2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kelembagaan
Kelembagaan secara umum merupakan aturan formal (hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar dan lain-lain) serta informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama dan tren sosial) yang memfasilitasi kordinasi dan hubungan antar individu maupun kelompok (Kherallah dan Kirsten 2001). Kelembagaan merupakan aturan didalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi.
Kelembagaan memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Ostrom (1985), mengartikan kelembagaan sebagai aturan dan rambu – rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat. Penataan kelembagaan dapat ditentukan beberapa unsur yaitu: aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakkan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi. North (1990), mengartikan kelembagaan sebagai aturan main dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor – faktor ekonomi, sosial dan politik. Menurut Uphoff (1986), kelembagaan merupakan suatu himpunan atau tatanan norma – norma dan tingkah laku yang berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama.
Menurut Schmid dan Pakpahan (1989), kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur hubungan antar orang yang mendefinisihkan hak -hak mereka. Kelembagaan berhubungan dengan hak – hak orang lain, hak – hak istimewah yang diberikan, serta tanggung jawab yang mereka lakukan.
Kelembagaan juga dapat diartikan sebagai instrumen yang mengatur hubungan antar orang atau kelompok masyarakat melalui hak dan kewajiban dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya. Kelembagaan mempunyai peran penting dalam masyarakat untuk mengurangi ketidakpastian dengan menyusun struktur yang stabil bagi hubungan manusia. Kelembagaan merupakan gugus
kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktifitasnya.
2.1.1 Ciri – Ciri Kelembagaan
Suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga kompenon utama yaitu; (1) hak – hak kepemilikan (property rights) berupa hak atas benda, materi maupun non materi;
(2) batas yurisdiksi (jurisdictional boundary); dan (3) aturan representasi ( rules of representation) (Shaffer dan Schmid dalam Pakpahan 1989). Dengan demikian perubahan kelembagaan dicirikan oleh perubahan satu atau lebih unsur – unsur kelembagaan.
Hak – hak kepemilikan (property rights) mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi. Pernyataan terhadap hak milik memerlukan pengesahan dari masyarakat dimana ia berada. Implikasi dari hal tersebut adalah; (i) hak seseorang adalah kewajiban orang lain; (ii) hak yang dicerminkan oleh kepemilikan (owner ship) adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Property rights individu atas suatu asset terdiri atas hak atau kekuasaan untuk mengkonsumsi, mendapatkan dan melakukan hak – haknya atas asset (Barzel dalam Basuni 2003).
Batas yurisdiksi (jurisdictional boundary) menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu masyarakat. Konsep batas yurisdiksi berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna kedua – duanya sehingga mengandung makna bagaimana batas yurisdiksi berperan dalam mengatur lokasi sumberdaya. Perubahan batas yurisdiksi di pengaruhi oleh empat faktor antara lain:
1) Perasaan sebagai suatu masyarakat (sense of community). Perasaan sebagai suatu masyarakat menentukan siapa yang termasuk dalam masyarakat dan yang tidak. Hal ini berkaitan dengan konsep jarak sosial yang menentukan komitmen yang dimiliki oleh suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan;
2) Eksternalitas, merupakan dampak yang diterima pihak tertentu akibat tindakan pihak lain. Perubahan atas batas yurisdiksi akan merubah struktur eksternalitas yang akhirnya merubah siapa menanggung apa;
3) Homogenitas, berkaitan dengan preferensi masyarakat yang merefleksikan permintaan terhadap barang dan jasa; dan
4) Skala ekonomi, menunjukan situasi dimana biaya per satuan terus menurun apabila output di tingkatkan. Batas yurisdiksi yang sesuai akan menghasilkan ongkos per satuan yang lebih rendah di bandingkan dengan alternatif
batas yurisdiksi lainnya.
Aturan representasi (rules of representation) merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Proses pengambilan keputasan dalam organisasi, terdapat dua jenis ongkos yang mendasari keputusan yaitu; (i) ongkos membuat keputusan sebagai produk dari partisipasi dalam membuat keputusan; dan (ii) ongkos eksternal yang ditanggung oleh seseorang atau sebuah organisasi sebagai akibat keputusan organisasi tersebut. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Konsep ini menentukan jenis keputusan yang dibuat, sehingga aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya.
Menurut Gillin dan Gilin (1954) dalam Sugianto (2002), ciri-ciri umum suatu lembaga sosial yaitu:
1) Lembaga sosial merupakan tradisi tertulis dan tidak tertulis yang merumuskan tujuan, tata tertib dan lain-lain;
2) Lembaga sosial merupakan suatu pola- pola pemikiran dan perikelakuan yang terwujud melaui aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya;
3) Lembaga sosial merupakan suatu tingkatan kekekalan tertentu, umunya lama dan melalui proses yang panjang;
4) Setiap lembaga sosial memiliki satu atau beberapa tujuan;
5) Setiapa lembaga sosial mempunyai alat atau perlengkapan yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut; dan
6) Setiap lembaga sosial mempunyai lambang, simbol yang khas yang menggambarakan fungsi dan tujuan.
Secara empiris lembaga sosial (local) yang berkembang di masyarakat dapat bersifat formal dan informal. Ciri-ciri lembaga sosial formal yang bersifat formal yaitu terbentuk atas campur tangan pihak luar (pemerintah), ada dasar hukum
untuk membentuk lembaga secara legal, pengurus dipilih atas pertimbangan kebutuhan dan masa kepengurusannya jelas, struktur bersifat formal dan mudah dipengaruhi oleh pihak luar. Ciri-ciri lembaga yang bersifat informal adalah terbentuk atas kehendak masyarakat yang bersangkutan, manajemennya lemah, dinamika aktifitas tidak teratur, terbentuk atas norma dan nilai yang dikembangkan atas dasar trust, pengurus dipilih lembaga bersifat monoton, dan menolak campur tangan pihak luar (Sugianto 2002).
2.1.2 Tugas dan Wewenang Lembaga Adat
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat,bahwa tugas lembaga adat yaitu:
1) Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada pemerintah serta menyelesaikan perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat;
2) Memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah serta memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan, pelaksanaan pembagunan dan pembinaan masyarakat; dan
3) Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif antara kepala adat/pemangku adat/tetua adat dan pimpinan atau pemuka adat dengan aparat pemerintah di daerah.
Hak dan wewenang lembaga adat tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.3 Tahun 1997, Pasal 6 angka 1 tentang hak dan wewenang lembaga adat yaitu:
1) Mewakili masyarakat adat ke luar yakni dalam hal menyangkut kepentingan dan mempengaruhi adat;
2) Mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah hidup yang lebih layak dan lebih baik; dan
3) Menyelesaikan perselisihan menyangkut perkara adat istiadat dan kebiasaan- kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.2 Hukum Adat
Menurut Wignjodipoero (1967) adat adalah pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke-abad dan adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat bahwa kaidah-kaidah adat berupa kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Sedangkan Soekanto (2001) berpendapat bahwa hukum adat merupakan bagian dari adat istiadat, maka dapat dikatakan bahwa hukum adat merupakan konkritisasi daripada kesadaran hukum, khusus pada masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhanan.
Wignjodipoero (1967) mengutip pengertian tentang hukum adat dari beberapa pakar hukum, yaitu:
1) Prof. Dr. Supomo, SH: Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di alam peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh orang yang berwajib, tapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan tersebut mempunyai kekuatan hokum;
2) Dr. Sukanto: Hukum adat sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sangksi, dan mempunyai akibat hukum;
3) Mr. J.H.P. Bellefroid: Hukum adat sebagai peraturan hidup meskipun tidak diundangkan oleh penguasa tetapi tetapi masih dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peratutan tersebut berlaku sebagai hukum;
4) Mr. B. Terhaar Bzn: Hukum adat sebagai keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa, serta pengaruh dan dalam pelaksanaannya berlaku serta-merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati. Fungsionaris meliputi : Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif).
Hukum adat memiliki dua unsur yaitu; (1) unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat; dan (2) unsur psikologis, bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, artinya adat mempunyai kekuatan hukum (Wignjodipoero 1967). Oleh karena itu, unsur inilah yang menghubungkan
adanya kewajiban hukum (opinioyuris necessitates). Wignjodipoero (1967), menjelaskan bahwa didalam kehidupan masyarakat hukum adat, umumnya terdapat tiga bentuk hukum adat, yaitu:
1) Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum) merupakan bagian yang terbesar;
2) Hukum yang tertulis (jus scriptum) hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan;
3) Uraian dalam hukum secara tertulis lazimnya uraian ini adalah suatu hasil penelitian yang dibukukan.
Menurut Depatemen Kelautan dan Perikanan (2001) mengartikan hak ulayat sebagai kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil dari sumberdaya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya dan kehidupan yang timbul dari kehidupan secara lahiriah dan batiniah, terun-temurun, serta tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Hak ulayat laut (HUL) mempunyai variabel-variabel pokok dalam kajiannya, yaitu (Wahyono et al 2000):
1) Wilayah
Pengaturan di wilayah laut tidak terbatas pada pembatasan luas wilayah, tetapi juga ekslusivitas wilayah, sumberdaya laut, teknologi yang digunakan, tingkat eksploitasi dan batasan-batasan yang bersifat temporal;
2) Unit sosial pemilik hak (right holding unit)
Unit pemegang hak (right holding unit) beragam mulai dari sifatnya yang individual, kelompok, kekerabatan, komunitas desa hingga negara; dan
3) Legalitas (legality) beserta pelaksanaannya (enforcement)
Dasar hukum mengenai berlakunya hak ulayat laut berupa aturan tertulis dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan masyarakat (tidak menurut hukum formal), seperti sistem kepercayaan.
Sementara sebagai aturan lokal, hak ulayat laut dalam bahasa inggris yaitu see tenure merupakan seperangkat aturan atau praktik pengelolaan manajemen wilayah laut dan sumberdaya yang terkandung didalamnya.perangkat aturan hak
6 main types exist:
Secular leader Religious leader Right holder Community elders Elected committec Hilred administrators
S e c u l a r
l e a d e r R e l i g i o u s
l e a d e r R i g h t
h o l d e r C
ulayat laut ini menyangkut siapa yang memiliki hak atas suatu wilayah, jenis sumberdaya yang boleh ditangkap dan teknik mengeksploitasi sumberdaya yang diperbolehkan sesuai dengan sumberdaya yang ada diwilayah laut (Wahyono et al 2000). Dengan demikian, hak ulayat laut tidak hanya bermakna “hak bersama”, melainkan semua esensi pada “otonomi” dan “kedaulatan” dari persekutuan (politik) hidup yang bersangkutan atas suatu teritorial (wilayah) tertentu (Fauzi 2000). Prinsip-prinsip desain hak ulayat menurut Ruddle (1993), dapat dilihat pada (Gambar 1) berikut:
Gambar 1 Prinsip-prinsip desain hak ulayat
Prinsip-prinsip desain hak ulayat menurut Ruddle (1993), yaitu:
1) Otoritas atau kepemimpinan (authority or leadership); sistem manajemen sumberdaya alam berbasis masyarakat telah ada sebelumnya, memiliki fungsi kontrol dan kewenangan secara tradisional yang bervariasi sesuai dengan organisasi sosial;
Main kinds:
Primary (or birthright) Secondary
Exclusion Sharing Tranfer and loan
Nested (right within rights)
Main kinds are those to define:
Sea territory of community Eligibility of entrants Inter-community access Use behavior
4 main kinds:
Social Economic Physical Supernatural
Monitors Enforcers
DESIGN PRINCIPLES
Authority Leadership
Rights
Rules Monitoring
Accountability
& Enforcement Sanctions
2) Hak (rights); sistem manajemen pemanfaatan sumberdaya diatur berdasarkan hak milik atas pemanfaatan sumberda alam. Klaim terhadap sumberdaya dilindungi oleh praktek hukum adat. Hak-hak tersebut mendefinisihkan penggunaan yang sah dipandang secara eksklusif untuk menentukan siapa yang berhak atas wilayah dan sumberdaya tersebut;
3) Aturan (rules); menentukan bagaimana hak kepemilikan diatur dan tindakan yang diperlukan serta dilarang untuk memanfaatkan sumberdaya alam pada waktu tertentu;
4) Pemantauan (monitoring); pemantauan dilakukan untuk melihat tingkat kepatuhan masyarakat terhadap aturan yang ditetapkan dan menjatuhkan sanksi pada pelanggar; dan
5) Sanksi (sanction); sanksi diberikan kepada yang melanggar atau mengabaikan aturan lokal yang mengatur tentang pemanfaatan sumberdaya alam.
2.3 Sasi
2.3.1 Definisi sasi
Sasi merupakan bentuk aturan pengelolan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang telah dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Maluku. Sasi merupakan kearifan tradisional yang hadir dalam sosok peraturan adat yang mempertahankan nilai-nilai lama dalam menjaga kelestarian lingkungan yang sudah berkembang sejak abad XVII. Istilah sasi berasal dari kata sanksi (witness) mengandung pengertian tentang larangan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu tanpa izin dalam jangka waktu tertentu, yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Biley and Zerner 1992). Sedangkan menurut Kissya (1993) sasi adalah larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati.
Sasi sebenarnya tidak tergolong kepada katagori kata yang mempunyai watak larangan atau suruhan yang bersifat langgeng dan menetap, namun istilah tersebut hanya menekankan pada suatu larangan yang temporal (Fadlun 2006).
Dengan demikian sasi memiliki dimensi temporal dan lambang (atribut) yang bersama-sama membuat institusi sasi mengikat.
Menurut Pattinama dan Pattipelony (2003), sasi merupakan tradisi masyarakat yang memiliki nilai hukum yang substantif yaitu larangan untuk tidak
mengambil hasil laut maupun hasil hutan sampai pada waktu tertentu. Sasi dapat memiliki nilai hukum, karena memiliki norma dan aturan yang berhubungan dengan cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat yang memuat unsur etika dan norma. Nilai-nilai hukum yang substansial dalam sistem sasi sebagai inti dari hukum adat tersebut sebagai berikut; (a) penggunaan hak seseorang secara tepat menurut waktu yang ditentukan; (b) mencegah timbulnya sengketa antara sesama negeri; (c) pemeliharaan dan pelestarian alam demi peningkatan kesejahteraan bersama; (d) kewajiban untuk memanjakan hasil laut dan darat; dan (e) mengurangi timbulnya kejahatan berupa pencurian sumberdaya alam.
2.3.2 Sejarah sasi
Menurut sejarahnya sasi di Maluku telah ada sejak dahulu kala (sejak abad XVII) dan merupakan komitmen bersama baik oleh masyarakat maupun tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Hal ini didasarkan atas kesadaran bahwa tanpa lingkungan mereka tidak dapat hidup dengan layak, sehingga sasi harus dipertahankan dari generasi ke generasi berikutnya. Dalam pemeliharaan sumberdaya alam terdapat aturan-aturan yang berlaku baik secara tertulis maupun tidak tertulis, yang dikenal dengan “ Hukum Sasi”. Hukum sasi adalah suatu sistem hukum lokal yang berisikan larangan dan keharusan untuk mengambil potensi sumberdaya alam untuk jangka waktu tertentu (Pattinama dan Pattipelony 2003).
Menurut Wahyono (2000), masyarakat Maluku mempunyai kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam agar memberikan manfaat secara berkesinambungan (sustainable) bagi seluruh masyarakat sekitarnya. Semua kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam, baik darat maupun laut saling terkait yang diatur dalam hukum adat. Sasi diberlakukan karena sumberdaya alam di pulau-pulau kecil sangat terbatas, sementara kebutuhan anggota masyarakat terus meningkat. Jadi dapat dikatakan bahwa antara jumlah penduduk dengan ketersediaan sumberdaya alam tidak seimbang, sehingga lahirlah pemikiran bahwa sumberdaya alam yang terbatas tersebut harus dikelola secara arif dan bijaksana demi kepentingan bersama. Tujuan utama menata sasi adalah untuk menjaga keseimbangan antara alam, manusia dan dunia spiritual, dimana
pelanggaran atas pelaksanaan sasi akan memperoleh sanksi berdasarka dunia spiritual dan sanksi masyarakat (Lakollo 1988).
Ketentuan hukum adat tentang sasi memuat tiga hal. Pertama adalah sasi memuat unsur larangan memanfaatkan sumberdaya alam dalam jangka waktu untuk memberi kesempatam kepada flora dan fauna untuk memperbaharui dirinya, memelihara mutu dan memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut.
Kedua, ketentuan sasi tidak hanya mencakup lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial dan lingkungan buatan manusia. Ketiga, ketentuan sasi ini di tentukan oleh masyarakat pendiri dari bawah, atas prakarsa masyarakat sendiri (Kissya 1993).
Gambar 2 Latar Belakang Kearifan lokal (sasi)
Pelaksanaan sasi diawali oleh lembaga kewang yang merupakan lembaga adat yang terdiri atas perwakilan masing-masing soa. Lembaga adat dipimpin oleh seorang kepala kewang yang diangkat menurut warisan dari datuk-datuk berdasarkan keturunan. Para kewang inilah yang berkewajiban mengamankan peraturan-peraturan sasi, mengadakan rapat sasi dan menjatuhkan sanksi kepada masyarakat yang melanggar.
Pelaksanaan sasi dimulai dengan dilakukannya rapat kewang untuk menentukan sumberdaya alam yang akan disasi. Lewat rapat kewang ditetapkan sumberdaya atau wilayah yang tertutup dari kegiatan eksploitasi, hal ini disebut dengan istilah tutup sasi. Artinya, selama tutup sasi tak diperkenankan seorangpun untuk mengambil atau merusak habitat sumberdaya itu, sampai waktu yang kemudian diperbolehkan kembali (masa buka sasi). Hasil rapat kewang kemudian disampaikan kepada semua penduduk negeri, lengkap dengan peraturan dan sanksinya bagi yang melanggar. Hal ini selalu dilakukan untuk tetap mengingatkan masyarakat tentang budaya sasi dan setelah itu, tanda sasi
Kepercayaan spiritual
Perilaku masyarakat
Pertambahan penduduk
Kehidupan masyarakat yang teratur dan menjaga ketersedian sumberdaya
dipasang. Umumnya tanda tersebut berupa janur yang pemasangannya disesuaikan dengan jenis sumberdaya yang disasi (Pattinama dan Pattipelony 2003).
2.3.3 Peranan sasi
Peranan sasi adalah sebagai wadah pengamanan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, mendidik dan membentuk sikap serta perilaku masyarakat yang merupakan upaya untuk memelihara tata krama hidup bermasyarakat termasuk upaya pemerataan dan pembagian pendapatan dari sumberdaya alam kepada seluruh masyarakat. Oleh karena itu sasi mempunyai peran sebagai nilai budaya masyarakat, maka perlu menjaga kelestarian. Selain itu kelembagaan sasi juga memiliki peran untuk memberikan kesempatan kepada mahluk hidup (sumber daya alam) terntu untuk memperbaharui dirinya dan berkembang biak, memelihara mutu dan memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut Pattinama dan Patipelony 2003).
Batasan lain yang secara eksplisit yang memuat konsep pelestarian tentang keberadaan lembaga adat sasi adalah seperti yang dikemukakan oleh Kissya (1993) bahwa sasi pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk memelihara tata krama hidup bermasyarakat, termasuk upayah kearah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga atau penduduk setempat. Untuk itu keberadaan sasi sangat membantu masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya yang ada wilayah pesisir secara optimal agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir.
2.4 Pengelolaan Perikanan Tangkap 2.4.1 Definisi Perikanan Tangkap
Menurut Undang-undang No. 45 Tahun 2009 merupakan perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004 menyebutkan bahwa perikanan adalah semua kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan mulai dari pra-produksi, produksi, pengelolaan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Menurut Monintja (1989) menjelaskan bahwa komponen utama perikanan tangkap adalah unit penangkapan ikan, terdiri dari: (1) perahu atau kapal; (2) alat
tangkap; dan (3) nelayan. Menurut Diniah (2008) mengemukakan bahwa perikanan tangkap merupakan suatu kegiatan ekonomi dalam memanfaatkan sumberdaya alam, khususnya penangkapan dan pengumpulan berbagai jenis biota yang ada di lingkungan perairan. Dalam pelaksanaan kegiatan di bidang penangkapan, dihadapkan pada karakteristik khusus yang tidak di miliki oleh sistem eksploitasi sumberdaya pertanian lainnya. Beberapa karakteristik khusus tersebut yaitu: (1) sumberdaya pada umumnya tidak terlihat (invisible); (2) merupakan milik bersama (common property); (3) eksploitasisumberdaya memiliki resiko yang sangat tinggi (high risk); dan (4) produk sangat mudah rusak ( higly perishable).
Karakteristik - karakteristik tersebut memyebabkan sulitnya pemanfaatan sumberdaya ikan dibandingkan dengan sumberdaya lainnya. Perangkat ilmu perikanan sangat dibutuhkan untuk memungkinkan pemanfaatan sumberya tersebut meliputi aspek-aspek biologi, teknologi sosial, dan ekonomi (Monintja 1989).
2.4.2 Pengelolaan Perikanan
Pengelolaan perikanan berkaitan dengan tugas yang kompleks bertujuan untuk menjamin adanya hasil dari sumberdaya alam yang optimal bagi masyarakat di daerah dan negara yang diperoleh melaui pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Praktek open acces yang selama ini berjalan, banyak menimbulkan masalah yaitu kerusakan sumberdaya hayati laut, pencemaran, over-exploitation dan konflik antar nelayan. Hal ini diakibatkan ketidakpastian pemilikan atas sumberdaya, serta tidak ada batasan siapa, kapan, dimana, dan bagaimana kegiatan perikanan dilakukan (Satria 2001). Upaya untuk mengelola sumberdaya perikanan sangat penting untuk dilakukan dalam mengantisipasi terjadinya masalah-masalah, baik ekologi maupun sosial ekonomi di wilayah pesisir dan laut sangat penting untuk dilakukan.
Berdasarkan Undang – undang No. 45 Tahun 2009 perubahan atas Undang – undang No. 31 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang berintergrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementsi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan dibidang
perikanan yang dikelolah oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk kelangsungan produktivitas hayati dan tujuan yang telah ditetapkan. Pengelolaan sumberdaya perikanan untuk tiap masing-masing daerah berbeda, sehingga untuk membuat suatu kebijakan atau memilih model pengelolaaan sumberdaya perikanan harsu melihat kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat setempat. Artinya, setiap kebijakan yang akan ditetapkan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut tudak bias di generalisasi pada semua daerah. Hal ini dikarenakan heterogennya budaya masyarakat Indonesia, kondisi geografis dan karakteristik sumberdaya (Anggraini 2002).
1) Pengelolaan Sentralistis
Menurut Nikijuluw (2002), pengelolaan sentralistis (Government Centralized Management) adalah rezim pengelolaan sumberdaya dengan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan wewenang dalam memanfaatkan sumberdaya, sehingga pemerintah mempunyai hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur, hak ekslusif dan hak mengalihkan. Model pengelolaan sentralistis berlangsung sejak era orde lama hingga orde baru. Implikasi dari model ini adalah munculnya berbagai konflik yang sangat kompleks di masyarakat. Hal ini dikarenakan model ini bersifat top-down, sehingga menempatkan masyarakat nelayan sebagai objek sasaran kebijakan, akibatnya masyarakat kurang peduli terhadap kebijakan yang dibuat. Selain itu, model ini mengabaikan pluralisme hukum yang berlaku sudah lama di masyarakat, seperti hak ulayat laut yang ada di beberapa daerah masyarakat pesisir (Dahuri 1999).
Selain itu Fathullah (2000), mengemukakan bahwa akibat dari sentralistik aturan hukum dan pemonopolian aparat penegak hukum adalah terciptanya krisis kepercayaan terhadap hukum formal oleh masyarakat. Hal ini di karenakan sikap pemerintah pusat yang melupakan nilai dan harga diri masyarakat adat atau daerah. Selain itu, pembangkangan terhadap hukum formal di sebabkan oleh lemahnya penegakan hukum dan mahalnya biaya pengawasan dalam pelaksanaan suatu aturan hukum serta terjadinya praktek-praktek kolusi antara oknum aparat dengan nelayan dalam melakukan praktek penangkapan ikan secara illegal.
2) Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Pengelolaan perikanan berbasis masyarakat merupakan suatu proses pemberian wewenang, tanggungjawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanannya sendiri dengan memperhatikan kebutuhan, keinginan, tujuan dan aspirasinya (Nikijuluw 2000). Dengan model ini, masyarakat ikut bertanggung jawab dalam menjalankan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan karena masyarakat dilibatkan dalam pembuatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi. Partispasi masyarakat tersebut merupakan wujud kepentingan terhadap kelangsungan sumberdaya perianan sebagai mata pencaharian hidup sehari-hari (Satria 2002b).
Dengan demikian pengelolaan perikanan berbasis masyarakat lebih efektif dan efisien karena proses pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat lokal, sehingga dapat mengakomodir setiap aspirasi masyarakat serta pembuat kebijakan lebih memahami kondisi daerahnya (Satria 2002a). Kelemahan dari model ini adalah tidak mampu mengatasi masalah-masalah diluar komunitas, berlaku hanya pada daerah tertentu, sangat rentan terhadap perubahan-perubahan eksternal, sulit mencapai skala ekonomi tingginya biaya institusionalisasinya.
Pengelolaan perikanan berbasis masyarakat dapat dibentuk melalui (Nikijuluw 2002):
(1) Pemerintah beserta masyarakat mengakui praktek-praktek pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun dan merupakan adat atau budaya yang dianut selam ini;
(2) Pemerintah dan masyarakat kembali atau merevitalisasi adat dan budaya masyarakat dalam mengelola perikanan; dan
(3) Pemerintah memeberikan tanggungjawab dan wewenang sepenuhnya kepada masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.
3) Ko-Manajemen
Menurut Nikijuluw (2002), Ko-manajemen perikanan adalah rezim derivative yang dari rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbasis masyarakat (PSPBM) dan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah. Ko-manajemen perikanan dapat didefinisikan sebagai pembagian atau
pendistribusian tanggungjawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan.
Ditegaskan pula oleh Carter (1996) bahwa sesungguhnya konsep pengelolaan sumberdaya alam yang berakar pada masyarakat (CBM) memiliki beberapa dimensi positif yaitu (1) mampu mendorong pemerataan (equity) dalam pengelolaan sumberdaya alam; (2) mampu merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik; (3) mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada; (4) mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomi maupun teknis; (5) responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal; (6) mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen; dan (7) masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan. Pomeroy and Williams (1994) menyatakan bahwa penerapan Co-Management akan berbeda- beda dan tergantung pada kondisi spesifik lokasi, maka Co-management hendaknya tidak dipandang sebagai strategi tunggal untuk menyelesaikan seluruh problem dari pengelolaan perikanan atau sumberdaya. Tetapi lebih dipandang sebagai alternatif pengelolaan yang sesuai untuk situasi dan lokasi tertentu.
Beberapa kunci kesuksesan dari model Co-Management menurut (Pomeroy and Williams 1994) adalah sebagai berikut:
(1) Batas-batas wilayah yang jelas terdefinisi; Batas-batas fisik dari suatu kawasan yang akan dikelola harus dapat ditetapkan dan diketahui secara pasti oleh masyarakat. Dalam hal ini, peranan pemerintah daerah dalam menentukan zoning dan sekaligus melegalisasinya menjadi sangat penting.
Batas-batas wilayah tersebut harus berdasarkan pada sebuah ekosistem sehingga sumberdaya alam tersebut dapat lebih mudah untuk diamati dan dipahami;
(2) Kejelasan keanggotaan; Segenap pelaku atau rumahtangga masyarakat yang berhak memanfaatkan sumberdaya alam di sebuah kawasan dan berpartisipasi dalam pengelolaan daerah tersebut harus dapat diketahui dan didefinisikan dengan jelas. Jumlah rumahtangga tersebut tidak boleh terlalu banyak sehingga proses komunikasi dan musyawarah yang dilakukan menjadi lebih efektif;
(3) Keterikatan dalam kelompok; Kelompok masyarakat yang terlibat hendaknya tinggal secara tetap di dekat wilayah pengelolaan. Dalam konteks ini, maka kebersamaan masyarakat akan kelihatan baik dalam hal etnik, agama, persamaan alat penangkapan dan lain-lain;
(4) Manfaat harus lebih besar dari biaya; Setiap individu masyarakat di sebuah kawasan pengelolaan mempunyai harapan bahwa manfaat yang diperoleh dari partisipasi mereka dalam Co-Management akan lebih besar dibanding biaya yang dikeluarkan;
(5) Pengelolaan yang sederhana; Dalam model Co-Management, salah satu kunci kesuksesan adalah penerapan peraturan pengelolaan yang sederhana dan tidak birokratis. Proses monitoring dan penegakan hukum dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri;
(6) Legalisasi dari pengelolaan; Masyarakat lokal yang terlibat dalam pengelolaan membutuhkan pengakuan legal dari Pemerintah Daerah, sehingga hak dan kewajibannya dapat terdefinisikan dengan jelas dan secara hukum terlindungi;
(7) Kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat; Kunci sukses yang lain adalah adanya individu maupun sebuah kelompok inti yang bersedia melakukan upaya semaksimal mungkin demi berjalannya proses Co- Management ini. Upaya tersebut termasuk adanya kepemimpinan yang diterima oleh semua pihak khususnya di dalam kalangan masyarakat lokal tersebut;
(8) Desentralisasi dan pendelegasian wewenang; Pemerintah Daerah sebagai bagian dari tripatriat pengelolaan dengan model Co-Management ini perlu memberikan desentralisasi proses administrasi dan pendelegasian tanggung jawab pengelolaan kepada kelompok masyarakat yang terlibat; dan
(9) Koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat; Sebuah lembaga koordinasi (badan koordinasi pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
berbasis pada masyarakat) yang berada di luar kelompok masyarakat yang terlibat dan beranggotakan wakil dari masyarakat lokal dan wakil pemerintah merupakan hal yang penting pula dibentuk dalam rangka memonitor penyusunan pengelolaan lokal dan pemecahan konflik.
Tujuan utama Ko-manajemen adalah pengelolaan perikanan yang lebih tepat, efisien, adil dan merata. Tujuan sekundernya adalah (1) mewujudkan pembangunan berbasis masyarakat; (2) mewujudkan proses pengambilan keputusan secara desentralisasi, sehingga dapat memberikan hasil yang lebih efektif, dan (3) sebagai mekanisme untuk mencapai visi dan tujuan nelayan lokal serta mengurangi konflik antar nelayan melalui proses demokrasi partisipatif.
2.5 Dasar Hukum
2.5.1 Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Aturan mengenai pengelolaan perikanan secara umum maupun pengelolaan perikanan berbasis kearifan lokal diatur dalam Bab IV, Pasal 6 ayat (1) Undang – undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyebutkan bahwa “pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat hasil yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan”. Dalam Pasal 6 ayat (2), ditambahkan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat atau kearifan lokal serta memperhatikan peran masyarakat dalam pengelolaan perikanan”.
Kegiatan perikanan yang bertanggung jawab merupakan bentuk pengelolaan perikanan yang mengendepankan aspek lingkungan dan kelestarian sumberdaya alam serta memberi ruang kepada hukum adat/kearifan lokal untuk mengelola sumberdaya alam secara tradisional sehingga dapat meminimalisir kerusakan sumberdaya perikanan dan ekologi di wilayah pesisir. Selain itu, membagun peran serta masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan serta perlindungan terhadap sumberdaya alam di wilayah pesisir sesuai dengan amanat Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 2004.
2.5.2 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Berdasarkan Pasal 1 angka 18 Undang-undang No. 27 Tahun 2007 bahwa hak pengusahaan perairan pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau- pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Sedangkan dalam Pasal 18 Undang-undang No. 27 Tahun 2007 bahwa HP-3 dapat diberikan kepada; (a) orang perseorangan warga negara Indonesia; (b) badan hukum yang didirikan berdasarkan hokum Indonesia; atau (c) masyarakat adat. Hal ini dimaksud agar dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Sasi, Mane’e, Panglima laot dan Awig-awig, serta memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berdasarkan Pasal 21 angka 4 Undang-undang No 27 Tahun 2007 bahwa pemegang HP-3 mempunyai kewajiban untuk; (a) memberdayakan masyarakat sekitar lokasi kegiatan; (b) mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak adat/masyarakat lokal; (c) memperhatikan hak masyarakat untuk mendapat akses ke sempadan pantai dan muara sungai; dan (d) melakukan rehabilitasi terhadap sumberdaya yang mengalami kerusakan di lokasi HP-3.