• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK IMUNITAS ANGGOTA DPR PERSPEKTIF ASAS PRESUMPTION OF INNOCENCE : ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PASAL 224 UU NO. 17 TAHUN 2014.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HAK IMUNITAS ANGGOTA DPR PERSPEKTIF ASAS PRESUMPTION OF INNOCENCE : ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PASAL 224 UU NO. 17 TAHUN 2014."

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

HAK IMUNITAS ANGGOTA DPR

PERSPEKTIF ASAS

PRESUMPTION OF INNOCENCE

(Analisis

Fiqh Siyasah Terhadap Pasal 224 UU No. 17 Tahun 2014)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi:

“Hukum Tata Negara”

Oleh

Mohammad Muniri NIM. F0.22.13.029

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

vi

ABSTRAK

Tesis dengan judul “Hak Imunitas Anggota DPR Perspektif Asas

Presumption of Innocence (Analisis Fiqh Siyasah Terhadap Pasal 224 No. 17 Tahun 2014 tentang MD3)” merupakan hasil penelitian kepustakaan (library research) untuk menjawab pertanyaan mengenai tema sentral tentang apakah praktek penerapan hak imunitas anggota DPR tidak berbenturan dengan asas presumption of innocence.

Data ini dihimpun dengan menggunakan teknik kajian pustaka (library research) terhadap sejumlah referensi terkait. Dari data yang telah dihimpun kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan pola deskriptif yang bertujuan memberikan gambaran mengenai situasi atau kejadian yang terjadi.

Hasil penelitian ini menyimpulkan, bahwasanya: 1). Penerapan hak imunitas anggota DPR dalam UU No. 17 Tahun 2014 berdasarkan analisis fiqh siyasah bahwa dalam pelaksanaan hak imunitas bersifat terbatas, artinya anggota DPR (Ahl al-Halliwa al-‘Aqdi) dapat diperiksa oleh pengadilan apabila hak imunitas yang dimilikinya tersebut menyalahi ketentuan dalam Konstitusi atau Undang-Undang serta ketentuan Syari’at Islam. 2). Analisis Fiqh Siyasah Terhadap Hak Imunitas Anggota DPR Berdasarkan Asas Presumption of Innocence yang banyak dipraktekkan oleh Anggota DPR terdapat tumpang tindih atau benturan antara aturan syari’at Islam dengan asas presumption of innocence, karena banyak kasus Anggota DPR yang Hak Imunitasnya telah melakukan penyalahgunaan dengan dalih atas dasar hak tersebut. Dengan adanya penyalahgunaan hak imunitas tersebut masyarakat merasa resah dan terganggu hak-haknya.

(6)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……… i

PERNYATAAN KEASLIAN………. ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING………... iii

PENGESAHAN……….. iv

MOTTO……… v

PERSEMBAHAN……….……… vi

ABSTRAK……… vii

KATA PENGANTAR………. viii

DAFTAR ISI……… x

TRANSLITERASI... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah………. 11

C. Rumusan Masalah………. 12

D. Tujuan Penelitian……….. 12

E. Kegunaan Penelitian……….. 13

(7)

x

G. Kajian Pustaka……….. 22

H. Metode Penelitian………. 23

I. Sistematika Pembahasan………..……. 27

BAB II DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR) PERSPEKTIF FIQH SIYASAH A. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)……… 29

1. Sejarah dan Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)…………. 29

2. Susunan dan Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)……… 34

3. Kedudukan dan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)…………. 38

4. Tugas dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)…………... 43

5. Hak dan Kewajiban Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)……….. 49

B. Hak dan Kewajiban Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)……… 52

1. Hak Anggota DPR ………. 52

2. Kewajiban Anggota DPR……… 55

C. Alat Kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)………. 56

D. Rapat Atau Persidangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)……… 69

E. Kode Etik Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)……… 76

1. Pengertian Kode Etik Anggota DPR……….. 76

2. Sanksi Pelanggaran Kode Etik Oleh Anggota DPR……… 79

(8)

x

1. Pengertian Hak Imunitas Anggota DPR ……… 81

2. Batasan Hak Imunitas Anggota DPR ……… 86

3. Penerapan Hak Imunitas Anggota DPR ……….. ………. 94

B. Praktek Pelaksanaan Hak Imunitas Oleh Anggota DPR….……… 98

C. Sanksi Terhadap Penyalahgunaan Hak Imunitas Oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)……… 105

BAB IV HAK IMUNITAS ANGGOTA DPR PRESPEKTIF ASAS PRESUMPTION OF INNOCENCE A. Hak Imunitas Anggota DPR Berdasarkan Analisis Fiqh Siyasah Terhadap Pasal 224 UU No. 17 Tahun 2014……… 109

B. Analisis Fiqh Siyasah Terhadap Hak Imunitas Anggota DPR Perspektif Asas Presumption of Innocence……….. 119

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………. 133

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasca perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami banyak perubahan termasuk lembaga permusyawaratan dan atau perwakilan, yaitu MPR, DPR, DPD dan DPRD. Perubahan dimaksud bertujuan mewujudkan lembaga permusyawaratan dan atau perwakilan yang lebih demokratis, efektif dan akuntabel. Majelis Permusyaratan Rakyat (selanjutnya disebut MPR) pra-amandemen UUD 1945 merupakan lembaga negara tertinggi waktu itu. Di bawahnya mendapat lima lembaga tinggi termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR).1

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 juga mengubah fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), fungsi legislasi2 yang sebelumnya berada ditangan presiden, maka setelah amandemen UUD 1945 fungsi legislasi berpindah ke DPR.3 Pergeseran pendulum itu dapat dibaca dengan adanya perubahan secara substansial Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dari Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, menjadi

Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.

1

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Kencana, 2011), 191.

2

Fungsi legislasi yaitu fungsi untuk membentuk undang-undang yang dibahas dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

3

(10)

2

Akibat dari pergeseran tersebut, hilangnnya dominasi presiden dalam proses pembentukan undang-undang.4

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan organ yang melaksanakan kekuasaan dibidang legislatif yang pengaturannya langsung di dalam UUD 1945.5Sedangkan dalam hukum tata negara Islam istilah Dewan Perwakilan Rakyat lebih dikenal dengan istilah Ahl al-Halli Wa al-‘Aqdi

yaitu lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Pengertian Ahl al-Halli Wa al-‘Aqdi diperinci lagi oeh para pakar

fiqh siyasah, diantaranya oleh Muhammad Iqbal:

Menurutnya Ahl Halli Wa al-‘Aqdi (Dewan Perwakilan Rakyat) adalah sekelompok orang dari kalangan kaum muslimin yang dipandang paling baik agamanya, akhlaknya, kecemerlangan idenya dan pengaturannya, mereka terdiri dari para ulama, khalifah dan pembimbing umat.6

Ahl al-Halli Wa al-‘Aqdi7adalah istilah baru dan tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadith, istilah ini baru muncul setelah masa pasca Rasulullah SAW,para sahabat yang telah meletakkan istilah tersebut. Sedangkan Abu A’la al-Maududi menyebutkan:

Ahl al-Halli Wa al-‘Aqdisebagai lembaga penengah dan pemberi fatwa juga sebagai lembaga legislatif.8

Dalam ketentuan Pasal 68 UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (selanjutnya disebut UU MD3) dinyatakan bahwa DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai

4

Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia……, 191-192. 5

M. Indra, Dinamika Hukum Tata Negara, (Bandung: Refika Aditama, 2011), 137.

6

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah-Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, 137.

7

FungsiAhl al-Halli Wa al-‘Aqditidak jauh berbeda dengan hukum tata negara Indnesia,

yakni: a). fungsi legislasi (perundang-undangan) yaitu menegakkan aturan yang ditentukan secara tegas dalam syariat, b). fungsi pengawasan dalam kebijakan pemerintah.

8Abu A’la al

(11)

3

lembaga negara,9 yang memiliki fungsi antara lain:10 (1) fungsi legislasi yaitu fungsi untuk membentuk undang-undang yang dibahas dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama; (2) fungsi anggaran yaitu fungsi untuk menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bersama presiden dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut DPD), dan (3) fungsi pengawasan yaitu fungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UUD 1945, undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.11

Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 Pasal 67 pengisian anggota DPR dan Ahl Halli wa al-‘Aqdi12 dilakukan berdasarkan hasil pemilihan umum.13DPR terdiri atasanggota partai politik (selanjutnya disebut Parpol) yang dipilih melalui pemilihan umum.Hal ini berbeda dengan model pengisian keanggotaan DPR pra-amandemen UUD 1945 yang pada saat itu keanggotaannya terdiri atas anggota partai politik hasil pemilu dan anggota ABRI yang diangkat.14

9

UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MD3. Lihat juga Pasal 68 UU No. 27 Tahun 2009 Tentang Susduk

10

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 300. Lihat, Pasal 20A ayat (1) UUD 1945

11

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Sinar Bakti Fakultas Hukum UI, 1988), 214.

12

Ahl Halli wa al-‘Aqdidipilih melalui seleksi masyarakat Islam. Dalam hal ini, masyarakat

menilai orang-orang yang terpandang, memiliki kemampuan dan memiliki perhatian yang besar untuk kepentingan umat. Pengangkatan anggota Ahl Halli wa al-‘Aqdimelalui pengangkatan

langsung dari khalifah. Lihat juga, Muhamad Iqbal, Fiqh Siyasah…, 143. 13

Lihat juga Pasal 19 ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945

menyebutkan bahwa “Pemilihan Umum (selanjutnya disebut Pemilu) diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil

Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” 14

(12)

4

Kemudian prihal tugas dan wewenang DPR diatur dalam pasal 71 dan pasal 72 UU No. 17 Tahun 2014 yang terdiri dari 22 poin yang mengatur,15 DPR juga masih dipersenjatai oleh 3 hak yaitu hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.16 Namun dari beberapa fungsi, tugas, wewenang dan juga hak DPR tersebut, terdapat lagi hak dari anggota DPR yang diatur khusus oleh pasal 80 UU No. 17 Tahun 2014 yaitu:

a. Mengajukan rancangan undang-undang b. Mengajukan pertanyaan

c. Menyampaikan usul dan pendapat d. Memilih dan dipilih

e. Membela diri f. Imunitas

g. Protokoler, dan

h. Keuangan dan administratif. i. Pengawasan

15

Hal ini berbeda dengan tugas dan wewenang Ahl Halli Wa al-‘Aqdi yang pengaturannya

langsung dari perintah al-Qur’an, yaitudiantaranya: 1). Mencalonkan dan memilih kepala negara. Hal ini sesuai dengan isyarat yang terkandung dalam firman Allah SWT dalam QS.As-Syura ayat (38), 2).Memberi masukan dan nasehat kepada khalifah dan tempat konsultasi imam dalam menentukan kebijakannya.Misalnya, masalah pemerintahan, pendidikan, ekonomi, kesehatan, keagamaan industri dan perdagangan.Hal ini sesuai dengan firman Allah QS.Ali Imran ayat (159), 3).Menegakkan aturan yang ditentukan secara tegas dalam syariat dan merumuskan suatu perundang-undangan yang mengikat kepada seluruh uma tentang hal-hal yang tidak diatur dalam al-Qur’an dan Hadith.

16

(13)

5

j. Mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan, dan

k. Melakukan sosialisasi undang-undang.17

Berdasarkan Pasal 80 huruf f UU No. 17 tahun 2014 ini bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat memiliki hak imunitas atau kekebalan yang dalam penjelasannya ditafsirkan bahwa hak imunitas adalah hak yang untuk tidak dapat dituntut dimuka pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan pendapat yang disampaikan baik secara lisan maupun tertulis dalam rapat DPR maupun diluar rapat DPR dengan pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Dan anggota DPR terkait hak imunitasnya tidak dapat dituntut dimuka pengadilan karena sikap, tindakan dan kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR atau anggota DPR.18

Dalam Hukum Tata Negara Islam (Siyasah), hak imunitas sama sekali tidak dibahas. Namun, secara eksplisit al-Qur’an menyinggung tentang kebebasan berbicara, berpendapat dan bertindak (yang merupakan ciri utama dari hak imunitas), seperti yang terdapat dalam QS.Ali Imron ayat (104) dan QS. Thaha ayat (44):

                            17

Pasal 80 UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MD3

18

(14)

6

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar19; merekalah orang-orang yang beruntung.20

             

Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut".21

Ayat-ayat diatas berkenaan dengan perintah berbuat baik dalam hal perbuatan ataupun tindakan serta bersikap lemah lembut dalam berbicara, sehingga tidak memberikan kemafsadatan (dampak negatif) terhapat orang lain yang ada disekitarnya.

Pada kenyataannya, praktek pelaksanaan hak imunitas22 anggota DPR menurut Didi Supriyadi (seorang mantan anggota DPR/MPR RI 1999-2004) telah memerankan fungsi “tuhan” (dengan huruf t kecil) dihadapan rakyat

betapa tidak, karena hak istimewa yang dilekatkan kepadanya, seorang anggota DPR dapat menjatuhkan vonis bersalah kepada siapa saja tanpa proses penyelidikan, penyidikan dan pendakwaan. Berkali-kali penyalahgunaan itu dipraktekkan, sebanyak itu pula rakyat menjadi korban. Kini, saatnya ditegaskan bahwa hak-hak itu dibatasi banyak aturan.

Selain itu, patut diketahui juga bahwa anggota legislatif memiliki kedudukan yang sama didepan hukum (equality before the law) dan

19

Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

20

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya. 21

Ibid.

22

Dari terminology hukum kata imunitas dalam bahasa Inggris “immunity” berarti kekebalan, kata lainnya “imunis” yang menyatakan “tidak dapat diganggu gugat”. Terkait dengan

(15)

7

pemerintah,23 sehingga dalam hal mengajukan pertanyaan, pernyataan danpendapat harus dilakukan dengan tatacara mengindahkan etika politik dan pemerintahan, serta senantiasa menggunakan tata karma, sopan santun, norma serta adat budaya bangsa. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 3 ayat (1, 2, 3, dan 5) Peraturan DPR RI No. 01 Tahun 2011 Tentang Kode Etik DPR RI, disebutkan bahwa:

Pasal 3:

1) Anggota DPR RI harus menghindari perilaku tidak pantas yang dapat merendahkan citra dan kehormatan, merusak tatacara dan suasana persidangan, serta merusak martabat lembaga.

2) Anggota DPR RI sebagai wakil rakyat, harus menghindari adanya pembatasan-pembatasan pribadi dalam bersikap, bertindak dan berperilaku.

3) Anggota DPR RI memiliki kebebasan atas hak berekspresi, beragama, berserikat dan berkumpul sebagaimana warga Negara pada umumnya, dan dalam menggunakan hak tersebut harus selalu menjaga martabat DPR RI; dan

5) Anggota DPR RI tidak diperkenankan mengeluarkan kata-kata serta tindakan yang tidak patut/pantas menurut pandangan etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat, baik didalam gedung DPR RI maupun diluar gedung DPR RI.

Dalam paraturan DPR RI tersebut diatas sudah jelas bahwa semua anggota DPR RI terkait hal tindakan, kegiatan dan pernyataannya dibatasi oleh kode etik yang tidak boleh dilanggarnya.

Menurut Carlton Clymer Rodee, menyatakan bahwa etika berkaitan dengan moralitas individu. Etika bukan saja berkenaan dengan motif tapi juga tindakan, karena bidang etika menyatakan bahwa motif yang tidak kurang pentingnya daripada tindakan, berpengaruh pada karakter

23

(16)

8

individu.24Dipertegas lagi oleh Mas’ud Sa’id bahwa kode etik adalah norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut dilakukan oleh anggota suatu lembaga atau orang yang berprofesi tertentu.Tujuan Kode Etik DPR adalah menjaga martabat, kehormatan, citra serta kredibilitas DPR RI.Selain itu kode etik DPR bertujuan membantu anggota dalam melaksanakan setiap wewenag, tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya kepada negara, masyarakat dan konstituennya.

Tetapi sudah merupakan rahasia umum bahwa ketentuan-ketentuan tersebut, dimana banyak sekali kasus-kasus25 yang terkesan anggota DPR ini seolah memberikan judge secara liar tanpa mengindahkan ketentuan tersebut.Semestinya sebagai wakil rakyat, DPR meskipun telah ditamengi dengan hak imunitas tidak boleh semena-mena dalam menyampaikan pendapat, terutama dalam memvonis seorang bersalah meski itu disampaikan dalam rapat resmi adalah perintah undang-undang.Sebab tujuan utama anggota DPR diberi hak imunitas ialah untuk melindungi diri saat menjalankan tugas dan harus dimanfaatkan dengan tidak menginjak-injak hukum adalah kewajibannya. Seharusnya, hak itu digunakan dengan melihat

24

Rodee, dkk., Pengantar Ilmu Politik (Introduction to Political Science), (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 80

25

Seperti pernyataan Marzuki Ali (Ketua DPR RI) diluar rapat DPRterkait proses

pembangunan gedung baru DPR RI. Ia mengatakan, “Rakyat biasa cukup diberi jalan, kerja, rumah dan pendidikan. Jangan diajak ngurusin yang begini. Urusan begini orang-orang pinter ajak bicara. Ajak kampus-kampus bicara, kita diskusikan,”.Pernyataannya tersebut seoalah

menghina dan melecehkan rakyat biasa karena divonis rakyak bukan apa-apa. Sehingga dengan pernyataannya tersebut pihak Aliansi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berencana melaporkan Marzuki atas tuduhan pencemaran nama baik. Lihat, http://news.okezone.com/read/2011/04/03/339/441834/ketua-dpr-digugat-pencemaran-nama-baik,

(17)

9

rambu hukum yang memandang semua orang dengan kaca mata asas

presumption of innocence (asas praduga tak bersalah). Yang dalam penjelasannya, menurut Andi Hamzah:

Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yaitu asas dimana setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan dan dituntut dimuka sidang tidak bisa dikatakan bersalah kecuali atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.26

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) dalam Penjelasan Umum, lebih jauh lagi menyebutkan:

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.27

Pasal 8 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan:

Pasal 8:

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Berdasarkan pasal tersebut diatas, sepintas terlihat bahwa pelaksanaan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) memandang orang sebagai subjek hukum yang tidak serta-merta dituduh bersalah tanpa adanya putusan pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kembali pada masalah hak imunitas tersebut, yang menjadi pokok permasalahan yang pelik adalah pencemararan nama baik yang dilakukan

26

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi revisi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), 12. Lihat juga, Penjelasan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana point (3) huruf c.

27

(18)

10

oleh anggota DPR, apakah kemudian dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana ataukah hanya pelanggaran kode etik saja. Dapat tidaknya ungkapan tersebut diklasifikasi sebagai tindak pidana tergantung konotasi, locus

penyampaian serta sensivitas ragam asal subyeknya. Seperti keberatan Jaksa Agung beserta jajarannya karena ungkapan anggota DPR yang dipandang: (1) berkonotasi negatif yang digeneralisir pada tahun 200528, (2) disampaikan di depan umum dalam forum rapat kerja, ada kesan ingin mempermalukan para jaksa, karena rapat tersebut terbuka untuk umum, (3) ragam asal subyek tidak sama, meskipun menyampaikan ungkapan tidak dilarang atau sah-sah saja, tetapi harus diperhatikan konteksnya dan hal-hal yang dipandang siri, pamali atau tabu untuk diungkapkan di depan umum, yang dapat ditafsirkan berbeda, mengingat beragamnya adat dan budaya masing-masing daerah. Kalaulah itu tidak digeneralisasi walaupun locus-nyasama, tidak akan dipandang berkonotasi negatif pencemaran atau penghinaan, dan sensivitasnya tidak terusik.

Dalam ilmu Tata Negara dikenal dengan sebuah doktrin tentang good governance29. Prinsip good governance tersebut adalah suatu hal yang sangat dicitakan demi terwujudnya konsep welfare state (konsep yang menginginkan pemerintah untuk tidak banyak ikut campur dalam kehidupan masyarakat akan tetapi pemerintah harus bertanggung jawab atas kesejahteraan

28Pernyataan anggota DPR RI, “

Bagai ustadz di kampung maling”.Pernyataan tersebut

seolah-olah ditujukan kepada semua jaksa.Mengingat jumlah jaksa waktu itu adalah 6000 jaksa.Dan pernyataan tesebut berkali-kali diutarakan dalam rapat DPR pada 7 Februari 2005.

Lihat, Dwi Nofi Andhiyantama, “Menyoal Hak Imunitas Anggota DPR RI”, dalam

dwinofi.blogspot.com/2011/04/menyoal-hak-imunitas-dpr-ri.html/m=1. (20 November 2014).

29

(19)

11

rakyatnya) yang sangat dirindukan, begitu pula prinsip good governanceharus dipahami dan dipegang teguh oleh anggota DPR yang terhormat dalam membawa hak imunitas agar tidak sampai berbenturan dengan asas

presumption of innocence (asas praduga tak bersalah).

Dari deskripsi permasalahan diatas, penulis beranggapan bahwa tindakan yang dilakukan oleh anggota DPR RI terhadap hak imunitasnya,seperti pencemaran nama baik yang pernah dipraktekkan oleh anggota DPR tersebut merupakan sebuah tindakan yang sangat bertentangan dengan hak imunitas yang dimaksud dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3. Tetapi permasalahan tersebut belum ada batas-batas sejauh mana suatu hak imunitas dikatakan melanggar kode etik atau bahkan pidana.Berdasarkan kenyataan tersebut, penelitian dengan judul, “Hak Imunitas Anggota DPR Perspektif Asas Presumption of Innocence” perlu dilakukan.

B. Identifikasi Dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka dapat di identifikasi masalah sebagai berikut:

1) Bagaimana penerapan hak imunitas anggota DPR dalam rapat ataupun diluar rapat anggota DPR?

2) Bagaimana undang-undang membatasi hak imunitas anggota DPR di luar atau di dalam rapat DPR sehingga tidak berbenturan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)?

(20)

12

Dari berbagai identifikasi masalah tersebut, maka dapat ditentukan pokok masalah (tema sentral) yaitu apakah hak imunitas yang dimiliki oleh anggota DPR RI dalam UU No. 17 Tahun 2014 tidak berbenturan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah seperti tersebut diatas, maka dapat diambil isu hukum sebagai berikut:

1) Bagaimana penerapan hak imunitas yang dimilikioleh anggota DPR menurut UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MD3?

2) Bagaimana analisis fiqh siyasah terhadaphak imunitas yang dimiliki oleh anggota DPR perspektif asas Presumption of Innocence?

D. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan isu hukum diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Umum

Mengkaji kaidah hukum yang berkaitan dengan hak imunitas anggota DPR RI dalam UU No. 17 Tahun 2014 maupun asas praduga tak bersalah dalam KUHAP, dengan berdasarkan pada teori Hukum Tata Negara, Hukum Pidana dan Fiqh Siyasah.

(21)

13 2. Tujuan Khusus

a) Untuk mengkaji hak imunitas yang dimiliki oleh anggota DPR berdasarkan UU MD3 apakah sesuai dengan praktek pelaksanaannya. b) Untuk mengetahuibatasan-batasan terhadap hak imunitas yang dimiliki

oleh anggota DPR.

E. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk teoritikal dan praktikal sebagai berikut:

1) Kegunaan teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritis dalam rangka mengembangkan konsep Hukum Tata Negara terutama yang berkaitan dengan hak imunitas anggota legislatif khusunya anggota DPR RI.

2) Kegunaan praktis, yaitu:

a. Bagi lembaga legislatif khususnya anggota DPR, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam melakukan tindakan, pernyataan dan sikap dalam rapat-rapat DPR sehingga tidak mengubah cita-cita undang-undang.

(22)

14

yang positif bagi kemajuan kehidupan ketatanegaraan Indonesia sehingga dapat tercipta kehidupan yang adil dan makmur.

c. Bagi masyarakat dan khalayak umum, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran untuk berpartisipasi dalam memantau perkembangan DPR dalam hal tindakan, sikap dan pernyataan tersebut.

F. Kerangka Teoritik

Untuk memperjelas isi pembahasan dan untuk menghindari kesalah pahaman dalam memahami judul ini, maka penulis merasa perlu untuk menyajikan penegasan judul. Pada bagian ini penulis akan memaparkan beberapa istilah yang dianggap penting dalam memahami judul ini, Hak Imunitas Anggota DPR Perspektif Asas Presumption Of Innocence

(Analisis Fiqh Siyasah Terhadap Pasal 224 UU No. 17 Tahun 2014). Penjelasan sebagai berikut:

1. Konsep Fiqh Siyasah

Kata “fiqh siyasah” berasal dari dua kata yaitu “fiqh” dan

siyasah”.Yang secara bahasanya kata fiqh memiliki arti “paham” dan

siyasahmemiliki arti “mengatur”.30 Secara istilah fiqh siyasah atau dikenal juga dengan sebutan siyasah syar’iyah memiliki beberapa pengertian dari kalangan ulama fiqh, diantaranya:

Menurut„Abd al-Wahhab Khallaf adalah kewenangan pemerintah untuk melakukan kebijakan yang dikehendaki demi kemaslahatan, melalui aturan yang tidak bertentangan dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu.31

30

Wahbah al-Zuhayli, Ushul Fiqh al-Islami, Vol. 1 (Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), 18-19

31„Abd al

-Wahhab Khallaf, al-Siyasah al-Syar’iyyah aw Nizham al-Dawlah al-Islamiyyah

(23)

15

Menurut „Abd al-Rahman Taj, adalah kebijakan pemerintah dalam mengatur berbagai macam urusan umum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang berdasar pada wahyu atau agama dan manusia.32

Sedangkan menurut Imam al-Bujairimi, memperbagus permasalahan rakyat dan mengatur mereka dengan cara memerintah mereka untuk mereka dengan sebab ketaatan mereka terhadap pemerintah.33

Dengan demikian, Fiqh Siyasah secara substansial berbeda dengan Hukum Tata Negara.Hukum Tata Negara bersumber pada sumber horizontal, yaitu manusia dan lingkungannya.Adapun fiqh siyasah

bersumber pada sumber vertikal yang berasal dari wahyu dan sumber horizontal yang berasal dari manusia dan lingkungannya. Dalam posisi ini,

fiqh siyasah menggunakan mekanisme syura (musyawarah) yang bersifat demokratis.Selai itu, fiqh siyasah juga mengandung kemaslahatan bagi umat manusia sehingga dapat dikatakan bidang fiqh yang paling luwes, lentur dan kontekstual.34

2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Dewan Perwakilan Rakyat atau Ahl Halli Wa al-‘Aqdi adalah lembaga utama yang menjalankan fungsi sebagai lembaga perwakilan rakyat atau parlemen.Lembaga ini memunyai fungsi legislasi, pengawasan (controling), dan penganggaran (budgeting).Dalam UUD 1945 jelas tergambar bahwa dalam rangka fungsi legislatif dan pengawasan, lembaga utamanya adalah Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut dengan

32„Abd al

-Rahman Taj, al-Siyasah al-Syar’iyyah wa al-Fiqh Islami,(Mesir: Mathba’ah dar

al-Ta’lif, 1953), 7-21

33

Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi, Hasyiah al-Bujairimi ‘ala Manhaj, Vol. 2

(Bulaq: Musthafa al-Bab al-Halabi, tt), 178

34

(24)

16

DPR).35Sebelum perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengenal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebegai lembaga negara tertinggi. Dibawahnya mendapat lima lembaga negarayang berkedudukan sebagai lembaga tinggi termasuk DPR. Dalam kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara, MPR pemegang kekuasaan negara tertinggi (die gezamte staatgewald liege allein bei der majelis) karena lembaga ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (vertretungsorgaan des willens des staatsvolkes). Sementara itu, DPR yang merupakan lembaga perwakilan rakyat, dinyatakan DPR adalah kuat dan senantiasa dapat mengawasi tindakan-tindakan presiden.36

Setelah amandemen, DPR mengalami perubahan, fungsi legislasi yang sebelumnya berada ditangan presiden, maka setelah amandemen UUD 1945 fungsi legislasi berpindah ke angan DPR.37Pergeseran pendulum itu dapat dibaca dengan adanya perubahan secara substansial Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dari presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuanDPR, menjadi presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Akibat dari pergeseran itu, hilangnya dominasi presiden dalam proses pembentukan undang-undang.38

35

Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,(Jakarta: BIP, 2007), 186.

36

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Kencana, 2011), 191

37

Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 pasca amandemen

38

(25)

17

3. Tugas Dan Wewenang Anggota DPR

Sebagaimana telah disebutkan bahwa amandemen UUD 1945 telah menempatkan DPR sebagai lembaga legislasi yang sebelumnya berada di tangan presiden.Dengan demikian, DPR memiliki fungsi politik yang sangat strategis, yaitu sebagai lembaga penentu arah kebijakan kenegaraan.

Dalam tugas dan kewenangan keberadaan DPR (Ahl Halli Wa al-Aqdi)39sangat dominan, karena kompleksitas dalam tugas dan wewenangnya tersebut yaitu: (1) DPR mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang; (2) setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama; (3) jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR dimasa itu; (4) presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU, dan (5) dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut belum disahkan oleh ppresiden dalam waktu tiga puluh hari sejak RUU disetujui, RUU itu sah menjadi UU dan wajib diundangkan.40

Untuk lebih lengkapnya uraian mengenai kewenangan DPR itu, dapat dikutipkan disini ketentuan UUD 1945 Pasal 20 dan 20A, yang

39

Hal ini berbeda dengan tugas dan wewenang Ahl Halli Wa al-‘Aqdi yang pengaturannya

langsung dari perintah al-Qur’an, yaitudiantaranya: 1). Mencalonkan dan memilih kepala negara. Hal ini sesuai dengan isyarat yang terkandung dalam firman Allah SWT dalam QS.As-Syura ayat (38), 2).Memberi masukan dan nasehat kepada khalifah dan tempat konsultasi imam dalam menentukan kebijakannya.Misalnya, masalah pemerintahan, pendidikan, ekonomi, kesehatan, keagamaan industri dan perdagangan.Hal ini sesuai dengan firman Allah QS.Ali Imran ayat (159), 3).Menegakkan aturan yang ditentukan secara tegas dalam syariat dan merumuskan suatu perundang-undangan yang mengikat kepada seluruh uma tentang hal-hal yang tidak diatur dalam al-Qur’an dan Hadith.

40

(26)

18

masing-masing berisi lima ayat, dan empat ayat. Pasal 20 menentukan bahwa:

1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang 2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan

Presiden untuk mendapat persetujuan bersama

3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan itu tidak boleh diajukann lagi dalam persidangan DPR masa itu.

4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang

5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

4. Hak Dan Kewajiban Anggota DPR

Dalam melaksanakan tugas daan wewenangnya, berdasarkan pasal 20A ayat (2) UUD 1945. Pasal 79 ayat (1) UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3, menyatakan sebagai lembaga perwakilan rakyat DPR memiliki hak, antara lain: (1) Hak interpelasi, (2) Hak angket, dan (3) Hak menyatakan pendapat. Sementara diluar intuisi, anggota DPR juga memiliki hak, diantaranya:41

1. Mengajukan usul RUU 2. Mengajukan pertanyaan

3. Menyampaikan usul dan pendapat 4. Memilih dan dipilih

5. Membela diri

41

(27)

19 6. Imunitas42

7. Protokoler

8. Keuangan dan administratif 9. Pengawasan

10. Mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan

11. Melakukan sosialisasi undang-undang.

Selain itu, anggota DPR juga memiliki kewajiban sebagai berikut: (a). memegang teguh dan mengamalkan Pancasila; (b). melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan; (c). mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (d). mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; (e). memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat; (f). menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara; (g). menaati tata tertib dan kode etik; (h). menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain; (i). menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala; (j). menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan (k).

42

(28)

20

memberikanpertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.43

5. Hak Imunitas DPR

Dari terminology hukum kata imunitas dalam bahasa Inggris “immunity” berarti kekebalan, kata lainnya “imunis” yang menyatakan

tidak dapat diganggu gugat”. Terkait dengan tindakan seseorang dalam

lingkup tertentu seperti korps diplomatik atau anggota legislatif.Hakimunitas44 adalah hak yang untuk tidak dapat dituntut dimuka pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan pendapat yang disampaikan baik secara lisan maupun tertulis dalam rapat DPR maupun diluar rapat DPR dengan pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Dan anggota DPR terkait hak imunitasnya tidak dapat dituntut dimuka pengadilan karena sikap, tindakan dan kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR atau anggota DPR.45

6. Asas Presumption Of Innocence

Asas praduga tidak bersalah (presumption of innoncence) mengandung arti seseorang tidak bisa dianggap bersalah sebelum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.Asas ini, oleh Andi Hamzah dimasukkan sebagai salah satu asas penting dalam hukum acara

43

Pasal 81 UU No. 17 Tahun 2014 tetang MD3

44

Hak istimewa ini dalam konteks fiqh siyasah tidak disinggung, namun secara tersirat dan tersurat al-Qur’an (QS.Ali Imron (104) dan QS.Thaha (44)) menyerukan agar manusia dalam bertindak, berbicara dan berpendapat harus dengan lemah-lembut dan mengedepankan amar

ma’ruf nahi munkar. 45

(29)

21

pidana.46Penjelasan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan:

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Asas ini juga dikenal dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.Coba simak rumusan Pasal 8 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 8:

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Manifestasi asas praduga tak bersalah dalam praktik peradilan adalah selama proses peradilan masih berjalan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung), dan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, maka terdakwa belum dapat dikategorikan bersalah sebagai pelaku tindak pidana.47

Jadi, dapat disimpulkan bahwa asas praduga tidak bersalah (presumption of innoncence) yaitu asas dimana seseorang tidak bisa dikatakan bersalah kecuali atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

46

Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi revisi).(Jakarta: Sinar Grafika, 2001), 12

47

(30)

22

G. Penelitian Terdahulu

Upaya pembahasan mengenai “Hak Imunitas Anggota DPR Perspektif Asas Presumption of Innocence”, sudah pernah dilakukan oleh para sarjana hukum serta ilmuan hukum.Oleh penulis ditemukan beberapa penelitian sebelumnya yang membahas tentang hak imunitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), diantaranya:

1) Disertasi Hossein Mahdizadeh Kasrineh pada Hamburg University, dengan judul, “Immunity of Head of State and its effects on the context of

International Criminal Law”, tahun 2012. Rumusan masalah dalam

disertasi Kasrinehini adalah bagaimana dampak yurisdiksi universal terhadap imunitas kepala negara serta dampaknya terhadap beberapa peraturan Negara.

2) Disertasi dari Elizabeth Helen Franey pada Department of Law of the London School of Economics, tahun 2009. Dengan judul, “Immunity,

Individuals and Internationals Law”. Rumusan masalah dalam disertasi

Franey ini menitik beratkan pembahasan kepada siapa saja yang memiliki imunitas dari yurisdiksi pengadilan nasional ditinjau dari hukum internasional.

(31)

23

yang menjadi hukum kebiasaan internasional dapat dikesampingkan apabila menyangkut kasus-kasus pelanggaran berat HAM.

Dengan demikian, tesis yang akan ditulis oleh penulis memiliki perbedaan dengan tesis diatas, selain objek yang jelas berbeda, ada lagi perbedaan yang lebih mencolok yaitu mengenai Hak Imunitas Anggota DPR Perspektif Asas Presumption of Innocence (Analisis Fiqh Siyasah

Terhadap Pasal 224 UU No. 17 Tahun 2014).

H. Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.Yang menekankan pada materi hukum yaitu UUD 1945, Undang-Undang MD3, Peraturan DPR-RI Tentang Kode Etik DPR dan didukung dengan literatur yang ada mengenai pokok masalah yang dibahas. Dalam penelitian ini, pendekatan masalah yang akan digunakan adalah pendekatan sistem hukum (systematical approach), pendekatan yang menekankan dengan melihat hukum sebagai sebuah sistem dari Undang-Undang Dasar, undang-undang, peraturan lainnya. Disamping itu, penelitian ini juga didukung dengan pendekatan kasus (case approach), yaitu penelitian yang bertuuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum,48 yaitu penormaan dari

48

(32)

24

kaidah yang terdapat di dalam Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 224 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.

1. Data yang Dikumpulkan

Sesuai dengan permasalahan diatas, maka data pokok yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar 1945

b. Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

c. Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, PDP dan DPRD.

d. Peraturan DPR-RI No. 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib DPR e. Peraturan DPR-RI No. 1 Tahun 2011 Tentang Kode Etik DPR

f. Deskripsi tentang lembaga legislatif, DPR, Tugas dan wewenang DPR terhadap Undang-Undang Dasar dan Undang-undang.

2. Sumber Bahan Hukum

Adapun sumber bahan hukum yang digunakan sebagai bahan rujukan pencarian data dalam penelitian ini, yaitu berupa dua hal:

a. Bahan hukum primer (primary sources or authorities), yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, meliputi:

1) Norma atau kaidah dasar, yaitu pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(33)

25

3) Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak anggota DPR RI terutama hak imunitas anggota DPR. Adapun peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan DPR dan asas praduga tak bersalah yang dikaji antara lain, adalah:

 Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD

dan DPRD.

 Peraturan DPR-RI No. 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib DPR

 Peraturan DPR RI No. 01 Tahun 2011 Tentang Kode Etik DPR

RI

 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman

 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum

DPR, DPD dan DPRD.

 Kitab Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana.

b. Bahan hukum sekunder (secondary sources or authorities),yang digunakan adalah kajian pustaka (library research) yang bersumber dari karya ilmiah berupa buku-buku teks, kamus hukum, jurnal ilmiah dibidang hukum, peraturan-peraturan, laporan-laporan serta bahan-bahan lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

(34)

26

a. Telaah Buku (library research), yaitu kegiatan mengumpulkan dan memeriksa atau menelusuri buku-buku atau kepustakaan yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti yang berhubungan dengan pembahasan tentang hak imunitas anggota DPR.49

b. Pengamatan (observation) yaitu kegiatan mengumpulkan data dengan cara mengamati langsung ketentuan-ketetuan atau peraturan perundang-undangan untuk medapatkan informasi atau keterangan mengeai pembahasan hak imunitas DPR.50

4. Teknik Analisis Data

Adapun teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan jenis analisa data kulitatif.Dalam analisis data kualitatif datanya tidak dapat dihitung danberwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun dalam bentuk angka-angka.51

Disamping itu, penelitian ini bersifat deskripsi yang bertujuan memberikan gambaran mengenai situasi atau kejadian yang terjadi.Data-data yang terkumpul melalui kepustakaan dan dokumentasi kemudian disusun, dianalisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang akan diteliti.

49

Syamsuddin, Operasional Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 101.

50

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), 72.

51

(35)

27

I. Sistematika Pembahasan

Untuk memberikan gambaran secara garis besar masalah-masalah dalam penelitian, dan untuk mempermudah pembahasan dan supaya dapat dipahami permasalahannya secara jelas, maka laporan penelitian ini disusun secara sistematis ke dalam beberapa bab dan sub bab sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini menggambarkan keseluruhan isi tesis yang terdiri dari: latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoretik, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II :TINJAUAN UMUM TENTANG DPR

Bab ini merupakan landasan teori yang masih berkisar pada penjelasan secara umum mengenai sejarah dan pengertian DPR, susunan, kedudukan dan fungsi DPR, tugas dan kewenangan DPR, serta hak dan kewajiban DPR. Dalam bab ini akan dijelaskan secara teoritis yang secara otomatis akan berbeda dengan prakteknya.

BAB III :HAK IMUNITAS ANGGOTA DPR

(36)

28

BAB IV :HAK IMUNITAS ANGGOTA DPR PERSPEKTIF ASAS PRESUMPTION OF INNOCENCE

Bab ini merupakan inti pembahasan tesis ini, yang akan menjawab persoalan mengenai hak imunitas anggota DPR berdasarkan asas presumption of innocence (praduga tak bersalah).

BAB V : PENUTUP

(37)

1

BAB II

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR)

PERSPEKTIF

FIQH SIYASAH

A. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

1. Sejarah dan Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Dalam sejarah Islam, pembentukan lembaga Ahl Halli Wa al-‘Aqdi

(atau setara DPR di Indonesia)pertama kali dilakukan pada masa pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol yang beranggotakan para pembesar negara dan sebagian lagi pemuka masyarakat.1 Pembentukan lembaga Ahl Halli Wa al-‘Aqdi2dirasa perlu, mengingat banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus diputuskan secara bijak dan analisis yang tajam sehingga tercapai kemaslahatan umat Islam.

Di Indonesia institusi politik3 pertama yang dibentuk di zaman modern adalah volksraad4 di Batavia pada tahun 1918 dengan 39 orang

1

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah……, 142.

2

Lembaga Ahl Halli Wa al-‘Aqdi pada masa Rasulullah SAW dan Khuafaur Rosyidin lebih dikenal dengan Majelis Syuro. Pada masa itu, Rasulullah sering mengajak sahabat ataupun tokoh masyarakat untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan permasalahan umat Islam.

3

Institusi politik atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR, demikian bangsa Indonesia menyebutnya) sesungguhnya merupakan institusi politik yang sudah sangat tua umurnya.Zaman pertengahan adalah saat lahirnya badan legislatif.Ketika institusi politik seperti partai politik, kelompok kepentingan belum dikenal manusia, badan legislatif telah memfungsikan diri, khususnya di Eropa. Lihat, Bambang Cipto, Dewan Perwakilan Rakyat dalam Era Pemerintahan Modern – Industrial, (Jakarta: Grafindo Persada, 1995), 1

4

Volksraad (Dewan Rakyat) ini dibuka pertama kali pada tanggal 18 Mei 1918.Pada mulanya, dewan ini hanya bertindak sebagai penasihat, bukan badan pembentuk undang-undang. Anggota pertamanya yang berasal dari orang pribumi ada 17 orang, yaitu H.O.S. Tjokroaminoto,

A. Moeis, R. Sastrowijono, M.Ng. Dwidjosewojo, Abdul Riva’i, Achmad Djajadiningrat, A.

(38)

2

anggota termasuk ketua. Inilah yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal parlemen5 (lembaga perwakilan rakyat) Indonesia modern.6

Awal berdirinya Dewan Rakyat (volksraad) diawali dengan adanya

desentralisatie wet untuk mendukung Politik Etis.7Dengan upaya peningkatan peran serta orang-orang Indonesia dalam pemerintahan kolonial Belanda.Sebelum Volksraad didirikan telah terjadi perdebatan mengenai desentralisasi selama 50 Tahun di Tweed Camer pada zaman penjajahan Hindia Belanda.8 Meskipun demikian, bukan berarti bahwa bangsa Indonesia sama sekali tidak mempunyai tradisi sendiri berkenaan dengan lembaga perwakilan yang kemudian dikenal sebagai lembaga parlemen itu. Di zaman pra-penjajahan Hindia Belanda sampai masa penjajahan, diberbagai daerah di kepulauan nusantara, dikenal adanya tradisi di pedesaan ataupun dilingkungan kerajaan-kerajaan tertentu yang mengenal sistem perwakilan rakyat untuk menyalurkan aspirasi dan pendapat kepada para penguasa.

Lahirnya lembaga perwakilan tersebut menjadi suatu keharusan karena sistem demokrasi langsung (direct democracy) yang dilaksanakan pada zaman Yunani Kuno sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilaksanakan.9Dalam perkembangan demokrasi modern, maka sebagai ganti

5

Di Indonesia lembaga ini di sebut Dewan Perwakilan Rakyat, yang anggotanya merupakan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga melalui pemilihan umum, dengan fungsi merealisasikan kekuasaan rakyat dalam bentuk lembaga dan proses pemerintahan.

6

Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,(Jakarta: BIP, 2007), 183

7

Kebijakan colonial Belanda berubah kearah yang paling mendasar yang memiliki tujuan baru, eksploitasi terhadap Indonesia mulai kurang dijadikan sebagai alasan utama kekuasaan Belanda, dan digantikan dengan pernyataan keprihatinan atas kesejahteraan bangsa Indonesia.Politik etis berakar pada masalah kemanusiaan dan sekaligus pada keuntungan ekonomi. Lihat, M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 32

8

M. Yusuf, Dewan Perwakilan Daerah-Arsitektur Histori, Peran dan Fungsi DPD RI Terhadap Daerah di Era Otonomi Daerah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), 27.

9

(39)

3

dari demokrasi langsung, lahirlah demokrasi perwakilan, yang secara umum lembaga ini dikenal dengan nama “parlemen”, sebagai lembaga tempat untuk

menyuarakan berbagai kepentingan dan kehendak masyarakat, yang melahirkan output atau keluaran berupa kebijakan yang menjadi dasar bagi eksekutif (Presiden) dalam menjalankan roda pemerintahan, yang diwujudkan dalam bentuk undang-undang.10

Setelah kemerdekaan, struktur parlemen Indonesia berdasarkan UUD 1945 dibedakan antara DPR dan MPR.Meskipun dari dulu tidak pernah disebut bersifat bicameral.Tetapi pada kenyataannya struktur parlemen atau lembaga perwakilan rakyat itu memang terdiri atas dua lembaga, yakni MPR dan DPR.Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR) disebut sebagai lembaga perwakilan rakyat, sedangkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut MPR) disebut sebagai lembaga permusyawaratan rakyat.11

Setelah berlakunya UUD RIS Tahun 1949, struktur lembaga perwakilan rakyat Indonesia berubah menjadi terdiri atas: (i) Dewan Pewakilan Rakyat (DPR), dan (ii) Senat. Namun, UUDS Tahun 1950, struktur parlemen itu berubah lagi menjadi Unicameral, yaitu dewan perwakilan rakyat saja. Sekarang, setelah reformasi, UUD 1945 membedakan adanya tiga lembaga, yaitu (i) MPR sebagai lembaga permusyawaratan rakyat, (ii) DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, dan (iii) DPD sebagai

pertumbuhan penduduk sangat cepat; 3) dinamika politik yang terjadi di masyarakat begitu cepat yang tentunya memerlukan penanganan yang secara cepat pula, dan 4) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kendala untuk tetap melaksanakan demokrasi langsung. Lihat, Beddy Iriawan Maksudi, Sistem Politik Indonesia-Pemahaman Secara Teoritik dan Empirik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), 168.

10

Ibid.

11

(40)

4

lembaga perwakilan daerah. Namun pada hakikatnya ketiganya sama-sama merupakan lembaga perwakilan rakyat dalam rangka perwujudan kedaulatan rakyat.

Secara etimologi Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi12 berarti orang yang dapat memutuskan dan mengikat. Para ahli Fiqh Siyasah memberikan pengertian

Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi sebagai sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara).13 Dengan kata lain, Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Mereka adalah sekelompok orang dari kalangan kaum muslimin yang dipandang paling baik agamanya, akhlaknya, kecemerlangan idenya dan pengaturannya, mereka terdiri dari para ulama, khalifah dan pembimbing umat.

Abu A’la al-Maududi menyebutkan Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi sebagai

lembaga penengah dan pemberi fatwa, juga menyebut sebagai lembaga legislatif.14Al-Mawardi menyebutkan Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi dengan Ahl al-Ikhtiyar,15karena merekalah yang berhak memilih khalifah.16Sedangkan Ibnu Taimiyah menyebutkan Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi dengan Ahl al-Syawkah.Syaikh Abdurrahman as-Sa'di menyebut Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi

dengan ahl al-Syura.

12

Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi adalah sekelompok anggota masyarakat yang mewakili rakyat

dalam menentukan arah dan kebijaksanaan pemerintahan demi tercapainya kemaslahatan hidup mereka.Dengan demikian Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi merupakan sarana yang digunakan rakyat

melalui wakil rakyatnya untuk membicarakan masalah-masalah kenegaraan dan kemaslahatan rakyat.

13

Muhammad Iqbal,Fiqh Siyasah-Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, 137.

14Abu A’la al

-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, 245.

15

Imam Al- Mawardi, al- Ahkam al- Sultaniyyah, 7.

16

(41)

5

Di Indonesia lembaga utama sekaligus lembaga tinggi negara yang menjalankan fungsi sebagai sebagai lembaga perwakilan rakyat atau parlemen adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).DPR adalah suatu struktur legislatif yang punya kewenangan membentuk undang-undang.Dalam membentuk undang-undang tersebut, DPR harus melakukan pembahasan serta persetujuan bersama presiden.17Dinyatakan DPR adalah kuat dan senantiasa dapat mengawasi tindakan-tindakan presiden.18Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan organ yang melaksanakan kekuasaan dibidang legislatif yang pengaturannya langsung di dalam UUD 1945.19

Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 Pasal 67 pengisian anggota DPR dilakukan berdasarkan hasil pemilihan umum.20DPR terdiri atas anggota partai politik (selanjutnya disebut Parpol)yang dipilih melalui pemilihan umum.Sedangkan pengisian keanggotaan DPR pra-amandemen UUD 1945 yang pada saat itu keanggotaannya terdiri atas anggota partai politik hasil pemilu dan anggota ABRI yang diangkat.21

17

Beddy Iriawan Maksudi, Sistem Politik Indonesia-Pemahaman Secara Teoritik dan Empirik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), 169.

18

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Kencana, 2011), 191-192.

19

Dalam ketentuan Pasal 68 UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (selanjutnya disebut UU MD3) dinyatakan bahwa DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara,yang memiliki fungsi antara lain:19 (1) fungsi legislasi yaitu fungsi untuk membentuk undang-undang yang dibahas dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama; (2) fungsi anggaran yaitu fungsi untuk menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bersama presiden dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut DPD), dan (3) fungsi pengawasan yaitu fungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UUD 1945, undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Lihat juga, M. Indra, Dinamika Hukum Tata Negara, (Bandung: Refika Aditama, 2011), 137. Dan Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Sinar Bakti Fakultas Hukum UI, 1988), 214.

20

Lihat juga Pasal 19 ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945

menyebutkan bahwa “Pemilihan Umum (selanjutnya disebut Pemilu) diselenggarakan untuk

memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil

Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” 21

(42)

6

Hal ini berbeda dengan model pemilihan anggota Ahl Halli Wa

al-‘Aqdi pada pemerintahan Islam, pengangkatan Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi

secara jelas tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Hadith, tetapi Nabi SAW pernah mencontohkan pemilihan yang demokratis. Peristiwa tersebut ketika nabi meminta kepada suku Aus dan Khazrad untuk menentukan tokoh-tokoh yang mewakili mereka.Kemudian terjadilah pemilihan yang akhirnya memilih wakil masing-masing tiga dari suku Aus dan sembilan dari suku Khazraj. Dari peristiwa pemilu pertama tersebut nantinya akan menentukan bagaimana cara pemilihan Ahl al-Halli wa al-’Aqdi.Anggota Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi adalah para ulama, para ahli dan tokoh yang dianggap mumpuni.Tidak semua umat memenuhi kriteria sebagai anggota Ahl al-Halli wa al-’Aqdi.

2. Susunan dan Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Pasal 19 Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa susunan Dewan Perwakilan Rakyat ditentukan dengan Undang-Undang.Moh.Yamin berpendapat bahwa menurut Pasal 19 Ayat (1) UUD 1945, Dewan Perwakilan Rakyat tidak harus ditetapkan dengan undang-undang pemilihan, tapi dengan undang-undang biasa atau umum.22Dengan demikian, keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat yang disusun itu bisa saja berdasarkan pemilihan, pengangkatan atau penunjukan selama itu berdasarkan dengan ketentuan undang-undang.23Jadi kesimpulannya, bahwa yang penting Dewan

22

Moh.Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), 71

23

Ibid. Lihat juga, Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Penantar Hukum Tata Negara

(43)

7

Perwakilan Rakyat itu harus diatur dengan undang-undang.Sedangkan mengenai anggota-anggotanya bisa saja dipilih ataupun diangkat.24

Kesimpulan tersebut nampaknya kurang tepat kalau dilihat dari kata “perwakilan rakyat”, dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.Kata “perwakilan rakyat” mengandung maksud bahwa keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat

(selanjutnya disebut DPR) itu harus diisi oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum yang jujur. Dan dari bunyi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berarti bahwa kedaulatan yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 adalah kedaulatan rakyat. Dalam negara modern sekarang kedaulatan rakyat itu dilaksanakan oleh suatu badan.Di Indonesia badan yang melaksanakan kedaulatan rakyat itu adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut MPR). Pengisian keanggotaan MPR dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui pemelihan umum yaitu untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan dengan penunjukan untuk utusan golongan dan dengan penunjukan berdasarkan suatu hasil pemilihan umumuntuk utusan daerah.

Pelaksanaan dari Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan dalam:

1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD.

2) Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerahdan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

24

(44)

8

Dari kedua undang-undang tersebut dapat dipahami, bahwa cara yang dipakai untuk menentukan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan dengan pemilihan umum. Sedangkan susunan keanggotaannya merupakan anggota yang dipilih melalui pemilihan umum, yang jumlah seluruhnya ditetapkan 560 orang yang dipilih melalui pemilihan umum.Jadi, anggota DPR ini seluruhnya dipilih melalui mekanisme pemilihan umum dan setiap calonnya berasal dari partai-partai politik.

Hal tersebut berbeda dengan model pengisian keanggotaan DPR pra-amandemen UUD 1945 yang pada saat itu keanggotaannya terdiri atas anggota partai politik hasil pemilihan umum dan anggota ABRI yang diangkat.25 Pengisian keanggotaan DPR pra-amandemen UUD 1945 dilakukan dengan pemilihan umum dan dengan penunjukan atau pengangkatan, sedangkan susunan keanggotaannya merupakan gabungan antara anggota-anggota yang dipilih dan diangkat, yang jumlah seluruhnya ditetapkan 460 orang terdiri dari 360 orang yang dipilih melalui pemilihan umum dan 100 orang yang diangkat.

Dalam pemerintahan Islam mekanisme pengisian anggota Ahl Halli Wa al-‘Aqdi dilakukan melalui beberapa cara yaitu :

a. Pemilihan umum yang dilakukan secara berkala. Dalam pemilu ini, anggota masyarakat yang telah memenuhi persyaratan, memilih anggota Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi sesuai dengan pilihannya.

b. Pemilihan anggota Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi melalui seleksi dalam masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat menilai orang-orang yang

25

(45)

9

terpandang, memiliki kemampuan dan memiliki perhatian yang besar untuk kepentingan umat. Merekalah yang kemudian dipilih untuk menjadi anggota Ahl al-Halli wa al-’Aqdi.

c. Pemilihan anggota Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi melalui pengangkatan langsung dari Khalifah.26

Mengenai keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), undang-undang telah mengaturnya lebih jelas dan terperinci. Pasal 76 ayat (1) sampai dengan ayat (6) UU No. 17 tahun 2014 menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 76

1) Anggota DPR berjumlah 560 (lima ratus enam puluh) orang. 2) Keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan Presiden. 3) Anggota DPR berdomisili I ibu kota negara Republik Indonesia 4) Masa jabatan anggota DPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada

saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.

5) Setiap anggota, kecuali pimpinan MPR dan pimpinan DPR, harus menjadi anggota salah satu komisi.

6) Setiap anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat merangkap sebagai anggota salah satu alat kelengkapan lainnya yang bersifat tetap, kecuali sebagai Badan Musyawarah.

Anggota Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi adalah para ulama, para ahli dan tokoh yang dianggap mumpuni.Tidak semua umat memenuhi kriteria sebagai anggota Ahl al-Halli wa al-’Aqdi. Al-Mawardi merumuskan syarat-syarat legal yang harus dimiliki oleh Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi yaitu :

a. Adil dengan segala syarat-syaratnya.

b. Berilmu yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi Khalifah sesuai dengan kriteria-kriteria yang legal.

c. Memiliki wawasan dan sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih siapa yang paling tepat dan paling efektif menjadi

26

(46)

10

Khalifah, serta paling ahli dalam mengelola semua kepentingan demi kemaslahatan rakyat.27

3. Kedudukan dan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi mempunyai kedudukan yang penting dalam pemerintahan Islam. Antara khalifah (setara Presiden di Indonesia) dan Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi bekerja sama dalam menyelenggarakan pemerintahan yang baik demi kemaslahatan umat. Kedudukan Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi

dalam pemerintahan adalah sebagai wakil rakyat yang salah satu tugasnya adalah memilih Khalifah dan mengawal Khalifah menuju kemaslahatan umat.28Jadi kedudukan Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi dalam pemerintahan adalah sebuah lembaga yang mempunyai tugas dan wewenang sendiri tanpa intervensi dari Khalifah.

Di Indonesia Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara,29 yang memiliki fungsi antara lain: Pertama, fungsi legislasi30 yaitu fungsi untuk membentuk undang-undang yang dibahas dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Kedua, fungsi anggaran31 yaitu fungsi untuk menyusun

27

Imam Al-Mawardi,al-Ahkam al-Sulthaniyyah, 3.

28

Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, 67.

29

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Kencana, 2011), 193. Lihat juga, Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945.

30

Dalam melaksanakan fungsi ini meskipun mekanisme penyusunan dan pembahasan melalui kelompok kerja atau panitia kerja, namun secara individual setiap anggota Dewan sudah seharusnya memiliki kemampuan Legal Drafting, atau minimal memiliki pengetahuan tentang hukum dan tata cara penyusunan perundang-undangan. Anggota dewan harus memiliki pengetahuan bidang teknis, dimana mereka memilih Komisi yang menjadi fokus artikulasi dan agregasinya. Agar suapaya anggota Dewan mampu menjalankan fungsi legislasi dengan baik, maka setiap dewan perlu dibantu oleh minimal 4 (empat) staf ahli, yaitu ahli Legal Drafting, ahli bidang teknis, analis kebijakan publik, dan ahli bahasa.

31

(47)

11

dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) bersama presiden dengan memerhatikan pertimbangan DPD.Ketiga, fungsi pengawasan32 yaitu fungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UUD 1945, undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.33Atau lebih jelasnya, fungsi pengawasan adalah fungsi yang dijalankan oleh parlemen (lembaga perwakilan rakyat) untuk mengawasi ekekutif agar berfungsi menurut undang-undang yang dibentuk oleh parlemen.34

Fungsi legislasi atau pengaturan merupakan fungsi pertama lembaga perwakilan rakyat.Fungsi pengaturan (regelende functie) ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi. Karena itu, kewenangan ini utamanya hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan atau oleh norma hokum tersebut. Oleh karena cabang kekuasaan yang dianggap berhak mengatur demikian itu pada dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyat, maka peraturan yang paling tinggi dibawah undang-undang dasar harus dibuat dan ditetapkan oleh parlemen dengan persetujuan bersama dengan eksekutif.35 Itu sebabnya, dalam Pasal 20 Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 ditentukan bahwa:

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang

(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

32

Mekanisme fungsi ini dijalankan melalui berbagai alat kelengkapan DPR.Seperti melalu dengar pendapat yang dilakukan secara berkala dan incidental, kunjungan kerja pada saat reses dan lain-lain.

33

Ibid. Lihat juga UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 Pasal 69-70

34

Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 151

35

(48)

12

Pada pokoknya, fungsi legislatif itu menyangkut empat bentuk kegiatan sebagai berikut:36

1) Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation) 2) Pembahasan rancangan undang-undang (law making process) 3) Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law

enactment approval)

4) Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding documents).

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan, fungsi legislasi ini biasanya memang dianggap yang paling penting. Sejak dulu lembaga parlemen atau lembaga perwakilan biasa dibedakan dalam tiga fungsi, yaitu: (a) fungsi legislasi, (b) fungsi pengawasan, dan (c) fungsi anggaran. Di Indonesia, fungsi legislasilah yang dianggap utama, sedangkan f

Referensi

Dokumen terkait

Bacalah setiap pernyataan dengan cermat kemudian Anda diminta memilih satu (1) dari empat (4) jawaban dengan cara memberi tanda silang (X) pada kolom yang

kelembaban (%) yang sama menggunakan Soil Tester Lutron Dari hasil pengukuran diperoleh data hasil kalibrasi menggunakan Soil Tester Lutron dan kurva yang

Two tier test memiliki dua keuntungan, pertama two tier test dapat menurunkan kesalahan pengukuran pemahaman siswa karena pada one tier dengan empat atau lima

Wanprestasi ini tidaklah bisa dianggap selesai begitu saja dikarenakan sudah dibuatnya polis asuransi yang sudah disepakai oleh kedua belah pihak.Wanprestasi ini

1) Metoda penyampaian dan cara pembukaan dokumen penawaran harus mengikuti ketentuan yang dipersyaratkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa. 2) Metoda penyampaian

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada 5 desa yang telah diambil sampelnya, ditemukan 9 jenis parasit yang menginfeksi ternak Kerbau di kecamatan Praya Barat dengan

Sebuah atribut relasi disatukan dalam sebuah kotak bersama entitas jika hubungan yang terjadi pada diagram ER 1:M (relasi bersatu dengan cardinality M ) atau

AJBS menyangkut antara lain: masalah sumber daya manusia, keamanan fisik dan lingkungan, operasional sistem informasi, kontrol akses, dan kejadian-kejadian yang