• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untitled - UMSU REPOSITORY

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Untitled - UMSU REPOSITORY"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu akibat hukumnya adalah anak yang lahir dari perkawinan adat tidak mendapat perlindungan hukum dari negara karena tidak didaftarkan dan didaftarkan. Demikian juga dengan hak anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat, dapat terabaikan karena status perkawinannya yang tidak dicatatkan.

Perumusan Masalah

Bagaimana kedudukan hukum anak yang lahir dari perkawinan adat dalam perspektif hukum adat Karo dan hukum nasional. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak anak akibat perceraian hukum adat dalam perspektif hukum adat Karo dan hukum nasional.

Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, baik masyarakat umum, penegak hukum khususnya hakim, serta legislatif dan eksekutif untuk meninjau peraturan hukum yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini, terkait dengan perlindungan hukum terhadap anak yang lahir di luar nikah dan dilaksanakan menurut hukum adat.

Keaslian Penelitian

  • Joy Sandio Alloysius Sinuhaji, dengan judul tesis Perceraian Pada Masyarakat Karo Beragama Kristen Protestan di Pengadilan Negeri

Hasil dari penelitian ini adalah tata cara perkawinan ini menunjukkan bahwa perkawinan Erdemu Impal hanya melakukan perkawinan adat dan tidak dicatatkan dalam lembaga perkawinan yang sah. Rosdiana Tarigan, berjudul Analisis Hukum Perkawinan yang Dilakukan Secara Adat Karo yang Tidak Didaftarkan Ditinjau dari UU No.

Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka teori

  • Kerangka konsepsi

Perlindungan hukum merupakan gambaran berfungsinya fungsi hukum bagi terwujudnya tujuan hukum, yaitu keadilan. 24Maria Theresia Geme, “Perlindungan Hukum Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Cagar Alam Watu Ata Kabupaten Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur”.

Metode Penelitian 1. Sifat penelitian

  • Jenis penelitian
  • Lokasi penelitian
  • Alat pengumpul data
  • Prosedur pengambilan dan pengumpulan data
  • Analisis data

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara dengan tokoh adat Karo di Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo, sedangkan data sekunder dilakukan dengan studi kepustakaan atau penelusuran pustaka di perpustakaan bahan hukum tertulis yang relevan. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat otoritatif, artinya mempunyai kewenangan yang terdiri atas peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah untuk membuat undang-undang dan putusan-putusan hakim,40 dalam penelitian ini adalah KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2, Nomor 023 Tahun M 023, Undang-Undang Nomor , Putusan Mahkamah Konstitusi 46/PU U-VIII/2010 tentang Perubahan Undang-Undang Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tentang hubungan keperdataan anak dengan ayah kandungnya.

Keabsahan Perkawinan yang Dilakukan Secara Adat dalam Perspektif Hukum Nasional

  • Perkawinan dalam perspektif hukum adat
  • Perkawinan dalam perspektif hukum nasional
  • Perkawinan dalam hukum adat Karo

Perkawinan dalam arti pertunangan adalah perkawinan yang mempunyai akibat hukum yang bertentangan dengan hukum adat yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Menurut hukum adat berlaku umum dalam masyarakat Indonesia, seperti dalam masyarakat kekerabatan bilateral. Bentuk perkawinan dalam hukum adat Karo adalah monogami, dalam masyarakat Karo masih banyak perkawinan yang berbentuk persilangan sepupu yaitu perkawinan antara anak suami dengan saudara perempuan (silang artinya silang, sepupu artinya saudara sepupu) yang dalam masyarakat Karo dikenal dengan perkawinan impal.

Menurut hukum adat Karo dengan peristiwa perkawinan yang jujur ​​ada 3 (tiga) akibat hukum yang terjadi. Perkawinan yang dilakukan menurut hukum adat khususnya di Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo tidak disertai pencatatan perkawinan di KUA bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang non muslim.

Keabsahan Perceraian yang Dilakukan Secara Adat

Perkawinan dan perceraian selalu identik dengan hukum adat dan agama dalam pandangan sebagian masyarakat Indonesia. Hampir semua peristiwa hukum, seperti perkawinan dan/atau perceraian, selalu merupakan hukum adat pada saat peristiwa itu terjadi. Ini berarti bahwa perkawinan dan perceraian berdasarkan hukum adat dapat diklasifikasikan sebagai perkawinan bawah tanah dan perceraian.

Perceraian yang merupakan alternatif terakhir juga tidak dapat digunakan oleh suami istri, karena ada aturan hukum adat yang harus mereka patuhi. Perceraian dalam sistem hukum adat Karo dapat dikatakan dilarang, diperbolehkannya perceraian hanya terjadi jika salah satu pihak meninggal dunia.

Konsekuensi Yuridis Perkawinan dan Perceraian yang Dilakukan Secara Adat dalam Perspektif Hukum Nasional

117 Abdurrahman, “Beberapa Catatan tentang Kedudukan Hukum Adat dalam Hukum Perkawinan”, dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan, 1983, hal.397. Berdasarkan kondisi tersebut maka seharusnya hukum memberikan solusi berupa talak sajbat, yaitu pengertian cerai bagi suami istri yang bercerai menurut hukum adat. Ternyata banyak orang di Indonesia yang lebih patuh pada hukum adat daripada hukum yang ditetapkan oleh negara.

Fakta yang terjadi di Kabupaten Lau Baleng ini dibuktikan dengan beberapa kasus perkawinan dan perceraian yang dilakukan menurut hukum adat yang kemudian disahkan oleh kepala desa. STATUS HUKUM ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN UMUM DALAM PERSPEKTIF KAROS MENYESUAIKAN PERSPEKTIF HUKUM DAN HUKUM.

Status Anak dalam Perkawinan Perspektif Aturan Perundang-undangan dan Hukum Islam

Sedangkan anak yang lahir di luar nikah tidak dapat disebut sebagai anak sah, biasa disebut anak hasil zina atau anak sah di luar nikah dan hanya mempunyai hubungan keluarga dengan ibunya saja. Menurut pasal 2 UU Perkawinan, yang dikatakan sebagai anak sah adalah “anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah”. Pasal 99 KHI juga menyatakan bahwa anak sah: a. Pertama, bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam perkawinan yang sah; Kedua, anak sah adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah.

Pertama, bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam perkawinan; kedua, anak sah adalah anak yang lahir dalam perkawinan. Diktum Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa anak sah adalah anak yang lahir "dalam perkawinan", dipertentangkan. Jelas, pemahaman ini tidak memperhitungkan konsepsi seorang anak dalam kandungan.

Status Hukum Anak yang Lahir dari Perkawinan Secara Adat dalam Perspektif Hukum Adat Karo

Anak yang lahir di luar nikah adalah anak di luar nikah dan mempunyai hubungan keperdataan hanya dengan ibu dan keluarga ibunya (Pasal 43 UU Perkawinan). Pertanyaan yang lebih menarik adalah apakah anak yang lahir dari perkawinan adat dapat dikatakan sebagai anak sah. Artinya, anak yang lahir tidak berdasarkan perkawinan yang sah a contrario sebagai anak luar kawin.

Dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, anak luar kawin disebut anak yang lahir di luar perkawinan. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah yang kebetulan tidak terdaftar dan terdaftar di lembaga negara dianggap sebagai anak tidak sah.

Hak-hak Anak dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Apalagi undang-undang tentang perlindungan anak sudah ada sejak tahun 1979 dengan keluarnya UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. Undang-undang ini merupakan bentuk kepedulian pemerintah terhadap perlindungan anak di Indonesia. Esensi KDF dapat diadopsi sebagai bahan hukum, seperti menggunakan asas dan tujuan perlindungan anak yang tercantum dalam undang-undang. 160.

Pada prinsipnya perlindungan anak berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Perlindungan anak adalah setiap kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, serta berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Perlindungan Hukum terhadap Hak-Hak Anak Akibat Perceraian yang Dilakukan Secara Adat dalam Perspektif Hukum Adat Karo

Berdasarkan kedua pasal yang termuat dalam UU Perkawinan di atas, berarti agar perkawinan itu sah, selain harus berdasarkan agama dan kepercayaan, juga harus dicatatkan pada pegawai pencatat perkawinan yang berwenang. 9 Tahun 1975 bahwa perkawinan yang telah dilakukan pencatatan perkawinan mengandung manfaat bagi masyarakat, artinya perkawinan tersebut melindungi hak asasi perempuan karena menurut hukum positif Indonesia, perkawinan yang tidak tercatat atau perkawinan di bawah tangan sama sekali tidak diakui oleh negara. Akibat hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan,174 meskipun secara agama atau kepercayaan dianggap sah, tetapi perkawinan itu sah.

Kelahiran anak di luar nikah, anak dari perkawinan di luar nikah tidak memiliki identitas resmi di hadapan hukum negara tempat mereka dilahirkan atau negara asal orang tuanya. Masalahnya, keputusan adat Karo ditolak oleh negara melalui Undang-Undang Perkawinan yang mewajibkan perceraian harus melalui putusan lembaga resmi negara, dalam hal ini Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam dan Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam.

Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak akibat perceraian yang dilakukan secara adat dalam perspektif Hukum Nasional

Fakta dan realita bahwa anak yang lahir di luar nikah masih sering mengalami perlakuan diskriminatif, kekerasan dan ketidakadilan serta sering menjadi korban dari sistem hukum. Ketentuan adanya wajib pencatatan perkawinan menimbulkan ekses negatif bagi anak-anak yang orang tuanya menikah dan bercerai melalui hukum adat. 1 Tahun 1974, pasal 2, alinea (2) dan Pasal 43, ayat

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut secara efektif telah menyelesaikan persoalan hak anak yang lahir dari perkawinan adat yang haknya tetap diakui dan dilindungi oleh negara. Putusan MK tersebut mampu memberikan secercah harapan bagi anak-anak yang lahir di luar nikah, agar dapat memperoleh hak-hak keperdataannya, sehingga dapat berdiri sejajar dengan anak-anak lainnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perlindungan hukum terhadap hak anak akibat perceraian adat dalam perspektif hukum adat Karo dan hukum nasional adalah menurut adat Karo, apabila perceraian dilakukan menurut adat, maka anak-anak baik laki-laki maupun perempuan berada di bawah perlindungan bapaknya, karena anak-anak tersebut termasuk dalam marga keluarga bapaknya dan menggunakan marga bapaknya; bahwa menurut undang-undang nasional sebelum dikeluarkannya Keputusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, anak luar kawin diwariskan kepada ibunya, hak asuhnya ada pada ibunya, serta hak keperdataannya; setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi no.

Saran

Memang harus ada harmonisasi antara hukum adat dan hukum nasional berkenaan dengan perlindungan hukum yang terkandung dalam hukum adat yang dapat diakomodasi dalam hukum nasional. Artinya, UU Perlindungan Anak harus mengadopsi bentuk-bentuk perlindungan anak yang tertuang dalam hukum adat.

DAFTAR PUSTAKA

  • Buku
  • Peraturan Perundang-Undangan
  • Tesis, disertasi
  • Jurnal
  • Situs Internet
  • Wawancara

Abdurrahman, “Beberapa Keterangan tentang Kedudukan Hukum Perkawinan dalam Hukum Perkawinan,” dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan, 1983. Khosyi'ah, Siah, “Konsekuensi Tidak Dicatatnya Undang-Undang Perkawinan Terhadap Hak Harta Istri dan Anak Berdasarkan Hukum Islam di Indonesia,” dalam Jurnal Asy-Syari'ah, Volume 17, Nomor 3, Desember 2015. Megawati, Rena, “Legal Review Concerning the Legitimacy of Marriage ge Pariban dalam Hukum Adat Batak Toba Dikaitkan dengan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974,” dalam Journal of Legal Insights, Vol.

Pohan, Mahalia Nola, “Use Law of Sumut in Jurisprudence in Indonesia,” dalam Doktrin: Jurnal Hukum, Volume 1, Nomor 1, Juni 2018. Pranoto, “Legitimasi Pernikahan Siri Dalam Sistem Hukum Perkawinan Indonesia,” dalam Yustisia Jurnal Hukum, Edisi 81, Tahun XXI, September–Desember 2010.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam adat Minangkabau, seorang laki-laki khususnya kaum bangsawan diharuskan menikahi lebih dari satu perempuan Minangkabau. Karena meskipun seorang anak akan

Demikian pula perkawinan antara laki –laki abangan dan perempuan santri, pada umumnya juga kurang ideal, meskipun istrinya aktif beribadah tetapi laki-lakinya tidak pernah

14 Paul M Barret. American Islam: The Struggle for the Soul of a Religion. 16 Kaum yang menjunjung tinggi persamaan hak kaum perempuan dengan laki-laki. 17

Dari tulisan tersebut dapat dilihat bagimana penulis memberikan pengertian pada kaum laki-laki, bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk

Meskipun Undang-Undang Perkawinan telah memberikan kejelasan tentang kewajiban laki-laki dan perempuan sebagai suami dan istri setelah menikah, begitu juga dengan

Dalam sejarah, posisi perempuan berada di bawah kezaliman kaum laki-laki, tidak mendapatkan hak dan kedudukan yang sewajarnya dalam masyarakat, terutama hak untuk mendapatkan

Seperti teks-teks tentang perjuangan Siti Khadijah ra dan beberapa sahabat perempuan yang lain, tentang kemitraan laki-laki dan perempuan, tentang hak perempuan dalam perkawinan

Meskipun kemudian perempuan bisa memperoleh kemajuan yang lebih melalui pendidikan bukan berarti hal tersebut akan buruk juga baik kaum laki-laki, malah sebaliknya dengan