Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 4. Nomor 2. Juli 2018
Uji Resistensi Jamur Penyebab Tinea Pedis pada Satuan Polisi Pamong Praja Kota Pontianak terhadap Griseofulvin
Teresa Asali1, Diana Natalia2, Mahyarudin3 1
Program Studi Kedokteran, FK UNTAN 2
Departemen Parasitologi Medik, Program Studi Kedokteran, FK UNTAN 3
Departemen Mikrobiologi Medik, Program Studi Kedokteran, FK UNTAN
Abstrak
Latar Belakang. Tinea pedis (Kaki atlet) merupakan dermatofitosis yang paling sering terjadi dan di sebabkan oleh jamur dermatofita. Tiga spesies jamur yang biasanya menyebabkan tinea pedis adalah
Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum. Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) bekerja menggunakan sepatu tertutup sepanjang hari di daerah tropis dengan iklim panas dan lembab, sehingga memiliki faktor risiko terinfeksi tinea pedis. Griseofulvin merupakan salah satu antifungal yang di gunakan dalam pengobatan tinea pedis. Resistensi terhadap Griseofulvin telah banyak dilaporkan. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Sampel diambil dengan cara
simple random sapling. Kerokan kaki yang di dapat di periksa dengan pemeriksaan KOH. Hasil KOH positif kemudian di inokulasi di medium SDA dan dilakukan identifikasi dengan metode slide kultur dengan pewarnaan LPCB. Jamur penyebab tinea pedis kemudian di uji resistensinya meggunakan metode difusi cakram pada agar Mueller Hinton. Hasil. Terdapat delapan sampel jamur penyebab tinea pedis pada pegawai SATPOL PP kota Pontianak. Jenis jamur penyebab tinea pedis pada ke delapan sampel tersebut adalah Tricophyton mentagrophytes. Hasil uji kepekaan menunjukkan semua sampel resisten terhadap Griseofulvin. Kesimpulan. Jamur Tricophyton mentagrophytes penyebab tinea pedis pada SATPOL PP kota Pontianak telah menjadi resisten terhadap Griseofulvin.
Kata Kunci: Dermatofitosis, tinea pedis, antijamur, Griseofulvin Trichophyton mentagrophytes
Background. Tinea pedis (Athlete’s Foot) is the most prevalent of all dermatophytoses that cause by dermatophytes. Three species of fungi commonly cause tinea pedis are Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes and Epidermophyton floccosum. Pontianak civil service police unit work using tightly-closed shoes in a tropical areas with hot and humid climates which predisposes them to tinea pedis infection. Griseofulvin is one of the antifungal used in the treatment of tinea pedis. Resistance to Griseofulvin has been widely reported. Method.This research was a descriptive research. Samples were taken with simple random sapling method. The skin scrapped obtained were checked by KOH examination. The positive KOH result was inoculated in SDA and identified by culture slide method with LPCB dyeing. The fungi causing tinea pedis were tested for their resistance using the disc diffusion method on Mueller Hinton agar. Result. There were eight samples of fungi that cause tinea pedis in Pontianak civil service police unit. The species of fungi that causes tinea pedis in eight samples are Tricophyton mentagrophytes. The results of antifungal susceptibility test showed that all fungi were resistance to Griseofulvin.
Conclusion. Tricophyton mentagrophytes that cause tinea pedis on Pontianak civil service police unit has been resistant to Griseofulvin.
Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 4. Nomor 2. Juli 2018 PENDAHULUAN
Tinea pedis (Kaki atlet) merupakan dermatofitosis yang paling sering terjadi. Penyakit tersebut biasanya muncul sebagai infeksi kronik di antara jari kaki.1 Sebagian besar kasus Tinea pedis yang disebabkan oleh dermatofita, jamur yang menyebabkan infeksi superfisial kulit dan kuku dengan menginfeksi keratin dari lapisan epidermis.2
Tiga spesies jamur yang berperan dalam hampir sebagian besar kasus Tinea pedis di seluruh dunia adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum. Dari ketiganya, Trichophyton rubrum adalah patogen yang paling umum yang terkait dengan Tinea pedis kronis. Trichophyton rubrum menyebabkan dua per tiga dari seluruh kasus Tinea pedis yang ada.2
Beberapa faktor dapat menyebabkan pasien menderita Tinea pedis termasuk tinggal di iklim hangat dengan kelembaban tinggi yang menyebabkan kaki berkeringat seperti tentara yang berbaris lama di parit
yang lembab akan menyebabkan kaki terus-menerus basah dan menyebabkan infeksi dermatofit. Selain itu, karpet, kain dan pakaian juga dapat bertindak sebagai perantara penularan. Berbagi handuk, sepatu serta mandi di kolam renang dapat memfasilitasi penyebaran infeksi.3 Selain tentara, Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) juga bekerja menggunakan sepatu tertutup sepanjang hari di daerah tropis dengan iklim panas dan lembab, sehingga memiliki faktor risiko terinfeksi Tinea pedis.4
Di National Skin Centre Singapura pada tahun 1999–2003 didapatkan 12.903 kasus mikosis superfisialis. Kasus yang paling banyak adalah tinea pedis (27,3%).5 Di Bangkok, Thailand pada tahun 1986, dari penderita perempuan kasus yang banyak didapatkan adalah Tinea korporis (29%), Tinea kruris (23%) dan Tinea pedis (16%). Sedangkan pada penderita laki-laki adalah tinea kruris (39%), tinea korporis (28%) dan tinea pedis (14%).6 Di Kimitsu Chuo Hospital, Tokyo, Jepang, kasus
Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 4. Nomor 2. Juli 2018
dermatofitosis yang terbanyak adalah Tinea pedis (64,2%).7 Banyaknya kasus tinea pedis di beberapa negara Asia tersebut mungkin disebabkan karena kebiasaan pemakaian sepatu tertutup dalam aktivitas atau pekerjaan sehari-hari, hal tersebut berkaitan dengan banyaknya industri di negara-negara tersebut.8 Prevalensi Tinea pedis berdasarkan data statistik dari beberapa rumah sakit pendidikan di Indonesia seperti RS. Dr. Soetomo, RSCM, RS. Dr. Hasan Sadikin, RS. Dr. Sardjito didapatkan hasil relatif 16%.9
Tinea Pedis biasanya merespon pada agen antijamur topikal seperti Ketokonazol, Terbinafin, Ekonazol atau Siklopiroks. Pengobatan oral dengan Griseofulvin, Itrakonazol, Flukonazol dan Terbinafin efektif untuk penyakit ini.10 Griseofulvin berguna untuk pengobatan beberapa dermatofit seperti Tinea capitis (kurap kulit kepala) dan Tinea pedis (kaki atlet).11
Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Mekanisme kerja obat ini yakni Griseofulvin menghambat pengikatan mikrotubulus dalam gelendong mitosis sehingga mitosis sel jamur.12 Griseofulvin adalah agen antijamur untuk pengobatan dermatofitosis selama bertahun-tahun. Tapi di Turki, Griseofulvin dilaporkan telah menjadi resisten terhadap dermatofita dan adanya konsentrasi hambat minimum yang tinggi.13
Dari penelitian Grover dkk,14 pemberian 2 kali 15-10 mg/kg Griseofulvin pada 25 orang yang terinfeksi jamur Trichophyton selama 6 minggu, didapatkan 4 orang yang membutuhkan perpanjangan pengobatan menjadi 7-8 minggu dan 1 orang yang tidak sembuh. Dari berbagai data berikut, peneliti tertarik untuk melakukan uji resistensi dari jamur penyebab Tinea pedis pada kaki SATPOL PP yang ada di kota Pontianak terhadap Griseofulvin.
Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 4. Nomor 2. Juli 2018 METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kaca objek, Kaca penutup, Skalpel atau gelas alas untuk mengambil kerokan, Bunsen, Plat steril, Erlenmeyer, magnetic stirrer, Timbangan, Gelas Ukur, Penangas air, Autoklaf, Lamintar Air Flow, cawan petri, Tabung reaksi, pengaduk dan inkubator. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kalium hidroksida (KOH) 10%, Kapas Alkohol 70%, pewarna Lactophenol Cotton Blue (LPCB), Sabouraud Dextrose Agar (SDA), Kloramfenikol, Akuadest steril, kultur jamur yang akan diidentifikasi, Bubuk agar Mueller-Hinton, dan Cakram Griseofulvin.
Pengambilan sampel dan pemeriksaan KOH 10%
Sampel yang digunakan berasal dari kerokan kaki pegawai SATPOL PP kota Pontianak dengan jenis kelamin laki-laki. Pengambilan sampel dimulai dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan kemudian informed consent pada pegawai SATPOL PP yang bersedia untuk menjadi responden. Sebelum pengerokan, kaki dibersihkan dengan kapas alkohol 70%. Kerokan diambil pada pinggir kelainan kulit/ lesi menggunakan skapel/ kaca objek kemudian ditempatkan dalam pot steril, kering dan tertutup rapat.
Sampel kerokan kaki yang didapat kemudian diperiksa dibawah mikroskop dengan larutan KOH 10%. Sampel diletakkan diatas kaca objek dan diteteskan dengan beberapa tetes larutan KOH 10% kemudian ditutup dengan kaca penutup dan dilewatkan beberapa kali diatas api bunsen. KOH akan melisiskan sel kulit, kuku dan rambut sehingga elemen jamur akan terlihat jelas. Periksan dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x dan 40x. Pada hasil positif, akan ditemukan elemen jamur berupa hifa.15
Identifikasi jamur penyebab tinea pedis
Identifikasi jamur penyebab tinea pedis dilakukan melalui pewarnaan LPCB dengan metode Slide kultur. Jamur yang
Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 4. Nomor 2. Juli 2018
didapat dari kerokan dengan peeriksaan KOH positif kemudian di inokulasi ke media Sabouraud dextrose agar (SDA). SDA adalah media paling umum yang digunakan untuk isolasi ragi dan jamur. SDA tersusun dari pepton, glukosa, agar, air. Modifikasi SDA dengan penambahan kloramfenikol berguna untuk menghambat bakteri gram positif dan gram negatif membuat medium selektif untuk jamur. pH rendah membantu pertumbuhan jamur dan menghambat bakteri kontaminasi. 16
Slide kultur merupakan metode untuk identifikasi jamur pathogen. Metode ini menjadi andalan identifikasi morfologis spesies jamur di laboratorium klinis.
Lactophenol Cotton Blue (LPCB) adalah reagen yang digunakan sebagai pewarnaan untuk jamur. Reagen Lactophenol Cotton Blue mengandung kristal fenol, cotton blue, asam laktat, gliserol, dan air suling. Cotton blue berfungsi memberi warna pada jamur, gliserol berfungsi menjaga fisiologi sel dan menjaga sel terhadap kekeringan, asam laktat mempertahankan
struktur jamur dan membersihkan jaringan sementara fenol berfungsi sebagai desinfektan.17,18
Uji Resistensi Griseofulvin
Uji resistensi Griseofulvin dilakukan menggunakan metode difusi cakram dengan agar Mueller Hinton. Agar Mueller Hinton mengandung infus daging sapi dan kasein asam hidrolisat yang berfungsi memberikan senyawa nitrogen, karbon, sulfur dan nutrisi penting lainnya bagi jamur. Pati berperan sebagai koloid pelindung terhadap zat beracun yang ada di medium. Hidrolisis pati menghasilkan dekstrosa, yang berfungsi sebagai sumber energi.19
HASIL
Dalam penelitian ini terdapat 39 sampel kerokan kaki yang didapat dari 18 responden. Responden dalam penelitian ini memiliki rentang usia 25 sampai dengan 57 tahun dengan rata-rata usia 41 tahun. Pada pengamatan, didapatkan 21 Ujud
Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 4. Nomor 2. Juli 2018
Kelainan Kulit (UKK) yang didapat dari 18 responden dengan UKK positif.
Total 21 UKK terdiri dari 3 bentuk berbeda yakni tipe Interdigitalis (gambar 4.1.) sebanyak 13 UKK (61,9%), tipe Hiperkeratotik sebanyak 7 UKK (33,33%) dan tipe Ulseratif sebanyak 1 UKK (4,76%).
Identifikasi jamur dilakukan di Laboratorium Non Mikroskopik dan Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura. Sebanyak 39 sampel kerokan kaki yang didapat dari 18 pegawai Satpol PP Kota Pontianak kemudian diperiksa dengan pemeriksaan KOH 10% dimana didapatkan 37 sampel (94,9 %) menunjukkan hasil positif dan 2 sampel (5,1 %) menunjukkan hasil negatif.
Kerokan kaki dengan hasil tes KOH positif kemudian di inokulasi ke media Saboraud Dextrose Agar (SDA) untuk dilihat karakteristik makroskopis koloni. Selanjutnya, sampel di identifikasi menggunakan metode slide kultur dengan
menggunakan pewarnaan Lachtophenol Cotton Blue (LPCB) untuk dilihat karakteristik koloni secara mikroskopis. Dari hasil identifikasi, didapatkanlah 18 spesies jamur, terdapat 8 sampel jamur
Tricophyton mentagrophytes yang merupakan salah satu penyebab tinea pedis.
Uji resistensi dilakukan dengan mengukur zona hambat yang terbentuk dari jamur penyebab tinea pedis terhadap antifungal Griseofulvin Jamur diuji resistensinya dengan metode difusi cakram. Hasil uji dikatakan sensitif bila terbentuk zona hambat sebesar ≥10 mm dan resisten jika tidak terbentuknya zona hambat. Hasil diamati setelah 3 hari dan tidak didapatkan zona hambat pada ke delapan sampel. Hasil uji resistensi menunjukkan sampel telah menjadi resisten.
Kota Pontianak memiliki iklim tropis yang terbagi menjadi dua bagian yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Rata-rata suhu udara di kota
Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 4. Nomor 2. Juli 2018
Pontianak mencapai 28–32oC dengan kelembaban udara berkisar antara 86%-92% dan lama penyinaran matahari sebesar 34-78%.20 Faktor risiko utama untuk tinea pedis adalah iklim lembab dan suhu yang panas, aktivitas olahraga dan hiperhidrosis.21 Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) kota pontianak bekerja menggunakan sepatu bot tertutup sepanjang hari di daerah dengan iklim tropis dan kelembaban yang tinggi, sehingga cenderung memiliki faktor risiko terinfeksi tinea pedis.
PEMBAHASAN
Infeksi dermatofit disebabkan oleh arthrospora atau konidia aseksual. Suhu tinggi, pH basa dan hiperhidrosis memudahkan infeksi oleh organisme ini. Faktor hospes yang dapat meningkatkan risiko infeksi ini meliputi kulit pecah, maserasi kulit dan imunosupresi.22 Infeksi dermatofit yang paling umum disebabkan oleh tidak adanya sebum, yang merupakan sekresi penghambat alami. Sebum tidak
ada di daerah plantar karena tidak adanya kelenjar sebasea.23
Dari hasil isolasi terhadap 37 sampel, didapatkan jamur yang paling banyak ditemukan antara lain Trichopyton mentagrophytes dengan presentase 21,62% diikuti oleh Aspergillus niger sebanyak 10,81%, serta Aspergillus lentulus dan
Foncesaea complex dengan presentase sebanyak 8,1%. Trichophyton mentagrophytes merupakan salah satu penyebab dari tinea pedis. Dermatofita ini termasuk dalam kelompok jamur zoofilik dengan distribusi di seluruh dunia.
Trichophyton mentagrophytes
menghasilkan lesi kulit atau inflamasi pada manusia. Aspergillus niger merupakan salah satu spesies Aspergillus yang paling umum dan mudah dikenal. Spesies ini merupakan kontaminan laboratorium yang umum. Hal ini menyebabkan tingginya presentase penemuan jamur ini.
Aspergillus lentulus dan Foncesaea complex juga merupakan jamur yang sangat umum ditemukan. Jamur-jamur ini
Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 4. Nomor 2. Juli 2018
sering ditemukan di tanah.24 Tingginya presentase penemuan jamur–jamur tersebut dapat diakibatkan oleh kaki yang berkontak dengan tanah dan juga pembersihan kaki sebelum pengerokan yang kurang memadai.
Griseofulvin adalah agen antifungal yang diisolasi dari kultur
Penicillium griseofulvum. Griseofulvin merupakan antifungal yang bersifat fungistatik. Griseofulvin bekerja dengan mengikat protein mikrotubular yang terdapat dalam inti sel sehingga menganggu mitosis dalam jamur. Griseofulvin dapat digunakan untuk mengobati infeksi kulit atau kuku yang disebabkan oleh dermatofita.25,26
Dalam penelitian ini, ditemukan ke delapan sampel jamur Tricophyton mentagrophytes telah menjadi resisten terhadap antifungal Griseofulvin yang ditunjukkan dengan tidak terbentuknya zona hambat. Hal ini sesuai dengan penelitian Yenişehirli et al.13 di Turki, Griseofulvin ditemukan sudah kurang
efektif dalam menghambat isolat
Tricophyton mentagrophytes. Hal yang sama juga dibuktikan oleh penelitian Anggarini et al.27 di Surabaya yang menguji kepekaan Griseofulvin terhadap sekelompok jamur dermatofita dan didapatkan hasil bahwa isolat sudah menjadi resisten terhadap Griseofulvin. Resistensi ini dapat disebabkan oleh penggunaan obat anti-jamur secara luas tanpa resep dokter dan penggunaan yang kurang adekuat dan pemberian obat antijamur yang berulang. Namun, hal ini bertentangan dengan penelitian Afshari et al..28 di Iran, dimana dilakukan uji kepekaan dermatofita terhadap antifungal flukonazol, ketoconazol, itraconazol, terbinafin dan griseofulvin. Hasil didapatkan keempat antifungal masih sensitif terhadap dermatofita sedangkan flukonazol telah menjadi resisten terhadap semua dermatofita.
Mekanisme resistensi terhadap Griseofulvin dapat terjadi akibat dinding sel jamur yang tebal. Tebalnya dinding sel
Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 4. Nomor 2. Juli 2018
jamur menyebabkan obat sulit menembus kedalam inti sel jamur. Keadaan ini merupakan faktor yang berperan pada resistensi Griseofulvin. Dinding sel yang tebal berlapis-lapis dapat bertindak sebagai barier yang menyebabkan impermeabilitas dinding sel jamur terhadap Griseofulvin.29
Mekanisme lain yang mungkin berperan dalam resistensi Griseofulvin adalah melalui multidrug efflux transporters yang merupakan protein membran yang terdapat pada mahluk hidup. Protein ini dapat mengikat berbagai senyawa aktif struktural dan kimia asing kemudian mengusirnya dari sel. Dalam sel jamur, substrat untuk multidrug transporter adalah obat antifungal dan juga sitotoksik. Melalui mekanisme tersebut, transporter ini mungkin berperan dalam resistensi Griseofulvin. Mekanisme ini dapat terjadi karena penggunaan obat antifungal yang berulang.30
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Jenis jamur penyebab tinea pedis pada SATPOL PP kota Pontianak adalah Tricophyton mentagrophytes.
2. Jamur Tricophyton mentagrophytes
resisten terhadap Griseofulvin yang ditunjukkan dengan tidak terbentuknya zona hambat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brook GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA,
Mietzner TA. Jawetz, Melnick &
Adelberg’s: Medical Microbiology, 25th
edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies. 2010. p: 625-64.
2. Al Hasan M, Fitzgerald SM, Saoudian M,
Krishnaswamy G. Dermatology for the practicing allergist: Tinea pedis and its complications, Clinical and Molecular Allergy. BioMed Central. 2004;2:5.
3. Masri-fridling GD. Dermatophytosis of the
feet. Dermatologic Clinics. Cutaneous mycology. 1996; 4:33-40.
4. Fakihun S, Natalia D, Pratiwi SE. Prevalensi
dan Identifikasi Jamur Penyebab Tinea pedis pada Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Kota Pontianak. [Skripsi]. Pontianak: Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura; 2015.
5. Tan HH. Superficial fungi infection seen at the National Skin Centre, Singapore. Jpn J Med Mycol. 2005;46:77–80.
6. Imwidthaya S, Thianprasit M. A study of
dermatophytoses in Bangkok (Thailand). Mycopathologia. 1988;102(1):13–6.
7. Takahashi Y, Nishimura K. Dermatophyte
flora at the dermatology clinic of Kimitsu Chuo Hospital from 1994 through 1999.
Nippon Ishinkin Gakkai Zasshi.
Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 4. Nomor 2. Juli 2018
8. Hidayati AN, Suyoso, Sunarso, P Desy H,
Sandra E. Mikosis superfisialis di divisi mikologi unit rawat jalan penyakit kulit dan kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2003-2005. Departemen Staf Medik Fungsional Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya. 2009;21(1):3.
9. Adiguna MS. Epidemiologi dermatomikosis
superfisialis: Budimulja, U. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2004. p:1-5
10. Katz HI, Gupta AK. Oral antifungal drug
interactions: A mechanistic approach to understanding their cause. Dermatol Clin. 2003, 21:543-63
11. Chooi YH, Cacho R, and Tang Y.
Identification of the viridicatumtoxin and griseofulvin gene clusters from Penicillium
aethiopicum. Chem Biol. 2010 May
28;17(5):483–94.
12. Odds FC, Brown AJ, Gow NA. Antifungal
agents: Mechanisms of action. Trends Microbiol. 2003;11:272-9.
13. Yenişehirli G, Tunçoğlu E, Yenişehirli A,
Bulut Y. In vitro activities of antifungal drugs against dermatophytes isolated in Tokat, Turkey. International Journal of Dermatology. 2013. 52:1557–60.
14. Grover C, Arora P, Manchanda V.
Comparative evaluation of Griseofulvin,
Terbinafine and Fluconazole in the
treatment of tinea capitis. International Journal of Dermatology. 2012;51:455–58.
15. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, Wolff K. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine, 8th
edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies. 2008. p. 2277-328.
16. Himedia. Technical Data: Sabouraud
Dextrose Agar Medium, MM1067. HiMedia Laboratories Pvt. Ltd. India. 2015.
17. Himedia. Technical Data: Lactophenol
Cotton Blue, S016. HiMedia Laboratories Pvt. Ltd. India. 2015.
18. Wijedasa MH, Liyanapathirana LVC.
Evaluation of an alternative slide culture
technique for the morphological
identification of fungal species. Sri Lanka
Journal of Infectious Diseases.
2012;2(2):47-52.
19. Himedia. Technical Data: Mueller Hinton
Agar, 2% Glucose with Methylene blue, M1825. HiMedia Laboratories Pvt. Ltd. India. 2011.
20. Bappeda Pontianak. Kondisi Fisik Dasar
Kota Pontianak. Tersedia
pada:http://bappeda.pontianakkota.go.id/stat
is-16-profilfisikdasarkota pontianak. html. Diakses pada: 12 November 2017.
21. Caputo R, de Boulle K, del Rosso J,
Nowicki R. Prevalence of superficial fungal infections among sports-active individuals: results from the Achilles survey, a review of the literature. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2001;15:312–16.
22. Brasch J. Pathogenesis of tinea.
JDtschDermatol Ges.2010;8:780–6.
23. Ilkit M, Durdu M. Tinea pedis: The etiology
and global epidemiology of a common fungal infection. Crit Rev Microbiol, 2015;41(3):374–388.
24. Kidd S, Halliday C, Alexiou H, Ellis D. Descriptions of Medical Fungi, 3rd Edition. Australia: Newstyle Printing. 2016.
25. Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG.
Goodman & Gilman the Dasar Farmakologi Terapi, Edisi ke-10. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2014. p. 1268-85.
26. Rang HP, Dale MM, Ritter JM, Flower RJ,
Henderson G. Rang and Dale’s
Pharmacology. China: Elsevier Inc. 2012. p. 649-54.
27. Anggarini DR, Sukanto H, Astari L,
Endraswari PD. Uji kepekaan Griseofulvin, Ketokonasol, Itrakonasol, dan Terbinafin terhadap spesies dermatofit dengan metode mikrodilusi. Periodical of Dermatology and Venereology. 2015; 27(1).
28. Afshari MA, Ghahfarokhi MS, Abyaneh
MR. Antifungal susceptibility and virulence factors of clinically isolated dermatophytes in Tehran, Iran. Iranian Journal of Microbiology. 2016;8(1):36.46.
29. Al-Refai TA. General resistance of
dermatophytes to griseofulvin. JRMS. 2007; 14(1):76-8.
30. Rossi NMM, Peres NTA, Rossi A.
Antifungal resistance mechanisms in
dermatophytes. Mycopathologia.