• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 312007008 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 312007008 BAB III"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Hasil penelitian

Bab III ini berisi hasil penelitian atau temuan data. Temuan ini sebagai jawaban rumusan dan tujuan penelitian dalam rangka untuk menjawab tujuan penelitian yaitu Mengetahui hak atas tanah adat di Indonesia dan pengakuan Negara hak atas tanah adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia dalam sistem hukum Indonesia. Temuan data pada bab ini akan berupa seperti apa pengaturan dan isi tentang Hukum Adat dalam Hukum Indonesia.

1. Pengakuan Negara terhadap hak atas tanah adat dan masyarakat adat 1). Berdasarkan UUD 1945

(2)

Pada aras pengaturan dapat dimengerti adanya pengakuan terhadap hukum adat dan masyarakat adat. Dari isi pasal peraturan terurai di atas dapatlah dikatakan ada pengakuan atas keberadaannya masyarakat hukum adat. Bukti bahwa adanya pengakuan tersebut terdapat dalam:... Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya (pasal 18 B UUD RI 1945),... Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya... sepanjang masih hidup... Dengan frase sepanjang masih hidup kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat tersebut diakui.

2). Berdasarkan UU no 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria.27

Hukum tanah nasional disusun berdasarkan Hukum Adat tentang tanah, yang dinyatakan dalam konsiderans / UUPA. Pernyataan mengenai hukum adat terdapat dalam:

a. Dalam penjelasan umum angka III (1) UUPA dinyatakan bahwa, ”Dengan

sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum dari rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka Hukum Agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan

(3)

masyarakat dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang feodal.”

b. Dalam pasal 5 dinyatakan bahwa: Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang-ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan–peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini (maksudnya: UUPA) dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersangkutan pada hukum agama. Dalam penjelasan pasal 5 dinyatakan bahwa: penegasan bahwa hukum adat dijadikan dasar dari Hukum Agraria yang baru. Selanjutnya lihat Penjelasan Umum III angka 1.

(4)

masyarakat sekarang ini belum dapat dihapuskan, diberi sifat sementara dan akan diatur (ayat 1 huruf h jo pasal5).

d. Pasal 56 dinyatakan bahwa: Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat.... sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan Undang-undang Pokok Agraria. e. Dalam pasal 58 menyatakan bahwa: Selama peraturan-peraturan

pelaksana undang-undang ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis mengenai bumi, air, kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak-hak atas tanah yang ada pada mulai berlakunya UU ini, tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang in serta diberi tafsiran yang sesuai dengan itu. Pasal ini tidak menyebutkan Hukum Adat secara langsung. Tetapi apa yang disebut peraturan yang tidak tertulis mencakup juga Hukum Adat.

3). Instruksi Presiden No.1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Bidang Ke agrarian dengan Bidang Kehutanan.28

Diatur perihal perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam hal pemegang HPH menguasai bidang tanah yang di dalamnya terdapat tanah dikuasai oleh penduduk atau masyarakat hukum adat dengan sesuatu hak

(5)

yang sah, maka hak itu harus dibebaskan terlebih dahulu oleh pemegang HPH dengan memberikan ganti rugi kepada pemegang hak tersebut untuk kemudian dimohonkan haknya kepada negara, dengan mengikuti tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan agraria yang berlaku.

4). Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

(6)

dengan mene-kankan pada realita akan adanya hubungan spiritualitas dari masyarakat-masyarakat adat dengan alam.

5). Hak Ulayat dalam UU no 5 tahun 1967 dengan UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.29

Menurut pernyataan UU pokok Kehutanan (UU no 5 tahun 1967) semua hutan dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara. Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat harus diakui, tetapi sepanjang menurut kenyataannya masih ada, sesuai dengan ketentuan pasal 3 UUPA, didalam pasal 17 ditentukan bahwa “pelaksanaan hak-hak masyarakat hukum adat dan anggota-anggotanya

serta perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan baik langsung

maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum,

sepanjang menurut kenyatannya masih ada; tidak boleh mengganggu tercapainya

tujuan-tujuan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini”. Dalam penjelasan

umumnya dinyatakan antara lain:”Didalam pasal 2 dipergunakan istilah “Hutan

Negara” untuk menyebut semua hutan yang bukan “Hutan Milik”. Dengan

demikian maka pengertian “Hutan Negara” itu mencakup pula hutan-hutan yang

baik berdasarkan peraturan perundangan maupun hukum adat dikuasai masyarakat hukum adat.

(7)

Pengaturan perihal masyarakat adat dalam hubungannya dengan hutan ulayatnya diatur dalam pasal 67, bahwa masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak:

a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan.

b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang; dan

c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Kemudian diatur kriteria mengenai pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat jika memang kenyataannya memenuhi unsur antara lain:

1. masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap)

2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya

3. ada wilayah hukum yang jelas

d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati,

(8)

6). Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat .30

Oleh karena meningkatnya masalah yang berkenaan dengan hak ulayat masyarakat hukum adat, maka diterbitkan peraturan ini, yang memberikan pengaturan sebagai berikut :

a. Pasal 1: bahwa Hak ulayat dan hak hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarkat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

b. Pasal 2: bahwa Hak Ulayat mengandung 2 unsur, yaitu :

- Unsur pertama adalah unsur hukum perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum).

(9)

- Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan dan penguasaan tanah ulayat tersebut. Peraturan ini menyebutkan tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur, yaitu :

a. Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

b. Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.

c. Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

7). Berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.31

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (UUHAM) memberikan pengakuan atas keberadaan masyarakat adat, dalam

(10)

hubungannya dengan hak-hak azasi manusia. Pasal 6 UUHAM berbunyi: Ayat (1) : “Dalam rangka penegakkan hak azasi manusia, perbedaan dan kebutuhan

dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,

masyarakat dan pemerintah.” Ayat (2): “Identitas budaya masyarakat hukum

adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan

zaman.” Dijelaskan lebih lanjut bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku

(11)

Dalam hubungannya dengan hak atas tanah, politik hukum atas tanah di Indonesia pada jaman kolonial memunculkan pluralisme status tanah, yaitu tanah negara, tanah adat dan tanah-tanah yang dimiliki oleh swasta. Apa yang seratus tahun yang lalu hanya dilihat sebagai masalah pertanahan biasa, sekarang terangkat sebagai masalah dalam wilayah hak asasi manusia. Di sinilah hubungan antara hak ulayat dan hak asasi manusia32. Hak ulayat dapat dimasukkan ke dalam kategori hak seperti hak atas pembangunan dan hak atas lingkungan yang bersih. Yang menjadi masalah penting disini adalah hak masyarakat adat atas tanah yang menjadi habitat hidupnya. Di belakang itu adalah kesadaran, bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari habitatnya atau ia menjadi ambruk. Jadi menjaga keutuhan hubungan antara manusia dan habitatnya masuk dalam agenda memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Tanah bagi manusia merupakan syarat penting bagi menjaga kelangsungan hidupnya, sebab tanah berarti makan, tinggal, membesarkan keluarga, memelihara warisan budaya, singkat kata: hidup. Masyarakat adat sangat bergantung pada tanah yang menjadi tempat tinggal yang merupakan bagian dari hak untuk hidup memelihara warisan budaya, singkat kata: hidup. Masyarakat adat sangat bergantung pada tanah yang menjadi tempat tinggal yang merupakan bagian dari hak untuk hidup.

32

Parlindungan, A.P., 1992, Beberapa Pelaksanaan Kegiatan Dari UUPA Bandung : Mandar

(12)

8). TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.33

Pasal 4 menyatakan : pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip :

 Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia

 Menghormati dan menjujung tinggi hak asasi manusia

 Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi

keanekaragaraman dalam unifikasi hukum

 Mensejaterahkan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber

daya manusia Indonesia.

 Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan

optimalisasi partisipasi rakyat.

 Mewujudkan keadilan termaksut kesejateraan jender dalam

penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam.

 Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal,

baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memerhatikan daya tampung dan daya dukung.

33 Maria SW, Sumarjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas,

(13)

 Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai

dengan kondisi sosial budaya setempat.

 Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan

dan antardaerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

 Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat

dan keagamaan budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.

 Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah

(pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat, dan individu

Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di

tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam.

9). Berdasarkan UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

(14)

budaya, serta tanah milik masyarakat adat.” Demikian hal yang sama pada subsektor Panas Bumi (Pasal 16 ayat (3) huruf a UU No 27 Tahun 2003).

10). Berdasarkan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam ketentuan UU tersebut, antara lain diatur bahwa masyarakat hukum adat sebagai satu kesatuan merupakan salah satu pihak yang dapat menjadi pemohon dalam persidangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b UU No 24 Tahun 2003. ”Pemohon adalah pihak yang

menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

 perorangan warga negara Indonesia;

 kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

 badan hukum publik atau privat; atau

 lembaga negara.

11). Berdasarkan UU no.4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral & batubara (UU Minerba). 34

Inkonsistensi UU Minerba jika dikaitkan dengan hak-hak Mahudat, antara lain:

(15)

a. Hak veto masyarakat hukum adat tidak diakui karena hanya memiliki 2 pilihan, yaitu ganti rugi sepihak atau memperkarakan ke pengadilan. Bahkan penduduk lokal beresiko dipidana setahun atau denda Rp 100 juta jika menghambat kegiatan pertambangan.

b. Kawasan lindung dan hutan adat yang diakui oleh masyarakat hukum adat akan terancam karena ahli fungsinya bisa dilaksanakan setelah ada izin dari pemerintah.

Sistem kontrak dan/atau perjanjian diganti dengan sistem perizinan. Selama ini pengusahaan pertambangan minerba memakai sistem kontrak yang banyak mengandung kelemahan. Dalam pasal 35 yang menyatakan bahwa, usaha pertambangan dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu Izin Usaha Pertambangan(IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus(IUPK). Dalam pasal selanjutnya pasal 36 dijelaskan bahwa IUP terdiri dari dua tahap, yaitu IUP eksplorasi yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. Sementara IUP operasi produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

Pemerintah tidak dapat mengabaikan pertentangan antara penerapan UU Minerba yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Mahudat, karena Mahudat ini keberadaan dan eksistensinya masih diakui dalam Konstitusi Republik Indonesia, pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, perubahan kedua yang berbunyi:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

(16)

sesuai dengan perkembangan dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang”.

Masyarakat adat adalah salah satu kelompok utama penduduk negeri ini, baik dari jumlah populasi, yang saat diperkirakan antara 50–70 juta orang, maupun nilai kerugian materiil dan spiritual atas penerapan politik pembangunan yang selama lebih dari tiga dawarsa terakhir. Dengan berbagai kebijakan dan produk hukum berupa UU Minerba yang dikeluarkan oleh pemerintah, Negara secara adil dan tidak demokratis telah mengambil alih hak asal usul, hak atas wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi dan adat istiadat, hak ekonomi, dan hak politik masyarakat adat.

(17)

2. Pengakuan Terhadap Hak Ulayat menurut Maria S.W.Sumarjono35

Pengakuan terhadap hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat (hak ulayat) diamanatkan dalam pasal 3 UUPA. Kriteria penentu tentang keberadaan hak ulayat terdiri dari tiga unsur, yakni: adanya masyarakat hukum adat tertentu, adanya hak ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup dan tempat mengambil keperluan hidup masyarakat hukum adat itu, dan adanya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat hukum adat itu (pasal2).

Penentu tentang keberadaan hak ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah (PemDa) dengan mengikutsertakan masyarakat hukum adat yang ada di daerah tersebut, pakar hukum adat, LSM, yang terkait dengan sumber daya alam.

Pengaturan lebih lanjut berkenaan dengan keberadaan hak ulayat itu diatur dengan Peraturan Daerah(PerDa). Sebelum diterbitnya Perda yang dimaksud, akan terdapat bidang-bidang tanah yang sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut UUPA atau sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum, atau perseorangan menurut ketentuandan tata cara yang berlaku. Dalam hal ini, pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat terhadap bidang-bidang tanah tersebut tidak dapat dilakukan lagi (Pasal 3).

Bidang-bidang tanah ulayat dimungkinkan penguasaannya oleh perseorangan baik warga maupun bukan warga masyarakat hukum adat dan badan hukum. Bila masyarakat hukum adat yang menguasai bidang tanah menurut

35 Maria S.W.Sumarjono,Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Imlementasi,Penerbit: Buku

(18)

hukum adat yang berlaku itu menghendaki, hak atas tanahnya dapat didaftar menurut ketentuan UUPA. Bagi instansi pemerintah, badan hukum, atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, penguasaan bidang tanah dengan hak atas tanah menurut ketentuan UUPA baru dapat diberikan setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.

Efektivitas pengaturan tentang pengakuan hak ulayat tergantung pada inisiatif Pemerintah Daerah untuk melakukan penelitian sebagai dasar penentuan keberadaan hak ulayat di daerah bersangkutan, baik ketika timbul permasalahan pada saat tanah hak ulayat tertentu diperlukan menunjang berbagai kegiatan pihak lain, yakni dalam rangka memperoleh informasi mengenai status tanah-tanah didaerah tersebut.

(19)

Pemberian bidang tanah hak ulayat oleh masyarakat hukum adat atau warganya dapat ditempuh dengan cara dilepaskan untuk selama-lamanya atau diberikan penggunaannya untuk jangka waktu tertentu. Dalam upaya mencapai kesepakatan, kompensasi yang diberikan kepada masyarakat hukum adat hendaknya mempertimbangkan hilangnya atau berkurangnya tanah dan sumber daya alam yang menjadi sumber penghidupan dan hilangnya pusat-pusat budaya dan religi masyarakat hukum adat tersebut. Manfaat yang diperoleh pihak luar tersebut hendaknya dapat bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Keberadaan hak ulayat dinyatakan dalam peta pendaftaran, tetapi terhadap tanah ulayat tidak diterbitkan sertifikat karena hak ulayat bukan objek pendaftaran tanah, disamping itu sifatnya yang dinamis memungkinkan terjadinya individualisasi secara ilmiah karena faktor sosial-ekonomis yang membawa pengaruh terhadap perubahan internal dikalangan masyarakat hukum adat sendiri.

(20)

B.Analisis

Bagaimana memahami pengaturan yang demikian maka dapat dilakukan analisis atau pemahaman sebagai berikut:

1. Pada aras pengaturan diakui keberadaannya terhadap hukum adat dan masyarakat adat. 36

Dari isi pasal-pasal peraturan terurai di atas dapatlah dikatakan ada pengakuan atas keberadaannya masyarakat hukum adat. Bukti bahwa adanya pengakuan tersebut terdapat dalam:... Negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya (pasal

18 B UUD RI 1945),... Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan

ruang angkasa ialah hukum adat (pasal 3 dan 5 UUPA),... Dengan sendirinya

Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum rakyat

banyak (yaitu hukum adat-penegasan oleh penulis - penjelasan umum III

angka....).

2. Adanya pembatasan yaitu sebagai berikut:

a. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya... sepanjang masih hidup...Dengan kata

sepanjang masih hidup kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat tersebut

diakui..kalimat ini merupakan suatu pembatasan bagi keberadaan masyarakat hukum adat tadi...Kata tersebut ada dalam UUD RI 1945. Tentu harus ada kriteria

36 Sri Harini Dwiyatmi,2011, edisi Oktober, Majalah Refleksi Hukum FH, jurnal Ilmu Hukum, hal

(21)

masyarakat adat dikatakan masih hidup itu mesti bagaimana. Hal ini akan nampak pada peraturan di bawah UUD RI 1945.

b.Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak hak yang serupa dengan itu dari masyarakat - masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga

sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasar kan atas

persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang Undang dan

Peraturan Peraturan lain yang lebih tinggi”(passl 3 UUPA). Dengan demikian

pembatasan terhadap keberadaan hukum adat dan masyarakat adat terjadi bila

ketentuan-ketentuannya berbeda, bertentangan dengan peraturan perundangan negara serta pertentangan dengan kepentingan negara. Kalimat tersebut bisa juga dimengerti apabila negara mempunyai suatu kegiatan atau program untuk kesejahteraan bangsa dan negara (kepentingan yang jauh lebih besar) maka hukum adat dan masyarakat adat harus menyesuaikan atau dengan kata lain kepentingan negara dan bangsa mesti didahulukan terlebih dahulu. Misalnya negara telah memberikan ijin Pengelolaan Hasil Hutan atau lebih dikenal HPH kepada suatu perusahaan dan mengenai wilayah masyarakat adat maka kepentingan bangsa dan negara harus didahulukan. Artinya masyarakat adat mesti merelakan wilayah adatnya dilepasakan untuk kegiatan Pengelolaan Hasil Hutan (HPH tadi)

(22)

peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang dan dengan

peraturan perundangan lainnya,..(psl 5).

Uraian ini memberi pengertian kepada kita semua bahwa hukum adat tepatnya konsepsi-konsepsi hukum adat dipergunakan untuk membangun hukum agraria nasional. Konsepsi-konsepsi dari hukum adat yang digunakan untuk membangun hukum agraria nasional adalah yang tidak bertentangan dengan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tujuan mensejahterakan bangsa Indonesia.

Pembatasan-pembatasan bagi berlakunya Hukum Adat dalam pasal-pasal dan penjelasannya tersebut tidak mengurangi pentingnya arti ketentuan pokok yang diletakkan dalam UUPA, bahwa hukum tanah nasional kita memakai hukum adat sebagai dasar dan sumber utama pembangunannya.

d. Bahwa masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak:... (psl 67 UUP Kehutanan no. 41 th 1999). Frase ini memberi pemahaman kepada kita semua bahwa maswyarakat hukum adat yang memang masih ada tetap mempunyai hak sebagaimana diatur dalam pasal 67 UUP Kehutanan no. 41 tahun 1999

(23)

hidup masih ada syarat yang harus dipenuhi yaitu harus mempunyai unsur-unsur sebagaimana di ataur oleh pasal 67 ini.

f. Diatur perihal perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam hal pemegang HPH menguasai bidang tanah yang di dalamnya terdapat tanah dikuasai oleh penduduk atau masyarakat hukum adat dengan sesuatu hak yang sah,..(InPres no 1 Tahun 1976). Frase: ....dikuasai....dengan sesuatu hak yang

sah. Seyogyanya bahkan seharusnya pembuatan ketentuan dalam INPRES ini juga

mengacu pada pasal 22 UUPA tersebut di atas. Jangan sampai pemilikan adat diperhadapmukakan dengan pemilikan secara tertulis. Karena pemilikan adat tidak akan pernah dapat dibuktikan dengan bukti-bukti tertulis. Bukti-bukti tertulis untuk membuktikan kepemilikan secara adat sama saja dengan praktek DOMEIN VERKLARING. Domein Verklaring adalah Domeinverklaring adalah asas hukum agraria di masa pemerintahan Hindia Belanda yang berprinsip “penguasaan tanah tanpa dibuktikan dengan bukti tertulis maka sebagai tanah negara”. Prinsip ini

(24)

karena persoalan bukti tertulis ini. Karena itu atas desakan Bank Dunia supaya investasi ke Indonesia makin deras harus dibuat kebijakan baru agar tanah-tanah Indonesia bisa segera didafatar karena terkendala sis-tem pembuktian terhadap pemilikan secara adat yang dipunyai oleh sebagian besar masyara-kat Indonesia dan sistem pembuktian yang digunakan oleh PP 10 Tahun 1961 tersebut. Hal ini dilakukan sejatinya untuk mengamankan investasi-investasi di Indonesia yang membuahkan tanah.

Jika sudut pandang yang digunakan dalam memaknai kata ....

dikuasai...dengan sesuatu hak yang sah , tidak sesuai dengan pasal 22 UUPA

tersebut maka ini betul-betul tidak hanya membatasi tetapi meniadakan masyarakat adat.

g.... Kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak dapat dilaksanakan pada...

tanah milik masyarakat adat (UU gas dan bumi)... Kalimat demikian sejatinya

(25)

dengan sesuatu bukti yang sah dan juga selama memenuhi unsur-unsur sebagaimana disebutkan oleh INPRES No.1 Tahun 1976....jika demikian betul

memang ada pembatasan.

h... masyarakat hukum adat sebagai satu kesatuan merupakan salah satu pihak yang dapat menjadi pemohon dalam persidangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana (UU MK No. 24 Th 2003).

Pengaturan dalam undang-undang MK ini memang juga mengakui adanya masyarakat adat di mana masyarakat adat dapat sebagai subyek atau pihak / pemohon dalam persidangan Mahkamah Konstitusi jika ada suatu pengaturan undang-undang yang merugikan masyarakat adat. Hal ini memang mudah dalam kata-kata sebab adalah hal yang butuh perjuangan besar suatu masyarakat adat akan menjadi subyek pemohon di Mahkamah Konstitusi melihat keberadaan masyarakat adat namun hal ini sekaligus sebagai tantangan bagi semua pihak yang memiliki visi dan misi terhadap keberadaan masyarakat adat dan sudah waktunya masyarakat adat melakukan gugatan terhadap undang-undang yang merugikan komunitasnya melalui prosedur hukum.

(26)

Kesatuan Republik Indonesia”, “Yang Diatur dalam Undang-Undang”. Yang

penjelasannya sebagai berikut:37

Unsur pertama harus dipenuhi yaitu dalam kata ”sepanjang masih hidup”. Kata menunjuk pada adanya kehidupan komunitas masyarakat adat diperlukan yang menunjuk adanya interaksi sosial dalam komunitas tersebut sehingga apabila kemudian antar anggo-ta masyarakat adat karena kondisi sosial ekonomi kemudian meninggalkan komunitasnya untuk mencari penghidupan baru menjadikan komunitas adat tidak lagi berjalan sekalipun teritori wilayah adat memang tidak berubah hal ini menjadikan tidak ada lagi kehidupan suatu komunitas. Memang pada kenyataannya masih banyak komunitas masyarakat adat yang masih eksis/hidup sehingga memang masih ada interaksi sosial yang mengikat komunitas tersebut dalam masyarakat adat tersebut. Dicontohkan Contohnya di daerah Banten, adanya masyarakat hukum adat Badui (Badui dalam) dengan pertalian darah yang kuat.

Unsur kedua dalam kalimat: “Sesuai dengan perkembangan masyarakat” bahwa ketentuan-ketentuan tradisional masyarakat adat, tidak boleh bertentangan dengan kemajuan masyarakat dewasa ini yang tidak dapat menghindarkan dirinya dari pengaruh global. Maksudnya perkembangan terkait dengan isu Hak Asasi Manusia yang bersifat universal. Antara lain soal penghormatan terhadap hak-hak perempuan, sebab ada kalanya terdapat hukum tradisional (adat) tidak memberikan hak yang sama kepada perempuan serta tidak memartabatkan perempuan. Misalnya, kebiasaan memperistri banyak perempuan dan menjadi

(27)

kebanggaan status sosialnya. Seharusnya dalam rangka penghormatan martabat perempuan yang memiliki hak asasi (Deklarasi Wina Tahun 1993) memperoleh kedudukan sedemikian rupa sesuai dengan harkat martabatnya sebagai manusia, tidak diperlakukan sebagai kekayaan property yang dapat untuk mendong-krak kedudukan sosialnya.

Unsur ketiga “Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Unsur ini semestinya dimiliki oleh setiap masyarakat hukum adat. Hukum yang diberlakukan dalam masyarakat tersebut seyogyanya benar-benar sebagai perwujudan dari kebiasaan-kebiasaan (tradisional) yang telah secara turun-temurun dilaksanakan, yang keberlakuannya tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia. Apabila hukum adat yang berlaku di masyarakat tertentu bertentangan dengan hukum yang berlaku secara nasional maka ini akan bermakna prinsip negara kesatuan Republik Indonesia terganggu sehingga hukum adat demikian tidak bisa berlaku.

(28)

maka masyarakat adat itu mempunyai beberapa hak untuk melakukan kegiatan-kegiatan terkait dengan hutan.

Pengaturan menurut Undang-undang Kehutanan yang baru ini lebih eksplisit perihal hak dan kewajiban masyarakat adat dari pada Undang-undang Kehutanan sebelumnya, namun memang ada yang hilang dan tidak lagi di atur dalam Undang-undang Kehutanan yang baru yaitu perihal: pembukaan hutan, pengembalaan ternak, pemburuan satwa liar dan pengambilan / pemungutan hasil hutan; dimasukannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat ke dalam pengertian hutan negara, tidaklah meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat yang bersangkutan serta anggota-anggotanya untuk mendapatkan manfaat dari hutan- hutan itu. Dengan tidak diaturnya lagi dalam Undang-undang Kehutanan yang baru bisa dimaknai bahwa kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan masyarakat adat dalam wilayah adatnya tidak lagi dibolehkan.

Pembatasan itu bisa jadi memang penting untuk penertiban oleh karena keperluan negara mendesak memerlukan kejelasan wilayah untuk investasi, namun rupanya keempat unsur tersebut di atas sebagai syarat adanya pengakuan masyarakat adat.

i.Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan adanya pertentangan terkait pengelolaan hutan adat yang diatur dalam Undang Undang No 41 Tahun 1999.

(29)

nasional", Pasal 5 ayat 1,2,3,4 terkait penetapan status hutan telah melanggar prinsip persamaan di depan hukum karena bertentangan dengan asas legalitas, predikbilitas, dan transparansi yang diatur dalam konstitusi. Demikian juga Pasal 67 ayat 1,2,3 yang mengatur keberadaan masyarakat adat yang melakukan kegiatan pengelolaan hutan adat. Sebagian isi pasal tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Artinya konstitusi menjamin prinsip pembatasan dan penguasaan hutan masyarakat adat.

3. Pergeseran secara sistimatis Hak-Hak Masyarakat Adat

Pendekatan pembangunan yang bersifat pasif dan seragam tidak membawa dampak positif bagi masyarakat adat, karena umumnya disain pembangunan dibuat berdasarkan aspirasi kelompok dominan (mainstream) dalam masyarakat. Sebagai satu kesatuan sosial, masyarakat adat masuk dalam kategori masyarakat yang tidak diuntungkan dalam struktur masyarakat. Ketika mereka berbeda dalam arti budaya, identitas, sistem ekonomi, bahkan sistem politik dari kelompok dominan lainnya dalam masyarakat.

(30)

memang masih jauh dalam pelaksanaannya di Indonesia. Ketika sebagian antropolog dan ekolog mengelompokkan mereka dalam kelompok pemburu-peramu, peladang berpindah (ulang-alik) dan petani menetap, maka ada kalangan lain (para Penstudi Hukum) yang mengelompokan mereka dari perspektif sosio-Yuridis ekologis. Pengelompokan ini bukanlah dimaksudkan untuk menyederhanakan keberagaman yang mereka miliki melainkan hanya untuk memudahkan kita untuk dapat memahami dan menghormati mereka, adapun pengelompokan tersebut adalah:

a. Kelompok pertama adalah, antara lain, kelompok Masyarakat Kanekes di Banten dan Masyarakat Kajang di Sulawesi Selatan yang menempatkan diri sebagai “pertapa-bumi” yang percaya bahwa mereka adalah kelompok masyarakat „terpilih‟ yang bertugas memelihara kelestarian bumi dengan berdoa dan hidup

prihatin. Pilihan hidup prihatin mereka dapat dilihat dari adat tentang bertani, berpakaian, pola makan mereka dll.

b. Kelompok kedua adalah, antara lain, Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Suku Naga yang juga cukup ketat dalam memelihara dan menjalankan adat tetapi masih membuka ruang cukup luas bagi adanya hubungan-hubungan „komersil‟ dengan dunia luar.

(31)

Masyarakat Penan di Kalimantan, Masyarakat Pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah, Masyarakat Dani dan Masyarakat Deponsoro di Papua Barat, Masyarakat Krui di Lampung dan Masyarakat Kei maupun Masyarakat Haruku di Maluku. Pada umumnya mereka memiliki sistim pengelolaan sumber daya alam yang luar biasa (menunjukkan tingginya ilmu pengetahuan mereka) dan dekat sekali dengan alam. Di Maluku dan Papua masyarakat adat yang tinggal di pulau-pulau kecil maupun di wilayah pesisir memiliki sistem „sasi‟ atau larangan memanen atau

mengambil dari alam untuk waktu tertentu. Sasi ikan lompa di Pulau Haruku sangat terkenal sebagai satu acara tahunan yang unik bagi masyarakat di Pulau Haruku dan Ambon (sebelum kerusuhan terjadi) yang menunjukkan salah satu bentuk kearifan tradisional dalam menjaga kelestarian lingkungan. Dengan ditetapkannya sasi atas spesies dan di wilayah tertentu oleh Kewang (semacam polisi adat di Maluku Tengah), maka siapapun tidak berhak untuk mengambil spesies tersebut. Ketentuan ini memungkinkan adanya pengembang-biakan dan membesarnya si ikan lompa, untuk kemudian di panen ketika sasi dibuka lagi. d. Kelompok keempat adalah mereka yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan sumber daya alam yang “asli” sebagai akibat dari penjajahan yang

(32)

untuk Masyarakat Punan dan Sama (Bajao) yang lebih cenderung hidup secara nomadik baik di hutan maupun di laut.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

755 Yohanes SMP Bunda Hati Kudus DKI Jakarta srt baptis 756 Giovanie Anggasta Yogg SMP Katolik RICCI II Banten lengkap 757 Agustinus Dimas Riyandi SMP YPPK Santu

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024) 8508081, Fax. Prodi Asal : Pendidikan

Pendekatan pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan penalaran, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan

Totalindo merupakan salah satu dari sedikit kontraktor swasta nasional yang telah memperoleh Sertifikat Badan Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi dengan kualifikasi Besar 2

Petir/kilat merupakan gejala listrik alami dalam atmosfer Bumi yang tidak dapat dicegah (Pabla, 1981 dan Hidayat, 1991) yang terjadi akibat lepasnya muatan listrik baik

[r]

Dari data yang di dapat pada Bagian Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Lampung diperoleh data yang mendapatkan SK Dekan tentang sanksi akademik pada sebelum