• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ayam

Ayam merupakan hewan berdarah panas dengan tingkat metaboilsme yang tinggi. Anak ayam umur sehari (Day Old Chick/ DOC) memiliki temperatur tubuh 39oC. Temperatur tubuh ayam dewasa rata-rata sekitar 40,6–40,7oC. Temperatur tubuh ayam meningkat dari pagi sampai sore hari, kemudian menurun sampai tengah malam. Ciri unik dari ayam adalah pada sistem reproduksinya yang diatur oleh sistem hormon. Ayam termasuk dalam kelas aves (hewan bersayap) yang telah didomestikasi oleh manusia untuk dimanfaatkan daging, telur maupun keindahannya. Disini akan dijelaskan taksonomi ayam dan ciri-ciri ayam berdasarkan manfaatnya menurut Saputro (2014).

Taksonomi ayam adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Divisi : Carinathae Kelas : Aves Ordo : Galliformes Family : Phasianidae Genus : Gallus

Spesies : Gallus gallus domestica sp

2.2 Jenis Penyakit yang Disebabkan oleh Virus pada Ayam

Beberapa penyakit virus yang banyak ditemukan sebagai penyebab kerugian pada peternakan unggas diantaranya adalah penyakit Avian Influenza (AI), Newcastle Disease (ND), Infectious Laryngotracheitis (ILT), dan Eggs Drop Syndrome (EDS) (Kencana, 2012).Penyakit tersebut di atas biasanya mengakibatkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit dalam bentuk kematian yang tinggi serta menurunnya produktifitas unggas. Disamping itu penyakit tersebut harus secara terus menerus dikendalikan dan dicegah, mengingat penyakit tersebut sudah bersifat endemik, sehingga diperlukan tambahan biaya untuk vaksinasi dan obat-obatan lainnya dalam pemeliharaan (Adjid et al., 2005).

(2)

2 2.3.1 Etiologi

Penyakit Tetelo disebabkan oleh virus dari familia Paramyxoviridae, genus Avian Paramyxovirus-1. Pertama kali penyakit Tetelo ditemukan oleh Doyle pada tahun 1926 di daerah Newcastle (Inggris) selanjutnya diberi nama Newcastle Disease sesuai daerah ditemukannya penyakit tersebut. Ditahun yang sama ditemukan juga di Indonesia yaitu di Bogor dan dikenal dengan nama penyakit Tetelo, di Bali disebut penyakit gerubug yang sangat merugikan peternak (OIE, 2012).

Virus Penyakit Tetelo berbentuk pleomorfik, sebagian besar berbentuk bulat kasar dengan diameter 100 – 500 nm tetapi juga ditemukan dalam bentuk filament dengan diameter 100 nm. Panjang virus paramyxovirus terlihat bervariasi (Yusoff dan Tan 2011). Panjang genom virus penyakit Tetelo sebesar 15.186 nukleotida. Genomnya tidak bersegmen, bersifat single-strended (ss) dan berpolaritas RNA negatif. Mempunyai enam protein utama yang menyusunnya yaitu Nucleocapsid protein (N), Fusion protein (F), Phosphoprotein (P), Matrix protein (M), Hemagglutinin-neurominidase protein (HN) dan Large polymerase protein (L) (Rout dan Samal, 2008).

Virus penyakit Tetelo terdiri dari amplop, kapsid dan asam nukleat. Pada amplop virus familia paramyxoviridae terdapat protein penting yaitu hemaglutinin-neuraminidase/HN, protein Fusi (F) dan lipid membran. Pada kapsid terdiri atas protein Matrik, di antara kapsid dan amplop terdapat nukleoprotein (NP). Nukleokapsid berikatan dengan protein Matrik yang menempati bagian dalam dari amplop virus. Amplop terdiri dari dua protein yaitu protein Fusi dan HN. Protein Fusi memicu adanya fusi antara amplop virus dengan membran sel terinfeksi. Protein HN merupakan protein perlekatan virus penyakit Tetelo yang berfungsi untuk memperlekatkan virus pada sel inang (Deutsch, 2012)

Penyakit Tetelo menyebar dengan cepat pada spesies ayam, kalkun dan spesies unggas lain. Periode inkubasi dan gejala klinis Tetelo dipengaruhi oleh beberapa fakor. Masa inkubasi ND antara 3 – 6 hari tergantung pada jenis spesies inang, kekebalan inang serta kondisi strain virus penyakit Tetelo. Infeksi penyakit Tetelo pada unggas dibedakan menjadi lima patotipe berdasarkan tingkat keparahan gejala klinisnya yaitu viscerotropic velogenic, neurotopic velogenic, mesogenic, lentogenic dan asimtomatic enteric (Piacenti et al., 2006). Virus penyakit Tetelo genotipe VIIb telah banyak ditemukan di Asia. Genotipe ini menyebabkan nekrosis yang

(3)

3

lebih parah pada jaringan limfoid kususnya limpa jika dibandingkan genotipe lainnya (Hu et al., 2012).

2.3.2 Patogenesis

Penularan penyakit Tetelo dapat terjadi secara kontak langsung antara unggas sakit dengan yang sehat. Disamping itu penularan juga terjadi secara tidak langsung antara unggas yang sehat dengan orang, bahan-bahan/alat-alat, debu, dan udara yang tercemar limbah penyakit Tetelo (Dharma dan Putra, 1997). Patogenitas virus penyakit Tetelo dipengaruhi oleh galur virus, rute infeksi, umur ayam, lingkungan, dan status kebal ayam saat terinfeksi virus. Selama sakit, ayam mengeluarkan virus dalam jumlah besar melalui feses (Alexander, 2000).

Infeksi terjadi secara per-oral atau per-inhalasi, selanjutnya bereplikasi pada epitel mukosa dari saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Penyebaran virus penyakit Tetelo melalui aliran darah disebut viremia primer, segera setelah infeksi virus menyebar lewat aliran darah ke ginjal dan sumsum yang menyebabkan viremia sekunder. Mengakibatkan infeksi pada organ sasaran sekunder: paru-paru, usus, dan sistem saraf pusat. Gejala klinis yang timbul sesuai dengan tempat predileksi virus/organ target. Predileksi virus pada organ pencernaan ditandai dengan diare sedangkan predileksi virus penyakit Tetelo pada saluran pernapasan ditandai dengan radang paru-paru (pneumonia). Predileksi virus penyakit Tetelo pada sistem saraf akan menunjukkan gejala kelainan saraf seperti tortikolis dan tremor (Kencana, 2012).

2.3.3 Gejala Klinis

Gejala klinis penyakit Tetelo ditandai dengan hewan tampak lesu, muncul rasa haus yang sangat, diare, bersin-bersin, bulu kering dan kusam. Pada ayam petelur ditandai dengan penurunan produksi telur yang terjadi selama 8 minggu. Telur yang dikeluarkan ukurannya lebih kecil dengan kerabang lembek serta albumin yang cair (Kencana, 2012).

Bentuk Velogenik bersifat akut, menimbulkan kematian yang tinggi, mencapai 80 – 100%. Pada permulaan sakit nafsu makan hilang, mencret yang kadang-kadang disertai darah, lesu, sesak nafas, megap-megap, ngorok, bersin, batuk, paralisis parsial atau komplit, kadang-kadang terlihat gejala torticalis. Bentuk Velogenik-pneumoencephalitis gejala pernapasan dan syaraf,

(4)

4

seperti tortikolis lebih menonjol terjadi daripada velogenik – viscerotropik. Mortalitas bisa mencapai 60–80 %. Bentuk Mesogenik terlihat gejala klinis berupa gejala respirasi, seperti batuk, bersin, sesak napas, dan megap-megap. Pada anak ayam menyebabkan kematian sampai 10%, sedangkan pada ayam dewasa hanya berupa penurunan produksi telur dan hambatan pertumbuhan, tidak menimbulkan kematian. Bentuk Lentogenik gejala respirasi ringan saja, tidak terlihat gejala syaraf. Bentuk ini tidak menimbulkan kematian, baik pada anak ayam maupun ayam dewasa. Bentuk asymptomatik juga sering tidak memperlihatkan gejala klinis (Disnak JATIM, 2012).

(5)

5 2.3.4 Patologi Anatomi

Perubahan bersifat menciri (patognomonis) ditemukan pada hewan yang terinfeksi virus penyakit Tetelo. Perubahan tersebut ditemukan di berbagai organ seperti petekie sampai eksimose pada laring, trachea, oesofagus, proventrikulus, ventrikulus, dan sepanjang usus. Pada usus perubahan patologi yang menciri adalah nekrosis dan ulserasi daerah mukosa. Perubahan menciri juga ditemukan pada proventrikulus, pendarahan pada usus dan nekrosis ulseratif pada sekatonsil (Kencana, 2012).

Perubahan lain adalah pembengkakan di daerah kepala. Hemoragi, ulsera, udema, nekrosis sering ditemukan di daerah sekatonsil dan jaringan limfoid dari dinding saluran pencernaan. Perdarahan juga terjadi pada timus dan bursa Fabrisius tetapi jarang terjadi pada unggas dewasa. Limpa membesar, tidak rata dan berwarna merah gelap. Perubahan patologi anatomi ini juga tergantung galur virus penyakit Tetelo yang menyerang (Kencana, 2012).

2.3.5 Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk penyakit Tetelo yaitu penyakit Avian Influenza (AI), Infectious Laringotracheitis (ILT) dan Mycoplasmosis (Alexander dan Senne, 2008). Meskipun demikian, dugaan terhadap penyakit Tetelo muncul apabila organ limpa, timus, bursa Fabrisius dan saluran pencernaan unggas yang sakit mengalami perdarahan dan nekrosis (Courtney et al., 2013).

Beberapa penyakit lain yang juga mirip dengan penyakit Tetelo, diantaranya penyakit yang disertai dengan gangguan pernafasan dan penurunan produksi telur seperti infectious bronchitis (IB), infectious laryngotracheitis (ILT), chronic respiratory disease (CRD). Di samping itu penyakit dengan gejala saraf juga sebagai diagnosa banding penyakit Tetelo, diantaranya avianencephalomyelitis (AE) (Kencana, 2012).

2.3.6 Pencegahan

Penyakit Tetelo dapat dicegah melalui vaksinasi. Vaksinasi ini diberikan kepada ayam sehat. Ayam yang benar – benar sakit terkena penyakit Tetelo harus dimusnahkan agar tidak menjadi sumber penularan bagi ayam lain yang sehat. Vaksin diberikan pada umur 4 hari melalui tetes (tetes mata, mulut, atau hidung), umur 21 hari melalui tetes mata atau suntikan, umur 3 bulan melalui tetes mata atau suntikan, dan diulang kembali setiap 3 bulan sesuai prosedur dari

(6)

6

pabrik vaksin. Vaksin B1 dan La Sota telah terbukti dapat merangsang timbulnya tanggap kebal humoral yang baik pada unggas (Kencana, 2012).

Pengendalian dan pencegahan penyakit Tetelo dilakukan dengan managemen peternakan secara ketat melalui sanitasi peralatan dan pekerja kandang, membatasi pengunjung dan orang-orang yang tidak berkepentingan, dan melakukan vaksinasi serta sanitasi secara teratur (Al-Zubeedy, 2009).

2.4 Histologi Limpa dan Otak

Limpa dibungkus oleh jaringan ikat tebal sebagai kapsula dan bagian luar dibalut oleh peritoneum. Kapsula memiliki dua lapis jaringan ikat dan otot polos. Kapsula, trabekula dan serabut retikuler menunjang parenkim limpa yang terdiri dari pulpa merah dan pulpa putih. Pulpa merah terdiri dari atriol pulpa, sinus venous dan bingkai limpa, sedangkan pada pulpa putih adalah jaringan limfatik yang menyebar si seluruh limpa sebagai nodulus limpa serta dapat ditemukan magrofag dalam pulpa putih.

Otak dibagi menjadi medulla oblongata, serebrum dan serebelum. Permukaan serebelum, terbentuk daun (folia) yang dipisahkan oleh alur (sulkus) yang dibalut oleh korteks. Substansis alba terletak dalam korteks, dan nukleus serebelum terdapat dalam substansia alba. Korteks serebeli terdapat tiga lapis yaitu sel molekuler, lapis sel granular, dan lapis sel piriformis (sel purkinje) (Dellman dan Brown, 1989).

(7)

7 2.5 Histopatologi Organ penderita Tetelo

Hampir diseluruh organ penderita penyakit Tetelo banyak yang mengalami nekrosis. Nekrosis adalah kematian sel/jaringan akibat proses degenerasi yang irreversibel, ada juga yang terjadi karena fisiologis atau karena proses apoptosis (death cells programme). Pada nekrosis dengan kematian sel yang lebih cepat dari pada proses regenerasi, menyebabkan sel-sel yang mati menumpuk pada jaringan (Berata et al., 2014).

Selain nekrosis biasanya banyak ditemukan deplesi, kongesti, edema, perdarahan, gliosis, perivaskulitis dan lain-lain. Dapat juga terjadi lesi perdarahan pada intestinum, pada otak juga bisa ditemukan sel radang yang berkumpul disekitar pembuluh darah, yang disebut dengan perivascular cuffing. Pada otak ayam penderita penyakit Tetelo ditemukan perivascular cuffing limfositik dan hiperemi pembuluh darah (Usman et al., 2008).

Ditemukan degenerasi fokal di mukosa bronchial dan proliferasi limfoid (Hamid et al., 1990). Histopatologi nekrosis fokal, mononuklear sel infiltrasi dan penipisan jaringan limfoid sering ditemukan pada ayam menderita penyakit Tetelo (Oladele et al., 2008). Dijelaskan juga ditemukan hiperemi, edema, hemoragi, trombosis, dan nekrosis pembuluh darah. Lesi hiperplasia sel-sel reticulohistiositik dan nekrosis multifokal pada hati, nekrosis pada limpa, lesi degenerasi folikel bursa Fabrisius, nekrosis dengan hemoragi pada usus. Kongesti dan infiltrasi sel radang pada trachea, Hemorragi dan edema pada paru. Lesi Perivascular cuffing sel limfosit dan nekrosis dari neuron juga sering ditemukan pada otak (Tabbu, 2000).

2.6 Uji HA/HI dan Uji RT-PCR

Identifikasi virus dapat dilakukan dengan uji serologi yang umum digunakan yakni dengan uji hemaglutinasi dan hambatan hemaglutinasi (HA/HI). Sebagai indikator uji adalah sel darah merah unggas (eritrosit) berkonsentrasi 0,5 atau 1%. Uji tersebut bersifat spesifik untuk mengidentifikasi virus penyakit Tetelo karena adanya protein hemaglutinin neuraminidase (HN) yang terdapat pada amplop virus paramyxoviridae. Hemaglutinin berfungsi untuk mengaglutinasi sel darah merah 0.5 atau 1%, sedangkan aktivitas neuraminidase (N) berperan sebagai enzim pelepas reseptor yang berpengaruh terhadap hemolisis sel darah merah unggas 0.5 atau 1%. Beberapa strain virus penyakit Tetelo dapat dibedakan dengan uji HI menggunakan antibodi monoklonal yang spesifik terhadap strain virus tertentu. Dewasa ini uji Reverse

(8)

8

Transcriptase Polimerase Chain Reaction (RT-PCR) juga digunakan untuk mengidentifikasi virus penyakit Tetelo terutama titer yang rendah. Juga digunakan untuk membedakan virulensi virus penyakit Tetelo dengan menggunakan primer yang dapat melacak asam amino polibasik pada ujung C-teriminus protein F2 dan phenyalanin pada residu 117 dari protein F1. Jika dibandingan dengan uji HA/HI maka uji RT-PCR jauh lebih sensitif, namun demikian uji HA/HI sifatnya lebih spesifik karena hanya dapat digunakan untuk mengidentifikasi virus-virus yang memiliki hemaglutinin termasuk virus penyakit Tetelo. (Kencana, 2012).

2.7 Tahap pembuatan preparat

Perubahan histopatologi yang khas pada penyakit Newcastle Disease adalah nekrosis pada mukosa usus, jaringan limfe dan hyperemia pada otak. Pengamatan histopatologi pada pemeriksaan preparat histopatologi yang dibuat dengan pewarnaan Hemotoaylin Eosin (HE). Adapun tahapan pembuatan preparat adalah sebagai berikut : organ – organ yang akan diperiksa dipotong kecil – kecil dengan ukuran 1 × 1 × 1 cm, kemudian potongan organ – organ tersebut direndam dalam larutan Neutral Buffer Formalin (NBF) 10 %. Potongan organ – organ kecil tersebut selanjutnya diperkecil lagi dengan irisan tipis untuk disimpan dalam tissue cassette dan dilakukan fiksasi dalam larutan NBF selama 24 jam. Setelah dilakukannya fiksasi, sampel organ tersebut berturut – turut ke dalam alcohol 70 %, 80%, 90%, 96%, alkohol absolute selama beberapa jam. Tujuan proses ini adalah menarik cairan yang ada dalam sitoplasma.

Proses selanjutnya adalah clearing atau penjernihan dengan merendam potongan organ dalam benzana, lalu infiltrasi dengan paraffin cair. Sampel organ dilakukan embedding set dan blocking, kemudian digunakan paraffin cair untuk mempermudah pemotongan jaringan dan disimpan dalam lemari es selama 24 jam. Blok yang sudah dingin dilakukan sectioning atau pemotongan dengan alat microtome ± 5 mikron. Tahap terakhir adalah tahap pewarnaan dengan metode Harris Hematoxylin – Eosin dan mounting media (Kiernan, 1990).

2.8 Kerangka Konsep

Salah satu penyakit ayam yang disebabkan oleh virus adalah penyakit Tetelo. Berbagai faktor yang berpengaruh dalam timbulnya penyakit Tetelo diantaranya telur ayam, ras ayam, pakan, lingkungan, penyakit lain dan galur virus. Penyakit ini dapat menyerang ayam segala umur. Selain menghambat produksi, gangguan penyakit ini juga bisa membunuh ternak ayam.

(9)

9

Penyakit Tetelo diperparah setelah ayam mengalami komplikasi dengan penyakit lain atau kondisi ayam lemah (Akoso, 1993).

Ada berbagai macam galur virus penyakit Tetelo yang dikenal, masing– masing memiliki galur keganasan yang berbeda yaitu galur lentogenik merupakan galur yang rendah keganasannya, mesogenik merupakan galur yang cukup ganas, dan velogenik merupakan galur yang sangat ganas (Murtidjo, 1992). Adanya variasi perubahan histopatologi yang dikaitkan dengan umur ayam terinfeksi penyakit Tetelo sangatlah penting dipelajari. Perubahan histopatologi meliputi variasi tingkat keparahan lesi organ limpa dan otak yang terserang. Perubahan histopatologi yang ditimbulkan pada ayam yang terinfeksi penyakit Tetelo mungkin juga dipengaruhi infeksi penyakit lain dan faktor umur.

Adanya pengaruh faktor–faktor diatas, maka lesi histopatologinya juga bervariasi baik pada jaringan limfoid (limpa) maupun pada otak. Sejauh mana variasi lesi tersebut serta hubungannya antara lesi di limpa dengan di otak, maka diperlukan pemeriksaan dan analisis secara mikroskopik. Hubungan antara faktor/variabel disajikan pada bagan kerangka konsep (Gambar 2.1).

`

Gambar 2.1. Kerangka konsep penelitian Ayam virus ND:  Galur lentogenik  Galur mesogenik  Galur velogenik Faktor lain :  Umur  Ras  Strain virus  Lingkungan  Penyakit lain Histopatologi limpa dan otak

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka konsep penelitian Ayam virus ND:   Galur lentogenik   Galur mesogenik   Galur velogenik  Faktor lain :   Umur   Ras    Strain virus    Lingkungan    Penyakit lain Histopatologi limpa dan otak

Referensi

Dokumen terkait

Rasio Profitabilitas adalah rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba atau keuntungan, Profitabilitas suatu perusahaan mewujudkan perbandingan antara laba

Hasil penelitian ditemukan bahwa faktor yang mendorong terjadinya tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Pati sebagai berikut:

Kedudukan, Susunan Organisasi, Uraian Tugas dan Tata Kerja Dinas Perhubungan Kabupaten Lumajang mengalami perubahan, sehingga Rencana strategis Dinas Perhubungan

Pada penelitian ini kami telah mengusulkan suatu metode untuk mendeteksi kulit manusia menggunakan komponen krominan dari tiga ruang warna, yaitu HSV, YCbCr, dan

Antioksidan eksogen yang aman dan mudah diperoleh adalah antioksidan dari bahan alam seperti Halimeda macroloba yang mengandung senyawa bioaktif meliputi fenol,

Di dalam gambar terdapat key atau kunci yang di rahasiakan dan hanya si penerima yang bisa mendeskripsikan data yang di kirim berupa enkripsi dengan membuka

Public Relations merupakan fungsi manajemen dari sikap budi yang direncanakan dan dijalankan secara berkesinambungan oleh organisasi–organisasi, lembaga–lembaga umum dan

Bila gejala klinis sudah tidak ada dan BB anak sudah mencapai 80% BB/U, dapat dak ada dan BB anak sudah mencapai 80% BB/U, dapat dikatakan anak sembuh.Pola pemberian makan yang baik