• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi coping pada orangtua yang memiliki anak retardasi mental.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi coping pada orangtua yang memiliki anak retardasi mental."

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

Titut Esti K. (2008). Strategi Coping Pada Orangtua Yang Memiliki Anak Retardasi Mental. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Jurusan Psikologi, Program Studi Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan strategi coping yang digunakan oleh orangtua yang memiliki anak retardasi mental karena kehadiran anak retardasi mental dalam keluarga mengakibatkan munculnya perubahan dan keadaan baru yang menimbulkan situasi stres sehingga orangtua berusaha untuk beradaptasi dengan mengatasi dan mengurangi efek negatif dari situasi yang dialami tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan subjek penelitian yang berjumlah tiga pasang orangtua, yaitu ayah dan ibu dari anak yang menderita retardasi mental. Data diperoleh dengan melakukan wawancara dan observasi kepada subjek kemudian data dianalisis menurut isinya melalui pengorganisasian data secara sistematis, melakukan pengkodean dan interpretasi sehingga data yang diperoleh bisa dipahami secara lebih mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam menghadapi anak retardasi mental, subjek menggunakan strategi problem-focused coping yang berupa active coping dengan menyekolahkan anak di sekolah khusus seperti SLB atau YPAC dan restraint coping dimana subjek menunda rencana yang dibuat seperti membuka usaha dagang untuk anak ataupun memeriksakan keadaan fisik anak hingga adanya waktu dan kesempatan yang tepat. Subjek juga menggunakan strategi emotion-focused coping yaitu berupa tindakan turning to religion dengan cara meningkatkan kepercayaan dan mendekatkan diri kepada Tuhan, positive reinterpretation and growth dimana subjek mengambil sisi positif atau hikmah dari situasi stres melalui belajar untuk lebih banyak bersyukur, acceptance yaitu pasrah menerima kenyataan yang telah terjadi dan menjalani keadaan secara ikhlas, mental disengagement yaitu dengan bersikap santai dan mengalihkan perhatian dengan melakukan kegiatan lain, dan behavioral disengagement

misalnya dengan tidak melanjutkan lagi usaha pengobatan bagi anak. Strategi yang juga digunakan subjek adalah strategi seeking social support yang berupa tindakan seeking emotional social support, yaitu mencoba mendapatkan dukungan moral, pengertian dan simpati melalui sharing atau berbagi cerita dengan orang-orang terdekat. Subjek juga memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki untuk mengatasi stres, antara lain kondisi kesehatan yang baik, keyakinan dan sikap positif, kemampuan dan dukungan sosial yang dimiliki, serta tingkat pendidikan dan standar kehidupan yang tinggi.

(2)

Koeswardani, T. E. (2008). Parents’ Coping Strategy who Have Mental Retarded Children. Yogyakarta: Department of Psychology, Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.

This research was purposed to describe the coping strategy which is used by the parents who have mental retarded children because their presence in the family cause a new situation that can affect stress. Therefore, the parents try to adapt it by exceed and minimize the negative effect of this situation.

This research was a qualitative descriptive research with the subjects were three parents who have mental retarded children. The data was collected by interviewing and observing the subjects, then the data was analized based on its content through data organizing sistematically, coding and interpreting so that the data more could be understood.

The result showed that handle mental retarded children, the subjects use

problem-focused coping. There are active coping by sent them to special schools such as SLB or YPAC, and restraint coping which postpone their plans like opening a business for the children or checking the children’s physical condition until an appropriate time and opportunity. The subjects also use emotion-focused coping, such as turning to religion by increase their belief and turn to the God, then positive reinterpretation and growth by take the positive advantages from the stressful situation pass through learn to be more grateful, acceptance by accept the fact has occured with whole heart, mental disengagement by try to relax and distract the attention to do something else, and behavioral disengagement such as stop the children’s medical check up. The other strategy is seeking social support

by seeking emotional social support, that is try to get moral support, attention and sympathy by share the stories with the closest person. Subjects also use the coping resources to handle their stress. Those are well health, faith and positive attitude, skill and social support, and also high education and standard of living.

(3)

YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Titut Esti Koeswardani

039114006

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)

YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Titut Esti Koeswardani

039114006

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2008

(5)
(6)
(7)

“ Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau,

Janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu;

Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau;

Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang

membawa kemenangan...” (Yesaya 41:10)

Dalam hening mengepakkan sayap doa 

Jiwaku membubung menuju takhta; 

Dan kutemukan pengharapan kekuatanku 

Saat hatiku berpadu dengan hatiMu...(anonymous) 

(8)

Sebuah karya sederhana ini kupersembahkan kepada :

™

My Lord, Jesus Christ sumber pengharapanku

™

Mama dan Papa terkasih

™

My brother ‘n my sister in law

™

My big soul

™

All my big family

™

All my friends

(9)
(10)

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah dituliskan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Maret 2008

Penulis

Titut Esti Koeswardani

(11)

Titut Esti K. (2008). Strategi Coping Pada Orangtua Yang Memiliki Anak Retardasi Mental. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Jurusan Psikologi, Program Studi Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan strategi coping yang digunakan oleh orangtua yang memiliki anak retardasi mental karena kehadiran anak retardasi mental dalam keluarga mengakibatkan munculnya perubahan dan keadaan baru yang menimbulkan situasi stres sehingga orangtua berusaha untuk beradaptasi dengan mengatasi dan mengurangi efek negatif dari situasi yang dialami tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan subjek penelitian yang berjumlah tiga pasang orangtua, yaitu ayah dan ibu dari anak yang menderita retardasi mental. Data diperoleh dengan melakukan wawancara dan observasi kepada subjek kemudian data dianalisis menurut isinya melalui pengorganisasian data secara sistematis, melakukan pengkodean dan interpretasi sehingga data yang diperoleh bisa dipahami secara lebih mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam menghadapi anak retardasi mental, subjek menggunakan strategi problem-focused coping yang berupa active coping dengan menyekolahkan anak di sekolah khusus seperti SLB atau YPAC dan restraint coping dimana subjek menunda rencana yang dibuat seperti membuka usaha dagang untuk anak ataupun memeriksakan keadaan fisik anak hingga adanya waktu dan kesempatan yang tepat. Subjek juga menggunakan strategi emotion-focused coping yaitu berupa tindakan turning to religion dengan cara meningkatkan kepercayaan dan mendekatkan diri kepada Tuhan, positive reinterpretation and growth dimana subjek mengambil sisi positif atau hikmah dari situasi stres melalui belajar untuk lebih banyak bersyukur, acceptance yaitu pasrah menerima kenyataan yang telah terjadi dan menjalani keadaan secara ikhlas, mental disengagement yaitu dengan bersikap santai dan mengalihkan perhatian dengan melakukan kegiatan lain, dan behavioral disengagement

misalnya dengan tidak melanjutkan lagi usaha pengobatan bagi anak. Strategi yang juga digunakan subjek adalah strategi seeking social support yang berupa tindakan seeking emotional social support, yaitu mencoba mendapatkan dukungan moral, pengertian dan simpati melalui sharing atau berbagi cerita dengan orang-orang terdekat. Subjek juga memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki untuk mengatasi stres, antara lain kondisi kesehatan yang baik, keyakinan dan sikap positif, kemampuan dan dukungan sosial yang dimiliki, serta tingkat pendidikan dan standar kehidupan yang tinggi.

(12)

Koeswardani, T. E. (2008). Parents’ Coping Strategy who Have Mental Retarded Children. Yogyakarta: Department of Psychology, Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.

This research was purposed to describe the coping strategy which is used by the parents who have mental retarded children because their presence in the family cause a new situation that can affect stress. Therefore, the parents try to adapt it by exceed and minimize the negative effect of this situation.

This research was a qualitative descriptive research with the subjects were three parents who have mental retarded children. The data was collected by interviewing and observing the subjects, then the data was analized based on its content through data organizing sistematically, coding and interpreting so that the data more could be understood.

The result showed that handle mental retarded children, the subjects use

problem-focused coping. There are active coping by sent them to special schools such as SLB or YPAC, and restraint coping which postpone their plans like opening a business for the children or checking the children’s physical condition until an appropriate time and opportunity. The subjects also use emotion-focused coping, such as turning to religion by increase their belief and turn to the God, then positive reinterpretation and growth by take the positive advantages from the stressful situation pass through learn to be more grateful, acceptance by accept the fact has occured with whole heart, mental disengagement by try to relax and distract the attention to do something else, and behavioral disengagement such as stop the children’s medical check up. The other strategy is seeking social support

by seeking emotional social support, that is try to get moral support, attention and sympathy by share the stories with the closest person. Subjects also use the coping resources to handle their stress. Those are well health, faith and positive attitude, skill and social support, and also high education and standard of living.

(13)

Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Tuhan Yesus Kristus,

yang telah melimpahkan berkah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang disusun untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi di

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini takkan terwujud tanpa bantuan,

bimbingan, dukungan dan dorongan dari berbagai pihak yang sangat berarti bagi

penulis. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan

ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Jesus Christ, yang selalu melimpahkan berkat dan anugerah-Nya serta yang

tiap saat selalu memberikan pengharapan dan kekuatan sehingga penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi

yang telah membimbing dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk

melaksanakan penulisan ini.

3. Ibu Sylvia CMYM, S.Psi., M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi yang telah

membantu dan membimbing penulis secara akademik baik di dalam maupun

di luar kelas.

4. Ibu ML. Anantasari, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

banyak meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan, masukan, kritik,

saran dan dukungan moral yang telah membuat penulis siap secara mental

selama mengerjakan skripsi ini.

(14)

Terima kasih telah menjadi dosen pembimbing yang senantiasa membantu

penulis mengenai masalah akademik.

6. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah mendidik penulis selama studi

di Fakultas Psikologi ini. Terima kasih atas bimbingan dan arahannya selama

ini.

7. Mbak Nanik, Mas Gandung, Mas Mudji, Mas Doni dan Pak Gie’ yang dengan

sabar membantu dan memberikan kemudahan bagi penulis selama proses studi

penulis di Fakultas Psikologi.

8. Mama dan papa tercinta yang selalu mendoakan, mensupport dan percaya

dengan segala keputusan yang penulis ambil di setiap langkah kehidupan ini

sehingga membuat penulis belajar untuk mandiri dan lebih dewasa menyikapi

sesuatu. Terima kasih atas setiap sarana dan kemudahan yang selalu

disediakan walaupun mama dan papa sedang dalam kesulitan. Thanks a lot to

my parents...

9. Mas Nanu, mas-ku satu-satunya...thanks buat perhatian dan rasa sayangnya

yang gak pernah diungkapkan secara langsung...I like the way you love

me...However you are, you are the best brother for me....

10. Mba Rina, my sister in law, thanks buat setiap masukan dan cerita-ceritanya...

Mba Dwi, makasi sudah jagain mama dan papa di Palembang....

11. All my big family....simbah, budhe-budhe, pakdhe-pakdhe, mas-mas,

mbak-mbak dan keponakan-keponakanku...makasi atas doa, dukungan, perhatian,

keakraban dan keceriaan yang diberikan ke aku...

(15)

hidupku...setiap proses yang sudah kita lalui selama ini menjadikan aku

sebagai wanita yang sangat berarti dan kaya akan rasa....Doa, kepercayaan dan

dukunganmu memberi kekuatan bagiku....maaf lo sering ngerepotin dirimu....

13. Semua “yang pernah hadir” dalam hidupku...thanks buat semua proses

pembelajaran yang sudah dilalui bersama....

14.Teman seperjuanganku, Grisna...yang selalu mengingatkan dan

memperhatikanku selama di Yogya....thanks for all process ya Gris...

15.Teman-teman terbaikku, Oied, Prima-poke, Otics, Dee2, Nana,

Sari...dinamika akademik dan dinamika kehidupan mendewasakan pribadi kita

masing-masing....Perkenalan dan kedekatan dengan kalian memberikan warna

tersendiri dalam hidupku...

16. Teman-teman satu bimbingan Bu Ari....mba Dewi, Tanti “tante”, Bayu,

Suster, Bona dan teman-teman yang lain...terima kasih buat semua proses dan

dukungan yang memberi semangat dan kekuatan....

17.Teman-teman Kost Manunggal, Qnoy dan CingHe yang bersedia membantuku

untuk melengkapi skripsi ini secara teknis sekaligus temen paling asyik buat

keluar malem bersama Doddy ataupun cuma buat nongkrong di AJP atau

burjo bersama Yoki dan Ratna...Adi yang mensupportku dengan

sindiran-sindirannya...Happy yang sering membuatku takut dengan tatapan

kosongnya...Lina yang bisa diajak join masak...dan teman-teman lain yang

bersedia berbagi apapun di kos...Makasi atas perhatian, canda tawa dan

lelucon-lelucon kalian selama ini...

(16)

selama ini yang membuatku jadi belajar banyak karakter...

19. Keluarga Pak Ismed, Pak Ngatimin dan Pak Effendi, terima kasih atas

kesediaan dan keakraban yang diberikan sehingga sangat membantu

kelancaran penulis selama proses penyelesaian skripsi ini....

20. Angkringan “Agung”, McD dan burjo...keberadaan kalian membantuku dalam

menyelesaikan masalah kelaparan di tengah malam...

21. Semua pihak yang belum kusebutkan satu per satu di sini....terima kasih atas

dukungan dan perhatian kalian...

22. The last, thanks to the reader yang rela meluangkan waktu untuk membaca

karya tulis ini....

Penulis juga menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan adanya kritikan dan saran dari pembaca yang

bisa menjadi masukan bagi penulis untuk mengembangkan kemampuan penulis

menjadi lebih baik. Penulis berharap agar karya tulis ini dapat menjadi inspirasi

bagi pembaca...That’s all...

Penulis,

Titut Esti Koeswardani

(17)

HALAMAN JUDUL . . . . . . . . .. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING. . . . ii

HALAMAN PENGESAHAN. . . .. iii

HALAMAN MOTTO. . . iv

HALAMAN PERSEMBAHAN. . . . . . .. . v

Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Iilmiah Untuk Kepentingan Akademis. . . ... . . . .. . . ... . vi

Pernyataan Keaslian Karya. . . .. . . .. .. . . .. .. . . vii

Abstrak. . . . . . .. . viii

Abstract. . . . . . . .. . . .. . . ix

Kata Pengantar. . . . . . . x

Daftar Isi. . . . . . .. . xiv

Daftar Tabel. . . . . . .. xviii

Daftar Gambar. . . . . . xix

Daftar Lampiran.. . . . . . . xx

BAB I. PENDAHULUAN. . . . . . .. 1

A. Latar Belakang Masalah . . . . . . .. 1

B. Rumusan Masalah. . . . . . 7

C. Tujuan Penelitian.. . . . . . 7

D. Manfaat Penelitian. . . . . . 7

(18)

BAB II. LANDASAN TEORI. . . . . . 9

A. Stres. . . . . . .. . . .9

1.Pengertian Stres. . . . . . 9

2.Penyebab Stres (Stressor) . . . . . . 10

B. Strategi Coping. . . . . . 11

1.Pengertian Strategi Coping.. . . . . . 11

2.Bentuk-bentuk Strategi Coping. . . . . . 12

3.Sumberdaya Coping. . . . . . 16

C. Retardasi Mental. . . . . . 18

1.Pengertian Retardasi Mental. . . . . . 18

2.Jenis-jenis Retardasi Mental. . . . . . 19

D. Orangtua. . . . . . .. . . 21

1.Definisi Orangtua. . . . . . 21

2.Peranan Orangtua dalam Keluarga. . . . . . .22

E. Strategi Coping pada Orangtua yang Memiliki Anak Retardasi Mental. . . . . . 24

F. Pertanyaan Penelitian. . . . . . 29

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. . . . . . 30

A. Jenis Penelitian. . . . . . 30

B. Identifikasi Variabel. . . . . . 30

(19)

D. Subjek Penelitian. . . . . . 31

E. Metode Pengumpulan Data. . . . . . 32

F. Analisis Data. . . . . . .. 35

G. Pemeriksaan Kesahihan dan Keabsahan Data. . . . . . 36

H. Prosedur Pengumpulan Data. . . . . . 39

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. . . . . . 41

A. Tahap Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian. . . . . . 41

B. Subjek Penelitian. . . . . . 43

C. Analisa Data Hasil Penelitian. . . . . . 44

D. Pembahasan Penelitian. . . . . . 53

1. Gambaran Dinamika Psikologis Strategi Coping Masing-masing Subjek. . . . . . 54

a.Subjek 1 (Ayah) . . . . . . 54

b.Subjek 1 (Ibu) . . . . . . 62

c.Subjek 2 (Ayah) . . . . . . 68

d.Subjek 2 (Ibu) . . . . . . 73

e.Subjek 3 (Ayah) . . . . . . 78

f.Subjek 3 (Ibu) . . . . . . 83

2. Dinamika Psikologis Strategi Coping Tiap Pasangan Subjek yang Memiliki AnakRetardasi Mental. . . . . . 88

a.Pasangan Subjek 1. . . . . . 88

(20)

c.Pasangan Subjek 3. . . . . . 109

3. Gambaran Menyeluruh tentang Strategi Coping Orangtua yang Memiliki Anak Retardasi Mental. . . . . . .. 120

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. . . . . . 130

A. Kesimpulan. . . . . . .. . 130

B. Saran. . . . . . .. . . 132

DAFTAR PUSTAKA. . . . . . .. . . 133

LAMPIRAN

SURAT PERNYATAAN PENELITIAN

(21)

Tabel 1. Panduan Wawancara. . . . . . 33

Tabel 2. Panduan Observasi. . . . . . 34

Tabel 3. Pelaksanaan Konfirmasi Data Kepada Subjek. . . . . . 38

Tabel 4. Pelaksanaan Wawancara Dengan Subjek. . . . . . 42

Tabel 5. Data Subjek Penelitian. . . . . . 43

Tabel 6. Ringkasan Analisis Hasil Wawancara Subjek 1, Subjek 2 dan Subjek 3. . . . . . .. . . 45

(22)

Gambar 1. Jenis Strategi Coping. . . . . . .. . 16

Gambar 2. Strategi Coping Orangtua yang Memiliki Anak Retardasi Mental. . . 28

Gambar 3. Dinamika Psikologis Strategi Coping Subjek I (Ayah). . . . . . . 61

Gambar 4. Dinamika Psikologis Strategi Coping Subjek I (Ibu). . . 67

Gambar 5. Dinamika Psikologis Strategi Coping Subjek II (Ayah). . . 72

Gambar 6. Dinamika Psikologis Strategi Coping Subjek II (Ibu). . . . . . . . . . 77

Gambar 7. Dinamika Psikologis Strategi Coping Subjek III (Ayah). . . . . . . . . . .82

Gambar 8. Dinamika Psikologis Strategi Coping Subjek III (Ibu). . . . .. . . . .. . . 87

Gambar 9. Dinamika Psikologis Strategi Coping Pasangan Subjek I. . . .. . . . . . . 99

Gambar 10.Dinamika Psikologis Strategi Coping Pasangan Subjek II. . . . . . . . 108

Gambar 11.Dinamika Psikologis Strategi Coping Pasangan Subjek III. . . . .. . . . .. 119

Gambar 12.Gambaran Menyeluruh Strategi Coping Orangtua yang Memiliki

Anak Retardasi Mental. . . . . . 129

(23)

Lampiran 1. Hasil Wawancara Subjek 1 (Bapak). . . . . . . . . 136

Lampiran 2. Koding Hasil Wawancara Subjek 1 (Bapak). . . . . . . . . . . . 160

Lampiran 3. Hasil Wawancara Subjek 1 (Ibu). . . .. .. . .. . . . 166

Lampiran 4. Koding Hasil Wawancara Subjek 1 (Ibu). . .. . . 185

Lampiran 5. Hasil Wawancara Subjek 2 (Bapak). . . . . . .. . . .. 189

Lampiran 6. Koding Hasil Wawancara Subjek 2 (Bapak). . . .. . . 199

Lampiran 7. Hasil Wawancara Subjek 2 (Ibu). . . 202

Lampiran 8. Koding Hasil Wawancara Subjek 2 (Ibu). . . . .. . . .. . 214

Lampiran 9. Hasil Wawancara Subjek 3 (Bapak). . . .. . . 227

Lampiran 11. Hasil Wawancara Subjek 3 (Ibu). . . .. . . .. . . . . . .. . 230

Lampiran 12. Koding Hasil Wawancara Subjek 3 (Ibu). . . .. 240

(24)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sepasang suami istri yang memutuskan untuk menikah dan

membangun sebuah keluarga tentu mengharapkan kehadiran seorang anak

untuk dapat melengkapi kebahagiaan rumah tangga mereka. Kehadiran

seorang anak dalam keluarga adalah salah satu harapan terbesar orangtua dan

merupakan anugerah terindah yang diberikan Tuhan yang bisa mendatangkan

kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Mereka tentunya juga berharap anak

mereka kelak dapat lahir dengan selamat tanpa adanya kekurangan baik secara

fisik maupun mental.

Suatu hal yang wajar ketika orangtua mengharapkan anak mereka

dapat tumbuh secara sehat dan normal seperti kebanyakan anak-anak lainnya.

Harapan tersebut tidak selamanya dapat terwujud karena ada anak yang

dilahirkan secara normal dan sehat dan ada pula anak yang dilahirkan dengan

memiliki keterbatasan pada fisik maupun mental. Hal ini memberi peluang

bahwa tidak setiap orangtua pada akhirnya bisa memiliki anak yang tumbuh

secara normal dan sempurna. Suatu kenyataan yang tidak diharapkan tersebut

akan menjadi mimpi buruk dalam kehidupan ketika anak mereka menderita

retardasi mental atau keterbelakangan mental yang akan mengalami hambatan

(25)

Kehadiran anak retardasi mental ini akan menimbulkan berbagai reaksi

dari orangtua, yaitu dari menerima seluruhnya keterbelakangan mental

anaknya hingga melakukan penolakan terhadap kehadiran anak tersebut.

Semua bentuk kondisi dan situasi yang menghambat proses perkembangan

anak secara baik dan normal serta kenyataan yang harus diterima orangtua

bahwa anak mereka menderita retardasi mental akan menambah beban dan

menyebabkan stres pada mereka (Prasadio, 1978).

World Health Organization (dalam PPDGJ III, 1993) mendefinisikan

retardasi mental sebagai suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti

atau tidak lengkap yang terlihat selama masa perkembangan sehingga

berpengaruh pada semua tingkat intelegensia, yaitu kemampuan kognitif,

bahasa, motorik, dan sosial. Dalam retardasi mental, individu tidak mampu

mengembangkan aneka keterampilan sampai pada taraf yang cukup yang

dibutuhkan untuk menghadapi tuntutan-tuntutan lingkungan secara memadai

dan mandiri.

Retardasi mental bisa dikelompokkan dalam beberapa subtipe, yaitu

retardasi mental ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Dalam penelitian ini

dipilih orangtua yang memiliki anak yang menderita retardasi mental berat

karena penderita retardasi mental berat merupakan dependent retarded.

Penderita dengan retardasi mental berat akan sangat tergantung pada

pertolongan orang lain dalam kehidupannya karena penderita juga akan

mengalami gangguan perkembangan motor, pengindraan, dan gangguan

(26)

yang lebih kepada penderita retardasi mental berat daripada anak-anak normal

lainnya (Supratiknya, 1995).

Prasadio (1978) menyebutkan bahwa pada umumnya orangtua akan

memiliki perasaan sedih dan kecewa, cemas, tidak mempunyai harapan,

merasa bersalah, bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika

memiliki anak yang menderita retardasi mental. Menurut Malony dan Holt

(dalam Prasadio, 1976), tiga reaksi inti orangtua ketika berhadapan dengan

anak yang menderita retardasi mental adalah depression, denial, dan

displacement. Keadaan depresi timbul karena orangtua merasa malu, kecewa,

kehilangan harga diri, dan perasaan negatif lainnya yang pada akhirnya akan

membawa mereka kepada suatu keadaan yang tertekan. Reaksi denial atau

tidak mau mengakui kenyataan menyebabkan orangtua mengharapkan adanya

suatu keajaiban penyembuhan dan hal ini mengakibatkan orangtua

mengabaikan saran-saran yang diberikan oleh orang lain kepadanya. Reaksi

displacement berarti orangtua cenderung menyalahkan dokter/psikiater yang

membuat diagnosa retardasi mental dan kemudian peka terhadap segala

bentuk kritik serta bersikap berlebihan terhadap anak.

Menurut Ingalls (1978), memiliki anak yang menderita retardasi

mental merupakan kenyataan yang sangat berbeda dengan harapan mereka

sehingga hal tersebut menjadi suatu peristiwa yang mengejutkan dan

menyedihkan dalam kehidupan mereka. Prasadio (1978) menguraikan bahwa

orangtua akan merasa cemas, frustrasi dan merasa berdosa ketika menghadapi

(27)

tersebut akan menambah beban dalam keluarga dan orangtua akan semakin

sulit menerima kenyataan dengan baik. Jika hal tersebut berlangsung secara

terus-menerus maka bisa membuat orangtua menjadi tertekan atau stres.

Orangtua harus belajar untuk menerima keadaan anak tersebut dengan baik

dan mengerti bagaimana menerima suatu kondisi dan perubahan-perubahan

yang ada karena mereka dipaksa untuk berhadapan dengan pengalaman yang

berbeda dengan para orangtua lainnya dalam merawat anak. Orangtua juga

dituntut untuk berlatih menjadi individu yang dewasa dan sabar untuk

melakukan berbagai penyesuaian diri dengan keadaan anak mereka seperti

memberikan perawatan, pendidikan, dukungan, dan perhatian ekstra tanpa

terlalu bersikap berlebihan atau overprotection kepada anak.

Selain itu, mereka akan mengalami kesulitan dalam bersosialisasi

karena persoalan retardasi mental tidak bisa dilepaskan dari sikap dan

kesadaran masyarakat terhadap arti dari retardasi mental itu sendiri. Soutter

(dalam Prasadio, 1976) mengemukakan, masyarakat dahulu beranggapan

bahwa retardasi mental memiliki hubungan dengan penyakit kutukan, moral

deficiency, kejahatan, dan keturunan sehingga anak retardasi mental biasanya

menjadi bahan tertawaan, dianggap sebagai individu yang aneh, konyol, dan

idiot. Oleh karena itu, masyarakat cenderung menghindari interaksi dengan

orangtua yang memiliki anak retardasi mental sehingga orangtua akan

mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dengan masyarakat karena adanya

(28)

Kehadiran anak yang menderita retardasi mental ini membawa

berbagai perubahan dalam kehidupan orangtua dan membawa mereka pada

keadaan baru. Sarason & Sarason (1984) dan Moos & Schaefer (1986)

menyatakan bahwa transisi atau perubahan dalam kehidupan ini menimbulkan

keadaan yang menekan (stres) karena dalam kehidupan terdapat berbagai

kejadian-kejadian utama yang membawa seseorang dari suatu keadaan yang

nyaman ke keadaan baru yang menimbulkan berbagai perubahan-perubahan

yang penting dan menimbulkan tuntutan-tuntutan baru yang harus dipenuhi

dalam kehidupan (dalam Sarafino, 1990). Keadaan baru bagi orangtua yang

memiliki anak retardasi mental akan menimbulkan stres karena orangtua

mengalami perubahan-perubahan penting dalam hidup dan harus memenuhi

berbagai tuntutan baru, antara lain melakukan berbagai penyesuaian diri

dengan keadaan anak retardasi mental serta tuntutan dalam menghadapi dan

menerima stigma yang tumbuh dalam masyarakat tanpa harus mengisolasi diri

dari kehidupan sosial.

Lazarus (1990) mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi atau

perasaan yang dialami individu ketika individu merasa bahwa kebutuhan atau

tuntutannya melebihi sumberdaya individu dan sosial yang bisa digunakan

(dalam Huffman, Vernoy dan Vernoy, 1997). Menurut Zautra (2003), stres

bisa didefinisikan sebagai respon terhadap suatu peristiwa yang ditandai

dengan munculnya emosi-emosi negatif (dalam Passer dan Smith, 2004).

Sarafino (1990) menyebutkan bahwa ketika berhadapan dengan suatu

(29)

suatu tindakan untuk mengendalikan, bertoleransi, mengurangi ataupun

meminimalkan stres tersebut. Tindakan tersebut biasa dikenal dengan coping

stres yang menurut Lazarus dan Launier (1978) coping stres ini selanjutnya

akan diwujudkan dalam bentuk strategi coping yang mengarah pada usaha

kognitif dan perilaku yang dilakukan seseorang untuk mengatasi tuntutan

internal maupun eksternal dan konflik-konflik yang muncul dalam situasi stres

(Taylor, 1999).

Passer dan Smith (2004) mengemukakan tiga bentuk umum strategi

coping yaitu emotion-focused coping yang merupakan suatu usaha untuk

mengatur respon-respon emosional yang muncul akibat situasi yang

menimbulkan stres, problem-focused coping yaitu suatu usaha untuk

menghadapi dan mengatasi langsung tuntutan dari situasi stres tersebut atau

faktor-faktor yang menyebabkan stres, dan seeking social support berupa

usaha pengelolaan stres dengan berpaling pada orang lain untuk memperoleh

bantuan dan dukungan emosional pada situasi stres, yang dapat berupa

bimbingan, dukungan emosional, dukungan moril, atau bantuan materi seperti

uang.

Berdasarkan uraian di atas, maka penting dilakukan penelitian untuk

mengetahui dan memberikan gambaran mengenai bentuk-bentuk strategi

coping pada orangtua yang memiliki anak retardasi mental. Hal ini

dikarenakan mereka harus berhadapan dengan keadaan dan tuntutan baru yang

menimbulkan situasi stres sehingga orangtua harus memilih bentuk strategi

(30)

mengatasi, mengurangi dan menurunkan efek negatif dari situasi stres yang

dialami tersebut.

Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk memberikan gambaran

mengenai bentuk-bentuk strategi coping pada orangtua yang memiliki anak

retardasi mental dengan menggunakan desain penelitian kualitatif deskriptif

sehingga menghasilkan pemahaman mengenai strategi coping yaitu segala

upaya dan tindakan yang dilakukan oleh orangtua dalam mengatasi stres yang

dialami.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini adalah

bagaimana gambaran strategi coping pada orangtua yang memiliki anak

retardasi mental.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menggambarkan strategi coping

yang digunakan oleh orangtua yang memiliki anak retardasi mental.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoretis :

Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan

(31)

klinis mengenai strategi coping yang digunakan oleh orangtua yang

memiliki anak retardasi mental.

2. Manfaat praktis :

a. Bagi orangtua

Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan gambaran

yang lebih jelas mengenai strategi coping yang digunakan oleh

orangtua dalam mendampingi anak mereka yang menderita retardasi

mental sehingga bisa menjadi referensi bagi orangtua lain yang

mengalami kasus serupa.

b. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat

untuk menambah wacana dalam menyikapi kehadiran anak retardasi

(32)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Stres

1. Pengertian Stres

Stres menurut Selye adalah respon-respon non spesifik dari tubuh

terhadap beberapa tuntutan (dalam Huffman, Vernoy dan Vernoy, 1997).

Selye (1956) memandang bahwa stres bukanlah sesuatu yang tidak baik,

semua tergantung pada bagaimana seseorang memaknai peristiwa yang

menimbulkan stres tersebut.

Lazarus (1990) mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi atau

perasaan yang dialami individu ketika individu merasa bahwa kebutuhan

atau tuntutannya melebihi sumberdaya individu dan sosial yang bisa

digunakan (dalam Huffman, Vernoy dan Vernoy, 1997).

Stres menurut Zautra (dalam Passer dan Smith, 2004) bisa

didefinisikan sebagai respon terhadap suatu peristiwa yang ditandai

dengan munculnya emosi-emosi negatif.

Jadi, stres merupakan respon individu terhadap suatu peristiwa

yang ditandai dengan munculnya emosi-emosi negatif ketika individu

merasa bahwa tuntutan dari peristiwa tersebut melebihi sumberdaya yang

dimiliki dan semua tergantung pada persepsi individu terhadap situasi

(33)

2. Penyebab Stres (Stressor)

Sarason & Sarason (1984) dan Moos & Schaefer (1986)

mengemukakan bahwa situasi stres dapat disebabkan oleh adanya transisi

atau perubahan hidup dari satu kondisi ke kondisi lain dalam kehidupan

individu sehingga menghasilkan perubahan yang penting dan

menimbulkan tuntutan baru yang harus dipenuhi (dalam Sarafino, 1990).

Dengan kata lain, stressor merupakan segala sesuatu yang menyebabkan

perubahan dalam hidup sehingga dapat menimbulkan stres.

Passer dan Smith (2004) mengemukakan bahwa penyebab stres

atau stressor merupakan suatu jenis stimulus tertentu, baik bersifat fisik

maupun psikologis, yang mengakibatkan suatu tuntutan yang mengancam

kesejahteraan dan menuntut seseorang untuk beradaptasi dengan cara

tertentu. Van Praag dan Zautra (dalam Passer dan Smith, 2004)

menguraikan stressor dapat dibedakan berdasarkan intensitasnya, yaitu :

a. Microstressor yang bisa berupa masalah-masalah yang terjadi dalam

kehidupan sehari-hari.

b. Major negative events atau peristiwa-peristiwa negatif yang besar yaitu

masalah-masalah yang sangat membebani kita dan menuntut usaha

yang besar untuk mengatasi masalah tersebut.

c. Catastrophic events yaitu berupa peristiwa-peristiwa yang terjadi

secara tidak terduga dan berpengaruh terhadap sejumlah besar

(34)

Seperti yang telah diuraikan di atas, semua penyebab stres tersebut

berhubungan dengan perubahan yang menimbulkan stres sehingga muncul

kebutuhan untuk beradaptasi agar dapat mempertahankan keadaan yang

dirasakan nyaman. Penyebab stres sendiri dapat dibedakan menjadi

microstressor yaitu berupa masalah yang terjadi sehari-hari, major

negtaive events yaitu masalah yang sangat membebani dan menuntut

usaha untuk mengatasi masalah tersebut, dan catastrophic events yaitu

peristiwa yang terjadi secara tidak terduga dan berpengaruh terhadap

sejumlah besar masyarakat.

B. Strategi Coping

1. Pengertian Strategi Coping

Sarafino (1990) menyatakan bahwa ketika berhadapan dengan

situasi yang menimbulkan stres, individu akan mencoba melakukan

usaha-usaha tertentu untuk beradaptasi dengan situasi tersebut untuk mengatasi

stres. Adaptasi ini dilakukan dengan coping yang selanjutnya diwujudkan

dalam bentuk strategi coping, yaitu suatu usaha kognitif dan perilaku yang

dilakukan seseorang untuk mengatasi tuntutan internal maupun eksternal

dan konflik-konflik yang timbul dalam situasi stres, serta dinilai

mengganggu atau di luar batas kemampuan individu (Lazarus dan Launier,

(35)

Menurut Fleming et al. (1984), strategi coping adalah suatu usaha

atau strategi yang dipilih dan digunakan oleh seseorang untuk mengurangi

efek negatif dari stres (dalam Terry dan Gloria, 1998).

MacArthur dan John (1998) mengartikan strategi coping sebagai

suatu usaha yang spesifik, baik perilaku maupun psikologis, yang

digunakan seseorang untuk mengontrol, bertoleransi, mengurangi atau

menurunkan situasi stres.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa strategi coping

merupakan suatu usaha yang spesifik berupa pikiran dan perilaku yang

digunakan individu dalam menghadapi situasi stres yang diharapkan dapat

membantu individu untuk mengatasi, bertoleransi, mengurangi atau

menurunkan efek negatif dari situasi stres yang dialami.

2. Bentuk-bentuk Strategi Coping

Untuk mengatasi stres tersebut, banyak cara yang dilakukan oleh

seseorang untuk mengatasi stres yang dialami, seperti membicarakan

permasalahan yang dialaminya kepada orang lain, mengambil tindakan

langsung dan meningkatkan berbagai aktivitas yang dapat membantu

mengatasi stres yang dialami. Menurut Passer dan Smith (2004), tiga

bentuk umum upaya mengelola stres adalah :

a. Problem-focused coping, yaitu strategi coping yang berusaha untuk

menghadapi dan mengatasi langsung tuntutan dari situasi stres tersebut

(36)

dalamnya adalah perencanaan, penanganan secara aktif dan pemecahan

masalah, mengurangi aktivitas yang bersifat persaingan dan melatih

cara menahan diri.

b. Emotion-focused coping, yaitu strategi coping yang berusaha untuk

mengatur respon-respon emosional yang muncul akibat situasi yang

menimbulkan stres dan tindakan yang bisa dilakukan adalah

melakukan interpretasi ulang terhadap suatu situasi secara positif,

penerimaan, penyangkalan, represi, melarikan diri-menghindar,

berkhayal (wishful thinking) dan mengontrol perasaan.

c. Seeking social support, yaitu suatu upaya coping dengan berpaling

pada orang lain untuk memperoleh bantuan dan dukungan emosional

pada situasi stres, antara lain dengan mencari bantuan dan bimbingan

dari orang lain, mencari dukungan emosional, dukungan moril dan

bantuan materi seperti uang.

Carver, Scheier, & Weintraub (1989) juga mengemukakan

limabelas jenis tindakan berdasarkan tiga bentuk umum strategi coping

yang diungkapkan oleh Passer dan Smith, yaitu (dalam MacArthur dan

John, 1998) :

a. Active coping (coping aktif); mengambil tindakan langsung (aktif) atau

melakukan usaha untuk menghilangkan atau menghindari stressor.

b. Planning (perencanaan); merencanakan tindakan-tindakan secara aktif

dengan cara memikirkan langkah-langkah yang harus diambil untuk

(37)

c. Suppression of competing activities (mengurangi aktivitas pesaing);

mengurangi perhatian atau mengesampingkan aktivitas lain agar lebih

berkonsentrasi dalam memecahkan masalah yang sedang dihadapi.

d. Restraint coping (pengekangan/menahan diri); melakukan coping

secara pasif dengan menunggu waktu dan kesempatan yang tepat

untuk bertindak melakukan coping dan individu juga

mempertimbangkan saran dari orang lain sebelum bertindak.

e. Turning to religion (agama); meningkatkan kepercayaan keagamaan

dan meningkatkan keterlibatan dalam tindakan-tindakan keagamaan

untuk mendapatkan kekuatan dan berpikir positif.

f. Positive reinterpretation and growth (melakukan interpretasi ulang

yang positif dan berkembang); mengambil sisi positif atau hikmah dari

situasi tersebut dan memandang secara positif situasi tersebut.

g. Acceptance/resignation (penerimaan); pasrah menerima kenyataan

bahwa kejadian penyebab stres memang telah terjadi dan nyata.

h. Focus on and venting of emotions (lebih fokus dan menyalurkan

emosi); meningkatkan kesadaran akan adanya tekanan emosional dan

melakukan usaha untuk menyalurkan atau melampiaskan

perasaan-perasaan tersebut (katarsis emosi).

i. Denial (penyangkalan); suatu usaha untuk meniadakan atau

menyangkal kenyataan dari masalah stres itu untuk membuat emosi

(38)

j. Mental disengagement (pelepasan secara mental); pelepasan secara

psikologis terhadap masalah dengan melakukan kegiatan-kegiatan

yang tidak memikirkan masalah itu lagi seperti melamun, berkhayal,

tidur, atau pengalihan.

k. Behavioral disengagement (pelepasan dalam perilaku); menyerah

terhadap keadaan atau mengurangi dan menghentikan usaha untuk

menghadapi masalah.

l. Alcohol/drug use (penggunaan alkohol atau obat-obatan); beralih pada

penggunaan alkohol atau obat-obatan lain sebagai cara melepaskan diri

dari stressor.

m. Humor; membuat lelucon tentang stressor.

n. Seeking instrumental social support (mencari bantuan dukungan

sosial); perilaku yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan

dukungan sosial seperti mendapatkan dukungan, nasehat, informasi

atau saran tentang hal yang harus dilakukan.

o. Seeking emotional social support (mencari dukungan emosional);

individu berusaha mendapatkan dukungan moral, pengertian dan

simpati dari orang lain (teman, keluarga dan lingkungan sekitarnya).

Kelimabelas jenis tindakan tersebut secara skematis

diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk umum strategi coping yang

(39)

Strategi Coping

1.meningkatkan keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan agama

2.melakukan interpretasi ulang yang positif dan berkembang

3.penerimaan

4.lebih fokus dan menyalurkan emosi (mengontrol perasaan)

5.penyangkalan

6.pelepasan secara mental (berkhayal atau wishful thinking)

7.pelepasan dalam perilaku

8.penggunaan alkohol atau obat-obatan 9.humor

Gambar 1. Jenis Strategi Coping

3. Sumberdaya Coping

Selain strategi coping yang digunakan, kemampuan seseorang

untuk mengatasi stres secara efektif tergantung pada sifat stressor dan

sumberdaya yang dimiliki individu. Menurut Lazarus dan Folkman (dalam

Huffman, Vernoy dan Vernoy, 1997), sumberdaya yang dapat

dimanfaatkan dalam mengatasi stres secara efektif adalah :

a. Kesehatan dan energi; semakin individu sehat dan kuat, maka mereka

dapat mengatasi stres dengan baik dan bisa bertahan dalam tahap

resistensi tanpa memasuki tahap kelelahan.

b. Keyakinan yang positif; meliputi self-image yang positif dan sikap

yang positif. Kedua hal tersebut memungkinkan individu memiliki

(40)

c. Internal locus of control; individu yang memiliki internal locus of

control merasa bahwa mereka memiliki kontrol yang signifikan

terhadap segala sesuatu dalam hidup mereka.

d. Kemampuan sosial; memiliki kemampuan untuk mengetahui perilaku

yang sesuai dengan situasi tertentu dan mampu untuk mengekspresikan

diri secara baik.

e. Dukungan sosial; ketika individu dihadapkan pada situasi stres,

orang-orang terdekat seperti keluarga dan teman membantu dengan menjadi

pendengar yang baik, memastikan bahwa individu yang sedang

mengalami stres tetap menjaga kesehatannya, dan meyakinkan bahwa

individu tersebut sangat berarti.

f. Sumberdaya material; walaupun uang bukan segalanya, tetapi uang

bisa menjadi pilihan dan meningkatkan jumlah pilihan yang tersedia

untuk mengurangi pengaruh dari stres.

Selain itu, variabel yang ada dalam individu seperti umur, jenis

kelamin, temperamen, tingkat pendidikan, suku, kebudayaan, dan standar

kehidupan juga termasuk dalam sumberdaya yang bisa dimanfaatkan

untuk mengatasi stres (Smet, 1994 ; Cohen & Edward, 1989 dan Moos,

1995; dalam Taylor, 1999).

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa sumberdaya yang

dapat dimanfaatkan individu dalam mengatasi stres secara efektif adalah

kesehatan dan energi, keyakinan yang positif, internal locus of control,

(41)

variabel yang ada dalam individu seperti usia, tingkat pendidikan, dan

standar kehidupan.

C. Retardasi Mental

1. Pengertian Retardasi Mental

Prasadio (1978) menyatakan bahwa retardasi mental bukanlah

suatu penyakit, melainkan suatu keadaan dimana individu menunjukkan

gangguan fungsi intelektual yang dimulai sejak masa perkembangan dan

termanifestasi pada gangguan belajar dan gangguan penyesuaian dengan

lingkungannya.

Supratiknya (1995) mendefinisikan retardasi mental adalah suatu

keadaan taraf perkembangan yang ditandai dengan fungsi intelektual

umum di bawah rata-rata disertai dengan ketidakmampuan beradaptasi

terhadap tuntutan lingkungan yang muncul selama masa pertumbuhan dan

munculnya gangguan mental ini dibatasi hingga individu berusia tujuh

belas tahun. Dalam retardasi mental, individu tidak mampu

mengembangkan aneka keterampilan sampai ke taraf secukupnya yang

dibutuhkan untuk menghadapi tuntutan-tuntutan lingkungan secara

memadai dan mandiri.

Retardasi mental juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan

perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap dan terutama

(42)

tingkat intelegensia, yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan

sosial (Kompas, 22 Januari 2003).

World Health Organization (dalam PPDGJ III, 1993)

mendefinisikan retardasi mental sebagai suatu keadaan perkembangan

mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh

adanya hambatan keterampilan selama masa perkembangan, sehingga

berpengaruh pada semua tingkat intelegensia yaitu kemampuan kognitif,

bahasa, motorik, dan sosial.

Jadi, retardasi mental adalah suatu keadaan taraf perkembangan

mental yang terhenti atau tidak lengkap yang muncul selama masa

perkembangan hingga individu berusia tujuh belas tahun dan ditandai

dengan adanya hambatan keterampilan sehingga berpengaruh pada semua

tingkat intelegensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan

sosial.

2. Jenis-jenis Retardasi Mental

Menurut Supratiknya (1995), penggolongan tingkat retardasi

mental biasanya didasarkan pada hasil pengukuran intelegensi dan

mengandung penilaian tentang kemampuan beradaptasi dengan

lingkungan, khususnya menyangkut kemandirian dan tanggung jawab

sosial. Oleh karena itu, jenis retardasi mental dapat dikelompokkan dalam

(43)

a. Retardasi mental ringan (mild mental retardation)

Penderita retardasi mental ringan memiliki IQ antara 55-70 dan

setelah dewasa IQ mereka setara dengan anak berusia 8-11 tahun.

Penderita retardasi mental biasanya mengalami keterlambatan dalam

mempelajari bahasa, tetapi sebagian besar dapat mencapai kemampuan

berbicara untuk keperluan sehari-hari, mengadakan percakapan, dan

dapat diwawancarai. Penderita ini dapat dididik atau educabel

sehingga mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan serta mampu

menguasai keterampilan akademik dan kerja sederhana secara mandiri

b. Retardasi mental sedang (moderatemental retardation)

Penderita retardasi mental sedang memiliki IQ 40-54. Setelah

dewasa IQ mereka setara dengan anak-anak usia 4-7 tahun. Penderita

dapat dilatih atau trainable sehingga mereka dapat cukup mandiri

dalam mengurus diri dan biasanya lambat dalam pengembangan

keterampilan merawat diri, keterampilan motorik, serta pemahaman

dan penggunaan bahasa.

c. Retardasi mental berat (severemental retardation)

Penderita golongan ini memiliki IQ 25-39 dan mereka sering

disebut “dependent retarded” atau penderita lemah mental yang

tergantung. Penderita memiliki kemampuan yang terbatas dalam

kemampuan akademis, walaupun mereka dapat menggunakan

bahasa-bahasa yang sangat sederhana. Perkembangan motorik dan bicara

(44)

motor. Mereka dapat dilatih melakukan tugas-tugas sederhana tetapi

untuk hal-hal yang lebih kompleks mereka sangat tergantung pada

pertolongan orang lain.

d. Retardasi mental sangat berat (profoundmental retardation)

Penderita memiliki IQ kurang dari 25 dan mereka sering

disebut golongan “life support retarded” yaitu golongan lemah mental

yang perlu disokong secara penuh agar dapat bertahan hidup.

Kemampuan adaptasi dan bicara mereka sangat terbatas. Sebagian

besar dari mereka juga sangat terbatas dalam gerakannya dan hanya

mampu mengadakan komunikasi nonverbal yang belum sempurna.

Jadi, jenis-jenis retardasi mental dapat dikelompokkan menjadi

retardasi mental ringan, sedang, berat dan sangat berat. Para penderita

retardasi mental ini biasanya ditangani dengan pemberian pendidikan dan

latihan khusus yang didapat dari sekolah luar biasa, pemeriksaan ke

psikiater, pemberian farmakoterapi, dan konseling keluarga untuk

mendukung keberhasilan pengobatan.

D. Orangtua

1. Definisi Orangtua

Menurut Utama (dalam Kartono, 1985), orangtua adalah seorang

pria dan wanita yang berjanji di hadapan Tuhan untuk hidup sebagai suami

istri, yang berarti juga bersedia memikul tanggung jawab sebagai ayah dan

(45)

dan wanita yang terikat dalam sebuah perkawinan bersedia untuk menjadi

orangtua.

Jenkins (dalam Indra, 1980) menyebutkan bahwa dalam

membentuk sebuah keluarga yang bahagia, perasaan-perasaan setiap

anggota keluarga harus dijaga sehingga harus ada rasa cinta dan

penerimaan dari orangtua terhadap anak-anak mereka, baik laki-laki atau

perempuan, pandai atau lamban, dan sehat atau cacat. Orangtua harus

mengerti kebutuhan anak-anaknya dan menghargai setiap anak sebagai

individu.

Jadi, orangtua adalah pria dan wanita yang terikat dalam sebuah

perkawinan dan bersedia hidup sebagai suami istri yang memikul

tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari anak-anak mereka.

2. Peranan Orangtua dalam Keluarga

Menurut Santrock (2002), peran menjadi orangtua telah

direncanakan dan diatur dengan baik bagi sebagian orang, namun bagi

yang lain, peran untuk menjadi orangtua adalah suatu kejutan. Hal tersebut

menunjukkan bahwa calon orangtua mungkin memiliki emosi yang

bercampur aduk dan mengkhayalkan hal-hal yang menyenangkan tentang

memiliki anak. Oleh karena itu, menjadi orangtua menuntut beberapa

keterampilan interpersonal dan tuntutan emosional yang biasanya didapat

dari pengalaman dan pengetahuan mereka tentang orangtua mereka, serta

(46)

a. Peranan ayah

Jenkins (dalam Indra, 1980) menyatakan bahwa peranan

seorang ayah dalam keluarga di masa lampau merupakan pemimpin

keluarga yang otoriter dimana istri dan anak-anaknya tidak pernah

berani menentangnya. Pada zaman sekarang ini, para ayah lebih

banyak berperanan di luar rumah karena memperoleh tanggung jawab

sebagai pencari nafkah.

Menurut McBride (dalam Santrock, 2002), ayah tidak hanya

bertanggung jawab menyediakan sumber ekonomi keluarga, namun

ayah kini dinilai dalam keaktifannya dan keterlibatan pengasuhan

anak-anaknya. Santrock (2002) menyebutkan bahwa keterlibatan

positif ayah dalam keluarga mengandung nilai penting dalam

perkembangan kompetensi sosial anak.

b. Peranan ibu

Matlin (dalam Santrock, 2002) mengasosiasikan sifat ibu

dengan citra positif, seperti hangat, tidak mementingkan diri sendiri,

tekun pada tugas, dan toleran. Menurut Santrock (2002), seorang ibu

akan cenderung disalahkan oleh masyarakat dengan adanya asosiasi

seperti ini. Jika anak-anak melakukan kesalahan dan tidak berhasil

memenuhi tuntutan masyarakat, ibu cenderung dijadikan penyebab

tunggal atas kesalahan yang dilakukan anak-anak.

Menurut Jenkins (dalam Indra, 1980), peranan ibu dalam

(47)

kekuatan fisik, sedangkan pada masa sekarang lebih menuntut

hubungan kemanusiaan. Tugas-tugas ibu dalam keluarga pada zaman

sekarang ini tidak hanya memasak, membersihkan rumah, dan

mencuci, tetapi juga sebagai konselor yang baik dalam keluarganya.

Hal ini akan berpengaruh pada rasa aman dan kehangatan dalam

kehidupan keluarga yang bebas dari konflik.

E. Strategi Coping pada Orangtua yang Memiliki Anak Retardasi Mental Orangtua yang menghadapi kenyataan bahwa anak mereka menderita

retardasi mental akan mengalami perubahan yang sangat berarti dalam

kehidupan karena mereka harus melakukan banyak penyesuaian diri dalam

kehidupan rumah tangga dan sosial, serta harus memenuhi berbagai tuntutan

baru ketika memiliki anak retardasi mental tersebut. Hal ini dilakukan

orangtua agar mereka bisa menerima kehadiran anak tersebut di dalam

keluarga.

Retardasi mental adalah suatu keadaan taraf perkembangan mental

yang terhenti atau tidak lengkap yang muncul selama masa perkembangan

hingga individu berusia tujuh belas tahun dan ditandai dengan adanya

hambatan keterampilan yang berpengaruh pada semua tingkat intelegensia

yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Menurut Supratiknya

(1995), retardasi mental dapat dikelompokkan menjadi retardasi mental

(48)

intelegensi dan mengandung penilaian tentang kemampuan yang menyangkut

kemandirian dan tanggung jawab sosial.

Dalam penelitian ini dipilih orangtua yang memiliki anak yang

menderita retardasi mental berat karena penderita retardasi mental berat

merupakan dependent retarded dan akan mengalami gangguan perkembangan

motor, pengindraan, dan gangguan bicara sehingga mereka akan sangat

tergantung pada pertolongan orang lain dalam kehidupannya sehingga para

orangtua pun harus memberikan perhatian dan dukungan yang lebih kepada

anak tersebut (Supratiknya, 1995).

Prasadio (1978) menyebutkan pada umumnya orangtua akan memiliki

perasaan sedih dan kecewa, cemas, tidak mempunyai harapan, merasa

bersalah, bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika memiliki

anak yang menderita retardasi mental. Orangtua yang dihadapkan pada

kenyataan seperti ini akan menghadapi suatu transisi atau perubahan dalam

kehidupan mereka. Menurut Zautra (dalam Passer dan Smith, 2004),

perubahan dalam kehidupan ini akan menimbulkan berbagai emosi negatif

yang menumpuk sehingga akan menambah beban dalam keluarga sehingga

orangtua akan semakin sulit menerima kenyataan dengan baik. Sarason &

Sarason (1984) dan Moos & Schaefer (1986) menyatakan bahwa transisi

dalam kehidupan ini menimbulkan keadaan yang menekan (stres) karena

adanya kejadian-kejadian utama yang membawa seseorang dari suatu keadaan

(49)

dan menimbulkan tuntutan-tuntutan baru yang harus dipenuhi (dalam

Sarafino, 1990).

Tuntutan yang harus dilakukan oleh orangtua adalah melakukan

berbagai penyesuaian diri dengan keadaan anak mereka yang membutuhkan

perawatan, pendidikan, dukungan, dan perhatian ekstra. Orangtua juga harus

memikirkan kehidupan masa depan anak yang menderita retardasi mental.

Selain itu, orangtua akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian dengan

lingkungan sosial karena adanya stigma negatif dalam masyarakat mengenai

anak yang menderita retardasi mental (Prasadio, 1976).

Ketika berhadapan dengan situasi stres tersebut, individu akan

mencoba untuk beradaptasi dengan situasi tersebut untuk mengatasi stres yang

bisa dilakukan dengan coping dan selanjutnya akan diwujudkan dalam bentuk

strategi coping yang mengarah pada usaha kognitif dan perilaku yang

dilakukan seseorang untuk mengatasi tuntutan internal maupun eksternal dan

konflik-konflik yang muncul dalam situasi stres sehingga diharapkan dapat

membantu individu untuk mengatasi, mengurangi atau menurunkan efek

negatif dari situasi stres yang dialami.

Menurut Passer dan Smith (2004), upaya-upaya yang dilakukan untuk

mengatasi stres terbagi dalam tiga bentuk, yaitu problem-focused coping,

emotion-focused coping, dan seeking sosial support. Tindakan yang termasuk

dalam problem-focused coping antara lain coping aktif, perencanaan,

mengurangi aktivitas pesaing dan pengekangan / menahan diri. Tindakan yang

(50)

dalam kegiatan-kegiatan agama, melakukan interpretasi ulang yang positif dan

berkembang, penerimaan, mengontrol perasaan, penyangkalan, pelepasan

secara mental (berkhayal atau wishful thinking), pelepasan dalam perilaku,

penggunaan alkohol atau obat-obatan dan humor. Tindakan yang termasuk

dalam seeking social support adalah mencari bantuan dukungan sosial dan

mencari dukungan emosional.

Dalam kasus ini, strategi coping yang dimaksud adalah semua usaha

yang dilakukan oleh orangtua dalam mengatasi stres yang dialami ketika

memiliki anak yang menderita retardasi mental. Orangtua yang mengalami

stres akan melakukan coping untuk mengatasinya dengan menggunakan

tindakan yang berbeda satu sama lain, baik dengan menggunakan

problem-focused coping, emotion-focused coping, maupun seeking social support.

Selain itu, orangtua juga menggunakan sumberdaya yang dimilikinya dalam

penggunaan strategi coping yang dipilih, antara lain kesehatan dan energi,

keyakinan yang positif, internal locus of control, sumberdaya material (status

ekonomi), kemampuan dan dukungan sosial serta beberapa variabel yang ada

dalam individu seperti usia, tingkat pendidikan, dan standar kehidupan. Pada

gambar di bawah ini akan ditunjukkan skema dinamika psikologis orangtua

(51)

Kehadiran anak retardasi mental berat sebagai stressor : 1. Penderita merupakan dependent retarded.

2. Penderita mengalami gangguan perkembangan motor, pengindraan dan bicara.

3. Stigma negatif dari masyarakat terhadap anak retardasi mental berat.

Sumberdaya coping: 1. Kesehatan dan energi 2. Keyakinan yang positif 3. Internal locus of control 4. Kemampuan dan dukungan

sosial

5. Sumberdaya material 6. Usia

7. Tingkat pendidikan 8. Standar kehidupan

Stres yang dialami oleh orangtua:

1. Muncul emosi negatif yang menumpuk seperti merasa sedih dan kecewa, cemas, tidak mempunyai harapan, merasa bersalah dan bingung.

2. Berbagai tuntutan, perhatian, dan dukungan ekstra yang harus dilakukan dan diberikan dalam merawat anak retardasi mental.

3. Kekhawatiran terhadap masa depan anak

4. Kesulitan dalam penyesuaian diri orangtua dengan lingkungan

Strategi coping :

1. Problem-focused coping

2. Emotion-focused coping

3. Seeking social support

(52)

F. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian tersebut, maka pertanyaan dalam penelitian ini

adalah :

1. Bagaimana gambaran keadaan anak retardasi mental berat dalam

keluarga?

2. Bagaimana gambaran keadaan stres yang dialami orangtua?

3. Bagaimana gambaran strategi coping orangtua yang memiliki anak

retardasi mental berat?

4. Sumberdaya coping apa yang dimiliki dan dimanfaatkan orangtua dalam

(53)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif dengan pendekatan

kualitatif. Bogdan dan Taylor (1975) mendefinisikan pendekatan kualitatif

sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati

(dalam Moleong, 2005). Suryabrata (1990) menjelaskan bahwa penelitian

deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat pencandraan atau

deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai situasi-situasi atau

kejadian-kejadian. Metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang

digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai

berbagai jenis strategi coping yang dilakukan oleh orangtua yang memiliki

anak retardasi mental.

B. Identifikasi Variabel

Variabel dalam penelitian ini adalah strategi coping yang digunakan

oleh orangtua yang memiliki anak retardasi mental.

C. Batasan Istilah

Strategi coping yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala

(54)

dalam menghadapi situasi stres ketika memiliki anak yang menderita retardasi

mental. Strategi coping dalam penelitian ini meliputi problem-focused coping

yaitu dengan menghadapi dan mengatasi langsung tuntutan dari situasi stres,

emotion-focused coping yaitu strategi yang berusaha untuk mengatur respon

emosional yang muncul akibat situasi stres dan seeking social support yaitu

strategi coping untuk memperoleh bantuan dan dukungan emosional pada

situasi stres.

D. Subjek Penelitian

Pengambilan subjek dalam penelitian kualitatif tidak menekankan

upaya generalisasi melalui perolehan sampel acak, melainkan berupaya

memahami sudut pandang dan konteks subjek penelitian secara mendalam

(Poerwandari, 2005). Dalam penelitian ini, subjek yang diteliti adalah tiga

pasang orangtua, yaitu ayah dan ibu dari anak yang menderita retardasi mental

berat.

Subjek dalam penelitian ini lebih dikhususkan pada orangtua, yaitu

ayah dan ibu yang memiliki anak retardasi mental berat karena ayah dan ibu

memiliki peran dan keterlibatan yang sama pentingnya dalam proses

pengasuhan dan perkembangan anak (Ross de Parke dalam Dagun, 1990).

Ayah berperan penting dalam perkembangan anak secara langsung maupun

secara tidak langsung melalui interaksi dengan istrinya. Menurut Frank

Pedersen, keintiman hubungan antara ayah dan ibu akan mempengaruhi dalam

(55)

karena itu, orangtua (ayah dan ibu) memegang peranan penting dalam

merawat dan mendidik anak.

Pemilihan subjek penelitian ini ditentukan berdasarkan kriteria yaitu

orangtua (ayah dan ibu) dari anak yang menderita retardasi mental berat

dengan IQ 25-39. Pemilihan ini didasarkan pada alasan bahwa penderita

retardasi mental berat akan mengalami banyak hambatan dalam kehidupan

dan akan sangat tergantung pada pertolongan orang lain sehingga

menimbulkan tekanan yang cukup kuat pada orangtua.

E. Metode Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan melalui

beberapa cara, yaitu :

1. Wawancara

Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara terbuka

semi terstruktur dimana peneliti tetap membuat panduan pertanyaan, tetapi

tidak harus mengikuti ketentuan secara ketat dan memungkinkan untuk

dapat mengajukan pertanyaan di luar pertanyaan formal guna mendukung

pengumpulan informasi (Basuki, 2006). Guba dan Lincoln (1981)

menyatakan bahwa dalam wawancara terbuka berarti subjek mengetahui

maksud dan tujuan wawancara serta menyadari bahwa mereka sedang

dalam proses wawancara (dalam Moleong, 2005).

Informasi yang ingin digali dilakukan dengan menggunakan

(56)

coping yang digunakan subjek dalam menghadapi anak mereka yang

menderita retardasi mental, meliputi usaha yang digunakan baik untuk

menerima kenyataan akan kehadiran anak mereka maupun untuk

mengatasi dampak-dampak yang muncul setelah kehadiran anak tersebut.

Tabel 1. Panduan Wawancara

Latar Belakang Subjek :

1. Berapa usia subjek?

2. Tingkat pendidikan dan apa pekerjaan subjek?

3. Berapa jumlah anak?

Stressor, Strategi Coping, dan Sumberdaya Coping :

1. Bagaimana keadaan fisik anak Anda yang menderita retardasi mental?

2. Dapatkah Anda menjelaskan bagaimana anak Anda melakukan aktivitasnya

sehari-hari?

3. Bagaimana pengalaman subjek bersama anak yang menderita retardasi mental saat

ini?Masalah-masalah apa yang ditimbulkan berkaitan dengan kehadiran anak yang

menderita retardasi mental tersebut?

4. Usaha atau cara apa yang digunakan subjek saat ini untuk mengatasi masalah yang

ditimbulkan oleh pengalaman tersebut?

5. Perasaan apa saja yang muncul terhadap anak yang menderita retardasi mental

tersebut?

6. Bagaimana cara subjek untuk mengelola perasaan-perasaan tersebut?

7. Bagaimana kehidupan sosial subjek pada saat ini?

8. Bagaimana tanggapan masyarakat saat ini terhadap kehadiran anak subjek yang

menderita retaradsi mental?

9. Usaha atau cara apa yang digunakan subjek saat ini dalam menghadapi masalah

dalam kehidupan sosialnya yang berkaitan dengan keadaan anaknya yang retardasi

mental?

10. Bagaimana penyesuaian diri dan kehidupan sosial serta komunikasi subjek dengan

lingkungan sekitarnya (keluarga dan masyarakat) sekarang?

11. Sumberdaya apa saja yang subjek miliki dan manfaatkan untuk membantu mengatasi

(57)

2. Observasi

Banister et al. (1994) mengungkapkan bahwa istilah observasi

diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena

yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam

fenomena tersebut dengan tujuan untuk mendeskripsikan setting yang

dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, dan orang-orang yang

terlibat dalam aktivitas (dalam Poerwandari, 2005).

Observasi dalam penelitian kualitatif ini dilakukan pada latar

alamiah atau bersifat tidak terstruktur, yaitu observasi yang mengamati

perilaku dan keadaan subjek dalam kehidupan sehari-harinya di masa kini

dan peneliti mempersiapkan pencatatan secermat mungkin menyangkut

perilaku yang akan berlangsung tanpa mempradesain kategori khusus dari

perilaku (Basuki, 2006; Moleong, 2005).

Hasil observasi dalam penelitian ini akan dipakai sebagai data

pendukung penelitian. Hal-hal yang akan menjadi fokus observasi adalah

kondisi fisik lingkungan tempat tinggal, keadaan fisik dan hubungan

subjek dengan anak maupun dengan lingkungan sekitarnya. Panduan

observasinya adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Panduan Observasi

Observasi

1. Kondisi tempat tinggal subjek

2. Keadaan fisik subjek

3. Interaksi subjek dengan anak yang menderita retardasi mental sehari-hari

Gambar

Tabel 4.  Pelaksanaan Wawancara Dengan Subjek. . . . . . .  . . . . . . . . . . . . .
Gambar 1. Jenis Strategi Coping
gambar di bawah ini akan ditunjukkan skema dinamika psikologis orangtua
Gambar 2. Strategi Coping Orangtua yang Memiliki Anak Retardasi Mental
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa laba dan arus kas memiliki pengaruh yang signifikan dalam memprediksi kondisi keuangan yang terjadi pada seluruh

Interaction sudah diterapkan dalam sistem sehingga dapat diketahui apa saja yang menjadi kelemahan sistem dan dengan demikian dapat dilakukan perbaikan terhadap sistem

Hasil uji Mann Whiney U Test pada perkembangan bahasa dengan nilai signifikan 0,01 (P<0,05), dan perkembangan motorik halus dengan nilai 0,061 (p>0,05) dapat

Zonasi tempat hiburan malam dapat dengan mudah mengawasi dan mengontrol dampak negatif yang ditimbulkan dari penyelenggaraan tempat-tempat hiburan malam seperti diskotik,

Melihat hasil rilis Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Tengah kondisi Februari 2014 dengan usia kerja sebanyak 24,98 juta orang dan jumlah angkatan kerja ada sebanyak 17,72

Profil Kesehatan Kabupaten Kebumen Tahun 2009 memuat berbagai data tentang kesehatan, yang meliputi derajat kesehatan, upaya kesehatan, dan sumber daya

Mahasiswa baru yang berasal dari luar Jawa Timur berjumlah 36 mahasiswa atau 24 % dari keseluruhan jumlah mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Islam

Tesis yang berjudul “ PENGARUH PROFESIONALITAS DAN MOTIVASI KERJA GURU TERHADAP PEMBELAJARAN EFEKTIFDI MTS PLUS WALISONGO KABUPATEN LAMPUNG UTARA ” , ditulis olehAl