• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Unsur-Unsur Kompetensi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Unsur-Unsur Kompetensi"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Unsur-Unsur Kompetensi

Terdapat berbagai pengertian “kompetensi” yang dikembangkan oleh berbagai institusi. Menurut Depdiknas (2002) kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab/komitmen yang dimiliki seseorang sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu (Undang-undang nomor 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi). Elemen-elemen yang menentukan kompetensi seseorang meliputi: (1) landasan kepribadian, (2) penguasaan ilmu dan keterampilan, (3) kemampuan berkarya, (4) sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai dan (5) pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.

Istilah kompetensi diartikan sebagai “kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas” atau “memiliki keterampilan dan kecakapan yang disyaratkan.” Pengertian yang lebih luas ini jelas bahwa setiap cara yang digunakan dalam pelajaran yang ditujukan untuk mencapai kompetensi adalah mengembangkan manusia yang bermutu yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sebagaimana disyaratkan. Kata kompetensi dipilih untuk menunjukkan tekanan pada “kemampuan mendemonstrasikan pengetahuan” (Suparno 2001).

Shellabear (2002) menyatakan bahwa kompetensi adalah penerapan dari pengetahuan yang bersifat interpersonal, pembuatan keputusan dan keterampilan (psychomotor skills) yang diharapkan dalam menjalankan suatu peran. Menurut McAshan (Mulyasa 2002)

“Competency is a knowledge, skill and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can satifactorily perform particular cognitive, affective and psychomotor behaviours.”

Kompetensi manusia adalah kemampuan berpikir, bersikap dan bertindak yang mendasari dan merefleksikan wujud perilaku dan kinerja seseorang dalam aktivitas dan pergaulan hidupnya (Mangkuprawira 2004). Kompetensi dapat diterjemahkan sebagai penerapan dari pengetahuan, kemampuan dan karakteristik individu yang akan menghasilkan kinerja yang menonjol.

(2)

Spencer dan Spencer (1993) kompetensi merupakan karakteristik mendasar seseorang yang menentukan terhadap hasil kerja yang terbaik dan efektif sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam suatu pekerjaan atau situasi tertentu. Kompetensi menentukan perilaku dan kinerja (hasil kerja) seseorang dalam situasi dan peran yang beragam. Tingkat kompetensi seseorang akan mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik atau tidak. Kompetensi juga menentukan cara-cara seseorang dalam berperilaku atau berpikir, menyesuaikan dalam berbagai situasi dan bertahan lama dalam jangka panjang. Kompetensi yang satu berbeda dengan kompetensi yang lain dalam hal jumlah bagian-bagiannya. Semakin kompleks, kreatif atau profesional suatu kompetensi, makin besar kemungkinan diterapkan dengan cara berbeda (different fashion) pada setiap kali dilakukan bahkan oleh orang yang sama.

Willis dan Samuel (Puspadi 2003) kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas secara efektif. Kompetensi kerja adalah segala sesuatu pada individu yang menyebabkan kinerja yang prima. Klemp (Puspadi 2003) mengungkapkan bahwa:

“a job competency in an underlying characteristic of a person which

result in effective and or superior performance in a job. A job competency is an underlying characteristic of a person in that it may be a motive, trait,

skill, aspect of one’s self image or social role, or a body of knowledge

which he or she uses.”

Mulyasa (2002) mengemukakan bahwa dalam hubungannya dengan proses belajar, kompetensi menunjuk kepada perbuatan yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu dalam proses belajar. Kompetensi dikatakan perbuatan karena berbentuk perilaku yang dapat diamati, meskipun sering terlihat proses yang tidak nampak seperti pengambilan pilihan sebelum perbuatan dilakukan. Kompetensi dilandasi oleh rasionalitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran “mengapa dan bagaimana” perbuatan tersebut dilakukan. Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.

Menurut Widyarini (2004) untuk bertahan (survive) dan meraih keberhasilan hidup, manusia perlu mengembangkan kompetensi. Kompetensi lebih dari sekedar mengembangkan keterampilan, namun mencakup keberhasilan mengatasi tantangan-tantangan, sukses dalam berinteraksi dengan lingkungan,

(3)

mampu menyusun tujuan-tujuan dan memandang diri sendiri sebagai orang yang cakap (mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain). Seseorang perlu memiliki tiga hal berikut untuk mengembangkan kompetensi: 1. Sense of control adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya sendirilah yang

mengendalikan hidupnya atau peristiwa-peristiwa yang ia alami (bukan ditentukan oleh nasib/takdir atau orang lain yang berkuasa). Orang yang memiliki sense of control merasa bahwa sesuatu yang akan terjadi dalam hidupnya dapat diprediksi. Hal ini merupakan pemenuhan atas kebutuhan untuk kelangsungan hidup (survival).

2. Kebutuhan untuk berprestasi dan penguasaan. Kebutuhan–kebutuhan untuk mencapai tujuan dan menguasai keterampilan tertinggi ini merupakan dasar penting untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan seseorang untuk sukses dalam berinteraksi dengan lingkungan meraih yang diharapkan dalam hidup.

3. Self esteem, dalam psikologi sering diterjemahkan sebagai harga diri dan didefinisikan sebagai penilaian seseorang terhadap diri sendiri, baik positif maupun negatif. Manusia yang mempunyai keyakinan akan kemampuan-kemampuan yang dimiliki dan merasa dirinya bernilai adalah orang yang harga dirinya positif. Sebaliknya, mereka yang harga dirinya negatif akan merasa lemah atau tidak berdaya.

Sejalan dengan pembagian kompetensi secara umum, pembagian lain menurut Carlisle (Rosyada 2004) kompetensi berupa kecerdasan profesional, kecerdasan personal dan kecerdasan manajerial. Kemampuan personal yang dimaksud adalah kemampuan mengenal emosi, kemampuan mengendalikan dan mengarahkan emosi (traits), kemampuan memotivasi diri, kemampuan bekerja keras, pantang menyerah, kepercayaan diri, kemampuan mengembangkan diri, kemampuan mengambil inisiatif dan kemampuan berkreasi (berinovasi). Kemampuan profesional dicirikan dengan kemampuan membaca, kemampuan menulis, kemampuan berhitung, kemampuan membuat rencana pekerjaan atau bisnis, kemampuan mengelola pekerjaan, kemampuan memantau, mengevaluasi, kemampuan menemukan dan memecahkan masalah. Kemampuan manajerial dicirikan dengan kemampuan memberi instruksi/perintah, kemampuan melatih,

(4)

kemampuan mengerjakan pekerjaan teknis baik secara umum maupun khusus, kemampuan melihat ke depan, kemampuan berpikir kritis dan dialektis.

Menurut Suparno (2001) kompetensi dipandang sebagai perbuatan (performance) yang rasional dan memuaskan memenuhi tujuan dalam kondisi yang diinginkan. Untuk melakukan kompetensi, maka seseorang memerlukan pengetahuan khusus, keterampilan proses, sikap mental dan manajemen yang harus selalu diperbaharui.

Padmowihardjo (1978) pengetahuan adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan mengingat materi yang telah dipelajari dan kemampuan mengembangkan intelegensia. Purwanto (2002) menyebutkan bahwa kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dimiliki seseorang dan jenis pengetahuan apa yang telah dikuasainya memainkan peranan penting di dalam pekerjaannya. Syah (2002) menyebutkan bahwa pengetahuan adalah kemampuan seseorang mengingat-ingat sesuatu ide atau fenomena yang pernah diajarkan, dialami dan dilakukan melalui proses belajar.

Bruner (Suparno 2001) pengetahuan selalu dapat diperbaharui, dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan kematangan intelektual individu. Pengetahuan bukan produk, melainkan suatu proses. Proses tersebut melibatkan tiga aspek, yaitu: (1) proses mendapatkan informasi baru yang seringkali merupakan pengganti pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya atau merupakan penyempurnaan informasi sebelumnya, (2) proses transformasi, yaitu proses memanipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas-tugas baru, (3) proses mengevaluasi, yaitu memeriksa/menilai cara pengolahan informasi, telah memadai atau belum.

Menurut van den Ban dan Hawkins (1999) sikap adalah perasaan pikiran dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Sikap merupakan kecondongan evaluatif terhadap suatu obyek atau subyek yang memiliki konsekuensi yakni cara seseorang berhadapan dengan obyek sikap. Meyers (Sarwono 2002) menyatakan bahwa sikap adalah suatu reaksi evaluasi yang menyenangkan terhadap sesuatu atau seseorang yang ditujukan dalam kepercayaan, perasaan atau perilaku seseorang. Sikap didefinisikan sebagai keadaan internal seseorang yang

(5)

mempengaruhi pilihan-pilihan atas tindakan-tindakan pribadi yang dilakukannya (Suparno 2001).

Menurut Thurstone (Mueller 1992) sikap adalah: (1) pengaruh atau penolakan, (2) penilaian, (3) suka atau tidak suka dan (4) kepositifan atau kenegatifan terhadap suatu obyek psikologis. Suparno (2001) menerangkan bahwa sikap mempunyai tiga karakteristik: (1) intensitas, yakni kekuatan perasaan terhadap obyek, (2) arah terhadap obyek, yakni baik positif, negatif ataupun netral, (3) target, yakni sasaran sikap, terhadap apa sikap yang ditujukan.

Gagne (Suparno 2001) menekankan pada efek sikap terhadap pilihan tingkah laku individu. Keadaan internal yang mempengaruhi pilihan-pilihan ini mempunyai aspek intelektual maupun aspek emosional. Hal tersebut diperoleh individu sepanjang hidupnya melalui pergaulannya baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan lainnya. Perbuatan yang dipilih seseorang dipengaruhi kejadian-kejadian khusus pada waktu itu, tetapi kecenderungan-kecenderungan yang bersifat tetap mengakibatkan tingkah laku yang konsisten dalam situasi tertentu dan itulah yang dimaksud sikap.

Sarwono (2002) menyebutkan bahwa sikap terbentuk dari pengalaman melalui proses belajar. Pandangan ini mempunyai dampak terapan yakni proses belajar dapat disusun dengan berbagai upaya (penerangan, pendidikan, pelatihan, komunikasi dan sebagainya) untuk mengubah sikap seseorang. Harijati (2007) menjelaskan bahwa peningkatan pengetahuan petani berpengaruh langsung terhadap peningkatan sikap mental petani.

Keterampilan adalah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot (neuromuscular) lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik olah raga dan lain-lain (Syah 2002). Keterampilan menekankan kemampuan motorik dalam kawasan psikomotor, yaitu bekerja dengan benda-benda atau aktivitas yang memerlukan koordinasi syaraf dan otot. Seseorang dikatakan menguasai kecakapan motorik karena dapat melakukan hal-hal atau gerakan yang telah ditentukan, serta melakukannya dalam keseluruhan gerak yang lancar dan tepat waktu (Suparno 2001).

Menurut Reber (Syah 2002) keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai

(6)

dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan bukan hanya meliputi gerakan motorik, melainkan juga pengejawantahan fungsi mental yang bersifat kognitif. Konotasinya luas sehingga sampai pada mempengaruhi atau mendayagunakan orang lain. Hal ini berarti orang yang mampu mendayagunakan orang lain secara tepat juga dianggap sebagai orang yang terampil.

Kemampuan mengamati secara cermat gerakan, taktik dan kiat-kiat orang yang menjadi contoh (model) baik secara langsung maupun melalui media gambar memungkinkan keterampilan, sebagai bagian yang dapat ditiru dengan lebih mudah. Urutan langkah menjadi amat penting, demikian pula frekuensi dan intensitas praktek akan memberi peluang dikuasainya keterampilan yang semula bersifat kaku, menjadi lancar, luwes dan harmonis (Suparno 2001).

Manajemen sangat penting bagi semua organisasi, baik organisasi besar atau kecil, organisasi formal maupun informal. Keberhasilan organisasi mencapai tujuannya tergantung pada proses manajemen yang dijalankan. Manajemen (pengelolaan) usahatani/ternak adalah kemampuan petani/peternak menentukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasainya dan memberikan produksi pertanian/peternakan sebagaimana yang diharapkan (Siagian 2004).

Fungsi manajerial yang perlu mendapat perhatian adalah: perencanaan, pengorganisasian, penumbuhan dan pemeliharaan motivasi, pengawasan dan penilaian (Siagian 2004). Perencanaan merupakan dasar mengambil langkah-langkah dalam menjalankan usaha. Perencanaan juga merupakan salah satu bentuk pengambilan keputusan untuk menentukan masa depan yang dilakukan oleh manajemen serta dapat memprediksi kondisi masa depan yang akan dihadapi, sehingga perencanaan perlu dibuat secara cermat. Terdapat empat langkah kunci dalam definisi perencanaan (Said & Intan 2001), yakni: (1) pemikiran ke masa depan, yakni memandang masa depan yang gemilang dan bukan merupakan ramalan belaka, tetapi pernyataan berorientasi tindakan, (2) serangkaian tindakan, yakni mengembangkan alternatif-alternatif atau metode-metode untuk terus maju, (3) pemahaman penuh terhadap semua faktor yang terlibat, yaitu memahami dan mempertimbangkan fakta-fakta dan konsekuensi faktor-faktor tersebut yang menjadi penghambat, sehingga dapat diantisipasi sebelumnya, (4) pengarahan

(7)

kepada sasaran khusus, yakni semua rangkaian kegiatan diarahkan pada sasaran yang ingin dicapai pada masa depan.

Ditetapkannya suatu rencana, juga mempunyai konsekuensi pekerjaan dan aktivitas yang harus dilaksanakan, semua itu memerlukan koordinasi. Menurut Downey dan Erickson (Said & Intan 2001) fungsi pengorganisasian meliputi kegiatan-kegiatan: (1) menyusun struktur organisasi, (2) menentukan pekerjaan yang dikerjakan, (3) memilih, menentukan dan mengembangkan pekerja, (4) merumuskan kegiatan dan (5) membentuk sejumlah hubungan dalam organisasi kemudian menunjuk stafnya.

Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen. Oleh karena itu, manajer harus mampu memahami dengan pikirannya yang jernih mengapa terdapat kesenjangan (diskrepansi) antara hasil pekerjaan yang ditetapkan dalam rencana dengan kinerja yang ditampilkan pelaksana. Faktor-faktor penyebab dapat beragam, seperti: (1) tuntutan rencana yang tidak realistis, (2) kekurangan dukungan sarana dan prasarana, (3) terdapat masalah-masalah organisasional seperti koordinasi, (4) cara penyeliaan yang tidak tepat dan (5) kadaluarsanya keterampilan para pelaksana (Siagian 2004).

Fungsi evaluasi menekankan pada upaya untuk menilai proses pelaksanaan rencana, mengenal ada tidaknya penyimpangan dan tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan berdasarkan rencana yang telah dibuat. Fungsi evaluasi ditujukan pada suatu obyek tertentu dan dalam periode tertentu. Pengendalian merupakan suatu upaya mengembalikan pada rel yang telah ditentukan, sehingga jika diperoleh penyimpangan dari prosedur kerja dapat dilakukan pengendalian. Pengendalian dapat dilakukan dengan penyesuaian-penyesuaian dari rencana awal karena adanya faktor-faktor yang berubah sehingga pencapaian tujuan dapat dilakukan (Siagian 2004).

Dengan mengacu pada konsep pengertian dan unsur-unsur kompetensi yang telah dikemukakan para pakar tersebut, maka pengertian kompetensi dalam penelitian ini adalah “seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab dan terukur yang dimiliki peternak sebagai syarat dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas pengelolaan usaha sapi potong yang dicirikan dengan adanya kapasitas diri berupa pengetahuan, keterampilan, sikap, percaya diri dan

(8)

komitmen dalam melaksanakan manajemen pekerjaan sesuai peran seseorang yang dilakukan secara optimal dalam kondisi normal ataupun situasi berbeda”.

Kompetensi peternak dibentuk oleh beberapa unsur yaitu: pengetahuan yaitu pemahaman terhadap sesuatu yang pernah dipelajari, dialami atau dilakukan dan dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang diketahui peternak berkenaan dengan pengelolaan usaha sapi potong yang didapatkan dari pendidikan, pengalaman dan interaksi dengan pihak lain. Sikap mental adalah penilaian peternak terhadap suatu obyek atau subyek tertentu yang menghasilkan tingkah laku, penilaian tersebut sebagai hasil pengaruh lingkungan dari pengalaman hidup. Sikap peternak dalam penelitian ini dibatasi pada penolakan atau penerimaan terhadap teknologi anjuran dalam aspek pengelolaan teknis budidaya sapi potong. Keterampilan adalah kemampuan motorik peternak berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan peternak dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh petani untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam pengelolaan usaha sapi potong. Manajerial yang akan digunakan dalam penelitian adalah perencanaan dan evaluasi yakni kemampuan peternak sapi potong dalam membuat perencanaan meliputi tujuan usaha, pola usaha, skala usaha dan teknologi yang akan diterapkan. Sedangkan evaluasi yakni kemampuan peternak menilai tercapai tidaknya perencanaan yang telah ditetapkan.

Usahaternak Sapi Potong

Ternak sapi menghasilkan dua macam produk pangan yaitu daging dan susu. Masing-masing produk tersebut mengandung protein hewani 13,8 dan 3,5 persen. Daging dan sebagian lemak yang merupakan karkas diperoleh setelah ternak dipotong. Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979) presentase karkas berkisar antara 53,4–68,5 persen tergantung dari bangsa, umur dan tujuan pemeliharaan.

Pemeliharaan ternak sapi potong merupakan salah satu komponen dalam usahatani, dimana ternak tersebut akan berintegrasi dengan komoditi lain yang dikelola/diusahakan petani. Menurut Sabrani et al. (1981) problema yang dihadapi oleh pengembangan ternak tradisional adalah ketepatan dalam pengalokasian sumberdaya. Selanjutnya ditekankan bahwa bila usahaternak skala kecil yang

(9)

berorientasi pada usaha keluarga, maka program pengembangan ternak tersebut didasarkan pada sistem pertanian secara menyeluruh.

Menurut Rahardi (2003) secara umum tipologi usahaternak yang dapat dipilih jika ingin terjun dalam usaha tersebut antara lain: (1) sebagai usaha sambilan yakni dikelola secara sambilan, tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha sambilan ini di bawah 30 persen dari total pendapatan keluarga, (2) usaha peternakan yakni sebagai cabang usaha, tingkat pendapatan yang biasa diperoleh dari usahaternak sebagai cabang usaha sekitar 30–70 persen, (3) usaha pokok yakni kegiatan utama dengan tingkat pendapatan yang bisa diperoleh dari usaha ternak berkisar 70–100 persen dan (4) usaha industri yakni usaha peternakan yang dikelola secara industri, dengan tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha ini mencapai 100 persen. Selanjutnya pemeliharaan ternak sapi oleh peternak dapat dikategorikan dalam tiga cara yaitu: (1) pemeliharaan intensif, dalam cara ini ternak dipelihara dalam kandang dan biasanya disebut kereman, (2) pemeliharaan semi intensif, dalam cara ini ternak dilepas pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari dan (3) pemeliharaan ekstensif, dalam cara ini sapi dipelihara dengan dilepas pada lahan atau padang rumput yang luas.

Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini jenis usahaternak yang dikelola oleh masyarakat tergolong dalam usaha skala kecil yang berorientasi pada usaha keluarga. Tipologi usahanya adalah usaha dengan tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha tersebut relatif kecil. Pola pemeliharaan ternak bersifat semi intensif dan pemeliharaan ekstensif dan dikelola secara turun-temurun dalam sistem usahatani yang diusahakan secara majemuk.

Pengelolaan Ternak Sapi Potong Pemilihan bibit

Murtidjo (1990) menyatakan bahwa untuk mengoptimalkan produksi ternak, pemilihan bibit yang baik merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha ternak sapi potong. Ternak yang akan diperlihara disesuaikan dengan tujuan pemeliharaan apakah tujuan penggemukan atau untuk breeding (melahirkan anak). Peternak dituntut dapat melakukan seleksi terhadap ternak sapi yang akan dijadikan sebagai bibit, dimana seleksi yang tepat akan menghasilkan ternak-ternak yang memiliki produktivitas tinggi.

(10)

Sarwono dan Arianto (2001) seleksi adalah memilih ternak-ternak yang mempunyai sifat-sifat produksi yang tinggi untuk dijadikan bibit bagi generasi yang akan datang. Oleh karena itu, sebelum melakukan seleksi perlu dilakukan recording (pencatatan) guna merekam tingkat perkembangan produktivitas yang dicapai masing-masing individu ternak. Selanjutnya dinyatakan bahwa seleksi yang umum dipakai mengikuti empat cara yaitu: (1) seleksi berdasarkan atas tampak luar (exterior) yakni berdasarkan penampilan bentuk tubuh seekor ternak. Seleksi ini sebenarnya kurang tepat, karena ternak yang mempunyai bentuk tubuh yang baik, belum tentu menghasilkan produksi tinggi, (2) seleksi berdasarkan pemenangan lomba yakni sama dengan seleksi tampak luar, hanya saja dilakukan oleh tim juri dan ternak-ternak yang menjadi juara dipilih sebagai bibit, (3) seleksi berdasarkan silsilah yakni dengan mempelajari data tetua mengenai produksi rata-rata induk dan keunggulan bapak. Ternak yang mempunyai silsilah baik, dapat dipilih sebagai bibit dan cara seleksi ini dilakukan untuk sapi-sapi yang masih muda atau belum menghasilkan dan (4) seleksi yang paling tepat adalah berdasarkan uji produksi individual ternak (individual merit test) dan uji zuriat (progeny test). Uji produksi individual ternak adalah menguji produksi ternak (daging) yang diperoleh tiap-tiap sapi yang ada di peternakan, dimana ternak-ternak yang memiliki produksi tinggi dijadikan bibit. Sedangkan uji zuriat yaitu pemilihan ternak berdasarkan penilaian prestasi anak-anaknya. Cara ini umumnya dilakukan untuk ternak jantan karena ternak jantan mempunyai lebih banyak keturunan daripada ternak betina.

Berdasarkan uraian di atas, maka kompetensi pemilihan bibit ternak sapi potong yang harus dimiliki oleh peternak adalah kemampuan memilih bibit berdasarkan produksi individual ternak (daging) yang diperoleh tiap-tiap sapi yang ada di peternakan dan berdasarkan penilaian prestasi anak-anaknya, dimana ternak-ternak yang memiliki produksi tinggi dijadikan bibit.

Perkandangan

Kandang berfungsi sebagai tempat berteduh atau berlindung dari hujan serta sebagai tempat istirahat yang nyaman. Kandang sapi potong biasa dibuat dari bahan-bahan sederhana dan murah, tetapi harus dibuat dengan konstruksi yang cukup kuat (Murtidjo 1990). Kandang yang dibangun tidak hanya kuat dan

(11)

nyaman tetapi harus mendukung budidaya ternak sapi potong. Abidin (2002) berpendapat bahwa pembuatan kandang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) dibuat dari bahan berkualitas, (2) luas kandang harus dibuat sesuai dengan jumlah sapi, (3) konstruksi kandang harus dibuat dengan memperhatikan kemudahan dalam melakukan pembersihan, memandikan ternak dan tidak licin, (4) ventilasi udara harus memungkinkan kelancaran sirkulasi udara sehingga tidak terhambat, (5) kandang dibangun dengan memperhatikan arah angin yang dominan, diupayakan agar muka tidak mendapat kontak langsung dengan angin yang bertiup, (6) sedapat mungkin dilalui anak sungai atau dekat sumber air dan (7) atap kandang sedapat mungkin dibuat dari bahan-bahan yang ringan tetapi daya tahannya kuat dan mampu menjaga kehangatan di dalam kandang.

Kandang sapi dapat berupa kandang barak atau kandang individu. Luas kandang barak diperhitungkan tidak boleh kurang dari 2 m²/ekor. Ukuran kandang individu dapat lebih kecil dari kandang barak, yaitu sekitar 1,7 m²/ekor, masing-masing untuk bobot badan sapi sekitar 150 kg. Saluran udara sebaiknya diperhitungkan 5–10 persen dari luas lantai atau 0,4–0,6 m³/ekor (Santosa 2003).

Menurut Sarwono dan Arianto (2001) pemilihan lokasi kandang yang sesuai di antaranya dengan mempertimbangkan letak strategis, kondisi tanah dan kesesuaian iklim ternak sapi. Lokasi peternakan juga harus memiliki sumber air bersih yang akan digunakan sebagai sumber air minum.

Peternakan sapi akan ideal jika dibangun tidak jauh dari areal persawahan, perladangan, perkebunan dan di lokasi tersebut kegiatan pertanian dan peternakan dapat saling menunjang. Ternak memanfaatkan sisa hasil pertanian, sedangkan pertanian akan memanfaatkan limbah kandang seperti kotoran dan air urin sebagai pupuk organik. Lokasi kandang sebaiknya cukup jauh dari tempat pemukiman agar bau dan limbah ternak tidak mengganggu penghuni pemukiman. Jarak kandang dari tempat pemukiman minimum 50 m atau dengan membangun tembok atau pagar tanaman setinggi tiga meter untuk meredam angin. Membangun kandang sebaiknya dipilih lokasi berupa lahan terbuka dan tidak tertutup bangunan atau pepohonan (Sarwono & Arianto 2001). Lokasi kandang dipilih dengan kemiringan relatif landai dan tidak berlubang. Hal lain akan menguntungkan bila memiliki akses yang memadai terhadap jalan raya sehingga

(12)

arus transportasi kebutuhan peternakan terpenuhi, serta memudahkan akses menuju sungai atau saluran pembuangan untuk membuang kelebihan air dari kolam pengolahan limbah.

Menurut Sarwono dan Arianto (2001) bahwa masing-masing bangsa sapi hanya cocok digemukkan pada kondisi lingkungan tertentu. Bangsa sapi peranakan ongole (PO), sapi brahman, sapi bali dan sapi madura dapat beradaptasi sangat baik apabila pada lokasi dengan ketinggian < 25 m di atas permukaan laut (dpl) serta suhu antara 27°C hingga 34°C, tetapi kurang beradaptasi pada lokasi dengan ketinggian > 100 m dpl dengan suhu di bawah 24°C.

Esmay dan Dixon (1986) selain suhu lingkungan, masih terdapat beberapa faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam membangun kandang, yakni masalah teknis, manajemen budidaya sapi dalam menangani material dan operasional. Hal yang termasuk dalam manajemen tersebut adalah: (1) ternak (interaksi/tingkah laku), (2) pakan dan air, (3) limbah, (4) produk, (5) manusia (operator dan pengunjung) dan (6) udara untuk kontrol lingkungan.

Berdasarkan uraian di atas, maka kompetensi perkandangan ternak sapi potong yang harus dimiliki oleh peternak adalah kemampuan merencanakan bentuk dan luas kandang sesuai jumlah dan tujuan pemeliharaan, memilih lokasi pembangunan yang tepat, menetapkan arah bangunan yang sesuai dan membuat kandang dengan syarat-syarat berikut: bahan berkualitas, sesuai jumlah sapi yang dipelihara, memperhatikan kemudahan pembersihan, memandikan ternak dan tidak licin, ventilasi udara tidak terhambat, dekat sumber air dan jenis atap terbuat dari bahan-bahan yang ringan tetapi kuat.

Pemberian Pakan

Secara tradisional, sapi potong hanya membutuhkan hijauan sebagai pakan. Berbeda dengan cara tradisional, usaha penggemukan yang berorientasi terhadap keuntungan harus memperhatikan penggunaan pakan konsentrat. Hal ini dimaksudkan agar dicapai keuntungan dalam waktu yang relatif singkat (Abidin 2002). Sugeng (2000) menyatakan pakan pokok ternak sapi adalah hijauan makanan ternak dan pakan penguat (konsentrat) sebagai tambahan. Pakan hijauan diberikan 10 persen dari berat badan dan pakan konsentrat diberikan minimal satu persen dari berat badan.

(13)

Santosa (2003) menyatakan bahwa pengelolaan pakan sangat menentukan tingkat keberhasilan pemeliharaan ternak sapi. Karena itu, cara-cara pengelolaannya harus dipahami oleh peternak. Ketersediaan hijauan makanan ternak dapat diperoleh dari padang penggembalaan. Pemberian pakannya dapat dilakukan dengan pemotongan rumput tersebut, kemudian diberikan kepada ternak sapi didalam kandang atau disebut dengan istilah cut and carry. Rumput dapat juga langsung dikonsumsi oleh sapi di areal padang penggembalaan berdasarkan pada daya tampung (stocking rate) padang penggembalaan tersebut untuk mencukupi kebutuhan penggembalaan setiap UT (unit ternak) per-tahun.

Acuan terbaik adalah definisi dari Society for Range Management (1974) dalam Santosa (2003) bahwa satu unit ternak adalah setara dengan seekor sapi induk dewasa seberat 455 kg yang kebutuhan konsumsinya adalah 9,1 kg hijauan dalam bentuk bahan kering per hari. Dengan demikian, seekor sapi jantan yang bobot badannya 700 kg atau seekor sapi muda yang bobot badan 225 kg, perhitungan kebutuhan konsumsi hijauan pakannya per-hari adalah sebagai berikut: (1) kebutuhan konsumsi seekor sapi jantan adalah 14 kg hijauan dalam bentuk bahan kering per hari (700/455 x 9,1 kg = 14 kg); dan (2) kebutuhan konsumsi seekor sapi muda adalah 4,5 kg hijauan dalam bentuk bahan kering per-hari (225/455 x 9,1 kg = 4,5 kg).

Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) bahwa idealnya makanan harus tersedia untuk sapi secara tidak terbatas (ad-libitum). Sebagai ancar-ancar, seekor sapi dengan berat kira-kira 500 kg makan 20–24 kg rumput gajah segar tiap hari, atau jika hijauan kering diperlukan 4–5 kg tiap hari. Banyaknya makanan tiap ekor harus diperhatikan sehingga kebutuhannya tiap hari dapat ditambah atau dikurangi.

Pada dasarnya, sumber pakan sapi dapat disediakan dalam bentuk hijauan dan konsentrat. Hal yang terpenting adalah pakan dapat memenuhi protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral (Sarwono & Arianto 2001). Selanjutnya dinyatakan bahwa ada beberapa cara yang dapat dilaksanakan untuk menata padang penggembalaan berdasarkan lamanya lahan dipergunakan sebagai sumber hijauan pakan. Secara garis besar, penataan tersebut dapat dikelompokan menjadi dua yaitu: (1) secara terus-menerus dipergunakan sebagai penghasil pakan dan

(14)

(2) dipergunakan secara bergiliran/bergantian dengan tanaman lain. Beberapa cara tatalaksana padang rumput tersebut adalah sebagai berikut: (1) padang rumput permanen adalah padang rumput yang terus-menerus dipergunakan sebagai sumber pakan dalam jangka waktu yang cukup lama. Cara ini paling tepat apabila digunakan pada daerah yang bertopografi miring karena dapat mencegah terjadinya erosi tanah, (2) padang rumput jangka pendek hanya dipergunakan dalam jangka waktu dua atau lima tahun saja. Setelah masa pemakaian sebagai padang penggembalaan, lahan ini akan diolah dan digunakan untuk mengusahakan tanaman lain, (3) padang rumput rotasi jangka panjang. Sistem pengelolaan padang rumput ini penggunaannya mencapai 6–10 tahun. Tatalaksana penggunaannya perlu kombinasi dari kedua sistem di atas dan (4) padang rumput sementara yang hanya dipergunakan sebagai sumber tanaman hijauan makanan ternak untuk beberapa bulan saja atau paling lama satu tahun. Tujuan dari penggunaan sistem ini adalah sebagai sumber hijauan pakan pada saat kritis, menjaga kesuburan tanah dalam sistem pergiliran tanaman dan memperbaiki struktur tanah.

Pemberian pakan di kandang atau di lapangan, yang paling penting diperhatikan adalah mengetahui berapa jumlah pakan dan bagaimana keadaan ransum yang diberikan kepada ternak (Santosa 2003). Dalam menyusun ransum diusahakan agar kandungan zat makanan di dalam ransum sesuai dengan zat-zat makanan yang dibutuhkan ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan berproduksi.

Menurut Santosa (2003) bahwa dalam memilih bahan pakan, beberapa pengetahuan penting berikut ini harus diketahui sebelumnya: (1) bahan pakan harus mudah diperoleh dan sedapat mungkin terdapat di daerah sekitar sehingga tidak menimbulkan masalah biaya transportasi dan kesulitan mencarinya, (2) bahan pakan harus terjamin ketersediaannya sepanjang waktu dan jumlah yang mencukupi kebutuhan, (3) bahan pakan harus mempunyai harga layak dan sedapat mungkin mempunyai fluktuasi harga yang tidak besar, (4) bahan pakan harus diusahakan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia yang sangat utama. Seandainya harus menggunakan bahan pakan demikian, usahakan agar bahan pakan tersebut hanya satu macam saja, (5) bahan pakan harus dapat diganti oleh

(15)

bahan pakan lain yang kandungan zat-zat makanannya hampir setara dan (6) bahan pakan tidak mengandung racun dan tidak dipalsukan atau tidak menampakan perbedaan warna, bau atau rasa dari keadaan normalnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka kompetensi pemberian pakan yang harus dimiliki oleh peternak sapi potong adalah kemampuan dalam menyediakan sumber pakan baik hijauan berkualitas tinggi maupun konsentrat secara berkelanjutan sepanjang tahun. Di samping itu jumlah pakan hijauan segar yang diberikan setiap hari adalah 10 persen dari bobot badan atau tidak terbatas (disediakan secara terus-menerus) ditambah minimal satu persen dari bobot badan pakan konsetrat. Jika menggunakan hijauan kering, jumlah yang harus diberikan adalah 9,1 kg/unit ternak ditambah satu persen dari bobot badan pakan konsetrat. Penanganan Kesehatan

Menurut Abidin (2002) pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan berbagai upaya, salah satunya adalah dengan penggunaan kandang karantina yang bertujuan agar sapi dapat menyesuaikan dengan lingkungan yang baru, kebersihan kandang dan lingkungannya, serta melakukan vaksinasi secara berkala.

Prinsip pengendalian penyakit dan pencegahannya yang berlaku untuk ternak domba dan kambing, pada umumnya juga berlaku untuk ternak sapi dan kerbau. Parasit dalam, terutama pada ternak muda dan ternak yang sedang bertumbuh, kemungkinan menjadi penyebab kerugian utama di daerah tropis dan ternak menjadi kurus dan lemah. Oleh karena itu, harus dilakukan pemeriksaan feses secara teratur dan mengobatinya bilamana diperlukan. Adapun penyakit yang perlu diwaspadai dan bersifat menular seperti penyakit mulut dan kuku (PMK), keguguran menular (Brucellosis) dan lain-lain. Pencegahan penyakit harus dilakukan sejak pedet lahir.

Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menganjurkan tiga prinsip untuk pengendalian yang efektif yaitu: (1) mengurangi tingkat tekanan kepada pedet yang baru lahir terhadap penyebab infeksi. Tekanan dikurangi dan menyediakan fasilitas yang baik dan bersih di tempat pedet dilahirkan. Setiap pedet yang terinfeksi harus segera dipisahkan dari pedet lain. Tempat pakan harus dibersihkan benar-benar dan kering setiap hari, harus dicegah ternak terlalu berdesak-desakan, (2) memberi ketahanan maksimum non-spesifik dengan kolostrum cukup dan cara

(16)

beternak yang sebaik-baiknya. Pedet harus diberi kolostrum secepat mungkin sesudah lahir dan harus dalam 24 jam pertama. Idealnya pedet harus memperoleh susu paling sedikit 50 ml/kg berat badan dua jam pertama sesudah lahir. Jika pedet lambat menyusui harus diberi kolostrum dengan pipa lambung dan (3) meningkatkan ketahanan spesifik pada anak yang baru lahir dengan vaksinasi induk atau anak. Vaksinasi dilakukan dengan menggunakan bakteri yang dilemahkan dengan formalin (formalin killed bacterin) dari Escherichia coli galur enterotoksigenik. Induk bunting divaksinasi 2–4 minggu sebelum melahirkan untuk merangsang produksi antibodi. Antibodi diteruskan kepada anak melalui kolostrum.

Berdasarkan uraian di atas, maka kompetensi penanganan kesehatan ternak yang harus dimiliki oleh peternak terbagi atas dua bagian yaitu pencegahan penyakit dan pengobatan ternak. Kompetensi pencegahan penyakit yang perlu dimiliki peternak adalah kemampuan meningkatkan ketahanan non-spesifik secara maksimum dengan cara memberi kolostrum pada ternak yang baru lahir dan paling lambat 24 jam setelah anak lahir serta kemampuan meningkatkan ketahanan spesifik dengan cara melakukan vaksinasi secara berkala pada ternak dewasa dan anak. Sedangkan kompetensi pengobatan penyakit ternak yang perlu dimiliki oleh peternak adalah kemampuan melakukan pengobatan pada ternak yang sakit baik pengobatan yang bersifat kimia, biologi maupun dengan cara fisik. Perkawinan

Pengembangbiakan ternak sapi dapat dilakukan beberapa metode, yaitu: (1) metode kawin alamiah, dimana sapi jantan pemacek dikawinkan dengan sapi betina yang birahi dan (2) metode inseminasi buatan (IB) atau dikenal dengan sebutan kawin suntik dengan menggunakan alat khusus (Artificial insemination gun) yang digunakan oleh seorang inseminator. Kedua cara tersebut pada dasarnya bertujuan meningkatkan kualitas ternak secara efektif dan efisien (Murtidjo 1990).

Keberhasilan perkawinan ternak sapi dapat ditentukan dengan penilaian dalam melihat tanda-tanda birahi sebagai berikut: (1) sapi betina tidak tenang atau gelisah, (2) nafsu makan berkurang, (3) sering melenguh dan senang mendekati sapi jantan, (4) lebih sering buang air seni atau urin dibanding biasanya dan

(17)

(5) sering menaiki sapi lain dan akan diam apabila dinaiki. Selain tanda-tanda tersebut, tanda khusus yang dapat diamati adalah dari vulva keadaannya tampak memerah, membengkak dan keluar lendir bening (Santosa 2003). Selanjutnya dinyatakan bahwa ovulasi terjadi kira-kira 10–11 jam sesudah mulai birahi, sehingga jika sapi diketahui sedang birahi pada pagi hari, inseminasi (perkawinan) dilakukan pada sore hari dan sebaliknya jika birahi terlihat pada sore hari, diinseminasi pagi hari berikutnya.

Berbagai faktor mempengaruhi kemampuan reproduksi dalam suatu kelompok ternak sapi antara lain digolongkan sebagai berikut: (1) lingkungan dan kondisi manajemen (iklim, musim, sistem perkandangan dan jumlah ternak dalam kelompok), (2) kondisi genetik, (3) penyakit menular dan tidak menular dan (4) manajemen pemeliharaan seperti pemberian pakan, pencegahan penyakit, sanitasi lingkungan, pengamatan birahi, penyapihan anak dan program pencatatan (recording).

Pengetahuan dan pengamatan birahi sangat penting, karena pendugaan pelaksanaan perkawinan akan berkaitan dengan kemungkinan terjadinya konsepsi (kebuntingan). Berikut ilustrasi yang dapat menjelaskan tingkat keberhasilan konsepsi berkaitan dengan inseminasi buatan: (1) inseminasi (perkawinan) pada permulaan birahi akan memberikan 44 persen kemungkinan kebuntingan, (2) inseminasi pada pertengahan birahi akan memberikan 82 persen kemungkinan kebuntingan, (3) inseminasi pada akhir birahi akan memberikan 75 persen kemungkinan kebuntingan, (4) inseminasi pada enam jam sesudah birahi hanya memberikan 62,5 persen kemungkinan kebuntingan, (5) inseminasi pada 12 jam sesudah birahi memberikan 32,5 persen kemungkinan kebuntingan, (6) inseminasi pada 18 jam sesudah birahi memberikan 28 persen kemungkinan kebuntingan, (7) inseminasi pada 24 jam sesudah birahi memberikan 12 persen kemungkinan kebuntingan (8) inseminasi pada 36 jam sesudah birahi memberikan delapan persen kemungkinan kebuntingan dan (9) inseminasi pada 48 jam sesudah birahi memberikan nol persen kemungkinan kebuntingan.

Berdasarkan uraian di atas, maka kompetensi mengawinkan ternak yang perlu dimiliki peternak sapi potong adalah kemampuan dalam melakukan deteksi birahi, melakukan proses perkawinan baik dengan cara kawin alami maupun

(18)

kawin suntik pada waktu yang paling tepat yakni pada saat pertengahan birahi, serta kemampuan meningkatkan kualitas ternak melalui proses perkawinan silang. Pemasaran

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi keuntungan peternak dari usahanya adalah efisiensi pemasaran produk. Peternak sebaiknya membuat atau mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam memasarkan barang-barang produksinya, dengan demikian peternak akan tahu dan paham kapan dan kepada siapa sebaiknya hasil panen di jual (Soekartawi et al. 1986). Selanjutnya ditegaskan bahwa pemasaran atau marketing pada prinsipnya adalah aliran barang dari produsen ke konsumen. Menurut Mubyarto (1989) pemasaran atau distribusi diartikan sama dengan tataniaga yaitu suatu kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen.

Rahardi (2003) pemasaran merupakan proses kegiatan atau aktivitas menyalurkan produk dari produsen ke konsumen. Peternak atau pengusaha yang telah menghasilkan produk peternakan menginginkan produknya sampai dan diterima oleh konsumen sehingga peternak harus melalui beberapa kegiatan pemasaran. Peternak atau pengusaha yang telah berproduksi, selanjutnya akan melakukan kegiatan pemasaran produk. Kegiatan pemasaran peternakan terdiri dari pengumpulan informasi pasar, penyimpanan, pengangkutan dan penjualan. Peternak harus memahami pola pemasaran yang akan dijalankan, pola pemasaran merupakan jalur distribusi suatu produk dari produsen melalui beberapa pelaku pemasaran hingga sampai ke konsumen. Secara umum produk peternakan memiliki tiga pola pemasaran, yaitu melalui koperasi, kemitraan dan pemasaran umum.

Berdasarkan uraian di atas, kompetensi pemasaran ternak yang perlu dimiliki oleh peternak adalah kemampuan dalam melaksanakan efisiensi pemasaran produknya yakni peternak tahu dan paham kapan dan kepada siapa sebaiknya hasil panen dijual. Peternak memahami pola pemasaran yang dijalankan dan paling menguntungkan, proses tersebut dimulai dari pengumpulan informasi pasar, penyimpanan produk, pengangkutan dan penjualan.

(19)

Faktor Internal Peternak Sapi Potong

Baik-buruknya kinerja seseorang dalam melaksanakan pekerjaan tidak lepas dari faktor masyarakat itu sendiri. Menurut Kusai (1996) kemampuan untuk menentukan sikap menerima atau mengadopsi teknologi budidaya sapi potong, erat hubungannya dengan faktor karakteristik internal dan eksternal seseorang peternak (adopter). Hasil penelitian Saleh (1984) menunjukkan bahwa karakteristik warga desa yang nyata berhubungan dengan bidang peternakan adalah mata pencaharian, jenis kelamin, tingkat pendidikan, keikutsertaan kursus, jumlah anggota usia kerja dan tingkat penghasilan. Lionberger dan Gwin (1982) menyebutkan ada tujuh unsur karakteristik individu, yaitu: (1) pendidikan, (2) tempat tinggal, (3) pekerjaan orang tua, (4) kecakapan dalam manajemen, (5) kesehatan, (6) umur dan (7) perilaku.

Rogers (2003) dan Soekartawi (2005) mengemukakan lebih rinci mengenai perbedaan karakteristik individu yang mempengaruhi cepat-lambatnya proses adopsi inovasi, yaitu: umur, pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan (lokalit atau kosmopolit), keberanian mengambil resiko, sikap terhadap perubahan sosial, motivasi berkarya, aspirasi, fatalisme (tidak adanya kemampuan mengontrol masa depan sendiri) dan dogmatisme (sistem kepercayaan yang tertutup).

Rogers dan Shoemaker (1995) mengemukakan bahwa dalam penyebaran ide baru atau difusi inovasi pada suatu sistem sosial, pelakunya paling tidak memiliki tiga karakteristik personal, yaitu: (1) status sosial ekonomi meliputi umur, pendidikan, status sosial dan skala usaha, (2) perilaku komunikasi meliputi partisipasi sosial, kontak dengan penyuluh, kekosmopolitan dan keterdedahan media massa dan (3) kepribadian, di antaranya empati, senang mengambil resiko dan lain sebagainya.

Havelock et al. (1971) menyatakan bahwa peubah-peubah individual yang mempengaruhi penerapan informasi antara lain adalah: kompetensi dan penghargaan, kepribadian, nilai-nilai kebutuhan, pengalaman masa lalu, ancaman dan pengaruh, pemenuhan harapan, distorsi informasi baru, proses perubahan sikap, pola perilaku perolehan informasi dan efek komunikasi.

(20)

Arevalo dan Alba (Rogers & Shoemaker 1995) mengemukakan pula bahwa pengaruh prasarana antara lain kredit mempunyai pengaruh terhadap pengambilan keputusan untuk mengadopsi inovasi pertanian. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa petani yang memperoleh kredit relatif cepat mengadopsi suatu inovasi dari pada petani yang tidak menerima kredit.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pendapat mengenai ciri yang mencerminkan karakteristik individu dapat berbeda-beda, tergantung pada penekanan masing-masing. Dengan demikian pilihan karakteristik internal dan eksternal yang digunakan dalam penelitian adalah:

Umur

Bettinghaus (1973) menyatakan bahwa ada perbedaan di antara individu yang berbeda umurnya. Umur menggambarkan perilaku seseorang dan keragaman itu tidak terletak dalam segala sifat yang melekat di antara yang muda dan yang tua, tetapi agaknya pada perbedaan pengalaman yang dimilikinya dan hakekat dan jenis dari struktur sikap (attitude) serta pemrosesan informasi yang dimiliki individu itu.

Menurut Lionberger (1960) dan Mardikanto (1993) menyatakan bahwa semakin tua umur (di atas 50 tahun) biasanya semakin lamban mengadopsi dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat. Padmowihardjo (1994) mengemukakan bahwa pada umur dewasa, orang akan belajar lebih cepat dan berhasil mempertahankan retensi dalam jumlah besar dari pada usia lebih muda, akan tetapi setelah mencapai umur tertentu, maka kemampuan belajar akan berkurang secara gradual dan terasa nyata setelah mencapai 55 atau 60 tahun dan setelah itu penurunan akan lebih cepat lagi.

Hasil penelitian Lestari (1994) menunjukkan bahwa umur mempunyai hubungan negatif nyata dengan tingkat adopsi teknologi sapta usahatani yang berarti bahwa semakin tua umur petani, semakin rendah atau berkurang tingkat adopsinya.

Berdasarkan uraian di atas, umur peternak berpengaruh terhadap peningkatan kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha sapi potong. Hal tersebut berkaitan dengan perilaku seseorang dalam segala sifat yang melekat di

(21)

antara yang muda dan yang tua karena perbedaan pengalaman yang dimilikinya dan hakekat serta jenis dari struktur sikap pemrosesan informasi yang dimilikinya. Semakin tua umur seseorang (>50 tahun) maka cenderung lambat mengadopsi suatu inovasi.

Tingkat pendidikan

Mosher (1987) menyatakan pendidikan formal mempercepat proses belajar, memberikan pengetahuan, kecakapan dan keterampilan yang diperlukan dalam masyarakat. Mulyasa (2002) menambahkan bahwa pendidikan berperan dalam mewujudkan masyarakat yang berkualitas atau menampilkan individu-individu yang memiliki keunggulan yang tangguh, kreatif dan profesional dalam bidangnya masing-masing.

Soekartawi (1996) menyatakan bahwa rendahnya produktivitas tenaga kerja disebabkan faktor rendahnya pendidikan formal yang dimiliki, sehingga mengalami kendala dalam menyerap informasi baru, khususnya yang berkaitan dengan proses difusi inovasi teknologi sehingga upah yang diterima tenaga kerja inilah yang menjadi salah satu sumber kemiskinan yang ada dewasa ini.

Menurut Wiriatmadja (1990) pendidikan adalah usaha mengadakan perubahan perilaku berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman yang sudah diakui dan direstui masyarakat. Tingkat pendidikan yang rendah akan berhubungan dengan rendahnya keterampilan, sehingga menyebabkan produktivitas usahatani juga rendah karena tidak dapat menjangkau dan mengadopsi sumberdaya teknologi dan keterampilan manajemen. Tingginya tingkat pendidikan seseorang baik formal maupun non-formal umumnya mempunyai wawasan pola pikir yang semakin rasional dan kompeten dalam menerapkan teknologi usahatani.

Berdasarkan uraian di atas, tingkat pendidikan baik formal maupun non-formal berperan dalam mewujudkan masyarakat yang berkualitas (kompeten) karena memiliki keunggulan yang tangguh, kreatif dan profesional dalam bidangnya masing-masing. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki peternak, akan mengalami kendala dalam menyerap informasi baru, khususnya yang berkaitan dengan proses difusi inovasi teknologi.

(22)

Kekosmopolitan

Kekosmopolitan adalah keterbukaan peternak terhadap informasi, melalui hubungan dengan berbagai sumber informasi, bepergian ke luar desa dalam rangka mengembangkan usahanya. Golongan masyarakat yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru biasanya lebih inovatif dibandingkan dengan orang-orang yang pasif apalagi yang selalu tidak percaya terhadap sesuatu yang baru (Lionberger 1960). Di samping itu, sumber informasi juga berpengaruh terhadap perilaku seseorang dalam melaksanakan aktivitas kehidupannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka sifat kekosmopolitan peternak akan mempengaruhi tingkat kompetensinya, karena masyarakat yang aktif ke luar mencari informasi pengembangan usaha akan memiliki berbagai ide-ide baru dan lebih inovatif.

Motivasi berusaha

Motif adalah suatu keadaan dari dalam yang memberikan kekuatan, menggiatkan, menggerakkan dan mengarahkan atau menyalurkan perilaku ke arah tujuan. Motif itu biasanya didasarkan oleh kebutuhan untuk memuaskan kebutuhan psikologis (Hadi 1995). Handoko (1995) menyatakan bahwa motivasi adalah suatu tenaga atau faktor yang terdapat di dalam diri manusia yang menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Sedangkan Terry (1997) mengemukakan bahwa motivasi adalah keinginan yang terdapat pada seseorang individu untuk melakukan tindakan.

Wardhani (1994) menyimpulkan hasil penelitian tentang faktor-faktor motivasi yang mencakup kebutuhan-kebutuhan pribadi, tujuan-tujuan dan persepsi orang atau kelompok yang bersangkutan dan dengan cara apa kebutuhan-kebutuhan dan tujuan tersebut dapat direalisasi. Motivasi merupakan kebutuhan-kebutuhan, keinginan dan daya gerak dalam individu yang mendorongnya untuk melakukan tindakan dalam mencapai tujuan. Faktor-faktor motivasi kondusif merupakan faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal yang mendorong tumbuhnya motivasi seseorang agar mampu berprestasi sesuai dengan kapasitas yang ada pada dirinya. Faktor-faktor motivasi internal adalah faktor-faktor pada pekerjaan itu sendiri yang mendorong tumbuhnya motivasi kerja, faktor-faktor ini meliputi prestasi, pengakuan keberhasilan, pekerjaan yang menantang, meningkatnya

(23)

tanggung jawab dan pertumbuhan atau perkembangan seseorang dalam pekerjaan tersebut. Sedangkan faktor-faktor motivasi eksternal adalah faktor-faktor lingkungan pekerjaan yang berfungsi memelihara tumbuhnya faktor-faktor motivasi internal seperti kebijaksanaan dan administrasi, supervisi, kondisi kerja, hubungan interpersonal, uang, status dan keamanan.

Berdasarkan uraian di atas, maka peternak yang merasakan bahwa jenis usaha yang digelutinya mampu memenuhi kebutuhan hidup dan dapat membawa perkembangan kehidupan keluarga ke arah yang lebih baik akan memiliki motif berusaha yang tinggi. Peternak selalu berkeinginan menyalurkan perilakunya agar segera mencapai tujuan yang diinginkan dan selalu memiliki kekuatan yang tinggi dalam mengelola usaha sapi potong yang lebih baik.

Skala Usaha

Skala usaha atau besarnya usaha adalah ukuran besar-kecilnya suatu usaha yang dijalankan oleh seorang peternak, dimana hal tersebut akan berpengaruh terhadap kinerja peternak. Seorang peternak yang modalnya kecil dan jumlah ternaknya sedikit, akan berpengaruh terhadap semangat/motivasi dan kreativitas kerja agar pendapatan yang diperoleh dapat lebih baik (Soekartawi et al. 1986). Selanjutnya dinyatakan bahwa ukuran usahatani/ternak selalu berhubungan positif dengan adopsi inovasi. Penggunaan teknologi yang baik akan menghasilkan produktivitas usaha yang lebih tinggi dan manfaat ekonomi yang diperoleh memungkinkan dilakukan perluasan atau pengembangan usahatani/ternak selanjutnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka besar-kecilnya jumlah usaha sapi potong yang dimiliki peternak, akan mendorong bangkitnya motivasi peternak dalam berusaha. Skala usaha yang kecil akan mempengaruhi motivasi berusaha relatif lebih rendah. Namun skala usaha ternak yang tinggi akan mendorong peternak dapat berusaha lebih baik dan lebih kreatif. Peternak selalu merasa tertantang untuk menerapkan cara-cara baru yang lebih baik dan efisien, sehingga pada akhirnya akan membentuk sistem pengelolaan usaha yang lebih baik dan lebih berkompeten.

(24)

Pengalaman berusaha

Walker (1973) menyatakan pengalaman adalah hasil dari proses yang dialami oleh seseorang yang mempengaruhi terhadap informasi yang diterima. Pengalaman akan menjadi dasar terhadap pembentukan pandangan individu untuk memberikan tanggapan dan penghayatan. Middlebrook (1974) menambahkan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali terhadap suatu obyek secara psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap obyek tersebut. Bagi orang yang telah lama menggeluti suatu pekerjaan akan lebih terampil dan cenderung menghasilkan suatu hasil yang lebih baik dari pada orang yang baru.

Menurut van den Ban dan Hawkins (1999) manusia memperoleh bayangan akan kenyataan hidup dengan cara belajar dari pengalaman pribadi, mengamati pengalaman orang lain, bercakap-cakap dengan orang lain perihal pengalaman dan hasil penelitian masing-masing dan memikirkan informasi yang diperoleh dalam berbagai cara.

Pengalaman adalah segala sesuatu yang muncul dalam riwayat hidup seseorang. Pengalaman seseorang menentukan perkembangan keterampilan, kemampuan dan kompetensi yang penting. Pengalaman kerja tidak hanya pengetahuan, tetapi juga kegiatan praktek langsung dalam bidangnya (Bird 1989). Suparno (2001) menyebutkan bahwa kompetensi dapat dikembangkan dari proses berpikir, praktek dan pengalaman hidup seseorang. Keterbatasan pengalaman akan menutup cakrawala gagasan yang ada pada memori pikiran.

Berdasarkan uraian di atas, maka lama atau tidaknya seseorang dalam menggeluti usaha akan mempengaruhi tingkat kompetensinya. Peternak yang sudah lama menggeluti usaha sapi potong akan memiliki sejumlah pengalaman dan informasi yang menjadi dasar pembentukan pandangan individu untuk memberikan tanggapan dan penghayatan, serta lebih terampil dan cenderung menghasilkan suatu hasil yang lebih baik dari pada orang yang baru.

Ketersediaan tenaga kerja

Soekartawi (1996) menyatakan terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada faktor produksi tenaga kerja yaitu: tersedianya tenaga kerja dalam jumlah yang memadai, kualitas tenaga kerja yang berkaitan dengan pengalaman beternak, penyerapan teknologi dan lain-lainnya. Usahatani/ternak

(25)

memerlukan tenaga kerja untuk melakukan kegiatan yang meliputi pembuatan kandang, pemeliharaan ternak yang meliputi pengobatan, pembersihan dan pemeliharaan kandang serta pemberian pakan.

Faktor penting lain yang harus diperhatikan pada faktor tenaga kerja adalah curahan tenaga kerja. Soekartawi (1996) menyatakan bahwa dalam praktek usahatani digunakan ukuran setara jam kerja pria atau hari kerja pria dengan menggunakan faktor konversi 0,8 dan 0,5 untuk waktu yang dicurahkan oleh tenaga kerja wanita dan anak-anak.

Berdasarkan uraian di atas, maka ketersediaan tenaga kerja keluarga baik jumlah maupun kualitasnya akan mempengaruhi kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha sapi potong, karena usahaternak memerlukan tenaga kerja untuk melakukan kegiatan yang meliputi pembuatan kandang, pemeliharaan ternak yang meliputi pengobatan, pembersihan dan pemeliharaan kandang, serta pemberian pakan.

Faktor Eksternal Peternak Sapi Potong

Menurut Sampson (Rakhmat 2007) faktor eksternal adalah ciri-ciri yang menekan seseorang yang berasal dari luar dirinya dan merupakan salah satu faktor penting dalam rangka mengetahui upaya seseorang untuk melakukan suatu usaha. Pengertian faktor eksternal dalam penelitian ini adalah segala keadaan atau peristiwa yang mempengaruhi peternak yang berasal dari luar diri, seperti:

Ketersediaan sarana produksi

Mosher (1987) menyatakan bahwa pembangunan pertanian menghendaki ketersediaan sarana produksi bagi petani dengan lokasi yang dapat dijangkau tanpa mengeluarkan biaya yang berarti, harga yang terjangkau, mutu yang baik, dan tersedia selalu saat dibutuhkan.

Rahardi (2003) menyatakan bahwa ketersediaan sarana produksi sangat mempengaruhi perilaku petani/peternak dalam menerapkan ide baru sehubungan dengan kegiatan usahaternaknya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ketersediaan sarana usaha berpengaruh terhadap kemampuan peternak dalam mengupayakan efisiensi usahanya. Pernyataan tersebut didukung oleh Lunandi (1989) bahwa dalam hal tertentu, penyediaan material (peralatan maupun sarana produksi) dibutuhkan dalam suatu proses belajar ke arah perubahan perilaku, misalnya

(26)

pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam usaha atau kegiatan yang dilakukan. Berdasarkan penelitian Fitriah (2007) menyebutkan bahwa sarana produksi berhubungan dengan tingkat kompetensi petani.

Berdasarkan uraian di atas, maka ketersediaan sarana produksi akan mempengaruhi kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha sapi potong. Sarana produksi yang dapat dijangkau tanpa mengeluarkan biaya yang berarti, harga yang terjangkau, mutu yang baik dan selalu tersedia saat dibutuhkan sangat mempengaruhi perilaku peternak dalam menerapkan ide baru yang berhubungan dengan kegiatan usahaternaknya. Ketersediaan sarana usaha berpengaruh terhadap kompetensi peternak dalam mengupayakan efisiensi usahanya.

Penyuluhan

Terjadinya interaksi antara peternak dengan penyuluh menunjukkan terjadinya komunikasi antara kedua pihak, baik dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Wiriaatmadja (1990) proses komunikasi timbul karena penyuluh berusaha mengadakan hubungan dengan peternak. Tujuan penyuluh mengadakan komunikasi dengan khalayak sasarannya adalah untuk mengadakan perubahan perilaku, karena adanya informasi perubahan yang lebih baik tersebut maka khalayak sasaran akan lebih terbuka menerima hal-hal baru. Kartasapoetra (1987) menyatakan hubungan yang kontinu antara penyuluh dengan peternak dapat menciptakan rasa kekeluargaan yang akan mempermudah dan memperlancar pemberian dan penerimaan informasi dalam rangka peningkatan kompetensi.

Berdasarkan uraian di atas, maka proses penyuluhan akan mempengaruhi kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha sapi potong. Interaksi peternak dengan penyuluh akan membuka cara pikir dan wawasan peternak sehingga peternak akan lebih terbuka menerima inovasi.

Keterlibatan dalam kelompok tani

Mosher (1987) menyatakan bahwa salah satu syarat sukses terlaksananya kekuatan pembangunan pertanian yaitu adanya suatu kegiatan kelompok tani. Kelompok tani dibentuk untuk mensejahterakan masyarakat petani melalui kenaikan produktivitas serta distribusi pendapatan yang lebih merata.

(27)

Abbas (1995) menyatakan bahwa terdapat beberapa peranan kelompok tani, yaitu: (1) sebagai kelas belajar bagi para petani agar terjadi interaksi, guna meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam berusahatani yang lebih baik serta berperilaku lebih mandiri untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera, (2) sebagai unit produksi dalam pengertian kelompok tani merupakan kesatuan unit usaha untuk mewujudkan kerjasama dalam mencapai skala ekonomi yang lebih menguntungkan dan (3) sebagai wahana kerjasama antara anggota dan antara kelompok tani dengan pihak lain untuk memperkuat kerjasama dalam menghadapi berbagai macam ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan.

Kelompok tani sebagai wahana belajar-mengajar, merupakan wadah bagi setiap anggota untuk berinteraksi guna meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam berusahatani yang lebih baik dan menguntungkan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Kelompok tani sebagai suatu kelompok diharapkan dapat mengembangkan kemampuan individu anggotanya sehingga memiliki kemampuan (Adjid 1995).

Berdasarkan uraian di atas, keterlibatan peternak dalam kelompok akan mempengaruhi tingkat kompetensi. Semakin sering proses interaksi terjadi di antara sesama anggota, maka proses pertukaran atau distribusi pengetahuan serta pengalaman akan berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan pengelolaan usaha sapi potong.

Akses kredit

Modal merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan produktivitas usahatani. Petani yang memiliki modal yang lemah atau terbatas untuk menjalankan usahatani memerlukan akses kredit. Jika modal (kredit) cukup, petani dapat mengoptimalkan sumberdaya usahataninya guna meningkatkan keuntungan usahanya yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani (Sudaryanto & Agustian 2003).

Tamba (2007) menyatakan bahwa kredit merupakan modal operasional yang mendukung kegiatan produksi. Besarnya modal biasanya dapat digunakan sebagai petunjuk maju atau tidaknya tingkat usahatani/ternak. Tersedianya akses modal/kredit mempengaruhi kemampuan petani dalam merencanakan dan

(28)

melaksanakan usahatani/ternak serta kemampuan dalam mengatasi masalah usaha tani/ternaknya.

Berdasarkan uraian di atas, maka ketersediaan kredit baik jumlah maupun kemudahan mengaksesnya merupakan faktor yang mempengaruhi maju-tidaknya suatu usahaternak. Kredit merupakan modal operasional yang mendukung kegiatan produksi, besar-kecilnya modal yang dimiliki peternak akan mempengaruhi produktivitas usaha.

Kinerja

Performance diterjemahkan menjadi kinerja, juga berarti prestasi kerja atau pelaksanaan kerja/penampilan kerja. Kinerja adalah tingkat keberhasilan di dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dikatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan baik (Gibson et al. 1984). Selanjutnya Griffin (1986) menjelaskan bahwa kinerja merupakan suatu kumpulan total dari perilaku kerja yang ada pada pekerja. Kinerja adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan suatu aktivitas pekerjaan yang diperoleh dari perbuatannya atau perilakunya.

Terdapat dua kriteria untuk mengetahui kinerja pekerja atau peternak yaitu dengan melihat dan mengukur efisiensi dan efektivitas kerjanya. Efisiensi adalah kapabilitas hasil produksi yang diinginkan dengan menggunakan energi, waktu, uang, material dan input lain yang minimum. Efisiensi ada jika pekerja melakukan sesuatu dengan baik dimana suatu pekerjaan dikatakan efisien jika mampu mencapai output dengan menggunakan input (tenaga kerja, material dan waktu) seminimum mungkin. Efisiensi merupakan suatu cara untuk mendapatkan hasil yang baik dari jumlah masukan yang paling minimum. Efisiensi berkaitan dengan seberapa baik berbagai masukan itu dikombinasikan atau bagaimana pekerjaan tersebut dilaksanakan.

Efektivitas adalah prestasi yang dicapai dibandingkan dengan yang mungkin dicapai. Efektivitas adalah suatu konsep yang luas dan mencakup berbagai faktor di dalam maupun di luar organisasi yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasaran organisasi dengan tetap mempertahankan standar mutu yang disyaratkan.

(29)

Setiap kegiatan usaha pasti ingin mencapai sasaran yang telah ditetapkan atau ingin dicapai (“keberhasilan usaha”). Salah satu langkah untuk mengukur keberhasilan itu adalah melakukan penilaian kinerja (performance). Penilaian kinerja memang penting, sebab (1) merupakan ukuran keberhasilan suatu kegiatan usaha dalam kurun waktu tertentu dan (2) merupakan masukan untuk perbaikan atau peningkatan kinerja kegiatan usaha selanjutnya (Riyanti 2003). Rivai dan Ahmad (2005) menyatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang atau kelompok orang dalam upaya pencapaian tujuan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral atau etika. Kinerja peternak sapi potong adalah keberhasilan usaha yang diukur berdasarkan tingkat kemajuan yang dicapai oleh kegiatan usahaternaknya.

Beberapa cara mengukur kinerja adalah: (1) produktivitas, (2) keuntungan usaha yang diperoleh dan (3) kinerja administrasi, kinerja operasi dan kinerja strategik (Riyanti 2003). Hasil penelitian Harijati (2007) menemukan bahwa peningkatan kinerja petani/peternak dipengaruhi oleh peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani. Petani/peternak dapat memiliki kinerja lebih baik, jika memiliki kompetensi yang tinggi. Sedangkan kegiatan penyuluhan adalah upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani/peternak dan sebagai strategi pemberdayaan petani.

Berdasarkan uraian di atas, maka kinerja peternak merupakan kumpulan total perilaku kerja yang ada pada peternak. Selain itu kinerja juga berarti bahwa tingkat keberhasilan yang dicapai peternak dalam melaksanakan tugas serta kemampuan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja peternak tergolong baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dicapai dengan baik dan efisien. Dalam penelitian ini, kinerja peternak diukur berdasarkan tingkat pencapaian produktivitas dan keuntungan yang diperoleh dari usahaternak sapi potong.

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi berjudul Hubungan Penyakit Gondok dengan Tingkat Intelegensia Pada Siswa Sekolah Dasar di (SDN) Darsono 2 Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember telah diuji

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Mengetahui pengaruh perkembangan rasio likuiditas, rasio profitabilitas dan keputusan investasi (dilihat dari sudut investor) pada perusahaan sektor pertambangan yang

Bahwa, Pemohon dalam perihal ini mengajukan Perohonan dengan mendasarkan selisih perolehan suara perolehan 21.516 Suara atau memiliki presentase selisih sebesar 31.91%,

Dalam kaitan dengan upaya yang sedang dilakukan, para informan mengungkapkan bahwa hal yang paling penting adalah memahami komunikasi interpersonal, menempatkan baik orang tua

Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, ekspor barang mengalami pertumbuhan 12,1%, jauh lebih rendah dari pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar

ENTRY NILAI ULANGAN TENGAH SEMESTER Kode Jadwal Display Nama Pelajaran Display Nilai Mata Pelajaran Input Batal Kode UTS input. Simpan Display Kode Mapel Kode Mapel Input Keluar

Dari hasil observasi sebelum penelitian tindakan kelas masih banyak siswa yang belum mencapai target ketercapaian KKM karena belum menerima materi secara optimal