• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Tipe Work-Life Balance pada Pegawai Level Manajerial di Perusahaan "X" Jakarta yang Sudah Menikah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Tipe Work-Life Balance pada Pegawai Level Manajerial di Perusahaan "X" Jakarta yang Sudah Menikah."

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

viii Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai tipe work-life balance pada pegawai level manajerial di Perusahaan “X” Jakarta yang sudah menikah. Responden pada penelitian ini adalah pegawai level manajerial di Perusahaan “X” Jakarta yang sudah menikah sebanyak 38 orang yang dijaring dengan menggunakan teknik purposive sampling.

Untuk mengukur tipe work-life balance pada pegawai level manajerial di Perusahaan “X” Jakarta yang sudah menikah menggunakan alat ukur work-family enrichment oleh Greenhaus yang dikembangkan oleh Dawn S. Carlson (2006) dan work-family conflict oleh Grzywacz dan Carlson (2007), yang kemudian dimodifikasi oleh Indah Soca Kuntari M. Psi., Psikolog. Berdasarkan uji validitas dengan menggunakan rumus pearson dan reliabilitas dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach, diperoleh 14 item yang valid dari kuesioner work-family enrichment dengan nilai validitas antara 0.394 – 0.853 dan reliabilitas 0.865. Sedangkan untuk kuesioner work-family conflict diperoleh 17 item yang valid dan 1 item yang tidak valid dengan nilai antara 0.242 – 0.876 dan reliabilitasnya 0.902. Hasil dari kedua alat ukur tersebut kemudian dikombinasikan sehingga didapatkan 4 tipologi yaitu beneficial, harmful, active dan passive work-life balance.

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini menyatakan bahwa tipe work-life balance yang paling dominan pada pegawai level manajerial di Perusahaan “X” Jakarta yang sudah menikah adalah tipe beneficial sebesar 70.5%. Dari hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa pegawai level manajerial di Perusahaan “X” Jakarta mendapatkan pengalaman enhancement yang tinggi dari peran-peran yang dijalankan pada domain pekerjaan dan domain keluarga dan conflict yang rendah dari peran-peran yang dijalankan pada domain pekerjaan dan domain keluarga. Peneliti menyarankan untuk lebih lanjut dilakukan penelitian dengan sampel pegawai di level jabatan bagian lain serta melibatkan data penunjang yang lebih mendalam dan mendalam agar dapat menjadi bahan acuan untuk menentukan faktor-faktor dari work-life balance.

(2)

ix Abstract

This study is conducted to discover the description of work-life balance type in managerial level who is married employee of “X” Corporation Jakarta. Respondents in this study are 38 people in managerial level of “X” Corporation Jakarta that have been married using purposive sampling technique.

The instruments used to measure these type of work life balance are work family enrichment which is based on theory Greenhaus that have been developed by Dawn S.Carlson (2006), and also work family conflict Grzywacz and Carlson (2007) that have been modified by Indah Soca Kuntari M. Psi., Psikolog. Based on validity test using pearson validity and reliability using Alpha Cronbach, there are 14 items valid in work-family enrichment questionnaire with range validity value from 0.394 – 0.853 and reliability value 0.865.In the other hand for work-family conflict questionnaire, researcher obtained 17 item valid and 1 item not valid with range validity value from 0.242 – 0.876 and reliability value 0.902. Result from both of the instrument are combined to obtain 4 typology of work life balance such as, beneficial, harmful, active and passive work-life balance.

This study is concluded that the dominant type of work life balance in managerial level managerial level who is married employee of “X” Corporation Jakarta is beneficial type (70,5 percent). Based on that can be said that they experience high enhancement and low conflict from both of work and family domain with their role. Researcher suggest to have further research with another level and position and use deeper supporting data that can be used to determine which factor that relevant with work life balance.

(3)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR ORISINALITAS ... iii

LEMBAR PUBLIKASI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR BAGAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 12

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 13

1.3.1 Maksud Penelitian ... 13

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 13

1.4 Kegunaan Penelitian ... 13

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 13

(4)

xi

1.5 Kerangka Pemikiran ... 14

1.6 Asumsi Penelitian ... 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Work-Life Balance ... 25

2.1.1 Definisi Work-Life Balance ... 25

2.1.2 Dimensi Work-Life Balance ... 25

2.1.2.1 Enhancement ... 26

2.1.2.2 Conflict ... 27

2.1.3 Job Demand and Resources ... 28

2.1.3.1 Tuntutan kerja (Job Demands) ... 28

2.1.3.2 Sumber Daya Kerja (Job Resources) ... 28

2.1.3.3 Sumber Daya Pribadi (Personal resources) ... 29

2.1.4 Taksonomi Work-Life Balance ... 30

2.1.5 Data Demografis Work-Life Balance ... 32

2.1.5.1 Job Stressor ... 32

2.1.5.2 Family Characteristic ... 34

2.1.5.3 Employee Characteristic ... 35

2.1.5.4 Job Characteristic ... 36

2.1.5.5 Kehadiran dari Pengukuran work-life balance ... 37

2.1.5.5.1 Sikap Manajer Senior dan Supervisor ... 37

2.1.5.5.2 Sikap Rekan Kerja ... 38

2.2 Konsep Keseimbangan Peran ... 38

2.3 Manager ... 40

(5)

xii

2.3.2 Tingkatan atau Level Managerial ... 40

2.3.3 Karakteristik Pegawai level First Line Manager ... 41

2.3.4 Karakteristik Pegawai level Middle Manager ... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 43

3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 43

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 44

3.3.1 Variabel Penelitian ... 44

3.3.2 Definisi Konseptual ... 44

3.3.3 Definisi Operasional ... 45

3.4 Alat Ukur ... 38

3.4.1 Alat Ukur Work-Life Balance ... 47

3.4.1.1 Prosedur Pengisian ... 48

3.4.1.2 Sistem Penilaian ... 48

3.4.1.2.1 Sistem Penilaian Work Family Enrichment ... 48

3.4.1.2.2 Sistem Penilaian Work Family Conflict ... 49

3.4.1.2.3 Sistem Penilaian Work Life Balance ... 50

3.4.2 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 51

3.4.2.1 Data pribadi ... 51

3.4.2.2 Data Penunjang ... 51

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 51

3.4.3.1 Validitas Alat Ukur ... 52

3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur... 54

(6)

xiii

3.5.1 Populasi Sasaran ... 55

3.5.2 Karakteristik Sampel ... 56

3.5.3 Teknik Penarikan Sample ... 56

3.6 Teknik Analisis Data ... 56

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden ... 58

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 58

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis kelamin ... 59

4.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 59

4.1.4 Gambaran Responden Berdasarkan Jabatan ... 60

4.1.5 Gambaran Responden Berdasarkan Departemen ... 60

4.1.6 Gambaran Responden Berdasarkan Lama Bekerja ... 61

4.2 Hasil Penelitian ... 61

4.2.1 Hasil Penelitian Berdasarkan Data Work-Life Balance ... 62

4.2.2 Hasil Penelitian Berdasarkan Data Work-Family Enrichment ... 63

4.2.3 Hasil Penelitian Berdasarkan Work-Family Conflict ... 63

4.3 Pembahasan ... 64

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 72

5.2 Saran ... 72

5.2.1 Saran Teoritis ... 72

(7)

xiv

(8)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tipologi Work-Life Balance ... 30

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur Work-Life Balance ... 47

Tabel 3.2 Penilaian Item Work-Family Enrichment ... 48

Tabel 3.3 Penilaian Item Work-Family Conflict ... 49

Tabel 3.4 Validitas Alat Ukur WFC ... 53

Tabel 3.5 Kriteria Reliabilitas ... 55

Tabel 3.6 Reliabilitas Alat Ukur WFC ... 55

Tabel 4.1 Usia Responden ... 58

Tabel 4.2 Jenis Kelamin ... 59

Tabel 4.3 Pendidikan Terakhir ... 59

Tabel 4.4 Jabatan ... 60

Tabel 4.5 Departemen ... 60

Tabel 4.6 Lama Kerja ... 61

Tabel 4.7 Tipe Work-Life Balance ... 62

Tabel 4.8 Work-Family Enrichment ... 63

(9)

xvi

DAFTAR BAGAN

(10)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I KISI – KISI ALAT UKUR L-1

Lampiran 1.1 Kisi – kisi Alat Ukur Work-Family Conflict L-2 Lampiran 1.2 Kisi – Kisi Alat Ukur Work – Family Enrichment L-4

Lampiran II KATA PENGANTAR, INFORMED CONSENT & KUESIONER L-6

Lampiran 2.1 Kata Pengantar Kuesioner L-7

Lampiran 2.2 Lembar Persetujuan Responden L-8

Lampiran 2.3 Kuesioner Data Personel L-9

Lampiran 2.4 Kuesioner Work-Life Balance L-12 Lampiran III VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR L-16 Lampiran 3.1 Validitas Alat Ukur Work-Family Enrichment L-17 Lampiran 3.2 Validitas Alat Ukur Work-Family Conflict L-18 Lampiran 3.2 Reliabilitas Alat Ukur Work-Life Balance L-19

Lampiran IV DATA HASIL KUESIONER L-20

Lampiran 4.1 Hasil Kuesioner Work-Life Balance Responden L-21 Lampiran 4.2 Hasil Work-Family Enrichment Responden L-23 Lampiran 4.3 Hasil Work-Family Conflict Responden L-25

Lampiran V HASIL PENGOLAHAN DATA L-27

Lampiran 5.1 Data Demografis Responden L-28

Lampiran 5.2 Gambaran Sampel L-30

(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bekerja merupakan suatu hal yang sangat penting bagi sebagian orang yang sudah berada pada usia dewasa (Frone et al, 1992) dimana seseorang akan melakukan suatu pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya, keluarganya maupun perkembangan kehidupannya. Dalam kehidupan seseorang, terdapat lingkaran keseimbangan mengenai perkembangan kehidupan manusia, diantaranya marital, parental, familial, financial, social, dan lain-lain (James Clawson, 2010). Mengacu pada hal diatas, setiap individu memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi sesuai dengan lingkaran perkembangan yang dijalaninya dan terdapat peran-peran yang dijalankannya baik sebagai orangtua, pasangan, maupun individu di dalam lingkungan sosial yang membutuhkan pemenuhan akan perannya tersebut.

(12)

2

di dalam keluarga memiliki tugas mengurus rumah tangga seperti memasak, membersihkan rumah atau mengasuh anak yang juga ada dalam tradisi masyarakat (Twenge dkk, 2002). Saat ini telah banyak berkembang emansipasi wanita dimana dengan masuknya wanita didalam dunia pekerjaan, maka membuat wanita mengalami pergeseran tugas dimana awalnya me-manage keluarganya menjadi tugas untuk me-manage pekerjaannya tersebut, namun seorang wanita profesional yang telah menikah dan memiliki status karier yang sama dengan suaminya, tetap menghadapi pola tradisional yang tidak seimbang dalam tugas menjaga anak dan pekerjaan rumah tangga sehari-hari dan hal tersebut tidak dapat terelakkan (Vinokur, Piere & Buck 1999, dalam Voydanoff, 2005).

Dalam perannya di pekerjaan, pria dan wanita dapat berperan sebagai seorang manajer, yaitu seseorang yang bekerja melalui orang lain dengan membuat keputusan, mengalokasikan sumber daya dan mengoordinasikan kegiatan-kegiatan mereka guna mencapai tujuan organisasi (Robbins dan Judge, 2009). Dalam hal ini, perannya sebagai manajer yang dijalaninya terbagi pada level first line manager dan middle manager yang memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda.

Pegawai yang berada pada level first-line manager atau dikenal pula dengan istilah manajer operasional, merupakan manajer tingkatan paling rendah yang bertugas memimpin dan mengawasi pegawai non-manajerial, sedangkan pegawai pada level middle manager memiliki tugas untuk menginformasikan langkah-langkah pencapaian target sehingga dapat diaplikasikan kepada bawahannya secara operasional mengenai apa yang dibutuhkan dalam proses penggunaan strategi tersebut.

(13)

3

wadah penyimpanan makanan, perawatan sepatu, dan perawatan mobil. Melalui barang yang

diproduksinya, Perusahaan “X” berusaha untuk mencapai tujuan perusahaan yaitu safety, health,

and environment. Safety pada tujuan perusahaan menunjukan bahwa perusahaan menjunjung

tinggi keamanan bagi pekerja maupun bagi lingkungan agar tidak terkontaminasi dengan limbah pabrik yang ada. Health dimaksudkan bahwa pegawai yang ada akan dipastikan memiliki jaminan asuransi bagi dirinya dan keluarga. Selain itu, produk yang dihasilkan dapat dipastikan tidak membahayakan konsumen yang menggunakkan barang hasil produksi perusahaan “X”,

sedangkan Environment dimaksudkan bahwa lingkungan merupakan bagian dari perusahaan yang perlu dijaga dan juga perlu dipelihara dengan terus mengolah limbah pabrik yang ada. (www.scjhonson.com)

Terdapat dua bagian struktur di perusahaan “X” yaitu bagian commercials dan manufacture. Bagian commercials merupakan bagian dalam perusahaan yang bergerak dalam hal memasarkan dan menjual produk yang dihasilkan oleh perusahaan, sedangkan bagian manufacture bergerak dalam memproduksi dan menjaga kualitas produk yang akan dipasarkan ke masyarakat. Kedua bagian tersebut berjalan beriringan, namun terdapat perbedaan dalam sistem manajerial yang ada di dalamnya. Masing-masing bagian tersebut memiliki HRD yang berbeda dan berpengaruh pada sistem kerja yang ada di perusahaan tersebut. Pada bagian commercials, pegawai pada level manajerial memiliki waktu yang lebih fleksibel dalam menjalankan tugasnya sebagai manajer, sedangkan bagian manufacture memiliki waktu kerja yang ketat atau fixed time di dalam kantor untuk normal shift yaitu pukul 07.30 hingga 16.15 dan untuk non-shift mulai pukul 08.00 hingga 17.00.

Pada perusahaan “X” Jakarta, bagian yang disoroti adalah bagian manufacture dimana

perusahaan “X” memiliki 299 orang pegawai, dimana terdapat 38 orang pegawai atau sekitar

(14)

4

dengan waktu kerja yang terikat. Pegawai pada level first-line manajer perusahaan “X”, memiliki tugas untuk mengawasi proses produksi barang keperluan rumah tangga yang dilakukan pegawainya dan bertanggung jawab kepada level middle manager, sedangkan pegawai pada level middle manager di perusahaan “X” bertugas untuk menetapkan strategi dan menginfomasikannya sehingga dapat dimengerti bawahannya. Disamping dengan adanya tugas serta keterikatan waktu, pegawai juga dituntut untuk menyelesaikan seluruh pekerjaannya meskipun menggunakan waktu diluar jam kerja fixed untuk melakukan conference call hingga membawa pekerjaannya ke rumah. Pegawai pada level first-line manager maupun level middle manager dapat bekerja pada sistem non-shift maupun normal shift di dalam perusahaan yang berkaitan dengan keterikatan waktu. Menurut Rantanen (2008), pembagian waktu yang tidak fleksibel merupakan salah satu hal yang mempengaruhi kesejahteraan pegawai serta hal yang memunculkan konflik dalam kehidupan kerja dan non-kerja.

Hal lainnya yang menjadi sorotan pada bagian manufacture adalah rentang koordinasi yang pendek dimana beberapa manager pada level middle manager hanya memiliki satu bawahan atau tidak memiliki bawahan sama sekali, sehingga pegawai bertanggungjawab mulai dari task sederhana hingga kompleks. Selain itu, perusahaan juga melakukan restrukturisasi pada pegawai dimana beberapa pegawai pada level middle manager maupun first line dipindahtugaskan ke daerah lain, sehingga terdapat beberapa departemen yang pada awalnya memiliki Head Manager dan Associate Manager, hanya diorganisir oleh salah satu dari kedua jabatan tersebut. Dalam

pembagian tugasnya pula, perusahaan “X” membuat spesifikasi yang rinci mengenai job

description dari tiap jabatan yang ada dan apabila terdapat perbedaan spesifikasi seperti

(15)

5

Selain perannya sebagai manajer, pegawai di perusahaan “X” berada di rentang usia 20 tahun

hingga 40 tahun sehingga secara umum pegawai sudah menikah atau sudah memiliki keluarga yang juga memiliki peran sebagai istri, suami, pasangan, maupun sebagai orang tua. Pegawai yang berperan sebagai suami dan istri memiliki tuntutan untuk melakukan pengurusan rumah tangga secara bersama maupun menjadi partner yang menemani maupun memenuhi kebutuhan masing-masing pihak. Disamping itu pula, pegawai yang telah memiliki anak memiliki peran sebagai ayah yang tidak hanya berperan sebagai pencari nafkah melainkan juga berperan sebagai role model bagi anaknya atau dibutuhkannya paternal participation dalam pengasuhan anak

(Carbera et al 2000, dalam Trambley, 2004), sedangkan sebagai seorang ibu, wanita tetap memiliki peran untuk mengurus rumah tangga, memastikan pendidikan anaknya, serta mendampingi anaknya maupun pasangannya. Selain itu, suatu keluarga dapat pula tinggal dengan keluarga besarnya seperti dengan kakek, nenek, ayah mertua hingga kakak ipar ataupun adik ipar. Dengan adanya hal tersebut, maka pegawai memiliki tuntutan peran lain yang harus dijalani di dalam keluarga dengan memenuhi kebutuhan anggota keluarga lainnya.

(16)

6

hal tersebut mempengaruhi kehidupan kerja dan kehidupan diluar pekerjaan serta mempengaruhi kesehatannya. Dalam hal ini konflik mungkin dirasakan pada kedua level manajerial dikarenakan waktu yang digunakan untuk bekerja menyita waktu di dalam keluarga, seperti pada departemen produksi yang memiliki rotasi dimana pegawai akan mulai bekerja dari malam hingga pagi hari. Selain itu, pada departemen SHE (Safety, Health and Environment), memiliki tugas untuk melakukan follow up di malam hari pada cabang perusahaan di luar negeri, yang membuat kurangnya waktu untuk berbincang dengan pasangan atau kelelahan ketika sampai di rumah.

Meskipun tuntutan yang ada dalam suatu peran memungkinkan munculnya konflik, namun peran-peran yang dijalankan oleh seseorang juga dapat memberikan manfaat dalam bentuk hak, keamanan status, energi psikologis, dan perkembangan pribadi yang dapat memerluas sumber daya individu serta memfasilitasi kinerja dari peran yang dijalankan (Marks, 1977). Dalam melaksanakan perannya, terdapat pula pengalaman atau sumber-sumber yang dapat bermanfaat bagi pegawai level manajerial sebagai individu atau yang dikenal dengan resources. Resources tidak hanya dirasakan dari keterlibatan pegawai dalam bekerja tetapi juga dari keterlibatannya di dalam rumah. Banyaknya resources yang didapat dari peran-peran yang dijalani dapat mengurangi demands yang individu rasakan baik di pekerjaan dan keluarga, serta mengacu pada diperolehnya pengalaman enrichment. Enrichment merupakan resources yang didapat dari suatu peran, baik secara langsung meningkatkan performa dalam peran lainnya atau disebut sebagai instrumental pathways, maupun secara tidak langsung dengan memberikan efek positif atau yang

(17)

7

Banyaknya tuntutan peran (demands) yang dialami oleh individu akan mengakibatkan munculnya konflik peran dalam diri individu, namun disisi lain, tuntutan tersebut dapat menghasilkan peningkatan skill (resources) yang didapatkan individu dari pekerjaan yang digelutinya sehingga hal tersebut memberikan pengalaman yang positif (enhancement) bagi individu untuk mengembangkan dirinya.

Pengalaman enhancement dari pekerjaan sebagai manajer dapat berupa otonomi, perencanaan, pengoordinasian, pengambilan keputusan serta keterampilan dalam memastikan keselamatan pegawai maupun keamanan dari produk yang dihasilkan. Hal tersebut selaras dengan peran yang dilakukan oleh pria didalam keluarga yaitu memiliki otonomi dalam pengambilan keputusan, pengawasan dan role model bagi anak hingga memastikan keselamatan anggota keluarganya, sedangkan wanita dapat mengumpulkan informasi terlebih dahulu dan memertimbangkan mengenai pendidikan anak maupun pengasuhan anak tanpa terburu-buru dalam pengambilan keputusan. Pengalaman enhancement tidak hanya berupa peran yang sejalan yang dapat diterapkan di dalam kedua domain, melainkan juga pengembangan keterampilan, peningkatan kepercayaan diri yang dapat dihayati ketika berada di perusahaan maupun di dalam keluarga dan bermanfaat dalam pelaksanaan pada domain lainnya. Pegawai dapat mengembangkan keterampilan dalam me-manage rumah tangganya maupun anaknya dan manambah pengetahuan ketika memastikan keselamatan kerja pada bawahannya.

(18)

8

keterlibatannya di dalam perusahaan, melainkan juga dari keluarga yang dapat diterapkan di dalam perusahaan. Pegawai di perusahaan “X” Jakarta juga melakukan manajemen waktu untuk

dapat mencurahkan perhatian dalam keluarga dimana hal tersebut dapat diterapkan sebagai manajer di perusahaan pula. Kemudian, adanya dukungan dari pasangan dan pembagian pengurusan rumah tangga dan pengasuhan anak juga dapat memberikan perasaan menyenangkan dan dapat meningkatkan kinerja dari pegawai. Hal ini juga membantu pegawai ketika berkoordinasi maupun berkomunikasi dengan rekan, atasan, maupun bawahan dengan dukungan yang di dapatkan di dalam keluarga.

Adanya interaksi positif antara peran individu di dalam keluarga dan di pekerjaannya tersebut dikenal sebagai work-life balance (Jones et al, 2006). Menurut Grzywacz dan Carlson (2007), work-life balance didefinisikan sebagai pemenuhan ekspektasi peran (terkait), yang dinegosiasikan dan diterima antara individu dengan pasangannya dalam perannya masing-masing di domain pekerjaan dan domain keluarga. Dalam penelitian yang dilakukan J.Rantanen (2008), terdapat empat tipologi yang dapat dilihat dari work-life balance. Keempat tipologi tersebut digambarkan dengan adanya kombinasi pengalaman enhancement dan conflict yang dihayati dalam usahanya untuk menyeimbangkan perannya dalam domain kerja dan keluarga. Keempat tipologi dari work-life balance tersebut, beneficial work-life balance types, harmful work-life balance types, active work-life balance types, dan passive work-life balance types.

(19)

9

mendapatkan pengalaman dalam bekerja dimana mereka mengoordinasi, mengatur dan merencanakan dalam perusahaan yang membantu peran mereka di dalam rumah tangga, dan disisi lain, pegawai juga mendapatkan dukungan dari keluarga maupun kemampuan untuk melakukan manajemen tugas yang dapat digunakan dalam pekerjaan. Keterampilan yang didapatnya dan dipergunakannya memungkinkan untuk mengurangi tuntutan dikarenakan pengembangan yang diterimanya. Hal ini didukung oleh pandangan bahwa work-life balance terdiri dari tingginya rewards, sumber daya dan enhancement yang dikombinasikan dengan rendahnya kecemasan, tuntutan dan konflik yang dialami individu terhadap peran yang dijalaninya di dalam kehidupan (Barnett dan Baruch, 1985; Frone, 2003; Grzywacz dan Carlson, 2007; Tiedje et al., 1990; Voydanoff, 2005).

Tipologi dari tipe yang kedua adalah harmful work-life balance, yang mengacu pada dialaminya conflict secara simultan oleh individu di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya, serta tidak dialaminya enhancement di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya. Hal ini terjadi karena individu mendapatkan kombinasi tuntutan (demands) dari beberapa peran yang dialaminya, melebihi manfaat yang diterimanya dari peran tersebut. Pegawai yang bekerja dalam level manajerial mendapatkan tuntutan baik deadline penyelesaian pekerjaan dan tekanan dari atasan yang menyebabkan pengaruh pada keluarga seperti ketidakmampuan untuk mengendalikan emosi yang disalurkan kepada anggota keluarga. Dengan adanya tuntutan tersebut, pegawai menghayati pengalaman enhancement yang rendah dimana pegawai merasa mendapatkan penghasilan yang kurang sesuai dengan tuntutan dan adanya kesulitan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun sebaliknya, pegawai merasa perannya di dalam keluarga kurang memberikan keterampilan dalam melaksanakan pekerjaannya.

(20)

10

sebaliknya, yang disebabkan luasnya partisipasi individu dalam peran yang diambilnya. Pegawai yang bekerja dalam level manajerial mendapatkan kesenangan berupa imbalan dalam pencapaian pekerjaan yang dapat dialokasikan kepada keluarga yang mensejahterakan kehidupan pegawai dalam berumah tangga, namun sesuai dengan penghasilan yang didapatkan terdapat pula waktu yang harus dicurahkan dalam pekerjaan sehingga mengurangi aktivitas di dalam keluarga, maupun sebaliknya. Sedangkan passive work-life balance, mengacu pada tidak dialaminya conflict maupun enhancement secara simultan oleh individu di pekerjaan-keluarga dan

sebaliknya, karena terbatasnya partisipasi individu dalam peran yang diambilnya. Pegawai yang bekerja dalam level manajerial memilih untuk menjadi pegawai dan ibu rumah tangga sehingga mengurangki konflik yang dirasakan dengan pembatasan tersebut, namun dari keterlibatannya tersebut pegawai menghayati tidak adanya pengembangan keterampilan yang diperolehnya. Tipologi tersebut terjadi karena individu mendapatkan energi baik tinggi maupun rendah (resources) dari pengalaman kerja dan keluarganya, serta terdapatnya tuntutan (demands) peran

yang diharapkan darinya.

(21)

11

berupa konflik dari pekerjaan yang mengganggu keluarga ataupun konflik keluarga yang mengganggu pekerjaan. Dari hasil penelitian hal tersebut dapat mengarah pada tipe yang menitik beratkan pada demand maupun resources, maupun keterlibatan dan pemenuhan peran yang dialami maupun dijalankan baik pria maupun wanita.

Berdasarkan survey yang telah dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara terhadap 6 pegawai level manajerial perusahaan “X” di Jakarta dimana terdapat 2 orang pegawai atau 33,33% pegawai level manajerial perusahaan “X” yang memiliki penghayatan bekerja merupakan hal yang menyenangkan terlepas dari kesulitan dalam mengatur waktu yang sangat yang ketat di dalam perusahaan seperti masuk pukul 08.00 dan pulang pada pukul 17.00 yang terkadang melebihi waktu kerja pegawai dalam satu hari. Terdapat pula banyaknya tuntutan seperti pengambilan keputusan maupun kerja luar ruangan yang menyebabkan kurangnya waktu dengan keluarga, namun mereka merasa bahwa mereka memiliki waktu untuk bersama dengan keluarga seperti hari Sabtu maupun Minggu, dimana mereka dapat mencurahkan perhatian terhadap keluarga dan keluarga menerima dengan adanya keadaan seperti itu. Para pegawai ini meluangkan waktu bersama keluarga dengan menonton atau mengobrol bersama, bahkan hingga berlibur keluar kota.

(22)

12

dipersalahkan karena terlalu banyak menghabiskan waktu ketika menyelesaikan pekerjaan diluar jam kerja maupun ketika perusahaan membutuhkan kehadiran mereka secara penuh di dalam perusahaan. Dalam hal ini, usaha yang dilakukan biasanya memberikan pengertian hingga melakukan konsultasi dengan psikolog yang ada di tempat kerja mengenai masalah.

Terdapat 1 orang pegawai atau 16,66% pegawai level manajerial perusahaan “X” yang merasa bahwa posisinya ada pada bagian yang cukup nyaman dimana terdapat bawahan yang dapat diminta untuk menyelesaikan pekerjaan sedangkan dirinya bertugas lebih pada pengawasan dan pengambilan keputusan sehingga dirinya merasa senang dengan posisi tersebut, belum lagi saat di rumah keluarga memahami dikarenakan posisinya sebagai tulang punggung keluarga sehingga tidak banyak pekerjaan yang dilakukan saat di rumah dan hal tersebut membuat dirinya dapat beristirahat maupun melakukan hobi yang disukainya. Dalam perusahaan terdapat juga beberapa event yang diadakan dan menurut pegawai tersebut dirinya dapat menikmati pengembangan diri dan memilih untuk ikut kegiatan tersebut seperti team building hingga gathering.

Sehubungan dengan adanya permasalahan diatas serta fenomena yang terkait dengan usaha untuk menyeimbangkan antara pemenuhan peran kerja dan keluraga pada pegawai maka, peneliti tertarik dan bermaksud untuk melakukan penelitian deskriptif mengenai tipe work-life balance pada pegawai level manajerial di Perusahaan “X” Jakarta yang sudah menikah.

1.2 Identifikasi Masalah

(23)

13

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk memeroleh gambaran mengenai work-life balance

yang terdapat pada pegawai level manajerial di perusahaan “X” Jakarta yang sudah menikah.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui tipe work-life balance yang paling dominan pada pegawai level manajerial di perusahaan “X” Jakarta yang sudah menikah.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan pada bidang Ilmu Psikologi khususnya Psikologi Industri dan Organisasi mengenai tipe work-life balance pada pegawai level manajerial yang sudah menikah di perusahaan “X”

Jakarta.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada peneliti lain yang membutuhkan bahan acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran dan perbedaan tipe work-life balance.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi pegawai level manajerial di perusahaan “X” Jakarta yang sudah menikah untuk memahami konflik

(24)

14

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan sebagai bahan acuan untuk tindakan lebih lanjut (seperti konseling) kepada pegawai level manajerial di perusahaan “X” Jakarta yang sudah menikah dalam meningkatkan kesejahteraan

hidup dan performa kerja.

1.5 Kerangka Pikir

Manager merupakan peran yang dilakukan seseorang yang bekerja melalui orang lain dengan membuat keputusan, mengalokasikan sumber daya dan mengoordinasikan kegiatan-kegiatan mereka guna mencapai tujuan suatu organisasi atau perusahaan (Robbins & Judge, 2009). Pegawai pria maupun wanita sebagai manajer memiliki peran antarpersonal, informasional dan pengambilan keputusan sebagai negosiator maupun individu yang menyelesaikan suatu masalah dalam organisasi. Peran antarpersonal yang dilakukan manajer adalah tugas-tugas rutin, tanggung jawab dalam memotivasi bawahannya dan mempertahankan koneksi dengan jaringan luar. Peran manajer juga sebagai jembatan kebijakan yang ditetapkan oleh atasan untuk disosialisasikan kepada bawahannya. Hal ini didukung oleh peran informasional manajer dimana pegawai memiliki tugas untuk menerima dan meneruskan informasi (Mintzberg 1960, dalam Glynn 2002).

Pegawai pada level manajerial di perusahaan “X” Jakarta berada pada level first-line manajer dan memiliki tuntutan untuk mengawasi proses produksi barang keperluan rumah tangga yang dilakukan pegawainya agar sesuai dengan prosedur yang ada. Selain itu, pegawai pada level first-line manager diharapkan memiliki kemampuan dalam bekerja sama dalam tim sehingga dapat

(25)

15

mendelegasikan tugas sesuai dengan kemampuan dan tugas bawahannya masing-masing. Pegawai pada level middle manager bekerja dengan minimnya supervisi, karena itu pegawai tersebut harus dapat mengambil keputusan secara mandiri dan mempertimbangkan resiko atas keputusan yang diambilnya. Perannya sebagai manajer mengacu pada keterlibatan mereka dalam kegiatan-kegiatan yang membutuhkan energi atau tenaga, waktu serta pemikiran yang dicurahkan selama jam kerja atau ketika memikirkan pekerjaannya sebagai manager.

Saat berada di rumah, pegawai memiliki peran sebagai anggota keluarga yaitu sebagai pasangan suami-istri, ayah maupun ibu, menantu dan lainnya. Adapun tuntutan yang dimiliki pegawai ketika berada di dalam keluarga yaitu, mengurus rumah, memelihara rumah, hingga berperan sebagai role model bagi anaknya (Glynn, C., 2002; Steinberg, I., & McCartney, C., 2002)., Pegawai yang sudah menikah memiliki peran dalam berumah tangga dengan kewajiban utama yaitu sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah bagi kebutuhan keluarganya (Sumiyatiningsih, 2012), maupun kewajiban pokok untuk memasak, mengasuh anak, dan membersihkan rumah (Gerald Leslie, 1982). Tuntutan yang berasal dari kedua peran tersebut berpotensi untuk menimbulkan adanya konflik antara kerja dan keluarga. Beberapa penelitian melihat bahwa terdapat peningkatan pada kemunculan konflik peran yang disebabkan karena adanya ketidakpuasan dalam pemenuhan di lingkup pekerjaan atau ketika di dalam rumah (Frone et al., 1997; Frone, 2002; Greenhaus and Parasuraman, 1999).

(26)

16

dimiliki pekerja (Bakker, Hakanen, Demerouti, & Xanthopoulou, 2007:272). Hal ini dialami sehubungan dengan dijalankannya peran di satu domain seperti pekerjaan dan menimbulkan kesulitan untuk menjalankan peran di domain yang lainnya seperti keluarga, dan hal tersebut berlaku sebaliknya.

Meskipun demikian, bekerja tidak selalu mengarahkan pegawai pada pengalaman konflik tetapi pegawai juga mendapatkan energi atau sumber daya yang dapat membantu dalam menjalankan peran di pekerjaan dan keluarga atau yang dikenal sebagai resources. Resources terdiri dari keterampilan yang didapatkan, perspektif, fleksibilitas, material dan secara fisik maupun psikis dapat berguna secara sosial (Greenhaus and Powell, 2004). Dengan adanya resources dapat membantu pegawai dalam mengurangi tuntutan (demands) yang mereka rasakan

(27)

17

Semakin banyak resources yang diterima, maka pegawai akan semakin menghayati adanya pengalaman enhancement yang tinggi akan keterlibatannya di kerja dan keluarga. Enhancement sendiri merupakan resources yang didapat dari suatu peran, baik secara langsung meningkatkan performa dalam peran lainnya atau disebut sebagai instrumental pathways, maupun secara tidak langsung dengan memberikan efek positif atau yang disebut affective pathways (Greenhaus and Powell, 2004). Enhancement merujuk pada manfaat seperti kemudahan karena diperolehnya skill baru, sudut pandang maupun penghasilan dan kepuasan yang didapatkan pegawai dalam perannya di pekerjaan untuk menjalankan perannya di rumah, maupun sebaliknya. Banyak atau sedikitnya pengalaman enhancement yang dihayati pegawai di pekerjaan dapat memudahkan pelaksanaan peran dirumah maupun sebaliknya. Begitu pula dengan banyak sedikitnya pengalaman konflik yang dialami dirumah dapat menyulitkan pelaksanaan peran di tempat kerja maupun sebaliknya hingga pembatasan atau perluasan keterlibatan di berbagai peran.

Pengalaman conflict maupun enhancement pada pegawai level manajerial dapat berupa waktu yang dicurahkan oleh pegawai akan perannya di dalam pekerjaan maupun di dalam keluarga. Hal ini dapat berupa jam kerja yang mengikat pegawai untuk bekerja dalam sehari yang mempengaruhi pencurahan waktu ketika berada di dalam keluarga, maupun sebaliknya. Keterlibatan individu dapat menimbulkan pengalaman enhancement maupun conflict yang merujuk pada upaya psikologis dan kehadiran yang dikerahkan pegawai level manajerial pada perannya sebagai pegawai dan sebagai anggota di dalam keluarga. Hal ini terjadi pada pegawai dalam hal mengurus rumah tangga seperti terlibat dalam keputusan penting di dalam keluarga hingga menjadi role model bagi anaknya disaat mereka juga memiliki tanggung jawab sebagai negosiator hingga pengambilan keputusan mandiri pada jabatannya sebagai manajer. Pegawai

pada level manajerial di perusahaan “X” Jakarta memiliki waktu kerja yang terikat, yaitu mulai

(28)

18

diharuskan untuk membawa pulang pekerjaannya atau bekerja melebihi jam kerjanya. Hal ini menunjukkan penggunaan waktu yang lebih banyak pada area kerja. Pegawai yang berangkat lebih pagi ke kantor mengalami kesulitan untuk hadir serta memberikan perhatian di rumah seperti berkomunikasi dengan pasangan maupun dengan anak dan istri. Ketika sudah sampai dirumah, pegawai sudah merasa lelah untuk melakukan aktivitas rumah tangga. Meskipun demikian, apabila terdapat dukungan pasangan serta pembagian dalam pengurusan rumah tangga, maka penggunaan waktu yang cukup banyak di area kerja tidak selalu menimbulkan kesulitan bagi pegawai ketika berada di rumah. Pegawai juga dapat meminimalisirnya dengan menghabiskan waktu pada akhir pekan atau mengantarkan anaknya ke sekolah sebelum pergi bekerja.

Selain itu, kepuasan yang dirasakan pegawai juga menjadi salah satu sumber pengalaman conflict maupun enhancement yang merujuk pada dirasakannya dan diekspresikannya suatu

kepuasan oleh pegawai secara seimbang terhadap peran yang dijalaninya di pekerjaan dan keluarga. Pegawai dapat merasa puas atau menikmati kedua peran yang dijalaninya dalam domain kerja dan keluarga ataupun merasa terbebani dalam pemenuhan peran tersebut. Hal ini diperkuat dengan pernyataan bahwa peran ganda dengan tuntutan yang tak terbatas mungkin menyebabkan ketegangan peran dan konflik bagi individu, dimana individu harus mampu memenuhi tuntutan-tuntutan yang terbatas dan langka dengan sumber daya yang mereka miliki (Goode, 1960), namun dapat juga memberikan manfaat dalam bentuk hak, keamanan status, energi psikologis dan perkembangan pribadi yang memperluas sumber daya individu dan memfasilitasi kinerja dari peran (Marks, 1977; Sieber, 1974).

(29)

19

Banyaknya tuntutan peran (demands) yang dialami oleh individu akan mengakibatkan munculnya konflik peran dalam diri individu, namun disisi lain, tuntutan tersebut dapat menghasilkan peningkatan skill (resources) yang didapatkan individu dari pekerjaan yang digelutinya sehingga hal tersebut memberikan pengalaman yang positif (enhancement) bagi individu untuk mengembangkan dirinya. Hal tersebut mengacu pada munculnya Work-Life Balance, dimana hal tersebut merupakan pemenuhan ekspektasi peran (terkait), yang dinegosiasikan dan diterima antara individu dengan pasangannya dalam perannya masing-masing di domain pekerjaan dan domain keluarga (Grzywacz dan Carlson, 2007, hal.458). Work-life balance sendiri dijaring berdasarkan tinggi dan rendahnya pengalaman enhancement dan conflict yang dihayati pegawai.

Kombinasi atas tinggi dan rendahnya pengalaman enhancement maupun conflict yang dialami pegawai level manajerial di perusahaan sehingga memudahkan maupun menyulitkan pelaksanaan peran di keluarga dan sebaliknya, serta kombinasi pembatasan atau perluasan keterlibatan di berbagai peran pada domain kerja dan keluarga, menghasilkan empat tipologi (Rantanen, 2008), yaitu beneficial work-life balance (high enhancement; low conflict), harmful work-life balance (low enhancement; high conflict), active work-life balance (high enhancement; high conflict) dan

passive work-life balance (low enhancement; low conflict).

Pegawai level manajerial di perusahaan “X” dapat dikatakan memiliki tipe beneficial

work-life balance apabila dialaminya keadaan dimana pegawai level manajerial mendapatkan

pengalaman yang tinggi dari kegiatan di tempat kerja dan keluarga serta rendahnya konflik antara kerja dan keluarga, dapat meningkatkan fungsi psikologis dan kesejahteraan pegawai perusahaan “X”. Hal ini ditunjukkan dari pegawai pada level manajerial perusahaan “X” memiliki

(30)

20

memaparkan step-by-step kegiatan yang dilakukan akan membantu di dalam keluarga ketika berurusan dengan permasalahan dengan pasangan maupun anak. Selain itu, pegawai dengan inisiatif dan kemampuan untuk berperan secara mandiri dalam pekerjaan, membantunya dalam berperan menjadi sosok yang diikuti oleh anaknya. Pada tipe ini, pegawai merasakan pengalaman enhancement yang tinggi dalam keterlibatannya di dua domain. Pegawai merasakan adanya

dukungan dari pasangan ketika bekerja sehingga meningkatkan performa bekerja di dalam perusahaan, pegawai juga dapat merasakan perasaan menyenangkan ketika menjalankan peran di dalam kedua domain tersebut. Hal diatas membuat konflik yang dirasakan pegawai lebih rendah sebagai hasil dari banyaknya resources yang diterima pegawai.

Pegawai level manajerial di perusahaan “X” dapat dikatakan memiliki tipe harmful work-life

balance apabila pegawai mendapatkan sedikit pengalaman enhancement, namun mengalami

konflik yang tinggi dari keterlibatannya di tempat kerja dan keluarga. Dalam hal ini, pegawai dapat merasa kesulitan akan peran gandanya, seperti tidak didapatkannya dukungan dari pasangannya karena sebagian besar waktu yang dipergunakan untuk bekerja sehingga menyebabkan suatu tekanan dalam diri pegawai ketika melaksanakan tugasnya di perusahaan. Disisi lain, tuntutan yang diberikan di dalam pekerjaan melebihi job description yang telah disepakati seperti bekerja lebih dari waktu yang ditetapkan maupun ketika terdapat perbedaan pendapat antara satu atasan dengan yang lainnya dirasakan sebagai konflik dan diikuti dengan tidak didapatkannya upah yang seimbang atas hasil kerjanya tersebut. Hal ini juga terjadi apabila pegawai level manajerial perusahaan “X” yang memiliki tanggung jawab dalam pengambilan

(31)

21

Pegawai pada level manajerial di perusahaan “X” yang mendapatkan dukungan dari keluarga

dan komunikasi yang baik di dalam keluarga dapat membantu ketika berelasi secara formal maupun non-formal dengan atasan maupun rekan kerja. Dalam pekerjaan, pegawai menyelesaikan tugas yang diberikan seperti melakukan checking barang produksi hingga menyampaikan informasi pada pihak eksternal sesuai dengan deadline yang ditetapkan oleh atasannya. Pegawai juga merasa bahwa sebagai pekerja mendapatkan keterlibatan yang penuh seperti ambil bagian dalam mengambil keputusan yang besar dan tetap dapat berada pada situasi penting seperti kelahiran anak di dalam keluarga. Pegawai level manajerial juga memilih untuk melibatkan diri dalam beberapa peran maupun kegiatan contohnya seperti Team Building maupun Gathering sehingga mendapatkan energi maupun skill dari keterlibatannya tersebut. Dalam

keterlibatannya di beberapa peran, pegawai merasakan adanya keterampilan baru yang dapat diterapkan dalam kedua domain seperti mengatur penggunaan mesin hingga mengatur keuangan yang dapat diterapkan di dalam keluarga. Namun, dengan keterlibatannya pula, pegawai merasakan adanya konflik dimana ketika melakukan peran-perannya dalam satu domain, pegawai akan kesulitan ketika mencurahkan waktu di domain lainnya. Peran yang ada juga menghasilkan tuntutan baru yang harus diselesaikan pada waktu yang bersamaan ataupun tidak, sehingga hal tersebut dapat meningkatkan penghayatan akan konflik yang dialami pegawai. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa pegawai tersebut memiliki tipe active work-life balance, dimana tipe ini menitikberatkan pada penggunaan peran atau keterlibatan individu pada peran yang dijalani atau dipilihnya sehingga dari beberapa peran tersebut pegawai level manajerial mendapatkan pengalaman enhancement yang tinggi dan conflict yang tinggi pula.

(32)

22

pengambilan keputusan maupun dalam mempertimbangkan masalah yang terjadi kepada anak dianggap merupakan hal yang dapat ditangani pasangannya. Pegawai juga dalam pekerjaannya menghindari pengambilan keputusan sulit dan hanya mengerjakan apa yang menjadi job description-nya, hal ini berkaitan pula dengan penghasilan yang diterima pegawai dimana

semakin sedikitnya peran yang dijalani membuat pemasukan pegawai berkurang hingga keterampilan yang tidak berkembang. Pegawai memilih untuk tidak ambil bagian dari suatu gathering maupun team building, sehingga pegawai merasa tidak mendapatkan manfaat dari

(33)

23

1.1Bagan Kerangka Pikir

Bagan 1.1 Kerangka Pikir Peran Ganda :

Pegawai level

manajerial di

Perusahaan”X”

Jakarta yang sudah menikah

Conflict

Enhancement

Work – Life

Balance

Beneficial Work-Life Balance

Harmful Work-Life Balance

Active Work-Life Balance

(34)

24

1.6Asumsi Penelitian

Asumsi yang mendasari penelitian ini adalah :

1. Pegawai Level Manajerial yang sudah menikah memiliki beberapa peran yang harus dijalani baik dalam pekerjaan maupun dalam keluarga.

2. Tuntutan-tuntutan dari peran yang dijalani oleh pegawai level manajerial baik dalam pekerjaan maupun keluarga dapat dihayati sebagai konflik.

3. Manfaat-manfaat dari peran yang dijalani oleh pegawai level manajerial baik dalam pekerjaan maupun keluarga dapat dihayati sebagai pengalaman enhancement.

4. Kombinasi dari adanya pengalaman conflict dan pengalaman enhancement yang dirasakan oleh pegawai level manajerial perusahaan “X” Jakarta di pekerjaan dan pelaksanaan peran di keluarga akan menghasilkan empat (4) macam tipe work-life balance, yaitu beneficial life balance, harmful life balance, active life balance, dan passive

(35)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI TIPE WORK-LIFE BALANCE PADA PEGAWAI

LEVEL MANAJERIAL DI PERUSAHAAN “X” JAKARTA YANG SUDAH MENIKAH

SKRIPSI

Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Akademik dalam Mencapai Gelar Strata Satu pada Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha

Disusun Oleh :

MARSHA GRASIANI HADIANA PUTRI

1230177

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG

(36)

v

Universitas Kristen Maranatha PRAKATA

Puji dan syukur peneliti panjatkan bagi Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan kasih-Nya peneliti mampu menyelesaikan Skripsi yang disusun dalam rangka menempuh sidang sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Adapun judul dari tugas akhir ini adalah “Studi Deskriptif Mengenai Tipe Work-Life Balance pada Pegawai Level Manajerial di

Perusahaan “X” Jakarta yang Sudah Menikah”. Peneliti menyadari bahwa tugas akhir yang telah disusun ini belum sempurna. Oleh karena itu, besar harapan peneliti kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan penulisan tugas akhir ini dan agar Skripsi ini dapat bermanfaat bagi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Dalam melakukan penyusunan tugas akhir ini, penulis menerima bantuan, bimbingan, serta dorongan dari berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama pengerjaan tugas akhir ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Oej Irene Prameswari Edwina, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Dra. Fifie Nurofia, Psikolog., MM. selaku dosen pembimbing utama yang telah menyediakan waktu, tenaga, pikiran serta memberikan motivasi bagi peneliti selama penyusunan usulan penelitian ini.

(37)

vi

Universitas Kristen Maranatha 4. Siska Tania, S.E dan Erlinda Putri, S.Psi selaku HRD di perusahaan “X” yang telah

membantu dalam melakukan survey awal dan membantu dalam pemberian maupun pengumpulan data yang dibutuhkan dalam mempersiapkan tugas ini.

5. Para pegawai level manajerial di perusahaan “X” Jakarta yang telah membantu peneliti untuk melakukan survei awal, melakukan pengambilan data dan memberikan informasi yang terkait dengan penelitian ini sehingga membantu peneliti dalam penulisan latar belakang masalah penelitian.

6. Hadian Ismail, S.E. dan Grietje Fientje Suwadji, S.E. selaku kedua orang tua peneliti yang selalu mendoakan, memberikan semangat, dukungan dan saran kepada peneliti dalam suka dan duka, selalu mengerti dan mengasihi peneliti dalam keadaan apapun.

7. Mercy Devana Hadianti selaku adik peneliti yang senantiasa mendukung dan memberikan masukan, saran dan dukungan selama penyusunan Skripsi ini dan selalu menanyakan kelulusan peneliti.

8. Simon Togar Kurniawan, S.T selaku partner yang selalu mendoakan, mengerti dan memahami keadaan peneliti, menemani saat gundah, risau dan gelisah, senantiasa menyemangati ketika jatuh dan menerima segala kekurangan maupun cerita peneliti selama penyusunan penelitian, serta berada di samping dan menemani peneliti hingga larut malam sampai akhirnya penyusunan Skripsi ini selesai dikerjakan.

(38)

vii

Universitas Kristen Maranatha 10.Claudy Purnama, Darina Qoidanti, Agustina Emelia, Dwi Komala Sari, dan Regita

Melinda selaku sahabat-sahabat peneliti yang mendukung dan memberikan masukan selama penyusunan Skripsi ini.

11.Anzellya Gustianna, Raissa Hadiman, Febiola Eka, Lydia Arderiana, Brigitta Louise, Elisa Carolina, Thomas Gabe, Rheina V, Anastasia K, Seizhar Hadi dan Disha Gresia selaku teman peneliti dan pendukung setia yang selalu membantu, mendoakan, mendampingi dan setia bersama peneliti hingga akhir.

12.Monica Anindito, Listiani, Rani Setyaningrum, Benedictus Alga, Maden Sarid, selaku sahabat peneliti yang terus menyemangati dan terus mendampingi dengan segala hal yang tak terduga di dalam penyusunan penelitian.

13.Teman-teman mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha yang juga berjuang, terima kasih atas bantuan dan dukungannya selama ini kepada peneliti.

Akhir kata, peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan segala pihak yang terlibat di dalam penelitian ini.

Bandung, November 2016

(39)

74

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Aryee, S., Srinivas ES, & Tan HH.(2005). Rhythms of life : antecedents and outcomes of work-family balance in employed parents. Journal of Applied Psychology, 90, 132-146.

Bakker, A.B., & Geurts SAE.(2004). Toward a dual-process model of work-home interference. Work Occupation, 31, 345-366.

Bakker, Arnold B., Xanthopoulou, Despoina., Schaufeli, Wilmar B., Demerouti, Evangelia. (2007). The Role of Personal Resources in The Hob Demands-Resources Model. International Journal of Stress Management, 2, 121-141.

Barnett, R.C., & Baruch, G.K.(1985). Women’s involvement in multiple roles and psychological distress. Journal of Personality, Social Psychology,49, 135-145.

Barnett, R.C.(1998).Toward a review and reconceptualization of the work/family literature.Genetic, Social, and General Psychology Monographs, 124, 125-182.

Barnett, R.C., & Hyde, J.S.(2001). Women, men, work, and family. An expansionist theory. American Psychologist, 56, 781-796.

Budiarti, A.Catur. (2010). Aktualisasi Diri Perempuan Dalam Sistem Budaya Jawa(Persepsi Perempuan terhadap Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Mengaktualisasikan Diri). Volume 3. Paramor Journal.

Carlson, D.S., Kacmar, K.M., Wayne, J.H., & Grzywacz, J.G.(2006). Measuring the positive side of the work-family interface : Development and validation of a work-family enrichment scale.Journal of Vocational Behavior, 68, 131-164.

Clark, S.C.(2000). Work/family border theory : A new theory of work/family balance.Human Relations, 53(6), 747-770.

Clawson, James G. S.2010. Balancing Your Life: Executive Lesson for Work, Family, and Self. Singapore: World Scientific

(40)

75

Universitas Kristen Maranatha Frone, M.R., Russell, M., & Cooper, M.L.(1922a). Prevalence of work-family conflict : Are

work and family boundaries asymmetrically permeable?. Journal of Organizational Behavior, 13, 723-729.

Frone, M.R., Russell, M., & Cooper, M.L.(1922b). Antecedents and outcomes of work-family conflict : Testing a model of the work-work-family interface. Journal of Applied Psychology, 77(1), 65-78.

Frone, M.R.(2003).Work-family balance. In Quick J.C., Tetrick L.R (Eds) Handbook of occupational health psychology. American Psychology Association, Washington, DC, pp 143-162.

Glynn, C., Steinberg, I., & McCartney, C.(2002).Work-Life Balance: The Role of the Manager.Roffey Park Institute.

Goode, W.J.(1960). A theory of role strain. Am Sociol Rev, 25, 483-496.

Greenhaus, J.H., & Beutell, N.J.(1985). Sources of conflict between work and family roles. Academy of Management Review, 10, 76-88.

Greenhaus, J. H., & Parasuraman, S. (1986). A work-nonwork interactive perspective of stress and its consequences. Journal of Organizational Behavior Management, 8, 37– 60.

Greenhaus, J.H., Collins, K.M., & Shaw, J.D.(2003). The relation between work-family balance and quality of life. Journal of Vocational Behavior, 63, 510-531.

Greenhaus, J.H., & Powell, G.N.(2006). When work and family are allies : A theory of work-family enrichment. Academy of Management Review, 31(1), 72-92.

Grzywacz, J.G, & Marks, N.F.(2000). Reconceptualizing the work-family interface : An ecological perspective on the correlates of positive and negative spillover between work and family. Journal of Occupational Health Psychology, 5, 111-126.

(41)

76

Universitas Kristen Maranatha Grzywacz, J.G, & Carlson, D.S.(2007). Conceptualizing work-family balance : implications

for practice and research. Adv Dev Hum Resour, 9, 455-471.

Jones, F., Burke, R.J., & Westman, M.(2006). Work-life balance : A psychological perspective. Psychology Press, New York, NY.

Kirchmeyer, C.(1992). Perceptions of nonwork-to-work spillover : challenging the common view of conflict-ridden domain relationships. Basic Appl Soc Psychol, 13, 231-249.

Kumar, R. (2009). Research methodology : a step-by-step guide for beginners. London: Sage Publication.

Marks, S.R.(1977). Multiple roles and role strain : some notes on human energy, time and commitment. Am Sociol Rev, 42, 921-936.

Marks, S.R., & MacDermid, S.M.(1996). Multiple roles and the self : a theory of role balance. Journal of Marriage Family, 58, 417-432.

Mulyaningsih Sumiati, Rofiaty.(2000). Wanita Dan Sektor Informal : Peran Dan Kedudukannya Dalam Rumah Tangga. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, Volume 12 No. 2. Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya: Malang

Munandar.(1985). Emansipasi Dan Peran Ganda Wanita Indonesia: Suatu Tinjauan Psikologis.Universitas Indonesia: Jakarta.

Nazir, M. 1983. Metode Penelitian.Jakarta: Ghalia Indonesia.

Rantanen, J.(2008). Work-family interface and psychological well-being : a personality and longitudinal perspective. Jyvӓskylӓ Studies in Education, Psychology, and Social Research 346. University of Jyvӓskylӓ, Jyvӓskylӓ.

Rantanen, J.(2013). Work-family interface and psychological well-being : a personality and longitudinal perspective. Jyvӓskylӓ Studies in Education, Psychology, and Social Research 346. University of Jyvӓskylӓ, Jyvӓskylӓ.

Robbins, S & Judge, T. (2009). Organizational Behavior. New Jersey : Pearson Education.

(42)

77

Universitas Kristen Maranatha Sieber, S.D.(1974). Toward a theory of role accumulation. Am Sociol Rev, 39, 567-578.

Sudjana.(1995).Metode Statistika Edisi Keenam. Bandung: Tarsito.

Sugiyono.(2010). Metode Penelitian pendidikan: Pendekatan kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.Bandung: Alfabeta.

Sumiyatiningsih, D.(2012).Pergeseran Laki-laki dan Perempuan dalam Kajian Feminis. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat:WASKITA.

Tiedje, L.B., Wortman, C.B., Downey, G., Emmons, C., Biernat, M., Lang, E. (1990). Women with multiple roles : role compatibility perceptions, satisfaction, and mental health. Journal of Marriage Family, 52, 63-72.

Trambley, Dians-Gabrielle. (2004). Work-Family Balance: What are The Sources of Difficulties and What Could Be Done. Canada: Télé-université

Twenge,J.M., Campbell,W.K., dan Foster.C.A.(2002). Parenthood and Marital satisfaction: A meta analytic Review.Journal of Marriage and the Family,65,574-583

Voydanoff, P.(2005). Toward a conceptualization of perceived work-family fit and balance : a demands and resources approach. Journal of Marriage Family, 67, 822-836.

Wayne, J.H., Musisca, N., Fleeson, W.(2004). Considering the role of personality in the work-family experience : relationships of the big five to work-family conflict and facilitation. Journal of Vocational Behavior, 64, 108-130.

(43)

78

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Alia, Mufida. 2008. Hubungan Work-Family Conflict dengan Psychological Well-Being pada Ibu yang Bekerja. (Online). (http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/125692-303.6%20MUF%20h%20-%20Hubungan%20Work%20-%20Pendahuluan.pdf.

Diakses 7 Mei 2016).

Pasaribu,Rowland.2009.Manajemen dan Organisasi. (Online).

(https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://rowland_pasaribu

.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/35489/manajemen-dan-organisasi.pdf&q=tingkatanmanajerial%20robbins%20pdf&ved=0ahUKEwikprPK2Yr NAhUIQY8KHaOKCw0QFggaMAA&usg=AFQjCNHzX6xYhIY68HVRhX_isWGxynC-Lg). Diakses 08 Maret 2016.

Prakoso,Ovan. 2014. Studi Deskriptif Mengenai Work-family Conflict pada Karyawati Level Managerial Bank “X” di Kota Bandung. Skripsi. Bandung : Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha.(Skripsi Online).

((http://repository.maranatha.ac.id.pdf.) Diakses 10 November 2015)

Referensi

Dokumen terkait

Kombinasi dari adanya konflik dan pengalaman enhancement yang dihayati oleh wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan baik dalam pelaksanaan peran di pekerjaan maupun di

Penelitian lainnya dilakukan oleh Bell, Rajendran dan Theiler (2012) dalam penelitian ini terdapat hubungan antara stres kerja, kesehatan, work life balance dan work

Berdasarkan uraian yang terdapat diatas, maka hipotesis penelitian ini adalah terdapat pengaruh negatif antara work life balance dan burnout pada Pegawai Lembaga

SIMPULAN Work-life balance yang terbentuk di lingkungan kerja Kepolisian Resort Demak, dikatakan bahwa work life balance anggota polisi tidak dapat dikatakan baik, Hasil penelitian

Hasil analisis membuktikan bahwa pada Inspektorat Daerah Kabupaten Rokan Hulu, Semakin efektif work life balance, maka cenderung dapat meningkatkan kepuasan kerja pegawai; Work life

Maka hipotesis penelitian ini adalah: H2 : Work-life balance berpengaruh negatif terhadap turnover intention pegawai BPR Bhakti Daya Ekonomi Yogyakarta Organizational Climate dan

Dalam artikel-artikel yang dikaji, masih sedikit yang mengkaitkan work-life balance dengan variabel psikologi di area keluarga baik sebagai variabel bebas maupun terikat seperti pada

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada variabel work life balance dan kepuasan kerja dari semua item pernyataan mendapatkan rank tinggi yang artinya semua pegawai di