• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PT MEKARSARI ALAM LESTARI PADA PEMBIARAN KEBAKARAN HUTAN DI RIAU : STUDI PUTUSAN NOMOR 235/PID.SUS/2012/PTR).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PT MEKARSARI ALAM LESTARI PADA PEMBIARAN KEBAKARAN HUTAN DI RIAU : STUDI PUTUSAN NOMOR 235/PID.SUS/2012/PTR)."

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN

KORPORASI PT MEKARSARI ALAM LESTARI PADA

PEMBIARAN KEBAKARAN HUTAN DI RIAU

(Studi Putusan Nomor 235/Pid.Sus/2012/PTR)

SKRIPSI

Oleh:

FATHI RIZKA KHAIRINNISAA’

NIM. C03212040

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM PRODI HUKUM PIDANA ISLAM

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vii ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban

Korporasi PT. Mekarsari Alam Lestari pada Pembiaran Kebakaran Hutan Di Riau (studi putusan nomor 235/pid.sus/2012/ptr)” Skripsi ini adalah hasil dari penelitian kepustakaan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang diantaranya:

Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam putusan

No.235/Pid.Sus/2012/PTR tentang pertanggungjawaban korporasi PT. Mekarsari Alam Lestari terhadap pembiaran dalam kebakaran hutan Riau?, Bagaimana analisis yuridis terhadap pertanggungjawaban korporasi PT. Mekarsari Alam Lestari dalam pembiaran kebakaran hutan di Riau pada putusan No. 235/Pid.Sus/2012/PTR.

Sedangkan untuk menganalisis hasil penelitian menggunakan teknik deskriptif, yaitu dengan cara menggambarkan dan menjelaskan data dari hasil penelitian yang telah diperoleh dan teknik deduktif, yaitu mengemukakan teori-teori yang bersifat umum terlebih dahulu untuk dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang bersifat khusus.

Kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukaan oleh penulis dapat

diketahui bahwa: pertama: Dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan

hakim dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana pembakaran hutan adalah tuntutan Jaksa/Penuntut Umum dengan Pasal 42 ayat (1) jo Pasal 46 ayat (1),(2) UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP jo Undang-Undang No.4 Tahun 2004 jo Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman dan peraturan-peraturan

lainnya yang bersangkutan. Kedua: Dalam putusan tersebut dirasa kurang

memberikan efek jera mengingat dengan apa yang diatur dalam Undang-undang baru tindak pertanggungjawaban korporasi lingkungan No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka diharapkan kepada pemerintah

(7)

x

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERAS ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 13

C. Rumusan Masalah ... 14

D. Kajian Pustaka ... 14

E. Tujuan Penelitian ... 17

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 18

G. Definisi Operasional ... 18

H. Metode Penelitian ... 19

(8)

xi

BAB II KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DAN PEMIDANAAN DALAM UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN

LINGKUNGAN HIDUP ... 25

A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ... 25

B. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana ... 30

C. Tindak Pidana Lingkungan Hidup ... 40

BAB III TINDAK PIDANA PEMBAKARAN HUTAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 235/PID.SUS/2012/PTR ... 49

A. Deskripsi Kasus dan Landasan Hukum ... 49

B. Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan ... 58

C. Akta Permintaan Banding ... 60

D. Pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Pekanbaru terhadap Tindak Pidana Pembakaran Hutan ... 61

E. Putusan Hakim Pengadilan Tinggi Pekanbaru No. 235/PID.SUS/2012/PTR ... 66

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada umumnya manusia bergantung pada keadaan lingkungan

disekitarnya yaitu berupa sumber daya alam yang dapat menunjang

kehidupan sehari-hari. Sumber daya alam yang utama bagi manusia adalah

tanah, air, dan udara. Dalam lingkungan hidup terdapat ekosistem, yaitu

tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh

dan saling mempengaruhi dalam bentuk keseimbangan, stabilitas, dan

produktivitas lingkungan hidup.1 Dalam pasal 1 ayat 1 UU RI No. 32 tahun

2009 yang mengatakan Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan

semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan

perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan

perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.2

Penegakan hukum pidana lingkungan dapat berupa preventif dan

represif. Penegakan hukum pidana lingkungan yang bersifat preventif

adalah penegakan hukum sebelum terjadinya pelanggaran atau pencemaran

lingkungan hidup. Hal ini erat kaitannya dengan masalah administrasi

lingkungan, yaitu : pemberian izin. Dalam pemberian izin usaha,

pemerintah hendaknya memperhatikan dampak social dan dampak

1 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta, Sinar Grafika, 200) 46

2 UU RI No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Lembaran

(10)

2

lingkungan hidup yang akan timbul dari kegiatan usaha tersebut.

Sedangkan penegakan hukum pidana lingkungan yang bersifat represif

adalah penegakan hukum setelah terjadinya pencemaran lingkungan hidup.

Dalam hukum lingkungan, penegakan hukum secara preventif harus lebih

diutamakan, karena penanggulangan akibat pencemaran melalui penegakan

hukum represif memerlukan biaya yang sangat besar.

Di samping itu kerugian yang akan diderita oleh lingkungan sebagai

akibat dari pencemaran, tidak mungkin dapat dipulihkan kembali dalam

waktu yang cepat. Koesnadi berpendapat bahwa upaya penegakan hukum

lingkungan yang harus dilakukan lebih dahulu adalah yang bersifat

compliance, yaitu pemenuhan peraturan, atau penegakan hukum

preventifnya dengan pengawasannya. Sementara itu, penerapan hukum

pidana dalam kasus-kasus pencemaran lingkungan perlu memperhatikan

asas subsidaritas sebagai berikut: sebagai penunjang hukum administrasi,

berlakunya hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidaritas yaitu

hendaknya hukum pidana didayagunakan apabila sanksi dibidang hukum

lain, seperti sanksi administratif, dan sanksi perdata, dan alternative

penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat

kesalahan pelaku relative berat dan/atau akibat perbuatannya lebih besar

dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan di masyarakat.

Pencemaran terhadap lingkungan berlangsung dimana-mana dengan

laju yang sangat cepat, untuk mencegah terjadinya pencemaran terhadap

(11)

3

terhadap pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan erat sekali

hubungannya dengan pembangunan yang dilakukan oleh manusia atau

korporasi seperti halnya kegiatan-kegiatan industri, kegiatan

pertambangan, transportasi dan pertanian.

Berbicara tentang korporasi maka kita tidak bisa melepaskan

pengertian tersebut dari bidang hukum perdata dan pidana. Secara

etimilogi tentang kata korporasi (Belanda: corporatie, Inggris: corporation,

Jerman: corporation) berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa latin.

Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan “tio”, maka

corporation sebagai kata benda (substantivum), berasal dari kata kerja

corporare, yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau

sesudah itu. Corporatio itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan,

dengan perkataan lain badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh

dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang

terjadi menurut alam.3

Kejahatan Korporasi, kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan

atau pekerja terhadap korporasi, korporasi yang sengaja dibentuk dan

dikendalikan untuk melakukan kejahatan. Pada awalnya korporasi atau

badan hukum (rechtpersoon) adalah subjek yang hanya dikenal di dalam

hukum perdata. Apa yang dinamakan badan hukum itu sebenarnya adalah

ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang

diberi status sebagai subjek hukum, di samping subjek hukum yang

3 Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana Pranada

(12)

4

berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon).4 Dengan berjalannya

waktu, pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah ke globalisasi

dimana memberikan peluang yang besar akan tumbuhnya

perusahaan-perusahaan transnasional, maka peran dari korporasi makin sering kita

rasakan bahkan banyak memengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia.

Dampak yang kita rasakan menurut sifatnya ada dua yaitu dampak positf

dan dampak negatif. untuk yang berdampak positif, kita sependapat bahwa

itu tidak menjadi masalah namun yang berdampak negatif inilah yang saat

ini sering kita rasakan.5

Adapun faktor-faktor yang bersifat positif akibat perkembangan

industri tersebut, antara lain sebagai berikut :

1. Dengan semakin meningkatkan jumlah pabrik atau perusahaan yang

didirikan, berarti semakin banyak lapangan kerja yang dibuka, Dengan

demikian akan mengurangi angka pengangguran dalam masyarakat.

2. Meningkatnya income perkapita bagi masyarakat di sekitar daerah

industri tersebut.

Adapun faktor yang berdampak negatif bagi masyarakat, akibat

perkembangan industri tersebut, antara lain adalah :

1. Terjadinya berbagai macam pencemaran lingkungan hidup di sekitar

masyarakat, hal ini mengakibatkan adanya gangguan kesehatan bagi

masyarakat.

4 Ibid., 25.

(13)

5

2. Di samping itu keadaan yang demikian akan merubah sistem atau

struktur tanah, misalnya tingkat kesuburan tanah dan hasil pertanian

akan berkurang atau bahkan tidak berproduktif lagi

Dalam Undang-Undang mengatur bahwa setiap orang mempunyai hak

yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Setiap orang

berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta

mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan

hidup. Kelanjutan pokok ini ialah beban pencemaran dan perusakan

lingkungan hidup dipertanggungjawabkan kepada pihak yang mencemari

dan merusak lingkungan hidup.6 Tanggungjawab pidana lingkungan hidup

adalah proses yang dilalui seseorang sebagai konsekuensi atas perbuatan

pidana yang dilakukan terhadap lingkungan hidup. Perbuatan tersebut

berupa kesengajaan (opzet) maupun ke alpaan (culpa).7

Ada tiga pendapat para pakar hukum pidana jika korporasi menjadi

subjek hukum:

1. Tidak pernah memikirkan adanya eksistensi badan hukum atau

korporasi. Perbuatan yang dilakukan dalam hubungannya dengan

korporasi harus dipandang sebagai perbuatan yang dilakukan oleh

pengurus korporasi, jadi penguruslah yang bertanggung jawab.

Pendapat ini mengacu pada asas umum dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana ( KUHP ), yaitu bahwa sebuah perbuatan pidana hanya

6 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan...,72.

7 Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Story Grafika,

(14)

6

dapat dilakukan oleh manusia (naturlijke person). Hal ini dapat dilihat

dalam rumusan pasal 59 KUHP yang berbunyi : jika ditentukan pidana

karena pelanggaran bagi pengurus, anggota badan pengurus atau

komisaris, maka pidana itu tidaklah dijatuhkan atas anggota pengurus

atau komisaris, jika terang bahwa pelanggaran itu terjadi bukan karena

kesalahannya.

2. Mengakui korporasi sebagai pembuat namun yang harus bertanggung

jawab adalah pengurusnya.

3. Mengakui bahwa korporasi dapat menjadi pembuat dan yang

bertanggung jawab. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling

maju yang menganggap korporasi sebagai subjek hukum sehingga

dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Latar belakang dari

pemikiran ini, sehingga korporasi dapat dijatuhi hukuman pidana

antara lain karena ada anggapan bahwa keuntungan materi yang

diperoleh oleh korporasi dari hasil usahanya amatlah besar, maka

pidana yang dijatuhkan kepada pengurus dirasa tidak seimbang dan

tidak menjamin korporasi untuk tidak mengulangi perbuatan pidana

tersebut.

Sanksi pidana dalam proteksi lingkungan hidup dipergunakan sebagai

ultimum remedium yang bertujuan menghapuskan atau mengurangi

akibat-akibat yang merugikan terhadap lingkungan hidup. Dalam sistem

pertanggungjawaban pidana didasarkan kepada si pelaku tindak pidana, di

(15)

7

melawan hukum, memenuhi rumusan delik dan dapat

dipertanggungjawabkan dengan dasar bahwa perbuatan itu subjektive guilt

(kesalahan yang disengaja/kealpaan).

Pelanggaran yang dilakukan korporasi ini sulit untuk dijangkau dengan

hukum, hal ini terjadi karena lemahnya sistem hukum yang mengatur

lingkungan. Sistem hukum yang mengatur lingkungan ini memang lemah,

Sebagaimana telah digariskan pada perhatian terhadap kelestarian

lingkungan hidup diwujudkan secara yuridis dengan lahirnya

Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang ini menandai awal

pengembangan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya pengelolaan

lingkungan hidup dan makin tingginya kesadaran masyarakat dalam

mendukung pembangunan yang berwawasan lingkungan, juga makin

banyaknya organisasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan, dengan

demikian masyarakat tidak hanya terlibat dalam pembangunan, akan tetapi

ikut terlibat secara langsung dan berperan secara nyata.

Belum berjalan lama (15 tahun) undang-undang ini telah menimbulkan

berbagai masalah, karena dalam prakteknya undang-undang ini banyak

kekurangan, sehingga diganti oleh Undang-Undang No 23 tahun 1997

tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini berupaya

mendayagunakan berbagai ketentuan sanksi administrasi, perdata, dan

pidana. Undang-undang ini juga mengefektifkan penyelesaian sengketa

(16)

8

pihak yang bersengketa dan juga dibuka kemungkinan dilakukannya

gugatan perwakilan (class action).

Kemudian diperbarui dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh

Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan

Lingkungan Hidup. Dalam hal lingkungan hidup, pertanggungjawaban

korporasi ini pada intinya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana

kepada setiap orang, badan hukum atau pengurusnya.8 Dalam pelanggaran

terhadap lingkungan hidup yang terjadi pada masa kini maupun masa yang

akan mendatang, sebagian besar dilakukan oleh korporasi atau perusahaan,

karena perusahaan merupakan suatu produsen yang memasok kebutuhan

masyarakat dan secara langsung banyak mengeluarkan polusi, apakah

polusi udara, tanah maupun air.

Menurut Koesnadi Hadjasoemantri bahwa konsekuensi penerapan

ketentuan tentang tanggung jawab korporasi ini harus benar-benar

dipahami oleh para pengusaha, sehingga harus berhati-hati dalam

mengelola perusahaannya agar tidak melakukan perbuatan yang

mengakibatkan pengusaha dikenakan pidana penjara, disamping

perusahaannya dikenakan denda karena telah terjadi pencemaran atau

perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan kegiatannya

itu.

Ada banyak contoh-contoh yang menunjukkan dampak negatif dari

kegiatan korporasi. Contoh peristiwa di Indonesia yaitu peristiwa

8 UU RI No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Lembaran

(17)

9

munculnya sumber lumpur di sidoarjo yang diindikasikan disebabkan oleh

kegiatan pengeboran yang tidak memenuhi standar dilakukan oleh PT.

Lapindo Brantas. Akibat peristiwa tersebut ribuan orang kehilangan tempat

tinggal akibat terendam lumpur, belum lagi industri-industri disekitar

semburan lumpur yang harus tutup akibat tidak bisa berproduksi yang

mengakibatkan ribuan orang kehilangan pekerjaannya. Seperti halnya kasus

kebakaran hutan di Riau pada perusahaan perkebunan Kelapa Sawit PT.

Mekarsari Alam Lestari (PT.MAL) di desa Pangkalan Penduk Kecamatan

Kerumutan Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau, yang mana bahwa PT.

Mekarsari Alam Lestari (PT. MAL) dalam melakukan usaha perkebunan

seluas 13.192,69 ha yang terletak di kelompok hutan S.Panduk-S.Buluh

Kabupaten Tingkat II Kampar, Propinsi Daerah Tk. I Riau untuk usaha

budidaya perkebunan kelapa sawit hanya memiliki izin berdasarkan kepada

keputusan menteri kehutanan dan perkebunan atas nama PT. Mekarsari

Alam Lestari dan Hak Guna Usaha (HGU) nomor : 0008 tanggal 17

Oktober 2005 seluas 4745,33 ha dari Badan Pertanahan Nasional

Kabupaten Pelalawan.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undang yang berlaku,

dalam kegiatan usaha perkebunan harus berpedoman kepada

Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan Pasal 17 ayat (1) “setiap

pelaku usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu

dan/atau tertentu usaha industry pengelolaan hasil perkebunan dengan

(18)

10

Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001 tentang pengendalian

kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan

kebakaran Hutan dan atau Lahan sebagaiman di atur dalam pasal 13“setiap

penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar

dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup

yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah

terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya”.

Disini sudah jelas bahwa dalam mendirikan atau menjalankan usaha

harus sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan, dimana kasus dari

PT. Mekarsari Alam Lestari (PT. MAL) ini adalah Suheri Terta selaku

Direktur Utama PT. Mekarsari Alam Lestari (PT. MAL) memerintahkan

Fachruddin Lubis sebagai Manager Estate/Proyek PT. Mekarsari Alam

Lestari (PT. MAL) membuka lahan gambut untuk dijadikan perkebunan

kelapa sawit dengan membuat kanal-kanal berdiameter 3 (tiga) meter dan

10 (sepuluh) meter yang berfungsi sebagai pembatas blok atau petak lahan

perkebunan sekaligus untuk melokalisir kebakaran agar api tetap berada di

jalur penanaman yang telah direncanakan.

Pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 telah terjadi beberapa kali

kebakaran dilokasi rumpukan jalur (stacking) pada blok-blok lahan

perkebunan PT. Mekarsari Alam Lestari (PT. MAL) yang telah disiapkan

untuk ditanami kelapa sawit. Para terdakwa menyadari dan mengetahui

betul bahwa rumpukan kayu (stacking) yang berada di atas lahan blok yang

(19)

11

untuk terjadi kebakaran, namun oleh para terdakwa rumpukan kayu

(stacking) tetap dibiarkan berada di lokasi sehingga terjadi kebakaran di

jalur blok penanaman yang akan ditanami kelapa sawit.

Menurut Islam mempunyai prinsip pertanggungjawaban yang

seimbang dalam segala bentuk dan ruang lingkupnya. Antara jiwa dan raga,

antara individu dan keluarga, antara individu dan sosial, antara suatu

masyarakat dengan masyarakat yang lain.9 Tanggung jawab sosial merujuk

pada kewajiban-kewajiban sebuah perusahaan untuk melindungi dan

memberi kontribusi kepada masyarakat dimana perusahaan itu berada.

Dalam islam pertanggungjawaban pidana berarti manusia harus

bertanggungjawab atas akibat dari perbuatan haram yang dilakukannya

ketika ia memiliki kebebasan berkehendak (tidak dipaksa) dan mengetahui

arti serta akibat perbuatan tersebut.

Dalam surat al-Baqarah ayat 205, Allah berfirman :

َداسَفْلاَبِحيَاَلَهٰ للا ََلسنلا ََثرحْلاَكِل ي َا يِفَ ِسْفيِلَِضرَاْلاَىِفَٰىعسَٰىَل تَاَِإ

٢۰٥

َ

205. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan

binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.10

9 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006),

232.

10 Depertemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT.

(20)

12

Setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya .

karena itu, perlu pengawasan terhadap bahaya kerugian yang menimpa

pihak masyarakat (konsumen) dan lingkungan hidup. Berbagai pelanggaran

lingkungan, seperti langkanya air bersih akibat limbah pabrik, makanan

beracun dan sebagainya telah menyumbangkan berbagai penyakit bahkan

kematian warga yang mengkonsumsi. Hal itu merupakan melanggar hukum

(i’ti>da) secara tidak langsung yang harus dipertanggungjawabkan pihak

pelaku usaha, perusahaan atau badan-badan komersial.

Dalam hukum positif perbuatan yang dilakukan oleh PT. Mekarsari

Alam Lestari (PT. MAL) sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan adalah berupa denda paling

sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan/atau pidana penjara

paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun seusai

dengan tingkat dan jenis pencemaran dan/atau perusakan yang ditimbulkan,

namun atas pertimbangan hukum hakim diputus dengan hukuman penjara

selama 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta

rupiah).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengangkat kasus

diatas dalam sebuah penelitian untuk mengetahui pertimbangan hukum

hakim dan analisis yuridis terhadap pertanggung jawaban korporasi PT.

Mekarsari Alam Lestari terhadap pembiaran dalam kebakaran hutan pada

(21)

13

Oleh karena itu, penulis akan menganalisis permasalahan tersebut

untuk melakukan penelitian dan menuangkan dalam skripsi yang berjudul :

Analisis Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Korporasi PT. Mekarsari

Alam Lestari pada Pembiaran Kebakaran Hutan di Riau (Kajian Putusan

Nomor 235/Pid.Sus/2012/PTR)

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti

mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Pertimbangan hukum hakim tentang pertanggungjawaban korporasi

terhadap pembiaran dalam kebakaran hutan.

2. Kejahatan korporasi dan sanksinya sebagaimana diatur dalam UU RI

No. 32Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup.

3. Pertanggungjawaban dan pemidanaan korporasi dalam tindak pidana

kerusakan lingkungan hidup.

4. Prinsip-prinsip dalam pertanggungjawaban korporasi dalam tindak

pidana kerusakan lingkungan hidup.

5. Pertanggungjawaban korporasi dengan penerapan prinsip strict liability

dalam tindak pidana kerusakan lingkungan hidup.

Melihat luasnya pembahasan tentang pertanggungjawaban korporasi

(22)

14

putusan No 325/Pid.Sus/2012/Ptr menurut UU RI No 32 Tahun 2009, maka

dalam masalah ini akan dibatasi dengan:

1. Pertimbangan hukum hakim dalam putusan Nomor

235/Pid.Sus/2012/ptr tentang pertanggungjawaban korporasi terhadap

Pembiaran dalam kebakaran hutan di Riau.

2. Analisis yuridis terhadap pertanggungjawaban korporasi dalam

pembiaran kebakaran hutan di Riau pada putusan Nomor

235/Pid.Sus/2012/ptr.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang hendak dikaji diformulasikan dalam beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam putusan Nomor

235/Pid.Sus/2012/PTR tentang pertanggungjawaban korporasi

terhadap Pembiaran dalam kebakaran hutan di Riau ?

2. Bagaimana analisis yuridis terhadap pertanggungjawaban korporasi

dalam pembiaran kebakaran hutan di Riau pada putusan Nomor

235/Pid.Sus/2012/PTR ?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian

(23)

15

terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan

pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.11

Berkaitan dengan tema tindak pidana korporasi pernah dibahas oleh

Mahasiswa Fakultas Syari’ah yang diantaranya ialah:

1. Ahmad Imaduddin dengan judul “Tinjauan Hukum Pidana Islam

Terhadap Kejahatan Korporasi dan Sanksinya Sebagaimana Diatur

dalam UU No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup” pada tahun 2007. Adapun hasil temuan dari skripsi Ahmad

Imaduddin tersebut adalah kejahatan korporasi dan sanksinya dalam

UU No 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup

merupakan tindakan yang dilakukan oleh perseroan, perserikatan,

yayasan atau organisasi lain yang mengakibatkan pencemaran dan/atau

perusakan lingkungan hidup. Sedangkan sanksi yang dijatuhkan kepada

pelaku pencemaran dan/atau perusakan lingkungan adalah berupa

denda (berkisar antara Rp100.000.000,00 sampai dengan

Rp750.000.000,00) dan/atau pidana penjara (berkisar antara 3 tahun

sampai dengan 15 tahun) seusai dengan tingkat dan jenis pencemaran

dan/atau perusakan yang ditimbulkan. Kejahatan korporasi dan

sanksinya sebagaimana diatur dalam UU NO 23 Tahun 1997 tentang

pengelolaan lingkungan hidup sejalan dan tidak bertentangan dengan

hukum pidana Islam. Dilihat dari segi jenis sanksi yang dikenakan,

ketentuan-ketentuan kejahatan korporasi dan sanksinya dalam UU No

11 Fakultas Syariah UIN sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi (Surabaya:

(24)

16

23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup termasuk dalam

ketegori ta’zi>r.12

2. Septya Sri Rezeki dengan judul “Pertanggung Jawaban Korporasi

Terhadap Penerapan Prinsip Strict Liability Dalam Kasus Kerusakan

Lingkungan Hidup Ditinjau Dari UU RI No 32 Tahun 2009 dan

Hukum Pidana Islam” pada tahun 2013. Adapun hasil temuan dari

skripsi Septya Sri Rezeki tersebut adalah Badan hukum atau korporasi

dapat dipertanggungjawabkan secara pidana harus dikaitkan dengan

strict liability. Dimaksudkan dengan strict liability adalah

pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), yang

dalam hal ini pembuat sudah dapat dipidana jika telah melakukan

perbuatan yang dilarang sebagaimana telah dirumuskan dalam

undang-undang tanpa melihat lebih jauh sikap batin pelaku. Sejalan dengan

prinsip strict liability dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam hukum Islam

dikenal dengan asas tersalah yakni ketidakhati-hatian dan

ketidakwaspadaan.13

Penelitian yang penulis lakukan berbeda dengan penelitian-penelitian

yang sudah pernah dibahas sebelumnya. Yang membedakan dalam

12 Ahmad Imaduddin, (Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Kejahatan Korporasi dan

Sanksinya Sebagaimana Diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup) (Skripsi--Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2007).

13 Septya Sri Rezeki, (Pertanggung Jawaban Korporasi Terhadap Penerapan Prinsip Strict

(25)

17

penelitian ini yang pertama analisis yuridis terhadap putusan Pengadilan

Tinggi Pekanbaru Nomor 235/PID.SUS/2012/PTR yang sebelumnya belum

ada yang meneliti. Kedua, pembahasan tentang pertanggung jawaban

korporasi terhadap pembiaran lingkungan hidup, dimana dalam putusan

tersebut terdapat berbagai macam pelanggaran dalam sebuah pendirian

perusahaan. Dimana diputusan tersebut terdakwa 1 dan 2 melakukan

perbuatan tindak pidana dalam kategori kesengajaan, yang dihukum dengan

Ta’zi>r, atau hukuman lainnya sesuai dengan jenis kesalahan yang

dilakukan.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang hendak dicapai sejalan dengan

pertanyaan-pertanyaan di atas yaitu:

1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim pada putusan

Pengadilan Tinggi Pekan Baru Nomor 235/PID.SUS/2012/PTR tentang

pertanggungjawaban korporasi terhadap pembiaran kebakaran hutan di

Riau.

2. Untuk mengetahui analisis yuridis terhadap pertanggungjawaban

korporasi dalam pembiaran kebakaran hutan di Riau pada putusan

Nomor 235/PID.SUS/2012/PTR kepada PT Mekarsari Alam Lestari

(26)

18

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan ada nilai guna pada dua aspek:

1. Aspek keilmuan, dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran atau

pedoman untuk menyusun hipotesis penulisan berikutnya bila ada

kesamaan masalah serta dapat bermanfaat memperluas khasanah ilmu

pengetahuan tentang tindak pidana pertanggungjawaban korporasi.

2. Dari segi praktis, dapat digunakan sebagai lahan pertimbangan dalam

tindak pidana pertanggungjawaban korporasi. Serta bermanfaat pula

bagi Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya untuk

pengembangan ilmu khususnya dalam bidang Hukum Pidana Islam.

G. Definisi Operasional

Agar tidak menyimpang apa yang dimaksud, maka di sini perlu

dijelaskan dan dibatasi pengertian dari judul skripsi.

1. Yuridis : Analisis ini ditinjau dari beberapa aspek Undang-Undang

yang berlaku saat ini dan menjadi acuan peneliti untuk menyelesaikan

penelitiaannya, diantaranya sebagai berikut:

a) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

b) UU yang mengatur tentang tindak kejahatan pidana terhadap

pertanggungjawaban korporasi.

2. Korporasi : Adapun maksudnya adalah bahwa korporasi sebagai objek

(27)

19

dalam hal ini penulis membahas tentang kejahatan korporasi dalam

tindak pidana kerusakan lingkungan hidup serta bentuk

pertanggungjawabannya.

3. Pembiaran dalam kebakaran hutan disini adalah kesengajaan dari pihak

PT atau dapat di sebut sebagai kerusakan lingkungan. Kerusakan

lingkungan hidup : Perubahan langsung dan/atau tidak langsung

terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang

melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.14 Adapun yang

dimaksud kerusakan lingkungan disini adalah kerusakan lingkungan

hidup yang dilakukan oleh korporasi dan termasuk dalam kategori

pertanggungjawabannya.

H. Metode Penelitian

Dalam penelitian yang dilakukan digunakan beberapa metode yang

bertujuan untuk mendapat hasil penelitian yang seobyektif mungkin. Untuk

mendapatkan hasil penelitian tersebut diperlukan informasi yang akurat

dan data-data yang mendukung dalam penelitian ini yaitu :

1. Data Yang Dikumpulkan

Merujuk pada uraian latar belakang dan rumusan yang diambil,

maka peneliti ini dikategorikan sebagai peneliti pustaka (library

research). Oleh karena itu, untuk mendukung tercapainya tujuan

peneliti ini, data-data penelitian yang perlu digali adalah :

14 Pasal 1 ayat 17 Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

(28)

20

a. Data mengenai putusan Pengadilan Tinggi Negeri Pekan Baru

Nomor 235/PID.SUS/2012/PTR tentang pembiaran kebakaran

hutan.

b. Ketentuan tentang pertanggungjawaban korporasi menurut

Undang-Undang yang berlaku saat ini.

c. Ketentuan tentang prinsip dalam pertanggungjawaban korporasi

dalam UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2. Sumber Data

a. Sumber data primer

Sumber data primer dalam penelitian ini diambil dari

dokumen-dokumen yaitu putusan Pengadilan Tinggi Pekan Baru

Nomor 235/PID.SUS/2012/PTR, UU No. 32 tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU yang

mengatur tentang Pertanggungjawaban Korporasi.

b. Sumber data sekunder

Yaitu data yang diambil dan diperoleh dari bahan pustaka

dengan mencari data atau informasi berupa benda-benda tertulis

seperti buku-buku, majalah, dokumen peraturan-peraturan dan

catatan harian lainnya.15 Adapun buku-buku literature yang

dipakai adalah:

15 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,

(29)

21

1) Pertanggungjawaban Pidana Korporasi karya Muladi &

Dwidja Priyatno.

2) Tindak Pidana Lingkungan Hidup karya Leden Marpaung.

3) UU RI No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

4) UU RI No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup

5) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karya R. Soesilo

6) Sumber-sumber lain dari literatur yang terkait dengan

pembahasan skripsi ini.

3. Teknik pengumpulan data

Karena kategori penelitian ini adalah literature, maka teknik

pengumpulan datanya diselaraskan dengan sifat penelitian. Dalam hal

ini, teknik yang digunakan adalah record dan dokumentasi. Record

adalah setiap pernyataan tertulis yang disusun oleh seseorang atau

lembaga untuk keperluan pengujian suatu peristiwa atau menyajikan

akunting.16 Dalam hal ini, penulis menggunakan teknik record yakni

dalam hal menghimpun data dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

Undang-Undang yang mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi serta

data-data dari Putusan Pengadilan Tinggi Negeri Nomor

235/PID.SUS/2012/PTR tentang kebakaran hutan dengan menguraikan

16 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008),

(30)

22

kronologi kasus, dan Dokumentasi adalah menghimpun data-data yang

menjadi kebutuhan penelitian dari berbagai dokumen yang ada baik

berupa buku, artikel, koran dan lainnya sebagai data penelitian.17

Dalam hal ini, teknik dokumentasi penulis gunakan untuk melengkapi

data-data dari buku, artikel, jurnal dan sebagainya yang berkaitan

dengan pertanggungjawaban korporasi terhadap kasus kerusakan

lingkungan hidup.

4. Teknis analisis data

Teknik analisis data merupakan teknik analisis data yang relevan

dengan tujuan penelitian. Penyajian data hasil penelitian dapat berupa

table, grafik, gambar, bagan, atau bentuk penyajian data yang lain.

Analisis data statistik yang dimuat dalam sub pokok bahasan ini hanya

hasil akhirnya saja. Adapun perhitungan statistik selengkapnya dimuat

sebagai lampiran.18 Teknik yang digunakan pada penelitian ini adalah

teknik deskriptif, yaitu suatu teknik dipergunakan dengan jalan

memberikan gambaran terhadap masalah yang dibahas dengan

menyusun fakta-fakta sedemikian rupa sehingga membentuk

konfigurasi masalah yang dapat dipahami dengan mudah.19 Langkah

yang ditempuh penulis ialah mendeskripsikan konsep Analisis Yuridis

terhadap pertanggungjawaban korporasi pada kasus kerusakan

17 Ibid, 217

(31)

23

lingkungan hidup dalam putusan Pengadilan Tinggi Negeri Nomor

235/PID.SUS/2012/PTR.

Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam skripsi ini

menggunakan metode deduktif,20yaitu data-data yang diperoleh secara

umum yang kemudian dianalisis untuk disimpulkan secara khusus

yakni terkait gambaran umum tentang analisis yuridis terhadap

pertanggungjawaban korporasi pada penerapan kasus kerusakan

lingkungan hidup dalam putusan Pengadilan Tinggi Negeri Nomor

235/PID.SUS/2012/PTR.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan skripsi ini, dijelaskan dalam lima bab, yaitu:

Bab I, pada bab ini diuraikan tentang pendahuluan yang menjelaskan

gambaran umum yang memuat pola dasar penulisan skripsi ini, yaitu

meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

kajian pustaka, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode

penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II, bab ini merupakan landasan teori yang membahas tentang

konsep analisis yuridis terhadap pertanggungjawaban dan pemidanaan

korporasi pada kasus kerusakan lingkungan hidup, khususnya pembiaran

kebakaran hutan yang dijadikan landasan analisis masalah dalam putusan

Pengadilan Tinggi Negeri Nomor 235/PID.SUS/2012/PTR.

20 M. Arhamul Wildan, Metode Penalaran Deduktif dan Induktif, dalam arhamul wildan.

(32)

24

Bab III, bab ini membahas tentang deskripsi putusan terhadap putusan

Pengadilan Tinggi Negeri No. 235/PID.SUS/2012/PTR.

Bab IV, bab ini mengemukakan tentang analisis yuridis terhadap

pertanggungjawaban korporasi pada kasus pembiaran kebakaran hutan

dalam putusan Pengadilan Tinggi Negeri No. 235/PID.SUS/2012/PTR.

Bab V, bab ini merupakan kesimpulan dan saran yang memuat uraian

(33)

BAB II

KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DAN PEMIDANAAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

1. Pengertian Korporasi

Berbicara tentang korporasi maka kita tidak bisa melepaskan

pengertian tersebut dari bidang hukum perdata. Sebab korporasi

merupakan termologi yang erat kaitannya dengan bidang hukum

perdata.

Menurut Subekti dan Tjitrosudibio yang dikutip oleh Muladi dan

Dwidja Priyatno yang dimaksud dengan corporatie atau korporasi adalah

suatu perseroan yang merupakan badan hukum. Adapun Yan Pramadya

Puspa menyatakan yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu

perseroan yang merupakan badan hukum, korporasi atau perseroan disini

yang dimaksud adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh

hukum diperlakukan seperti seorang manusia (personal) ialah sebagai

pengemban (atau pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak menggugat

(34)

26

PT (Perseroan Terbatas),N.V. (namloze vennootschap), dan yayasan

(stichting), bahkan negara juga merupakan badan hukum.1

Perseroan terbatas atau PT adalah badan hukum yang merupakan

persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan

kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam

saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam

undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Pengertian korporasi di

dalam hukum pidana sebagai ius constituendum dapat dijumpai dalam

Konsep Rancangan KUHP baru Buku 1 2004-2005 Pasal 182 yang

dikutip dalam bukunya Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan,

”Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dan dari orang dan/atau

kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.”2

Ternyata pengertian korporasi dalam konsep rancangan Buku 1

KUHP 2004-2005, tersebut mirip dengan pengertian korporasi di negara

Belanda, sebagaimana terdapat dalam bukunya Van Bemmelen yang

dikutip oleh muladi dalam buku yang berjudul Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi antara lain menyatakan, “Dalam naskah dari bab ini

selalu dipakai dalil umum ‘korporasi’, yang mana termasuk semua badan

hukum khusus dan umum (maksudnya badan hukum privat dan badan

hukum publik), perkumpulan, yayasan, pendeknya semua perseroan yang

tidak bersifat alamiah.”

1 Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2010), 25.

(35)

27

Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan

hukum. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat

dilakukan tuntutan pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan

pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang

terhadap badan hukum atau terhadap mereka yang memerintahkan

melakukan perbuatan itu, demikian pula terhadap mereka yang

bertindak sebagai pimpinan melakukan tindakan yang dilarang itu.

Dengan demikian, ternyata korporasi dalam hukum pidana lebih

luas pengertiannya bila dibandingkan dengan pengertian korporasi

dalam hukum perdata. Sebab, korporasi dalam hukum pidana bisa

berbentuk badan hukum atau non badan hukum, sedangkan menurut

hukum perdata korporasi mempunyai kedudukan sebagai badan hukum.

Apabila dalam tindak pidana subversi dikenal sebagai subjek hukum

“organisasi lainnya”, ini pun tidak jelas apakah organisasi tersebut

berbadan hukum atau tidak.3 Dengan demikian, hal ini membuktikan

bahwa subjek hukum pidana korporasi dalam hukum pidana luas

pengertiannya (bisa berbentuk badan hukum atau tidak), dan hanya

dikenal diluar KUHP khususnya dalam perundang-undangan khusus,

sebagai produk legislatif setelah Indonesia merdeka. Sebab, berdasarkan

pasal 59 KUH Pidana, “Dalam hal menentukan hukuman karena

pelanggaran terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus atau

komisaris, maka hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau

(36)

28

komisaris, jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi diluar

tanggungannya.”

Subjek hukum pidana korporasi tidak dikenal, karena menurut

hukum pidana umum subjek hukumnya adalah manusia.

2. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Dalam Hukum Pidana

Penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya diakui

dalam Undang-Undang tindak pidana khusus (diluar KUHP), sedangkan

dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) korporasi tidak

diakui sebagai subjek hukum. Seiring berjalannya waktu dan penggalian

terhadap ilmu hukum pidana, manusia bukanlah satu-satunya subjek

hukum. Diperlukan suatu hal lain yang menjadi subjek hukum pidana.

Berbicara tentang sejarah korporasi sebagai subjek hukum pidana,

menurut KUHP Indonesia yang dibentuk berdasarkan ajaran kesalahan

individual. Sistem hukum pidana di Indonesia tidak memungkinkan

penjatuhan denda kepada korporasi, oleh karena pihak yang dijatuhi

pidana denda diberikan pilihan untuk menggantinya dengan pidana

denda kurungan pengganti denda (Pasal 30 (1-4) KUHP).

Disamping itu tidak berlakunya pidana bagi korporasi di dalam,

karena KUHP Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental

(civil law) agak tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara

”common law” seperti Inggris, Amerika Serikat dan Kanada. Di

(37)

29

pidana korporasi sudah dimulai sejak Revolusi Industri. Pengadilan

Inggris mengawalinya pada tahun 1842, dimana korporasi telah dijatuhi

pidana denda karena kegagalannya untuk memenuhi suatu kewajiban

hukum.

Perubahan dan perkembangan kedudukan korporasi sebagai subjek

hukum pidana mengalami perkembangan secara bertahab. Pada

umumnya secara garis besarnya dapat dibedakan dalam tiga tahap.4

a) Tahap Pertama

Pada tahap ini yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah

manusia alamiah (natuurlijke persoon). Pandangan ini dianut oleh

KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia. Pandangan ini dipengaruhi

oleh asas “societas delinquere non potest” yaitu badan hukum tidak

dapat melakukan tindak pidana. Apabila dalam suatu perkumpulan

terjadi tindak pidana maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan

oleh pengurus korporasi tersebut.

Pandangan ini merupakan dasar bagi pembentukan Pasal 59 KUHP

(Pasal 51 W.v.S. Nederland) yang menyatakan ”Dalam hal-hal di mana

karena ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan

pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan

pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan

pelanggaran tidak dipidana”.5

(38)

30

b) Tahap Kedua

Pada tahap ini korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana,

akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, adalah

para pengurusnya yang secara nyata memimpin korporasi tersebut, dan

hal ini dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang hal tersebut.6

c) Tahap Ketiga

Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan

meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan

menuntut pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi ini antara lain

karena dalam delik-delik ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh

korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat, dapat demikian

besarnya, sehingga tak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya

dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan bahwa

dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan

bahwa korporasi tidak akan mengulang delik tersebut. Dengan

memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat

korporasi itu, diharapkan dapat dipaksa korporasi untuk mentaati

peraturan yang bersangkutan.7

B. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana

1. Masalah Pertanggungjawaban Pidana

(39)

31

Berbicara masalah pertanggungjawaban pidana, ternyata terdapat

dua pandangan, yaitu pandangan yang monistis antara lain dikemukakan

oleh simon yang merumuskan strafbaar feit sebagai “suatu perbuatan

yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan

hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap

bertanggung jawab atas perbuatannya”.

Menurut aliran monism, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik

unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur

pembuat, yang lazim dinamakan unsur subjektif. Oleh karena itu,

dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatannya, maka dapatlah

disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat

penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi

strafbaar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana.

Menurut A.Z. Abiding, Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin Ujung Pandang menyatakan bahwa

aliran monistis terhadap strafbaar feit penganutnya merupakan

mayoritas di seluruh dunia, memandang unsur pembuat delik sebagai

bagian strafbaar feit. Misalnya Ch.J.E. Enschede dan A. Heijder

melukiskan strafbaar feit sebagai een daaddader-complex. Adapun J.M.

van Bemmelen tidak memberikan definisi teoretis, namun menyatakan

bahwa harus dibedakan antara bestanddelen (bagian inti) dan element

(unsur) strafbaar feit.8

(40)

32

Oleh karena itu, menganut pandangan monistis tentang strafbaar

feit atau criminal act berpendapat, bahwa unsur-unsur

pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik yang

meliputi:9

a) Kemampuan bertanggung jawab

b) Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan

c) Tidak ada alasan pemaaf.

Masalah pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan unsur

kesalahan. Sejalan dengan itu, menurut Sauer ada trias yang dikutip

dalam bukunya Sudartto, ada tiga pengertian dasar dalam hukum pidana,

yaitu:10

a) Sifat melawan hukum (unrecht);

b) Kesalahan (schuld); dan

c) Pidana (strafe).

Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak

termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk

kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan

perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal apakah dia

dalam melakukan perbuatan itu memang mempunyai kesalahan atau

9

Ibid., 45-46

(41)

33

tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang

mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana.11

Berhubungan dengan hal itu, dipidananya seseorang tidaklah cukup

apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan

hukum atau sifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya

memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan

(an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum

memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana. Untuk pemidanaan masih

perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu

mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Disini berlaku

apa yang disebut asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne

schuld atau geen straf zonder schuld atau nulla poena sine culpa),12 culpa

disini dalam arti luas meliputi juga kesengajaan.

Untuk menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi

beberapa unsur, antara lain:13

a) Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat.

b) Hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang berupa

kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) ini disebut bentuk

kesalahan

c) Tidak adanya alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan

pemaaf.

11 Roeslan Salen, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara Baru,

1983)., 75.

(42)

34

Tiga unsur tersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan. Yang satu bergantung kepada yang lain, dalam arti

demikianlah urutannya dan yang disebut kemudian bergantung pada

yang disebutkan terlebih dahulu. Inti dari unsur tersebut tidak mungkin

dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan ataupun kealpaan, apabila

orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Kemampuan bertanggung

jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian yang

membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat

dari sudut umum maupun dari orangnya. Seseorang mampu bertanggung

jawab jika jiwanya sehat, yaitu apabila:

a) Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya

bertentangan dengan hukum.

b) Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran

tersebut.

2. Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat

pertanggung-jawaban pidana korporasi, terdapat model pertanggungpertanggung-jawaban

korporasi, korporasi hanya dapat melakukan perbuatan dengan

perantaraan pengurus-pengurusnya. Dengan demikian, syarat kesalahan

yang eksternal (actus reus) pada korporasi tergantung pada hubungan

antara korporasi dengan pelaku materilnya. Tindak pidana yang

(43)

35

dipidana. Dalam hal ini, kedudukan korporasi selalu menjadi bagian dari

penyertaan tindak pidana tersebut, tidak mungkin korporasi sebagai

pelaku tunggal tindak pidana. Korporasi dapat menjadi pembuat (dader)

tetapi tidak dapat menjadi pelaku (pleger) tindak pidana.

Mengenai model pertanggungjawaban pidana korporasi ialah

sebagai berikut:14

a) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang

bertanggung jawab.

b) Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab.

c) Korporasi sebagi pembuat dan juga sebagai yang bertanggung

jawab.

Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah

yang bertanggung jawab, kepada pengurus korporasi dibebankan

kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu

sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak

memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam

sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Adapun dasar

pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat

dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, tetapi selalu

penguruslah yang melakukan delik itu. Dan karenanya penguruslah yang

diancam pidana dan dipidana.15

14

Ibid., 86

15 Roeslan Saleh, Tentang Tindak-tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta,

(44)

36

Korporasi dikatakan sebagai pembuat tindak pidana, pertama dapat

terjadi dalam hubungan penyertaan umum dan kedua dalam hal

vicarious libility crime. Hal yang pertama dapat terjadi ketika pembuat

materiilnya adalah pimpinan korporasi. Sebaliknya, hal yang kedua

dapat terjadi jika pembuat materiilnya adalah bawahan atau

tenaga-tenaga pelaksana, atau pegawai yang bertindak dalam kerangka

kewenangannya dan atas nama korporasi. Pada subjek hukum manusia

syarat kesalahan ditentukan dari keadaan psikologis pembuat, yaitu

keadaan batin yang normal. Berbeda halnya dengan syarat kesalahan

(internal) pada korporasi. Pada korporasi syarat kesalahan dilihat dari

apakah korporasi tersebut telah menjadikan dapat dihindarinya tindak

pidana sebagai bagian kebijakannya dalam menjalankan usaha. Jika

kewajiban ini tidak dipenuhi, maka korporasi dapat dicela jika

karenanya terjadi suatu tindak pidana. Hal ini berkaitan dengan syarat

kesalahan pada korporasi dalam kepustakaan disebut dengan syarat

kekuasaan.

Syarat kekuasaan pada korporasi meliputi wewenang

mengatur/menguasai dan/atau memerintah pihak yang dalam

kenyatannya melakukan tindakan terlarang, mampu melaksanakan

kewenangannya dan pada dasarnya mampu mengambil

keputusan-keputusan tentang hal yang bersangkutan dan mampu mengupayakan

kebijakan atau tindakan pengamanan dalam rangka mencegah

(45)

37

Dalam hal pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada

korporasi, Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan empat sistem yang

dapat diberlakukan:16

1) Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh

karenannya penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban

pidana.

2) Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus

memikul pertanggungjawaban pidana.

3) Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri

yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.

4) Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan

keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.

Saat ini KUHP menganut sistem yang pertama, KUHP berpendirian

bahwa oleh karena korporasi tidak dapat melakukan sendiri suatu

perbuatan yang merupakan delik dan tidak dapat memiliki mens rea

(sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan) yang salah tetapi

yang melakukan perbuatan tersebut adalah pengurus korporasi yang di

dalam melakukan perbuatan itu mempunyai mens rea.

Ada dua ajaran pokok yang menjadi alasan bagi pembenaran

dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.

(46)

38

ajaran tersebut adalah doktrin strict liability dan doktrin vicarious

liability.17

Doktrin strict liability, merupakan bentuk pertanggungjawaban

pidana dapat dibebankan kepada pelaku delik yang bersangkutan dengan

tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian)

pada pelakunya. Hal ini dalam istilah hukum di Indonesia dikenal

dengan pertanggungjawaban mutlak. Dalam kaitannya dengan korporasi,

korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana untuk delik-delik

yang tidak dipersyaratkan adanya mens rea bagi pertanggungajwaban

delik itu berdasarkan doktrin strict liability.

Doktrin pertanggungjawaban strict liability juga diatur dalam

Konsep Rancangan KUHP 2004-2005, Pasal 38 ayat (1), yang

berbunyi:18 “Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat

menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah

dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memerhatikan

adanya kesalahan”

Doktrin vicarious liability, dalam istilah hukum Indonesia dikenal

dengan istilah pertanggungjwaban vikarius, yang merupakan

pembebanan yang pertanggungjwaban pidana dari delik yang dilakukan,

misalnya oleh A kepada B. Menurut doktrin ini, bila seorang agen atau

pekerja korporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan

maksud untuk menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan,

17

Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi…, 111. 18

(47)

39

tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Tidak

menjadi masalah apakah perusahaan secara nyata memperoleh

keuntungan atau tidak, atau apakah aktivitas tersebut telah dilarang oleh

perusahaan atau tidak.

Doktrin pertanggungjawaban vicarious liability diatur dalam konsep

rancangan KUHP 2004-2005, Pasal 38 ayat (2), yang menyatakan:

“Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh setiap

orang lain.”

Sangat sulit untuk dipastikan apakah vicarious liability dapat

diterapkan dalam setiap kasus, pertanyaannya adalah apakah vicarious

liability memiliki dasar yang kuat untuk meminta pertanggungjawaban

korporasi. Alasan-alasan yang mendukung vicarious liability sebagian

besar bersifat pragmatis. Dengan melintasi semua masalah yang ada

hubungannya dengan doktrin lain, seperti menemukan orang yang cukup

penting di dalam korporasi yang telah melakukan kejahatan. Dengan

doktrin ini, maka sepanjang seseorang itu bertindak dalam bidang

pekerjaannya dan telah melakukan suatu kejahatan maka perusahaan

dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Hal ini akan mencegah

perusahaan melindungi dirinya dari tanggung jawab kriminal dengan

melimpahkan kegiatan illegal hanya kepada pekerjanya saja.

Disamping kedua doktrin ini menganai bentuk pertanggungjwaban

(48)

40

misalnya doktrin delegation, doktrin identification, doktrin aggregation,

the corporate culture model, dan reactive corporate fault. 19

C. Tindak Pidana Lingkung Hidup

1. Undang-Undang tentang lingkungan hidup No. 23 Tahun 1997 tentang

pengelolaan lingkungan hidup dan No.32 Tahun 2009 tentang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup dalam hukum lingkungan telah mengadopsi

pertanggungjawaban korporasi yang terdapat pada Pasal 45, 46 dan 47

dalam undang-undang.

Pasal 45 menyebutkan bahwa: “Apabila perbuatan pidana atau

tindak pidana\ pencemaran dan perusakan lingkungan dalam hukum

lingkungan dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum,

perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana

denda diperberat dengan sepertiga.”

Pasal 47 menyatakan perbuatan pidana atau tindak pidana yang

dilakukan badan hukum atau korporasi serta oleh pengurusnya,

sebagaimana telah diatur dalam Pasal 46 Ayat (1) dan (2), akan

diberikan sanksi sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

(49)

41

Pidana atau tindak Pidana lingkungan hidup dalam hukum lingkungan

dapat pula dikenakan tindakan tata tertib, yaitu:20

Pasal 46

Ayat (1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

Ayat (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.

Pasal 47

a) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

dan/atau

b) Penutupan perusahaan (seluruhnya/sebagaian); dan/atau

c) Perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau

d) Mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak;

dan/atau

e) Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

f) Menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama

tiga tahun.

Dalam sanksi tindakan tata tertib, khususnya poin a dan b, tidak

menyebutkan adanya “pidana tambahan”. Namun sanksi berupa

(50)

42

“perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana” dan/atau

“penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan”.21 Pada hakikatnya

dapat dikelompokkan ke dalam jenis pidana tambahan. Perampasan

keuntungan pada hakikatnya merupakan perluasan dari “perampasan

barang” yang merupakan salah satu pidana tambahan menurut KUHP.

Demikian pula penutupan perusahaan, hakikatnya merupakan

perluasan dari pidana tambahan berupa “pencabutan hak”, karena

penutupan perusahaan dapat mengandung di dalamnya pencabutan

hak/izin berusaha. Satu hal lagi yang patut dicatat dari jenis-jenis sanksi

tersebut ialah bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1977

tidak ada perumusan eksplisit mengenai jenis sanksi pidana/tindakan

yang berupa “pemberian ganti rugi” langsung kepada korban. Namun

bentuk-bentuk tindakan dalam Pasal 47 sub c, sub d, dan sub e di atas

dapat dikatakan merupakan bentuk-bentuk pemberian “restitusi”.22

Penentuan kejahatan lingkungan hidup harus dimulai dari

penempatan kejahatan lingkungan hidup di dalam undang-undang, yang

lazim dikatakan sebagai Kriminalisasi. Tindak pidana lingkungan hidup

dikriminalisasi melalui perangkat hukum yang mengatur tentang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yakni Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (PPLH). Undang-undang tersebut merupakan payung

21

Ibid, pasal 47 sub a dan sub b. 22

(51)

43

hukum (umbrella act) dari undang-undang lain di bidang pelestarian

lingkungan hidup.

Pengaturan menyangkut lingkungan hidup sebelum lahirnya

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 diatur dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terkait

kejahatan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang diatur oleh

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dapat dilihat dari perumusan

Pasal 69 yang menyatakan bahwa:

1. Setiap orang dilarang:23

a) Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran

dan/atau perusakan lingkungan hidup.

b) Memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan

perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

c) Memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

d) Memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

e) Membuang limbah ke media lingkungan hidup.

f) Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup.

23 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

(52)

44

g) Melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan

hidup yang bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan atau izin lingkungan.

h) Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.

i) Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi

penyusun amdal, dan/atau

j) Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan

informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan

yang tidak benar.

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h

memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah

masing-masing.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang menyatakan

bahwa pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas

tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan

untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia

seluruhnya. Selain ketentuan yang terdapat dalam Pasal 69

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 di atas maka menyangkut kriminalisasi

kejahatan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan juga

diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 115, Ketentuan pidana ini

mencakup 2 (dua) macam atau 2 (dua) kategori delik, yang pertama

Referensi

Dokumen terkait

Headline yang digunakan detik cenderung menggunakan kata-kata yang lebih formal, beberapa berita dari detik juga ada yang berjudul “3 Menteri KIB Jadi

Pengukuran dosen yang diterapkan Fakultas Teknik dengan menggunakan parameter Key Performance Indicator ( KPI). KPI menjadi standar ukuran dalam melihat pencapaian

Potensi wisata adalah sumberdaya alam yang beraneka ragam, dari aspek fisik dan hayati, serta kekayaan budaya manusia yang dapat dikembangkan untuk pariwisata. Banyu

Kedua-dua penapis mi yang dinamakan sebagai penapis Median Pensuisan Statistik Dwi- gelongsor (Dual Sliding Statistics Switching Median filter (MPSDG)) dan penapis Median

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi, untuk mengetahui struktur naratif dan perbedaan kelas sosial yang terdapat dalam

Tampilkan tanggal penjualan yang pernah tercatat nama barang yang terjual, dan nama kategori barang beserta dengan total jumlah barang yang terjual untuk masing- masing barang

Pada tanggal 17 Oktober 2003, berdasarkan kesepakatan antara Perusahaan dan YPP pelunasan piutang tersebut dilakukan dengan empat kali angsuran masing-masing sebesar

Rifma, Optimalisasi Pembinaan Kompetensi Pedagogik Guru, Jakarta.. bekerjasama antara satu dengan yang lain, diantaranya seperti tujuan, materi, metode, alat dan evaluasi