• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mengantisipasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah: studi kasus pra kondisi desentralisasi di Timor Leste T2 092014901 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mengantisipasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah: studi kasus pra kondisi desentralisasi di Timor Leste T2 092014901 BAB II"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pengantar

Disentralisasi dan otonomi daerah merupakan strategi untuk mengoptimalkan proses pembangunan yang diukur melalui keman-dirian setiap daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pada bab ini akan diuraikan teori persepsi dan dinamika penyelenggaraan desentralisasi skala inter-nasional dan inter-nasional oleh peneliti terdahulu yang telah menguraikan pelbagai permasalahan yang timbul sebagai dampak dari desentralisasi, serta rekomendasi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut.

Teori Persepsi

(2)

membutuhkan konsensus terkait dengan isu-isu yang timbul dan mempengaruhi pembangunan di Timor Leste. Teori persepsi digunakan sebagai acuan atau dasar untuk mengetahui persepsi para aktor terkait penyelenggaran desentralisasi sehingga daat mengantisipasi masalah-masalah yang potensial terjadi di masa depan.

Persepsi merupakan salah satu aspek psikologis yang penting bagi manusia dalam merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala di sekitarnya. Menurut Sugihartono, dkk (2007: 8) persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Persepsi manusia terdapat perbedaan sudut pandang dalam penginderaan. Ada yang mempersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi yang positif maupun persepsi negatif yang akan mempengaruhi tindakan manusia yang tampak atau nyata. Walgito (2004: 70) mengungkapkan bahwa persepsi merupakan suatu proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dengan berbagai macam bentuk. Stimulus mana yang akan mendapatkan respon dari individu tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, perasaan, kemampuan berfikir, pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu tidak sama, setiap orang mempunyai kecenderungan dalam melihat benda yang sama dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah pengetahuan, pengalaman dan sudut pandangnya.

(3)

memahami atau menilai suatu hal yang terjadi di sekitarnya (Waidi, 2006: 118). Selain itu, Rakhmat (2007: 51) mendefinisikan persepsi sebagai pengamatan tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Disisi lain, Suharman (2005: 23) berpendapat bahwa persepsi merupakan suatu proses menginterpretasikan atau menafsir informasi yang diperoleh melalui sistem alat indera manusia. Menurutnya, terdapat tiga aspek di dalam persepsi yang dianggap relevan dengan kognisi manusia, yaitu pencatatan indera, pengenalan pola, dan perhatian. Berkenan dengan proses terjadinya persepsi, Sunaryo (2004: 98) mengemukakan beberapa hal yang menyebabkan timbulnya persepsi yakni adanya objek yang dipersepsi ; adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan persepsi ; adanya alat indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus; serta saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, sebagai alat untuk mengadakan respon. Selain itu, menurut Toha (2003: 154), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah faktor internal yaitu perasaan, sikap dan kepribadian individu, prasangka, keinginan atau harapan, perhatian (fokus), proses belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan juga minat, motivasi dan faktor eksternal yakni latar belakang keluarga, informasi yang diperoleh, pengetahuan dan kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan gerak, hal-hal baru dan familiar atau ketidak asingan suatu objek.

(4)

kemungkinan untuk dapat dicapai, bukan sesuatu yang mustahil dicapai. Pathway yang dimaksudkan sebelumnya merefleksikan rencana/ komponen mental yang membimbing pola pikir kita gunakan untuk mendapatkan cara yang lebih efektif untuk mencapai tujuan (Snyder, 1994). Tujuan diartikan sebagai sesuatu yang ingin kita raih meliputi berbagai benda, pengalaman, keinginan atau hasil yang kita bayangkan dan ada dalam pikiran.

Persepsi, pandangan dan harapan dalam konteks penyelenggaraan desentralisasi administratif dan pemerintahan daerah pada skala internasional maupun skala nasional sangat beragam. Penelitian yang mengkaji tentang dinamika penyelenggaraan desentralisasi administratif dan pemerintahan daerah menghasilkan berbagai macam gagasan atau ide untuk mencapai keberhasilan desentralisasi. Berbagai rekomdendasi pembenahan sistem birokrasi pada tingkat pemerintah daerah, dasar hukum, infrastruktur, sumber daya manusia serta tatakelola yang baik diperoleh dari hasil penelitian empirik oleh peneliti terdahulu. Berikut ini akan diuraikan dinamika penyelenggaraan desentralisasi pada skala internasional dan nasional yang menunjukan berbagai saran dan rekomendasi untuk mencapai keberhasilan desentralisasi.

Dinamika Penyelenggaraan Desentralisasi Internasional

(5)

lembaga semi-pemerintah, maupun kepada swasta (decentralization is the transfer of authority and responsibility for public functions from the central government to subordinate or quasi-independent government organizations and/or private sector). Rondinelli (1989) mengklasifikasikan desentralisasi berdasar tujuannya menjadi empat komponen, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal dan desentralisasi pasar. World bank juga mengklasifikasikan definisi serupa bahwa Jenis desentralisasi meliputi politik, administratif, fiskal, dan desentralisasi pasar.

Dilihat dari sudut politik tujuan desentralisasi adalah untuk menciptakan suprastruktur dan infrastruktur politik yang demokratik berbasis pada kedaulatan rakyat. Diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah, dan legislatifsecara langsung oleh rakyat; Desentralisasi politik mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan (devolution of power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Parson (1961), mendefinisikan desentralisasi sebagai “sharing of the governmental power by a central ruling group with other groups, each having authority within a specific area of the state.” Sedangkan dekonsentrasi, menurut Parson, adalah “the sharing of power between members of the same ruling group having authority respectively in different areas of the state.” Dengan merujuk pada definisi desentralisasi dan dekonsentrasi yang dirumuskan Parson tersebut, Mawhood (1987: 9)mengatakan bahwa desentralisasi adalah “devolution of power from central to local governments” Dekonsentrasi, oleh Mawhood dipersamakan dengan administrative decentralisation dandefinisikan sebagai “… the transfer of administrative responsibility from central to local governments” (1987: 9).Hal senada juga dikemukakan oleh Smith (1985), yang

mendefinisikan desentralisasi sebagai “… the transfer of power, from top level to lower level, in a territorial hierarchy, which could be one of government within a state, or offices within a large organisation”.

(6)

terhadapmasyarakat sipil (civicconciousness) dan kedewasaan politik (political maturity) masyarakat melalui pemerintah daerah. Penyebaran kedewasaan politik dapat dilakukan melalui partisipasi masyarakat dan melalui pemerintahan yang responsif yang dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat lokal ke dalam kebijakan yang diambilnya dan bertanggung jawab kepada masyarakat.Sejalan dengan itu, Lughlin (1981) mengemukakan bahwa sistem pemerintahan daerah diperlukan untuk mengakomodasikan pluralisme dalam suatu negara modern yang demokratis.Smith(1985) juga mengemukakan bahwa keberadaan pemerintah daerah diperlukan untuk mencegah munculnya kecenderungan centrifugalyang terjadi karena adanya perbedaan etnis, agama dan unsur-unsur primordial lainnya di daerah-daerah.Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa desentralisasi politik adalah proses top-down, dimana pemerintah pusat mendelegasikan kekuasaan politik yang dapat membantu mengurangi kendali pemerintah pusat atas kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Desentralisasi politik memberikan kekuasaan lebih banyak kepada masyarakat dan atau wakil-wakil yang terpilih dalam pengambilan keputusan publik.Hal ini sering dikaitkan dengan politik pluralistik dan pemerintahan perwakilan, tetapi juga dapat mendukung demokratisasi dengan memberikan warga, atau perwakilan mereka, lebih berpengaruh dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan.

(7)

(kesetaraan), dan ekonomi;desentralisasi administrasi lebih menekankan definisi desentralisasi sebagai delegasi wewenang administratif (administrative authority) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Rondinelli and Cheema (1983: 18), misalnya, mengatakan:Decentralisation is the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from central government to its field organisations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government, or non-government organisations.

(8)

telekomunikasi, listrik, bendungan, dan jalan raya. Devolution, Bentuk ketiga dari desentralisasi menurut Rondinelli dan Cheema adalah devolution. Konsekuensi dari devolution ini ialah pemerintah pusat membentuk unit- unit pemerintah di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu untuk dilaksanakan secara mandiri.Karakteristik devolusiialah: a) Unit pemerintah setempat bersifat mandiri (independent), dan secara tegas terpisah dari tingkat-tingkat pemerintah. b) Unit pemerintahan tersebut diakui mempunyai batas-batas wilyah yang jelas dan legal, yang mempunyai wewenang untuk melakukan tugas-tugas umum pemerintahan. c) Unit pemerintah daerah berstatus sebagai badan hukum dan berwewenang untuk mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber daya untuk mendukung pelaksanaan tugasnya. d) Unit pemerintah daerah diakui sebagai suatu lembaga yang akan memberikan pelayanan kepada masyarakat, memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itu, pemerintah daerah ini mempunyai pengaruh dan kewibawaan terhadap warganya.e) Terdapat hubungan yang saling menguntungkan melalui koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta unit-unti organisasi lainnya dalam suatu sistem pemerintahan.

(9)

empirik terlihat bahwa negara dengan tingkat ekonomi dan politik yang relatif mapan cenderung untuk lebih menerapkan prinsip desentralisasi daripada dekonsentrasi ( Suwandi & Ikhsan, 1998 ).

(10)

memerlukan adanya transparansi dan akuntabilitas. Hal ini menjadi prasyarat penting demi terpenuhinya tujuan pemberian otonomi daerah, yaitu a) meningkatnya kesejahteraan masyarakat, b) meningkatnya pelayanan umum, dan c) meningkatnya daya saing daerah.

Desentralisasi ekonomi atau pasar berjalan melalui sektor swasta dengan fungsi eksklusif (khusus) yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini diwujudkan melalui privatisasi dan deregulasi. Jenis desentralisasi mempromosikan keterlibatan bisnis, kelompok masyarakat, koperasi, asosiasi sukarela swasta, dan lembaga swadaya masyarakat lainnya. Privatisasi berarti transfer bentuk fungsi publik untuk lembaga non-pemerintah. Di banyak negara pengalihan beberapa perencanaan dan tanggung jawab administrasi fungsi publik dari pemerintah kepada badan-badan swasta atau sukarela memfasilitasi proses desentralisasi (Ahmed, 1990). Menurut Tim Tematik Bank Dunia, privatisasi dapat mencakup: a) Membiarkan perusahaan swasta untuk melakukan fungsi yang sebelumnya telah dimonopoli oleh pemerintah; b) MeLSMntrakkan penyediaan atau pengelolaan pelayanan publik atau fasilitas untuk perusahaan komersial memang ada berbagai cara yang mungkin di mana fungsi dapat diatur dan banyak contoh dalam sektor publik dan bentuk kelembagaan publik swasta terutama di bidang infrastruktur; c) program sektor pembiayaan publik melalui pasar modal (dengan regulasi atau langkah-langkah untuk mencegah situasi di mana pemerintah pusat menanggung risiko kecoklatan ini) dan memungkinkan organisasi swasta untuk berpartisipasi memadai; dan d) Mentransfer tanggung jawab untuk menyediakan layanan dari publik ke sektor swasta melalui divestasi perusahaan milik negara.

Dinamika Penyelenggaraan Desentralisasi di Indonesia

(11)

optimal sehingga memperlambat alur birokrasi penyelenggaraan pemerintah antara pusat pemerintahan dan daerah-daerah otonom. Oleh sebab itu, Indonesia menyelenggarakan pemerintahan daerah berdasarkan tiga prinsip utama, desentralisasi, dekonsentrasi, serta tugas pembantuan guna mencapai efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintah dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, terdapat berbagai aspek permasalahan yang timbul dari penyelenggaraan pemerintahan disentralisasi. Seperti yang dikemukakan oleh Surtikanti (2013)1 terkait dengan isu-isu yang timbul dalam dinamika penyelenggaraan sistem pemerintahan desentralisasi yakni permasalahan yang terjadi pada pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; Kewenangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat; Pengangkatan Sekretaris Kabupaten/Kota; Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; Perimbangan Keuangan; Pertanahan; Sengketa Perbatasan dan Penanganan derah Perbatasan; dan Pemekaran Daerah. Menurutnya, permasalahan tersebut terjadi karena belum memadai dan belum lengkapnya peraturan pelaksanaan untuk menjalankan UU No 32 tahun 2004; Pemerintah harus melakukan audit yang komprehensif terhadap praktek penyelenggaraan otonomi daerah; diperlukan pembentukan lembaga independen yang tidak dapat diintervensi oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat untuk melakukan audit praktek penyelenggaraan otonomi daerah; serta dalam hal pembagian urusan pemerintahan yang selama ini sangat dominan pada domain politik, perlu digeser ke domain manajerial agar pembagian urusan pemerintahan tersebut dapat memperhatikan kaidah-kaidah administrasi publik yang menjamin keadilan, pemerataan, efektivitas dan efisiensi. Penelitian yang dilakukan oleh Surtikanti (2013) masih dalam konteks pokok penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia berdasarkan UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Kuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

(12)

yang direvisi melalui UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Kuangan Pusat dan Daerah. Sehingga, permasalahan yang timbul dan dianalisis secara konseptual masih pada tataran tatakelola (good governance) sistem birokrasi terutama pada pengelolaan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Otonom.

Otonomi daerah tidak hanya ditinjau dari aspek pengelolaan keuangan maupun manajerial sistem birokrasi melainkan dapat dilihat dari aspek pengeloaan sumber daya alam. Sebagaimana Nurkin (2006)2 dalam penelitiannya tentang desentralisasi dan pengelolaan sumber daya alam menguraikan pelbagai permasalahan yakni kelemahan dalam penerapan desentralisasi sehingga menyebabkan penyimpangan. Menurutnya, apabila tidak disertai tanggungjawab dalam kewenangan dan kemampuan dalam pengelolaan serta dukungan kapasitas kelembagaan yang memadai. Selain itu, kecenderungan untuk meningkatkan pendapatan daerah menyebabkan pengurasan dan ketidakberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam. Adapun, eksternalitas yang timbul tidak hanya merugikan satu sektor atau daerah itu sendiri tetapi menyebabkan kerugian yang bersifat multisektor dan melampaui batas-batas administratif suatu daerah hingga memberikan dampak yang bersifat regional bahkan nasional. Dalam pembahasannya, tidak berbeda dengan Surtikanti (2013) dasar yang digunakan sebagai acuan ialah UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 namun Nurkin (2006) lebih fokus membahas tentang Kehutanan sesuai UU No 1 tahun 1999. Menurutnya, penyimpangan sebagai permasalahan yang timbul dari desentralisasi terhadap pengelolaan sumberdaya alam dalam konteks pengelolaan hutan di Sulawesi Selatan ialah penetapan para staf atau pegawai dan aset dari lembaga yang dibubarkan atau dilebur, pegawai yang tidak mempunyai keterampilan teknis lebih banyak menumpuk di tingkat propinsi sedangkan di daerah terjadi kekurangan tenaga profesional yang diperburuk dengan penerimaan pegawai oleh Pemerintah Daerah yang

(13)

mana tidak memiliki latarbelakang pendidikan kehutanan; peranan dan tanggungjawab lembaga atau instansi di daerah (tingkat Propinsi dan Kabupaten) tumpang tindih, tidak sejalan, atau bertentangan; perselisihan dan konflik terhadap alokasi penggunaan lahan hutan; berkembang dan tidak terkendalinya perambahan hutan dan penebang hutan ilegal (illegal loging). Berdasarkan pelbagai permasalahan yang timbul, Nurkin (2006) mengusulkan beberapa solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan membuat pedoman yang jelas dan rinci (PP, Kepmen, PERDA) tentang hak, peranan dan kewajiban dari pemerintah, pengusaha, dan masyarakat utamanya bagi yang berada pada lokasi sumber daya alam yang akan dimanfaatkan; membuat pedoman yang berada dalam kerangka nasional dan global untuk menjamin konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan yang melibatkan secara aktif masyarakat dan pihak swasta setempat; menyiapkan pedoman pemanfaatan sumberdaya alam dengan mengacu pada metoda baku yang menjamin pelestarian, kajian yang komprehensif terhadap dampak sosial ekonomi dan lingkungan perlu dilakukan sebelum dilaksanakannya pemanfaatan. Dalam kaitannya dengan upaya pencegahan dampak lingkungan dan sosial, diperlukan penerapan prinsip dasar pengelolaan sumberdaya yang memperhatikan prinsip tanggungjawab terhadap kerusakan lintas batas serta rasionalisasi dan persamaan pemanfaatan sumberdaya.

Desentralisasi juga mempengaruhi aspek pelayanan kesehatan secara nasional, sebagaimana Widaningrum (2007)3 yang menguraikan dinamika pelaksanaan desentralisasi birokrasi pelayanan kesehatan. Menurutnya, Desentralisasi telah mengubah sebagian besar tatanan dan fungsi dalam sistem kesehatan sebagai dampak dari peralihan kekuasaan pusat ke daerah pemerintahan Kabupaten dan Kota untuk mengelola sumber daya alam, dana dan manusia. Desentralisasi memberikan pilihan antara efisiensi dan pemerataan, sehigga harus memperhatikan informasi yang asimetris antara produsen dan konsumen jasa kesehatan; eksternalitas yang dihasilkan; dan

(14)

kebutuhan akan pelayanan. Dalam dinamika kerja kebijakan kesehatan daerah, dukungan politis menjadi aspek utama. Selain itu, alokasi anggaran kesehatan menjadi salah satu instrumen dalam peningkatan pelayanan kesehatan sekaligus menggambarkan arah dan tujuan pembangunan kesehatan daerah dalam satu kurun waktu anggaran. Adapun, kapasitas regulasi dan pengelolaan pelayanan kesehatan menjadi konsep teknokratis yang mengandung esensi keahlian, ketermpilan, profesionalitas, efisiensi, efektivitas dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, pelaksanaan desentralisai birokrasi pelayanan ksehatan belum memberikan dampak yang merata dan efisien, meskipun sudah banyak dilakukan perubahan kebijakan tingkat daerah melalui Dinas Kesehatan dengan memanfaatkan peluang desentralisasi, perubahan di tingkat bawah (Puskesmas ke bawah) tidak menonjol. Kelemahan utama terletak pada operasionalisasi yang lemah di level tersebut, karena tidak disertai penguatan kemampuan maupun strategi di tingkat bawah. Secara terperinci, kelemahan tersebut ialah kurangnya konsolidasi internal birokrasi pelayanan kesehatan, karena multi peran unit pelayanan kesehatan masyarakat; kurangnya kemampuan menggali potensi lokal, misalnya dengan memperkuat kembali peran kader sehat melalui PKK desa dalam Posyandu, sehingga responsivitasnya lemah; kurangnya kemampuan melakukan inovasi terhadap persoalan-persoalan kesehatan masyarakat yang bervariasi sebagai akibat dari tradisi administrasi rutin dalam birokrasi pelayanan kesehatan.

Desentralisasi dalam bingkai pembangunan selain mempengaruhi pelaksanaan fungsi negara, juga dapat mengarah ke sistem federal. Sebagaimana Hendratno (2007)4 menguraikan persoalan ketidakmerataan hasil pembangunan yang mengacu pada UU No 22 tahun 1999 menggantikan UU No 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahaan di Daerah yang mulai berlaku tanggal diundangkan 7 Mei tahun 1999 menunjukan adanya peningkatan porsi penyerahan kewenangan atau derajat desentralisasi. Menurutnya, UU No 5

(15)
(16)

Desentralisasi juga memiliki pengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana Haug (2007)5 menguraikan tentang dampak desentralisasi, di mana pemerintah daerah memperoleh wewenang politik dan kekuasaan mengambil keputusan yang lebih besar sehingga memperoleh kesempatan yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam penelitiannya, diuraikan data statistik yang menunjukan adanya stagnasi kemiskinan yang lebih tinggi setelah diterapkan disentralisasi. Menurutnya, wewenang pemerintah daerah atas pengelolaan sumber daya alam untuk sementara waktu sempat membuka ruang bagi kabupaten untuk menerbitkan izin penebangan berskala kecil (yang disebut HPHH6 atau IPPK7), tetapi dengan resentralisasi sektor kehutanan pada tahun 2004 wewenang penerbitan izin penebangan kembali menjadi hak ekslusif pemerintah pusat, sehingga desentralisasi menciptakan banyak ketidakpastian di Kalimantan Timur. Melalui penelitiannya, dampak desentralisasi terhadap pengelolaan sumber daya alam dikaitkan dengan kehidupan masyarakat di Kutai Barat secara khusus Dayak Benuaq untuk mengamati dinamika penyelenggaraan desentralisasi serta hubungannya dengan kemiskinan. Hasil temuannya menunjukan bahwa desentralisasi memiliki dampak positif sekaligus negatif bagi kehidupan masyarakat Dayak Benuaq, pembentukan kabupaten baru yang meningkatkan partisipasi politik dan hak penentuan nasib sendiri dari warga yang sebelumnya terpinggirkan, mengarah pada munculnya elit-elit Dayak baru. Infrastruktur dan pelayanan pemerintahan meningkat dari berbagai sektor, program penanggulangan kemiskinan dapat terlihat di semua kampung meskipun pembangunan Kabupaten cenderung terkonsentrasi sehingga mengeceweakan warga yang tinggal di kecamatan yang sulit dijangkau. Disisi lain, desentralisasi membuka beberapa kesempatan bagi tumbuhnya kegiatan ekonomi baru, seperti pembalakan (liar), pembayaran kompensasi, dan imbalan menjadi sumber penghasilan yang menggiurkan. Peningkatan penghasilan

5Haug, Michael., 2007. Kemiskinan dan Desentralisasi di Kutai Barat : Dampak Otonomi Daerah Terhadap Kesejahteraan Dayak Benuaq. CIFOR : Bogor.

6

HPHH: Hak Pemungutan Hasil Hutan

7

(17)

tersebut, diikuti kekayaan materi berjangka pendek karena hanya sedikit keluarga yang menggunakan pendapatan untuk investasi jangka panjang. Selain itu, pekerjaan baru di pemerintahan daerah dan peningkatan harga karet menghadirkan sumber penghasilan bagi warga. Desentralisasi menyebabkan peningkatan pemanfaatan sumber daya alam yang ekstraktif seperti pembalakan kayu dan pertambangan batubara. Di sejumlah tempat, desentralisasi mempercepat proses perubahan sosial, yang meningkatkan ekslusifitas hak atas sumber daya alam yang berimplikasi pada kemiskinan dalam konteks pengelolaan atau pemanfaatan sumber daya alam untuk memperoleh pendapatan. Berdasarkan hal tersebut, diusulkan untuk meningkatkan pemantauan dan perencanaan yang matang; meningkatkan infrastruktur dan pelayanan; meningkatkan lingkungan alam; meningkatkan lingkungan ekonomi; mempertahankan sistem subsidi; meningkatkan lingkungan sosial; dan meningkatkan lingkungan politik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membangun hubungan kerjasama antara sektor publik dan private dalam kebijakan.

Desentralisasi dimaknai sebagai dekonsentrasi yang merupakan prinsip dasar dalam penyelenggaraan hubungan pemerintah pusat dan daerah. Dekonsentrasi selalu mengalami perubahaan sesuai kondisi politik maupun tuntutan obyektif yang berkembang di tengah masyarakat. Dekonsentrasi diyakni sebagai keyakinan tunggal tentang format dan kadar terbaik dari kebijakan dekonsentrasi menuju kontruksi terbaiknya. Dalam konteks dekonsentrasi negara di Indonesia, Utomo (2012)8 mengajukan empat agenda yang diperlukan untuk memperbaiki implementasi dekonsentrasi di Indonesia yakni posisi kepala daerah, menyempurnakan sistem pemilihan kepala daerah, mendefinisikan kembali tujuan desentralisasi dan dekonsentrasi, serta mendesain ulang wewenang dan urusan

dekonsentrasi. Disisi lain, Hapsah dan Mas’udi (2012)9 mengkaji tentang paradoks desentralisasi dan kesejahteraan pada masyarakat

8Utomo, T, Widodo. 2012. Sejarah Dekonsentrasi di Indonesia dan Agenda Kebijakan Kedepan. Jurnal Desentralisasi Volume 10, No. 1, Hal. 1-16

(18)

Kalimantan Timur yang kaya tapi miskin. Hasil kajian menunjukan adanya ketimpangan sebagai dampak dari desentralisasi, sebagaimana sumber daya ekonomi yang melimpah justru telah melahirkan kemiskinan dan buruknya pelayanan publik. Sistem otonomi daerah sebagai implementasi desentralisasi diharapkan bisa menghadirkan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat, mengingat kapasitas fiskal daerah telah meningkat signifikan. Peningkatan kapasitas keuangan dan peningkatan kewenangan pemerintahan dianggap sebagai peluang pemerintah daerah untuk melakukan akselerasi atau percepatan pembangunan guna mencapai kesejahteraan. Namun demikian, hal tersebut tidak berhasil mencapai tujuan ideal pembangunan daerah di Kalimantan Timur. Masyarakat justru menghadapi situasi kemiskinan dan keterpurukan infrastruktur ditengah kelimpahan sumber daya. Sependapat dengan Haug (2007), hasil temuannya menunjukan adanya kegagalan teknokratisme, karena berkah desentralisasi dikuasai oleh elit-elit kekuasaan. Secara terperinci, penyebab kemiskinan dalam kaitannya dengan desentralisasi diuraikan sebagai faktor warisan minor seperti faktor warisan kebijakan masa lalu; faktor sosiologis dan kultural; dan faktor defisiensi pemerintahan lokal. Berdasarkan hal tersebut, perlu diterapkan kebijakan pengarusutamaan kemiskinan(poverty mainstream policy) dalam proses perencanaan pembangunan daerah dan penyusunan anggaran; pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan profesionalisme aparatur pemerintah daerah; Pengawalan konsistensi kebijakan melalui penguatan kontrol masyarakat sipil dan kekuatan sosial lainnya; dan revitalisasi implementasi desentralisasi.

Desentralisasi dalam perkembangannya mulai meningkatkan performa dalam upaya meLSMptimalkan pembangunan yang merata untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana Istania dan Junaedi (2012)10 dalam kajiannya tentang revisi model otonomi daerah menuju desentralisasi asimetris, telah menguraikan beberapa hal yang sangat esensial dalam mencapai keberhasilan desentralisasi.

(19)
(20)

bervariasi dibanding bentuk pertama dan kedua; desentralisasi asimetris radikal yang mengandung prinsip efisiensi dipadukan dengan keberagaman latarbelakang historis, kultur, identitas etnis religius dan bahasa.

Penyelenggaraan desentralisasi atau otonomi daerah berpotensi meningkatkan tindak kriminal dalam hal ini tindak korupsi. Sebagaimana Nugroho (2012)11 tentang otonomi daerah dan korupsi, telah menguraikan fakta empirik tentang hubungan antara tindak korupsi dengan penyelenggaraan desentralisasi. Menurutnya, desentralisasi pada hakekatnya memiliki tujuan mulia yakni untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat; menegakan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan kekhususan daerah; efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa. Namun desentralisasi juga mengandung berbagai bahaya antara lain korupsi yang makin meluas jaringannya. Pendapat tentang hubungan desentralisasi dan korupsi menghasilkan pro dan kontra, desentralisasi dipandang mengurangi tingkat korupsi dan desentralisasi dipandang menyuburkan tingkat korupsi. Dalam penelitiannya, dilakukan analisis data indeks persepsi korups di Indonesia, sehingga ditemukan bahwa korupsi menjadi semakin subur setelah dilaksanakan otonomi daerah karena banyaknya kepala daerah baik Bupati atau Walikota maupun Gubernur yang melakukan tindak korupsi. Hal tersebut terjadi karena pengelolaan keuangan daerah menjadi wewenang daerah. Alasan desentralisai fiskal menyuburkan korupsi disebabkan tiga hal yakni : sadar atau tidak, program otonomi daerah yang digulirkan oleh pemerintah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat; tidak ada institusi negara yang mampu meLSMntrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Berdasarkan hal tersebut, direkomendasikan

(21)

kebijakan dengan melakukan revisi UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, terkait pembagian wewenang pemerintah pusat dan daerah terkait pasal 126 yang memuat status kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Selain itu, pemerintah juga dapat meLSMptimalkan upaya memerangi korupsi di daerah dengan memanfaatkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) secara maksimal. Serta, menerapkan asas pembuktian terbalik yakni aturan hukum yang mengharuskan seseorang untuk membuktikan kekayaan miliknya sebelum menjabat.

Tantangan dalam inovasi penyelenggaraan pemerintahan dalam konteks reformasi administrasi di Indonesia berjalan seiring dengan penyelenggaraan desentralisasi administratif dan pemerintahan daerah. Sebagaimana Suharto (2012)12 menguraikan tentang realitas dan tantangan inovasi penyelenggaraan pemerintahan yang tidak terlepas dari desentralisasi. Menurutnya, desentralisasi administratif dan pemerintahan daerah membutuhkan sebuah tatakelola yang baik (good governance) oleh sebab itu reformasi administrasi publik merupakan agenda yang mendesak untuk dituntaskan. Dalam konteks Indonesia, realitas administrasi publik Indonesia masih memperlihat-kan praktek administrasi publik tradisional dan masih mencerminmemperlihat-kan patrimonial governance yang telah berkembang sejak jaman pra kolonial. Walaupun era reformasi (Paska 1998) membawa pada transisi demokrasi Indonesia dan memungkinkan untuk mendesentralisasikan kekuasaan ke pemerintah daerah yang sebelumnya hampir sepenuhnya dikuasai pemerintah pusat, tidak berarti bahwa setiap tuntutan, kepentingan dan ide-ide grassroots akan diakomodasi oleh pemerintah daerah. Kebijakan desentralisasi, selain membawa dampak positif pada kenyataannya juga mendorong ketidakefisienan pemerintah dalam wujud pemekaran daerah. Oleh karena itu, inovasi penyelenggaraan pemerintah memerlukan adanya reformasi administrasi melalui pendekatan governance untuk membangun tindakan kolektif yang didasarkan pada penciptaan tujuan bersama.

(22)

Kerangka Pikir Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikaji sebelumnya, pelbagai permasalahan dan tantangan dalam penyelenggaraan desentralisasi maupun otonomi daerah perlu untuk dianalisis dan diantisipasi melalui penjaringan aspirasi serta persepsi para aktor yang memiliki peran penting dalam pembangunan suatu negara. Berkenan dengan penyelenggaraan desentralisasi, Timor Leste merupakan negara yang akan mengimplementasikan sistem desentralisasi administratif dan pemerintahan daerah untuk mengoptimalkan fungsi pemerintahan. Oleh sebab itu, penting untuk diketahui pemikiran para aktor yakni birokrat, akademisi, sektor swasta, dan organisasi kemasyarakatan terkait potensi masalah yang timbul sebagai dampak dari penerapan desentralisasi administratif dan pemerintahan daerah di Timor Leste, sehingga dapat diantisipasi dan disiapkan solusi atau strategi penanganan masalah guna mencapai keberhasilan dalam pembangunan negara. Berikut ini adalah kerangka pikir penelitian.

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pikir penelitian dalam Gambar 2.1 merupakan proses penelitian tentang mengantisipasi desentralisasi otonomi daerah yang merupakan judul penelitian ini. Dalam upaya untuk mencapai tujuan

Desentralisasi

Masalah

Antisipasi Presepsi Birokrat

Presepsi Akademisi

Presepsi Pengusaha

Presepsi

(23)

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Pneumoconiosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh adanya partikel (debu) yang masuk atau mengendap di dalam paru-paru. Partikel yang berukuran kurang dari 5

Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa penggunaan peta konsep dapat membantu pemahaman mahasiswa terhadap konsep Statistika Dasar dengan demikian penelitian ini dapat

Sebagai seorang siswa kadang-kadang tidak sadar akan kedudukannya dalam organisasi di sekolah. Oleh sebab itu menjadi langkah yang kedua yang harus dilakukan oleh seorang

Pada evaluasi hari kedua, partisipan 1 nampak masih sesak, pada pemeriksaan dada masih terdengar suara nafas tambahan ronkhi dibagian kanan, adanya bunyi

Lampiran 4 Grafik

[r]

Untuk mengetahuai bagaimana pelaksanaan pembelajaran dengan Model Pembelajaran Creative Problem Solving pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial kelas VIII SMP N

Negara lemah mempunyai peranan dalam sistem antarabangsa namun pengaruh mereka tidaklah setanding pengaruh yang diberikan oleh kuasa-kuasa besar dunia sebagai aktor