• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untitled Document

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Untitled Document"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

Karya Ilmiah

KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER

Oleh :

Vera A. R. Pasaribu, S.Sos., MSP.

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

(2)

KATA PENGANTAR

Konsep gender merupakan konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka

membahas masalah kaum perempuan. Pemahaman ini sangatlah diperlukan dalam

melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang

menimpa kaum perempuan. Sehingga diharapkan pembaca tidak lagi mengartikan

gender sebagai seks (jenis kelamin) melainkan sebagai suatu sifat yang melekat pada

kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural.

Dalam tulisan ini penulis berusaha untuk memaparkan pengertian kepada pembaca,

untuk memahami masalah-masalah emansipasi kaum perempuan dalam kaitannya

dengan masalah ketidakadilan dan perubahan sosial dalam konteks yang lebih luas.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak

yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis juga

menerima kritikan yang membangun bagi penyempurnaan karya ilmiah ini

kedepannya. Kiranya tulisan ini dapat berguna bagi setiap pembaca.

Medan, Desember 2006

Penulis

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Tujuan Penulisan 4

BAB II KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER 6

2.1. Pengertian Gender 6

2.2. Sosok Perempuan Indonesia 8

2.2.1. Pendidikan 10

2.2.2. Kesehatan 10

2.2.3. Ekonomi 11

2.3. Pengertian Kesetaraan dan Keadilan Gender 12

2.3.1. Permasalahan ketidakadilan gender 13

2.3.2. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender 15

BAB III PEMBAHASAN 18

3.1. Beberapa Faktor Penyebab Situasi Dilematis

Perempuan Indonesia 18

3.2. Problem Khusus Perempuan Miskin Indonesia 20

3.3. Peran Perempuan 21

3.3.1. Perempuan di Sektor Domestik 21

(4)

3.4. Gender dan Pendekatan Pembangunan 24

3.4.1. Pendekatan Kebijakan Perempuan dan

Pembangunan 24

3.4.2. Pengarusutamaan Gender 27

3.5. Upaya-Upaya dan Usaha Yang Dilakukan Pemerintah

Dalam Rangka Kesetaraan dan Keadilan Gender 28

3.6. Tiga Strategi Untuk Meningkatkan Kesetaraan Gender 33

3.6.1. Mereformasi institusi untuk menetapkan hak-hak dan

kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki 34

3.6.2. Peningkatan pertumbuhan ekonomi untuk

memantapkan insentif demi kesetaraan sumber

daya dan partisipasi 36

3.6.3. Mengambil langkah kebijakan pro aktif untuk

mengatasi ketidaksetaraan gender dalam penguasaan

sumber daya dan partisipasi politik 40

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 47

4.1. Kesimpulan 47

4.2. Saran 48

(5)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sasaran utama dari pembangunan nasional negara Indonesia adalah perbaikan

kualitas hidup masyarakat Indonesia di berbagai bidang. Dari pernyataan tersebut

dapat kita artikan bahwa di dalam proses pembangunan tersebut dibutuhkan adanya

keterlibatan masyarakat; laki-laki dan perempuan secara serasi, selaras dan seimbang

atau dengan kata lain dibutuhkan adanya emansipasi dalam bidang kesempatan kerja.

Selama ini pendekatan pembangunan yang dilaksanakan belum secara khusus

mempertimbangkan manfaatnya secara adil terhadap laki-laki dan perempuan.

Pembangunan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota masih belum

menempatkan pemberdayaan perempuan, kesetaraan dan keadilan gender. Padahal

secara teoritik pemerintah telah berupaya meningkatkan status dan kedudukan

perempuan dalam semua aspek pembangunan, yang dicantumkan dalam arahan

GBHN 1999, UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, serta

dalam Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

Nasional.

Dalam Inpres tersebut dinyatakan bahwa seluruh departemen maupun lembaga

pemerintah non-departemen di pemerintah nasional, provinsi maupun kabupaten/kota

harus melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan, pelaksanaan,

pemantauan dan evaluasi pada kebijakan dan program pembangunan. Kesetaraan dan

(6)

bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat

dan harus melaksanakan komitmen tersebut.

Disamping itu pengarusutamaan gender juga merupakan salah satu dari empat

key cross cutting issues dalam Propenas. Pelaksanaan pengarusutamaan gender

diinstruksikan kepada seluruh departemen maupun lembaga pemerintah dan non

departemen di pemerintah nasional, propinsi maupun di kabupaten/kota, untuk

melakukan penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan

evaluasi dengan mempertimbangkan permasalahan kebutuhan, aspirasi perempuan

pada pembangunan dalam kebijakan, program/proyek dan kegiatan. Disadari bahwa

keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh

pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari peran serta laki-laki

dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan. Pada

pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan belum dioptimalkan.

Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan telah menjadi agenda bangsa dan

memerlukan dukungan semua pihak.

Penduduk wanita yang jumlahnya 49.9% (102.847.415) dari total

(206.264.595) penduduk Indonesia (Sensus Penduduk 2000) merupakan sumberdaya

pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses

pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurang

berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses pembangunan atau bahkan

perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri. Namun selama ini

pendekatan pembangunan belum secara khusus mempertimbangkan manfaat

pembangunan secara adil terhadap laki-laki dan perempuan, sehingga hal tersebut

(7)

gender. Emansipasi dalam bidang kesempatan kerja tersebut berarti perempuan diberi

kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam berperan serta di dalam pembangunan

dan dalam mengembangkan keberadaan kehidupan pribadinya.

Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat

berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang

menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas

dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang

merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat

pembangunan kurang diterima kaum perempuan.

Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki,

ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki.

Bahkan belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini

menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh manfaat secara optimal belum

terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang optimal, karena

masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh.

Faktor penyebab kesenjangan gender yaitu tata nilai sosial budaya masyarakat,

umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideologi patriarki);

peraturan perundang-undangan masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan

kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender; penafsiran ajaran agama yang

kurang komprehensif atau cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung

dipahami parsial kurang kholistik; kemampuan, kemauan dan kesiapan perempuan

(8)

pemahaman para pengambil keputusan di eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti,

tujuan, dan arah pembangunan yang responsif gender.

Masalah umum yang dihadapi perempuan bekerja adalah kecenderungan

perempuan terpinggirkan pada jenis pekerjaan yang berupah rendah, kondisi kerja

yang buruk dan tidak memiliki kestabilan kerja. Hal ini berlaku khususnya bagi

perempuan berpendidikan rendah; untuk kasus urban sebagai buruh pabrik. Hal yang

perlu digarisbawahi di sini adalah kecenderungan perempuan terpinggirkan pada

pekerjaan marginal tersebut adalah tidak semata-mata hanya disebabkan oleh faktor

pendidikan. Perempuan memperoleh penghasilan 30% sampai 40% lebih kecil dari

penghasilan laki-laki untuk mengerjakan pekerjaan yang sama.

Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan

menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam

mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada

pemerataan pembangunan. Selain itu rendahnya kualitas perempuan turut

mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka mempunyai peran

reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia masa

depan.

1.2. Tujuan Penulisan

Berdasarkan uraian di atas, maka tulisan ini penting untuk dilakukan, terutama

bila dikaitkan dengan upaya pemberdayaan kaum perempuan dalam pembangunan

khususnya dalam bidang pendidikan. Atas dasar itu maka tujuan dari penulisan ini

(9)

gender di Indonesia, serta untuk mengetahui secara jelas peran pengarusutamaan

(10)

BAB II

KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER

2.1. Pengertian Gender

Gender berasal dari bahasa Latin, yaitu Genus yang berarti tipe atau jenis. Kata

gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris : Gender berarti jenis

kelamin (John M.Echols, Hasan Shadily, 1995, hal. 265). Arti yang diberikan tidak

secara jelas dibedakan pengertian jenis kelamin dan gender. Untuk memahami konsep

gender harus dibedakan pengertian kata gender dengan jenis kelamin (seks).

Jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin

manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.

Misalnya bahwa manusia jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis,

jakala dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi

seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina dan

mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia

jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut

tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan

perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau

ketentuan Tuhan atau juga kodrat.

Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki

dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun cultural. Misalnya, bahwa

perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara

laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan

(11)

lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa

(Mansour Fakih, 1997, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, hal. 7-8).

Sementara itu Oakley dalam Mansour Fakih menjelaskan bahwa gender berarti

perbedaan jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan

jenis kelamin (seks) merupakan kodrat Tuhan, karenanya secara permanen dan

universal berbeda. Sementara gender adalah behavioral differences antara laki-laki

dan perempuan yang social constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau

bukan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan, baik oleh kaum laki-laki maupun oleh

kaum perempuan, melalui proses sosial budaya yang panjang.1

Beberapa ungkapan tentang gender berikut akan lebih memberikan pemahan

mengenai konsep gender, yaitu :

1. Laki-laki dan perempuan sesuai dengan peranan dan fungsinya di dalam

keluarga, sosial juga ditambahkan bahwa gender adalah perbedaan status

antara laki-laki dan perempuan (Depnakertrans).

2. Gender pada dasarnya merupakan konsep yang membedakan antara

laki-laki dan perempuan bukan berdasarkan biologisnya, melainkan dikaitkan

dengan peran, fungsi, hak, sifat, perilaku yang direkayasa sosial. Oleh

karena itu, pemahaman tentang gender dapat berubah dan sangat

tergantung pada budaya setempat yang mendukung (Depag).

3. Penerapan keadilan dan kesetaraan gender (Depdagri).

4. Kemitrasejajaran pria dan wanita untuk ikut serta dalam setiap aspek

pembangunan.

(12)

5. Persamaan kesempatan kerja antara laki-laki dan perempuan, persamaan

status sosial dalam kesempatan kerja dengan memperhatikan perbedaan

kodrat perempuan seperti hamil, melahirkan dan menyusui (Rahmadewi,

dkk, 2000).

Dengan mengenali perbedaan gender sebagai sesuatu yang tidak tetap

memudahkan kita untuk membangun gambaran tentang realitas relasi laki-laki dan

perempuan yang dinamis, yang lebih tepat dan cocok dengan kenyataan yang ada

dalam masyarakat. Hubungan gender adalah hubungan sosial antara laki-laki dan

perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya, serta memiliki banyak

perbedaan dan ketidaksetaraan. Hubungan gender berbeda dari waktu ke waktu dan

antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain akibat perbedaan suku, agama,

status sosial maupun nilai (tradisi dan norma yang dianut). Perbedaan konsep gender

secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam

masyarakatnya. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran,

tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas.

2.2. Sosok Perempuan Indonesia

Untuk mampu berperan dan menggunakan seoptimal mungkin kesempatan

yang tersedia pada abad ke-21 perempuan dituntut untuk memiliki suatu sikap

mandiri, disamping suatu kebebasan untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia

sesuai dengan bakat yang dimilikinya.

Profil perempuan Indonesia pada saat ini digambarkan sebagai manusia yang

harus hidup dalam situasi dilematis. Di satu sisi perempuan Indonesia dituntut untuk

(13)

perempuan tidak melupakan kodrat mereka sebagai perempuan. Contohnya situasi

tersebut dialami oleh perempuan Indonesia yang berkarir. Di satu sisi perempuan karir

merasa terpanggil untuk mendarmabaktikan bakat dan keahliannya bagi

perkembangan bangsa dan Negara mereka; namun di sisi lain mereka dihantui oleh

opini yang ada dalam masyarakat yang melihat bahwa perempuan karir/ibu karir

sebagai salah satu sumber ketidakberhasilan pendidikan anak-anak mereka.

Secara keseluruhan indeks kualitas hidup manusia digambarkan melalui Indeks

Pembangunan Manusia/Human Development Index (HDI) yang berada pada peringkat

ke-96 pada tahun 1995 yang kemudian menurun ke peringkat 109 pada tahun 1998

dari 174 negara. Tahun 1999 berada pada peringkat 102 dari 162 negara dan tahun

2002, 110 dari 173 negara. Berdasarkan Human Development Report 2003, HDI

Indonesia menempati urutan ke-112 dari 175 negara, dibandingkan Negara-negara

ASEAN lainnya seperti HDI Malaysia, Thailand, Philippina yang menempati urutan

59, 70 dan 77.

Sedangkan Gender related Development Index (GDI) berada pada peringkat

ke-88 pada tahun 1995, kemudian menurun ke peringkat 90 (1998) dan peringkat 92

(1999 dari 146 negara). Kemudian pada tahun 2002 pada peringkat 91 dari 144 negara

GDI inipun masih tertinggal dibandingkan dengan-negara di ASEAN seperti

Malaysia, Thailand, Philippina yang masing-masing berada pada peringkat 54, 60, 63.

Berdasarkan hasil Survey Penduduk 2000 (BPS) diketahui jumlah penduduk

Indonesia sebesar 206.264.595 orang. Jumlah laki-laki sedikit lebih banyak

dibandingkan perempuan, (50,1% diantaranya laki-laki dan 49,9% perempuan).

(14)

yaitu pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Kondisi dan posisi perempuan meliputi 3

(tiga) aspek tersebut di atas sebagai berikut:

2.2.1. Pendidikan

Di bidang pendidikan, kaum perempuan masih tertinggal dibandingkan

laki-laki. Kondisi ini antara lain disebabkan adanya pandangan dalam masyarakat yang

mengutamakan dan mendahulukan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan daripada

perempuan.

Ketertinggalan perempuan dalam bidang pendidikan tercermin dari presentase

perempuan buta huruf (14,54% tahun 2001) lebih besar dibandingkan laki-laki

(6,87%), dengan kecenderungan meningkat selama tahun 1999-2000. Tetapi pada

tahun 2002 terjadi penurunan angka buta huruf yang cukup signifikan. Namun angka

buta huruf perempuan tetap lebih besar dari laki-laki, khususnya perempuan kepala

rumah tangga. Angka buta huruf perempuan pada kelompok 10 tahun ke atas secara

nasional (2002) sebesar 9,29% dengan komposisi laki-laki 5,85% dan perempuan

12,69% (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Menurut Satatistik

Kesejahteraan Rakyat 2003. Angka buta huruf perempuan 12,28% sedangkan laki-laki

5,84%.

2.2.2. Kesehatan

Menurut Gender Statistics and indicators 2000 (BPS), kemajuan di bidang

kesehatan ditunjukkan dengan menurunnya angka kematian bayi (dari 49 bayi per

1000 kelahiran pada tahun 1998 menjadi 36 tahun 2000, (Sumber: BPS, Statistik

(15)

meningkatnya angka harapan hidup dari 64,8 tahun (1998) menjadi 67,9 tahun (2000),

Berdasarkan estimasi parameter demografi 1998 yang dikeluarkan BPS, angka

harapan hidup (eo) pada periode 1998-2000 cenderung meningkat. Usia harapan hidup

(life expectancy rate) perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu 69,7 tahun

berbanding 65,9 tahun. (Sumber: BPS, Estimasi Parameter Demografi, 1998).

Dibidang kesehatan, selama periode 1998-2000 ada penurunan angka kematian

bayi, Infant Mortality Rate (IMR). Namun angka kematian bayi laki-laki lebih tinggi

dibandingkan angka kematian bayi perempuan. Laki-laki 41, perempuan 31, (Sumber:

BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2001).

Sejalan dengan semakin meningkatnya kondisi kesehatan masyarakat, angka

kematian anak, Child Mortality Rate (CMR) periode ini juga menunjukkan penurunan,

namun demikian angka kematian anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan kematian

anak perempuan laki-laki 9,8 sedangkan perempuan 7,9. (Sumber: BPS, Statistik

Kesejahteraan Rakyat 1999-2001).

Dibidang kesehatan dan status gizi perempuan masih merupakan masalah

utama, yang ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian ibu (AKI)

390/100.000 (SDKI 1994), 337/100.000 (SDKI 1997), dan menurun 307/100.000

(SDKI 2002).]

2.2.3. Ekonomi

Di bidang ekonomi, secara umum partisipasi perempuan masih rendah,

kemampuan perempuan memperoleh peluang kerja dan berusaha masih rendah,

demikian juga dengan akses terhadap sumber daya ekonomi. Hal ini ditunjukkan

(16)

dibandingkan laki-laki, yaitu 45% (2002) sedangkan laki-laki 75,34%, (Sumber: BPS,

Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Sedangkan ditahun 2003 TPAK laki-laki

lebih besar dibanding TPAK perempuan yakni 76,12% berbanding 44,81%. (BPS,

Statistik Kesejahteraan Rakya, 2003).

2.3. Pengertian Kesetaraan dan Keadilan Gender

Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan

untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu

berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,

pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan

dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi

penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki

maupun perempuan.

Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan

dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban

ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun

laki-laki. Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya

diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki

akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh

manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti

memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki

wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber

(17)

keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat

yang sama dari pembangunan.

2.3.1. Permasalahan ketidakadilan gender

Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan

ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari

gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan

pemilahan sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan

ketidakadilan. Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai

ketidak adilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki.

Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan

antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan

dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan

berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur

masyarakat. Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin.

Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang

peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi

demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga

terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan,

diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.

Ketidakadilan gender merupakan bentuk perbedaan perlakuan berdasarkan

alasan gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih yang

mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasinya, persamaan antara

(18)

budaya dan lain-lain. Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan sistem dan

struktur dimana baik perempuan maupun laki-laki menjadi korban dalam sistem

tersebut. Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki

baik secara langsung yang berupa perlakuan maupun sikap, dan yang tidak langsung

berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah

menimbulkan berbagai ketidakadilan. Ketidakadilan gender terjadi karena adanya

keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam

berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa perempuan saja tetapi juga dialami oleh

laki-laki. Ketidakadilan gender ini dapat bersifat :

- Langsung, yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan berlangsung,

baik disebabkan perilaku/sikap, norma/nilai, maupun aturan yang berlaku.

- Tidak langsung, seperti peraturan sama, tapi pelaksanaannya

menguntungkan jenis kelamin tertentu.

- Sistemik, yaitu ketidakadilan yang berakar dalam sejarah, norma atau

struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat

membeda-bedakan.

Faqih dalam Achmad M. menyatakan, ketidakadilan gender adalah suatu

sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban

dari sistem (Faqih, 1998a; 1997). Selanjutnya Achmad M. menyatakan, ketidak adilan

gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, terutama pada

perempuan; misalnya marginalisasi, subordinasi, stereotipe/pelabelan negatif

sekaligus perlakuan diskriminatif (Bhasin, 1996; Mosse, 1996), kekerasan terhadap

perempuan (Prasetyo dan Marzuki, 1997), beban kerja lebih banyak dan panjang

(19)

dipisah-pisahkan, saling terkait dan berpengaruh secara dialektis (Achmad M. hal. 33,

2001).

2.3.2. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender

Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender meliputi:

a. Marginalisasi (pemiskinan) perempuan

Pemiskinan atas perempuan maupun atas laki-laki yang disebabkan oleh jenis

kelaminnya adalah merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan

gender. Peminggiran banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Peminggiran dapat

terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber

keyakinan, tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu

pengetahuan (teknologi).

Contoh-contoh marginalisasi:

 Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru yang

dikerjakan laki-laki

 Pemotongan padi dengan peralatan sabit, mesin yang diasumsikan hanya membutuhkan tenaga dan keterampilan laki-laki, menggantikan tangan

perempuan dengan alat panen ani-ani

 Peluang menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak perempuan

 Banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti “guru taman kanak-kanak” atau “sekretaris” dan “perawat”.

b. Subordinasi (penomorduaan)

Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin

(20)

sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan

lebih rendah dari pada laki-laki. Kenyataan memperlihatkan pula bahwa masih ada

nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan di

berbagai kehidupan. Anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu

memimpin, cengeng dan lain sebagainya, mengakibatkan perempuan jadi nomor

dua setelah laki-laki.

Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau

hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tatapi kalau suami

yang akan pergi tidak perlu izin dari isteri.

c. Stereotip (citra buruk)

Pelabelan atau penandaan yang sering kali bersifat negatif secara umum selalu

melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip yang melahirkan ketidakadilan

dan diskriminasi bersumber dari pandangan gender karena menyangkut pelabelan

atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Misalnya, pandangan

terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan

yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas domestik dan sebagi

akibatnya ketika ia berada di ruang publik maka jenis pekerjaan, profesi atau

kegiatannya di masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan dan negara hanyalah

merupakan perpanjangan peran domestiknya.

d. Violence (kekerasan)

Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul

(21)

fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Oleh karena itu kekerasan

tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan, dan

penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman

dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang

mengalaminya akan merasa terusik batinnya. Pelaku kekerasan yang bersumber

karena gender ini bermacam-macam. Ada yang bersifat individual seperti di dalam

rumah tangga sendiri maupun di tempat umum dan juga di dalam masyarakat.

Perempuan, pihak paling rentan mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait

dengan marginalisasi, subordinasi maupun stereotip di atas.

e. Beban kerja berlebihan

Sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban kerja

yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Dalam suatu rumah

tangga pada umumnya, beberapa jenis kegiatan dilakukan oleh laki-laki, dan

beberapa yang lain dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi menunjukkan

perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga,

sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik

(22)

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Beberapa Faktor Penyebab Situasi Dilematis Perempuan Indonesia

Untuk mengkaji profil dan permasalahan yang dihadapi oleh perempuan

Indonesia ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu :

Pertama, Indonesia adalah suatu negara yang pluralistic dari segi etnik dan

kebudayanya.

Kedua, adanya pluralisme etnik dan kebudayaan itu maka tidak mungkin kita

membuat suatu pendapat yang menggeneralisasikan bahwa perempuan Indonesia

sejak semula memiliki kedudukan yang rendah tanpa mempelajari kedudukan

perempuan dalam konteks kebudayaan dari tiap-tiap suku bangsa yang hidup di bumi

nusantara ini.

Ketiga, situasi dilematis yang dihadapi oleh perempuan Indonesia merupakan hasil

dari suatu proses interaksi dari berbagai faktor sosial dan politik yang berkembang di

negara kita (Loekman Soetrisno, Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan, 2001,

hal. 62).

Misalnya pada tahun 1925 terjadi satu perdebatan yang sengit antara

sekelompok anggota Volksraad dan wakil pemilik perkebunan di Indonesia, yakni

memperdebatkan apakah perempuan Indonesia diizinkan untuk bekerja pada malam

hari atau tidak (Elisabeth Locher-Scholten dalam Loekman Soetrisno, hal. 62). Hal

ini memberikan gambaran kepada kita bahwa perempuan Indonesia harus selalu

berada di tengah-tengah keluarganya, bahwa dia adalah makhluk yang lemah, dan

(23)

membutuhkan. Ini adalah suatu konsep tentang perempuan yang berasal dari barat

yang disosialisasikan kepada Indonesia khususnya kaum elite Indonesia melalui

proses pendidikan. Padahal bekerja di luar rumah bukanlah hal yang baru bagi

perempuan Indonesia, mereka bekerja karena alasan ekonomi dan karena memang

telah terbiasa untuk bekerja.

Selain hal tersebut, pengaruh agama juga dapat membentuk persepsi

masyarakat terhadap perempuan. Dari ajaran agama tersebut dapat tersimpul bahwa

perempuan itu bukan hanya lemah fisik, tetapi juga lemah iman. Cerita tersebut

melalui berbagai cara disosialisasikan dalam masyarakat Indonesia sehingga para

pejabat Indonesia selalu dalam kesempatan timbang terima jabatan, misalnya,

mengingatkan istri pejabat baru agar selalu menjaga tingkah lakunya dan tidak

mendorong suaminya melakukan korupsi.

Ideologi barat abad ke-19 tentang perempuan dapat merugikan kaum

perempuan dalam dua hal :

a. Karena perempuan Indonesia tugas utamanya adalah dalam rumah tangga

maka mreka dapat saja diabaikan dalam program-program pembangunan yang

tidak menyangkut kesejahteraan keluarga.

b. Karena perempuan Indonesia tugas utamanya adalah sebagai ibu rumah tangga

maka apabila mereka harus bekerja, para majikan mereka akan memberikan

upah yang lebih rendah daripada pekerja laki-laki. Sebab pada kenyataannya

suamilah yang menjadi provider dalam keluarga, dan upah perempuan dengan

demikian hanya dianggap sebagai supplement dari upah yang diterima suami

(24)

3.2. Problem Khusus Perempuan Miskin Indonesia

Kelompok perempuan Indonesia, khususnya perempuan miskin mempunyai

problem khusus dalam menyongsong era industrialisasi ini, antara lain:

1. Kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan yang menghinggapi mereka ini membuat

mereka tidak banyak memiliki alternatif dalam mencari pekerjaan. Kemiskinan

menyebabkan mereka tidak dapat memperoleh kesempatan untuk mengenyam

pendidikan yang memadai termasuk penguasaan keterampilan yang rendah.

Situasi seperti ini ditambah kemiskinan yang melilit hidup mereka akan

menyebabkan mereka tidak dapat berbuat banyak dalam memilih pekerjaan

dan menuntut haknya.

2. Persaingan yang dihadapi oleh buruh perempuan dan buruh laki-laki.

Keterampilan yang relatif rendah yang dimiliki oleh buruh perempuan miskin

akan membuat mereka ada dalam kedudukan yang lemah dalam menghadapi

persaingan dengan buruh laki-laki dalam memperoleh suatu pekerjaan. Kecuali

apabila buruh perempuan itu mau menerima fasilitas yang lebih sedikit dari

fasilitas yang ditetapkan oleh undang-undang, misalnya gaji yang lebih rendah

dari gaji yang diterima oleh buruh laki-laki dengan beban kerja yang sama

berat.

3. Dilema yang mereka hadapi antara keinginan mereka untuk bekerja guna

memperoleh pendapatan yang mandiri dan tugas mereka sebagai ibu rumah

tangga. Apabila mereka harus menjadi buruh industri dan bekerja penuh

selama delapan jam, siapa yang akan memelihara anak-anak mereka yang

masih kecil-kecil. Mereka tidak mungkin menyewa pembantu untuk

(25)

3.3. Peran Perempuan

3.3.1. Perempuan di Sektor Domestik

Selama beratus-ratus tahun pekerjaan domestik mengasuh anak, mencuci,

membersihkan rumah, memasak, merupakan tanggung jawab perempuan. Masyarakat

Indonesia, dengan struktur patriarkis menempatkan perempuan di wilayah rumah

dengan tanggung jawabnya sebagai pengelola rumah tangga yang meliputi tiga hal

yaitu makanan, kesehatan dan pendidikan anak (Andria dan Raychman, Dampak

Krisis Terhadap Perempuan Miskin Perkotaan di Bandung – Perempuan Sebagai

Pengelola Rumah Tangga Miskin, 1999, hal. 8.). Perempuan juga bertanggung jawab

mengatur pemasukan dan pengeluaran keluarga, sementara laki-laki bertanggung

jawab mencari uang dengan bekerja di luar rumah.

Beberapa permasalahan yang dihadapi perempuan di sektor domestik antara

lain :

1. Pelecehan pekerjaan rumah tangga

Meskipun secara riil seorang ibu mencurahkan banyak waktu dan energi untuk

melakukan pekerjaan rumah tangga, namun penghargaan yang diterima minim

sekali. Yang sering terjadi adalah pekerjaan rumah tangga dianggap “bukan

pekerjaan”, tidak produktif, dan dipandang sebelah mata. Akibat selanjutnya

mudah ditebak, banyak perempuan yang sepenuhnya berprofesi sebagai ibu

rumah tangga merasa rendah diri, yang seringkali diungkapkan dengan ekspresi

“saya hanya ibu rumah tangga biasa”.

2. Labelisasi pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan wajib bagi perempuan (ibu

(26)

yang dikehendaki masyarakat (Andria dan Raychman, Dampak Krisis Terhadap

Perempuan Miskin Perkotaan di Bandung – Perempuan Sebagai Pengelola

Rumah Tangga Miskin, 1999, hal. 25.). Artinya ia harus memenuhi kriteria

“keibuannya”, patuh pada suami, menjaga anak dengan baik dan menganggap

bahwa pekerjaan yang tidak dibayar ini adalah pekerjaan yang paling mulia.

Mereka yang tidak memenuhi kriteria tersebut dianggap “menyimpang” dan

bukan ibu yang baik.

Pekerjaan rumah tangga yang nyaris 100% dibebankan kepada perempuan,

mengakibatkan perempuan terisolasi dari kehidupan sosial dan menghambat

pengembangan diri perempuan. Domestikasi (housewifisation) perempuan

menggambarkan bagaimana perempuan diberi tanggung jawab mulia untuk

membuat rumah menjadi tempat yang nyaman bagi generasi berikutnya,

memberikan batasan ruang gerak perempuan hanya di arena domestik saja.

3.3.2 Perempuan di Sektor Publik

Meskipun di tingkat ideologis, sektor publik merupakan domain laki-laki,

namun tidak dapat disangkal keterlibatan perempuan di sektor tersebut menunjukkkan

kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu. Perempuan bekerja mencari nafkah

karena tuntutan ekonomi lazim ditemui di berbagai kelompok masyarakat. Sejarah

menunjukkan bahwa perempuan dan kerja publik sebenarnya bukan hal baru bagi

perempuan Indonesia terutama mereka yang berada pada strata menengah ke bawah.

Di pedesaan, perempuan pada strata ini mendominasi sektor pertanian, sementara di

(27)

Di luar konteks desa-kota, sektor perdagangan juga banyak melibatkan

perempuan. Data sensus penduduk tahun 1990 menunjukkan bahwa sektor pertanian

adalah sektor yang terbesar dalam menyerap tenaga kerja perempuan yaitu 49,2%, lalu

diikuti oleh sektor perdagangan 20,6%, dan sektor industri manufaktur 14,2%.

Terlepas dari persoalan sektor yang digeluti perempuan, keterlibatan perempuan di

sektor manapun dicirikan oleh skala bawah dari pekerjaan perempuan. Perempuan di

sektor pertanian pedesaan, mayoritas berada di tingkat buruh tani. Perempuan di

sektor industri perkotaan terutama terlibat sebagai buruh di industri tekstil, garmen,

sepatu dan elektronik. Di sektor perdagangan, pada umumnya perempuan terlibat

dalam perdagangan skala kecil. Pedagang sayur mayur di pasar tradisional, usaha

warung, adalah jenis-jenis pekerjaan yang lazim ditekuni perempuan.

Jika perempuan pada strata menengah ke bawah, terjun ke sektor publik

dengan pendorong utamanya adalah faktor ekonomi, maka bagi perempuan di kelas

menengah ke atas, keterlibatan mereka di sektor publik – selain karena dorongan

ekonomi – banyak pula merupakan kombinasi antara faktor ekonomi dan keinginan

untuk mengamalkan bekal pendidikan yang dimiliki, selain juga makin terbukanya

peluang bagi perempuan untuk memasuki sektor-sektor yang pada awalnya

diperuntukkan hanya untuk laki-laki. Semakin banyaknya perempuan berpendidikan

yang berkeinginan untuk aktif di sektor publik merupakan konsekuensi logis dari

pembukaan peluang yang lebih besar bagi anak perempuan untuk bersekolah.

Masalah umum yang dihadapi perempuan di sektor publik adalah

kecenderungan perempuan terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan yang berupah

(28)

telah terjadi marginalisasi pada pasar tenaga kerja. Hal ini berlaku khususnya bagi

perempuan berpendidikan menengah ke bawah.

Paling tidak telah terjadi feminisation dan segregation. Feminisation adalah

penggunaan tenaga kerja perempuan untuk sektor-sektor produktif tertentu.

Segregation adalah pemisahan kegiatan-kegiatan tertentu atas dasar jenis kelamin.

Bagi perempuan di kelas menengah ke atas yang bekerja sebagai pegawai swasta

maupun sebagai pegawai negeri, diskriminasi upah seringkali lebih tersamar.

Meskipun sistem pengupahan (termasuk tunjangan) pegawai negeri tidak lagi

membedakan pegawai perempuan dan laki-laki, di sektor swasta diskriminasi masih

terjadi. Meskipun besar upah pokok antara pegawai laki-laki dan perempuan sama,

namun komponen tunjangan keluarga dan tunjangan kesehatan dibedakan antara

pegawai perempuan dan laki-laki.

3.4. Gender dan Pendekatan Pembangunan

3.4.1. Pendekatan Kebijakan Perempuan dan Pembangunan

Sejak tahun 1950an telah terjadi pergeseran dalam melihat peran perempuan

dalam pembangunan. Peran tersebut dapat diidentifikasikan ke dalam lima pendekatan

sebagai berikut (Training package Gender Issues in the World of Work, ILO, Geneva

dalam Workshop Pengarusutamaan Gender dalam Program Terikat Waktu, Maret

2003) :

a. Pendekatan Kesejahteraan

Pada fase awal kerja sama pembangunan dilancarkan, selama tahun 1950an dan

1960an, perempuan dilihat sebagai penerima manfaat yang pasif pada proses

(29)

Pendekatan ini didasarkan pada stereotype barat mengenai keluarga inti yang

mana perempuan dilihat sebagai pihak yang tergantung secara ekonomi pada

laki-laki yang dilihat sebagai pencari nafkah utama.

b. Pendekatan Persamaan

Pendekatan ini adalah pendekatan Woman in Development (WID) yang pertama

yang muncul selama dasawarsa tahun perempuan sebagai reaksi terhadap

kegagalan kebijakan modernisasi. Dasar filosofi pendekatan ini, melihat

perempuan terlalu tertinggal dalam masyarakat dan kesenjangan antara laki-laki

dan perempuan dapat dijembatani dengan menciptakan alat pengukur perbaikan

berdasarkan struktur yang ada. Perempuan dilihat sebagai partisipan aktif dalam

pembangunan. Analisa spesifik pada relasi laki-laki dan perempuan sebagaimana

juga pemahaman perbedaan kuasa yang dimiliki perempuan dan laki-laki kurang

diperhatikan.

c. Pendekatan Anti Kemiskinan

Pendekatan WID yang kedua mengaitkan ketimpangan ekonomi perempuan dan

laki-laki bukan pada subordinasi, tetapi pada kemiskinan. Oleh karena itu upaya

yang dilihat adalah meningkatkan kesempatan perempuan untuk memperoleh

program peningkatan pendapatan bagi perempuan miskin. Pendekatan ini

berkaitan dengan kebutuhan dasar strategi pembangunan umum pada akhir tahun

1970an. Fokus capaian pendekatan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar

(30)

kemiskinan ini menekankan pada peran produktif perempuan dan kerja guna

meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan perempuan.

d. Pendekatan Efisiensi atau Instrumental

Pandangan dasarnya adalah diintegrasikannya perempuan dalam proses

pembangunan guna memanfaatkan secara penuh semua sumber daya manusia dan

memastikan bahwa pembangunan menjadi lebih efisien dan efektif. Perempuan

dilihat sebagai pihak berpotensi yang kurang dimanfaatkan oleh pembangunan.

Pendekatan ini mengabaikan pola-pola peran perempuan dan laki-laki dalam

masyarakat, dan percaya bahwa perempuan tanpa kesulitan dapat melakukan kerja

tambahan, sehingga kerja perempuan sejauh ini belum dimanfaatkan oleh

pembangunan nasional.

e. Pendekatan Pemberdayaan atau Otonomi

Ke empat pendekatan yang diuraikan sebelumnya memiliki kesamaan, yaitu

kurang memperhatikan sejarah ketimpangan kuasa antara laki-laki dan perempuan

dalam masyarakat. Pendekatan ini muncul pada pertengahan 1970an berdasarkan

pengalaman kelompok perempuan dunia ke tiga. Dikenali bahwa feminisme bukan

sekedar sesuatu yang diimpor dari barat, fenomena perkotaan dan kelas menengah,

tetapi juga memiliki sejarah yang mandiri. Feminisme dunia ketiga memiliki

akarnya dalam partisipasi perempuan dalam perjuangan nasional, gerakan

perburuhan dan kaum petani dan diketahui sebagai kekuatan penting dalam proses

perubahan di dunia ketiga. Berdasarkan hal itu, perempuan-perempuan bersatu

(31)

bertujuan untuk menguatkan dan memperluas basis kuasa perempuan guna

mencapai kemandirian yang lebih besar.

3.4.2. Pengarusutamaan Gender

Pada Konferensi Wanita Sedunia keempat yang diselenggarakan di Beijing

1995, istilah Gender Mainstreaming tercantum di Beijing Platform of Action. Semua

negara peserta termasuk Indonesia dan organisasi yang hadir pada konferensi itu,

secara eksplisit menerima mandat untuk mengimplementasikan Gender

Mainstreaming di negara dan tempat masing-masing.

Untuk menjadikan kepentingan dan pengalaman perempuan dan laki-laki

menjadi dimensi integral dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian

kebijakan-kebijakan dalam program pembangunan dan upaya-upaya untuk mencapai

Kesetaraan dan Keadilan Gender maka pemerintah Indonesia melalui GBHN 1999

menyatakan bahwa pengarusutamaan gender merupakan kebijakan nasional yang

harus diemban oleh lembaga yang mampu mewujudkan kesetaraan dan keadilan

gender. Meskipun begitu, usaha untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender

ternyata masih mengalami hambatan dan masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh

lapisan masyarakat pada umumnya dan khususnya oleh perempuan.

Akhirnya disepakati perlu adanya strategi yang tepat agar dapat menjangkau

keseluruhan instansi pemerintah, swasta, masyarakat dan lain sebagainya. Strategi

tersebut dikenal dengan istilah pengarusutamaan gender. Strategi ini sangat penting

sehingga pemerintah memandang perlu mengeluarkan Inpres yang selanjutnya dikenal

dengan Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam

(32)

efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan

responsif gender kepada rakyatnya, perempuan dan laki-laki.

Pengarusutamaan gender sebagai strategi merupakan upaya untuk menegakkan

hak-hak perempuan dan laki-laki atas kesempatan yang sama, pengakuan yang sama

dan penghargaan yang sama di masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan

pengarusutamaan gender memperkuat kehidupan sosial, politik dan ekonomi suatu

bangsa. Kesetaraan dan keadilan gender menghendaki bahwa laki-laki dan perempuan

mempunyai kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam proses pembangunan, akses

yang sama terhadap pelayanan serta memiliki status sosial dan ekonomi yang

seimbang.

Tujuan pengarusutamaan gender adalah memastikan apakah perempuan dan

laki-laki memperoleh akses kepada, berpartisipasi dalam, mempunyai kontrol atas,

dan memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan. Dengan melakukan

pengarusutamaan gender, dapat diidentifikasi kesenjangan gender yang pada

gilirannya menimbulkan permasalahan gender. Dengan demikian, tujian akhir dari

pengarusutamaan gender adalah mempersempit dan bahkan meniadakan kesenjangan

gender.

Upaya-Upaya dan Usaha Yang Dilakukan Pemerintah Dalam Rangka Kesetaraan dan Keadilan Gender

Upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai visi Kementerian

Pemberdayaan Perempuan RI sebenarnya merupakan bentuk pembaruan

pembangunan pemberdayaan perempuan yang selama tiga dasa warsa telah

(33)

perempuan bisa dilihat dengan meningkatnya kualitas hidup perempuan dari berbagai

aspek , meskipun masih belum optimal.

Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan juga telah diupayakan

namun hasilnya masih belum memadai, ini terlihat dari kesempatan kerja perempuan

belum membaik, beban kerja masih berat, kedudukan masih rendah. Di lain pihak,

pada saat ini masih banyak kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang

belum peka gender, yang mana belum mempertimbangkan perbedaan pengalaman,

aspirasi dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki serta belum menetapkan

kesetaran dan keadilan gender sebagai sasaran akhir pembangunan.

Penyebabnya antara lain belum adanya kesadaran gender terutama di kalangan

para perencana dan pembuat keputusan; ketidak lengkapan data dan informasi gender

yang dipisahkan menurut jenis kelamin (terpilah); juga masih belum mapannya

hubungan kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat maupun lembaga-lembaga

yang memiliki visi pemberdayaan perempuan yaitu dalam tahap-tahap perencanaan,

pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan

Bergesernya proporsi pekerjaan utama perempuan dari pertanian ke ranah

industri, meningkatnya mobilitas perempuan baik migrasi domestik maupun

internasional serta semakin membaiknya peran perempuan di lingkup keluarga,

masyarakat dan berbangsa serta bernegara merupakan indikator keberhasilan

pemberdayaan perempuan khususnya upaya kesetaraan dan keadilan gender mulai

dapat dirasakan. Meskipun kemajuan perempuan ini hanya bisa dinikmati pada tataran

masyarakat yang sosial ekonominya mapan (menengah ke atas).

Sebaliknya pada tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, masih sering

(34)

peluang, kesempatan dan akses serta kontrol dalam pembangunan, serta perolehan

manfaat atas hasil pembangunan. Hal ini tidak lain karena masalah struktural

utamanya. Selain nilai-nilai budaya patriarkhi yang dilegitimasi dengan (atas nama)

agama dan sistem sosial yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam

kedudukan dan peran yang berbeda dan dibeda-bedakan. (Zaitunah Subhan, hal.

17-18, 2001).

Dalam GBHN 1999-2004 menetapkan dua arah kebijakan pemberdayaan

perempuan yakni pertama meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh

lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.

Kedua meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan

tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan

perempuan dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta

kesejahteraan keluarga dan masyarakat.

Dengan demikian pemberdayaan perempuan dalam rangka mewujudkan KKG

merupakan komitmen bangsa Indonesia yang pelaksanaannya menjadi tanggung

jawab seluruh pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh-tokoh agama dan

masyarakat secara keseluruhan. Sesuai dengan dua arahan kebijakan itu, pemerintah

bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan-kebijakan pemberdayaan perempuan

di tingkat nasional maupun daerah, yang pelaksanaannya dapat memberikan hasil

terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di segala bidang kehidupan dan

pembangunan.

Berdasarkan arah kebijakan yang dimandatkan oleh GBHN 1999-2004 untuk

(35)

kebijakan dan program pembangunan pemberdayaan perempuan. Selanjutnya

Propenas telah dirumusakan secara lebih rinci setiap tahunnya ke dalam Rencana

Pembangunan tahunan (Repeta), untuk tahun 2001 (Repeta 2001).

Selanjutnya dalam Rencana Strategi Kementerian Pemberdayaan Perempuan

2001-2004, program yang disusun terdiri dari program dalam rangka pembangunan

pemberdayaan perempuan, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak dan

upaya peningkatan kemampuan. Mencakup Program Pengembangan dan Keserasian

Kebijakan Pemberdayaan Perempuan; Program Peningkatan Kualitas Hidup

Perempuan; Program Peningkatan Peran Masyarakat Pemampuan Kelembagaan

Pengarusutamaan Gender; Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan

Anak; Program Sumber Daya, Sarana dan Prasarana. Mengingat produk tersebut

merupakan undang-undang, maka untuk mewujudkan kesetaran dan keadilan gender

harus menjadi komitmen bersama.

Dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melaui program

yang peka akan permasalahan gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah

bekerjasama dengan UNFPA dalam melaksanakan serangkaian kegiatan

Mainstreaming Gender Issues in Reproductive Health and Population Policies and

Programmes.

Tujuan utama program ini adalah tercapainya perbaikan status kesehatan reproduksi

kaum perempuan dan laki-laki melalui kebijakan program kesehatan reproduksi dan

kependudukan yang sensitif gender. Hal ini akan dicapai melalui penguatan kapasitas

nasional untuk melakukan pengarusutamaan gender, serta melalui aplikasi konsep

gender dalam formulasi dan pelaksanaan kebijakan dan program untuk kesehatan

(36)

Upaya mengaktualisasikan dan memanifestasikan dan mengakselerasi-kan PUG di

sektor strategis, propinsi dan kabupaten/kota, Kementerian Pemberdayaan Perempuan

juga telah melaksanakan program dan langkah konkrit antara lain :

 Program Pengembangan dan keserasian kebijakan pemberdayaan perempuan, serta serangkaian koordinasi telah dilakukan dalam upaya perbaikan

undang-undang yang masih bias gender seperti UU No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan dan UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan.

 Program Peningkatan Peranserta masyarakat dan penguatan kelembagaan PUG dilakukan dengan melalui: sosialisasi, advokasi, dan pelatihan analisis gender

baik di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota;

 Pengembangan modul sosialisasi/advokasi gender

 Pengembangan alat untuk analisis gender yang digunakan dalam perencanaan program dan dikenal dengan Gender Analysis Pathway (GAP); dan Problem

Base Analysis (PROBA)

 Pengembanagan Homepage untuk penyediaan data dan informasi program pembangunan pemberdayaan perempuan, konsep kesetaraan dan keadilan

gender dan jaringan informasi dengan website

 Penyusunan Profil Gender untuk 26 propinsi;

 Fasilitasi bantuan teknis kepada daerah propinsi, kabupaten dan kota

 Tersedianya data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin secara berkala dan berkesinambungan dari propinsi dan kabupaten/kota mengenai

(37)

3.6. Tiga Strategi Untuk Meningkatkan Kesetaraan Gender

Ketidaksetaraan gender yang sangat merugikan kemanusiaan dan

menghambat prospek pembangunan negara menjadi landasan bagi tindakan privat

dan publik untuk meningkatkan kesetaraan gender. Negara memiliki peran

penting untuk meningkatkan kesejahteraan baik perempuan maupun laki-laki.

Dengan melaksanakan peran ini, negara mendapatkan manfaat sosial yang besar

dalam kaitannya dengan peningkatan status perempuan dan anak perempuan baik

secara absolut maupun relatif. Aksi publik terutama penting karena institusi sosial dan

hukum yang mempertahankan ketidaksetaraan gender luar biasa sulit, atau bahkan

tidak mungkin, diubah oleh individual secara sendiri-sendiri. Juga,

kegagalan-kegagalan dalam pasar berarti tidak cukupnya informasi tentang produktifitas

perempuan dalam pasar tenaga kerja (karena perempuan menghabiskan lebih banyak

waktu kerja dalam aktifitas domestik atau karena pasar tenaga kerja tidak ada

atau tidak dikembangkan). Hal ini jelas-jelas menjadi hambatan.

Memperbaiki efektifitas institusi kemasyarakatan dan mencapai

pertumbuhan ekonomi telah secara luas diterima sebagai elemen kunci setiap

strategi pembangunan jangka panjang. Namun kesuksesan penerapan strategi ini

tidak menjamin kesetaraan gender. Untuk meningkatkan kesetaraan gender,

kebijakan untuk melakukan perubahan institusi dan pembangunan ekonomi perlu

memperhatikan dan mengatasi ketidaksetaraan gender dalam hak, sumber daya, dan

aspirasi. Dibutuhkan kebijakan dan program yang proaktif untuk memperbaiki

ketidaksetaraan yang telah lama berlangsung antara perempuan dan laki-laki. Bukti

yang ada telah memberi cukup dasar bagi diterapkannya tiga langkah strategis untuk

(38)

3.6.1. Mereformasi institusi untuk menetapkan hak-hak dan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki

Karena institusi sosial, hukum, dan ekonomi menentukan akses

perempuan dan laki-laki ke berbagai sumber daya, kesempatan mereka, dan

kemampuan relatif mereka, salah satu unsur kunci untuk meningkatkan

kesetaraan gender adalah menetapkan suatu tingkat 'keleluasaan' (playing field)

institusional bagi perempuan dan laki-laki.

Menjamin kesetaraan dalam hak hak dasar. Kesetaraan gender dalam hak

merupakan tujuan pembangunan yang memiliki nilainya sendiri. Hak- hak hukum,

sosial, dan ekonomi menyediakan suatu 'atmosfer' (environment) yang

memungkinkan perempuan dan laki-laki dapat berpartisipasi secara produktif dalam

masyarakat, mencapai dasar kualitas hidup, dan mengambil keuntungan dari

kesempatan-kesempatan baru yang ditawarkan oleh pembangunan. Kesetaraan

hak yang lebih besar juga secara konsisten dan sistematis dihubungkan dengan

kesetaraan gender yang lebih besar dalam pendidikan, kesehatan, dan partisipasi

politik, dampak-dampak yang tidak ada hubungannya dengan pendapatan.

Reformasi hukum berperan penting dalam mewujudkan persamaan hak dan

perlindungan antara perempuan dan laki-laki. Namun, reformasi hukum jarang

mencukupi. Di banyak negara berkembang, kemampuan untuk melaksanakan

reformasi hukum masih lemah karena dipersulit oleh sistem hukum yang berganda

dan tidak konsisten. Sebagai contoh, hukum sipil di uganda mengatur hak-hak yang

sama dalam perceraian, tetapi hukum adat lebih kuat pengaruhnya dalam

pembagian harta di dalam pernikahan, dan perempuan yang diceraikan tidak

(39)

berdasarkan gender, syarat-syarat pembuktian yang sulit serta rintangan prosedural

lainnya (maupun perilaku penegak hukum) menghambat terwujudnya keadilan.

Dalam konteks tersebut, upaya untuk memantapkan kemampuan penegakan hukum

institusi-institusi yuridis dan administratif negara menjadi unsur penting untuk

mencapai kesetaraan yang lebih besar dalam hak-hak dasar. Di hampir semua kasus,

kepemimpinan politik adalah faktor yang menentukan.

Menetapkan insentif untuk mengurangi diskriminasi gender. Struktur

institusi-institusi ekonomi juga secara signifikan mempengaruhi kesetaraan gender.

Pasar memuat seperangkat insentif yang cukup kuat mempengaruhi

keputusan-keputusan untuk bekerja, menabung, berinvestasi, dan konsumsi. Upah

laki-laki dan perempuan, laba dari aset-aset produktif, dan harga barang dan jasa

umumnya ditentukan oleh struktur pasar. Bukti-bukti dari Meksiko dan Amerika

Serikat menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam pasar

bebas memperlakukan perempuan lebih baik dan adil dalam hal perekrutan dan

jumlah upah daripada perusahaan-perusahaan yang memiliki kekuasaan pasar yang

signifikan yang beroperasi dalam pasar terproteksi. Demikian pula, baik di daerah

perkotaan maupun pedesaan Cina, perempuan menghadapi diskriminasi upah

yang lebih besar dalam pekerjaan yang telah diberikan secara administratif

daripada dalam pekerjaan yang diperoleh melalui jalur-jalur kompetitif. Secara

garis besar, kebijakan dan investasi yang membuat pasar lebih berkembang dan

membenahi ketidaksetaraan gender dalam akses informasi-dikombinasi dengan

pemberlakuan sangsi terhadap mereka yang melakukan diskriminasi-semuanya

turut memperkuat insentif bagi kesetaraan gender di pasar tenaga kerja. Di Cina dan

(40)

benar-benar meningkatkan permintaan akan tenaga kerja perempuan pada perusahaan-

perusahaan non-pertanian, membuka lapangan pekerjaan baru dan kesempatan

untuk memperoleh penghasilan bagi perempuan.

Merancang pelayanan service delivery untuk memfasilitasi kesetaraan

akses. Rancangan pelayanan program seperti sistem persekolahan, pusat perawatan kesehatan, organisasi keuangan, dan program penyuluhan pertanian, dapat

memfasilitasi atau menghambat kesetaraan akses antara perempuan dan laki-laki.

Lebih jauh lagi, upaya melibatkan masyarakat dalam perancanganan pelayanan

membantu mengakomodasi permintaan- permintaan khusus dalam konteks lokal,

yang seringkali berpengaruh positif terhadap perempuan dalam akses dan

pemanfaatan.

3.6.2. Peningkatan pertumbuhan ekonomi untuk memantapkan insentif demi kesetaraan sumber daya dan partisipasi

Di sebagian besar negara, perkembangan ekonomi dikaitkan dengan

perbaikan keadaan bagi perempuan dan anak-anak perempuan, serta dengan

peningkatan kesetaraan gender, dijalankan melalui beberapa jalur:

Rumahtangga membuat keputusan mengenai pekerjaan, konsumsi, dan

investasi antara lain untuk menanggapi tingkat harga dan indikator pasar

lainnya. Perubahan pada indikator tersebut cenderung mengakibatkan realokasi

sumber daya. Bila perkembangan ekonomi meningkatkan ketersediaan dan

kualitas pelayanan umum, seperti klinik kesehatan dan sekolah, biaya investasi

rumahtangga tersebut untuk sumber daya manusia jadi berkurang. Jika biaya

(41)

laki-laki, atau jika investasi pada perempuan lebih sensitif terhadap perubahan harga

daripada investasi pada laki-laki, maka perempuan akan mendapat lebih banyak

manfaat dari terjadinya peningkatan pelayanan umum.

Ketika perkembangan ekonomi meningkatkan pendapatan dan

mengurangi kemiskinan, ketidaksetaraan gender cenderung menurun.

Rumahtangga rumahtangga berpenghasilan rendah dipaksa untuk menjatah

pengeluaran untuk pendidikan, perawatan kesehatan, dan gizi di mana perempuan dan

anak perempuan yang "dikorbankan" karena merekalah yang menanggung sebagian

besar beban . Oleh sebab itu, ketika pendapatan rumahtangga bertambah,

ketidaksetaraan gender dalam sumber daya manusia cenderung menurun.

Sebagaimana hak-hak dasar lainnya, pendapatan yang lebih tinggi

umumnya menghasilkan kesetaraan gender dalam sumber daya, baik kesehatan

maupun pendidikan. Di bidang pendidikan, hasil simulasi menunjukkan bahwa

peningkatan terbesar yang ditimbulkan oleh pertumbuhan pendapatan kemungkinan

akan terjadi di wilayah-wilayah termiskin: Asia Selatan dan Sub-Sahara Afrika,

bahkan dampak pendapatan khususnya kuat pada tingkat sekunder. Namun,

analisis simulasi juga menunjukkan bahwa peningkatan yang sangat besar dalam

pendapatan, katakanlah ke level rata-rata OECD, dibutuhkan untuk mencapai atau

mendekati kesetaraan gender dalam pendaftaran ke sekolah menengah di

wilayah-wilayah ini. Peningkatan seperti itu tidaklah realistis dalam jangka pendek maupun

menengah. Peningkatan pendapatan yang sangat besar juga merupakan syarat mutlak

untuk mendorong tercapainya kesetaraan gender di dalam perwakilan di parlemen.

Ketika pembangunan ekonomi memperluas kesempatan kerja, terjadi

(42)

diharapkan, dan memperkuat insentif bagi rumahtangga untuk melakukan investasi

dalam kesehatan dan pendidikan anak perempuan. Selain itu, memperkuat

insentif bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam angkatan kerja. Dengan

perubahan insentif pekerjaan, pembangunan ekonomi mempengaruhi kesetaraan

gender.

Pembangunan ekonomi mengakibatkan munculnya pasar tenaga kerja yang

belum pernah ada sebelumnya. Dengan demikian, hal tersebut tidak hanya

menciptakan atau memperkuat indikator pasar tentang keuntungan yang didapat

dari tenaga kerja tetapi juga mengurangi inefisiensi dalam ekonomi. Sebagai

contoh, di mana terdapat pasar tenaga kerja yang berjalan baik, tenaga kerja

yang dikontrak dapat menjadi substitusi bagi tenaga kerja perempuan keluarga, baik

di bidang pertanian atau pengelolaan rumahtangga dan dalam aktivitas perawatan

Hal ini memungkinkan rumahtangga untuk menggunakan waktu secara efisien, dan

mungkin mengurangi beban kerja perempuan. Di tempat- tempat di mana pasar

tenaga kerja tidak ada atau tidak berjalan dengan baik, substitusi semacam itu

tidaklah dimungkinkan.

Pertumbuhan ekonomi umumnya dibarengi oleh ekspansi investasi dalam

infrastruktur seperti: air bersih, jalan raya, transportasi, dan bahan bakar. Hal ini

cenderung mengurangi waktu yang diperlukan perempuan untuk mengurus

rumahtangga. Pembangunan infrastuktur ekonomi secara signifikan mengurangi

waktu bagi perempuan mengurusi rumahtangga, memperbaiki tingkat kesehatan

mereka, memperluas partisipasi mereka dalam mencari pendapatan tambahan, dan

(43)

Meskipun pembangunan ekonomi cenderung meningkatkan kesetaraan

gender, dampaknya tidaklah mencukupi dan tidaklah bisa langsung kelihatan.

Dan tidak pula berjalan otomatis. Dampak pembangunan ekonomi terhadap

kesetaraan gender sebagian besar tergantung pada hak-hak, akses atas berbagai

sumber daya produktif (seperti tanah dan kredit), dan partisipasi politik. Lebih dari

itu, kebijakan-kebijakan sosial yang memberantas diskriminasi di pasar tenaga

kerja atau mendukung perawatan anak-anak akan mengurangi ketidaksetaraan

gender-sesuatu yang tidak mungkin dicapai oleh pembangunan ekonomi saja.

Kebijakan-kebijakan perlindungan sosial, yang mengakui perbedaan gender dalam

pekerjaan berbasis-pasar dan rumahtangga dan perbedaan dalam risiko adalah

penting guna melindungi perempuan (dan laki-laki) terhadap goncangan

ekonomi atau krisis ekonomi yang berkepanjangan.

Belakangan ini, perdebatan mengenai gender dan pembangunan terbagi

atas dua kubu. Kubu pertama adalah mereka yang mengedepankan

pendekatan-pendekatan pembangunan berorientasi pertumbuhan. Kubu kedua, adalah mereka

yang mengedepankan pendekatan-pendekatan berdasarkan hak atau institusi.

Namun, banyak bukti menunjukkan bahwa baik pertumbuhan ekonomi maupun

perubahan institusional keduanya merupakan elemen penting bagi strategi jangka

panjang meningkatkan kesetaraan gender. Sebagai contoh, jika pendapatan per

kapita dan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan rendah, baik peningkatan

kesetaraan hak maupun pendapatan akan meningkatkan kesetaraan gender di

bidang pendidikan. Peningkatan hak dan pendapatan akan menghasilkan

(44)

Reformasi institusional yang memantapkan hak-hak serta

kebijakan-kebijakan dasar yang mendorong pembangunan ekonomi dapat saling

memperkuat satu sama lain.

3.6.3. Mengambil langkah kebijakan pro aktif untuk mengatasi ketidaksetaraan gender dalam penguasaan sumber daya dan partisipasi politik

Karena efek dari kombinasi antara reformasi institusional dan

pembangunan ekonomi biasanya lama baru kelihatan hasilnya, langkah- langkah

aktif seringkali diperlukan untuk jangka pendek atau menengah. Langkah-langkah

aktif yang dimaksud adalah tindakan bertahap dan konkret yang ditujukan untuk

mengatasi diskriminasi gender, baik dalam rumahtangga, masyarakat, maupun

tempat kerja. Hal semacam itu mempercepat kemajuan dalam upaya mengatasi

ketidaksetaraan gender yang masih terus bertahan. Selain itu, juga berguna dalam

memfokuskan diri pada sub-populasi tertentu, misalnya kaum miskin, yang masih

mengalami ketidaksetaraan gender.

Karena sifat dan ruang lingkup ketidaksetaraan gender sangat bervariasi

di berbagai negara, intervensi yang dianggap memadai juga akan bervariasi dari satu

konteks ke konteks lain. Keputusan mengenai apakah negara perlu melakukan

intervensi dan langkah-langkah apa yang hendaknya diambil harus berdasarkan

pemahaman dan analisa situasi lokal. Berhubung langkah-langkah aktif

membutuhkan sumber biaya, para pembuat kebijakan perlu selektif dalam

menentukan langkah apa saja yang akan dijalankan. Misalnya, secara strategis

memfokuskan diri pada bidang-bidang di mana intervensi pemerintah memberi

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Tata bahasa Arab lainnya yang mengandung bias gender adalah kata benda. plural (jama’) untuk sekelompok perempuan adalah kata plural

Dengan adanya dominasi laki-laki maka perempuan akan diposisikan sebagai objek, dan bias gender akan terjadi di dalam suatu teks.. Sedangkan yang kedua, Akses perempuan dalam majalah

Namun dalam merencanakan maupun melaksanakan program pembangunan pedesaan tidak bisa dilakukan secara seragam melainkan harus sesuai dengan ciri khas dari

dengan demikian, kesadaran gender merupakan kesadaran baik pada perempuan maupun laki-laki mengenai hubungan gender sebagai suatu konstruksi sosial yang mengatur

Dengan adanya dominasi laki-laki maka perempuan akan diposisikan sebagai objek, dan bias gender akan terjadi di dalam suatu teks.. Sedangkan yang kedua, Akses perempuan dalam majalah

Gender sering kali menjadi tolak ukur masyarakat untuk membedakan peran laki- laki maupun perempuan yang kemudian diidentikkan dengan kerja domestik (perempuan) dan kerja

Gender adalah sifat yang melekat baik pada kaum laki-laki maupun perempuan yang di kontruksikan baik secara social maupun cultural. Misalnya perempuan dikenal lemah lembut,

Bagi semua anggota Subak Taman Bali agar lebih memahami tentang kesetaraan gender sehingga tidak membedakan laki-laki dan perempuan terutama di bidang kemampuan sehingga setiap anggota