• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskriminasi Gender Yang Dialami Oleh Tokoh Gin Dalam Novel “Ginko” Karya Jun’ichi Watanabe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Diskriminasi Gender Yang Dialami Oleh Tokoh Gin Dalam Novel “Ginko” Karya Jun’ichi Watanabe"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan

masyarakat. Melalui karya sastra, pengarang berusaha mengungkapkan suka duka

kehidupan masyarakat yang mereka rasakan atau mereka alami. Selain itu karya

sastra menyuguhkan potret kehidupan dengan menyangkut persoalan sosial dalam

masyarakat, setelah mengalami pengendapan secara intensif dalam imajinasi

pengarang, maka lahirlah pengalaman kehidupan sosial tersebut dalam bentuk

karya sastra.

Menurut Semi dalam Wahyudi (2008: 67) sastra lahir oleh dorongan

manusia untuk mengungkapkan diri, tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan

semesta. Dengan hadirnya karya sastra yang membicarakan persoalan manusia,

antara karya sastra dengan manusia memiliki hubungan yang tidak terpisahkan.

Sastra dengan segala ekspresinya merupakan pencerminan dari kehidupan manusia.

Adapun permasalahan manusia merupakan ilham bagi pengarang untuk

mengungkapkan dirinya dengan media karya sastra. Mencermati hal tersebut,

jelaslah manusia berperan sebagai pendukung yang sangat menentukan dalam

kehidupan sastra.

Karya sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Sastra

merupakan segala sesuatu yang ditulis dan tercetak. Selain itu, karya sastra juga

merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas pengertiannya dari pada

(2)

Sebagai hasil imajinatif, sastra berfungsi sebagai hiburan yang

menyenangkan, juga guna menambah pengalaman batin bagi para pembacanya.

Sastra terdiri atas tiga jenis (genre), yaitu prosa, puisi, dan drama. Salah satu jenis

prosa adalah novel.

Novel sebagai salah satu produk karya sastra merupakan media yang

digunakan pengarang dalam menyampaikan ide-idenya. Sebagai media, karya

sastra menjadi jembatan untuk menghubungkan pikiran-pikiran pengarang untuk

disampaikan kepada pembaca. Karya sastra sebagai media untuk merefleksikan

pandangan si pengarang terhadap berbagai masalah yang diamatinya. Realitas

sosial yang terjadi diramu dengan sedemikian rupa menjadi sebuah teks yang

memungkinkan menghadirkan pencitraan yang berbeda dibandingkan dengan

realitas empiris. Dengan demikian, realitas sosial yang terjadi di masyarakat

dihadirkan kembali oleh pengarang melalui teks cerita dalam bentuk dan

pencitraan yang berbeda. Dalam karya sastra, hal-hal yang digambarkan tentang

masyarakat bisa berupa struktur sosial masyarakat, fungsi dan peran

masing-masing anggota masyarakat, maupun interaksi yang terjalin diantara seluruh

anggotanya. Secara lebih sederhana, karya sastra menggambarkan unsur-unsur

masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Interaksi yang terjalin antara

keduanya merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji.

Dalam sistem yang lebih kompleks, hubungan antara laki-laki dan

perempuan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk pola dan prilaku yang

mencerminkan penerimaan dari pihak laki-laki dan perempuan terhadap

(3)

kebudayaan bahwa secara struktural posisi lelaki lebih tinggi dari pada kaum

perempuan.

Saat membahas masalah perempuan, salah satu konsep penting yang tidak

bisa dilupakan adalah permasalahan gender. Kata gender dalam bahasa Indonesia

dipinjam dari bahasa Inggris. Kalau dilihat dalam kamus, tidak dijelaskan secara

jelas pengertian antara kata sex dan gender. Konsep gender adalah suatu sifat yang

melekat pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang dikonstruksikan

secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah

lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat,

rasional, jantan dan perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang

dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke

waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Semua hal yang dapat dipertukarkan

antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta

berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas

lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender.

Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis

laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal,

diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara

sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses

panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan—

seolah-olah bersifat biologis, yang tidak bisa diubah lagi, sehingga

perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami secara kodrat laki-laki dan kodrat

(4)

Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidaklah

menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang

menjadi permasalahan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai

ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan perempuan pada umumnya. Pihak

yang paling dirugikan dalam ketidakadilan gender biasanya adalah perempuan.

Salah satu faktor penyebabnya adalah budaya patriarki. Partiarki menurut Bhasin

(1996: 3) merupakan sebuah sistem dominasi dan superioritas laki-laki, sistem

kontrol terhadap perempuan, dalam mana perempuan dikuasai. Patriarki

membentuk laki-laki sebagai superordinat dalam kerangka hubungan dengan

perempuan yang dijadikan sebagai subordinatnya. Dari kondisi ini muncullah

dominasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan, baik dalam kehidupan rumah

tangga maupun masyarakat. Perempuan sebagai lawan jenis dari laki-laki,

digambarkan dengan citra tertentu yang mengesankan inferioritas perempuan.

Inferioitas adalah perasaan minder atau rasa rendah diri tentang ketidakmampuan

diri sehingga tidak bisa menunjukkan kebolehannya secara optimal. Inferioritas ini

juga yang menyebabkan posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki. Salah satu

kesan inferioritas yang sering ada adalah adanya sistem pembagian kerja. Ada

beberapa pemahaman bahwa perempuan tidak hanya berperan sebagai istri, ibu,

dan ibu rumah tangga saja, namun secara sosial dan budaya dapat mejadi apapun

dalam ruang lingkup yang luas. Namun ketika peran itu diterapkan dalam anggota

keluarga, semua pemahaman itu tidak dapat terealisasi. Semua peran yang

menyangkut sosial dan masyarakat hanya didominasi oleh pihak laki-laki. Yang

terjadi selanjutnya adalah, laki-laki akan lebih berkuasa dalam keluarga karena

(5)

dibandingkan perempuan. Efek negatif yang muncul akibat dari pemilahan peran

gender dari budaya patriarki akan memunculkan ketidakadilan gender sehingga

akan membentuk diskriminasi perempuan.

Dalam pasal 1 butir 3 UU No. 39/1998 tentang HAM disebutkan

pengertian diskriminasi, yakni segala bentuk pembatasan, pelecehan, atau

pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan

manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial,

status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat

pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau

penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik

individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya

dan aspek kehidupan lainnya.

Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi , diskriminasi merujuk

kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, dimana layanan ini

dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi

merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam kehidupan masyarakat, ini

disebabkan kecenderungan manusia membeda-bedakan yang lain. Diskriminasi

juga mempengaruhi setiap individu dalam menentukan pilihan dalam

kehidupannya.

Jadi diskriminasi merupakan tindakan yang memperlakukan satu orang

atau satu kelompok secara tidak adil dari pada orang yang lainnya.

Menurut Fakih (2004: 12-13), diskriminasi atau ketidakadilan gender

termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni : a) Marginalisasi atau

(6)

stereotipe atau pelabelan, d) Kekerasan / violence , e) Beban kerja berlebih /

double burden.

Masalah mengenai diskriminasi khususnya diskriminasi gender juga

terdapat dalam sebuah novel Jepang karangan Jun’ichi Watanabe yang berjudul

Ginko. Novel Ginko menceritakan tentang seorang gadis desa Tarawase yang

bernama Ogino Gin yang memiliki ambisi dan harapan untuk menjadi seorang

dokter wanita. Pada masa awal pemerintahan Meiji, untuk meraih profesi dokter

merupakan hal yang sangat sulit bagi perempuan. Maka dari itu cita-cita Gin untuk

menjadi dokter terbilang mustahil untuk terwujud. Namun semua kenyataan itu

tidak menyurutkan niatnya untuk menjadi dokter. Diawali dengan mengubah

namanya menjadi Ginko sebagai simbol perlawanannnya terhadap ketidakdilan

yang mendera perempuan, dia memulai perjuangan untuk menjadi dokter

perempuan pertama di Jepang. Tokoh utama perempuan dalam novel ini

beranggapan bahwa perempuan juga memiliki hak untuk merasakan profesi dokter.

Dia berambisi menjadi dokter perempuan agar perempuan-perempuan lain yang

sedang sakit dan butuh pertolongan dokter tidak perlu merasa canggung lagi saat

mereka akan diperiksa oleh dokter perempuan dan mereka pun dengan senang hati

menjalani proses pengobatan apapun. Penyangkalan antara realitas dan keinginan

tokoh utama mencerminkan tidak banyak yang dapat dilakukan perempuan jepang

untuk melakukan budaya patriarki seperti yang biasa dilakukan oleh kaum

laki-laki.

Berbagai bentuk ketidakadilan gender itu terlihat dari usaha laki-laki untuk

(7)

sistem pembagian kerja dan lain-lain. Walau demikian, tokoh utama wanita tidak

pernah menyerah untuk meraih ambisinya untuk menjadi dokter perempuan.

Berdasarkan pada uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk membahas

diskriminasi gender yang terdapat dalam novel Ginko karya Jun’ichi Watanabe

sehingga akhirnya penulis memilih judul skripsi yaitu “Diskriminasi Gender yang

Dialami Oleh Tokoh Gin Dalam Novel ‘Ginko’ Karya Jun’ichi Watanabe”.

1.2 Perumusan Masalah

Istilah gender sudah sangat sering terdengar namun belum semua orang

memahami apa itu gender sebenarnya. Sebagian besar orang menganggap gender

sama dengan sex atau jenis kelamin. Padahal gender dan sex merupakan dua istilah

yang artinya sangat jauh berbeda. Sex atau jenis kelamin merupakan penyifatan

atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang

melekat pada jenis kelamin tertentu. Jenis kelamin ini secara permanen tidak

berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering disebut sebagai ketentuan

Tuhan atau kodrat.

Setiap masyarakat dalam komunitas kebudayaan tertentu memiliki

pandangan yang tentunya berbeda mengenai sifat laki-laki dan perempuan.

Perbedaan gender sesungguhnya tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak

terjadinya diskriminasi atau ketidakadilan gender.

Dalam novel Ginko, sang penulis mengangkat tokoh utama wanita. Tokoh

utama wania dalam novel ini merupakan representasi kaum perempuan yang

(8)

dan berasal dari keluarga Ogino yang merupakan kalangan Ogino Atas dan

keluarga yang paling dihormati dalam klan Ogino.

Tokoh Ginko dalam novel ini memiliki keinginan kuat untuk menjadi

seorang dokter perempuan. Namun keinginannya yang mulia ini malah ditentang

oleh ibunya sendiri. Ibunya beranggapan bahwa tugas dokter bukanlah pekerjaan

wanita. Ibunya mengatakan bahwa tugas seorang wanita hanyalah mengurus

rumah tangga dan merawat keluarga. Butuh waktu lebih dari setahum bagi Gin

untuk meyakinkan ibunya atas tekadnya untuk belajar ke Tokyo. Namun, izin yang

diberikan oleh ibunya masih penuh dengan rasa enggan, ibunya terkejut dan marah

atas tekad Gin yang pantang menyerah meskipun berhadapan dengan air matanya.

Akhirnya Gin bisa kuliah di Universitas Kedokteran Kojuin. Namun

semenjak hari pertamanya, Gin tidak mendapatkan apa-apa kecuali perlakuan

kasar dan diskriminasi dari mahasiswa yang merupakan laki-laki semua.

Mahasiswa-mahasiswa disana pun mengatakan bahwa derajat mereka telah

diturunan sampai pada tingkat perempuan karena adanya Gin yang melanjutkan

pendidikan ke profesi medis.

Ketidakdilan gender yang dialami Gin ada berbagai bentuk, diantaranya

adalah subordinasi, marginalisasi, stereotipe dan kekerasan/violence semua itu

dirasakan oleh Gin yang diungkapkan oleh pengarang dalam novel Ginko.

Sepintas tindakan ini diantaranya, saat Gin hendak pulang kerumah, ia

dicegat oleh sekelompok mahasiswa. Mereka melakukan pelecehan seksual kepada

Gin. Selain itu, setelah Gin lulus dari Universitas Kojuin, ia juga harus menerima

banyak tantangan yang cukup berat. Ia tidak diizinkan unuk mengikuti ujian lisensi

(9)

Gin bahkan saat dia sudah membuka praktik dokter di rumahnya. Dan masih

banyak lagi tindakan diskriminasi yang dialami oleh Gin yang akan dibahas di bab

tiga.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis merumuskan masalahnya dalam

bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender apa saja yang dialami oleh tokoh

Gin dalam novel Ginko?

2. Bagaimana ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh Gin dalam

novel Ginko yang diungkapkan oleh Jun’ichi Watanabe?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan yang telah dikemukakan di atas, penulis menganggap

diperlukan adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan penelitiaan ini.

Hal ini dilakukan sebagai upaya agar masalah tidak terlalu luas dan berkembang

jauh dari topik penelitian, sehingga penulisan dapat lebih terarah dan terfokus.

Dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi permasalahannya yakni

mengenai masalah diskriminasi gender dalam novel Ginko dan realitas masalah

gender di Jepang, khususnya masalah ketidakadilan gender berupa subordinasi,

marginalisasi, stereotipe dan violence atau kekerasan terhadap perempuan.

Untuk mempermudah dan memperjelas fokus mengenai diskriminasi gender ini,

penulis juga akan menjelaskan mengenai setting novel Ginko, biografi Jun’chi

Watanabe sebagai pengarang novel Ginko, dan pengertian gender termasuk

(10)

utama adalah novel Ginko karya Jun’ichi Watanabe yang berjumlah 462 halaman,

dalam edisi bahasa Indonesia.

1.4 Tinjauan Pusataka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Menurut Semi dalam Wahyudi (2008: 67),sastra lahir oleh dorongan

manusia untuk mengungkapkan diri, tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan

semesta. Sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa.

Sastra adalah kekayaan rohani yang dapat memperkaya rohani.

Banyak orang yang mendefenisiskan karya sastra dalam satu defenisi yang

umum. Padahal selain bersifat umum, karya sastra juga bersifat khusus. Dikatakan

bersifat umum karena semua karya sastra seharusnya dapat dibedakan dengan

bentuk hasil-hasil seni atau kebudayaan lainnya, seperti seni patung, seni tari, seni

lukis, seni rupa, dll. Karya sastra bersifat khusus karena karya sastra dapat

dibedakan atas puisi, prosa, dan drama. Prosa dapat dibedakan atas cerpen, novel,

novelet, dan cerpen.

Novel merupakan bentuk prosa rekaan yang lebih pendek dari pada roman.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 694), novel diartikan sebagai

karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang

dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap

pelaku. Masalah yang dibahas dalam novel juga tidak begitu kompleks.

Novel sebagai salah satu produk karya sastra, merupakan media yang

(11)

sastra menjadi jembatan yang menghubungkan pemikiran-pemikiran pengarang

yang disampaikan kepada pembaca.

Seperti karya seni pada umumnya, kesusastraan selalu diciptakan secara

kreatif, dalam pengertian bahwa karya sastra selalu diciptakan dalam realitas baru,

yang berarti sesuatu yang belum terlintas dan belum tertangkap oleh orang lain.

Karya sastra sebagai media untuk merefleksikan pandangan pengarang terhadap

berbagai masalah yang diamatinya dilingkungan.

Realitas sosial yang terjadi diramu dengan sedemikian rupa menjadi sebuah

teks yang nantinya dapat menghadirkan pencitraan yang berbeda dibandingkan

dengan realitas empiris. Dengan demikian, realitas sosial yang terjadi di

masyarakat dihadirkan kembali oleh pengarang melalui teks cerita dalam bentuk

dan pencitraan yang berbeda.

Penciptaan sastra selalu bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup

dalam masyarakat (Rampan, 2008: 82). Dalam sebuah karya sastra, hal-hal yang

digambarkan tentang masyarakat dapat berupa struktur sosial masyarakat, fungsi

dan peran masing-masing anggota masyarakat, maupun interaksi yang terjalin

diantara seluruh anggotanya.

Menurut Trisakti dan Sugiarti (2008: 4-6) kata “gender” sering diartikan

sebagai kelompok laki-laki, permpuan, atau perbedaan jenis kelamin. Untuk

memahami kata gender, harus dibedakan dengan kata sex atau jenis kelamin.

Secara struktur biologis atau jenis kelamin, manusia terdiri dari laki-laki dan

perempuan yang masing-masing memiliki alat dan fungsi biologis yang melekat

(12)

karena tidak memiliki organ peranakan. Sedangkan perempuan tidak bersuara

berat, tidak berkumis, karena keduanya memiliki hormon yang berbeda.

Konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan

perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir

beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan.

Bentukan sosial atas laki-laki dan perempuan itu antara lain : kalau perempuan

dikenal sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan.

Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa gender dapat diartikan sebagai

konsep sosial yang membedakan (dalam arti: memilih atau memisahkan) peran

antara laki dan perempuan. Dengan melihat perbedaan yang jelas antara

laki-laki dan perempuan, maka dapat dikatakan perbedaan itu terjadi secara kodrati.

Gender adalah perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki

dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai

dengan perkembangan zaman.

Seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis. Seks

melekat secara fisik sebagai alat reproduksi. Oleh karena itu, seks merupakan

kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga bersifat permanen dan universal.

Jadi, gender menurut Fakih (2004: 8) adalah suatu sifat yang melekat pada

kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun

kultural. Sementara itu kultur yang ada dalam masyarakat akan mengalami

perubahan dan perkembangan seiring dengan berjalannya waktu, maka sifat yang

dilekatkan oleh masyarakat juga akan mengalami perubahan dan perkembangan.

(13)

tempat yang lainnya. Misalnya saja, kultur masyarakat yang berubah dari mulai

zaman batu, laki-laki lebih dominan daripada perempuan karena kekuatan fisik

yang berbeda, kemudian pada zaman agraris, dimana perempuan tampak lebih

mandiri, dan di zaman industri maju dengan teknologi yang canggih saat ini lebih

menghargai skill daripada jenis kelamin, yang menempatkan perempuan pada

posisi yang setara dengan kaum laki-laki. Struktur sosial dan kondisi sosio-kultural

akan mempengaruhi identitas gender.

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan pada konsep

gender, khususnya pada konsep ketidakadilan gender. Menurut Fakih (2004:

12-13), diskriminasi atau ketidakadilan gender sering terjadi di dalam keluarga dan

masyarakat serta di tempat kerja dalam berbagai bentuk, yaitu :

a. Peminggiran / Marginalisasi

Marginalisasi atau peminggiran adalah kondisi dimana terjadinya

peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus pekerjaan utama yang

berakibat pemiskinan. Proses marginalisasi yang mengakibatkan pemiskinan

sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa

kaum laki-laki dan perempuan. Namun ada salah satu bentuk pemiskinan atas satu

jenis kelamin tertentu dalam hal ini perempuan, disebabkan oleh gender. Banyak

studi telah dilakukan dalam rangka membahas program pembangunan pemerintah

(14)

swasembada pangan atau revolusi hijau (green revolution) secara ekonomis telah

menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjannya sehinggga memiskinkan mereka.

b. Anggapan Tidak Penting / Subordinasi

Subordinasi atau anggapan tidak peting adalah anggapan bahwa salah satu

jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan

dengan jenis kelamin lainnya.

Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap

perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga

perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang

menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Misalnya saja sejak

zaman dahulu perempuan tidak diperbolehkan untuk sekolah tinggi-tinggi karena

akhirnya mereka akan di dapursaja dan mengurus pekerjaan rumah tangga.

c. Pelabelan / Stereotipe

Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu

kelompok tertentu. Celakanya stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan

diskriminasi atau ketidakadilan. Salah satu jenis stereotipe itu adalah yang

bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali diskriminasi terhadap jenis

kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari pelabelan yang

dilekatkan terhadap kaum perempuan. Misalnya saja, penandaan yang berawal dari

asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian

lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu

(15)

d. Beban Kerja Berlebih / Double burden

Beban kerja berlebih atau double burden adalah perlakuan terhadap salah

satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak

dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Adanya anggapan bahwa kaum

perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi

kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga

menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya, banyak kaum

perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan

kerapian rumah tangganya, mulai dari membersihan dan mengepel lantai,

memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga mengurus anak-anaknya. Di

kalangan keluarga miskin beban kerja yang sangat berat ini harus ditanggung oleh

perempuan sendiri. Terlebih lebih jika si perempuan tersebut harus bekerja, maka

ia memikul beban kerja berlebih.

e. Kekerasan / Violence

Kekerasan/ violence adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik

maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama

manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan

terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender.

Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related violence.

Banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan

gender, diantaranya :

1) Bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan

(16)

2) Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah

tangga.

3) Bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin.

4) Kekerasan dalam bentuk pelacuran/prostitusi.

5) Kekerasan dalam bentuk pornografi.

6) Kekerasan dalam betuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga

Berencana.

7) Jenis kekerasan terselubung.

8) Pelecehan seksual.

Dengan demikian, pengkajian Novel Ginko ini mengambil pendekatan

analisis diskriminasi atau ketidakadilan gender menurut pendapat diatas.

Bagaimana pemikiran, tindakan,serta situasi sosial yang mencerminkan

ketidakadilan gender dalam novel ini.

Dalam skripsi ini penulis juga menggunakan pendekatan semiotik. Menurut

Sobur (1999: 107), semiologi merupakan sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan

tanda-tanda di tengah masyarakat dan dengan demikian, menjadi bagian dari

disiplin psikologi sosial. Menurut Sobur semiotika adalah suatu ilmu atau metode

analisis untuk mengkaji tanda.

Menurut Broadbent dalam blog yang ditulis oleh Syarufudin dengan

website http://ode87.blogspot.com/2011/03/pengertian-semiotik.html, semiotik

berasal dari kata Yunani: semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model

penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap

(17)

bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama, merujuk pada sebuah disiplin

sedangkan istilah kedua merefer pada ilmu tentangnya.

Menurut Broadbent juga, secara umum, semiotik didefenisikan sebagai

berikut. “Semiotik biasanya didefenisikan sebagai teori filsafat umum yang

berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari

sistem kode yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi. Semiotik

meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda

atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indra yang kita

miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis

menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan

perilaku manusia”.

Tanda (sign), adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap

oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk atau

mereprensentasi hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda terbagi menjadi tiga yaitu

simbol, ikon, dan indeks. Simbol adalah tanda yang muncul dari kesepakatan atau

konvensi-konvensi bahasa. Ikon adalah tanda-tanda yang muncul dari perwakilan

fisik. Indeks adalah tanda yang muncul dari hubungan sebab akibat.

Tanda bermacam-macam asalnya. Ada tanda yang berasal dari manusia

yang berwujud lambang dan isyarat, ada juga yang berasal dari hewan, ada tanda

yang diciptakan oleh manusia. Misalnya saja rambu-rambu lalu lintas. Dan ada

juga tanda yang berasal dari alam serta tanda yang berasal dari dunia tanaman.

Dalam lapangan sastra, karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik

(18)

tanda-tanda. Tanda-tanda tersebut telah ditata oleh pengarang sehingga ada sistem,

konvensi, dan aturan-aturan tertentu.

Menurut Amminudin, dalam blog yang ditulis oleh Greyanasari Rachmadi

(2012) dengan website

http://bastraindonesia.blogspot.com/2012/11/semiotik-sastra, terdapat tiga wawasan semiotika dalam studi http://bastraindonesia.blogspot.com/2012/11/semiotik-sastra, yakni :

1. Karya sastra merupakan gejala konsumsi yang berkaitan dengan pengarang,

wujud sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca.

2. Karya sastra merupakan salah satu bentuk penggunaan sistem tanda yang

memiliki struktur dalam tata tingkatan tertentu.

3. Karya sastra merupakan fakta yang harus direkonstruksikan pembaca

sejalan dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya.

Dalam skripsi ini penulis mengkaji novel Ginko dengan pendekatan

semiotik. Penulis menggunakan tanda-tanda dalam novel Ginko yang menandakan

adanya indeksikal perbedaan gender. Maka dari itu, penulis mengambil cuplikan

yang ada dalam novel Ginko yang nantinya cuplikan dalam novel tersebut

menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku

(19)

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menunjukkan apa saja bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang

dialami oleh Gin dalam Novel Ginko karya Jun’ichi Watanabe.

2. Untuk mendeskripsikan ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh

Gin dalam novel Ginko karya Jun’ichi Watanabe.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pihak-pihak

tertentu baik penulis maupun pembaca, diantaranya :

1. Untuk peneliti sendiri diharapkan dapat menambah wawasan mengenai

realitas permasalahan gender di Jepang.

2. Bagi pembaca dan pelajar-pelajar bahasa Jepang pada khususnya dan

masyarakat pada umumnya diharapkan semoga penelitian ini bisa

sebagai bahan referensi dan menambah informasi tentang masalah

gender yang ada di Jepang.

3. Untuk pembaca penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan

perbandingan dengan penelitian-penelitian lain yag telah ada

(20)

1.6 Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian, sangat diperlukan metode-metode untuk

menunjang keberhasilan tulisan yang akan disampaikan penulis kepada para

pembaca. Metode penelitian adalah cara pengumpulan data, penyusunan data

untuk menguji hipotesa pada penelitian.

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan metode penelitian

deskriptif. Menurut Nazir (2002: 54), metode penelitian deskriptif adalah suatu

metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, kondisi, sistem

pemikiran maupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Metode deskriptif

juga termasuk sebagai metode dalam penelitian kualitatif.

Menurut Moleong (1994: 6), metode penelitian kualitatif adalah merupakan

penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan

fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode

yang ada. Penelitian kualitatif ini bukanlah penelitian kuantitatifikasi yang

berdasarkan angka-angka, tapi menggunakan kedalaman penghayatan terhadap

interaksi antar konsep yang seang dikaji secara empiris.

Untuk mendukung deskripsi dan analisis diskriminasi gender dalam Novel

Ginko ini, penulis juga menggunakan metode studi kepustakaan untuk

mengumpulkan data-data pendukung. Yaitu dengan cara mengumpulkan data dari

berbagai macam literatur buku yang berhubungan dengan masalah penelitian dan

menghimpun data yang bersumber dari internet seperti google dan blog-blog yang

membahas mengenai permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Larutan hidrotermal yang melewati batuan, ketika berinteraksi atau kontak dengan batuan tersebut maka larutan hidrotermal akan membawa ion-ion atau kation-kation yang

[r]

ABSTRACT: Morphological variables such as phytomass, plant height, leaf area, number of leaves, have been used to express the influence of mineral nutrients on plant growth

In the limited guidelines on how ecolodege can contributes to the global warming reductions, this paper highlight the important of attraction and development

4.1.The Antibacterial Activity as Clear Zone of Chrysanthemum indicum Extract on Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, and Escherichia coli

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pengaruh

– Dia humpunan yang saling asing t ersebut adalah pohon biner pada sub pohon kiri (left ) dan sub pohon kanan (right ). – Tergolong dalam pohon berat uran, yait u pohon yang

Berdasarkan hal tersebut, ditemui fakta bahwa media online yang dimiliki oleh pemilik merupakan “surga” karena media tersebut digunakan sesuka hati khususnya bagi