• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB I"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Etnis Tionghoa merupakan suku yang berasal dari dataran Tiongkok yang merantau dan mengadu nasib di Indonesia. Mereka bukan seperti suku lainnya di Indonesia yang nenek moyangnya memang berasal dari tanah wilayah Indonesia. Etnis Tionghoa datang ke Indonesia dengan tetap memegang dan mempertahankan nilai serta kebudayaan leluhurnya.

Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, Belanda mengusahakan keterpisahan masyarakat Tionghoa dan penduduk Pribumi yang disebut ‘Divide and Rule’ (Suryadinata, 2004), dengan adanya perbedaan status hukum dan kedudukan ekonomi yang diberikan pemerintah Belanda kepada etnis Tionghoa. Hal ini disebabkan oleh adanya kekhawatiran jikalau masyarakat Tionghoa bersatu dengan masyarakat Pribumi, sebab jika mereka bersatu mereka akan memiliki kekuatan untuk menentang penjajahan Belanda di Indonesia

(2)

permusuhan secara langsung maupun tidak langsung antara masyarakat pribumi dengan etnis Tionghoa sehingga tidak adanya persatuan seperti yang diinginkan oleh kolonial Belanda. Penyebab lainnya adalah etnis Tionghoa merupakan suku yang berasal dari negara Tiongkok yang kemudian tinggal dan sepertinya merebut hak masyarakat pribumi di Indonesia yang bukan tanah leluhur mereka.

Adanya rasa iri dan curiga yang ada pada masyarakat Indonesia pada umumnya inilah yang membuat posisi etnis Tionghoa rentan tidak aman setiap ada pergolakkan politik di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka dan pemerintahan dipegang oleh Soekarno, terjadi pergolakkan politik dengan tergulingnya pemerintahan Soekarno.

Masa peralihan dari pemerintahan Soekarno ke Soeharto diwarnai oleh kerusuhan Anti-Tionghoa.Kampanye Anti-Tionghoa dimulai dengan mempropagandakan bahwa mantan perdana menteri Djuanda meninggal setelah meneguk Anggur Tiongkok beracun. Propaganda lainnya yang menyudutkan Etnis Tionghoa adalah dengan menyebarkan bahwa Etnis Tionghoa sebagai antek Komunis (Tiongkok) yang akan menyebarluaskan paham komunis di Indonesia dan dianggap sebagai kepanjangan tangan pemerintahan RRC. Media massa dalam hal ini surat kabar memegang peranan penting dalam melakukan konstruksi pencitraan pada etnis Tionghoa sebagai propaganda yang disebarluaskan dalam harian suara Islam, sehingga menyulut kemarahan rakyat khususnya umat muslim diliputi oleh kekhawatiran yang mendalam dikalangan etnis Tionghoa. Toko-toko milik etnis Tionghoa banyak yang ditutup, kejadian ini memakan jumlah korban yang tidak sedikit (Setiono ,2002; Hal. 951) .

(3)

mengagung-agungkan pemerintah sehingga bentuk pemberitaannya lebih menekankan pada realitas psikologis (pendapat atau pandangan orang) bukan realitas sosiologis (fakta dan lapangan). Hal ini dikarenakan pers menyadari bahwa fakta dari lapangan banyak yang harus disembunyikan bila mereka tidak mau berurusan dengan pihak penguasa (Mulyana, 2008:hal. 103).

Stasiun televisi pada saat itu hanyalah TVRI yang merupakan stasiun televisi pemerintah. TVRI sebagai televisi ideologis pemerintah dijadikan alat propaganda dengan menayangkan Film G30S / PKI yang selalu ditayangkan wajib setiap tanggal 30 September bagi penduduk Indonesia. Film berdurasi 220 menit ini menceritakan kembali kejadian sejarah yakni tanggal 30 September hingga 5 Oktober 1965, film ini diarahkan untuk membenarkan langkah Jenderal Soeharto menggulingkan Presiden Sukarno dari kekuasaannya serta menghancurkan PKI. Pemutaran film ini yang terus mengkonstruksikan betapa tepat dan benarnya tindakan yang dilakukan Soeharto memberantas PKI, mengukuhkan terus betapa etnis Tionghoa merupakan golongan yang membahayakan dan bersekongkol sebagai antek-antek PKI. Sementara itu berita televisi dan surat kabar penuh dengan istilah dan julukkan yang mengukuhkan rezim orde baru.

Pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan asimilasi atau pembauran lengkap terhadap keturunan Tionghoa dengan adanya kebijakan perubahan nama, pelarangan mengamalkan perayaan imlek, ritual agama dan adat istiadat didepan umum, pelarangan untuk mendirikan dan memperluas dan memperbarui klenteng, serta pelarangan penerbitan , pemasangan tulisan atau iklan yang beraksara dan yang menggunakan bahasa mandarin serta pembelajaran bahasa mandarin (Setiawan,Yohanes,2011).

(4)

yang memaksa etnis Tionghoa menghilangkan kebudayaan mereka telah mengasingkan golongan ini, karena hal tersebut mengidentifikasikan mereka sebagai bagian yang terpisah dari masyarakat Indonesia secara keseluruhan, sehingga terciptanya perasaan tertindas. Selain itu dengan adanya tekanan dalam bentuk penindasan dan pengasingan yang diberlakukan oleh pemerintah, banyak generasi etnis Tionghoa yang pada akhirnya tidak memahami budaya serta bahasa etnis mereka sendiri, sekalipun kebijakan yang dibuat adalah bentuk pelarangan di depan umum, namun bentuk 'pengasingan' pemerintah yang terlihat ilegal di mata masyarakat Indonesia memberikan tekanan terhadap keturunan Tionghoa dalam membudidayakan budaya dan bahasa suku mereka terhadap generasi selanjutnya.

Dari pengalaman sejarah yang ada, dapat dilihat pencitraan yang dibangun oleh pemerintah melalui surat kabar, televisi serta kebijakan dan undang yang diedarkan melalui surat kepada instansi kependudukan maupun pendidikan sebagai media bagi pemerintah untuk mendiskriminasi dan menekan etnis Tionghoa, bahkan media dapat dijadikan alat propaganda politik pemerintah untuk mengkambinghitamkan etnis Tionghoa untuk dijadikan sasaran amukan massa.

Menjelang jatuhnya rezim orde baru, terjadi pergolakkan politik di Indonesia, ada satu bentuk kekecewaan dari masyarakat terhadap orde baru yang dinilai seamakin menyengsarakan masyarakat, terutama pada kelambanan pemerintah menangani krisis moneter. Terjadi banyak demonstrasi yang diprakarsai oleh mahasiswa dari segala penjuru kota dan daerah. kondisi yang semakin panas seperti itu ada bentuk provokasi sehingga masyarakat (massa) bertindak semakin liar dengan mulai menjarah, melakukan kejahatan, yang lagi-lagi etnis Tionghoa lah yang menjadi sasaran empuk amukan massa.

(5)

setiap rumah, toko, dan perkantoran. Namun setelah tergulingnya pemerintahan Soeharto dan memasuki era reformasi, banyak buku-buku yang mengangkat topik politik kerusuhan Mei’98 serta bentuk penganiayaan kekerasan serta seksual yang dialami oleh etnis Tionghoa. Hal ini juga terbukti dari data yang diperoleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada tanggal 23 Juli 1998. Tim Gabungan ini bekerja dalam rangka menemukan dan mengungkap fakta, pelaku dan latar belakang peristiwa 13-15 Mei. 1998. TGPF terdiri dari unsur-unsur pemerintah, Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM), LSM, dan organisasi kemasyarakatan lainnya.1

Di lain sisi, dengan berakhirnya rezim orde baru, Indonesia memasuki orde reformasi. Kebebasan berpendapat serta hak-hak warga negara dijunjung. Seiring dengan itu, maka kebijakan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa dicabut. Kendati demikian permasalahan yang dahulu dengan adanya rasa diasingkan dan didiskriminasi tidak semudah itu dapat dihilangkan, begitu juga dengan kemelut adanya jurang pemisah yang merujuk pada sikap permusuhan secara langsung maupun tidak langsung diantara etnis Tionghoa dengan Pribumi.

Seiring dengan itu, berakhirnya orde baru juga membuka kesempatan bagi pers dan media massa untuk lebih bebas dalam berpendapat, berkreasi serta bersikap kritis. Kebebasan di Indonesia dalam era reformasi ditandai dengan lahirnya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dengan adanya UU Pers tersebut, setiap orang boleh menerbitkan media massa tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah seperti sebelumnya. Pers dalam era reformasi tidak perlu takut kehilangan ijin penerbitan jika mengkritik pejabat, baik sipil maupun militer.

Dengan UU Pers diharapkan media massa di Indonesia dapat menjadi salah satu di antara empat pilar demokrasi seperti yang dikatakan oleh Fred S Siebert (1963) yang menyatakan pers sebagai pilar keempat demokrasi,

1

(6)

selain eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini mengisyaratkan pentingnya keikutsertaan pers dalam melakukan kontrol atas tiga pilar kekuasaan tersebut.2 Dikukuhkan lagi dengan pernyataan Agner Fog bahwa media dihajatkan (lahir) sebagai penyangga demokrasi. Media menjadi penyangga penting demokrasi, sebab media menyajikan informasi hiruk-pikuk bernegara. Namun di lain pihak, media modern turut serta menyumbangkan sejumlah solusi atas berbagai problemantika bangsa itu.3

Melihat perjalanan sejarah bagaimana pihak penguasa mengkonstruksikan posisi etnis Tionghoa dari masa kolonial Belanda sampai pada masa pemerintahan Negara Indonesia, yang mengakibatkan adanya permasalahan yang terus melekat sampai sekarang, dimana etnis Tionghoa merasa didiskriminasi, diasingkan, tidak aman dan permasalahan adanya rasa permusuhan dan saling curiga antara masyarakat Indonesia dengan etnis Tionghoa. Permasalahan-permasalahan inilah yang merupakan hasil dari konstruksi yang dibangun oleh pihak penguasa.

Masuknya era demokrasi modern ini media yang merupakan pilar ke empat pada suatu negara memiliki kekuasaan dalam mengkonstruksi dan memberikan solusi pada permasalahan negara yang ada. Strategi pengenalan, penerimaan dan perdamaian haruslah diusung agar tidak adanya lagi kejadian kerusuhan rasis yang meminggirkan serta menghegemoni etnis Tionghoa. Deddy Mulyana (2008) mengkritisi dan mengungkapkan potensi TV publik mampu menjadi jembatan bagi kesadaran masyarakat untuk dapat bersolidaritas dan menghargai suku minoritas. TV publik dapat mempromosikan pengetahuan, kesadaran dan empati antarbudaya, menyoroti keragaman budaya Indonesia dan pentingnya saling pengertian antarbudaya. TV publik dapat menayangkan acara-acara yang melukiskan gaya hidup berbagai kelompok suku atau ras.

2

Siebert, Fred S. , 1963; Four Theories of the Press dalam (Narwaya,2006) 3

(7)

Salah satu stasiun televisi nasional yakni Metro TV yang berdiri

pada tanggal 25 November 2000 menyajikan satu program berita

dalam bahasa mandarin yang mengangkat sisi kehidupan etnis

Tionghoa secara eksklusif. Metro xin wen pertama kali disiarkan pada

tanggal 2 Desember 2000, dan sekarang ini metro xin wen pada hari

Senin sampai dengan Jumat hadir dalam rangkaian metro wide shot

yang berdurasi 4 jam dari pukul 13.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB,

yang dibawakan oleh tiga presenter yang salah satunya merupakan

presenter metro xin wen. Metro wide shot menampilkan berbagai

berita dari VOA, talk show dalam berbagai topik berita dalam negeri

dengan menghadirkan narasumber, laporan arus lalu lintas, olahraga

termasuk prgram berita mandarin xin wen, kemudian hari Sabtu dan

hari Minggu metro xin wen hadir dalam program metro xin wen

weekend.

Metro tv sebagai media yang memiliki kekuasaan sebagai pilar ke

empat suatu negara membangun pencitraan kepada khalayak luas baik

itu kepada etnis Tionghoa itu sendiri maupun kepada masyarakat

Indonesia secara luas melalui program berita metro xin wen bahwa

etnis Tionghoa merupakan bagian dari bangsa Indonesia.

(8)

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana wacana pada pemberitaan Metro Xin Wen mengenai citra etnis Tionghoa merupakan bagian dari Bangsa Indonesia didiskusikan pada konteks masyarakat Indonesia dengan menggunakan analisis wacana kritis?

1.3. Tujuan

Menjelaskan diskusi wacana pada pemberitaan Metro Xin Wen mengenai citra etnis Tionghoa merupakan bagian dari Bangsa Indonesia pada konteks masyarakat Indonesia dengan menggunakan analisis wacana kritis.

1.4. Manfaat

1.4.1. Manfaat Teoritis

Dari hasil yang diperoleh dapat menjelaskan bagaimana suatu media memiliki kekuasaaan dalam melakukan konstruksi dalam suatu pemberitaan, serta untuk menambah literatur bagi perpustakaan dan dapat memberikan informasi tambahan bagi mahasiswa yang sedang menempuh studi di Universitas Kristen Satya Wacana.

1.4.2. Manfaat Praktis

(9)

1.5. Kerangka Pikir

Gambar 1.5 Ker angka Pikir PENGUASA/ BELANDA

CHANNEL/ M EDIA

RAKYAT

CITRA-> Et nis Tionghoa kelas menengah dan pribumi kelas

yang t er hegemoni PESAN

NEGARA

M EDIA

RAKYAT

CITRA-> Et nis Tionghoa kelas sosial yang t erhegemoni,dan

t er diskriminasi PESAN

M ETRO TV/ M EDIA

XIN WEN

KHALAYAK

CITRA-> Et nis Tionghoa

merupakan bagian dari Bangsa Indonesia

[image:9.612.101.511.115.600.2]

Gambar

Gambar 1.5 Kerangka Pikir

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menarik diteliti , salah satu sebabnya karena fenomena mental accounting mengakibatkan mahasiswa untuk cenderung boros dalam pengelolaan uang saku.. Pengumpulan data

Namun dengan keberadaan perempuan dalam iklan, muncul wacana yang menarik untuk diteliti, yang dikaji lewat posisi aktor, terutama perempuan diposisikan sebagai

Ini merupakan makna global/ umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita.. Ini merupakan struktur

Menarik untuk diteliti adalah berkaitan dengan bagaimana dinamika ekonomi masyarakat lokal, terhadap hadirnya pariwisata di daerah mereka.. Mereka adalah komunitas yang tidak dapat

Untuk mengukur kemiskinan Tionghoa Benteng secara kualitatif dalam penelitian ini, diajukan empat pertanyaan utama dalam wawancara dengan para informan, yaitu (1)

Secara langsung selalu dikaitkan dengan dunia bisnis, yakni keuntungan dalam berdagang atau berbisnis, tetapi dilihat dari filosofinya cuan memiliki arti untung

Perempuan di Indonesia dalam tayangan Kick Andy Metro TV edisi 8 April.. 2016

Mata Najwa adalah program in depth talkshow unggulan Metro TV yang dipandu oleh.. jurnalis senior Metro TV, Najwa Shihab (Wakil Pemimpin Redaksi