqh seringkali dipandang sebagai faktor lain yang

menyebabkan rendahnya kemampuan siswa berpikir kritis dalam pembelajaran

fiqh. Ketika guru sendiri sebagai pembelajar tidak atau kurang kompeten dan

kurang professional dalam pembelajaran, maka sulit diharapkan siswa mampu

meraih keberhasilan akademis itu. Dari sudut kualifikasi akademik, menurut

Firdaus, hasil penelitian menunjukkan kualitas lulusan madrasah 63 persen

dipengaruhi oleh kualitas guru, bukan manajemen ataupun fasilitas. Saat ini, 54

persen dari 628 ribu guru madrasah belum memenuhi kualifikasi minimal guru,

yakni pendidikan S-1 atau D-4. Serta sesuai antara kualifikasi bidang studi yang

pernah dipelajarinya dengan mata pelajaran yang diajarkan

(http://batakpos-online.com).

Tingkat kompetensi guru yang rendah bukanlah variabel tersendiri yang

independen, ia berkait dengan pertanyaan apakah guru sebagai pembelajar

mendapatkan pendidikan, pembinaan dan pelatihan metodologis ataupun materi

pembelajaran dari pengawas pendidikan yang bertugas dan berkewajiban

mengevaluasi dan mensupervisi mereka. Realitas objektif di lapangan

membuktikan bahwa pengawas pendidikan jarang sekali bahkan tidak

memberikan bimbingan dan pelatihan kepada guru tentang menciptakan

pembelajaran Fiqh yang baik dan konstruktif. Mereka cenderung melakukan

(13)

diberikan pengawasan administratif. Problem-problem pembelajaran sangat jarang

mendapatkan dukungan solusi dari mereka.

Dilihat dari perspektif analisis sistem, bahwa pembelajaran tidak lepas dari

aspek input, instrumental input, environmental input, dan proses yang

dilaksanakan (Djamaroh, 2000: 142). Aspek-aspek ini dalam banyak hal

mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran. Kondisi objektif raw input

Madrasah Aliyah, yakni siswa yang mengikuti pendidikan di dalamnya, sebagian

besar adalah siswa yang tidak diterima di sekolah-sekolah menengah negeri

(SMAN/SMKN). Salah satu penyebabnya adalah karena perolehan nilai UN yang

berada di bawah standar masuk ke sekolah-sekolah negeri. Kompas.Com-

(Kamis, 6 Mei 2010 ), melaporkan sebanyak 561 Sekolah Menengah Pertama

atau sekitar 1,31 persen dari total SMP di Indonesia dinyatakan lulus 0 persen.

Artinya, semua siswa peserta ujian dari sekolah-sekolah tersebut tidak lulus semua

dalam ujian nasional utama. Hal ini membuktikan bahwa mutu raw input yang

memasuki Madrasah Aliyah dapat dikatakan sebagai lulusan SMP/MTs/Paket B

yang memiliki keterbatasan kualitas. Di samping itu, raw input Madrasah Aliyah

banyak yang berasal dari lulusan SMP yang kurang memiliki kompetensi mata

pelajaran keagamaan. Kondisi-kondisi ini secara teoretik diasumsikan dapat

menyebabkan terjadinya kesulitan tersendiri bagi mereka dalam pembelajaran

fiqh. Dengan demikian problem pembelajaran fiqh dapat disebabkan oleh

persoalan raw input. Masukan mentah atau siswa (raw input) dengan segala

karakteristiknya merupakan bahan baku yang perlu diolah, dalam hal ini diberi

pengalaman belajar tertentu dalam proses belajar-mengajar (teaching learning

process). Dengan demikian, di dalam proses belajar-mengajar fiqh itu turut berpengaruh sejumlah faktor lingkungan yang merupakan masukan dari

lingkungan (environmental input) dan sejumlah faktor instrumental (instrumental

input) dengan disengaja dirancang dan dimanipulasikan guna menunjang tercapainya keluaran (output) yang dikehendaki. Berbagai faktor tersebut

berinteraksi satu sama lain dalam menghasilkan keluaran tertentu.

Fenomena-fenomena di atas diduga menjadi faktor-faktor yang

(14)

dicarikan jalan keluarnya. Setidaknya ada tiga alasan penting yang mendasarinya,

yakni: (1) kedudukan pengembangan sikap kritis siswa di Madrasah Aliyah

termasuk bidang tugas pendidikan umum yang menekankan pembahasan pada

perkembangan semua aspek kepribadian individu yang berfokus pada intelektual

(McConnel, 1952: 4); (2). Sikap kritis merupakan bagian dari kepribadian

manusia yang dinamis, hal ini diyakini Piaget (Brainerd, 1978: 15) sebagai salah

satu ujung perkembangan kognitif yang akan tumbuh bersamaan dengan tumbuh

dan kembangnya fisik dan kematangan saraf; dan (3) untuk mengembangkan

sikap kritis perlu diterapkan model pembelajaran yang sesuai dan mendukung.

Berangkat dari pemaparan di atas, diketahui bahwa siswa Madrasah

Aliyah seharusnya telah memiliki kemampuan dan kemandirian dalam berpikir

tingkat tinggi (formal operational stage) atau berpikir kritis. Namun dalam

kenyatannya, berpikir kritis mereka masih jauh dari harapan dan perlu dibina serta

dikembangkan secara serius.

B.Identifikasi dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Penelitian ini bertitik tolak dari kenyataan bahwa kemampuan berpikir

kritis siswa di Madrasah Aliyah dalam pembelajaran fiqh masih lemah. Padahal

kemampuan berpikir kritis merupakan aspek kepribadian yang secara teoretik

seharusnya telah dimiliki siswa pada usia Madrasah Aliyah. Ada faktor internal

dan faktor eksternal yang mempengaruhinya. Dari sisi internal, keterampilan

berpikir kritis merupakan perilaku yang dipengaruhi oleh karakter berpikir kritis

dan sejumlah faktor pendukung, yakni gender, usia dan GPA (Grade Point

Average) (Triandis dalam Rickets dan Rudd, 2005: 33-44). Sebuah penelitian korelasi yang dilaksanakan untuk mengetahui hubungan Grade Point Average

(GPA) dengan keterampilan berpikir kritis menghasilkan temuan korelasi sebesar 0,20 (Facione, 2008: 1-10). Juga penelitian yang dilakukan kepada mahasiswa

fakultas pertanian menunjukkan bahwa terdapat korelasi sebesar 0,23 antara GPA

dengan kemampuan menganalisis. Selain itu korelasi sebesar 0,19 terjadi antara

(15)

kemampuan mengevaluasi (Ricketts dan Rudd, 2005: 33-44). Walaupun angka

korelasi ini dikategorikan rendah, hasil penelitian ini secara ilmiah membuktikan

bahwa berpikir kritis dapat dipengaruhi oleh faktor internal yaitu potensi diri

siswa, gender, dan GPA.

Dari sisi eksternal, model pembelajaran diduga dapat menjadi faktor yang

mempengaruhi ketercapaian kemampuan berpikir kritis siswa. Hasil penelitian

dari para peneliti terdahulu menyimpulkan bahwa model-model pembelajaran

yang kognitivistik dan konstruktifistik cenderung dapat menumbuhkan dan

meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa (Snyder, 1993: 206-210;

Fakhrurozi, 2011: 76-88; Dwijananti et al, 2010: 108-114; Anuradha A. Gokhale,

1995: 1; Dan Bouhnik et al, 2009: 1-16). Kemampuan berpikir siswa juga dapat

dipengaruhi oleh metode pembelajaran yang biasa digunakan guru dalam proses

pembelajaran. Kecenderungan guru menggunakan metode-metode yang

ekspositoris menimbulkan siswa pasif belajar, siswa bersikap reseptif (menerima

informasi apa adanya dari guru), suasana belajar kurang menyenangkan, proses

pembelajaran kurang mengembangkan potensi keterampilan berpikir siswa.

Kurikulum yang dirancang dengan orientasi padat materi tanpa memperhatikan

unsur pengembangan potensi kepribadian siswa juga merupakan aspek eksternal

yang diduga menjadi penyebab lemahnya kemampuan berpikir siswa. Berbeda

jika metode yang digunakan guru bersifat eksploratif dan kurikulumnya tidak

subject matter oriented, maka siswa cenderung akan terbangkitkan daya pikir dan keterampilan berpikir kritisnya. Asumsi ini searah dengan kesimpulan hasil

penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa pada prakteknya penerapan proses

belajar mengajar kurang mendorong pada pencapaian kemampuan berpikir kritis.

Dua faktor penyebab berpikir kritis tidak berkembang selama pendidikan adalah

kurikulum yang umumnya dirancang dengan target materi yang luas sehingga

guru lebih terfokus pada penyelesaian materi dan kurangnya pemahaman guru

tentang metode pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis

(Anderson et al., 1997: 5-16; Bloomer, 1998: 37-62; Kember, 1997: 255-275;

(16)

Dari semua paparan di atas diketahui bahwa sesungguhnya banyak faktor

yang dapat mempengaruhi kemampuan berpikir siswa, baik faktor internal

maupun eksternal. Faktor internal yakni variabel raw input (siswa dengan semua

karakteristik fisik dan psikologisnya), sedangkan faktor eksternal adalah

instrumental input (guru, kurikulum, model pembelajaran, fasilitas, media, dan lain-lain), dan environmental input (lingkungan madrasah, pergaulan teman,

interaksi social secara umum). Melihat demikian banyaknya variabel yang dapat

mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran, maka masalah penelitian ini

dibatasi pada variabel model pembelajaran sebagai bagian dari variabel

instrumental input. Dan model pembelajaran dibatasi pada model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fiqh.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, masalah pokok dalam penelitian

ini adalah: ”Model pembelajaran seperti apakah yang cocok digunakan untuk

meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fiqh di

Madrasah Aliyah Kabupaten Bandung?”

Pendalaman terhadap permasalahan tersebut dapat diuraikan berdasarkan

pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1) Bagaimana kondisi pembelajaran fiqh yang selama ini dilakukan guru

Madrasah Aliyah di Kabupaten Bandung?

2) Model pembelajaran yang bagaimana yang dapat meningkatkan

kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fiqh di Madrasah

Aliyah Kabupaten Bandung?

3) Bagaimana efektivitas model pembelajaran yang dikembangkan dalam

meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dibandingkan dengan

model pembelajaran fiqh yang digunakan selama ini di Madrasah Aliyah

Kabupaten Bandung?

4) Apa faktor pendukung dan penghambat bagi model pembelajaran

yang dikembangkan dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis

siswa dalam pembelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten

(17)

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sebuah model

pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam

pembelajaran fiqh yang dirancang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran fiqh

dalam rangka meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kualitas implementasi

kurikulum fiqh sehingga dapat meningkatkan mutu kompetensi lulusan Madrasah

Aliyah di Kabupaten Bandung.

Secara khusus, tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Mengetahui kondisi pembelajaran fiqh yang selama ini dilakukan guru

Madrasah Aliyah di Kabupaten Bandung;

2. Menghasilkan bentuk model pembelajaran yang dapat meningkatkan

kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fiqh di Madrasah

Aliyah Kabupaten Bandung;

3. Memperoleh data empiris tentang efektivitas model pembelajaran yang

dikembangkan dibandingkan dengan model pembelajaran fiqh yang

digunakan guru selama ini di Madrasah Aliyah Kabupaten Bandung.

4. Mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat bagi model

pembelajaran yang dikembangkan dalam meningkatkan kemampuan

berpikir kritis siswa pada mata pelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah

Kabupaten Bandung?

D. Manfaat Penelitian

Secara teoretik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

teoretik terhadap pengembangan model pembelajaran yang konstruktivistik yang

bersifat students centered yang menitikberatkan keaktifan dan kreativitas siswa

secara maksimal mengkonstruksi pengetahuan dalam proses pembelajaran

sehingga siswa terbentuk kemampuan berpikir kritisnya.Teori konstruktivisme

Piaget (dalam Sanjaya, 2007: 227), meyakini bahwa pada dasarnya setiap individu

sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya

(18)

pengetahuan yang bermakna, sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh

melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna.

Pengetahuan tersebut hanya untuk sementara setelah itu dilupakan (Sanjaya, 2007:

227). Pendekatan kontrukstivis memandang siswa sebagai individu kreatif,

innovator dan ilmuwan kecil, siswa berusaha untuk menemukan atau membangun

(construct) pengetahuan baru (Fachrurrazy, 2001: 76-88).

Adapun secara praktik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat bagi guru sebagai pelaksana pembelajaran, siswa sebagai subjek belajar,

maupun lembaga sebagai penyelenggara pendidikan:

1. Memberikan pengetahuan baru bagi khazanah ilmu, khususnya keandalan

model pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir

kritis siswa dalam pembelajaran fiqh Madrasah Aliyah.

2. Memberikan wawasan baru tentang penerapan model pembelajaran untuk

pengembangan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fiqh.

3. Memberikan solusi alternatif bagi peningkatan sikap kritik siswa Madrasah

Aliyah dalam pembelajaran fiqh.

4. Membina dan mendorong munculnya generasi muda yang memiliki

kemandirian berpikir.

5. Memberikan solusi alternatif bagi madrasah dalam pengembangan

kemampuan berpikir kritis siswa melalui bidang-bidang studi yang ada.

6. Menyumbangkan manual praktik bagi guru dalam mengembangkan

kemampuan berpikir kritis siswa.

7. Memberikan masukan kepada pengembang kurikulum Madrasah Aliyah

untuk memasukkan pengembangan sikap kritis dalam pengembangan

kurikulum fiqh.

8. Menjadi bahan masukan dan referensi bagi peneliti lanjutan, khususnya

yang berkaitan dengan pengembangan model pembelajaran fiqh untuk

(19)

E. Paradigma Penelitian

Berdasarkan apa yang dikemukakan di dalam latar belakang masalah,

tampak bahwa masalah yang dihadapi dalam pembelajaran fiqh adalah masih

lemahnya kemampuan berpikir kritis siswa yang disebabkan oleh proses

pembelajaran yang kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengembangkan kemampuan berpikir kritis sebagai akibat dari kurangnya

pemahaman metodologis guru membelajarkan fiqh kepada siswa. Fiqh sebagai

sebuah studi hukum Islam sangat menghendaki pembelajaranya dengan

menggunakan model pembelajaran yang mampu menghasilkan kemampuan

berpikir kritis. Berpikir kritis adalah cara berpikir sistematis, logis, dan mengikuti

prosedur-prosedur ilmiah yang diakui. Kemampuan berpikir kritis pada diri siswa

akan mengantarkan mereka kepada pemahaman fiqh yang benar dan tepat.

Pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis perlu

mendayagunakan komponen-komponen sistem yang padu dan supportive. Dalam

pendekatan sistem, pembelajaran merupakan suatu kesatuan dari

komponen-komponen pembelajaran yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang

lain, karena satu sama lain saling mendukung. Komponen-komponen tersebut

dapat menunjang kualitas pembelajaran. Menurut Oemar Hamalik (2001: 77)

pembelajaran sebagai suatu sistem artinya suatu keseluruhan dari

komponen-komponen yang berinteraksi dan berinterelasi antara satu sama lain dan dengan

keseluruhan itu sendiri untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan

sebelumnya. Komponen-komponennya itu adalah siswa, guru, tujuan, materi,

metode, sarana/alat, evaluasi, dan lingkungan/konteks. Masing-masing komponen

itu sebagai bagian yang berdiri sendiri, namun dalam berproses pada kesatuan

sistem mereka saling bergantung dan bersama-sama untuk mencapai tujuan.

(Soetopo, 2005: 143).

Pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis juga perlu

teori pembelajaran yang mendukung tercapainya kemampuan tersebut. Teori

pembelajaran telah bergeser menempatkan siswa dalam proses pembelajaran.

Siswa yang semula dipandang sebagai objek pembelajaran bergeser sebagai

(20)

pembelajaran. Teori konstruktivisme Piaget (dalam Sanjaya, 2007: 227)

menawarkan pembelajaran yang menitikberatkan pada aktivitas siswa secara

dominan, guru bertindak sebagai fasilitator pembelajaran. Pembelajaran untuk

mengembangkan kemampuan berpikir kritis cocok dilandaskan pada teori

konstruktivisme ini.

Pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis

memerlukan kinerja guru yang optimal. Kompetensi dan profesionalisme sangat

berperan untuk mencapai tujuan itu. Kompetensi guru itu mencakup kemampuan

menguasai siswa, tujuan, metode pembelajaran, materi, cara mengevaluasi, alat

pembelajaran, dan menguasai lingkungan belajar (Soetopo, 2005: 144).

Peranannya pun sangat penting dalam proses belajar mangajar sebagai

demonstrator, lecturer (pengajar), (2) sebagai pengelola kelas, (3) sebagai mediator dan fasilitator, dan (4) sebagai motivator (Usman, 1990:7).

Tujuan yang harus dipahami oleh guru meliputi tujuan berjenjang mulai

dari tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan

umum pembelajaran sampai tujuan khusus pembelajaran. Tujuan disusun

berdasarkan ciri karakteristik anak dan arah yang ingin dicapai. Tujuan belajar

adalah sejumah hasil belajar yang menunjukkan bahwa siswa telah melakukan

perbuatan belajar, yang umumnya meliputi pengetahuan, keterampilan dan

sikap-sikap yang baru yang diharapkan tercapai oleh siswa (Hamalik, 2003: 73).

Lebih lanjut menurut Oemar Hamalik (2003: 73) bahwasannya komponen tujuan

pembelajaran, meliputi: (1) tingkah laku, (2) kondisi-kondisi tes, (3) standar

(ukuran) perilaku.

Materi pembelajaran dalam arti yang luas tidak hanya yang tertuang dalam

buku paket yang diwajibkan, akan tetapi mencakup keseluruhan materi

pembelajaran. Setiap aktivitas belajar-mengajar harus ada materinya. Materi

disusun berdasarkan tujuan dan karakteristik siswa.

Metode mengajar merupakan cara atau teknik penyampaian materi

pembelajaran yang harus dikuasai oleh guru. Metode mengajar ditetapkan

(21)

Agar materi pembelajaran lebih mudah dipahami oleh siswa, maka dalam

proses belajar-mengajar digunakan alat pembelajaran. Alat pembelajaran dapat

berupa benda yang sesungguhnya, imitasi, gambar, bagan, grafik, tabulasi dan

sebagainya yang dituangkan dalam media. Media itu dapat berupa alat elektronik,

alat cetak, dan tiruan. Menggunakan sarana atau alat pembelajaran harus

disesuaian dengan tujuan, anak, materi, dan metode pembelajaran. Oleh karena itu

diperlukan tenaga pengajar yang memiliki kemampuan dan kecakapan yang

memadai (Asnawir, 2002: 17) diperlukan tenaga pengajar yang handal dan

mempunyai kemampuan (capability) yang tinggi.

Evaluasi dapat digunakan untuk menyusun graduasi kemampuan anak

didik, sehingga ada penanda simbolik yang dilaporkan kepada semua pihak.

Evaluasi dilaksanakan secara komprehensif, obyektif, kooperatif, dan efektif. Dan

evaluasi dilaksanakan berpedoman pada tujuan dan materi pembelajaran.

Guru harus melakukan evaluasi terhadap hasil tes dan menetapkan standar

keberhasilan. Sebagai contoh, jika semua siswa sudah menguasai kompetensi

dasar, maka pelajaran dapat dilanjutkan dengan catatan guru memberikan

perbaikan (remedial) kepada siswa yang belum mencapai ketuntasan. Dengan

adanya evaluasi, maka dapat diketahui kompetensi dasar, materi, atau individu

yang belum mencapai ketuntasan (Madjid, 2006: 224).

Lingkungan pembelajaran merupakan komponen PBM yang sangat

penting demi suksesnya belajar siswa. Lingkungan ini mencakup lingkungan fisik,

lingkungan sosial, lingkungan alam, dan lingkungan psikologis pada waktu PBM

berlangsung. Semua komponen pembelajaran harus dikelola sedemikian rupa,

sehingga belajar siswa dapat maksimal untuk mencapai hasil yang maksimal pula.

Mengelola lingkungan pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas bukan

merupakan tugas yang ringan. Oleh karenanya guru harus banyak belajar. Doyle

(1986: 15) berpendapat bahwa hal-hal yang menyebabkan pengelolaan kelas

mempunyai beberapa dimensi, yakni dimensi fisik dan non fisik. Seperti

penelitian yang dilakukan oleh Emersen, Everston dan Anderson (1980: 1-10),

peristiwa yang terjadi pada waktu awal-awal sekolah banyak berpengaruh

(22)

Arikunto (1993: 216) berpendapat bahwa unsur-unsur atau

komponen-komponen yang dapat mendukung kualitas pembelajaran, perlu diperhatikan

unsur-unsur yang secara langsung berkaiatan dengan berlangsungnya proses

belajar tersebut yang terdiri atas enam komponen, yaitu: guru, siswa, kurikulum,

konteks, metode, dan sarana. Kalau dicermati lebih jauh, komponen kurikulum

yang dipakai oleh Arikunto mengisyaratkan adanya evaluasi, karena dalam

perencanaan kurikulum pasti terdapat evaluasi.

Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, para ahli

pembelajaran telah menyarankan penggunaan paradigma pembelajaran

konstruktivistik untuk kegiatan belajar-mengajar di kelas. Dengan perubahan

paradigma belajar tersebut terjadi perubahan pusat (fokus) pembelajaran dari

belajar berpusat pada guru kepada belajar berpusat pada siswa. Dengan kata lain,

ketika mengajar di kelas, guru harus berupaya menciptakan kondisi lingkungan

belajar yang dapat membelajarkan siswa, dapat mendorong siswa belajar, atau

memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif mengkonstruksi

konsep-konsep yang dipelajarinya. Kondisi belajar dimana siswa hanya menerima materi

dari pengajar, mencatat, dan menghafalkannya harus diubah menjadi sharing

pengetahuan, mencari (inquiry), menemukan pengetahuan secara aktif sehingga

terjadi peningkatan pemahaman (bukan ingatan). Untuk mencapai tujuan tersebut,

pendekatan, strategi, model, atau metode pembelajaran yang inovatif dan

konstruktivistik dapat menjadi solusi.

Teori pembelajaran konstruktivisme menyarankan proses pembelajaran

untuk menempatkan siswa berperan dominan sebagai subjek yang mengkonstruksi

pengetahuannya berdasarkan pengalaman yang telah dimilikinya. Bagi

konstruktivisme, pengetahuan seseorang merupakan hasil konstruksinya sendiri

(Von Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2001:3). Guru lebih diposisikan sebagai

fasiltator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi

pengetahuannya sendiri (Hudojo, 1998:5-6), menstimulasi dan memotivasi,

mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta menyediakan pengalaman

untuk menumbuhkan pemahaman siswa (Suherman, 2001:76), menyediakan dan

(23)

aktif sehingga siswa dapat menciptakan, membangun, mendiskusikan,

membandingkan, bekerja sama, dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan

belajarnya (Setyosari, 2009: 53).

Pembelajaran berpikir kritis diarahkan kepada upaya membangun

kemampuan siswa melakukan aktivitas deskripsi, analisis dan evaluasi (John

Hilsdon, 2009: 1-9). Outcomes yang diharapkan melalui pembelajaran yang

konstruktivistik-kognitivistik yang menempatkan siswa sebagai subjek belajar

yang secara dominan melakukan kegiatan pembelajaran, adalah keterampilan

intelektual (intellectual skills), strategi kognitif (cognitive strategy), informasi

verbal (verbal information), keterampilan motorik (motor skills), dan sikap

(attitudes) (Gagne, 1992: 43-48). Outcomes pembelajaran oleh Joyce (1992:

156-157) dikategorikan ke dalam dua kategori, yaitu instructional effects dan

nurturant effects. Instructional Effects adalah dampak langsung pembelajaran, sedangkan nurturant effects adalah dampak tidak langsung dari pembelajaran

(efek pengiring). Dalam penelitian ini, keterampilan intelektual, strategi kognitif,

informasi verbal, keterampilan motorik, dan sikap termasuk dalam kategori

instructional effects, sedangkan kemampuan deskripsi, analisis, dan evaluasi termasuk dalam kategori nurturant effects. Untuk mencapai outcomes yang

diharapkan, Gagne (1992: 190-198) mengajukan sembilan peristiwa pembelajaran

yang harus dilalui, yakni:

a. Gaining Attention; yaitu upaya atau cara guru untuk meraih perhatian siswa.

b. Informing learner of the objectives; memberitahukan siswa tujuan pembelajaran yang akan mereka capai/peroleh;

c. Stimulating recall of prior learning; guru biasa menyebutnya dengan appersepsi, yaitu merangsang siswa untuk mengingat pelajaran terkait sebelumnya dan menghubungkannya dengan apa yang akan dipelajari berikutnya;

d. Presenting stimulus; setelah itu mulailah dengan menyajikan stimulus; e. Providing learning guidance; berikan bimbingan belajar;

f. Eliciting performance; tingkatkan kinerja; g. Providing feed back; alias berikan umpan balik;

h. Assessing performance; ukur capaian hasil belajar mereka;

(24)

Merujuk pada pemaparan di atas, secara sederhana paradigma yang

dikembangkan pada penelitian ini, dapat dapat digambarkan pada bagan 1.1

berikut ini.

ANTECENDENT PROCESS INSTRUCTIONAL OUTCOMES

Bagan 1.1

Paradigma Penelitian

F. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian dan pengembangan

atau Reserarch and Development (R & D), yaitu suatu proses untuk

mengembangkan dan memvalidasi produk berupa model pembelajaran untuk

meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Research and Development

dilakukan melalui langkah-langkah: Pertama; melakukan survey awal yang

kemudian dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk penyusunan model

pembelajaran yang dikembangkan. Kedua; mengembangkan model yang

disesuaikan dengan situasi dan kondisi lapangan. Ketiga; melakukan uji validasi,

yakni bahwa hasil dari pengembangan model pembelajaran tersebut, kemudian

diuji validasi untuk memperoleh gambaran tingkat efektivitas model dalam

rangka meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Produk pengembangan Kurikulum

Fiqh

Model Pembelajaran Fiqh yang Dikembangkan

Sarana & Prasarana Guru

1. Intellectual skills 2. Cognitive

strategies 3. Verbal

information 4. Motor skills 5. Attitude

Kemampuan Deskripsi

Kemampuan Analisis

Kemampuan Evaluasi Instructional

Effects

Nurturant Effects

(25)

ini berupa model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir

kritis siswa.

G. Struktur Organisasi Disertasi

Secara sistematis dan kronologis, pembahasan disertasi ini dirinci menjadi

lima bab. Bab I, adalah pendahuluan yang mengemukakan tentang latar belakang

masalah, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, dan paradigma penelitian, metode penelitian secara singkat, dan

struktur organisasi disertasi. Bab II, tentang kajian pustaka yang membahas

landasan teoretik penelitian meliputi: hakekat pendidikan Madrasah Aliyah,

hakekat fiqh, hakekat pembelajaran, hakekat berpikir kritis, dan penelitian

terdahulu yang relevan. Bab III, mengemukakan metode penelitian yang berisi

tentang metode penelitian yang digunakan, lokasi dan subjek penelitian, definisi

operasional, instrument penelitian, analisis data, tahap-tahap pelaksanaan

penelitian. Bab IV, hasil penelitian dan pembahasan. Pada bab ini secara rinci

dibahas tentang hasil studi pendahuluan, pengembangan model pembelajaran,

efektivitas model pembelajaran, faktor pendukung dan penghambat, dan

pembahasan hasil penelitian. Dan bab V, penutup. Di dalamnya dikemukakan

(26)

BAB III

PROSEDUR PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini ditempuh melalui tahapan: (1) preliminary research

(penelitian pendahuluan); (2) pengembangan model dan instrumen; (3) penelitian

utama untuk pengujian model. Dari tahapan ini, ada dua kegiatan penelitian yakni

penelitian pendahuluan dengan metode penelitian deskriptif dan penelitian utama

dengan metode penelitian kuasi-eksperimen. Tahapan ini sesuai dengan teori

Borg dan Gall (1989: 782) yang disederhanakan oleh Sukmadinata (2005: 164)

tentang penelitian berbentuk Research and Development (penelitian dan

pengembangan).

Research and Development dalam penelitian ini dimanfaatkan untuk menghasilkan model pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan kemampuan

berfikir kritis siswa dalam pembelajaran fiqh di Madrasah Aliyah. Penerapan

Research and Development dalam penelitian ini bertujuan selain untuk memberikan perubahan, juga untuk memecahkan masalah pembelajaran fiqh

dalam kaitan peningkatan kemampuan berfikir kritis siswa.

Mengacu kepada langkah-langkah yang dikembangkan oleh Borg and Gall

di atas, Sukmadinata (2005: 164) menyederhanakan langkah-langkah yang

dilakukan dalam penelitian dan pengembangan, adalah:

1. Penelitian dan pengumpulan informasi dalam bentuk penelitian

pendahuluan.

2. Pengembangan model pembelajaran di lapangan. Melalui tahap uji coba

dan revisi yang menggunakan pendekatan kolaboratif dengan guru, akan

diperoleh suatu produk berupa model pembelajaran untuk mata pelajaran

fiqh.

3. Pengujian model dilakukan dalam bentuk uji validasi, sehingga pada

akhirnya diperoleh suatu model pembelajaran yang siap untuk

(27)

Dengan demikian langkah-langkah penelitian dan pengembangan ini dapat

digambarkan sebagaimana tampak dalam bagan 3.1 berikut.

Studi Pendahuluan Pengembangan Model/ Produk Validasi Model/ Produk

Bagan 3.1

Langkah-Langkah Penelitian dan Pengembangan

1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan atau prasurvey merupakan kegiatan penelitian

yang bersifat deskriptif dan tidak untuk menguji hipotesis. Melalui penelitian

prasurvey ini diungkap jawaban pertanyaan apa, bagaimana, berapa, dan bukan

pertanyaan mengapa. Pada tahap ini dilakukan penelitian terhadap proses

pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru di kelas untuk merefleksi terhadap

bagaimana proses pembelajaran Fiqh yang biasa dilakukan. Aspek-aspek yang

diteliti pada tahap prasurvey ini adalah (1) desain dan penerapan pembelajaran

yang telah dilakukan oleh guru, (2) kemampuan dan aktivitas belajar siswa, (3)

kemampuan dan kinerja guru, (4) kondisi dan pemanfaatan sarana, fasilitas dan

lingkungan.

Hasil studi awal ini digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk

mengembangkan model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir

kritis dalam implementasi kurikulum fiqh di Madrasah Aliyah yang sesuai dengan Studi

Kepustakaan

Survey Lapangan - Embrio Model

- Kondisi Guru

- Sarana dan Pasilitas Model Hipotetik

Uji Coba Model Uji Kepatutan

Model

Eksperimen Pre Test Treatmen Post Test

(28)

kondisi dan lingkungan setempat. Di samping itu hasil penelitian prasurvey ini

juga digunakan untuk memilih dan menetapkan lokasi Madrasah Aliyah di

Kabupaten Bandung sebagai tempat dilakukannya penelitian pengembangan.

2. Pengembangan Model Pembelajaran

Berdasarkan hasil studi pendahuluan dan mengacu kepada

landasan-landasan teori hasil kajian pustaka maka disusun draf awal model pembelajaran

dalam rangka meningkatkan kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran fiqh

yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada di lapangan. Draf awal

direview melalui diskusi bersama para pembimbing dan teman-teman sejurusan

sehingga menghasilkan draf model yang kemudian diuji kelayakan/ kepatutan

oleh ahli (pakar) pembelajaran dan praktisi pembelajaran fiqh. Draf model yang

dikembangkan dalam penelitian ini diujicobakan berulang-ulang dalam bentuk uji

coba terbatas dan luas sampai ditemukan model yang sesuai dengan kondisi

lapangan. Sejalan dengan pelaksanaan uji coba dilakukan pengamatan, hasil dari

pengamatan ini digunakan sebagai bahan untuk merevisi model yang akan

diujicobakan pada tahap berikutnya. Untuk mengetahui hasil belajar setiap selesai

uji coba diberikan posttest.

3. Pengujian Model Pembelajaran

Dalam pengujian model, dilakukan uji validasi terhadap model

pembelajaran yang telah dikembangkan tersebut. Aspek-aspek yang diteliti dalam

tahap ini adalah (1) dampak penerapan model terhadap kinerja guru, dan (2)

dampak penerapan model terhadap kemampuan belajar siswa. Uji validasi

dilakukan pada Tengah Semester Kedua, dan sebelum dilakukan uji validasi

model terlebih dahulu dilakukan pre-test, kemudian setelah model

diimplementasikan dilakukan post-test untuk kemudian kedua hasil tersebut

(yakni hasil pre-test dan post-test) dibandingkan.

B. Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Madrasah Aliyah Kabupaten Bandung.

(29)

Madrasah Aliyah di Kabupaten Bandung. Sampling (penetapan sampel) terhadap

populasi ini dilakukan sebagai berikut:

1. Dalam penelitian prasurvey, yang menjadi subjek penelitiannya adalah

guru Mata Pelajaran Fiqh Madrasah Aliyah di Kabupaten Bandung yang

mengajar di kelas XI dan siswa Madrasah Aliyah kelas XI dengan tujuan

untuk memperoleh gambaran proses belajar mengajar yang berlangsung

dan terjadi selama ini. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik

purposive sampling, yakni 6 Madrasah Aliyah di Kabupaten Bandung dari

jumlah 25 Madrasah Aliyah. Dari masing-masing Madrasah Aliyah yang

telah ditentukan tersebut diambil Kelas XI secara purposive sampling.

Asumsinya adalah bahwa madrasah-madrasah ini akan memberikan

[image:29.595.125.518.148.573.2]

informasi yang tepat. Sampel dimaksud tercantum dalam table 3.1 berikut.

Table 3.1

Daftar Subjek Penelitian Prasurvey

Nama Madrasah Guru Siswa Keterangan

MAN Majalaya 1 40 KKM MAN MJL

MA Al-Falah Nagreg 1 25 KKM MAN MJL

MA Wasilatul Huda Cicalengka 1 35 KKM MAN MJL

MA Al-Ikhlas Cicalengka 1 30 KKM MAN MJL

MA Al-Jawami Cileunyi 1 40 KKM MAN MJL

MAAl-Hidayah Cikancung 1 30 KKM MAN MJL

6 200

2. Dari enam Madrasah Aliyah yang dijadikan subjek penelitian prasurvey,

dilakukan penetapan satu Madrasah Aliyah yang akan dijadikan subjek

penelitian pengembangan, yakni tempat dilakukannya uji coba model

pembelajaran pada level terbatas untuk meningkatkan berpikir kritis dalam

pembelajaran Fiqh. Teknik penarikan sampelnya juga menggunakan

teknik purposive sampling. Penetapan ini didasarkan atas kemungkinan

dapat dilakukannya uji coba, artinya adanya kemauan untuk bekerja sama

dari pihak guru untuk melaksanaakan pembelajaran sesuai dengan model

pembelajaran yang dikembangkan. Faktor kerja sama ini dianggap

(30)

menjadi faktor penentu keberhasilan. Uji coba terbatas dilakukan di

Madrasah Aliyah Al-Falah Nagreg Kabupaten Bandung. Selanjutnya

untuk uji coba luas dilakukan di tiga Madrasah Aliyah, yakni MAN

Majalaya, MA Al-Falah, dan MA Wasilatul Huda.

3. Setelah tahap proses uji coba selesai, lalu dilakukan uji validasi. Penetapan

sampel baik terhadap kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol

dilakukan dengan purposive sampling dari Madrasah Aliyah tersebut di

atas. Madrasah Aliyah yang dipilih sebagai sampel dapat dilihat pada table

[image:30.595.123.516.151.540.2]

3.2 sebagai berikut.

Table 3.2

Sampel Madrasah untuk Penelitian Uji Validasi

Kelompok Madrasah Kelompok Eksperimen Jumlah Siswa Kelompok Kontrol Jumlah Siswa

A MAN

Majalaya

40 MA Al-Jawami Cileunyi

40

B MA Al-Falah

Nagreg

25 MA Al-Ikhlash Cicalengka

30

C MA

Wasilatul Huda

35 MA Al-Hidayah Cikancung

30

Jumlah 100 100

C. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesimpangsiuran dan kesalahpahaman terhadap

penelitian ini, terdapat dua istilah yang dianggap perlu dijelaskan yaitu; model

pembelajaran, dan berpikir kritis. Kedua istilah tersebut akan dijelaskan pada

bagian ini yang berkaitan dengan kajian teoretik yang telah dipaparkan pada bab

II sehingga dapat dilihat relevansinya.

1. Model Pembelajaran

Model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran fiqh,

yakni sebuah rancangan atau pola yang digunakan untuk mendesain pembelajaran

fiqh yang interaktif di dalam ruang kelas. Model pembelajaran memandu guru

ketika ia mendesain pembelajaran untuk membantu siswa mencapai tujuan-tujuan

(31)

Model pembelajaran fiqh ini dibangun atas empat komponen yakni fokus,

sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, dan sistem dukungan. Dalam pengembangan

model pembelajaran ini, fokus dimaksudkan sebagai kerangka referensi di mana

model itu dikembangkan. Fokus merupakan tesis utama yang menentukan

kombinasi dan hubungan proses yang bermacam-macam, syarat-syarat dan

faktor-faktor yang dibangun di dalam model. Tujuan pembelajaran dan aspek-aspek

lingkungan, umumnya membangun fokus model. Apa yang menjadi tujuan untuk

dicapai dalam pengembangan model ini adalah fokus model. Dengan demikian,

fokus merupakan aspek sentral dari model pembelajaran. Kemampuan berpikir

kritis siswa adalah fokus model pembelajaran fiqh.

Model pembelajaran fiqh untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis

ini juga dibangun atas sintaks (syntax), yakni tahapan atau pemfasean (phasing)

model, atau deskripsi pelaksanaan model yakni berupa kegiatan-kegiatan yang

diorganisasikan untuk kepentingan belajar. Dengan demikian, sintaks model

pembelajaran fiqh ini berisi sekuensi langkah-langkah yang terlibat dalam

organisasi program pengajaran yang lengkap untuk menuju fokus (kemampuan

berpikir kritis). Sintaks dibagi ke dalam tiga bagian, yakni kegiatan pendahuluan

(kegiatan memotivasi, komunikasi tujuan, scaffolding, fasilitasi belajar); kegiatan

inti (deskripsi, analisis, dan evaluasi); dan kegiatan penutup (konfirmasi deskripsi,

konfirmasi analisis, dan konfirmasi evaluasi).

Sistem sosial (social system) yang dikembangkan dalam model

pembelajaran ini adalah peran-peran yang dilakukan oleh guru dan siswa,

terutama hubungan hirarki atau hubungan otoritas, dan norma-norma atau tingkah

laku siswa yang di-reward. Guru secara dominan berperan sebagai fasilitator

pembelajaran, dan siswa berperan sebagai subjek belajar yang secara aktif

melakukan aktivitas pembelajaran yang dipandu dan difasilitasi oleh guru. Peran

(32)

Sedangkan siswa secara dominan melakukan kegiatan pembelajaran (yakni

melakukan aktivitas deskripsi, analisis, dan evaluasi) pada kegiatan inti.

Prinsip reaksi (principles of reaction) dalam model pembelajaran fiqh

yang dikembangkan ini adalah cara-cara guru fiqh memberikan peluang kepada

siswa untuk belajar dan merespon terhadap apa yang dilakukan siswa. Aktivitas

memotivasi, menyampaikan tujuan pembelajaran, melakukan scaffolding,

memberikan bimbingan, memberikan fasilitasi, dan melakukan konfirmasi adalah

bagian dari sistem reaksi yang dibangun dalam model pembelajaran ini.

Sedangkan sistem dukungan (support system) dalam pengembangan model

pembelajaran fiqh untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa ini

adalah dengan penyediaan fasilitas oleh guru dan siswa untuk bisa

mengimplementasikan model pembelajaran tersebut dengan sukses. Ketersedian

buku-buku paket fiqh, lembar kerja siswa, al-Qur’an dan terjemahnya, kitab-kitab

fiqh, dan sumber-sumber lainnya diadakan untuk mempermudah proses

pembelajaran. Di samping itu, setting lingkungan belajar juga dikondidisikan

secara kondusif untuk mendukung terjadinya kegiatan pembelajaran yang aktif,

efektif dan produktif. Semua ini menjadi system dukungan yang berarti bagi

pelaksanaan model pembelajaran yang dikembangkan ini.

Berdasarkan pemaparan di atas model pembelajaran fiqh yang

dikembangkan ini memiliki karakteristik rasional teoretis logis, yakni didasarkan

pada teori pembelajaran kognitif-konstruktifistik; landasan pemikiran tentang apa

dan bagaimana peserta didik belajar (sistem sosial berupa pembagian peran guru

dan peran siswa, serta tujuan pembelajaran yang akan dicapai yakni sasaran untuk

mencapai kemampuan berpikir kritis); tingkah laku pembelajaran yang diperlukan

agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan setting lingkungan

belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Model pembelajaran akan establish dan dapat aplikasikan untuk memola

pembelajaran bila memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif. Validitas model

(33)

didasarkan pada rasional teoretik yang kuat; dan (2) apakah terdapat konsistensi

internal. Kepraktisan model hanya dapat dipenuhi jika: (1) para ahli dan praktisi

menyatakan bahwa apa yang dikembangkan dapat diterapkan; dan (2) kenyataan

menunjukan bahwa apa yang dikembangkan tersebut dapat diterapkan. Efektivitas

model berkait dengan aspek efektivitas ini dengan parameter: (1) ahli dan praktisi

berdasar pada pengalamannya menyatakan bahwa model tersebut efektif; dan (2)

secara operasional model tersebut memberikan hasil sesuai dengan yang

diharapkan. Validitas model pembelajaran fiqh untuk meningkatkan kemampuan

berpikir kritis siswa akan diuji melalui uji coba terbatas dan luas, dan uji validasi

model. Kepraktisan model akan diuji melalui uji kelayakan dan kepatutan oleh

praktisi dan ahli. Sedangkan efektivitas model akan diuji melalui uji validasi

dengan eksperimen.

Mengacu kepada paparan di atas, maka model pembelajaran fiqh untuk

meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa ini merupakan kerangka

konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan

pengalaman belajar siswa untuk mencapai tujuan belajar fiqh (instructional effects

dan nurturant effects), dan berfungsi menjadi pedoman bagi guru fiqh sebagai perancang pembelajaran dalam merencanakan aktivitas pembelajaran, sehingga

dapat memberikan kerangka dan arah bagi guru fiqh dalam implementasi

pembelajaran fiqh. Dengan demikian, aktivitas pembelajaran benar-benar

merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis.

2. Berpikir Kritis

Operasionalisasi berpikir kritis dalam penelitian ini adalah kemampuan

kognitif siswa dalam hal kemampuan mendeskripsikan, menganalisis, dan

mengevaluasi tentang suatu hal. Kemampuan mendeskripsikan terindikasi dalam

kemampuan-kemamampuan operasional seperti mampu menjelaskan,

mengidentifikasi, dan mendefinisikan. Kemampuan menganalisis dindikasikan

dalam kemampuan operasional seperti menguraikan, berargumentasi,

membandingkan, dan membedakan. Sedangkan kemampuan mengevalusi

diindikasikan dalam keampuan operasional seperti mengkritik, menilia,

(34)

Berpikir kritis dalam pembelajaran fiqh pada dasarnya adalah

memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan

pembelajaran fiqh. Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan,

mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran. Berpikir kritis

merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan

masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan, dan

membuat keputusan ketika menggunakan semua keterampilan tersebut secara

efektif dalam konteks dan tipe yang tepat. Berpikir kritis juga merupakan kegiatan

mengevaluasi, mempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil manakala

menentukan beberapa faktor pendukung untuk membuat keputusan. Berpikir kritis

juga biasa disebut directed thinking, sebab berpikir langsung kepada fokus yang

akan dituju.

Dalam pembelajaran fiqh, berpikir kritis merupakan salah satu proses

berpikir tingkat tinggi yang dapat digunakan dalam pembentukan sistem

konseptual siswa tentang fiqh. Dengan demikian berpikir kritis dalam

pembelajaran fiqh merupakan cara berpikir reflektif yang masuk akal atau

berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini

dan dilakukan tentang konsep-konsep fiqh. Bila dicermati secara mendalam, ada

lima perilaku yang sistematis dalam berpikir kritis dalam kaitannya dengan

pembelajaran fiqh. Perilaku tersebut adalah keterampilan menganalisis,

mensintesis, memecahkan masalah, menyimpulkan, dan mengevaluasi. Perilaku

ini berada dalam domain kognitif dalam taksonomi Bloom.

Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan atau

keterampilan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fiqh pada prinsipnya dapat

diukur melalui indikator kemampuan mendeskripsikan, menganalisis, dan

mengevaluasi tentang suatu konsep yang terkait dengan fiqh. Kemampuan

(35)

pembelajaran fiqh. Dengan demikian, untuk mengukur kemampuan berpikir kritis

siswa dapat dilakukan melalui pengujian kemampuan mendeskripsikan konsep,

menganalisis konsep, dan mengevaluasi konsep. Tiga kategori kemampuan inilah

yang menjadi patokan penulis dalam mendefinisikan berpikir kritis untuk

kepentingan penelitian disertasi ini. Kesimpulan inilah yang menjadi dasar

operasionalisasi berpikir kritis.

D. Teknik Pengumpulan Data dan Pengembangan Instrumen

Penelitian ini memfokuskan pada tiga hal, yakni (1) penelitian prasurvey,

yaitu meneliti kondis

Gambar

Table 3.1 Daftar Subjek Penelitian Prasurvey
Table 3.2 Sampel Madrasah untuk Penelitian Uji Validasi
Tabel 3.3 Materi Fiqh MA Semester 2

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, untuk mengetahui hasil analisis kekuatan konstruksi pelat berpenegar pada setiap variasi profil penegar, penulis melakukan penelitian dengan judul “

No Nomor Peserta Nama Asal Sekolah

Sharp (1964), Litner (1965), Mossin (1966) memperkenalkan Capital Asset Pricing Model (CAPM) yang merupakan salah satu model penilaian aset yang menggambarkan hubungan

Dalam pemilihan citra uji ini, sebagian besar citra dari data Vistex digunakan sebagai basis data untuk proses pembelajaran dan beberapa di antaranya digunakan sebagai citra uji

Untuk perancangan sistem Pengaman Motor menggunakan Smartcard ini, hardware yang di gunakan adalah Arduino Uno yang digunakan sebagai otak dari sistem ini dan

[r]

Akan tetapi, primer tersebut tidak dapat digunakan untuk deteksi LAMP karena terjadi false positive. Primer outer yang didesain dalam penelitian ini masih dapat dikembangkan

Seperti yang telah dituliskan pada penjelasan sebelumnya, bahwasanya ilmu tauhid adalah ilmu ketuhanan yang mengupayakan menyediakan penjelasan yang