• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Analisis Kejahatan Transnasional melalui Aktivitas Money Laundering dalam Illegal Wildlife Trade di India

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of Analisis Kejahatan Transnasional melalui Aktivitas Money Laundering dalam Illegal Wildlife Trade di India"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Brawijaya

ANALISIS KEJAHATAN TRANSNASIONAL MELALUI AKTIVITAS MONEY LAUNDERING DALAM ILLEGAL

WILDLIFE TRADE DI INDIA

Queen Nindya Natasha Universitas Brawijaya

ABSTRACT

This article aims to describe the relation between Money laundering and illegal wildlife trade, with the case study focused on India. Money laundering operations in this article are part of a transnational crime act to disguise the illegal profits of Illegal Wildlife Trade (IWT) and are carried out through the stages of placement, layering, and integration. The findings of this paper are (1) identify the scope of the spread of money laundering within global, national, and regional levels and the impacts; (2) acknowledge the implementation of the model of cooperation which has succeeded in identifying the political conditions in India which are identified as weak states in applying the law & also the model of operation that used the Strategic/Risk Management Model as the TOC entity strategy to minimize the legal risk; and (3) finding methods to address and policy recommendations at various levels with the role of the Financial Action Task Force (FATF) at the global level, Anti-Money laundering (AML) at the regional level in the South Asian region, and the Prevention of Money laundering Act ( PMLA) which was established in 2012

as a preventive measure for India to eradicate money laundering at the national level.

Keywords: Money laundering; Illegal Wildlife Trade; Transnational Organized Crime

INTRODUCTIONS

Seperti yang kita tahu, banyak kejahatan transnasional yang dilakukan atas dasar keuntungan semata yang didapatkan melalui cara ilegal dan bersifat lintas batas. Sehingga, salah satu tren kedoknya yang paling populer ialah sebagai suatu entitas bisnis. Namun, para pelaku akan selalu dibayangi oleh kekhawatiran yang cukup besar sebanding dengan jumlah uang yang harus ia sembunyikan keberadaannya karena asal sumbernya yang tidak sah, sehingga, salah satu yang biasanya dilakukan oleh mereka ialah teknik pencucian uang (money laundering). Pada dasarnya, pencucian uang atau money laundering ialah proses yang dilakukan suatu pihak (seseorang atau kelompok) dengan menyembunyikan keberadaan, sumber ilegal, atau pemakaian ilegal dari pendapatan dan menyamarkan pendapatan tersebut agar dianggap sah (lawful) (Kurniawan n.d.). Salah satu contoh kasus pencucian uang ialah yang pernah dilakukan ialah yang berasal dari sumber perdagangan satwa liar secara ilegal atau yang disebut dengan istilah Illegal Wildlife Trade (IWT).

Dalam dunia kejahatan transnasional, perdagangan satwa liar ilegal merupakan jenis perdagangan ilegal yang paling berharga. Karena, aktivitasnya mencakup terancamnya hidup keanekaragaman hayati, termasuk yang dilindungi. Oleh karenanya, para pelaku perdagangan satwa liar cenderung untuk melakukan penyembunyian atau pencucian pendapatan yang didapat dari perdagangan satwa liar yang akan mengarah pada rusaknya integritas keuangan. Hal ini dikarenakan perdagangan satwa liar atau illegal wildlife trade tersebut menjadi bahan bakar dari korupsi, ancaman biodiversitas, dan dapat memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap kesehatan dan ekonomi publik (Financial Action Task Force (FATF) 2020).

Karena dampaknya yang berkesinambungan, money laundering yang disebabkan oleh perdagangan satwa liar ilegal harus dianggap sebagai ancaman global oleh setiap negara. Hal ini dianggap berbahaya, karena tipe bisnis yang biasanya dilakukan oleh pelaku dilaksanakan seperti layaknya aktivitas bisnis ekspor-impor antar negara seperti biasanya sebagai “kedok” dari hasil perdagangan satwa liar atau IWT. Dengan demikian,

[corresponding author: queennindya@student.ub.ac.id]

(2)

terbentuklah beberapa lembaga, salah satunya ialah Financial Action Task Force (FATF) yang salah satu fokusnya yaitu pada penanganan untuk men-tackle aliran dana yang ada hubungannya dengan aktivitas perdagangan satwa liar ilegal (IWT) (Financial Action Task Force (FATF) 2020).

Salah satu negara yang menjadi tempat perdagangan satwa liar ialah India. India menjadi salah satu negara yang menjadi sumber dari perdagangan pangolin ilegal. Karenanya, banyak pelaku perdagangan satwa liar di India yang menyembunyikan pendapatan ilegalnya melalui aktivitas money laundering. Aktivitas ini dilakukan oleh lebih dari satu orang yang saling bekerja sama dalam prosesnya, mulai dari proses produksi illegal goods hingga proses money laundering. Pada tahun 2013 sendiri, terdapat suatu kasus IWT dengan penjualan lima kulit dan dua tulang macan yang pada akhirnya diketahui bahwa pelaku melakukan money laundering terhadap hasil penjualannya senilai 5.000.000 Rupee (The Financial Action Task Force (FATF) 2020).

ANALYTICAL FRAMEWORK

United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) mendefinisikan money laundering sebagai salah satu bagian dari kejahatan transnasional. Hal tersebut telah diatur berdasarkan Konvensi Wina 1988 Pasal 3 Bagian 1, yang menyatakan bahwa money laundering merupakan sebuah tindakan pengalihan maupun perpindahan properti atau harta kekayaan, di mana dapat diketahui bahwa properti tersebut diperoleh dari beragam tindak kejahatan dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul properti yang bersifat illegal tersebut atau untuk membantu pihak yang terlibat dalam kejahatan sehingga dapat menghindari hukum dan konsekuensi yang berlaku atas tindak kejahatan tersebut((UNODC) n.d.). Di sisi lain, organisasi internasional anti money laundering yaitu Financial Action Task Force (FATF) mengemukakan bahwa money laundering merupakan sebuah proses untuk menyamarkan asal-usul keuntungan yang didapatkan melalui tindakan kriminal terorganisir dengan cara mengendalikan dana tersebut melalui penyamaran sumber keuntungan, pengubahan bentuk, hingga pemindahan uang ke tempat yang cenderung tidak menarik perhatian pihak berwenang (Money laundering - Financial Action Task Force (FATF) n.d.).

Tindakan money laundering dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari kejahatan transnasional dikarenakan sumber perolehan uang dan modus operandi yang merambah pada operasi kriminal antar negara. Sumber perolehan uang yang diputar dalam money laundering dapat diperoleh dari tindakan korupsi, perdagangan dan penyelundupan manusia, narkotika, perjudian, penggelapan dan penyuapan uang, perdagangan senjata illegal, dan tindak pidana lainnya. Sumber perolehan uang ini juga biasanya dicurigai memiliki keterlibatan dalam pendanaan secara langsung maupun tidak langsung terhadap kegiatan terorisme. Proses pencucian uang untuk membuat hasil keuntungan illegal tersebut menjadi terlihat legal dapat dilakukan melalui 3 tahap (Realuyo 2012), yaitu

1. Placement, yaitu proses penempatan keuntungan illegal berupa uang/asset ke dalam sistem keuangan yang sah, baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan cara memanfaatkan berbagai instrument keuangan yang berbeda untuk memisahkan serta mengaburkan asal usul uang tersebut.

2. Layering, yaitu proses konversi atau pergerakan uang setelah masuk ke dalam sistem keuangan, dengan cara menyamarkan transaksi pada serangkaian bank di seluruh dunia sebagai pembayaran untuk barang atau jasa secara berulang/berlapis agar memberikan kesan transaksi legal.

3. Integration, yaitu proses akhir setelah melalui placement dan layering. Pada tahap ini, uang yang telah terlihat

“bersih” dapat masuk ke dalam kegiatan ekonomi yang sah, serta para pelaku money laundering dapat leluasa untuk menggunakan uangnya untuk transaksi langsung hingga pembelian properti dan investasi dengan legal.

Berdasarkan definisi dan modus operandi money laundering, tujuan utama yang diorientasikan dalam kejahatan transnasional ini ialah untuk merahasiakan pihak yang terlibat, sumber perolehan dan proses pencucian uang agar sulit untuk dilacak, serta memperoleh bentuk keuangan yang baru secara legal dengan leluasa melewati tantangan hukum yang tidak hanya berpusat di satu negara, tetapi bergerak dalam jaringan transnasional.

(3)

RESULT AND DISCUSSION

Tren Penyebaran Money laundering

Penyebaran Money laundering di Level Global

Perkembangan teknologi perbankan internasional dalam beberapa tahun terakhir ini telah memberikan jalan bagi jaringan – jaringan perbankan yang awalnya lokal atau seputar kawasan regional tumbuh menjadi suatu lembaga keuangan yang bersifat global. Hal ini memunculkan kesempatan bagi para pelaku

‘pencuci uang’ atau money laundering untuk turut memanfaatkan kemajuan perkembangan jaringan layanan perbankan. Uang hasil dari transaksi ilegal dibuat menjadi “legal” untuk digunakan dalam dunia bisnis dan di pasar keuangan internasional (Ramelan and Ras 2003). Di Amerika Serikat tahun 1980-an uang yang terlibat money laundering mencapai puluhan juta bahkan milyaran dolar. Uang ini berasal dari perdagangan narkotika Amerika Latin ke Amerika Serikat. Pada tahun 1984, kasus "pizza conection" yang terkenal, merupakan kasus money laundering yang pertama kali ditangani oleh Interpol. Hampir sebanyak 600 juta US Dolar mengalir ke bank di Swiss dan Italia dan restoran-restoran piza yang tersebar luas di seluruh daratan Amerika Serikat.

Menurut IMF (International Monetery Fund), money laundering termasuk dalam salah satu ancaman keuangan dan sistem keuangan global paling serius bagi masyarakat Internasional. Dilihat berdasarkan data statistik Internasional Monetary Fund (IMF), setiap tahunnya ada sekitar US$ 1.500 miliar yang dihasilkan dari kejahatan berhasil dicuci melalui bank. Tidak hanya itu, menurut Associated Press, apabila kegiatan pencucian uang hasil perdagangan obat bius, korupsi, prostitusi, dan kejahatan lainnya diproses melalui perbankan untuk kemudian dikonversikan menjadi dana legal dan diperkirakan kegiatan ini mampu menyerap sebesar US$ 600 miliar per tahunnya. sama dengan 5% GDP dunia. Selain itu, menurut Financial Action Task Force (FATF), perkiraan atas jumlah uang yang dicuci setiap tahun di seluruh dunia dari perdagangan gelap narkotika berkisar antara US$ 300 miliar sampai US$ 500 miliar (N and Supriyanto 2014). Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa selain forex market dan bisnis minyak dunia, money laundering masuk pada jajaran bisnis terbesar di dunia.

Adapun Illegal Wildlife Trade (IWT) merupakan salah satu kejahatan terorganisir transnasional yang berskala besar dan dapat mendorong tindakan korupsi, mengancam keanekaragaman hayati, dan juga dapat berdampak signifikan terhadap kesehatan masyarakat. Menurut UN World Wildlife Crime report pada tahun 2016, terdapat sekitar 7000 spesies satwa liar dan tanaman yang di perdagangkan secara ilegal. keuntungan ilegal yang dihasilkan IWT bisa mencapai miliaran dolar. Pelaku kejahatan IWT ini memanfaatkan perdagangan satwa liar yang legal dan sah untuk mencampurkan hasil keuntungan yang legal dan ilegal menjadi satu.

Tindakan yang dilakukan ini termasuk dalam pencucian uang dan menyulitkan pelacakan kegiatan ilegal.

Pencucian uang yang berasal dari IWT umumnya meliputi upaya untuk menyamarkan atau menyembunyikan sumber, serta pergerakan, dan kepemilikan dana.

Penyebaran Money laundering di Level Regional

Di level regional, dalam artikel ini adalah Asia Selatan, terdapat aktivitas money laundering yang cukup tinggi.

Berdasarkan Basel Institute on Governance, sebuah badan yang melaporkan tingkat risiko money laundering sebuah negara, negara anggota Asia Selatan memiliki risiko yang cukup tinggi. Data ini disusun berdasarkan metodologi keempat oleh FATF.

(4)

Dari 110 negara yang datanya tercatat dalam Basel, empat negara yang menjadi bagian dari kawasan Asia Selatan tersebut memiliki peringkat yang cukup rendah, menunjukkan adanya tingkat risiko money laundering yang cukup tinggi.(Basel Institute on Governance 2021b) Dengan nilai maksimum 10, empat negara anggota kawasan memiliki index lebih dari 5.

Dari peta tingkat risiko money laundering, terdapat kecenderungan tingkat risiko money laundering yang cukup tinggi di Asia, khususnya Asia Selatan. Namun, karena adanya keterbatasan data, belum ada data tingkat risiko money laundering di India.(Basel Institute on Governance 2021a).

Namun, sebagai salah satu negara di kawasan regional Asia Selatan dan menyandang status sebagai pusat keuangan regionalnya, kekuatan keuangan India yang berkembang ini membuat India rentan terhadap kegiatan money laundering atau pencucian uang. Meskipun sudah ada Undang – Undang yang ketat tentang valuta asing yang notabenenya mempersulit para pelaku money laundering untuk ‘mencuci uang’. India secara historis menjadi negara transit narkoba karena diapit oleh negara-negara penghasil heroin di Segitiga Emas dan Bulan Sabit Emas. Hal ini juga menjadi alasan kerentanan India terhadap kegiatan pencucian uang atau money laundering.(APG 2010) Beberapa sumber umum yang juga memungkinkan untuk menjadi sumber pencucian uang adalah perdagangan ilegal satwa liar yang terancam punah (Illegal Wildlife Trade), perdagangan narkotika, perdagangan manusia, perdagangan permata dan berlian ilegal, penyelundupan, korupsi, dan penggelapan pajak penghasilan. Dapat dikatakan, pada kawasan ini, India menjadi tempat yang paling rentan untuk menjadi lokasi money laundering.

Penyebaran Money laundering di Level Nasional

Secara historis, India telah menjadi mata rantai utama dalam rantai keuangan global yang terkait dengan pencucian uang. Peran India ini mendahului kemerdekaan. Jauh di tahun 1930-an dan 1940-an, maharaja atau pangeran India, serta industrialis yang tidak yakin akan masa depan negara, diyakini telah mentransfer aset besar ke luar negeri. Volume yang ditransfer mungkin meningkat pesat setelah akhir 1960-

(5)

an, menyusul penghapusan dompet rahasia dan nasionalisasi bank-bank komersial besar. Pentingnya kontemporer India dalam bisnis pencucian uang diakui bahkan oleh lembaga keuangan internasional, dan tentu saja, bank besar (Bidwai 2016). India menjadi negara yang cukup rentan dalam hal pencucian uang.

Setiap tahunnya, India bisa ‘mencuci’ lebih dari US$ 20.894.(Josh 2021) Jumlah tersebut terbilang sangat besar dan hal ini menimbulkan perhatian kebijakan yang signifikan bagi pemerintah.

India juga merupakan salah satu negara yang menjadi tempat perdagangan satwa liar secara ilegal atau Illegal Wildlife Trade (IWT). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, IWT ini bisa menjadi salah satu pemicu dan alasan terjadinya money laundering. Menurut World Wildlife Crime Report, India termasuk dalam negara yang masih memiliki banyak Harimau liar dibanding dengan harimau yang ditahan/dikandangkan (UNODC 2020).

Hal ini pun memicu para pelaku kejahatan IWT untuk melakukan aksinya. Pada tahun 2013, terdapat oknum yang melakukan perdagangan ilegal terhadap satwa liar yaitu Harimau. Pada kendaraan tersangka ditemukan 18 kuku harimau dan uang sebesar US$ 58.800. Pelaku yang tertangkap ini dikenai Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atau The Offense of Money laundering.(The Financial Action Task Force (FATF) 2020).

Identifikasi Kejahatan Transnasional

Entity

Entity berfokus pada aktor dan aktivitas TOC. Dalam kasus money laundering, entitas di sini adalah pelaku tindak kejahatan transnasional seperti perdagangan satwa liar, pengedar narkoba, perdagangan manusia dan senjata illegal, korupsi, dan pelaku tindak kejahatan lain yang biasanya memiliki status sosial tinggi (white collar crime). Money laundering dikategorikan sebagai kejahatan internasional karena juga melibatkan sistem keuangan internasional sehingga disebut kejahatan lintas batas antarnegara. Selain itu money laundering juga menggunakan sistem struktur berlapis yang mencakup banyak rekening, transaksi berlapis, dan multi yurisdiksi dengan sistem hukum yang berbeda sehingga kejahatan ini sulit untuk diberantas dengan instrumen hukum biasa.

Activity

Dalam kasus ini, aktivitas money laundering diklasifikasikan ke dalam 3 tahapan yang terdiri dari placement, layering, dan integration.

(6)

Placement adalah pengalokasian hasil kejahatan pada sistem keuangan baik domestik maupun internasional untuk tujuan pemindahan uang dari sumber asalnya. Agar terlihat samar, para aktor biasanya membagi uang dalam jumlah besar menjadi jumlah yang lebih kecil atau mengubah menjadi berbagai bentuk yang berbeda sebelum menyimpannya dalam rekening bank, investasi atau cek dan wesel. Modus lain dilakukan dengan menggabungkan hasil kejahatan dengan hasil kegiatan yang sah dalam satu instrumen perbankan.

Layering, memisahkan dana yang dihasilkan dari aktivitas ilegal dari sumber pendanaan dengan melakukan beberapa proses pemindahan untuk memperluas jalur pelacakan dengan melakukan transaksi berlapis untuk menghilangkan jejak. Tahap ini dapat dilakukan dengan transfer dana secara elektronik.

Mekanismenya dengan melalui pembukaan rekening dengan identitas palsu agar sumber uang tersebut sulit untuk dilacak. Selain itu, layering juga dapat dilakukan melalui offshore banking atau shell corporation.

Integration, pengaturan untuk mengubah uang hasil kejahatan menjadi terlihat legal. Di tahap ini, uang tersebut diintegrasikan ke dalam sistem keuangan yang legal dan gabungkan dengan semua uang yang ada.

Setelahnya, pelaku kemudian melakukan transaksi dengan memanfaatkan instrumen bank dalam kegiatan bisnis yang sah, investasi real estate, atau pembelian barang mewah.

Impact

Pada kasus money laundering, terdapat beberapa dampak negatif sebagai berikut. Pertama, hilangnya kendali pemerintah atas kebijakan ekonomi (Loss of Control of Economic Policy). Pencucian uang dapat menyebabkan perubahan jumlah permintaan uang serta meningkatkan ukuran penyebaran arus modal internasional, suku bunga dan nilai tukar mata uang karena para pelaku tidak menginvestasikan dana di negara-negara yang dapat menawarkan pengembalian yang lebih tinggi tetapi diinvestasikan kembali di negara- negara di mana aktivitas mereka kecil kemungkinan terdeteksi. Pada akhirnya perilaku tersebut mampu menekan anggaran nasional, sehingga pemerintah dapat kehilangan kendali atas kebijakan ekonominya.

Kedua, kemunculan dari distorsi dan ketidakstabilan ekonomi (Economic Distortion and Instability).

Para pelaku tidak bertujuan untuk mengambil keuntungan dari investasi, tetapi untuk melindungi keuntungan dari kejahatan yang mereka lakukan. Mereka lebih tertarik untuk berinvestasi pada kegiatan yang aman dari otoritas penegak hukum. Akibat sikap tersebut, pertumbuhan ekonomi negara tempat mereka berinvestasi dapat terganggu dan mampu meningkatkan ancaman terhadap ketidakstabilan moneter.

Ketiga, merusak sektor bisnis swasta yang sah (Undermining the Legitimate Private Bussiness Sector). Salah satu implikasi dari tindak pencucian uang terasa di sektor swasta. Para pelaku sering menggunakan perusahaan- perusahaan front companies untuk menggabungkan uang hasil kejahatan dengan yang sah untuk menyembunyikan uang hasil kegiatan kejahatannya. Perusahaan-perusahaan front companies tersebut memiliki akses yang memungkinkan mereka menyubsidi barang dan jasa yang dijual sehingga bisa dijual jauh di bawah harga pasar. Hal ini dapat merugikan bisnis legal karena tidak dapat bersaing dan pada akhirnya perusahaan tersebut gulung tikar.

Identifikasi Model of Condition dan Model of Operation

Dalam mengidentifikasikan terkait aktivitas kejahatan transnasional, penggunaan model of condition dan model of operation dapat dipakai untuk menarik benang merah dari permasalahan yang dibahas dan mengantisipasi tren masa depan aktivitas tersebut.

Model of Condition

Transnational Organized Crime dapat diidentifikasi menggunakan model of condition dimana terdapat tiga jenis model of condition yaitu, political model, economic model, dan social models. Dalam kasus money laundering di India dapat dianalisis menggunakan political models dimana political models berputar pada sifat negara dan institusi

(7)

politik. Pada aktivitas money laundering, aktivitasnya dilakukan dengan melakukan penggelapan atau menyembunyikan uang yang mayoritas transaksinya dilakukan secara tunai dengan jumlah yang besar yang didapatkan dari hasil melakukan tindakan kriminal sehingga aktivitas money laundering berkaitan dengan aktivitas transnational crime lainnya salah satunya yang dijelaskan dalam paper ini adalah international wildlife trade (IWT). Namun untuk aktivitas money launderingnya sendiri sindikat yang terlibat dalam penggelapan dana hasil dari IWT tidak begitu mempertimbangkan atau berorientasi pada hasil yang akan diperoleh serta biaya yang dikeluarkan karena money laundering ini bertujuan untuk menyamarkan atau menghilangkan jejak asal uang dengan melakukan pemindahan uang agar hasilnya nanti dapat digunakan secara aman tanpa terdeteksi bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kegiatan illegal (Widyaiswara n.d.).

Pada kasus pencucian uang di India ini aktivitasnya juga dapat dipengaruhi karena kondisi negaranya sehingga analisis political modelnya berkaitan dengan weak states dimana berkembangnya kasus pencucian uang dikarenakan penegakan hukum yang lemah dan tidak efektif di India yang mana India sendiri India telah menjadi mata rantai utama dalam rantai keuangan global yang terkait dengan pencucian uang. Negara-negara yang lemah memiliki pertumbuhan ekonomi yang rendah atau stagnan dan institusi pemerintahan yang lemah yang tidak mampu menerapkan kebijakan atau mempertahankan otonomi karena korupsi atau konflik, bahkan ketika Enforcement Directorate (ED) India diminta untuk mengoperasikan Undang-Undang Pencegahan Pencucian Uang atau Prevention of Money laundering Act (PMLA), tidak ada yang dihukum karena kejahatan tersebut salah satu alasannya karena seringkali bukan merupakan lead enforcement agency untuk kejahatan money laundering. Badan penuntut utama India terhadap pencucian uang dan penggunaan valuta asing ilegal telah berusaha keras untuk menegakkan hukum sesuai dengan prosedur yang ada tetapi belum berhasil menembus proses peradilan yang panjang karena kurangnya koordinasi antar lembaga di antara lembaga penuntutan dan kekurangan staf yang dapat menghambat proses penegakan hukum.

Kurangnya koordinasi antar lembaga dapat dilihat ketika Indian investigating agencies enggan untuk berbagi informasi kasus sehingga lembaga lainnya yang memiliki otoritas kekurangan data untuk penyidikan yang membuat pendakwaan sulit dilakukan seperti yang ditunjukkan oleh data statistik bahwa ED hanya berhasil mengadili 173 orang dalam 11 tahun di mana tidak ada yang dipenjara sebagai terpidana. Selain itu, keterlibatan jaringan pejabat – petugas bea cukai, imigrasi atau pelabuhan lintas negara sumber, transit dan tujuan untuk menghindari deteksi pada kegiatan money laundering yang dilakukan oleh sindikat IWT di India juga memainkan peran penting dalam penghambatan penegakan hukum pada aktivitas money laundering di India, dengan begitu fenomena pencucian uang ini mempertegas ketidakmampuan negara dalam melakukan perlindungan.

Model of Operation

Guna melihat bagaimana kejahatan terorganisir beroperasi atau menjalankan aktivitasnya maka dapat digunakan model of operation untuk menganalisis kasus pencucian uang. Dalam model of condition dibagi menjadi dua jenis, yaitu the Strategic/Risk Management model dan hybrid/composite model.

Pada kasus money laundering di India dapat dilihat menggunakan the Strategic/Risk Management model of operation dimana aktor yang terlibat berada dalam adversarial relationship dengan pemerintah dan lembaga penegak hukum, yang mana strategi disini menjadi hal yang krusial. Sehingga, aktor dalam aktivitas pencucian

(8)

uang ini kemudian akan berusaha tidak hanya untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka tetapi mereka akan membangun tindakan-tindakan komprehensif yang ditujukan untuk menghindari/mencegah, mengontrol, dan mitigasi risiko yang akan dihadapi terhadap penegakan hukum (Williams and Godson 2002).

Pada studi kasus ini laporan menunjukkan bahwa pencucian uangnya terjadi di seluruh negara sumber, transit, dan tujuan untuk international wildlife trade (IWT) atau perdagangan satwa liar. Sehingga, strategi manajemen risiko yang dilakukan meliputi dari upaya sederhana untuk memisahkan organisasi (atau para pemimpinnya) dan kejahatan, atau dapat jauh lebih rumit dan ekstensif. Pada pencucian uang dari hasil IWT ini dapat dilihat dari upaya/strategi yang mereka lakukan untuk menggelapkan uang dimana pola strateginya melalui proses sangat beragam mulai dari placement, layering, integration (Levi 2002).

Placement sendiri merupakan upaya menempatkan dana yang didapat dari tindakan kriminal dengan ke dalam sistem keuangan seperti penempatan pada bank ataupun penyetoran uang pada PJK dan uang tunai jarang digunakan pada tahap ini. Pada kasus money laundering di India salah satu sumber awal dana dihasilkan dari kegiatan perdagangan ilegal satwa liar. Kemudian, dana hasil perdagangan ilegal satwa liar ini berusaha untuk dipisahkan karena pada layering step disini prosesnya bertujuan untuk memisahkan dana yang ada dari sumbernya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana dan transaksi dana pada tahap layering dilakukan dengan melalui setoran tunai (dengan kedok pinjaman atau pembayaran), platform e- banking (misalnya, layanan pembayaran elektronik yang terkait dengan kartu kredit atau rekening bank), sistem transfer nilai uang berlisensi atau money value transfer systems (MVTS), dan third-party wire transfers melalui bank (The Financial Action Task Force (FATF) 2020).

Pada tahap integration, uang yang sudah dicuci melalui proses placement maupun layering dialihkan pada kegiatan legal, dengan begitu tidak ada hubungan sama sekali dengan tindak kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang telah dicuci dengan begitu tujuannya tidak hanya menyamarkan sumber dana saja melainkan juga mengubah performance dana dari hasil aktivitas illegal tersebut. Pada kasus pencucian uang hasil IWT, bentuk pemindahan uang tunai dilakukan melalui jaringan bisnis yang telah dimanipulasi agar terlihat seolah-olah merupakan bisnis sah. Sindikat IWT di India sering menggunakan perusahaan “shell company” dan “front company”

dengan koneksi ke perdagangan satwa liar yang legal, seperti taxidermists, peternakan, fasilitas pembiakan hewan, toko hewan peliharaan dan kebun binatang, obat tradisional, dekorasi, perhiasan, dan fashion.

Metode Penanganan yang Telah Dilakukan Level Global

Secara global, aktivitas money laundering dilacak dan dikontrol oleh Financial Action Task Force (FATF). Financial Action Task Force (FATF) didirikan pada Juli 1989 oleh KTT G-7 di Paris (FATF 2021b). Pada awalnya, badan ini ditujukan untuk memeriksa dan mengembangkan langkah-langkah untuk memerangi pencucian uang. Pada Oktober 2001, FATF memperluas mandatnya, selain untuk memerangi pencucian uang, juga untuk memerangi pendanaan teroris. Tujuan FATF adalah untuk menetapkan standar dan mempromosikan implementasi yang efektif dari tindakan hukum, peraturan dan operasional untuk memerangi pencucian uang, pendanaan teroris dan ancaman terkait lainnya terhadap integritas sistem keuangan internasional (FATF 2021a). FATF membantu negara-negara anggotanya untuk menekan aktivitas money laundering dengan cara memberikan rekomendasi dan metodologi penanganan money laundering. FATF

(9)

juga menyediakan konsolidasi serta prosedur evaluasi yang digunakan secara universal dalam upaya pencegahan money laundering.

Level Regional

Di level regional, dalam artikel ini kami menggunakan kawasan Asia Selatan sebagai kawasan dari negara India, terdapat beberapa prosedur pencegahan aktivitas money laundering berjudul Anti-Money laundering (AML). AML merupakan standar-standar yang disusun oleh yang harus dipenuhi oleh badan keuangan agar lebih kuat dalam menghadapi money laundering. Standar ini dibentuk oleh FATF, dan disesuaikan dengan kawasan yang dituju. Di Asia Selatan, pendekatan berbasis risiko (risk based approach)-atau singkatnya RBA- merupakan inti dari penerapan efektif rezim AML. Salah satu elemen dasar dalam penerapan RBA adalah Institutional Risk Assessment (IRA) yang memungkinkan bank dan lembaga keuangan memahami bagaimana dan sejauh mana mereka rentan terhadap risiko money laundering.(Deloitte India 2020) Kemudian, mereka harus menggunakan IRA untuk memastikan alokasi sumber daya yang bijaksana dan efisien serta menciptakan program compliance AML yang kuat.

Level Nasional

Dalam menekan aktivitas money laundering secara keseluruhan, India memiliki Prevention of Money laundering Act (PMLA) pada tahun 2012 (Ministry of Law and Justice of India 2012). Kebijakan ini merupakan hukum hukum dasar untuk mencegah kegiatan pencucian uang di India. Terdapat otoritas khusus yang menangani masalah pencucian uang seperti Reserve Bank of India / Securities and Exchange Board of India (“SEBI”)/ Insurance Regulatory and Development Authority of India yang juga menyusun serta melaksanakan pedoman standar anti pencucian uang berdasarkan PMLA. PMLA berlaku untuk setiap orang yang secara langsung atau tidak langsung terlibat, atau dengan sengaja membantu, atau benar-benar terlibat dalam kegiatan apa pun yang berhubungan dengan hasil kejahatan, bersalah karena melakukan tindak pidana pencucian uang. Selain itu kebijakan ini juga berlaku pada mereka yang menyembunyikan, memiliki kepemilikan, memperoleh, menggunakan, memproyeksikan, atau mengklaim hasil kejahatan sebagai kepemilikan yang tidak ternoda.

Hal ini termasuk pelanggaran menurut ketentuan PMLA.

Rekomendasi Kebijakan Level Global

Di level global, FATF telah menunjukkan kebijakan yang cukup efektif. Tiga fungsi utama FATF adalah memantau kemajuan anggota FATF dalam menerapkan tindakan anti money laundering, melakukan kajian mengenai money laundering trends, teknik dan penanggulangan terkait money laundering, dan mempromosikan pengadopsian dan penerapan standar anti money laundering di masyarakat internasional. Oleh karena itu, dalam menangani money laundering di level global bisa dilakukan dengan mengadopsi FATF Recommendations.

Kebijakan yang bisa diterapkan adalah memberlakukan pengenalan nasabah dengan memastikan identitas melalui prosedur dan pemantauan kemudian melakukan pelaporan kepada pihak yang berwenang. Selain itu dapat mencari dan menindak individu sebagai pelaku money laundering dan berfokus dalam mencari dan menindak aset yang berkaitan dengan money laundering. Langkah lain dengan meningkatkan sistem dan penegakan hukum, sistem keuangan dan regulasi, serta melakukan kerja sama internasional dengan negara lain.

(10)

Level Regional

India berada pada kawasan Asia Selatan dimana pada kondisi ini membuat India menjadi negara pusat keuangan dalam kawasannya sehingga rentan terhadap pencucian uang dan akan berdampak ke negara lain di kawasan itu karena money laundering ini merupakan kejahatannya yang bersifat cross border. Dengan begitu, untuk mengatasi masalah ini maka dibentuklah AML atau Anti Money laundering yang dibentuk oleh FATF (Financial Action Task Force) dan disesuaikan dengan kawasan yang dituju. Namun permasalahan yang muncul dari upaya penanganan ini adalah ketidaktaatan (non compliance) dari negara-negara di kawasan itu. Dengan begitu kebijakan yang diperlukan untuk membuat negara comply dengan AML ini adalah dengan melibatkan South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) sebagai organisasi kawasan untuk meng-encourage member statenya untuk comply dengan AML karena money laundering menjadi ancaman bagi kawasan tersebut mengingat kejahatan ini bersifat transnasional. Encouragement yang dilakukan dapat berupa sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh state member dengan ketentuan punishment jika melanggar kesepakatan bersama tersebut. Agar punishment yang dibuat tidak melanggar sovereignty sebuah negara maka punishment bisa bersifat seperti embargo dan bukannya intervensi.

Level Lokal

Pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan tingkat korupsi yang tinggi di India, membuat India rentan terhadap kasus money laundering. Untuk menangani hal ini, pemerintah dan lembaga penegak hukum di India telah menerapkan sejumlah tindakan dan inisiatif. India bergabung dengan FATF, dan menegakkan peraturan yang direkomendasikan oleh FATF dalam mengatasi kasus Money laundering. Pemerintah juga melakukan demonetisasi mata uang India yang menyebabkan kekacauan dalam perekonomian (Ukrani 2019). Untuk kebijakannya sendiri, ada baiknya apabila instansi atau otoritas yang bertanggung jawab harus lebih ketat menjaga keseimbangan dan juga melakukan pemeriksaan lembaga keuangan India. Diperlukannya digitalisasi pada sistem yang dirasa efektif yang bisa memeriksa setiap laju transaksi yang tidak sah. Selain itu, untuk memberi efek jera dan juga ketakutan pada pelaku, hukuman yang tertera pada Pada The Prevention of Money laundering tahun 2011 bisa ditingkatkan, yang tadinya 7 tahun mungkin bisa ditingkatkan ke 12 tahun (Ukrani 2019).

CONCLUSION

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa aktivitas kriminal money laundering merupakan aktivitas pendukung dari tindakan kriminalitas lainnya. Dalam artikel ini, kami mengidentifikasi aktivitas money laundering menjadi bagian dari tindakan kriminalitas lainnya, yaitu illegal wildlife trade. Pencucian uang, atau money laundering, teridentifikasi pada level global, regional, maupun level lokal. Dalam ketiga level ini, meskipun memiliki karakteristik masing-masing dalam tiap level, money laundering memiliki pola yang tidak jauh berbeda. Pola money laundering tersebut dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu placement, layering, integration.

Selanjutnya, dapat disimpulkan pula, bahwa model kejahatan transnasional yang sesuai untuk menganalisis aktivitas money laundering dalam studi kasus ini adalah political models sebagai model of conditions, dan the Strategic/Risk Management sebagai model of operation. Dengan menggunakan kedua model tersebut, diharapkan ada sebuah pemahaman yang lebih menyeluruh dan mendalam mengenai aktivitas money laundering.

Perlu ditekankan bahwa Money laundering bukanlah kejahatan tanpa korban. Tindakan kriminalitas ini menyebabkan kerugian pada negara yang digunakan menjadi tempat beroperasi. Sehingga, untuk menekan

(11)

dan menangani aktivitas ini, dibentuklah sebuah kebijakan yaitu Prevention of Money laundering Act 2012 di India, dan badan Financial Action Task Force di level global

Selain melakukan compliance standar keamanan badan keuangan, dalam menangani tindak kriminal money laundering, khususnya negara, harus ada upaya untuk meningkatkan sistem keamanan lembaga keuangan mengikuti perkembangan teknologi. Tidak dapat dipungkiri, semakin canggih dan maju sistem teknologi, maka ancaman penyalahgunaan terhadap hal tersebut juga semakin besar. Sehingga, pihak berwenang harus bisa selangkah lebih maju dalam mencegah aktivitas money laundering. Untuk itu, evaluasi secara konstan mengenai sistem keamanan yang ada perlu dilakukan sebagai upaya antisipasi dalam menghadapi money laundering.

REFERENCE

(UNODC), United Nations Office on Drugs and Crime. “Money laundering Overview.” APG.

2010. “Anti-Money laundering and Combating the Financing of Terrorism : India.”

Basel Institute on Governance. 2021a. “Global Money laundering Risks in 2021 Map.” Basel Institute on Governance. https://index.baselgovernance.org/map.

———. 2021b. “Global Ranking in 2021.” Basel Institute on Governance.

https://index.baselgovernance.org/ranking.

Bidwai, Praful. 2016. “Money laundering in Perspective.” Economic and Political Weekly 41(4): 330–32.

Deloitte India. 2020. Anti-Money laundering Preparedness Survey Report 2020.

https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/in/Documents/finance/Forensic/in-forensic- AML-Survey-report-2020-noexp.pdf (November 14, 2021).

FATF. 2021a. “What We Do.” Financial Action Task Force (FATF). https://www.fatf- gafi.org/about/whatwedo/ (November 14, 2021).

(12)

———. 2021b. “Who We Are.” Financial Action Task Force (FATF). https://www.fatf- gafi.org/about/whoweare/ (November 14, 2021).

Financial Action Task Force (FATF). 2020. Executive Summary.

Josh, Mayur. 2021. “Guide to Money laundering in the Year 2021.” regtechTimes.

Kumar, Praveen. 2015. “Money laundering in India: Concepts, Effects and Legislation.” International Journal of Research 3(7): 51–63.

Kurniawan, Iwan. “PERKEMBANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY

LAUNDERING) DAN DAMPAKNYA TERHADAP SEKTOR EKONOMI DAN BISNIS.” Jurnal Ilmu Hukum 3(1).

Levi, Michael. 2002. “Money laundering and Its Regulation.” The Annals of the American Academy of Political and Social Science 582. https://www.jstor.org/stable/1049742.

Ministry of Law and Justice of India. 2012. Prevention of Money laundering Act 2012.

https://dor.gov.in/sites/default/files/PML %28Amendment%29 Act%2C 2012.pdf.

“Money laundering - Financial Action Task Force (FATF).”

N, Gandhung Wahyu F, and Joko Supriyanto. 2014. “URGENSI PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PADA KASUS KORUPSI.” Recidive 3(3): 248–58.

Ramelan, Hariyadi, and Delfianto Ras. 2003. “Kajian Awal Tentang Money laundering Serta Implikasinya Dalam Pasar Keuangan Internasional.” Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan 1(4): 117–31.

Realuyo, Celina B. 2012. “It’s All about the Money: Advancing Anti-Money laundering Efforts in the U.S. and Mexico to Combat Transnational Organized Crime.” Mexico Institute: 5.

The Financial Action Task Force (FATF). 2020. Money laundering and the Illegal Wildlife Trade.

UNODC. 2020. “World Wildlife Crime Report 2020. Trafficking in Protected Species.”

Widyaiswara, M. F. Mengenali Proses Pencucian Uang (Money laundering) Dari Hasil Tindak Pidana. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP.

Williams, Phil, and Roy Godson. 2002. “Anticipating Organized and Transnational Crime.” Crime, Law & Social Change 37(4).

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan perangkat pembelajaran berbasis CTL yang telah dikembangkan pada materi pokok cahaya berpengaruh positif untuk meningkatkan prestasi belajar fisika siswa kelas

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh berbagai jenis tepung ikan terhadap pembuatan tepung pempek.. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak

Dalam meningkatkan pelayanan bongkar muat, sebaiknya tidak hanya dengan menambah unit HMC, misalkan: dengan penambahan kapasitas dermaga, pengaturan jadwal kedatangan kapal yang

Kegiatan PKPA di rumah sakit dilakukan untuk mengetahui fungsi dan tugas tugas rumah sakit dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat, melihat peran Instalasi

To response that challenges, The University of Lampung collaborated with ISFA (Indonesia SEARCA Fellow Association) and SEAMEO-SEARCA conduct an International Seminar on “Improving

Dalam konteks artikel ini, paradigma tidak dalam pengertian penelitian ilmiah, tetapi lebih sebagai cara pandang hukum Islam dalam memilih atau menentukan

Kebudayaan Nomor : Nomor 007/H/EP/2017 , tanggal 6 Pebruari 2016 tentang Prosedur Operasi Standar Ujian Sekolah Dasar, Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah

Financial ratios used to measure company's performance are profitability ratios, such as Return on Assets (ROA) as the main parameter and Return on Equity (ROE)