• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISBN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ISBN"

Copied!
237
0
0

Teks penuh

(1)

Cetakan Pertama, Desember 2013

Hak Cipta dilindungi oleh Undang Undang All right reserved

Kementerian Kesehatan RI, Pokok Pokok Hasil Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013 Penulis : Sahat Ompusunggu, Dkk

Layout : Ade Rian Hidayat Desain Sampul : Suci Wiji Lestari

Editor : Susilowati Herman, Nurul Puspasari C-1 Jakarta

Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes, 2013, 293 hlm. Uk 21 cm x 29,7 cm

ISBN 978-602-235-540-3 Diterbitkan oleh :

Lembaga Penerbitan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

Anggota IKAPI No. 468/DKI/XI/2013

Jl. Percetakan Negara No 29 Jakarta 10560 Kotak Pos 1226 Telepon : (021) 4261088 Ext.123 Faksimilie (021) 4243933

Email: LPB@litbang.depkes.go.id; Website: terbitan.litbang.depkes.go.id

Didistribusikan oleh : Tim Riskesdas 2013

Copyright (C) 2013 pada Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes Jakarta

Sanksi Pelanggaran Undang undang Hak Cipta 2002

1. Barang siapa dengan sengaja tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil Hak Cipta Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

(2)

RISET KESEHATAN DASAR

RISKESDAS 2013

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Disusun Oleh:

drh. Sahat Ompusunggu, M.Sc

Syachroni, S.Si

Umi Syarifah, S.Kom

Aris Yulianto, S.Si

Rosiana Kalikulla, SKM

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

(3)

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum wr.wb.

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga Riskesdas 2013 telah selesai dilaksanakan. Riskesdas merupakan kegiatan riset kesehatan dasar berbasis masyarakat, yang dilaksanakan secara berkala. Riskesdas menghasilkan indikator kesehatan yang dapat dimanfaatkan untuk perencanaan pembangunan kesehatan.

Hasil akhir Riskesdas 2013 tingkat provinsi disajikan dalam dua buku yaitu buku 1: Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 dan buku 2: Riskesdas 2013 Dalam Angka . Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 berisi hasil analisis variabel utama pembangunan kesehatan, dilengkapi dengan filosofi, teori dan justifikasi pengumpulan variabel dan indikator. Riskesdas 2013 dalam Angka menyajikan hasil lebih rinci dalam bentuk tabel. Kedua buku ini merupakan satu kesatuan, pembaca disarankan membaca buku 1 untuk mendapatkan gambaran komprehensif mengenai Riskesdas dan buku 2 untuk memperoleh informasi lebih rinci dalam bentuk tabel.

Analisis disajikan secara deskriptif dan kecenderungan untuk melihat perubahan indikator 2007 – 2013.Informasi kecenderungan dapat dimanfaatkan program untuk mengevaluasi strategi yang telah diterapkan, sehingga dapat diidentifikasi kemajuan kinerja provinsi dan perbaikan yang dibutuhkan. Laporan Riskesdas 2013 dapat diunduh melalui website Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan www.litbang.depkes.go.id

Ucapan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada Gubernur, Bupati, Walikota, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Poltekkes, Perguruan Tinggi, Lembaga PenelitianDaerah, dan berbagai institusi yang membantu kelancaran Riskesdas 2013. Kontribusi semua pihak dari tahap persiapan, pembuatan instrumen, pengumpulan dan analisis data serta penulisan laporan sangat kami apresiasi. Ungkapan serupa juga kami tujukan kepada para koordinator wilayah beserta jajaran administratornya, para penanggung jawab operasional, para enumerator di lapangan, sehingga pelaksanaan Riskesdas 2013 dapat berjalan lancar.

Semoga laporan ini dapat dimanfaatkan bagi para pembaca dan semoga Allah SWT melimpahkan barokah-Nya kepada kita.

Wassalamu‟alaikum wr.wb.

Kepala Pusat Teknologi Terapan dan Epidemiologi Klinik

(4)

SAMBUTAN

KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

Dalam lima tahun terakhir ini Pembangunan Kesehatan telah diperkuat dengan tersedianya data dan informasi yang dihasilkan oleh Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas. Tiga Riskesdas telah dilaksanakan di Indonesia, masing–masing pada tahun 2007, 2010, dan 2013.

Riskesdas 2013 berbasis komunitas, mencakup seluruh provinsi di Indonesia dan menghasilkan data serta informasi yang bermanfaat bagi para pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan. Dengan adanya data dan informasi hasil Riskesdas, maka perencanaan dan perumusan kebijakan kesehatan serta intervensi yang dilaksanakan akan semakin terarah, efektif dan efisien.

Saya minta agar segenap pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan memanfaatkan data dan informasi yang dihasilkan Riskesdas dalam merumuskan kebijakan dan mengembangkan program kesehatan, demi terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi–tingginya. Saya juga mengundang para pakar perguruan tinggi, para pemerhati kesehatan, para peneliti Badan Litbangkes, dan para anggota APKESI (Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia) untuk mengkaji hasil Riskesdas 2013, guna mengindentifikasi asupan bagi peningkatan Pembangunan Kesehatan dan penyempurnaan Sistem Kesehatan Nasional. Dengan demikian dapat dikembangkan tatanan kesehatan yang semakin baik bagi Rakyat Indonesia.

Ucapan selamat dan apresiasi saya sampaikan kepada para responden, enumerator, para penanggung jawab teknis Badan Litbangkes dan Poltekkes, para penanggung jawab operasional dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, para pakar dari universitas dan BPS, serta semua pihak yang terlibat dalam Riskesdas 2013 ini. Peran dan dukungan anda sangat penting dalam mendukung upaya menyempurnakan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi Pembangunan Kesehatan di negeri ini.

Semoga buku ini bermanfaat.

Billahitaufiq walhidayah, Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 1 Desember 2013 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

(5)

RINGKASAN EKSEKUTIF

A. RINGKASAN EKSEKUTIF

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 di Indonesia, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan riset kedua yang mengumpulkan data dasar dan indikator kesehatan setelah tahun 2007, yang merepresentasikan gambaran wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Indikator yang dihasilkan antara lain status kesehatan dan faktor penentu kesehatan yang bertumpu pada konsep Henrik Blum. Pertanyaan penelitian yang menjadi dasar pengembangan Riskesdas 2013 adalah: 1) bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di tingkat provinsi, dan kabupaten/kota; 2) Apakah telah terjadi perubahan masalah kesehatan spesifik di setiap kabupaten/kota; 3) Apa dan bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di tingkat provinsi dan kabupaten/kota; 4) Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan; dan 5) Bagaimana korelasi antar faktor terhadap status kesehatan? Laporan ini baru dapat menjawab pertanyaan penelitian 1 dan 2, sedangkan pertanyaan penelitian 3, 4, dan 5 akan dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk analisis lanjut.

Untuk menjawab kelima pertanyaan tersebut, dirumuskan tujuan antara lain yaitu penyediaan data dasar dan status kesehatan dan faktor penentu kesehatan, baik di tingkat rumah tangga maupun tingkat perorangan, dengan ruang lingkup sebagai berikut: 1) Akses dan pelayanan kesehatan; 2) Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional; 3) Kesehatan lingkungan; 4) Pemukiman dan ekonomi; 5) Penyakit menular; 6) Penyakit tidak menular; 7) Cedera; 8) Gigi dan mulut; 9) Disabilitas; 10) Kesehatan jiwa; 11) Pengetahuan, sikap dan perilaku; 12) Pembiayan kesehatan; 13) Kesehatan reproduksi; 14) Kesehatan anak; 15) Pengukuran antropometri (berat badan, tinggi/panjang badan, lingkar lengan atas, lingkar perut) dan tekanan darah; 16) Pemeriksaan indera mata dan telinga; 17) Pemeriksaan status gigi permanen; 18) Pengambilan spesimen darah dan urin, garam dan air rumah tangga.

Disain Riskesdas 2013, termasuk di NTT, merupakan survei cross sectional yang bersifat deskriptif. Populasi di NTT adalah seluruh rumah tangga di 21 kabupaten/kota. Sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga dirancang terpisah dengan daftar sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga Susenas 2013. Riskesdas 2013 berintegrasi dengan SUSENAS yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Di NTT berhasil dikunjungi seluruh (100 %) dari 436 blok sensus (BS) yang ditargetkan, 10.747 dari 10.900 RT (98,6 %), dan 43.732 dari 46.206 ART (94,6 %). Juga telah dikumpulkan 986 spesimen darah ART umur ≥ 1 tahun untuk pemeriksaan hemoglobin, malaria, glukosa, dan beberapa parameter kimia klinis. Untuk mengetahui status iodium, dilakukan tes cepat iodium dari seluruh sampel garam RT (10.747).

Keterbatasan Riskesdas 2013 NTT mencakup: 1) non-sampling error antara lain: RT yang tidak dijumpai, anggota RT yang tidak bisa diwawancarai karena tidak ada di tempat sampai waktu pengumpulan data selesai, 2) estimasi tingkat kabupaten tidak bisa berlaku untuk semua indikator karena keterbatasan jumlah sampel untuk dianalisis.

Seluruh hasil Riskesdas NTT ini bermanfaat sebagai masukan dalam pengembangan kebijakan dan perencanan program kesehatan. Dengan 1.060 variabel yang dikelompokkan berdasarkan dua jenis kuesioner (RKD13.RT dan RKD13.IND), maka hasil Riskesdas 2013 NTT telah dan dapat digunakan antara lain untuk melihat kecenderungan perubahan beberapa indikator yang sama dengan Riskesdas 2007, pengembangan riset dan analisis lanjut, penelusuran hubungan kausalefek, dan pemodelan statistik.

(6)

Riskesdas 2013 NTT menghasilkan berbagai peta masalah kesehatan dan kecenderungannya, dari bayi lahir sampai dewasa, yang dapat dirinci dalam penjelasan berikut ini. Catatan berat badan bayi waktu lahir yang diperlukan dalam pemantauan tumbuh-kembang anak, ternyata tidak dimiliki oleh hampir dua pertiga (66,1 %) bayi dan catatan panjang bayi tidak dimiliki hampir empat perlima (78,8 %). Di Sumba Barat Daya, > 90 % bayi tidak memiliki catatan. Di antara yang memiliki catatan, terdapat 15,5 persen bayi dengan berat bayi lahir rendah (BBLR). NTT merupakan provinsi tertinggi keduaBBLR pada tingkat nasional dan 28,6 persen lahir pendek (provinsi tertinggi pada tingkat nasional). Dari kenyataan tersebut diperlukan perbaikan catatan bayi dan perhatian khusus pada bayi yang BBLR dan lahir pendek agar tidak mengalami masalah penyakit tidak menular di masa depannya.

Sebagian besar balita di provinsi itu sudah menerima vaksinasi dengan cakupan tertinggi adalah campak, BCG (83,1 %) dan terendah DPT-HB3 (63,8 %) Cakupan imunisasi dasar lengkap tidak sampai separuh (45 %), bahkan terdapat 12,4 persen anak yang tidak diimunisasi. Sumba Barat Daya mempunyai cakupan imunisasi terendah, baik untuk masing-masing jenis imunisasi maupun iminisasi lengkap. Kabupaten itu memang baru terbentuk dalam beberapa tahun terakhir sehingga keterbatasan sumber daya manusia, sarana dan prasarana merupakan salah satu hambatan dalam pelayanan.

Kunjungan neonatal di provinsi itu cenderung menurun dari 1 ke 2 tetapi meningkat dari KN-2 ke KN-3. Sumba Barat Daya merupakan kabupaten yang terendah kunjungan KN-1 dan Ngada selalu menempati urutan teratas jumlah kunjungan, baik KN-1, KN-2 maupun KN-3. Kunjungan lengkap hanya dilakukan oleh seperempat (25,2 %) di antara seluruh neonatal, dimana urutan terbawah ditempati Kabupaten Sumba Barat Daya dan tertinggi Ngada. Sebagian besar alasan tidak melakukan kunjungan adalah: bayi tidak sakit. Dapat disimpulkan bahwa masih terdapat kesalah pahaman pada orang tua bayi bahwa kunjungan neonatal ke unit pelayanan kesehatan hanya perlu bila bayi sedang sakit.

Menyusui bayi, yang tidak hanya bermanfaat bagi bayi tetapi juga bagi ibu menyusui, ternyata hanya dilakukan pada bayi dengan jumlah kurang dari separuh, baik pada bayi yang disusui mulai kurang dari satu jam (40,5 %) maupun pada bayi yang disusui 1-6 jam setelah bayi lahir (40,3 %). Manggarai Timur adalah kabupaten terendah persentase anak yang disusui kurang dari satu jam (22,1 %). Rendahnya kesadaran ibu bayi untuk menyusui bayinya bisa disebabkan oleh berbagai alasan.

Cakupan pemberian kapsul vitamin A untuk bayi dan anak balita, di NTT mencapai 72 persen, terendah di Kabupaten Sabu Raijua sekitar separuh (50,1 %) dan Kabupaten Nagekeo mencapai 90 persen.

Di NTT penimbangan sebagai salah satu bentuk pemantauan tumbuh-kembang anak, belum pernah dilakukan oleh sepertiga jumlah anak (32,3 %) bahkan di Sumba Barat Daya hampir empat perlima (78,8 %). Berbagai alasan dikemukakan oleh keluarga yang tidak melakukannya dan alasan paling umum adalah “sibuk/repot”, “anak sudah besar” atau “tempatnya jauh”.

Kartu Menuju Sehat (KMS) dan buku KIA yang berguna untuk dokumentasi pemantauan anak tidak dimiliki oleh hampir seperempat (24,5 %) keluarga anak di NTT dan lebih dari separuh (61,7 %) di Sabu Raijua. Di kabupaten/kota lain persentasenya cukup beragam. Bagi yang pernah memiliki, sebagian kartu malah sudah hilang atau disimpan di tempat lain sehingga tidak bisa ditunjukkan. Dalam pelayanan kesehatan ibu, terutama dalam hal pola pengunaan KB saat ini , diperlihatkan bahwa lebih dari sepertiga (35,1 %) WUS kawin tidak pernah menggunakan KB, seperempat (25,3 %) pernah menggunakannya dan sisanya yang 39,6 persen sedang menggunakan KB. Di Sabu Raijua dan Flores Timur, lebih dari separuh WUS kawin tidak pernah menggunakan KB. Cara/alat

(7)

KB modern yang terbanyak diminati adalah suntikan (22,4 %), lalu susuk/implan (6,5 %) dan sisanya menggunakan cara/alat lain dengan jumlah yang lebih sedikit dan yang paling tidak diminati adalah steril, baik steril pria maupun steril wanita. Tenaga kesehatan yang paling banyak (87,5 %) melayani KB adalah bidan. Karena suntikan merupakan cara/alat KB yang paling diminati, yang berkaitan dengan kemudahan dan tidak merepotkan pengguna, maka hal itu bisa dijadikan sebagai isue pokok dalam penyuluhan oleh bidan.

Angka infeksi penyakit menular di NTT masih tergolong relatif tinggi. Period prevalence ISPA tahun 2013 dijumpai sebesar 41,7 persen penduduk (tertinggi di Indonesia) dan tidak berbeda jauh dengan keadaan tahun 2007. Di Sumba Tengah jumlahnya mencapai lebih dari separuh (69 %) penduduk. Prevalensi pneumonia 4,6 persen dan period prevalence 1,4 persen dengan insiden tertinggi Manggarai Timur. Penderita tuberkulosis hasil diagnosis dalam < 1 tahun terakhir 0,3 permil dan dalam > 1 tahun terakhir 1,1 permil. Cakupan pengobatan tuberkulosis baru 34,8 persen dan terkecil di Ende (8,1 %). Prevalensi hepatitis 4,3 persen (tertinggi di Indonesia) atau hampir 4 kali prevalensi nasional (1,2 %) dan tertinggi di Manggarai Timur. Insiden diare sebesar 4,3 persen, period prevalence-nya 10,9 persen dan Manggarai Timur menduduki urutan teratas, khusus pada balita insidennya 6,7 persen dan pemberian oralit baru separuh (51,5 %) sedangkan zinc jauh lebih sedikit (3,3 %). NTT menempati urutan kedua penderita malaria setelah Papua, dengan insiden 2,6 persen dan period prevalence 1 bulan terakhir 6,8 persen. Karena perilaku penduduk dan keadaan lingkungan berkaitan dengan penularan, maka pengendaliannya memerlukan kerjasama lintas sektor.

Penyakit tidak menular, di antaranya asma, masih diderita oleh 7,3 persen penduduk NTT (kedua tertinggi di Indonesia) dan prevalensi tertinggi terdapat di Manggarai Timur, Sumba Barat Daya dan Sumba Barat. Terdapat 10 persen penderita penyakit paru obstruksi kronis/PPOK (tertinggi di Indonesia) dan tiga kabupaten dengan persentase tertinggi adalah Manggarai Timur, Sumba Barat dan Sumba Timur. Karena di NTT prevalensi diabetes mellitus (3,3 %) dan hipertiroid (0,4 %) sangat kecil, rincian menurut kabupaten/kota tidak dianalisis. Prevalensi hipertensi hasil wawancara besarnya 7,4 persen dan di tiga kabupaten (Sikka, Ende dan Ngada) > 11 persen. Hipertensi menurut hasil pengukuran, prevalensinya lebih tinggi (23,3 %) dan perbedaan antar kabupaten tidak begitu besar. Penyakit tidak menular lainnya yang relatif kecil prevalensinya antara lain adalah: jantung koroner (4,4 %), gagal jantung (0,8 %), gagal ginjal kronis (0,3 %) dan batu ginjal (0,7 %). Prevalensi penyakit sendi 33,1 persen, untuk tingkat kabupaten/kota prevalensinya cukup beragam, berkisar antara 17 persen di Alor hingga 60,8 persen di Manggarai Timur. Meskipun prevalensi penyakit tidak menular tertentu relatif kecil, namun pengendaliannya memerlukan kerjasama dengan pihak keluarga.

Prevalensi kebutaan di NTT sekitar 1 persen, katarak 2,3 persen, pterygium 8,2 persen dan kekeruhan kornea 4,9 persen. Sebagian besar penderita katarak (41,1 %) tidak tahu bahwa dirinya menderita. Prevalensi ketulian sebesar 0,1 persen, gangguan pendengaran 3,7 persen dan yang mengandung sekret di liang telinga 21,7 persen.

Disabilitas dialami lebih separuh penduduk berumur > 15 tahun, dengan rincian 22 persen kesulitan berdiri selama 30 menit (termasuk 6,2 % level sedang dan 5,8 % level berat), 20,3 persen kesulitan berjalan jauh dan 19,2 persen kesulitan mengerjakan kegiatan rumah tangga. Akibatnya penderita kehilangan 6,6 hari produktif.

Besarnya prevalensi skizofrenia (pskosis) di NTT adalah 1,6 permil. Yang mengalami gangguan mental emosional tergolong tinggi dengan prevalensi 7,8 permil. Seperempat (25,9 %) penduduk NTT berumur > 10 tahun merupakan perokok aktif yang terbagi atas 19,7 persen perokok setiap hari dan 6,2 persen perokok kadang-kadang. Hampir semua perokok adalah laki-laki dan menyebar merata di semua kabupaten/kota. Pengunyah tembakau setiap hari 17,7 persen dan yang kadang-kadang 12,2 persen.

(8)

Di seluruh NTT lebih sekitar dua pertiga (67.9 %) sumber air minum berjarak < 10 meter dari tempat penampungan tinja. Rumah tangga yang memiliki akses ke sumber air minum yang improved baru sekitar dua pertiga dari jumlah rumah tangga (69,7 %).

B. RINGKASAN HASIL

Akses dan Pelayanan Kesehatan

Pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas kesehatan yang terbanyak adalah tentang Puskesmas atau Puskesmas Pembantu (86,4 %) dan paling rendah persentasenya di seluruh provinsi adalah Poskesdes/Poskestren (5,8 %). Terdapat tiga jenis unit fasilitas kesehatan yang lebih tinggi persentasenya di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, yaitu Puskesmas/Pustu, Poskesdes/Poskestren dan Polindes.

Pengetahuan rumah tangga menuju ke rumah sakit pemerintah yang terbanyak menggunakan kendaraan umum (41,6 %) dan yang paling jarang digunakan adalah sepeda, perahu, transportasi udara dan ”lainnya” (masing-masing < 0,5 %). Di antara 41,6 % pengguna kendaraan umum tersebut, persentase terbesar adalah di Manggarai Timur dan terkecil di Kabupaten Kupang (14,1 %). Ada tiga jenis moda transportasi yang lebih banyak digunakan rumah tangga di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan yaitu mobil pribadi, jalan kaki dan sepeda motor, sedangkan kendaraan umum, perahu dan “lainnya” adalah sebaliknya. Adapun sepeda dan transportasi udara sama-sama sangat jarang atau tidak pernah sama sekali digunakan baik di perkotaan maupun perdesaan. Semua moda transportasi tidak menunjukkan adanya hubungan yang linier dengan Kuintil Indeks Kepemilikan kecuali sepeda motor menunjukkan hubungan linier dimana makin tinggi kuintil makin tinggi penggunaannya

Dua moda transportasi ke RS swasta di Nusa Tenggara Timur yang terbanyak digunakan adalah kendaraan umum (39,5 %) dan sepeda motor (39,4 %) dan yang paling jarang atau bahkan tidak digunakan adalah sepeda (0 %) Di antara 39,5 % pengguna kendaraan umum, persentase terbesar digunakan di Manggarai Timur (91,3 %) dan terkecil di Kabupaten Kupang (4,6 %) dan di antara 39,4 % pengguna sepeda motor, persentase terbesar digunakan di Sumba Tengah (63,6 %) dan terkecil di Manggarai (14,8 %). Di beberapa kabupaten/kota tidak diketahui moda transportasi yang digunakan, antara lain moda transportasi sepeda, perahu, transportasi udara dan moda ”lainnya”. Semua moda transportasi tersebut lebih banyak digunakan di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, kecuali pada moda transportasi sepeda, perahu, transportasi udara dan “lainnya” yang tidak jelas gambarannya. Hanya transportasi sepeda motor yang menunjukkan hubungan linier yang positif dengan Kuintil Indeks Kepemilikan, dimana makin tinggi kuintil makin tinggi persentase penggunanya sedangkan moda transportasi lain cukup beragam persentasenya atau tidak menunjukkan hubungan linier.

Moda transportasi utama yang digunakan penduduk Nusa Tenggara Timur ke Puskesmas/Pustu adalah sepeda motor (39,4 %) lalu disusul dengan jalan kaki (28,8 %) dan kendaraan umum (23,6 %) sedangkan moda transportasi sisanya sangat kecil persentasenya. Di antara ketiga moda transportasi utama tersebut, persentase terbesar pengguna sepeda motor adalah di Rote Ndao (68,9 %) dan terkecil di Flores Timur (19,1 %) sementara yang jalan kaki terbanyak adalah di Manggarai Timur (64,8 %) dan terjarang di Sumba Barat (6,5 %) dan selanjutnya yang terbanyak menggunakan kendaraan umum adalah di Flores Timur (57,3 %) dan terkecil di Sumba Tengah (4,5 %).

Waktu tempuh menuju rumah sakit pemerintah memiliki persentase yang hampir sama, yaitu 28,8 persen untuk 16-30 menit dan 29 persen untuk > 60 menit. Waktu tempuh rumah tangga menuju Pukesmas dan Puskesmas Pembantu terbanyak adalah ≤ 15 menit (39,6 %) dan paling jarang pada

(9)

> 60 menit (10,2 %), atau dengan perkataan lain makin singkat waktu tempuh, makin banyak penduduk mengunjungi Puskesmas/Pustu. Makin tinggi waktu tempuh makin rendah persentasenya, namun untuk tingkat kabupaten/kota, gambaran yang sama hanya terjadi di enam kabupaten/kota saja, yaitu Timor Tengah Utara, Belu, Sikka, Manggarai Barat, Sumba Tengah dan Nagekeo, sedangkan untuk yang lainnya tidak ada korelasi dan bahkan di dua kabupaten, Alor dan Rote Ndao, tidak ada jawaban responden sama sekali.

Biaya transportasi menuju rumah sakit pemerintah menunjukkan bahwa lebih separuh (57,7 %) penduduk mengeluarkan biaya Rp. < 10.000,- menuju RS Pemerintah dan juga terlihat bahwa makin tinggi biaya transportasi makin kecil persentase penduduk yang mengeluarkan biaya itu. Biaya transportasi sekali jalan menuju Puskesmas atau Puskesmas Pembantu dan Posyandu sebagian besar adalah Rp. < 10.000,-, dimana persentasenya berturut-turut 92,7 persen dan 97,2 persen. Hanya sebagian kecil saja penduduk yang menggunakan biaya di atasnya.

Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional

Sebanyak 17,2 % rumah tangga di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur menyimpan obat untuk pengobatan sendiri (swamedikasi), dengan proporsi tertinggi rumah tangga di Kabupaten Rote Ndao (28,9 %) dan terendah di Kabupaten Kupang (3,2 %). Rerata jumlah obat yang disimpan hampir 3 jenis, dimana yang tertinggi adalah di Alor (4 jenis) dan terendah di Nagekeo (1,8 jenis). Pada semua jenis obat, persentase rumah tangga yang menyimpan obat adalah lebih besar di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, kecuali obat tradisional. Pada obat keras, obat bebas dan antibiotik sama-sama cenderung lebih besar persentase rumah tangga yang menyimpannya pada kuintil teratas, sedangkan pada dua jenis obat sisanya, kecenderungannya tidak sama.

Di seluruh provinsi Nusa Tenggara Timur obat keras dan antibiotik bisa diperoleh dan disimpan rumah tangga tanpa resep dokter, yang persentasenya masing-masing oleh 78 persen rumah tangga. Kabupaten/kota yang tertinggi persentase yang menyimpan obat keras adalah Manggarai (97,2 %) dan terendah di Sumba Tengah (63,7 %), sementara yang menyimpan antibiotik terbanyak di Sabu Raijua (95,8 %) dan terendah di Sumba Tengah (57,3 %).

Di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur, fasilitas pelayanan kesehatan formal dan apotek merupakan sumber utama mendapatkan obat rumah tangga dengan proporsi masing-masing 39,8 persen dan 32,4 persen. Tiga jenis sumber obat (pemberian orang lain, yankes tradisional dan penjual obat keliling) tidak berperan sama sekali sebagai sumber obat. Pada semua jenis sumber obat, untuk mendapatkan obat, lebih besar persentasenya di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, kecuali pada apotik. Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, cenderung semakin tinggi persentase memperoleh obat dari apotik dan sebaliknya dari toko obat/warung, sedangkan pada sumber obat yankes formal dan nakes, tidak memperlihatkan adanya hubungan linier.

Di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur, separuh (50,2 %) rumah tangga menyimpan obat untuk persediaan, lalu persentase kedua tertinggi adalah menyimpan obat karena sedang digunakan (39,8 %) dan sisanya tersimpan sebagai obat sisa (27,1 %). Persentase rumah tangga yang menyimpan obat yang sedang digunakan dan obat sisa lebih tinggi di perdesaan daripada di perkotaan dan sebaliknya obat untuk persediaan. Semakin tinggi kuintil, semakin banyak rumah tangga yang menyimpan obat untuk persediaan, sedangkan untuk dua kategori sumber obat lainnya, tidak menunjukkan adanya hubungan yang linier dengan kuintil.

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur hanya 12 persen rumah tangga yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai obat generik (OG). Dari jumlah tersebut, hanya sebagian kecil (23,5 %) yang berpengetahuan benar tentang OG sedangkan sisanya berpengetahuan salah. Persentase terbesar yang mengetahui atau pernah mendengar adalah di Kota Kupang (53,1 %) dan terendah di Manggarai Timur (1,9 %). Di antara yang mengetahui tersebut, persentase tertinggi berpengetahuan

(10)

benar justru di Timor Tengah Utara (43,5 %) dan terendah di Ngada (1,1 %). Bagi rumah tangga yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG, jauh lebih besar persentasenya di perkotaan daripada di perdesaan. Semakin tinggi kuintil, semakin tinggi persentase yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG, tetapi di antara yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG tersebut, persentase yang berpengetahuan benar tentang OG tidak berkorelasi linier dengan kuintil.

Sebanyak 73 persen rumah tangga mempunyai persepsi bahwa OG merupakan obat murah dan 62 persen sebagai obat program pemerintah, sedangkan pada kategori persepsi lainnya, proporsinya lebih rendah. Hanya 47,3 persen rumah tangga yang berpersepsi bahwa OG berkhasiat sama dengan obat bermerek. Rumah tangga dengan persepsi bahwa OG adalah obat tanpa merek dagang adalah yang paling rendah proporsinya (30 %). Semua kategori persepsi tersebut lebih besar proporsinya di perkotaan daripada di perdesaan. Proporsi persepsi yang berkorelasi linier positif dengan Kuintil Indeks Kepemilikan hanya persepsi bahwa OG sebagai “obat murah” dan “obat program pemerintah”, sedangkan proporsi persepsi lainnya tidak berkorelasi linier dengan kuintil.

Sumber informasi tentang OG paling banyak diperoleh dari tenaga kesehatan (75,3 %) dan paling jarang dari pendidikan (26,8 %). Semua sumber informasi tersebut merata lebih besar proporsinya di perkotaan daripada di perdesaan. Hanya proporsi sumber informasi dari media cetak dan media elektronik saja yang berkorelasi linier positif dengan kuintil indeks kepemilikan, sedangkan pada sumber informasi lainnya, tidak ada korelasinya dengan kuintil.

Sebanyak 19,6 persen penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur pernah memanfaatkan Yankestrad dengan kisaran antara 2,1 persen di Sabu Raijua hingga 43,3 persen di Sumba Tengah. Di antara rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad tersebut, jenis yang terbanyak digunakan adalah jenis keterampilan tanpa alat (80,3 %). Di antara 2,1 persen rumah tangga di Sabu Raijua yang pernah memanfaatkan Yankestrad, semuanya (100 %) menggunakan jenis keterampilan tanpa alat. Di antara pemanfaat jenis ramuan, yang merupakan proporsi kedua (30,2 %) setelah pemanfaat keterampilan tanpa alat, proporsi tertinggi adalah di Manggarai (96,2 %) dan terendah (0 %) di Sabu Raijua. Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad lebih tinggi di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan. Di antara yang memanfaatkan Yankestrad tersebut, semua jenis Yankestrad yang digunakan juga selalu lebih banyak di perdesaan, kecuali pada jenis keterampilan dengan alat adalah sebaliknya. Adapun kuintil indeks kepemilikan tidak berkorelasi linier dengan pemanfaatan Yankestrad, baik dengan proporsi yang pernah memanfaatkan maupun dengan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan.

Kesehatan Lingkungan

Air minum untuk keperluan rumah Tangga

Di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur, sumber air paling tinggi persentasenya digunakan penduduk adalah air ledeng/PDAM (28,2 %) dan yang paling rendah adalah sumur bor/pompa (28,2 %). Kabupaten/kota yang tertinggi persentase penduduknya menggunakan air ledeng/PDAM adalah Kota Kupang (60,8 %) dan terendah adalah Sumba Barat (4 %) dan Sabu Raijua (4,1 %). Ada beberapa kabupaten yang penduduknya tidak menggunakan sumber air tertentu, antara lain adalah sumur bor/pompa di Ngada, penampungan air hujan di enam kabupaten dan air sungai/danau/irigasi di Flores Timur. Terdapat empat jenis sumber air untuk rumah tangga yang penggunaannya lebih tinggi persentasenya di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, yaitu air ledeng/PDAM, air ledeng eceran/membeli, sumur bor/pompa dan sumur gali terlindung, sedangkan jenis sumber air lainnya adalah sebaliknya atau lebih tinggi di perdesaan daripada di perkotaan. Pada pemanfaatan air ledeng/PDAM dan air ledeng eceran/membeli, makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, makin tinggi persentasenya, sedangkan pada tiga sumber air (sumur gali tidak terlindung, mata air tidak

(11)

terlindung dan air sungai/danau/irigasi), adalah sebaliknya. Adapun pada empat sumber air lainnya, tidak menunjukkan adanya hubungan linier dengan Kuintil Indeks Kepemilikan.

Di antara 11 jenis sumber air minum yang ditanyakan, sumber air yang paling tinggi persentasenya digunakan penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah air ledeng/PDAM (26,7 %) dan yang paling rendah adalah air kemasan (0,6 %), Separuh (50 %) penduduk Kabupaten Lembata menggunakan air ledeng/PDAM sebagai sumber air minum dan itu merupakan persentase terbesar di antara seluruh kabupaten/kota di NTT sedangkan persentase terkecil adalah Sumba Barat (4,1 %). Beberapa jenis sumber air minum tidak digunakan penduduk di kabupaten tertentu, misalnya air kemasan di Belu, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya dan Sabu Raijua, air ledeng eceran/membeli di Manggarai Barat, sumur bor/pompa di Ngada, mata air tak terlindung di Flores Timur dan sebagainya. Rumah tangga cenderung menggunakan air yang lebih bersih dibandingkan dengan sumber air untuk keperluan Rumah tangga dan persentase sumber air minum yang lebih bersih tersebut lebih besar persentasenya di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan. Pada empat jenis sumber air minum (air kemasan, air isi ulang, air ledeng dan air ledeng eceran/membeli), persentasenya lebih besar di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan, sedangkan pada jenis sumber air minum lainnya adalah sebaliknya. Pada tiga jenis sumber air minum (air isi ulang, air ledeng dan air ledeng eceran/membeli), semakin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, semakin tinggi persentasenya, sedangkan pada tiga jenis sumber air minum lainnya (sumur gali tak terlindung, mata air tak terlindung dan air sungai/danau/irigasi) adalah sebaliknya. Sementara itu pada jenis sumber air minum sisanya, gambarannya adalah variatif, atau tidak menunjukkan hubungan yang linier dengan Kuintil Indeks Kepemilikan.

Volume pemakaian air per orang per hari penduduk NTT sangat beragam mulai dari < 7,5 liter (0,1 %) hingga > 300 liter (0,9 %), namun mayoritas (37,9 %) adalah antara 20-50 liter. Kabupaten/kota yang paling tinggi persentase penduduknya menggunakan air dengan volume antara 20-50 liter per orang per hari adalah Sikka (65,1 %) dan terendah adalah Ende (20,1 %). Persentase tertinggi kabupaten/kota yang menggunakan > 300 liter per orang per hari adalah Sabu Raijua (0,9 %). Hanya pada penggunaan air bersih antara 7,5 – 20 dan 20-50 liter per orang per hari yang menunjukkan persentase yang lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan, sedangkan pada volume pemakaian lainnya adalah sebaliknya, kecuali pada volume pemakaian < 7,5 persen, persentasenya kurang lebih sama di perkotaan dan perdesaan. Terdapat keragaman persentase antar kuintil di tiap volume air yang digunakan, atau dengan perkataan lain, tidak ada hubungan yang linier antara kuintil dengan volume pemakaian air bersih.

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih terdapat 14,6 persen sumber air minum yang jaraknya < 10 meter dari tempat penampungan tinja. Kabupaten yang jarak air minumnya dengan penampungan tinja < 10 meter dengan persentase tertinggi adalah Ngada (46,7 %) dan terendah Sumba Barat (4,6 %). Terdapat 67,9 persen rumah tangga yang sumber air minumnya berjarak > 10 meter dari penampungan tinja dan sisanya (17,4 %) menjawab tidak tahu. Di antara kabupaten/kota yang sumber air minumnya berjarak < 10 meter dari penampungan tinja tersebut, persentase tertinggi adalah Timor Tengah Selatan (89,2 %) dan terendah Sumba Barat Daya (39,4 %). Persentase rumah tangga yang air minumnya berjarak < 10 meter, kebanyakan (30,9 %) terdapat di perkotaan atau hampir tiga kali persentase di perdesaan. Yang menjawab tidak tahu lebih banyak di perdesaan (18,5 %). Semakin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, cenderung semakin tinggi persentase rumah tangga yang air minumnya berjarak < 10 meter dari penampungan tinja dan sebaliknya untuk air minum yang berjarak > 10 meter, kecuali pada kuintil terbawah.

Sumber air minum di seluruh Provinsi NTT hanya 23,3 persen berada di dalam rumah dan sisanya di luar rumah. Sebagian besar sumber air minum adalah di luar rumah berjarak < 100 meter dari rumah (49,1 %) dan sebagian kecil (4,1 %) berjarak > 1000 meter. Jarak tempuh ke sumber air minum kebanyakan < 6 menit (43,7 %) dan 6-30 menit (42,3 %) dan sebagian kecil (3 %) berjarak tempuh > 60 menit. Di antara 23,3 persen rumah tangga yang sumber air minumnya berada di

(12)

dalam rumah, kabupaten/kota yang persentasenya tertinggi adalah Kota Kupang (62,9 %) dan di antara 4,1 persen yang berjarak > 1000 meter dari rumah, persentase tertinggi adalah di Sumba Tengah (31,4 %). Di antara rumah tangga yang jarak waktu tempuhnya < 6 menit yang besarnya 43,7 persen, kabupaten/kota yang tertinggi persentasenya adalah Kota Kupang (80,6 %) dan di antara rumah tangga yang berjarak waktu tempuh > 60 meter yang seluruhnya hanya 3 persen, persentase tertinggi adalah di Sumba Tengah (80,6 %). Hanya sumber air minum di dalam rumah dan sumber yang berjarak tempuh < 6 meter saja yang lebih tinggi persentasenya di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, sedangkan sumber air minum berjarak lainnya adalah sebaliknya. Pada dua kategori jarak sumber air minum (< 100 meter dan > 100-1000 meter) dan dua kategori waktu tempuh (31-60 menit dan > 60 menit), makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan makin rendah persentasenya, sedangkan pada kategori waktu tempuh < 6 menit adalah sebaliknya. Gambaran pada kategorijarak atau waktu tempuh lainnya agak beragam, namun cenderung paling besar persentasenya pada kuintil menegah atau menengah bawah.

Anggota rumah tangga yang paling sering mengambil air di seluruh Provinsi NTT adalah dewasa perempuan (62,5 %) dan selanjutnya persentasenya menurun berturut-turut ke dewasa laki-laki, anak perempuan dan yang paling jarang adalah anak laki-laki (3,2 %). Di antara dewasa perempuan, persentase tertinggi menurut kabupaten/kota adalah di Ende (87,7 %) dan terendah di Kota Kupang (33,1 %), sementara persentase tertinggi anak laki-laki yang mengambil air adalah di Manggarai (98,1 %). Hanya ART dewasa laki-laki yang persentasenya lebih tinggi di perkotaan daripada di perdesaan sedangkan di tiga kategori ART lainnya, persentasenya lebih besar di perdesaan. Juga hanya pada ART dewasa laki-laki yang persentasenya berhubungan linier dengan Kuintil Indeks Kepemilikan, yaitu makin tinggi kuintil makin tinggi persentasenya, sedangkan pada tiga kategori ART lainnya, polanya cukup

Lebih dari 90 persen rumah tangga menjawab bahwa air minum yang dimiliki tidak keruh/berwarna/ berasa/berbusa/berbau dan bahkan di beberapa kabupaten/kota, semua (100 %) rumah tangga menjawab ya untuk komponen kualitas tertentu. Persentase terendah menurut kabupaten/kota yang menjawab ya untuk masing-masing komponen kualitas adalah 74,1 persen untuk “tidak keruh” di Sumba Barat Daya, 89,6 persen untuk “tidak berwarna” di Manggarai Timur, 76,2 persen untuk “tidak berasa” di Nagekeo, 96,2 persen untuk “tidak berbusa” di Manggarai Timur dan 94,7 persen untuk “tidak berbau” di Sumba Barat Daya. Dengan demikian terdapat 85,3 persen rumah tangga di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur yang air minumnya berkualitas baik dengan kisaran antara 61,1 persen (Sumba Barat Daya) hingga 99,5 persen (Kota Kupang). Untuk semua komponen kualitras air minum, lebih tinggi persentasenya di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan. Pada semua komponen kualitas air minum, makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan makin tinggi persentasenya, namun dengan perbedaan persentase antar kuintil yang sangat kecil.

Belum semua rumah tangga melakukan pengolahan air minum sebelum diminum di provinsi itu karena masih terdapat 9,4 persen yang belum melakukannya dengan kisaran pada kabupaten/kota antara 0,7 persen di Ngada hingga 59,9 persen di Sabu Raijua. Air minum yang diolah sebelum diminum lebih tinggi persentasenya di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan. Berdasarkan Persentase tertinggi air minum yang diolah adalah pada kuintil menengah lalu menurun ke kuintil di atasnya dan ke bawahnya.

Di antara lima macam cara pengolahan air minum sebelum diminum, pemanasan/dimasak merupakan cara pengolahan yang terbanyak (97,1 %) dipilih rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur sedangkan yang paling jarang dipilih adalah “disaring dan tambah larutan tawas (0,2 %) Kisaran persentase cara pengolahan dengan pemanasan/dimasak tersebut adalah antara 95,2 % di Sikka hingga 99,2 persen di Sabu Raijua, yang berarti kisarannya cukup sempit. Cara pengolahan air minum dengan pemanasan/dimasak dan penyinaran mata hari sedikit lebih besar persentasenya di perdesaan dibandingkan dengan perdesaan dan sebaliknya pada dua cara pengolahan laiannya. Kuintil indeks kepemilikan hanya pada katagori cara pengolahan disaring saja

(13)

yang menunjukkan hubungan linier positif atau makin tinggi kuintil makin tinggi persentasenya, sementara pada pengolahan ”disaring dan tambah larutan tawas” menonjol persentasenya (dua kali persentase di kuintil lain) sedangkan pada dua cara pengolahan lainnya polanya tidak jelas.

Tempat penyimpanan air siap minum di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur kebanyakan (81,2 %) adalah teko/ceret/termos/jerigen, lalu disusul dengan ember/panci tertutup (15,5 %), dispenser (1,7 %), kendi (0,9 %) dan yang paling kecil persentasenya badalah ember/panci terbuka ((0,6 %). Kisaran persentase penyimpanan di teko/ceret/ termos/jerigen adalah antara 54 persen (TTU, Sikka, Manggarai Barat dan Sabu Raijua) hingga 81,2 persen (Sumba Timur, Alor, Ngada dan Sumba Barat Daya). Hanya tempat penyimpanan air siap minum yang berupa dispenser yang lebih tinggi persentasenya di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, sedangkan yang lainnya adalah sebaliknya. Hanya tempat penyimpanan air siap minum yang berupa dispenser yang ada hubungannya dengan Kuintil Indeks Kepemilikan, yaitu makin tinggi kuintil makin tinggipersentasenya, sedangkan pada tempat penyimpanan air siap minum berupa ember/panci terbuka justru sebaliknya sementara yang lainnya tidak menunjukkan pola yang jelas.

Adapun akses ke sumber air minum di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih besar yang improved (69,7 %) dibandingkan dengan yang unimproved (30,3 %). Kisaran yang improved adalah antara 24,1 persen di Sumba Barat hingga 94,2 persen di Flores Timur. Untuk mengakses sumber air minum yang improved, persentasenya lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan namun sebaliknya untuk akses yang unimproved. Ada kecenderungan, makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, makin tinggi persentase mengakses sumber air minum yang improved.

Fasilitas Buang Air Besar

Di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur masih terdapat 21,3 persen rumah tangga yang belum memiliki fasilitas buang air besar dengan kisaran antara 0,2 persen di Kupang hingga 57,2 persen di Sumba Timur. Sebanyak 2 persen rumah tangga di provinsi itu memiliki fasilitas buang air besar umum, 6,5 persen fasilitas buang air besar milik bersama dan hanya 70,2 persen yang merupakan milik sendiri. Persentase terbesar milik sendiri tersebut adalah di Timor Tengah Selatan (91,3 % ) dan Timor Tengah Utara (91,4 %). Hanya rumah tangga yang tidak mempunyai fasilitas tempat buang air yang persentasenya lebih besar di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, sedangkan semua rumah tangga yang memiliki, baik milik sendiri, milik bersama maupun milik umum adalah sebaliknya. Semakin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, semakin tinggi persentase rumah tangga yang fasilitas tempat buang air besarnya milik sendiri dan sebaliknya untuk rumah tangga yang tidak memiliki, sedangkan untuk fasilitas milik bersama dan milik umum tidak berhubungan dengan kuintil.

Di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur kebanyakan (58 %) tempat buang air besar adalah jenis leher angsa dan hanya sebagian kecil (7,4 %) yang berjenis cemplung/cubluk/lubang dengan lantai. Pada jenis leher angsa, persentasde terbesar menurut kabupaten/kota adalah di Kota Kupang (90,8 %) dan terkecil di Sumba Tengah (15,3 %). Jenis leher angsa lebih banyak persentasenya di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan sedangkan jenis lainnya adalah sebaliknya. semakin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, semakin tinggi persentase jenis buang air besar leher angsa dan sebaliknya untuk jenis plengsengan (mulai kuintil menengah bawah), cemplung/cubluk tanpa lantai dan cemplung/cubluk dengan lantai.

Untuk tempat pembuangan akhir tinja, dua tempat pembuangan dengan persentase tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah lubang tanah (39,4 %) dan tangki septik (34,7 %) dan sisanya di tempat lainnya dengan persentase terkecil kolam/sawah (0,2 %). Kabupaten/kota dengan persentase tertinggi menggunakan lubang tanah adalah di Timor Tengah Selatan (80,1 %) dan terendah di 16,4 persen (Kota Kupang). Di antara 34,7 persen yang menggunakan tangki septik, persentase tertinggi adalah di Kota Kupang (76,7 %) dan terendah di Sabu Raijua (1,6 %). Hanya

(14)

tempat pembuangan akhir tinja tangki septik dan SPAL yang persentasenya lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, sedangkan sisanya adalah sebaliknya, kecuali pada kolam/sawah, dimana persentasenya adalah sama. Selanjutnya hanya pada tangki septik yang korelasinya positif dengan Kuintil Indeks Kepemilikan, atau makin tinggi kuintil makin tinggi persentasenya, sedangkan pada sungai/danau/laut berkorelasi negatif, sementara pada tempat pembuangan akhir tinja lainnya tidak jelas korelasinya.

Di Provinsi di Nusa Tenggara Timur, rumah tangga yang mampu mengakses fasilitas sanitasi yang improve hanya 30,5 persen saja dan sisanya belum. Di antara yang 30,5 persen tersebut, kabupaten/kota yang tertinggi persentasenya adalah Kota Kupang (61,6 %) dan terendah Sabu Raijua (1,4 %). Akses ke fasilitas sanitasi yang improved tersebut lebih besar di perkotaan daripada di perdesaan. Terdapat korelasi positif antara Kuintil Indeks Kepemilikan dengan akses ke fasilitas sanitasi yang improved tersebut.

Sarana Pembuangan Air Limbah Rumah Tangga

Sebagian besar (72,7 %) rumah tangga di provinsi itu tanpa penampungan (di tanah) atau belum mempunyai tempat penampungan air limbah, sebagian kecil (5,3 %) dengan penampungan di luar pekarangan dan sisanya dengan penampungan cara lain masing-masing dengan persentase yang hampir sama (7,2 – 7,4 %). Kabupaten dengan persentase terbesar tanpa penampungan (di tanah) adalah Sumba Tengah (95,8 %) dan terkecil Kota Kupang (32,1 %). Hanya pada yang tanpa penampungan (di tanah) yang lebih besar persentasenya di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan sedangkan jenis penampungan lainnya adalah sebaliknya. Makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, makin rendah persentase yang tanpa penampungan (di tanah) dan sebaliknya pada SPAL, penampungan terbuka di lapangan dan penampungan di luar pekarangan sedangkan jenis yang langsung ke got/sungai tidak ada hubungan liniernya dengan kuintil, hanya saja paling banyak pada kuintil teratas.

Dalam hal pembuangan air limbah dari kamar mandi/tempat cuci/dapur, sebagian besar (91,4 %) dilakukan sendiri/rumah tangga dan sebagian kecil (8,6 %) yang merupakan sisanya, dilakukan secara bersama/komunal. Kabupaten/kota yang tertinggi persentase yang melakukan sendiri/rumah tangga adalah Sumba Barat Daya (99,7 %) dan terendah di Nagekeo (61 %). Pada pembuangan air limbah dari kamar mandi/tempat cuci/dapur yang dilakukan sendiri/rumah tangga tersebut, lebih banyak persentasenya di perdesaan (93, 7%) daripada di perkotaan ((88,2 %) dan sebaliknya pada pembuangan secara bersama/komunal. Kuintil Indeks Kepemilikan tidak berhubungan linier dengan pembuangan air limbah dari kamar mandi/tempat cuci/dapur, namun yang dilakukan sendiri/rumah tangga sebagian besar terjadi pada kuintil teratas (93,3 %) sementara yang dilakukan bersama/komunal terjadi pada kuintil menengah atas (11,4 %).

Pengelolaan Sampah Rumah Tangga

Di Nusa Tenggara Timur lebih dari separuh rumah tangga (51,2 %) belum memiliki tempat penampungan sampah organik, sebanyak 44,4 persen mempunyai tempat penampungan terbuka, 7,9 persen mempunyai tempat penampungan tertutup dan sisanya yang merupakan persentase terkecil (3,5 %) mempunyai tempat penampungan tertutup dan terbuka. Kabupaten/kota yang tertinggi persentasenya tidak mempunyai tempat pembuangan sampah organik adalah Alor (92,3 %) dan yang terkecil, Kabupaten Kupang (92,3 %). Pada rumah tangga di perdesaan, persentasenya hampir dua kali persentase di perkotaan yang tidak memiliki tempat pembuangan sampah organik. Bagi rumah tangga yang mempunyai tempat penampungan, semua jenis lebih banyak di perkotaan. Makin tinggi Kuintil Indeks Lepemlikan, makin tinggi yang mempunyai tempat penampungan sampah organik, baik yang tertutup, terbuka maupun yang tertutup dan terbuka dan sebaliknya bagi rumah tangga yang tidak mempunyai tempat penampungan.

(15)

Di antara enam cara pengelolaan sampah rumah tangga, pengelolaan yang paling sering dipakai di Nusa Tenggara Timur adalah dibakar (56,2 %), disusul dengan cara dibuang sembarangan (28,9 %) dan yang paling jarang adalah dibuang ke laut (2,2 %). Kabupaten/kota yang paling tinggi persentase rumah tangga di wilayahnya dalam pengelolaan secara dibakar adalah di Kabupaten Kupang (89,9 %) dan terendah di Manggarai Timur (19,4 %), sementara cara dibuang sembarangan tertinggi di Sumba Barat Daya (76,4 %) dan terendah di Kota Kupang (4,1 %). Di antara tiga cara pengelolaan sampah rumah tangga (diangkut petugas, persentase yang dibakar dan dibuang ke kali/parit/laut), tangga yang melakukannya lebih tinggi pesentase rumah di perkotaan daripada di perdesaan sedangkan pada tiga cara lainnya adalah sebaliknya. Makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, ada kecenderungan makin tinggi persentase rumah tangga yang melakukan dengan tiga cara pengelolaan sampah: ”diangkut petugas”, ”dibakar” dan ”dibuang ke kali/parit/laut” tetapi sebaliknya untuk cara ”dibuang sembarangan”, sedangkan pada dua cara sisanya, tidak ada hubungan liniernya dengan kuintil.

Kesehatan Perumahan dan Pemukiman

Dalam hal penguasaan bangunan tempat tinggal di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebagian besar (91,5 %) bangunan tempat tinggal merupakan milik sendiri dan persentase status lainnya sangat kecil dan yang terkecil persentasenya (0,4 %) adalah status lainnya. Kabupaten/kota yang paling tinggi persentasenya adalah Sabu Raijua (97,2 %) dan terendah Kota Kupang (70,3 %). Penguasaan bangunan tempat tinggal lebih besar persentasenya di perdesaan daripada di perkotaan untuk status milik sendiri, rumah dinas dan “lainnya”, sedangkan untuk status kontrak, sewa dan bebas sewa adalah sebaliknya. Yang menyolok adalah status sewa, dimana persentase di perkotaan adalah 7,4 kali di perdesaan.

Kepadatan hunian di Nusa Tenggara Timur sebagian besar (64 %) berkepadatan > 8m2/orang dan sisanya (36 %) berkepadatan < 8 m2/orang. Kabupaten/kota yang kepadatan hunian warganya > 8 m2/orang berkisar antara 39,3 persen di Sumba Barat Daya hingga 81,3 persen di Kota Kupang. Hunian berkepadatan > 8 m2/orang sedikit lebih besar persentasenya di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan dan sebaliknya untuk yang berkepadatan < 8 m2/orang. Semakin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, semakin tinggi persentase hunian > 8 m2/orang dan sebaliknya semakin rendah persentase hunian < 8 m2/orang.

Sebagian besar (83,8 %) rumah hunian di Provinsi Nusa Tenggara Timur tidak mempunyai plafon, dan selanjutnya urutan jenis plafon rumah di provinsi itu adalah kayu/tripleks (10,7 %), anyaman bambu (3,3 %) dan jenis-jenis lainnya dengan persentase < 1 persen. Kisaran persentase hunian yang tidak berplafon menurut kabupaten/kota adalah antara 53 persen di Kota Kupang hingga 94,2 persen di Timor Tengah Selatan. Bangunan hunian yang tidak berplafon lebih banyak di perdesaan (89,2 %) daripada di perkotaan (61,9 %), demikian juga dengan plafon asbes/GRC board dan anyaman bambu, tetapi sebaliknya untuk jenis plafon lainnya. Tidak ada hubungan linier antara hunian tidak berplafon dengan kuintil, namun persentasenya paling banyak pada kuintil menengah lalu menurun ke kuintil di bawah dan di atasnya. Untuk hunian yang berplafon, hanya yang berplafon kayu/tripleks saja yang berkorelasi linier dengan kuintil yaitu adanya kecenderungan makin tinggi persentasenya seiring dengan meningkatnya kuintil, sementara plafon anyaman bambu mendominasi pada kuintil terbawah sedangkan pada jenis plafon lainnya sulit dianalisis sehubungan dengan terlalu kecilnya presentasenya.

Dalam hal dinding bangunan hunian, secara keseluruhan persentase jenis dinding tembok, kayu/ papan/tripleks dan bambu relatif sama di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan kalaupun ada perbedaan, perbedaan tersebut sangat kecil (Tabel 3.3.45). Meskipun persentasenya sangat kecil (1 %), ada juga bangunan hunian di provinsi itu yang berdinding seng. Dilihat dari keragaman antar kabupaten/kota, memang terdapat hal-hal yang menyolok persentasenya, baik karena mayoritas maupun minoritas. Di antara ketiga jenis dinding tersebut, yang sangat dominan tembok adalah di

(16)

Flores Timur, Rote Ndao dan Kota Kupang, yang sangat dominan kayu/papan/triplek adalah di Timor Tengah Utara, Belu, Manggarai dan Sabu Raijua dan yang sangat dominan bambu adalah di Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya. Hanya dinding tembok yang dominan di perkotaan sedangkan jenis dinding lainnya dominan di perdesaan. Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan semakin jarang bangunan hunian berdinding tembok namun sebaliknya semakin banyak yang berdinding jenis lainnya.

Kebanyakan (73,5 %) lantai rumah di seluruh provinsi itu bukan tanah, dan sisanya yang 26,5 persen masih terbuat dari tanah. Kota Kupang merupakan kabupaten/kota yang tertinggi persentase rumah berlantai bukan tanah (97,5 %) dan Timor Tengah Selatan yang terendah (35,7 %). Bangunan hunian berlantai bukan tanah lebih banyak di perkotaan sedangkan yang berlantai tanah adalah sebaliknya dan bahkan yang berlantai tanah di perdesaan lebih dari tiga kali persentasenya dibandingkan dengan yang di perkotaan.Bangunan hunian yang berlantai bukan tanah cenderung semakin banyak seiring dengan semakin tingginya Kuintil Indeks Kepemilikan, namun sebaliknya semakin sedikit yang berlantai tanah.

Masih ada rumah di provinsi itu yang berlokasi di daerah kumuh, meskipun persentasenya relatif kecil (14,6 %) dan sisanya yang 85,4 persen berlokasi tidak di daerah kumuh. Sumba Timur adalah kabupaten yang terbanyak (38,1 %) yang memiliki rumah berlokasi di daerah kumuh dan Sabu Raijua yang paling sedikit (0,8 %). Rumah yang berlokasi di daerah kumuh lebih banyak di perdesaan daripada di perkotaan, dan sebaliknya untuk rumah yang berlokasi di daerah tidak kumuh, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3.3.50. Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah rumah yang berlokasi di daerah kumuh dan sebaliknya di daerah tidak kumuh. Sebanyak 73 persen penerangan di provinsi itu bersumber dari listrik dan sisanya yang 37 persen dari non listrik. Hampir seluruhnya (99,1 %) penerangan di Kota Kupang bersumber dari listrik dan itu merupakan kabupaten/kota yang tertinggi persentasenya di provinsi itu. Kabupaten/kota yang terendah persentase penerangannya yang bersumber listrik adalah Sumba Barat Daya. Dibandingkan dengan perdesaan yang persentase sumber penerangannya dari listrik hanya 66,7 persen, penerangan di perkotaan lebih banyak, dan mencapai 98,3 persen. Semakin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, semakin banyak rumah tangga yang penerangannya bersumber listrik dan sebaliknya yang non listrik.

Hanya 22 persen rumah tangga di provinsi itu yang penggunaan bahan bakarnya aman dan sisanya tidak. Kota Kupang merupakan kabupaten/kota yang tertinggi persentasenya (88,2 %) menggunakan bahan bakar yang aman di antara ke-21 kabupaten/kota yang ada d provinsi tersebut dan Sumba Tengah yang terendah (hanya 4 %). Yang menggunakan bahan bakar yang aman jauh lebih tinggi persentasenya di perkotaan (73,2 %) atau lebih dari tujuh kali persentasenya terhadap persentase di perdesaan. Makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, makin tinggi persentase rumah tangga yang menggunakan bahan bakar secara aman.

Urutan persentase yang tertinggi ke yang terendah pada lima keadaan tempat tidur (keterpisahan, kebersihannya, rutinitas pembukaanh jendela, ventilasi dan pencahayaan alaminya) adalah: terpisah (89,4 %), bersih (72,9 %), pencahayaannya cukup (68,5 %), jendelanya dibuka tiap hari (53,8 %) dan ventilasinya cukup (39,3 %). Kisaran tiap keadaan adalah sebagai berikut: antara 55,1 persen (Sabu Raijua) hingga 98,2 persen (Ngada) untuk yang tempat tidurnya terpisah; antara 30,4 persen (Sumba Barat) hingga 96,8 persen (Kota Kupang) untuk yang bersih; antara 13,8 persen (Sumba Barat) hingga 86,2 persen (Kota Kupang) untuk yang jendelanya dibuka tiap hari; antara 7,1 persen (Sumba Tengah) hingga 86,2 persen (Kota Kupang) untuk yang ventilasinya cukup; dan antara 18,4 persen (Sumba Barat) hingga 90 persen (Ende) untuk yang pencahayaannya cukup. Dengan perkataan lain, Kota Kupang merupakan kabupaen/kota yang tertinggi persentasenya untuk tiga kategori. Perkotaan mendominasi perdesaan untuk semua kategori yang menyangkut tempat tidur.

(17)

Untuk semua kategori tempat tidur tersebut, makin tinggi persentasenya seiring dengan makin tingginya Kuintil Indeks Kepemilikan.

Urutan keadaan ruangan masak/dapur tidak berbeda jauh dengan keadaan tempat tidur. Urutan dari yang tertinggi ke yang terendah keadaan ruangan masak/dapur di seluruh provinsi itu sama dengan urutan keadaan pada ruangan tidur, hanya persentasenya yang berbeda. Demikian juga untuk persentase yang tertinggi, yang mana Kota Kupang menduduki urutan teratas pada tiga keadaan (”bersih”, ”jendela dibuka tiap hari” dan “ventilasi cukup”), untuk tempat masak/dapur juga menempati urutan tertinggi untuk “bersih” dan “ventilasi cukup” tetapi untuk “jendela dibuka tiap hari” diduduki Ngada. Ngada yang menempati persentase tertinggi untuk keadaan tempat tidur yang terpisah, demikian juga untuk tempat masak/dapur yang terpisah (97,6 %). Sumba Tengah yang menempati persentase terendah untuk “ventilasi cukup” pada tempat tidur, demikian juga untuk tempat masak/dapur adalah terendah (4,6 %). Untuk keadaan “pencahayaan cukup”, dimana pada tempat tidur adalah Sumba Barat yang terendah dan Ende yang tertinggi, demikian juga dengan tempat masak/dapur, Sumba Barat terendah (13,9 %) dan Ende tertinggi (89,9 %). Keadaan karakteristik rumah tangga untuk tempat masak/dapur juga menyerupai katakteristik rumah tangga untuk tempat tidur, yaitu sama mendominasi di perkotaan untuk semua keadaan dan sama-sama makin tinggi persentasenya pada semua keadaan seiring dengan makin meningkatnya Kuintil Indeks Kepemilikan.

Keadaan ruang keluarga di Nusa Tenggara Timur juga tidak berbeda jauh dengan keadaan tempat tidur maupun tempat masak/dapur, dimana urutan persentase dari yang tertinggi ke yang terendah adalah keadaan ”terpisah”, ”bersih”, ”pencahayaan cukup”, ”jendela dibuka tiap hari” dan ”ventilasi cukup”. Keadaan menurut kabupaten/kota juga banyak persamaannya, hanya saja urutan terendah dan tertinggi bergeser pada kabupaten/kota tertentu, tetapi tetap saja 3 kabupaten/kota (Kota Kupang, Ende dan Ngada) selalu silih berganti menempati urutan tertinggi dan 2 kabupaten (Sumba Barat dan Sumba Tengah) selalu silih berganti menempati urutan terendah. Gambaran karakteristik ruangan keluarga rumah tangga menurut tempat tinggal maupun menurut kuintil indeks kepemilikan juga sama dengan katakteristik tempat tidur dan tempat masak/dapur, yaitu sama-sama mendominasi di perkotaan untuk semua keadaan dan sama-sama makin tinggi persentasenya pada semua keadaan seiring dengan makin meningkatnya Kuintil Indeks Kepemilikan.

Perilaku Pencegahan Gigitan Nyamuk dan Penyimpanan Bahan Berbahaya

Di seluruh Nusa Tenggara Timur, dalam hal pencegahan gigitan nyamuk, di antara enam cara pencegahan yang dapat dilakukan, persentase terbesar adalah memakai kelambu (57,9 %), selanjutnya makin kecil persentasenya dengan cara pencegahan lainnya dan yang paling kecil persentasenya adalah minum obat. Kabupaten yang tertinggi persentasenya dalam pemakaian kelambu adalah Manggarai Barat (92,9 %) dan terendah Kota Kupang (27,8 %). Hanya pemakaian kelambu yang lebih tinggi persentasenya di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, sedangkan pada pencegahan lima cara lainnya adalah sebaliknya dan sangat mendominasi di perkotaan. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, cenderung makin tinggi persentasenya pada cara pencegahan obat nyamuk bakar, kasa nyamuk, repelen dan insektisida; sedangkan pada pemakaian kelambu dan minum obat tidak berhubungan linier dengan kuintil.

Sebanyak 60,3 persen rumah tangga di provinsi itu tidak menggunakan bak mandi, 20,4 persen menguras bak mandinya satu kali seminggu, 15,4 persen lebih dari satu kali dalam seminggu dan meskipun persentasenya kecil, hanya 4 persen, ada juga rumah tangga yang tidak pernah membersihkan bak mandi sama sekali. Kabupaten/kota yang terbanyak tidak menggunakan bak mandi adalah Sumba Tengah (88,2 %) dan terjarang Kota Kupang (24,2 %). Yang tertinggi persentasenya menguras bak mandi lebih dari satu kali seminggu adalah Kota Kupang (40,5 %) dan persentase tertinggi tidak pernah menguras bak mandi adalah di Flores Timur (13,2 %). Rumah tangga yang tidak menggunakan bak mandi dan yang tidak pernah menguras bak mandi lebih

(18)

banyak di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, sedangkan rumah tangga yang menguras bak mandi, baik sekali maupun lebih dari satu kali seminggu, adalah sebaliknya atau lebih banyak di perkotaan. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, makin sedikit rumah tangga yang tidak menggunakan bak mandi dan sebaliknya makin banyak yang menguras bak mandi, baik satu kali maupun lebih dari satu kali seminggu. Adapun rumah tangga yang tidak pernah menguras bak mandi tidak berhubungan linier dengan kuintil.

Di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur, 8,5 persen rumah tangga menyimpan pestisida/ insektisida/pupuk kimia. Rote Ndao merupakan kabupaten/kota yang terbanyak penduduknya menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia dan Sumba Barat Daya yang paling jarang, hanya 2,1 persen. Penggunaan/penyimpanan pestisida/insektisida/pupuk kimia lebih banyak di perdesaan daripada di perkotaan Semakin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, cenderung semakin tinggi penggunaannya oleh rumah tangga.

Penyakit Menular

Penyakit menular yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 berdasarkan media/cara penularan yaitu: 1) melalui udara (Infeksi Saluran Pernafasan Akut/ISPA, pneumonia, dan TB paru); (2) melalui makanan, air dan lainnya (hepatitis, diare); (3) melalui vektor (malaria).

Ditularkan melalui udara

Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi yang tertinggi period prevalence ISPA dalam 1 tahun terakhir di antara semua provinsi di Indonesia yaitu sebesar 41,7 persen. Kabupaten/kota yang tertinggi prevalensi ISPA-nya adalah Sumba Tengah (69 %) dan terendah Manggarai (22 %). Kelompok umur yang paling banyak penderitanya adalah umur 1-4 tahun (54,6 %) dan paling jarang pada umur 15-24 tahun (35 %), dan penderita perempuan (42,4 %) sedikit lebih tinggi daripada laki-laki (41,1 %). Makin tinggi tingkat pendidikan cenderung makin rendah infeksinya. Petani/ nelayan/buruh merupakan kelompok pekerjaan yang tertinggi infeksinya dibandingkan dengan kelompok pekerjaan lain. Penderita yang tinggal di perdesaan lebih banyak daripada yang tinggal di perkotaan. Mulai dari kuintil indeks kepemilikan menengah bawah, terlihat adanya hubungan linier linier antara kuintil indeks kepemilikan dengan infeksi ISPA.

Period prevalensi pnemonia di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2013 yang sebesar 4,6 ‰ dan 10,3 ‰ menempati urutan tertinggi di seluruh Indonesia. Kabupaten/kota yang tertinggi insiden pneumonianya di provinsi itu adalah Sumba Tengah (0,9 ‰) dan yang tertinggi period prevalence-nya adalah Manggarai Timur (27,2 ‰). insiden maupun period prevalence pneumonia tertinggi pada umur > 75 tahun (masing-masing 7,9 ‰ dan 18,4 ‰), sama-sama lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan pada perempuan, sama-sama ada kecenderungan hubungan linier terbalik dengan tingkat pendidikan serta sama-sama ada kecenderungan hubungan linier terbalik dengan kuintil indeks kepemilikan (mulai dari kuintil indeks kepemilikan menengah bawah).

Di Nusa Tenggara Timur, banyaknya penderita tuberkulosis hasil diagnosis dalam kurun waktu < 1 tahun terakhir adalah 0,3 permil dan yang didiagnosis > 1 tahun terakhir adalah 1,1 permil dan yang diobati dengan obat anti tuberkulosis adalah 34,8 persen. Tiga kabupaten/kota dengan jumlah penderita tertinggi dalam < 1 tahun terakhir adalah Sumba Barat (1,2 ‰), Sumba Timur (0,7 ‰) dan Sumba Tengah (0,7 ‰) dan dalam > 1 tahun terakhir adalah Nagekeo (2,3 ‰), Sumba Tengah (2 ‰) dan Kabupaten Kupang (1,9 ‰), sementara tiga kabupaten/kota dengan pengobatan tertinggi adalah Sumba Barat (62,9 %), Sumba Timur (52,7 %) dan Timor Tengah Utara (50,5 %). Penderita yang menunjukkan gejala batuk > 2 minggu di seluruh provinsi itu adalah 8,8 % dengan kisaran antara 2,9 persen di Manggarai dan 20,1 persen di Sumba Barat Daya dan yang batuk darah adalah sepertiga (33 %) dari seluruh penderita dengan kisaran antara 0,1 persen di Sabu Raijua dan 57,6 persen di Kota Kupang. Tidak ada hubungan linier antara umur dengan penderita tuberkulosis yang

(19)

didiagnosis < 1 tahun terakhir dan yang diobati, tetapi untuk penderita yang didiagnosis > 1 tahun terakhir, ada kecenderungan makin tinggi jumlah penderitanya seiring dengan bertambahnya umur. Makin tinggi umur, cenderung makin tinggi jumlah penderita dengan gejala batuk > 2 minggu, tetapi tidak dengan gejala batuk darah. Penderita yang didiagnosis < 1 tahun terakhir lebih banyak di perkotaan diandingkan dengan perdesaan, tetapi untuk yang didiagnosis > 1 tahun terakhir sama banyak di kedua jenis tempat tinggal. Makin tinggi tingkat pendidikan, cenderung makin rendah jumlah penderita, pengobatan dan kategori gejala. Wiraswasta atau petani/nelayan/buruh merupakan kelompok pekerjaan yang tertinggi jumlahnya untuk kategori tertentu dalam hal jumlah penderita, pengobatan atau gejala.

Ditularkan melalui makanan, air dan lainnya

Prevalensi hepatitis di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2013 yang sebesar 4,3 % menempati urutan teratas di antara semua provinsi di Indonesia dan hampir 4 kali prevalensi nasional yang sebesar 1,2 persen. Kabupaten/kota yang tertinggi prevalensi hepatitisnya adalah Manggarai Timur (20,8 %) dan terendah di Sabu Raijua (0,7 %). Ada kecenderungan, makin tinggi infeksinya seiring dengan pertambahan umur, cenderung lebih tinggi infeksi pada perempuan daripada laki-laki dan makin tinggi tingkat pendidikan cenderung makin rendah infeksinya. Juga terlihat bahwa infeksi di perdesaan (5 %) sebesar 4 kali infeksi di perkotaan (1,3 %) serta ada kecenderungan, semakin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan semakin rendah infeksinya.

Di antara 4 jenis hepatitis yang dikenal, jenis hepatitis yang terbanyak penderitanya di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah hepatitis B (29,6 %) lalu disusul oleh hepatitis A (27,9 %) sedangkan hepatitis C dan hepatitis lainnya sangat kecil proporsinya dan bahkan kedua jenis hepatitis terakhir ini hanya ditemukan di 1 atau 2 kabupaten/kota saja. Kabupaten/kota yang tertinggi proporsi hepatitis B adalah Sabu Raijua (100 %) dan hanya jenis hepatitis tersebut yang ditemukan di kabupaten itu. Adapun proporsi hepatitis A yang tertinggi adalah di Manggarai (74,6 %). Pada penderita yang didiagnosis hepatitis, hepatitis A dan hepatitis B cenderung tertinggi infeksinya pada dua kelompok umur tertua (65-74 dan > 75 tahun), hepatitis A lebih banyak pada perempuan namun sebaliknya untuk hepatitis B dan hepatitis C. Hepatitis A terbanyak pada kelompook pendidikan tidak sekolah, tetapi hepatitis B pada kelompok tamat SMP. Pekerjaan penderita hepatitis A mendominasi pada kelompok pekerjaan “lainnya” sementara hepatitis B pada wiraswasta. Kedua jenis hepatitis tersebut sama-sama mendominasi di perkotaan. Makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, makin tinggi proporsi hepatitis B, tetapi hepatitis A tidak berhubungan linier dengan kuintil.

Insiden diare di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2013 adalah 4,3 persen dan period prevalence sebesar 10,9 persen. Kabupaten/kota yang tertinggi insiden diarenya adalah Manggarai Timur (11,1 %) dan terendah Flores Timur (1 %), sementara period prevalence tertinggi juga di Manggarai Timur (21,8 %) namun terendah di Kota Kupang (4,1 %).

Khusus pada balita, insiden diare tahun 2013 adalah 6,7 persen dengan kisaran antara 1,7 persen di Timor Tengah Utara dan Flores Timur hingga 11,9 persen di Sumba Tengah. Diare balita tertinggi pada kelompok 12-23 bulan (9,5 %), sedikit lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dan mendominasi di perdesaan. Tidak ada hubungan linier antara Kuintil Indeks Kepemilikan dengan insiden, tetapi infeksi tertinggi cenderung pada kuintil menengah.

Insidensi dan prevalensi malaria di provinsi itu masing-masing adalah 2,6 persen hasil diagnosis oleh nakes dan 6,8 persen hasil gabungan diagnosis dan gejala. Tiga kabupaten/kota dengan insidensi tertinggi adalah Manggarai Timur (17,5 %), Sumba Barat Daya (15 %) dan Sumba Barat (14,4 %) dan tiga kabupaten/kota dengan prevalensi tertinggi adalah Sumba Barat Daya (58,3 %), Lembata (48,5 %) dan Sumba Timur (47,9 %). Hanya sekitar separuh (55 %) kasus malaria di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang diobati dengan obat program dengan kisaran antara 7,1 persen di Sumba Timur hingga 94 persen di Nagekeo. Tidak ada hubungan linier antara umur dengan

Gambar

Gambar 3.1.1, menunjukkan secara provinsi 42,8 persen rumah tangga mengetahui keberadaan  rumah  sakit  pemerintah,  sedangkan  rumah  sakit  swasta  diketahui  oleh  23,7  persen  rumah  tangga
Gambar  3.1.6  menunjukkan  waktu  tempuh  rumah  tangga  menuju  fasilitas  kesehatan  di  rumah  sakit pemerintah tertinggi pada &gt; 60 menit (29,0%) dan 16-30 menit (28,8 %) serta terendah  31-60  menit  (19,1  %)
Gambar  3.1.8  menunjukkan  biaya  transportasi  masih  didominasi  pada  ≤  Rp.10.000,-  di  rumah  sakit  pemerintah  (57,7%),  rumah  sakit  swasta  (65,2%),  puskesmas  atau  puskesmas  pembantu  (92,7%), dokter praktek atau klinik (77,9%) dan praktek
Gambar dan Tabel pada sub-blok ini menyajikan informasi proporsi rumah tangga yang pernah  memanfaatkan Yankestrad dalam satu tahun terakhir, jenis-jenis Yankestrad yang dimanfaatkan  serta alasan utama memanfaatkannya
+7

Referensi

Dokumen terkait

• STATISTIKA DESKRIPTIF adalah jenis statistika yang mempelajari tentang metode-metode untuk (1) mengatur, (2) merangkum, dan (3) mempresentasikan data dengan cara yang informatif.

Hasil analisa fermentasi tape pisangmenunjukkan bahwa perbedaan lama pengukusan 15 menit dan 30 menit serta lama fermentasi selama 24 jam,48 jam, 72 jam

The proposed framework for formation control is composed of several layers addressing different phenomena. The overall control scheme for the th i robot in a formation constituted

Skripsi berjudul “ Daya Adhesi Streptococcus Mutans Pada Netrofil Yang Diinkubasi Ekstrak Polifenol Biji Kakao (Theobroma cacao L) ” telah diuji dan disahkan pada: hari, tanggal

penelitian serupa dengan topik Tulisan Ilmiah, bersumber dari Jurnal Ilmiah, Laporan Penelitian, Skripsi dll...

After the use of picture was implemented and developed within two cycles, it is concluded that the appropriate model of the use of picture in the teaching of writing

Berdasarkan wawancara yang telah penulis lakukan, penulis mengambil kesimpulan bahwa diperlukanlah perancangan ulang buku renungan harian Pelita agar murid-murid

penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pengaruh independensi, pengalaman kerja, Due Professional Care, akuntabilitas dan kompetensi terhadap pengaruh kualitas