JUDUL ………..i
LEMBAR PENGESAHAN ...………...………ii
LEMBAR PERNYATAAN ...………...………..iv
UCAPAN TERIMAKASIH ..………...………..v
ABSTRAK …....………..………viii DAFTAR ISI ...………..……….x
DAFTAR TABEL ..……….………...…xiii
DAFTAR GAMBAR ...……….xvi
DAFTAR LAMPIRAN …..……….………xviii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...…. 1
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah………. 11
C. Tujuan Penelitian…..………. 14
D. Manfaat Penelitian………... 14
E. Paradigma Penelitian………...….. 16
F. Metode Penelitian…….………. 21
G. Struktur Organisasi Disertasi………. 22
BAB II KAJIAN TEORETIK
A. Hakekat Pendidikan Madrasah Aliyah………..
1. Pengertian Madrasah Aliyah………
2. Tujuan Pendidikan Madrasah Aliyah………..
3. Kurikulum Madrasah Aliyah………...
4. Kompetensi Siswa Madrasah Aliyah………..
23
23
27
28
34
B. Hakekat Fiqh………..
1. Pengertian dan Hal Ihwal Fiqh………
2. Tujuan Fiqh di Madrasah Aliyah……….
3. Materi Fiqh bagi Siswa Madrasah Aliyah………...
37
37
42
5. Standar Kompetensi Lulusan, Standar Kompetensi,
Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Fiqh Madrasah Aliyah 48
C. Hakekat Pembelajaran………...
1. Definisi Pembelajaran………..
2. Teori Pembelajaran………..
a. Teori Kognitif………
b. Teori Konstruktivisme………...
Hasil Pembelajaran……….. Model Pembelajaran………
50
50
57
57
66
70
76
D. Hakekat Berpikir Kritis………... 87
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan………... 98
BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. Metode Penelitian………... 102
B. Lokasi dan Subjek Penelitian……… 104
C. Definisi Operasional……….. 106
D. Teknik Pengumpulan Data dan Pengembangan Instrumen….. 111
E. Analisis Data……….. 115
F. Tahap-tahap Pelaksanaan Penelitian……….. 116
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Studi Pendahuluan……… 121
B. Pengembangan Model Pembelajaran……… 157
C. Efektivitas Model………... 235
D. Faktor Pendukung dan Penghambat……….. 259
E. Pembahasan Hasil Penelitian………..………... 264
3
B. Implikasi……… 303
C. Rekomendasi……….. 306
DAFTAR PUSTAKA……….. 308
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mata pelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah adalah salah satu mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam (PAI) yang merupakan peningkatan dari fiqh yang telah
dipelajari oleh siswa di Madrasah Tsanawiyah/SMP. Peningkatan tersebut
dilakukan dengan cara mempelajari, memperdalam serta memperkaya kajian fiqh
baik yang menyangkut aspek ibadah maupun muamalah, yang dilandasi oleh
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah ushul fiqh serta menggali tujuan dan
hikmahnya, sebagai persiapan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi
dan untuk hidup bermasyarakat (Depag, 2006: 13).
Secara substansial mata pelajaran Fiqh memiliki kontribusi dalam
memberikan motivasi kepada siswa untuk mempraktikkan dan menerapkan
hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagai perwujudan keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan
diri manusia itu sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya ataupun
lingkungannya.
Selaras dengan pernyataan di atas, mata pelajaran Fiqh di Madrasah
Aliyah bertujuan untuk: (1) mengetahui dan memahami prinsip-prinsip,
kaidah-kaidah dan tata cara pelaksanaan hukum Islam baik yang menyangkut aspek
ibadah maupun muamalah untuk dijadikan pedoman hidup dalam kehidupan
pribadi dan sosial; (2) melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam
dengan benar dan baik, sebagai perwujudan dari ketaatan dalam menjalankan
ajaran agama Islam baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan
diri manusia itu sendiri, sesama manusia, dan makhluk lainnya maupun hubungan
dengan lingkungannya; (3) mengenal, memahami, dan menghayati terhadap
sumber hukum Islam dengan memanfaatkan ushul fiqh sebagai metode penetapan
dan pengembangan hukum Islam dari sumbernya; (4) menerapkan kaidah-kaidah
dan dalil-dalil syara’ dalam rangka melahirkan hukum Islam yang diambil dari
Berdasarkan deskripsi tujuan tersebut, fiqh adalah salah satu aspek dari
Pendidikan Agama Islam yang memiliki makna strategis dan fungsional bagi
kehidupan sehari-hari manusia muslim dalam kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu fiqh perlu dibelajarkan kepada siswa
dengan pendekatan yang efektif. Sebagai bagian dari Pendidikan Agama Islam
(PAI), pendekatan pembelajaran fiqh yang digunakan sama dengan pendekatan
pembelajaran PAI pada umumnya, yakni pendekatan keimanan, pengamalan,
pembiasaan, rasional, emosional, fungsional, dan keteladanan (Puskur, 2003: 13).
Pendekatan keimanan dalam pembelajaran fiqh digunakan karena fiqh
adalah pemahaman hukum-hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan
al-Hadits yang diyakini bahwa keduanya adalah wahyu yang datang dari Allah
SWT. Keyakinan kepada Allah SWT adalah langkah awal dan mendasar serta
menjadi fondasi dalam memahami fiqh. Fiqh juga bukan semata pemahaman
terhadap hukum-hukum Islam, melainkan juga pelaksanaannya dalam kehidupan
sehari berdasarkan atas pemahaman terhadap hukum-hukum Islam tersebut.
Pendekatan pengamalan digunakan dalam pembelajaran fiqh, karena fiqh sendiri
adalah ilmu tentang amaliah/perbuatan yang menekankan demonstrasi perbuatan.
Berfiqh adalah berbuat, tanpa berbuat berarti tidak berfiqh.
Di samping itu, pembelajaran fiqh menghendaki adanya pembiasaan
pelaksanaan terhadap apa yang dipahami dari fiqh, sehingga guru perlu
memberlakukan pembiasaan pada siswa agar mereka terbiasa dengan perilaku
fiqhnya. Pendekatan lainnya adalah pendekatan rasional. Pendekatan ini
digunakan dalam pembelajaran fiqh yang bersifat tafkiriyah-istinbathiyah bahkan
pendekatan ini dapat diklaim sebagai pendekatan yang sangat tepat untuk
memahami fiqh dengan sebenarnya. Fiqh bukanlah sebatas produk hukum, tetapi
yang lebih penting lagi adalah bahwa fiqh dipahami sebagai sebuah proses
menghasilkan produk hukum. Fiqh dalam arti produk tidak membutuhkan
pembelajaran yang rumit karena sifatnya informatif dan tidak membutuhkan
pemikiran yang tinggi, tetapi fiqh dalam arti proses memerlukan pembelajaran
Pendekatan emosional dalam pembelajaran fiqh digunakan untuk
menggugah siswa pada pemahaman bahwa berfiqh tidak hanya berarti
pelaksanaan formalitas produk-produk hukum Islam tetapi harus pula menginsafi
bahwa pelaksanaan formalitas produk hukum Islam akan lebih bermakna bila
dibarengi dengan etika, estetika dan kemurnian hati. Pendekatan ini mendekati
pendekatan ketashawufan. Misalnya, secara aturan formal fiqh bahwa seorang
laki-laki yang shalat dengan hanya memakai celana pendek yang menutupi
auratnya sudah dianggap sah. Akan tetapi dalam perspektif etika, estetika,
pelaksanaan shalat yang demikian belum memenuhi kesempurnaan.
Adapun pendekatan fungsional dalam pembelajaran fiqh digunakan
didasarkankan pada pemikiran bahwa fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum
perbuatan muslim. Oleh karena itu pembelajaran fiqh diberikan dengan
pertimbangan kepraktisan, kemanfaatan, dan kebutuhan siswa dalam kehidupan
sehari-harinya, pembelajaran fiqh harus practicable dan applicable. Kurikulum
fiqh untuk pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan sehari-sehari siswa,
misalnya shalat, jual beli, pinjam meminjam, interaksi sosial dalam arti luas
menyangkut sosial ekonomi, sosial politik, sosial budaya dan lain-lain.
Pendekatan keteladanan digunakan dalam pembelajaran fiqh karena fiqh
pada dasarnya adalah ilmu tentang perbuatan formal mukallaf yang menghendaki
untuk dilaksanakan oleh setiap mukallaf. Pelaksanaan fiqh dalam kehidupan
sehari-hari membutuhkan contoh, pemodelan atau keteladanan dari orang-orang
yang dianggap lebih dewasa, yakni guru fiqh di madrasah. Guru fiqh harus
mampu menunjukkan dirinya sebagai contoh, model atau suri tauladan bagi siswa.
Apa yang diperbuat oleh guru adalah implementasi fiqh dalam kehidupan
sehari-harinya sehingga siswa mau mengambil teladan darinya.
Pendekatan-pendekatan di atas adalah pendekatan yang secara langsung
terkait dengan karakteristik materi fiqh. Hasil wawancara dan pengamatan di
lapangan menunjukkan bahwa guru-guru fiqh Madrasah Aliyah secara umum
telah melakukan pembelajaran fiqh dengan menggunakan pendekatan-pendekatan
tersebut. Hal ini dapat dipahami karena mereka adalah lulusan sarjana ilmu agama
keimanan, pengamalan, pembiasaan, emosional, fungsional, dan keteladanan
mendapat perhatian lebih oleh guru-guru fiqh untuk digunakan dalam
pembelajaran fiqh. Pendekatan-pendekatan ini diakui mereka dapat membentuk
kepribadian siswa yang baik sebagai muslim. Namun pada sisi yang lain,
pendekatan-pendekatan tersebut tidak mampu mengantarkan siswa menjadi
pribadi yang memiliki kemampuan bertindak secara rasional dan logis. Hal ini
disebabkan pendekatan-pendekatan tersebut tidak mengembangkan aspek
keterampilan berpikir kritis siswa. Kemampuan berpikir kritis sejatinya
merupakan tuntutan kurikulum fiqh di Madrasah Aliyah yang harus dibelajarkan
kepada siswa.
Atas dasar itu semua, maka pembelajaran fiqh membutuhkan sebuah
proses pembelajaran yang komprehensif, aktif, kreatif, konstruktif dan inovatif
yang dikembangkan dengan landasan filosofis, psikologis, sosio-kultural dan
perkembangan ilmu pengetahuan untuk mencapai keberhasilan yang maksimal.
Pembelajaran diarahkan kepada peningkatan dan pengembangan kemampuan
siswa memecahkan masalah-masalah fiqh dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran yang humanistis dan konstruktifistik sangat diharapkan bisa
diimplementasikan di dalam proses belajar mengajar di kelas. Guru sebagai
fasilitator utama dalam pembelajaran memiliki kewajiban untuk mengarahkan
pembelajaran ke arah penciptaan kemampuan berpikir kritis siswa.
Berpikir kritis dapat dikembangkan dengan memperkaya pengalaman
siswa yang bermakna. Pengalaman tersebut dapat berupa kesempatan berpendapat
secara lisan maupun tulisan layaknya seorang ilmuwan (Beyer, 2005: 15). Diskusi
yang muncul dari pertanyaan-pertanyaan divergen atau masalah tidak terstruktur
(ill-structured problem), serta kegiatan praktikum yang menuntut pengamatan terhadap gejala atau fenomena akan menantang kemampuan berpikir siswa
(Broadbear, 2003: 1-8).
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran fiqh di
Madrasah Aliyah lebih mengarah kepada penghafalan informasi produk-produk
fiqh, misalnya apa hukumnya zakat harta, tidak diarahkan kepada bagaimana
filosofis dan teologisnya, apa dampak individual dan sosialnya, dan seterusnya?
Pembelajarannya ditujukan pada penguasaan fiqh sebagai produk, bukan sebagai
sebuah proses, sehingga hanya akan menghasilkan kompilasi hafalan, bukan
pemahaman terhadap proses istinbath yang menghasilkan produk yang berupa furu’, tanpa adanya pemahaman terhadap hubungan antara furu’ dan ushulnya. Model pembelajarannya pun cenderung menggunakan model ekspositori dengan
menggunakan metode ceramah, sedikit menggunakan metode diskusi atau metode
lainnya yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif
membangun pengetahuan fiqhnya. Pembelajaran dianggap berhasil jika siswa
secara ekspositoris mampu menyampaikan hafalannya tentang definisi, pengertian
atau konsep tanpa didasari berpikir kritis.
Pembelajaran terhadap materi fiqh tidak didahului dengan materi ushul
fiqh, dan pengantar fiqh. Jika sebelumnya didahului dengan ushul fiqh dan pengantar fiqhnya, maka akan kondusif bagi pembelajaran fiqh dengan tekanan
pada proses, dari pada produk istinbathnya. Hal ini mengindikasikan bahwa
pembelajaran tidak dilakukan secara aktif, kreatif, produktif dan inovatif. Hal ini
menjadi indikasi bahwa proses pembelajaran tidak mengarahkan siswa kepada
pemahaman fiqh secara kritis yang didasarkan pada keterampilan berpikir kritis.
Pembelajaran fiqh tidak menjelaskan aspek dalil yang dipergunakan,
proses istinbath, kemudian natijah hukumnya, yang oleh karena itu keseluruhan
silabinya harus didesain menjadi tiga komponen tersebut. Dengan cara demikian
akan kondusif bagi lahirnya pemahaman terhadap fiqh dengan tekanan pada
proses istinbath, sehingga siswa mampu menilai validitas produk yang berupa
natijah hukum itu sesuai dengan ketepatan penentuan dalil dan penggunaan
kaidah-kaidah istinbathnya.
Penguasaan terhadap pengetahuan fiqh mestinya ditujukan pada: Pertama,
aspek the state of the art dari disiplin tersebut, yakni penguasaan pengetahuan
tentang pembentukan dan keseluruhan perkembangan fiqh sampai sekarang.
Kedua, analisis filosofisnya yang ditekankan pada cara berpikir keilmuan yang mendasari pengetahuan tersebut dengan pembahasan secara eksplisit mengenai
mengidentifikasi masalah-masalah yang timbul di sekitar disiplin keilmuan fiqh
tersebut (Ibrahim, S., 2008: 2-8).
Dari paparan di atas diketahui bahwa pembelajaran fiqh masih
menekankan kepada hasil/produk bukan pada proses pembelajaran. Pembelajaran
fiqh dengan tekanan pada produk, berarti membelajarkan siswa sebatas pada
pengetahuan tentang hasil-hasil fiqh bukan pada bagaimana proses menghasilkan
produk itu. Efek negatifnya adalah, siswa akan menjadi orang yang hanya
mengekor dalam melaksanakan fiqh, dan dapat menjadi orang yang fanatik buta
dalam berfiqh. Mereka tidak memiliki daya kritis dalam berfiqh.
Ketidakmampuan berpikir kritis ini disebabkan karena pembelajaran fiqh yang
bersifat ekspositoris atas produk-produk fiqh bukan pembelajaran yang didasarkan
pada pemahaman proses isthinbathy (proses menghasilkan produk fiqh). Hasil
wawancara prasurvey dengan guru-guru fiqh menunjukkan bahwa pembelajaran
fiqh cenderung ekspositoris, tidak mengeksplor potensi berpikir kritis siswa.
Pendekatan ushul fiqh hampir tidak digunakan dalam pembelajaran fiqh. Diakui
oleh guru-guru, bahwa kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fiqh
masih rendah. Wawancara secara acak dengan beberapa siswa dari kelas dan
Madrasah Aliyah yang berbeda menunjukkan bahwa mereka mengalami kesulitan
menjawab ketika diberikan pertanyaan problematik tentang persoalan fiqh.
Diakuinya bahwa kesulitan yang dialami lebih disebabkan karena kebiasaan
pembelajaran mereka yang cenderung informatif. Hal ini mengindikasikan bahwa
kemampuan berpikir kritis yang dimilikinya masih lemah.
Dengan demikian, persoalan mendasar mengenai pembelajaran fiqh adalah
bahwa siswa kurang atau bahkan tidak dikembangkan kemampuan berfikir
kritisnya. Padahal berfikir kritis adalah bagian penting dalam pembelajaran fiqh.
Ketidakmampuan siswa untuk berpikir kritis akan meyebabkan dampak negatif
bagi pemahaman dan penghayatan mereka terhadap fiqh. Dampak negatif itu
diindikasikan dengan pemahaman fiqh yang sempit dan pengamalan fiqh yang
bersifat taklid buta. Taklid buta dapat menimbulkan fanatisme bodoh yang
membabi buta. Dampak negatif lainnya adalah, siswa kurang atau tidak kuat
Kemampuan berpikir (kecerdasan) merupakan aktivitas mental akibat
diperolehnya pengetahuan dan pengalaman. Dari sisi biologi, Piaget (2003: 13)
berpendapat bahwa meningkatnya kemampuan berpikir beriringan dengan
semakin berfungsinya saraf-saraf otak. Ia mengkategorikan tiga tingkatan proses
berpikir yakni: pre-operational age pada masa kanak-kanak, concrete operational
age pada masa remaja dan formal operational stage pada orang dewasa. Ia
mengatakan bahwa tingkat formal operational tidak terbentuk secara utuh hingga
usia 15 tahun. Menjelang usia 15 tahun, seorang anak mungkin berperilaku
cognitive formal operational dalam satu situasi dan berperilaku cognitive concrete operational dalam situasi lain. Namun setelah berusia 15 tahun, perilaku kognitif mereka menjadi lebih konsisten. Bila didasarkan kepada tingkat perkembangan
kognitif yang dikemukakan oleh Piaget ini, maka usia siswa Madrasah Aliyah
sekolah menengah termasuk ke dalam tingkat berpikir operasional formal. Pada
tahap ini, proses berpikir kritis sudah dapat dikembangkan (Presseisen dalam
Costa, 1985: 25).
Merujuk pada teori Piaget tersebut, usia 15 tahun dijadikan patokan
bahwa seseorang telah mencapai tingkat kedewasaan berpikir dengan tiga ciri
utama yakni: hypothetico-deductive (berpikir hipotesis deduktif), scientific
(inductive) reasoning (berpikir kritis/induktif), dan reflective abstraction (berfikir reflektif) (Brainerd, 1978: 204). Usia 15 tahun adalah usia seseorang memiliki
kemampuan memadai untuk berpikir tinggi (dewasa); usia 15 tahun adalah usia
anak untuk masuk Sekolah Menengah Atas (Madrasah Aliyah). Dengan demikian
siswa Madrasah Aliyah telah memiliki kemampuan dasar untuk berpikir dewasa.
Namun dalam kenyataannya pola berpikir ini belum menunjukkan tingkat yang
memadai. Sikap mandiri dalam belajar pun belum tampak pada siswa Madrasah
Aliyah secara umum.
Dalam konteks teologis, Allah SWT. menghendaki umat Islam mampu
berpikir dengan baik. Hal ini terbukti istilah “berpikir” disebut berulang di
(Maqdisi, 1323 H.: 349). Menurut Shihab (2002: 41, vol. 13), makna “yatafakkarun” dalam ayat-ayat tersebut adalah merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah. Sedangkan al-Maraghi (1989: 257, Juz 25) mengartikan “yatafakkarun” tidak hanya memperhatikan dan memikirkan dengan benar tetapi juga mengambil pelajaran dari padanya. Pada ayat lain dalam al-Qur’an terdapat
kata “ulul albab” untuk menunjuk orang yang berpikir. Secara eksplisit tampak
jelas bahwa ayat-ayat tersebut menyuruh manusia untuk berpikir. Namun secara
implisit, ayat-ayat tersebut tidak sekadar mendorong manusia untuk berpikir,
tetapi juga mendorong manusia untuk membiasakan diri dengan kemampuan
berpikir tinggi di dalam memahami fenomena kehidupan sehari-hari.
Di samping menggunakan kata ”yatafakkarun”, kata yang memiliki makna
senafas dengan ”berfikir” adalah ”’aqala” mengandung arti memahami, dan berfikir (QS. 2: 242, Q.S. 8: 22, dan Q.S. 16: 11-12); kata ”nazhara” yang berarti melihat secara abstrak dalam arti berfikir dan merenungkan atau menalar (Q.S. 50:
6-7, Q.S.86: 5-7, Q.S.88: 17-20); kata ”tadabbara” mengandung arti merenungkan (Q.S.: 38: 29, Q.S.47: 12-13); dan masih banyak lagi (Sirajudin,
2004: 20-22).
Kemampuan berpikir kritis tidak bisa muncul dengan sendirinya dan
bukan kemampuan yang dibawa sejak lahir, tetapi merupakan kemampuan yang
dibentuk oleh pengalaman-pengalaman masa lalu (Asch, 2005: 585). Allport
(1963: 92-93) menegaskan bahwa kemampuan tersebut diperoleh melalui prinsip-prinsip belajar. O’Driscoll (1981: 279) menguatkan bahwa kemampuan berpikir berkembang sepanjang waktu dan menjadi semakin jelas dan halus melalui
gesekan-gesekan pengalaman, pengalaman yang semakin kuat sebagai hasil
kontak sesorang dengan benda atau situasi akan dapat mempengaruhi pola
pikirannya, dan pada gilirannya sikapnya pun akan berubah.
Ada beberapa faktor yang dapat menjadi kendala bagi berkembangnya
sikap kritis siswa yang terkait dengan praktek pendidikan yang berlangsung antara
lain: (1) sistem pendidikan kurang menempatkan IQ sebagai ukuran keberhasilan;
(2) praktek pendidikan lebih berorientasi pada ijazah dari pada penguasaan ilmu;
(4) motivasi membaca siswa rendah; (5) guru mengajar hanya sekadar memenuhi
kewajiban beban jam mengajar; (6) kegiatan belajar mengajar masih berorientasi
transfer of knowledge yang tidak konstruktivistik; (7) model pembelajaran yang digunakan guru masih pasif artinya tidak aktif, kreatif, inovatif, efektif dan
menyenangkan (Anonimous, 2005: 27).
Lalu lemahnya sumber daya guru (man behind the gun) dalam
pengembangan pendekatan dan metode yang lebih variatif, minimnya berbagai
sarana pelatihan dan pengembangan, serta rendahnya atau lemahnya kinerja
mereka dalam pembimbingan siswa, adalah faktor lain yang diasumsikan sebagai
persoalan yang menyebabkan lemahnya pembelajaran fiqh. Kompetensi dan
profesionalisme guru fiqh seringkali dipandang sebagai faktor lain yang
menyebabkan rendahnya kemampuan siswa berpikir kritis dalam pembelajaran
fiqh. Ketika guru sendiri sebagai pembelajar tidak atau kurang kompeten dan
kurang professional dalam pembelajaran, maka sulit diharapkan siswa mampu
meraih keberhasilan akademis itu. Dari sudut kualifikasi akademik, menurut
Firdaus, hasil penelitian menunjukkan kualitas lulusan madrasah 63 persen
dipengaruhi oleh kualitas guru, bukan manajemen ataupun fasilitas. Saat ini, 54
persen dari 628 ribu guru madrasah belum memenuhi kualifikasi minimal guru,
yakni pendidikan S-1 atau D-4. Serta sesuai antara kualifikasi bidang studi yang
pernah dipelajarinya dengan mata pelajaran yang diajarkan
(http://batakpos-online.com).
Tingkat kompetensi guru yang rendah bukanlah variabel tersendiri yang
independen, ia berkait dengan pertanyaan apakah guru sebagai pembelajar
mendapatkan pendidikan, pembinaan dan pelatihan metodologis ataupun materi
pembelajaran dari pengawas pendidikan yang bertugas dan berkewajiban
mengevaluasi dan mensupervisi mereka. Realitas objektif di lapangan
membuktikan bahwa pengawas pendidikan jarang sekali bahkan tidak
memberikan bimbingan dan pelatihan kepada guru tentang menciptakan
pembelajaran Fiqh yang baik dan konstruktif. Mereka cenderung melakukan
diberikan pengawasan administratif. Problem-problem pembelajaran sangat jarang
mendapatkan dukungan solusi dari mereka.
Dilihat dari perspektif analisis sistem, bahwa pembelajaran tidak lepas dari
aspek input, instrumental input, environmental input, dan proses yang
dilaksanakan (Djamaroh, 2000: 142). Aspek-aspek ini dalam banyak hal
mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran. Kondisi objektif raw input
Madrasah Aliyah, yakni siswa yang mengikuti pendidikan di dalamnya, sebagian
besar adalah siswa yang tidak diterima di sekolah-sekolah menengah negeri
(SMAN/SMKN). Salah satu penyebabnya adalah karena perolehan nilai UN yang
berada di bawah standar masuk ke sekolah-sekolah negeri. Kompas.Com-
(Kamis, 6 Mei 2010 ), melaporkan sebanyak 561 Sekolah Menengah Pertama
atau sekitar 1,31 persen dari total SMP di Indonesia dinyatakan lulus 0 persen.
Artinya, semua siswa peserta ujian dari sekolah-sekolah tersebut tidak lulus semua
dalam ujian nasional utama. Hal ini membuktikan bahwa mutu raw input yang
memasuki Madrasah Aliyah dapat dikatakan sebagai lulusan SMP/MTs/Paket B
yang memiliki keterbatasan kualitas. Di samping itu, raw input Madrasah Aliyah
banyak yang berasal dari lulusan SMP yang kurang memiliki kompetensi mata
pelajaran keagamaan. Kondisi-kondisi ini secara teoretik diasumsikan dapat
menyebabkan terjadinya kesulitan tersendiri bagi mereka dalam pembelajaran
fiqh. Dengan demikian problem pembelajaran fiqh dapat disebabkan oleh
persoalan raw input. Masukan mentah atau siswa (raw input) dengan segala
karakteristiknya merupakan bahan baku yang perlu diolah, dalam hal ini diberi
pengalaman belajar tertentu dalam proses belajar-mengajar (teaching learning
process). Dengan demikian, di dalam proses belajar-mengajar fiqh itu turut berpengaruh sejumlah faktor lingkungan yang merupakan masukan dari
lingkungan (environmental input) dan sejumlah faktor instrumental (instrumental
input) dengan disengaja dirancang dan dimanipulasikan guna menunjang tercapainya keluaran (output) yang dikehendaki. Berbagai faktor tersebut
berinteraksi satu sama lain dalam menghasilkan keluaran tertentu.
Fenomena-fenomena di atas diduga menjadi faktor-faktor yang
dicarikan jalan keluarnya. Setidaknya ada tiga alasan penting yang mendasarinya,
yakni: (1) kedudukan pengembangan sikap kritis siswa di Madrasah Aliyah
termasuk bidang tugas pendidikan umum yang menekankan pembahasan pada
perkembangan semua aspek kepribadian individu yang berfokus pada intelektual
(McConnel, 1952: 4); (2). Sikap kritis merupakan bagian dari kepribadian
manusia yang dinamis, hal ini diyakini Piaget (Brainerd, 1978: 15) sebagai salah
satu ujung perkembangan kognitif yang akan tumbuh bersamaan dengan tumbuh
dan kembangnya fisik dan kematangan saraf; dan (3) untuk mengembangkan
sikap kritis perlu diterapkan model pembelajaran yang sesuai dan mendukung.
Berangkat dari pemaparan di atas, diketahui bahwa siswa Madrasah
Aliyah seharusnya telah memiliki kemampuan dan kemandirian dalam berpikir
tingkat tinggi (formal operational stage) atau berpikir kritis. Namun dalam
kenyatannya, berpikir kritis mereka masih jauh dari harapan dan perlu dibina serta
dikembangkan secara serius.
B.Identifikasi dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Penelitian ini bertitik tolak dari kenyataan bahwa kemampuan berpikir
kritis siswa di Madrasah Aliyah dalam pembelajaran fiqh masih lemah. Padahal
kemampuan berpikir kritis merupakan aspek kepribadian yang secara teoretik
seharusnya telah dimiliki siswa pada usia Madrasah Aliyah. Ada faktor internal
dan faktor eksternal yang mempengaruhinya. Dari sisi internal, keterampilan
berpikir kritis merupakan perilaku yang dipengaruhi oleh karakter berpikir kritis
dan sejumlah faktor pendukung, yakni gender, usia dan GPA (Grade Point
Average) (Triandis dalam Rickets dan Rudd, 2005: 33-44). Sebuah penelitian korelasi yang dilaksanakan untuk mengetahui hubungan Grade Point Average
(GPA) dengan keterampilan berpikir kritis menghasilkan temuan korelasi sebesar 0,20 (Facione, 2008: 1-10). Juga penelitian yang dilakukan kepada mahasiswa
fakultas pertanian menunjukkan bahwa terdapat korelasi sebesar 0,23 antara GPA
dengan kemampuan menganalisis. Selain itu korelasi sebesar 0,19 terjadi antara
kemampuan mengevaluasi (Ricketts dan Rudd, 2005: 33-44). Walaupun angka
korelasi ini dikategorikan rendah, hasil penelitian ini secara ilmiah membuktikan
bahwa berpikir kritis dapat dipengaruhi oleh faktor internal yaitu potensi diri
siswa, gender, dan GPA.
Dari sisi eksternal, model pembelajaran diduga dapat menjadi faktor yang
mempengaruhi ketercapaian kemampuan berpikir kritis siswa. Hasil penelitian
dari para peneliti terdahulu menyimpulkan bahwa model-model pembelajaran
yang kognitivistik dan konstruktifistik cenderung dapat menumbuhkan dan
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa (Snyder, 1993: 206-210;
Fakhrurozi, 2011: 76-88; Dwijananti et al, 2010: 108-114; Anuradha A. Gokhale,
1995: 1; Dan Bouhnik et al, 2009: 1-16). Kemampuan berpikir siswa juga dapat
dipengaruhi oleh metode pembelajaran yang biasa digunakan guru dalam proses
pembelajaran. Kecenderungan guru menggunakan metode-metode yang
ekspositoris menimbulkan siswa pasif belajar, siswa bersikap reseptif (menerima
informasi apa adanya dari guru), suasana belajar kurang menyenangkan, proses
pembelajaran kurang mengembangkan potensi keterampilan berpikir siswa.
Kurikulum yang dirancang dengan orientasi padat materi tanpa memperhatikan
unsur pengembangan potensi kepribadian siswa juga merupakan aspek eksternal
yang diduga menjadi penyebab lemahnya kemampuan berpikir siswa. Berbeda
jika metode yang digunakan guru bersifat eksploratif dan kurikulumnya tidak
subject matter oriented, maka siswa cenderung akan terbangkitkan daya pikir dan keterampilan berpikir kritisnya. Asumsi ini searah dengan kesimpulan hasil
penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa pada prakteknya penerapan proses
belajar mengajar kurang mendorong pada pencapaian kemampuan berpikir kritis.
Dua faktor penyebab berpikir kritis tidak berkembang selama pendidikan adalah
kurikulum yang umumnya dirancang dengan target materi yang luas sehingga
guru lebih terfokus pada penyelesaian materi dan kurangnya pemahaman guru
tentang metode pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis
(Anderson et al., 1997: 5-16; Bloomer, 1998: 37-62; Kember, 1997: 255-275;
Dari semua paparan di atas diketahui bahwa sesungguhnya banyak faktor
yang dapat mempengaruhi kemampuan berpikir siswa, baik faktor internal
maupun eksternal. Faktor internal yakni variabel raw input (siswa dengan semua
karakteristik fisik dan psikologisnya), sedangkan faktor eksternal adalah
instrumental input (guru, kurikulum, model pembelajaran, fasilitas, media, dan lain-lain), dan environmental input (lingkungan madrasah, pergaulan teman,
interaksi social secara umum). Melihat demikian banyaknya variabel yang dapat
mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran, maka masalah penelitian ini
dibatasi pada variabel model pembelajaran sebagai bagian dari variabel
instrumental input. Dan model pembelajaran dibatasi pada model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fiqh.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, masalah pokok dalam penelitian
ini adalah: ”Model pembelajaran seperti apakah yang cocok digunakan untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fiqh di
Madrasah Aliyah Kabupaten Bandung?”
Pendalaman terhadap permasalahan tersebut dapat diuraikan berdasarkan
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1) Bagaimana kondisi pembelajaran fiqh yang selama ini dilakukan guru
Madrasah Aliyah di Kabupaten Bandung?
2) Model pembelajaran yang bagaimana yang dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fiqh di Madrasah
Aliyah Kabupaten Bandung?
3) Bagaimana efektivitas model pembelajaran yang dikembangkan dalam
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dibandingkan dengan
model pembelajaran fiqh yang digunakan selama ini di Madrasah Aliyah
Kabupaten Bandung?
4) Apa faktor pendukung dan penghambat bagi model pembelajaran
yang dikembangkan dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis
siswa dalam pembelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten
C. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sebuah model
pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam
pembelajaran fiqh yang dirancang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran fiqh
dalam rangka meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kualitas implementasi
kurikulum fiqh sehingga dapat meningkatkan mutu kompetensi lulusan Madrasah
Aliyah di Kabupaten Bandung.
Secara khusus, tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui kondisi pembelajaran fiqh yang selama ini dilakukan guru
Madrasah Aliyah di Kabupaten Bandung;
2. Menghasilkan bentuk model pembelajaran yang dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fiqh di Madrasah
Aliyah Kabupaten Bandung;
3. Memperoleh data empiris tentang efektivitas model pembelajaran yang
dikembangkan dibandingkan dengan model pembelajaran fiqh yang
digunakan guru selama ini di Madrasah Aliyah Kabupaten Bandung.
4. Mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat bagi model
pembelajaran yang dikembangkan dalam meningkatkan kemampuan
berpikir kritis siswa pada mata pelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah
Kabupaten Bandung?
D. Manfaat Penelitian
Secara teoretik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
teoretik terhadap pengembangan model pembelajaran yang konstruktivistik yang
bersifat students centered yang menitikberatkan keaktifan dan kreativitas siswa
secara maksimal mengkonstruksi pengetahuan dalam proses pembelajaran
sehingga siswa terbentuk kemampuan berpikir kritisnya.Teori konstruktivisme
Piaget (dalam Sanjaya, 2007: 227), meyakini bahwa pada dasarnya setiap individu
sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya
pengetahuan yang bermakna, sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh
melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna.
Pengetahuan tersebut hanya untuk sementara setelah itu dilupakan (Sanjaya, 2007:
227). Pendekatan kontrukstivis memandang siswa sebagai individu kreatif,
innovator dan ilmuwan kecil, siswa berusaha untuk menemukan atau membangun
(construct) pengetahuan baru (Fachrurrazy, 2001: 76-88).
Adapun secara praktik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi guru sebagai pelaksana pembelajaran, siswa sebagai subjek belajar,
maupun lembaga sebagai penyelenggara pendidikan:
1. Memberikan pengetahuan baru bagi khazanah ilmu, khususnya keandalan
model pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir
kritis siswa dalam pembelajaran fiqh Madrasah Aliyah.
2. Memberikan wawasan baru tentang penerapan model pembelajaran untuk
pengembangan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fiqh.
3. Memberikan solusi alternatif bagi peningkatan sikap kritik siswa Madrasah
Aliyah dalam pembelajaran fiqh.
4. Membina dan mendorong munculnya generasi muda yang memiliki
kemandirian berpikir.
5. Memberikan solusi alternatif bagi madrasah dalam pengembangan
kemampuan berpikir kritis siswa melalui bidang-bidang studi yang ada.
6. Menyumbangkan manual praktik bagi guru dalam mengembangkan
kemampuan berpikir kritis siswa.
7. Memberikan masukan kepada pengembang kurikulum Madrasah Aliyah
untuk memasukkan pengembangan sikap kritis dalam pengembangan
kurikulum fiqh.
8. Menjadi bahan masukan dan referensi bagi peneliti lanjutan, khususnya
yang berkaitan dengan pengembangan model pembelajaran fiqh untuk
E. Paradigma Penelitian
Berdasarkan apa yang dikemukakan di dalam latar belakang masalah,
tampak bahwa masalah yang dihadapi dalam pembelajaran fiqh adalah masih
lemahnya kemampuan berpikir kritis siswa yang disebabkan oleh proses
pembelajaran yang kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kritis sebagai akibat dari kurangnya
pemahaman metodologis guru membelajarkan fiqh kepada siswa. Fiqh sebagai
sebuah studi hukum Islam sangat menghendaki pembelajaranya dengan
menggunakan model pembelajaran yang mampu menghasilkan kemampuan
berpikir kritis. Berpikir kritis adalah cara berpikir sistematis, logis, dan mengikuti
prosedur-prosedur ilmiah yang diakui. Kemampuan berpikir kritis pada diri siswa
akan mengantarkan mereka kepada pemahaman fiqh yang benar dan tepat.
Pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis perlu
mendayagunakan komponen-komponen sistem yang padu dan supportive. Dalam
pendekatan sistem, pembelajaran merupakan suatu kesatuan dari
komponen-komponen pembelajaran yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang
lain, karena satu sama lain saling mendukung. Komponen-komponen tersebut
dapat menunjang kualitas pembelajaran. Menurut Oemar Hamalik (2001: 77)
pembelajaran sebagai suatu sistem artinya suatu keseluruhan dari
komponen-komponen yang berinteraksi dan berinterelasi antara satu sama lain dan dengan
keseluruhan itu sendiri untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan
sebelumnya. Komponen-komponennya itu adalah siswa, guru, tujuan, materi,
metode, sarana/alat, evaluasi, dan lingkungan/konteks. Masing-masing komponen
itu sebagai bagian yang berdiri sendiri, namun dalam berproses pada kesatuan
sistem mereka saling bergantung dan bersama-sama untuk mencapai tujuan.
(Soetopo, 2005: 143).
Pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis juga perlu
teori pembelajaran yang mendukung tercapainya kemampuan tersebut. Teori
pembelajaran telah bergeser menempatkan siswa dalam proses pembelajaran.
Siswa yang semula dipandang sebagai objek pembelajaran bergeser sebagai
pembelajaran. Teori konstruktivisme Piaget (dalam Sanjaya, 2007: 227)
menawarkan pembelajaran yang menitikberatkan pada aktivitas siswa secara
dominan, guru bertindak sebagai fasilitator pembelajaran. Pembelajaran untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kritis cocok dilandaskan pada teori
konstruktivisme ini.
Pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
memerlukan kinerja guru yang optimal. Kompetensi dan profesionalisme sangat
berperan untuk mencapai tujuan itu. Kompetensi guru itu mencakup kemampuan
menguasai siswa, tujuan, metode pembelajaran, materi, cara mengevaluasi, alat
pembelajaran, dan menguasai lingkungan belajar (Soetopo, 2005: 144).
Peranannya pun sangat penting dalam proses belajar mangajar sebagai
demonstrator, lecturer (pengajar), (2) sebagai pengelola kelas, (3) sebagai mediator dan fasilitator, dan (4) sebagai motivator (Usman, 1990:7).
Tujuan yang harus dipahami oleh guru meliputi tujuan berjenjang mulai
dari tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan
umum pembelajaran sampai tujuan khusus pembelajaran. Tujuan disusun
berdasarkan ciri karakteristik anak dan arah yang ingin dicapai. Tujuan belajar
adalah sejumah hasil belajar yang menunjukkan bahwa siswa telah melakukan
perbuatan belajar, yang umumnya meliputi pengetahuan, keterampilan dan
sikap-sikap yang baru yang diharapkan tercapai oleh siswa (Hamalik, 2003: 73).
Lebih lanjut menurut Oemar Hamalik (2003: 73) bahwasannya komponen tujuan
pembelajaran, meliputi: (1) tingkah laku, (2) kondisi-kondisi tes, (3) standar
(ukuran) perilaku.
Materi pembelajaran dalam arti yang luas tidak hanya yang tertuang dalam
buku paket yang diwajibkan, akan tetapi mencakup keseluruhan materi
pembelajaran. Setiap aktivitas belajar-mengajar harus ada materinya. Materi
disusun berdasarkan tujuan dan karakteristik siswa.
Metode mengajar merupakan cara atau teknik penyampaian materi
pembelajaran yang harus dikuasai oleh guru. Metode mengajar ditetapkan
Agar materi pembelajaran lebih mudah dipahami oleh siswa, maka dalam
proses belajar-mengajar digunakan alat pembelajaran. Alat pembelajaran dapat
berupa benda yang sesungguhnya, imitasi, gambar, bagan, grafik, tabulasi dan
sebagainya yang dituangkan dalam media. Media itu dapat berupa alat elektronik,
alat cetak, dan tiruan. Menggunakan sarana atau alat pembelajaran harus
disesuaian dengan tujuan, anak, materi, dan metode pembelajaran. Oleh karena itu
diperlukan tenaga pengajar yang memiliki kemampuan dan kecakapan yang
memadai (Asnawir, 2002: 17) diperlukan tenaga pengajar yang handal dan
mempunyai kemampuan (capability) yang tinggi.
Evaluasi dapat digunakan untuk menyusun graduasi kemampuan anak
didik, sehingga ada penanda simbolik yang dilaporkan kepada semua pihak.
Evaluasi dilaksanakan secara komprehensif, obyektif, kooperatif, dan efektif. Dan
evaluasi dilaksanakan berpedoman pada tujuan dan materi pembelajaran.
Guru harus melakukan evaluasi terhadap hasil tes dan menetapkan standar
keberhasilan. Sebagai contoh, jika semua siswa sudah menguasai kompetensi
dasar, maka pelajaran dapat dilanjutkan dengan catatan guru memberikan
perbaikan (remedial) kepada siswa yang belum mencapai ketuntasan. Dengan
adanya evaluasi, maka dapat diketahui kompetensi dasar, materi, atau individu
yang belum mencapai ketuntasan (Madjid, 2006: 224).
Lingkungan pembelajaran merupakan komponen PBM yang sangat
penting demi suksesnya belajar siswa. Lingkungan ini mencakup lingkungan fisik,
lingkungan sosial, lingkungan alam, dan lingkungan psikologis pada waktu PBM
berlangsung. Semua komponen pembelajaran harus dikelola sedemikian rupa,
sehingga belajar siswa dapat maksimal untuk mencapai hasil yang maksimal pula.
Mengelola lingkungan pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas bukan
merupakan tugas yang ringan. Oleh karenanya guru harus banyak belajar. Doyle
(1986: 15) berpendapat bahwa hal-hal yang menyebabkan pengelolaan kelas
mempunyai beberapa dimensi, yakni dimensi fisik dan non fisik. Seperti
penelitian yang dilakukan oleh Emersen, Everston dan Anderson (1980: 1-10),
peristiwa yang terjadi pada waktu awal-awal sekolah banyak berpengaruh
Arikunto (1993: 216) berpendapat bahwa unsur-unsur atau
komponen-komponen yang dapat mendukung kualitas pembelajaran, perlu diperhatikan
unsur-unsur yang secara langsung berkaiatan dengan berlangsungnya proses
belajar tersebut yang terdiri atas enam komponen, yaitu: guru, siswa, kurikulum,
konteks, metode, dan sarana. Kalau dicermati lebih jauh, komponen kurikulum
yang dipakai oleh Arikunto mengisyaratkan adanya evaluasi, karena dalam
perencanaan kurikulum pasti terdapat evaluasi.
Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, para ahli
pembelajaran telah menyarankan penggunaan paradigma pembelajaran
konstruktivistik untuk kegiatan belajar-mengajar di kelas. Dengan perubahan
paradigma belajar tersebut terjadi perubahan pusat (fokus) pembelajaran dari
belajar berpusat pada guru kepada belajar berpusat pada siswa. Dengan kata lain,
ketika mengajar di kelas, guru harus berupaya menciptakan kondisi lingkungan
belajar yang dapat membelajarkan siswa, dapat mendorong siswa belajar, atau
memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif mengkonstruksi
konsep-konsep yang dipelajarinya. Kondisi belajar dimana siswa hanya menerima materi
dari pengajar, mencatat, dan menghafalkannya harus diubah menjadi sharing
pengetahuan, mencari (inquiry), menemukan pengetahuan secara aktif sehingga
terjadi peningkatan pemahaman (bukan ingatan). Untuk mencapai tujuan tersebut,
pendekatan, strategi, model, atau metode pembelajaran yang inovatif dan
konstruktivistik dapat menjadi solusi.
Teori pembelajaran konstruktivisme menyarankan proses pembelajaran
untuk menempatkan siswa berperan dominan sebagai subjek yang mengkonstruksi
pengetahuannya berdasarkan pengalaman yang telah dimilikinya. Bagi
konstruktivisme, pengetahuan seseorang merupakan hasil konstruksinya sendiri
(Von Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2001:3). Guru lebih diposisikan sebagai
fasiltator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri (Hudojo, 1998:5-6), menstimulasi dan memotivasi,
mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta menyediakan pengalaman
untuk menumbuhkan pemahaman siswa (Suherman, 2001:76), menyediakan dan
aktif sehingga siswa dapat menciptakan, membangun, mendiskusikan,
membandingkan, bekerja sama, dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan
belajarnya (Setyosari, 2009: 53).
Pembelajaran berpikir kritis diarahkan kepada upaya membangun
kemampuan siswa melakukan aktivitas deskripsi, analisis dan evaluasi (John
Hilsdon, 2009: 1-9). Outcomes yang diharapkan melalui pembelajaran yang
konstruktivistik-kognitivistik yang menempatkan siswa sebagai subjek belajar
yang secara dominan melakukan kegiatan pembelajaran, adalah keterampilan
intelektual (intellectual skills), strategi kognitif (cognitive strategy), informasi
verbal (verbal information), keterampilan motorik (motor skills), dan sikap
(attitudes) (Gagne, 1992: 43-48). Outcomes pembelajaran oleh Joyce (1992:
156-157) dikategorikan ke dalam dua kategori, yaitu instructional effects dan
nurturant effects. Instructional Effects adalah dampak langsung pembelajaran, sedangkan nurturant effects adalah dampak tidak langsung dari pembelajaran
(efek pengiring). Dalam penelitian ini, keterampilan intelektual, strategi kognitif,
informasi verbal, keterampilan motorik, dan sikap termasuk dalam kategori
instructional effects, sedangkan kemampuan deskripsi, analisis, dan evaluasi termasuk dalam kategori nurturant effects. Untuk mencapai outcomes yang
diharapkan, Gagne (1992: 190-198) mengajukan sembilan peristiwa pembelajaran
yang harus dilalui, yakni:
a. Gaining Attention; yaitu upaya atau cara guru untuk meraih perhatian siswa.
b. Informing learner of the objectives; memberitahukan siswa tujuan pembelajaran yang akan mereka capai/peroleh;
c. Stimulating recall of prior learning; guru biasa menyebutnya dengan appersepsi, yaitu merangsang siswa untuk mengingat pelajaran terkait sebelumnya dan menghubungkannya dengan apa yang akan dipelajari berikutnya;
d. Presenting stimulus; setelah itu mulailah dengan menyajikan stimulus; e. Providing learning guidance; berikan bimbingan belajar;
f. Eliciting performance; tingkatkan kinerja; g. Providing feed back; alias berikan umpan balik;
h. Assessing performance; ukur capaian hasil belajar mereka;
Merujuk pada pemaparan di atas, secara sederhana paradigma yang
dikembangkan pada penelitian ini, dapat dapat digambarkan pada bagan 1.1
berikut ini.
ANTECENDENT PROCESS INSTRUCTIONAL OUTCOMES
Bagan 1.1
Paradigma Penelitian
F. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian dan pengembangan
atau Reserarch and Development (R & D), yaitu suatu proses untuk
mengembangkan dan memvalidasi produk berupa model pembelajaran untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Research and Development
dilakukan melalui langkah-langkah: Pertama; melakukan survey awal yang
kemudian dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk penyusunan model
pembelajaran yang dikembangkan. Kedua; mengembangkan model yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi lapangan. Ketiga; melakukan uji validasi,
yakni bahwa hasil dari pengembangan model pembelajaran tersebut, kemudian
diuji validasi untuk memperoleh gambaran tingkat efektivitas model dalam
rangka meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Produk pengembangan Kurikulum
Fiqh
Model Pembelajaran Fiqh yang Dikembangkan
Sarana & Prasarana Guru
1. Intellectual skills 2. Cognitive
strategies 3. Verbal
information 4. Motor skills 5. Attitude
Kemampuan Deskripsi
Kemampuan Analisis
Kemampuan Evaluasi Instructional
Effects
Nurturant Effects
ini berupa model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir
kritis siswa.
G. Struktur Organisasi Disertasi
Secara sistematis dan kronologis, pembahasan disertasi ini dirinci menjadi
lima bab. Bab I, adalah pendahuluan yang mengemukakan tentang latar belakang
masalah, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan paradigma penelitian, metode penelitian secara singkat, dan
struktur organisasi disertasi. Bab II, tentang kajian pustaka yang membahas
landasan teoretik penelitian meliputi: hakekat pendidikan Madrasah Aliyah,
hakekat fiqh, hakekat pembelajaran, hakekat berpikir kritis, dan penelitian
terdahulu yang relevan. Bab III, mengemukakan metode penelitian yang berisi
tentang metode penelitian yang digunakan, lokasi dan subjek penelitian, definisi
operasional, instrument penelitian, analisis data, tahap-tahap pelaksanaan
penelitian. Bab IV, hasil penelitian dan pembahasan. Pada bab ini secara rinci
dibahas tentang hasil studi pendahuluan, pengembangan model pembelajaran,
efektivitas model pembelajaran, faktor pendukung dan penghambat, dan
pembahasan hasil penelitian. Dan bab V, penutup. Di dalamnya dikemukakan
BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini ditempuh melalui tahapan: (1) preliminary research
(penelitian pendahuluan); (2) pengembangan model dan instrumen; (3) penelitian
utama untuk pengujian model. Dari tahapan ini, ada dua kegiatan penelitian yakni
penelitian pendahuluan dengan metode penelitian deskriptif dan penelitian utama
dengan metode penelitian kuasi-eksperimen. Tahapan ini sesuai dengan teori
Borg dan Gall (1989: 782) yang disederhanakan oleh Sukmadinata (2005: 164)
tentang penelitian berbentuk Research and Development (penelitian dan
pengembangan).
Research and Development dalam penelitian ini dimanfaatkan untuk menghasilkan model pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan kemampuan
berfikir kritis siswa dalam pembelajaran fiqh di Madrasah Aliyah. Penerapan
Research and Development dalam penelitian ini bertujuan selain untuk memberikan perubahan, juga untuk memecahkan masalah pembelajaran fiqh
dalam kaitan peningkatan kemampuan berfikir kritis siswa.
Mengacu kepada langkah-langkah yang dikembangkan oleh Borg and Gall
di atas, Sukmadinata (2005: 164) menyederhanakan langkah-langkah yang
dilakukan dalam penelitian dan pengembangan, adalah:
1. Penelitian dan pengumpulan informasi dalam bentuk penelitian
pendahuluan.
2. Pengembangan model pembelajaran di lapangan. Melalui tahap uji coba
dan revisi yang menggunakan pendekatan kolaboratif dengan guru, akan
diperoleh suatu produk berupa model pembelajaran untuk mata pelajaran
fiqh.
3. Pengujian model dilakukan dalam bentuk uji validasi, sehingga pada
akhirnya diperoleh suatu model pembelajaran yang siap untuk
Dengan demikian langkah-langkah penelitian dan pengembangan ini dapat
digambarkan sebagaimana tampak dalam bagan 3.1 berikut.
Studi Pendahuluan Pengembangan Model/ Produk Validasi Model/ Produk
Bagan 3.1
Langkah-Langkah Penelitian dan Pengembangan
1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan atau prasurvey merupakan kegiatan penelitian
yang bersifat deskriptif dan tidak untuk menguji hipotesis. Melalui penelitian
prasurvey ini diungkap jawaban pertanyaan apa, bagaimana, berapa, dan bukan
pertanyaan mengapa. Pada tahap ini dilakukan penelitian terhadap proses
pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru di kelas untuk merefleksi terhadap
bagaimana proses pembelajaran Fiqh yang biasa dilakukan. Aspek-aspek yang
diteliti pada tahap prasurvey ini adalah (1) desain dan penerapan pembelajaran
yang telah dilakukan oleh guru, (2) kemampuan dan aktivitas belajar siswa, (3)
kemampuan dan kinerja guru, (4) kondisi dan pemanfaatan sarana, fasilitas dan
lingkungan.
Hasil studi awal ini digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk
mengembangkan model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir
kritis dalam implementasi kurikulum fiqh di Madrasah Aliyah yang sesuai dengan Studi
Kepustakaan
Survey Lapangan - Embrio Model
- Kondisi Guru
- Sarana dan Pasilitas Model Hipotetik
Uji Coba Model Uji Kepatutan
Model
Eksperimen Pre Test Treatmen Post Test
kondisi dan lingkungan setempat. Di samping itu hasil penelitian prasurvey ini
juga digunakan untuk memilih dan menetapkan lokasi Madrasah Aliyah di
Kabupaten Bandung sebagai tempat dilakukannya penelitian pengembangan.
2. Pengembangan Model Pembelajaran
Berdasarkan hasil studi pendahuluan dan mengacu kepada
landasan-landasan teori hasil kajian pustaka maka disusun draf awal model pembelajaran
dalam rangka meningkatkan kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran fiqh
yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada di lapangan. Draf awal
direview melalui diskusi bersama para pembimbing dan teman-teman sejurusan
sehingga menghasilkan draf model yang kemudian diuji kelayakan/ kepatutan
oleh ahli (pakar) pembelajaran dan praktisi pembelajaran fiqh. Draf model yang
dikembangkan dalam penelitian ini diujicobakan berulang-ulang dalam bentuk uji
coba terbatas dan luas sampai ditemukan model yang sesuai dengan kondisi
lapangan. Sejalan dengan pelaksanaan uji coba dilakukan pengamatan, hasil dari
pengamatan ini digunakan sebagai bahan untuk merevisi model yang akan
diujicobakan pada tahap berikutnya. Untuk mengetahui hasil belajar setiap selesai
uji coba diberikan posttest.
3. Pengujian Model Pembelajaran
Dalam pengujian model, dilakukan uji validasi terhadap model
pembelajaran yang telah dikembangkan tersebut. Aspek-aspek yang diteliti dalam
tahap ini adalah (1) dampak penerapan model terhadap kinerja guru, dan (2)
dampak penerapan model terhadap kemampuan belajar siswa. Uji validasi
dilakukan pada Tengah Semester Kedua, dan sebelum dilakukan uji validasi
model terlebih dahulu dilakukan pre-test, kemudian setelah model
diimplementasikan dilakukan post-test untuk kemudian kedua hasil tersebut
(yakni hasil pre-test dan post-test) dibandingkan.
B. Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Madrasah Aliyah Kabupaten Bandung.
Madrasah Aliyah di Kabupaten Bandung. Sampling (penetapan sampel) terhadap
populasi ini dilakukan sebagai berikut:
1. Dalam penelitian prasurvey, yang menjadi subjek penelitiannya adalah
guru Mata Pelajaran Fiqh Madrasah Aliyah di Kabupaten Bandung yang
mengajar di kelas XI dan siswa Madrasah Aliyah kelas XI dengan tujuan
untuk memperoleh gambaran proses belajar mengajar yang berlangsung
dan terjadi selama ini. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik
purposive sampling, yakni 6 Madrasah Aliyah di Kabupaten Bandung dari
jumlah 25 Madrasah Aliyah. Dari masing-masing Madrasah Aliyah yang
telah ditentukan tersebut diambil Kelas XI secara purposive sampling.
Asumsinya adalah bahwa madrasah-madrasah ini akan memberikan
[image:29.595.125.518.148.573.2]informasi yang tepat. Sampel dimaksud tercantum dalam table 3.1 berikut.
Table 3.1
Daftar Subjek Penelitian Prasurvey
Nama Madrasah Guru Siswa Keterangan
MAN Majalaya 1 40 KKM MAN MJL
MA Al-Falah Nagreg 1 25 KKM MAN MJL
MA Wasilatul Huda Cicalengka 1 35 KKM MAN MJL
MA Al-Ikhlas Cicalengka 1 30 KKM MAN MJL
MA Al-Jawami Cileunyi 1 40 KKM MAN MJL
MAAl-Hidayah Cikancung 1 30 KKM MAN MJL
6 200
2. Dari enam Madrasah Aliyah yang dijadikan subjek penelitian prasurvey,
dilakukan penetapan satu Madrasah Aliyah yang akan dijadikan subjek
penelitian pengembangan, yakni tempat dilakukannya uji coba model
pembelajaran pada level terbatas untuk meningkatkan berpikir kritis dalam
pembelajaran Fiqh. Teknik penarikan sampelnya juga menggunakan
teknik purposive sampling. Penetapan ini didasarkan atas kemungkinan
dapat dilakukannya uji coba, artinya adanya kemauan untuk bekerja sama
dari pihak guru untuk melaksanaakan pembelajaran sesuai dengan model
pembelajaran yang dikembangkan. Faktor kerja sama ini dianggap
menjadi faktor penentu keberhasilan. Uji coba terbatas dilakukan di
Madrasah Aliyah Al-Falah Nagreg Kabupaten Bandung. Selanjutnya
untuk uji coba luas dilakukan di tiga Madrasah Aliyah, yakni MAN
Majalaya, MA Al-Falah, dan MA Wasilatul Huda.
3. Setelah tahap proses uji coba selesai, lalu dilakukan uji validasi. Penetapan
sampel baik terhadap kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol
dilakukan dengan purposive sampling dari Madrasah Aliyah tersebut di
atas. Madrasah Aliyah yang dipilih sebagai sampel dapat dilihat pada table
[image:30.595.123.516.151.540.2]3.2 sebagai berikut.
Table 3.2
Sampel Madrasah untuk Penelitian Uji Validasi
Kelompok Madrasah Kelompok Eksperimen Jumlah Siswa Kelompok Kontrol Jumlah Siswa
A MAN
Majalaya
40 MA Al-Jawami Cileunyi
40
B MA Al-Falah
Nagreg
25 MA Al-Ikhlash Cicalengka
30
C MA
Wasilatul Huda
35 MA Al-Hidayah Cikancung
30
Jumlah 100 100
C. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesimpangsiuran dan kesalahpahaman terhadap
penelitian ini, terdapat dua istilah yang dianggap perlu dijelaskan yaitu; model
pembelajaran, dan berpikir kritis. Kedua istilah tersebut akan dijelaskan pada
bagian ini yang berkaitan dengan kajian teoretik yang telah dipaparkan pada bab
II sehingga dapat dilihat relevansinya.
1. Model Pembelajaran
Model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran fiqh,
yakni sebuah rancangan atau pola yang digunakan untuk mendesain pembelajaran
fiqh yang interaktif di dalam ruang kelas. Model pembelajaran memandu guru
ketika ia mendesain pembelajaran untuk membantu siswa mencapai tujuan-tujuan
Model pembelajaran fiqh ini dibangun atas empat komponen yakni fokus,
sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, dan sistem dukungan. Dalam pengembangan
model pembelajaran ini, fokus dimaksudkan sebagai kerangka referensi di mana
model itu dikembangkan. Fokus merupakan tesis utama yang menentukan
kombinasi dan hubungan proses yang bermacam-macam, syarat-syarat dan
faktor-faktor yang dibangun di dalam model. Tujuan pembelajaran dan aspek-aspek
lingkungan, umumnya membangun fokus model. Apa yang menjadi tujuan untuk
dicapai dalam pengembangan model ini adalah fokus model. Dengan demikian,
fokus merupakan aspek sentral dari model pembelajaran. Kemampuan berpikir
kritis siswa adalah fokus model pembelajaran fiqh.
Model pembelajaran fiqh untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
ini juga dibangun atas sintaks (syntax), yakni tahapan atau pemfasean (phasing)
model, atau deskripsi pelaksanaan model yakni berupa kegiatan-kegiatan yang
diorganisasikan untuk kepentingan belajar. Dengan demikian, sintaks model
pembelajaran fiqh ini berisi sekuensi langkah-langkah yang terlibat dalam
organisasi program pengajaran yang lengkap untuk menuju fokus (kemampuan
berpikir kritis). Sintaks dibagi ke dalam tiga bagian, yakni kegiatan pendahuluan
(kegiatan memotivasi, komunikasi tujuan, scaffolding, fasilitasi belajar); kegiatan
inti (deskripsi, analisis, dan evaluasi); dan kegiatan penutup (konfirmasi deskripsi,
konfirmasi analisis, dan konfirmasi evaluasi).
Sistem sosial (social system) yang dikembangkan dalam model
pembelajaran ini adalah peran-peran yang dilakukan oleh guru dan siswa,
terutama hubungan hirarki atau hubungan otoritas, dan norma-norma atau tingkah
laku siswa yang di-reward. Guru secara dominan berperan sebagai fasilitator
pembelajaran, dan siswa berperan sebagai subjek belajar yang secara aktif
melakukan aktivitas pembelajaran yang dipandu dan difasilitasi oleh guru. Peran
Sedangkan siswa secara dominan melakukan kegiatan pembelajaran (yakni
melakukan aktivitas deskripsi, analisis, dan evaluasi) pada kegiatan inti.
Prinsip reaksi (principles of reaction) dalam model pembelajaran fiqh
yang dikembangkan ini adalah cara-cara guru fiqh memberikan peluang kepada
siswa untuk belajar dan merespon terhadap apa yang dilakukan siswa. Aktivitas
memotivasi, menyampaikan tujuan pembelajaran, melakukan scaffolding,
memberikan bimbingan, memberikan fasilitasi, dan melakukan konfirmasi adalah
bagian dari sistem reaksi yang dibangun dalam model pembelajaran ini.
Sedangkan sistem dukungan (support system) dalam pengembangan model
pembelajaran fiqh untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa ini
adalah dengan penyediaan fasilitas oleh guru dan siswa untuk bisa
mengimplementasikan model pembelajaran tersebut dengan sukses. Ketersedian
buku-buku paket fiqh, lembar kerja siswa, al-Qur’an dan terjemahnya, kitab-kitab
fiqh, dan sumber-sumber lainnya diadakan untuk mempermudah proses
pembelajaran. Di samping itu, setting lingkungan belajar juga dikondidisikan
secara kondusif untuk mendukung terjadinya kegiatan pembelajaran yang aktif,
efektif dan produktif. Semua ini menjadi system dukungan yang berarti bagi
pelaksanaan model pembelajaran yang dikembangkan ini.
Berdasarkan pemaparan di atas model pembelajaran fiqh yang
dikembangkan ini memiliki karakteristik rasional teoretis logis, yakni didasarkan
pada teori pembelajaran kognitif-konstruktifistik; landasan pemikiran tentang apa
dan bagaimana peserta didik belajar (sistem sosial berupa pembagian peran guru
dan peran siswa, serta tujuan pembelajaran yang akan dicapai yakni sasaran untuk
mencapai kemampuan berpikir kritis); tingkah laku pembelajaran yang diperlukan
agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan setting lingkungan
belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Model pembelajaran akan establish dan dapat aplikasikan untuk memola
pembelajaran bila memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif. Validitas model
didasarkan pada rasional teoretik yang kuat; dan (2) apakah terdapat konsistensi
internal. Kepraktisan model hanya dapat dipenuhi jika: (1) para ahli dan praktisi
menyatakan bahwa apa yang dikembangkan dapat diterapkan; dan (2) kenyataan
menunjukan bahwa apa yang dikembangkan tersebut dapat diterapkan. Efektivitas
model berkait dengan aspek efektivitas ini dengan parameter: (1) ahli dan praktisi
berdasar pada pengalamannya menyatakan bahwa model tersebut efektif; dan (2)
secara operasional model tersebut memberikan hasil sesuai dengan yang
diharapkan. Validitas model pembelajaran fiqh untuk meningkatkan kemampuan
berpikir kritis siswa akan diuji melalui uji coba terbatas dan luas, dan uji validasi
model. Kepraktisan model akan diuji melalui uji kelayakan dan kepatutan oleh
praktisi dan ahli. Sedangkan efektivitas model akan diuji melalui uji validasi
dengan eksperimen.
Mengacu kepada paparan di atas, maka model pembelajaran fiqh untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa ini merupakan kerangka
konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar siswa untuk mencapai tujuan belajar fiqh (instructional effects
dan nurturant effects), dan berfungsi menjadi pedoman bagi guru fiqh sebagai perancang pembelajaran dalam merencanakan aktivitas pembelajaran, sehingga
dapat memberikan kerangka dan arah bagi guru fiqh dalam implementasi
pembelajaran fiqh. Dengan demikian, aktivitas pembelajaran benar-benar
merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis.
2. Berpikir Kritis
Operasionalisasi berpikir kritis dalam penelitian ini adalah kemampuan
kognitif siswa dalam hal kemampuan mendeskripsikan, menganalisis, dan
mengevaluasi tentang suatu hal. Kemampuan mendeskripsikan terindikasi dalam
kemampuan-kemamampuan operasional seperti mampu menjelaskan,
mengidentifikasi, dan mendefinisikan. Kemampuan menganalisis dindikasikan
dalam kemampuan operasional seperti menguraikan, berargumentasi,
membandingkan, dan membedakan. Sedangkan kemampuan mengevalusi
diindikasikan dalam keampuan operasional seperti mengkritik, menilia,
Berpikir kritis dalam pembelajaran fiqh pada dasarnya adalah
memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan
pembelajaran fiqh. Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan,
mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran. Berpikir kritis
merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan
masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan, dan
membuat keputusan ketika menggunakan semua keterampilan tersebut secara
efektif dalam konteks dan tipe yang tepat. Berpikir kritis juga merupakan kegiatan
mengevaluasi, mempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil manakala
menentukan beberapa faktor pendukung untuk membuat keputusan. Berpikir kritis
juga biasa disebut directed thinking, sebab berpikir langsung kepada fokus yang
akan dituju.
Dalam pembelajaran fiqh, berpikir kritis merupakan salah satu proses
berpikir tingkat tinggi yang dapat digunakan dalam pembentukan sistem
konseptual siswa tentang fiqh. Dengan demikian berpikir kritis dalam
pembelajaran fiqh merupakan cara berpikir reflektif yang masuk akal atau
berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini
dan dilakukan tentang konsep-konsep fiqh. Bila dicermati secara mendalam, ada
lima perilaku yang sistematis dalam berpikir kritis dalam kaitannya dengan
pembelajaran fiqh. Perilaku tersebut adalah keterampilan menganalisis,
mensintesis, memecahkan masalah, menyimpulkan, dan mengevaluasi. Perilaku
ini berada dalam domain kognitif dalam taksonomi Bloom.
Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan atau
keterampilan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fiqh pada prinsipnya dapat
diukur melalui indikator kemampuan mendeskripsikan, menganalisis, dan
mengevaluasi tentang suatu konsep yang terkait dengan fiqh. Kemampuan
pembelajaran fiqh. Dengan demikian, untuk mengukur kemampuan berpikir kritis
siswa dapat dilakukan melalui pengujian kemampuan mendeskripsikan konsep,
menganalisis konsep, dan mengevaluasi konsep. Tiga kategori kemampuan inilah
yang menjadi patokan penulis dalam mendefinisikan berpikir kritis untuk
kepentingan penelitian disertasi ini. Kesimpulan inilah yang menjadi dasar
operasionalisasi berpikir kritis.
D. Teknik Pengumpulan Data dan Pengembangan Instrumen
Penelitian ini memfokuskan pada tiga hal, yakni (1) penelitian prasurvey,
yaitu meneliti kondis