i
INVESTIGASI ALIRAN FLUIDA VORTEX
GENERATORS TERHADAP PERFORMA
PERPINDAHAN KALOR MENGGUNAKAN
SIMULASI 3D
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik Mesin pada Program Studi Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma
Disusun oleh:
VINSENSIUS TIARA PUTRA NIM. 125214005
PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2016
ii
INVESTIGASI ALIRAN FLUIDA VORTEX GENERATORS TERHADAP PERFORMA PERPINDAHAN KALOR MENGGUNAKAN SIMULASI 3D
Disusun oleh: Vinsensius Tiara Putra
NIM: 125214005
Telah disetujui oleh dosen pembimbing skripsi:
Dosen Pembimbing I
A. Prasetyadi, S.Si., M.Si.
Dosen Pembimbing II
iii
INVESTIGASI ALIRAN FLUIDA VORTEX GENERATORS TERHADAP PERFORMA PERPINDAHAN KALOR MENGGUNAKAN SIMULASI 3D
Vinsensius Tiara Putra NIM: 125214005
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 25 Juli 2016
Susunan Dewan Penguji
Ketua Penguji : RB. Dwiseno Wihadi, S.T., M.Si. ...
Sekertaris Penguji : D. Doddy Purwadianto, S.T., M.T. ...
Anggota I : A. Prasetyadi, S.Si., M.Si. ...
Anggota II : Stefan Mardikus, S.T., M.T. ...
Tugas Akhir ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik.
Yogyakarta, 25 Juli 2016 Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
iv
ABSTRAK
INVESTIGASI ALIRAN FLUIDA VORTEX GENERATORS TERHADAP PERFORMA PERPINDAHAN KALOR MENGGUNAKAN SIMULASI 3D
VINSENSIUS TIARA PUTRA NIM. 125214005
Fin tube heat exchanger (FTHE) adalah alat yang digunakan untuk
memindahkan kalor. Performa FTHE perlu ditingkatkan karena kecilnya harga perpindahan kalor pada air side. Kecilnya harga perpindahan kalor disebabkan oleh adanya udara yang terjebak di dalam FTHE karena terjadinya wake di belakang setiap tube. Wake dapat dikurangi dengan menggunakan vortex
generator. Vortex generator juga berfungsi sebagai perluasan permukaan
perpindahan kalor sekaligus memicu terbentuknya longitudinal vortices yang berguna meningkatkan pencampuran udara di dalam FTHE.
Pada penelitian ini digunakan metode simulasi 3D untuk mengetahui pengaruh penggunaan RWPs, DWPs, CWPs dan TWPs vortex generator pada
plain FTHE. Simulasi dilakukan menggunakan variasi bilangan Reynolds 500,
600, 700, 800 dan 900. Vortex generator memiliki tebal sama dengan tebal fin,
attack angle 15° dan diposisikan sejajar dengan tube.
Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan harga perpindahan kalor tertinggi sebesar 75% didapatkan dengan menggunakan RWPs. Nilai pressure drop terendah sebesar 48% didapatkan pada penggunaan DWPs. Performa CWPs dan TWPs berada di antara RWPs dan DWPs. Performa TWPs dapat dikatakan lebih baik daripada CWPs karena memiliki nilai pressure drop yang lebih rendah, yaitu 74% - 77% pada TWPs dan 93% - 99% pada CWPs.
v
ABSTRACT
INVESTIGATION OF VORTEX GENERATORS FLUID FLOW ON HEAT TRASNFER PERFORMANCE USING 3D SIMULATION
VINSENSIUS TIARA PUTRA SN. 125214005
Fin tube heat exchanger (FTHE) is a device that can be used to transfer heat. Performance of the plain FTHE need to be increased because of the low heat transfer coefficient on the air side. Low heat transfer coefficient is caused by trapped air inside the FTHE. Air could be trapped inside the FTHE because wakes are formed in every downstream of the tube. Wakes could be decreased by using vortex generators. Vortex generators also used to enlarge the heat transfer surface area and form longitudinal vortices that can increase the air mixing inside the FTHE.
In this research, 3D simulation method was performed to investigate the effect of applying RWPs, DWPs, CWPs and TWPs vortex generators in plain FTHE. Variation of the Reynolds number of 500, 600, 700, 800 and 900 was used in the simulation. The vortex generators angle of attack is 15°, the thicknes is as same as the fin thicknes and it is located beside every tube.
The result of this research shows that RWPs give the highest heat transfer coefficient, about 75% better then plain FTHE. The lower pressure drop about 48% above plain FTHE was achieved by using DWPs. The performance of CWPs and TWPs took place between RWPs and DWPs. TWPs performance was better than CWPs because of the lower increase of the pressure drop, which is 74% - 77% for TWPs and 93% - 99% for CWPs.
vi
PERNYATAAN
Dengan ini penulis menyatakan bahwa Skripsi ini adalah karya ilmiah yang belum pernah diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di perguruan tinggi manapun. Beberapa karya ilmiah yang digunakan sebagai referensi pendukung penulisan Skripsi ini telah dituliskan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 25 Juli 2016
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :Nama : Vinsensius Tiara Putra
NIM : 125214005
Demi pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul:
INVESTIGASI ALIRAN FLUIDA VORTEX GENERATORS TERHADAP PERFORMA PERPINDAHAN KALOR MENGGUNAKAN SIMULASI 3D
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan dan mengalihkan dalam bentuk media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya namun memberikan
royalti kepada saya selama tetap menyantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Yogyakarta, 25 Juli 2016
viii
To my family and my friends
For The Glory of The LORD
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas penyertaan dan perkenananNya yang dianugrahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang merupakan tahap akhir dari proses memperoleh gelar Sarjana Teknik di Program Studi Teknik Mesin Univesitas Sanata Dharma.
Keberhasilan penulis dalam menjalani studi tidak lepas dari orang – orang yang telah memberikan bimbingan dan dukungan dengan segenap hati secara moral maupun material. Dalam kesempatan ini penulis secara khusus mengucapkan terimakasih kepada:
1. Sudi Mungkasi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi. 2. Ir. PK. Purwadi, M.T. selaku Ketua Program Studi Teknik Mesin.
3. A. Prasetyadi, M.Si. selaku dosen pembimbing utama sekaligus dosen pembimbing akademik dari penulis, yang telah membimbing penulis sejak pertama masuk kuliah di Universitas Sanata Dharma.
4. Stefan Mardikus, M.T., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dengan segenap hati.
5. Papa Iman, mama Iin dan nonik Nasya selaku keluarga terkasih dari penulis yang telah memberikan dukungan yang sangat luar biasa kepada penulis.
6. Teman – teman mahasiswa S1, kursus EEC dan teman – teman gereja yang telah memberi dukungan semangat, sharing pengalaman hidup dan menjadi saluran berkat dari Tuhan kepada penulis.
Penulis menyadari dalam Skripsi ini terdapat kekurangan dan keterbatasan. Penulis berharap Skripsi ini dapat menjadi karya tulis yang bermanfaat sekaligus menjadi berkat bagi pembaca.
Yogyakarta, 25 Juli 2016
x DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
LEMBAR PERNYATAAN ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG... xx
BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan Penelitian ... 4 1.3 Rumusan Masalah ... 5 1.4 Batasan Masalah ... 5 1.5 Manfaat Penelitian ... 5 1.6 Originalitas Penelitian ... 6
BAB II DASAR TEORI ... 7
2.1 Heat Exchanger ... 7
2.2 Vortex Generator ... 8
2.3 Klasifikasi Aliran... 12
2.3.1 Aliran Viscous dan Inviscid ... 13
2.4 Fully Developed Flow ... 14
2.5 Aliran Laminar dan Turbulen ... 17
2.6 Aliran Internal dan Eksternal ... 17
xi
2.7.1 Bilangan Reynolds ... 19
2.7.2 Fanning Friction Factor dan Pressure Drop ... 20
2.7.3 Koefisien Perpindahan Kalor ... 21
2.7.4 Bilangan Nusselt ... 21
2.7.5 Colburn Factor ... 22
2.8 Persamaan Dasar Aliran Fluida dan Perpindahan Kalor ... 23
2.8.1 Kesetimbangan Massa ... 24
2.8.2 Besarnya Perubahan Partikel Fluida pada Elemen Fluida ... 26
2.8.3 Persamaan Momentum Tiga Dimensi ... 29
2.8.4 Persamaan Energi Tiga Dimensi ... 32
2.9 Metode Solusi Pressure Based ... 38
2.9.1 Pressure Based Segregated Algorithm ... 39
2.9.2 Pressure Based Coupled Algorithm ... 40
2.10 Metode Solusi Density Based ... 41
2.11 Model Turbulen k-ε ... 44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 46
3.1 Diagram Alir Penelitian ... 46
3.2 Diagram Alir Proses Simulasi ... 47
3.3 Variabel Penelitian ... 48
3.4 Skema Heat Exchanger dan Vortex Generator ... 48
3.5 Computational Domain ... 51 3.6 Penggenerasian Mesh ... 52 3.7 Karakteristik Fluida ... 54 3.8 Boundary Condition ... 54 3.9 Solution Control ... 55 3.10 Convergence Criteria ... 56
BAB IV ANALISA HASIL SIMULASI ... 58
4.1 Pengaruh Vortex Generator Terhadap Bilangan Nusselt ... 58
4.2 Pengaruh Vortex Generator Terhadap Pressure Drop ... 60
xii
4.4 Pengaruh Geometri Vortex Generator terhadap Friction
Factor ... 63
4.5 Kontur Kecepatan Aliran ... 65
4.5.1 Kontur Kecepatan pada Plain FTHE ... 65
4.5.2 Kontur Kecepatan pada Penggunaan RWPs ... 67
4.5.3 Kontur Kecepatan pada Penggunaan DWPs... 69
4.5.4 Kontur Kecepatan pada Penggunaan CWPs ... 71
4.5.5 Kontur Kecepatan pada Penggunaan TWPs ... 73
4.5.6 Perbandingan Kontur Kecepatan pada Variasi Vortex Generator Menggunakan Bilangan Reynolds 900 ... 74
4.6 Kontur Distribusi Temperatur ... 78
4.6.1 Kontur Distribusi Temperatur pada Plain FTHE ... 78
4.6.2 Kontur Distribusi Temperatur pada Penggunaan RWPs ... 79
4.6.3 Kontur Distribusi Temperatur pada Penggunaan DWPs ... 81
4.6.4 Kontur Distribusi Temperatur pada Penggunaan CWPs ... 83
4.6.5 Kontur Distribusi Temperatur pada Penggunaan TWPs ... 85
4.6.6 Perbandingan Kontur Distribusi Temperatur pada Variasi Vortex Generator Menggunakan Bilangan Reynolds 900 ... 87
BAB V KESIMPULAN ... 91
DAFTAR PUSTAKA ... 93
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Tabel boundary condition yang digunakan pada simulasi. ... 97 Lampiran B.1 Data bilangan Nusselt dan Colburn factor dari hasil simulasi. 98 Lampiran B.2 Data pressure drop dan friction factor dari hasil simulasi. ... 99
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 (a) Individually fined tube; (b) flat fined tube ... 7
Gambar 2.2 Vortex generator jenis wing dan winglet. ... 9
Gambar 2.3 Visualisasi vektor kecepatan aliran yang tegak lurus dengan arah aliran pada simulasi yang dilakukan oleh He dan Zhang, 2012. ... 10
Gambar 2.4 Visualisasi vektor kecepatan aliran fluida pada (A) plain fin dan (B) dengan menggunakan vortex generator. ... 10
Gambar 2.5 Distribusi temperatur penampang vertikal pada (A) plain fin dan (B) dengan menggunakan vortex generator. ... 11
Gambar 2.6 Distribusi temperature permukaan fin pada (A) plain fin dan (B) menggunakan vortex generator ... 11
Gambar 2.7 Bagan klasifikasi aliran secara umum ... 12
Gambar 2.8 Skema pembagian daerah viscous dan inviscid pada flat plate menggunakan bilangan Reynolds rendah ... 13
Gambar 2.9 Skema pembagian daerah viscous dan inviscid pada flat plate menggunakan bilangan Reynolds tinggi ... 13
Gambar 2.10 Ilustrasi terbentuknya fully developed flow ... 15
Gambar 2.11 Skema (a) prediksi aliran ideal dan (b) aliran sebenarnya pada fluida yang mengalir melalui sebuah silinder pejal ... 18
Gambar 2.12 Skema satu elemen fluida ... 24
Gambar 2.13 Skema aliran massa yang keluar dan masuk pada satu elemen fluida ... 25
Gambar 2.14 Ilustrasi pembacaan relasi (2.23) ... 28
Gambar 2.15 Skema komponen tegangan yang terdapat pada setiap permukaan dari satu elemen fluida ... 30
Gambar 2.16 Komponen tegangan pada arah x ... 30
Gambar 2.17 Pembacaan persamaan energi ... 33
xv
Gambar 2.19 Diagram alir proses simulasi menggunakan metode pressure
based segregated algorithm ... 39
Gambar 2.20 Diagram alir proses simulasi menggunakan metode pressure based coupled algorithm ... 41
Gambar 2.21 Diagram alir dari proses simulasi pada penggunaan metode solusi density based ... 42
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian ... 46
Gambar 3.2 Diagram alir simulasi ... 47
Gambar 3.3 Skema FTHE isometric view ... 48
Gambar 3.4 Skema FTHE top view ... 49
Gambar 3.5 Skema FTHE front view ... 49
Gambar 3.6 Skema plain FTHE ... 50
Gambar 3.7 Skema top view vortex generator ... 50
Gambar 3.8 Skema RWPs vortex generator ... 50
Gambar 3.9 Skema DWPs vortex generator ... 51
Gambar 3.10 Skema CWPs vortex generator ... 51
Gambar 3.11 Skema TWPs vortex generator ... 51
Gambar 3.12 Computational domain ... 52
Gambar 3.13 Visualisasi meshing pada computational domain... 53
Gambar 3.14 Visualisasi meshing jarak dekat... 53
Gambar 3.15 Solusi yang telah converged pada kasus plain FTHE menggunakan variasi bilangan Reynolds 500 ... 57
Gambar 4.1 Grafik pengaruh penggunaan vortex generator terhadap bilangan Nusselt dengan variasi bilangan Reynolds. ... 58
Gambar 4.2 Grafik pengaruh penggunaan vortex generator terhadap pressure drop dengan variasi bilangan Reynolds. ... 60
Gambar 4.3 Grafik pengaruh penggunaan vortex generator terhadap Colburn factor dengan variasi bilangan Reynolds. ... 62
Gambar 4.4 Grafik pengaruh penggunaan vortex generator terhadap friction factor dengan variasi bilangan Reynolds. ... 64
xvi
Gambar 4.6 Kontur kecepatan plain FTHE pada Re 500. ... 66
Gambar 4.7 Kontur kecepatan plain FTHE pada Re 600. ... 66
Gambar 4.8 Kontur kecepatan plain FTHE pada Re 700. ... 66
Gambar 4.9 Kontur kecepatan plain FTHE pada Re 800. ... 67
Gambar 4.10 Kontur kecepatan plain FTHE pada Re 900. ... 67
Gambar 4.11 Skala kontur kecepatan aliran pada penggunaan RWPs. ... 68
Gambar 4.12 Kontur kecepatan penggunaan RWPs pada Re 500. ... 68
Gambar 4.13 Kontur kecepatan penggunaan RWPs pada Re 600. ... 68
Gambar 4.14 Kontur kecepatan penggunaan RWPs pada Re 700. ... 68
Gambar 4.15 Kontur kecepatan penggunaan RWPs pada Re 800. ... 68
Gambar 4.16 Kontur kecepatan penggunaan RWPs pada Re 900. ... 69
Gambar 4.17 Skala kontur kecepatan aliran pada penggunaan DWPs. ... 70
Gambar 4.18 Kontur kecepatan penggunaan DWPs pada Re 500. ... 70
Gambar 4.19 Kontur kecepatan penggunaan DWPs pada Re 600. ... 70
Gambar 4.20 Kontur kecepatan penggunaan DWPs pada Re 700. ... 70
Gambar 4.21 Kontur kecepatan penggunaan DWPs pada Re 800. ... 70
Gambar 4.22 Kontur kecepatan penggunaan DWPs pada Re 900. ... 71
Gambar 4.23 Skala kontur kecepatan aliran pada penggunaan CWPs. ... 71
Gambar 4.24 Kontur kecepatan penggunaan CWPs pada Re 500. ... 72
Gambar 4.25 Kontur kecepatan penggunaan CWPs pada Re 600. ... 72
Gambar 4.26 Kontur kecepatan penggunaan CWPs pada Re 700. ... 72
Gambar 4.27 Kontur kecepatan penggunaan CWPs pada Re 800. ... 72
Gambar 4.28 Kontur kecepatan penggunaan CWPs pada Re 900. ... 72
Gambar 4.29 Skala kontur kecepatan aliran pada penggunaan TWPs. ... 73
Gambar 4.30 Kontur kecepatan penggunaan TWPs pada Re 500. ... 73
Gambar 4.31 Kontur kecepatan penggunaan TWPs pada Re 600. ... 74
Gambar 4.32 Kontur kecepatan penggunaan TWPs pada Re 700. ... 74
Gambar 4.33 Kontur kecepatan penggunaan TWPs pada Re 800. ... 74
Gambar 4.34 Kontur kecepatan penggunaan TWPs pada Re 900. ... 74
Gambar 4.35 Skala kontur kecepatan aliran. ... 75
xvii
Gambar 4.37 Kontur kecepatan penggunaan RWPs pada Re 900. ... 76
Gambar 4.38 Kontur kecepatan penggunaan DWPs pada Re 900. ... 76
Gambar 4.39 Kontur kecepatan penggunaan CWPs pada Re 900. ... 76
Gambar 4.40 Kontur kecepatan penggunaan TWPs pada Re 900. ... 76
Gambar 4.41 Skala kontur temperatur pada plain FTHE. ... 78
Gambar 4.42 Kontur distribusi temperatur plain FTHE pada Re 500. ... 78
Gambar 4.43 Kontur distribusi temperatur plain FTHE pada Re 600. ... 79
Gambar 4.44 Kontur distribusi temperatur plain FTHE pada Re 700. ... 79
Gambar 4.45 Kontur distribusi temperatur plain FTHE pada Re 800. ... 79
Gambar 4.46 Kontur distribusi temperatur plain FTHE pada Re 900. ... 79
Gambar 4.47 Skala kontur temperatur pada penggunaan RWPs. ... 80
Gambar 4.48 Kontur distribusi temperatur penggunaan RWPs pada Re 500. 80 Gambar 4.49 Kontur distribusi temperatur penggunaan RWPs pada Re 600. 80 Gambar 4.50 Kontur distribusi temperatur penggunaan RWPs pada Re 700. 81 Gambar 4.51 Kontur distribusi temperatur penggunaan RWPs pada Re 800. 81 Gambar 4.52 Kontur distribusi temperatur penggunaan RWPs pada Re 900. 81 Gambar 4.53 Skala kontur temperatur pada penggunaan DWPs. ... 82
Gambar 4.54 Kontur distribusi temperatur penggunaan DWPs pada Re 500. 82 Gambar 4.55 Kontur distribusi temperatur penggunaan DWPs pada Re 600. 82 Gambar 4.56 Kontur distribusi temperatur penggunaan DWPs pada Re 700. 83 Gambar 4.57 Kontur distribusi temperatur penggunaan DWPs pada Re 800. 83 Gambar 4.58 Kontur distribusi temperatur penggunaan DWPs pada Re 900. 83 Gambar 4.59 Skala kontur temperatur pada penggunaan CWPs. ... 84
Gambar 4.60 Kontur distribusi temperatur penggunaan CWPs pada Re 500. 84 Gambar 4.61 Kontur distribusi temperatur penggunaan CWPs pada Re 600. 84 Gambar 4.62 Kontur distribusi temperatur penggunaan CWPs pada Re 700. 84 Gambar 4.63 Kontur distribusi temperatur penggunaan CWPs pada Re 800. 84 Gambar 4.64 Kontur distribusi temperatur penggunaan CWPs pada Re 900. 85 Gambar 4.65 Skala kontur temperatur pada penggunaan TWPs. ... 86 Gambar 4.66 Kontur distribusi temperatur penggunaan TWPs pada Re 500. 86 Gambar 4.67 Kontur distribusi temperatur penggunaan TWPs pada Re 600. 86
xviii
Gambar 4.68 Kontur distribusi temperatur penggunaan TWPs pada Re 700. 86 Gambar 4.69 Kontur distribusi temperatur penggunaan TWPs pada Re 800. 87 Gambar 4.70 Kontur distribusi temperatur penggunaan TWPs pada Re 900. 87
Gambar 4.71 Skala kontur temperatur. ... 87
Gambar 4.72 Kontur temperatur plain FTHE pada Re 900. ... 88
Gambar 4.73 Kontur temperatur RWPs vortex generator pada Re 900. ... 88
Gambar 4.74 Kontur temperatur DWPs vortex generator pada Re 900. ... 88
Gambar 4.75 Kontur temperatur CWPs vortex generator pada Re 900. ... 88
xix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tabel beberapa perhitungan Le pada aliran turbulen ... 16
Tabel 2.2 Nilai input yang relevan untuk
... 28Tabel 3.1 Karakteristik fluida kerja ... 54
Tabel 3.2 Tipe yang digunakan pada setiap descretization ... 55
xx
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
Singkatan Kepanjangan Pemakaian pertama
pada halaman
FTHE Fin Tube Heat Exchanger 1
CWPs Combine Winglet Pairs 5
RWPs Rectangular Winglet Pairs 5
TWPs Trapezoid Winglet Pairs 5
xxi
Lambang Arti Satuan Pemakaian
pertama pada halaman A Luas m2 15 p
c
Kalor spesifik J · kg-1 · K-1 23 h D Hydraulic diameter m 19 d Diameter m 16 E Energi J 33f Fanning friction factor Dimensionless 20
g Gravitasi m · s-2 16
h Koefisien perpindahan kalor W · m-2 · K-1 21
j Colburn factor Dimensionless 22
k Konduktifitas termal fluida W · m-1 · K-1 21
L Panjang atau jarak m 13
Le Length Enterance m 15
Nu Bilangan nusselt Dimensionless 21
P Tekanan Pa 20
Pr Bilangan Prandtl Dimensionless 22
p Tegangan normal Pa 30
Q Debit m3 · s-1 15
q Heat flux W · m-2 21
Re Bilangan Reynolds Dimensionless 2
r Jari – jari m 15
St Bilangan Stanton Dimensionless 22
T Temperatur K 21
t Waktu s 24
U Kecepatan fluida m · s-1 13
u Kecepatan pada arah x m · s-1 13
V Kecepatan m · s-1 16
xxii
Lambang Arti Satuan Pemakaian
pertama pada halaman
w Kecepatan pada arah z m · s-1 25
x Koordinat kartesian m 15
y Koordinat kartesian m 24
z Koordinat kartesian m 24
δ Tebal boundary layer m 13
ε Disipasi J 45
ρ Densitas kg · m-3 16
µ Viskositas dinamik Pa · s 13
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Heat exchanger adalah alat yang digunakan untuk memindahkan energi
termal atau entalpi antara dua fluida atau lebih, antara permukaan benda padat dan fluida, atau antara partikel padat dan fluida, dengan temperatur yang berbeda dan terdapat kontak termal [Shah, 2003]. Penggunaan heat exchanger bertujuan untuk memanaskan, mendinginkan atau mempertahankan temperatur. Beberapa contoh penggunaan heat exchanter adalah pemanas air, sistem pendingin alat elektronik,
radiator kendaraan, sistem refrigerasi dan sistem air conditioner.
Berdasarkan konstruksinya, heat exchanger dibagi menjadi tubular,
plate-type, extended surface dan regenerators heat exchanger [Shah, 2003]. Pada
penelitian ini dilakukan pengembangan dari extended surface heat exchanger yaitu fin and tube heat exchanger (FTHE). Jenis tersebut dipilih karena memiliki performa perpindahan kalor yang tinggi. Hal itu dapat dicapai karena terdapat
extended surface atau perluasan permukaan perpindahan kalor yang mampu
meningkatkan koefisien perpindahan kalor sebesar dua sampai empat kali lipat [Shah, 2003]. Walaupun memiliki performa perpindahan kalor yang tinggi, dalam pengaplikasiannya masih terdapat beberapa masalah. Contoh masalah yang sering dihadapi adalah keterbatasan ruang atau material untuk melakukan perluasan permukaan perpindahan kalor. Contoh kasus yang lain adalah pada saat menggunakan dua fluida kerja dengan fase yang berbeda, koefisien perpindahan kalor FTHE pada air side, yaitu bagian yang mengalami kontak dengan udara dan biasanya memiliki peranan paling besar, lebih rendah daripada liquid side, yaitu bagian yang mengalami kontak dengan fluida cair. Masalah lain yang dihadapi adalah terbentuknya wake region di setiap bagian belakang tube.
Wake region adalah daerah aliran fluida yang terjebak dan terisolasi dari
aliran utama karena terjadinya fluid separation, sehingga fluida tidak dapat mengalir keluar dari daerah tersebut. Oleh karena itu wake region dapat
mengakibatkan FTHE memiliki performa perpindahan kalor yang rendah. Pada penelitian ini akan diteliti fenomena aliran dan perpindahan kalor pada bagian air
side dari sebuah pendingin ruangan. Pendingin ruangan bekerja dengan menyerap
kalor pada udara di ruangan tersebut. Untuk meningkatkan proses penyerapan kalor atau harga perpindahan kalor, cara yang terbaik adalah melakukan rekayasa fenomena aliran udara. Tujuan dari rekayasa aliran udara adalah meningkatkan pencampuran udara agar distribusi temperatur menjadi lebih merata. Rekayasa fenomena aliran dapat dilakukan dengan mengubah geometri FTHE.
Pada dasarnya fenomena aliran pada FTHE bergantung pada bentuk geometri saluran yang dilewati oleh aliran tersebut [Shah, 2003]. Telah dilakukan penelitian oleh para peneliti sebelumnya dengan mengubah geometri FTHE menggunakan wavy fin, louvered fin, oval tube dan flat tube [He et al., 2012]. Walaupun telah didapatkan peningkatan perpindahan kalor dengan menggunakan beberapa cara tersebut, para peneliti beranggapan performa heat exchanger dapat ditingkatkan lagi. Oleh karena itu, beberapa peneliti mulai meneliti metode baru untuk meningkatkan harga perpindahan kalor, yaitu dengan menggunakan vortex
generator.
Salah satu pengembangan terbaru yang dilakukan untuk meningkatkan performa FTHE adalah dengan menggunakan vortex generator. Vortex generator adalah permukaan tambahan yang dapat membentuk longitudinal vortices atau pusaran – pusaran udara dengan arah parallel terhadap aliran utama [He et al., 2012]. Longitudinal vortices yang terbentuk berguna meningkatkan intensitas pencampuran aliran udara. Dengan intensitas pencampuran udara yang tinggi maka distribusi temperatur menjadi lebih merata. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengoptimalkan penggunaan vortex generator. Penelitian numerik yang dilakukan oleh Biswas et al., 1994 menunjukkan, dengan menggunakan bilangan Reynolds 500 dan 1000 pada pengaplikasian winglet type
longitudinal vortex generator yang ditempatkan di bagian downstream dapat
meningkatkan perpindahan kalor pada bagian tersebut sampai dengan 250%. Eksperimen yang dilakukan oleh Gentry dan Jacobi, 1997 menunjukkan terjadi peningkatan perpindahan kalor sebesar 50% sampai dengan 60% dengan
menggunakan delta-wing vortex generator pada Re rendah. Chen et al., 1998 menunjukkan delta winglet vortex generator dapat memberikan rasio besarnya
heat transfer enhancement terhadap flow loss penalty pada penggunaan satu, dua,
dan tiga pasang adalah 1,04; 1,01; dan 0,97. Torii et al., 2002 meneliti konfigurasi
common flow up pada FTHE with winglet type vortex generator. Penelitian
mereka menunjukkan, konfigurasi tersebut dapat meningkatkan perpindahan kalor serta menurunkan pressure loss pada susunan stagerred maupun in-line FTHE. Tiwari et al., 2002 menunjukkan dalam penelitiannya, dengan menggunakan
multiple delta winglets dapat mengurangi ukuran heat exchanger. Tidak jauh
berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh O’Brien et al., 2004 dengan menggunakan vortex generator, rata – rata perpindahan kalor dapat meningkat sampai dengan 38%. Dengan melakukan eksperimen dan simulasi 3D turbulence
analysis, Leu et al., 2004 menunjukkan block shape vortex generator dapat
meningkatkan performa heat exchanger dengan optimal pada span angle 45°. Hal tersebut juga dapat mereduksi ukuran fin sampai dengan 25% pada Re 500. Perhitungan numerik yang dilakukan oleh Hiravennavar et al., 2007 menunjukkan
heat transfer enhancement dapat meningkat sampai dengan 33% dengan
menggunakan satu buah winglet dan 67% saat menggunakan sepasang winglet. Tian et al., 2009 menunjukka delta winglet vortex generator dengan konfigurasi
in-line dapat meningkatkan Colburn factor dan friction factor sebesar 13,1% dan
7,0% sedangkan pada konfigurasi staggered dapat meningkatkan sebesar 15,4% dan 10,5%. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Jordar dan Jacobi, 2004, 2007, 2008 menunjukkan pengaplikasian delta winglet vortex generator menggunakan berbagai konfigurasi dapat meningkatkan performa FTHE dengan siknifikan. Heat transfer enhancement dengan menggunakan delta winglet vortex
generator dilakukan oleh Li et al., 2013 pada attack angle 30° menghasilkan heat transfer enhancement yang jauh lebih baik dan pressure drop yang lebih rendah
pada Re yang rendah. Penelitian yang dilakukan Saha et al., 2014 menunjukkan
secondary flow yang dihasilkan oleh vortex generator dapat meningkatkan
percampuran fluida di daerah pusat heat exchanger. Mereka juga menunjukkan dengan performance analysis, didapatkan heat transfer enhancement yang lebih
siknifikan dari penggunaan rectangular winglet pair vortex generator daripada menggunakan delta winglet pair vortex generator. Li et al., 2014 menunjukkan penggunaan radiantly arranged delta winglet vortex generator plain FTHE dengan konfigurasi lima tube memiliki performa yang sama dan pressuse drop yang lebih rendah daripada wavy-fin and tube heat exchanger dengan konfigurasi enam tube.
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, masih terdapat beberapa variasi geometri yang belum banyak diteliti. Salah satunya adalah menggabungkan dua bentuk dasar vortex generator yaitu RWPs dan DWPs vortex generator menjadi CWPs vortex generator seperti yang telah diteliti oleh Mardikus dan Putra, 2015. Hasil penelitian mereka menunjukkan penggunaan CWPs vortex generator dapat menghasilkan pressure
drop yang lebih rendah daripada menggunakan RWPs vortex generator sekaligus
memiliki heat transfer coefficient yang lebih tinggi daripada menggunakan DWPs
vortex generator. Terdapat juga peneliti yang menggabungkan dua bentuk dasar vortex generator tersebut menjadi TWPs vortex generator yang memiliki
karakteristik hampir sama dengan CWPs vortex generator. Beberapa peneliti yang telah meneliti TWPs vortex generator adalah Zhou et al., 2012, 2014 dan Lotfi et
al., 2014. Karena masih sedikitnya penelitian mengenai CWPs dan TWPs vortex generator maka penelitian ini dilakukan investigasi karakteristik penggunaan
CWPs dan TWPs vortex generator. Pada penelitian ini akan digunakan metode
computational fluid dynamic untuk mendapatkan analisa pressure drop, bilangan
Nusselt, Colburn factor, friction factor, kontur distribusi temperatur dan kontur aliran fluida.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan RWPs, DWPs, CWPs dan TWPs vortex generator pada fin and tube heat exchanger sehingga dapat diketahui karakteristik masing – masing vortex generator. Beberapa parameter yang digunakan untuk mengetahui karakterisik penggunaan
a. Nilai bilangan Nusselt dan Colburn factor b. Nilai pressure drop
c. Nilai friction factor d. Kontur kecepatan e. Kontur temperatur
1.3 Rumusan Masalah
Performa perpindahan kalor FTHE pada bagian air-side memiliki nilai yang lebih rendah daripada bagian liquid-side. Selain itu, terbentuknya wake
region pada setiap bagian belakang dari tube membuat FTHE memiliki performa
perpindahan kalor yang rendah. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan rekayasa fenomena aliran menggunakan vortex generator untuk meningkatkan performa perpindahan kalor pada bagian air-side dari FTHE sekaligus mengurangi ukuran wake region.
1.4 Batasan Masalah
Dari latar belakang yang telah dibahas sebelumnya, maka pada penelitian ini ditentukan batasan masalah sebagai berikut:
a. Simulasi dilakukan pada aliran steady.
b. Jennis aliran yang digunakan adalah aliran laminar. c. Analisa dilakukan pada satu baris geometri in-line FTHE.
d. Digunakan vortex generator jenis RWPs, DWPs, CWPs dan TWPs. e. Fluida yang digunakan adalah udara bebas.
f. Model turbulen yang digunakan adalah k-ε.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan dapat memberi manfaat pengetahuan yang lebih mendalam mengenai penggunaan vortex generator pada FTHE. Beberapa manfaat yang didapatkan dari penelitian yang dilakukan dituliskan sebagai berikut:
a. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai literature pertimbangan pembuatan heat exchanger.
b. Hasil penelitian dapat menunjukkan karakteristik masing – masing penggunaan vortex generator pada FTHE.
c. Hasil penelitian dapat menjadi acuan bagi peneliti berikutnya yang akan melakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan vortex
generator.
1.6 Originalitas Penelitian
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh Zhou et al., 2012 dan Mardikus dan Putra, 2015, maka penelitian ini dilakukan berbeda. Penelitian ini dilakukan dengan membandingkan karakteristik CWPs dan TWPs vortex
generator serta digunakan DWPs dan RWPs sebagai acuan awalnya. Pengambilan
data dilakukan pada aliran laminar dengan bilangan Reynold 500, 600, 700, 800 dan 900. Vortex generator diaplikasikan sejajar dengan tube dengan attack angle 30° terhadap arah aliran udara.
7 BAB II DASAR TEORI
2.1 Heat Exchanger
Heat exchanger adalah alat yang digunakan untuk memindahkan energi
termal (entalpi) antara dua fluida atau lebih, antara permukaan benda padat dan fluida, atau antara partikel padat dan fluida, dengan temperatur yang berbeda dan terdapat kontak termal [Shah, 2003]. Pada dasarnya HE digunakan untuk memanaskan atau mendinginkan fluida dan melakukan proses evaporasi atau kondensasi dari satu aliran fluida atau lebih. Penggunaan yang lain adalah untuk menyimpan atau membuang kalor, sterilisasi, pasteurisasi, fraksinasi, destilasi, pembuatan konsentrat, kristalisasi dan melakukan kontrol pada suatu proses fluida. Proses perpindahan kalor pada kebanyakan HE terjadi secara indirect
contact. Perpindahan panas terjadi melalui dinding pemisah dan idealnya tidak
terjadi pencampuran fluida sedikitpun. Beberapa contoh HE yang sering digunakan adalah shell-and-tube eexchanger, radioator kendaraan, kondensor, evaporator, pemanas air dan cooling tower.
Gambar 2.1 (a) Individually fined tube; (b) flat fined tube [Shah, 2003].
Berdasarkan konstruksinya HE dibagi menjadi tubular, plate-type,
extended surface dan regenerative. Dari keempat jenis tersebut, extended surface
HE memiliki performa yang paling tinggi. Extended surface adalah penambahan permukaan perpindahan kalor (fins) sebanyak 5 sampai 12 kali permukaan utama tergantung pada designnya. Design extended surface HE yang paling sering digunakan adalah fin and tube heat exchanger. Berdasarkan jenis sirip yang digunakan, dapat dilihat pada Gambar 2.1, FTHE dibagi menjadi dua jenis, yaitu
individually fined tube dan flat fined tube. Pembuatan individually fined tube
biasanya lebih rumit daripada pembuatan flat fined tube, oleh karena itu sering kali pembuatan flat finned tube membutuhkan biaya produksi yang relative lebih rendah. Pada FTHE biasanya perpindahan kalor terjadi antara dua fluida melalui proses konduksi melalui tube dan fin. Pada dasarnya kerapatan fin bermacam – macam mulai dari 250 sampai dengan 800 fins per meter, ketebalannya mulai dari 0,08 sampai dengan 0,25 mm dan jarak aliran mulai dari 25 sampai dengan 250 mm. FTHE digunakan saat salah satu aliran fluida memiliki tekanan yang lebih tinggi atau pada salah satu fluida memiliki koefisien perpindahan kalor yang lebih tinggi. Oleh karena itu, FTHE banyak digunakan sebagai kondensor pada pembangkit listrik, air-cooled exchanger pada kegiatan industry, pendingin oli pada propulsive power plant dan kondensor dan evaporator pada air conditioning dan refrigeration system.
2.2 Vortex Generator
Vortex generator adalah permukaan tambahan yang dapat membentuk vortices dengan arah parallel terhadap aliran utama. Vortices terbentuk karena
adanya strong swirling dari secondary flow, yang diakibatkan oleh flow
separation dan gesekan pada fluida. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi flow separation dan gesekan adalah adanya pengurangan tebal boundary layer, aliran
yang tidak stabil dan peningkatan gradien temperature di sekitar permukaan perpindahan kalor [He et al, 2012]. Pada Gambar 2.2 ditunjukkan beberapa jenis
Gambar 2.2 Vortex generator jenis wing dan winglet [He dan Zhang, 2012].
Pada penelitian ini vortex generator dibagi menjadi dua jenis, yaitu jenis
wing dan jenis winglet. Jenis wing adalah vortex generator yang diposisikan tegak
lurus dengan arah aliran, sedangkan jenis winglet adalah vortex generator yang diposisikan dengan sudut tertentu pada garis yang sejajar dengan arah aliran. Belum ada klasifikasi yang benar – benar jelas mengenai jenis – jenis vortex
generator. Masih banyak penelitian dilakukan untuk semakin mendalami
karakteristik masing – masing vortex generator. Biasanya pada penelitian – penelitian sebelumnya, vortex genenerator digolongkan berdasarkan nama, kemiripan bentuk geometri dan kemiripan karakteristik kerjanya. Pada bagian ini hanya dibahas mengenai vortex generator jenis winglet karena penelitian ini hanya dilakukan pada lingkup vortex generator jenis winglet.
Penggunaan vortex generator dapat memicu terbentuknya vortex dan
secondary flow. Pada Gambar 2.3 ditunjukkan, vortex dan secondary flow
terbentuk karena perbedaan tekanan antara fluida sebelum melewati delta winglet dan setelah fluida melewati delta winglet. Vortex dapat menngintervensi aliran fluida dan mengurangi tebal boundary layer. Gambar 2.4 menunjukkan vector kecepatan pada penampang tanpa dan dengan vortex generator. Terlihat jelas terjadi resirkulasi aliran yang luas di belakang tube yang berdampak pada menurunnya performa perpindahan kalor. Dengan menggunakan vortex generator, terdapat ruang seperti nozzle antara tube dan vortex generator. Kecepatan fluida
meningkat pada daerah tersebut dan menunda terjadinya separasi aliran. Dengan begitu ukuran daerah wake dan drag yang terbentuk semakin berkurang. Dapat dikatakan, penggunaan vortex generator tidak hanya memicu terbentuknya
longitudinal vortex tetapi juga memicu terbentuknya nozzle-like acceleration zone
yang dapat mengurangi ukuran wake di belakang tube.
Gambar 2.3 Visualisasi vektor kecepatan aliran yang tegak lurus dengan arah aliran pada simulasi yang dilakukan oleh He dan Zhang, 2012.
Gambar 2.4 Visualisasi vektor kecepatan aliran fluida pada (A) plain fin dan (B) dengan menggunakan vortex generator [He dan Zhang, 2012].
Gambar 2.5 menunjukkan distribusi temperatur yang simetri pada plain
fin dan asimetri pada penggunaan vortex generator. Bentuk asimetri diakibatkan
fluida. Terjadi peningkatan gradien temperatur pada penggunaan vortex generator dan menghasilkan temperatur outlet yang lebih tinggi daripada plain fin. Dapat dikatakan terjadi peningkatan perbedaan temperature antara inlet dan outlet. Dengan begitu nilai perpindahan kalor yang terjadi pada penggunaan vortex
generator lebih tinggi daripada plain fin.
Gambar 2.5 Distribusi temperatur penampang vertikal pada (A) plain fin dan (B) dengan menggunakan vortex generator [He dan Zhang, 2012].
Gambar 2.6 Distribusi temperature permukaan fin pada (A) plain fin dan (B) menggunakan vortex generator [He dan Zhang, 2012].
Gambar 2.6 menunjukkan distribusi temperature pada permukaan fin. Gradien temperatur di belakang tube pada penggunaan vortex generator lebih tinggi daripada plain fin. Pada lokasi yang sama, temperatur lokal dengan penggunaan vortex generator lebih rendah daripada plain fin. Temperatur rata – rata fin juga lebih rendah karena penggunaan vortex generator. Dapat disimpulkan, penggunaan vortex generator dapat meningkatkan besarnya perpindahan kalor dan koefisien perpindahan kalor yang berdampak pada meningkatnya performa perpindahan kalor.
2.3 Klasifikasi Aliran
Dalam analisa aliran fluida, densitas merupakan poin yang terpenting untuk diperhitungkan dan fluida diasumsikan sebagai partikel yang terus bergerak terhadap ruang dan waktu. Dengan begitu fluida dapat dikatakan sebagai
continuum, yaitu asumsi bahwa terdapat jarak antar molekul yang sangat jauh jika
dibandingkan dengan ukuran molekulnya tetapi tidak akan mempengaruhi sifat molekulnya secara signifikan [Atkins, 2013]. Secara umum aliran fluida dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Gambar 2.7 Bagan klasifikasi aliran secara umum [White, 2003]. Aliran Fluida Viscous Inviscid Laminar Turbulent Compressible Incompressible External Internal
2.3.1 Aliran Viscous dan Inviscid
Pada dasarnya setiap fluida memiliki viskositas
tertentu, tetapi utnuk beberapa kasus, viskositas fluida dapat diabaikan. Aliran yang diperhitungkan dengan mengabaikan viskositasnya
0
adalah aliran non-viskos. Untuk aliran dengan viskositas yang diperhitungkan disebut aliran viskos. Viskositas sendiri adalah nilai besarnya resistensi fluida trhadap aliran [White, 2011]. Viskositas menentukan besarnya regangan yang terjadi pada fluida akibat tegangan geser yang diterima.Gambar 2.8 Skema pembagian daerah viscous dan inviscid pada flat plate menggunakan bilangan Reynolds rendah [White,2011].
Gambar 2.9 Skema pembagian daerah viscous dan inviscid pada flat plate menggunakan bilangan Reynolds tinggi [White, 2011].
Dari Gambar 2.8 dan 2.9 berlaku: x x x x x Re 10 ulen turb Re 16 . 0 10 Re 10 laminar Re 0 . 5 6 7 1 6 3 2 1 (2.1)
Untuk memperhitungkan pengaruh viskos fluida dapat digunakan analisa lapisan batas atau biasa disebut boundary layer analysis. Pada Gambar 2.8, aliran
U bergerak parallel menuju plate sepanjang L. Jika bilangan Reynolds sebesar
v
UL termasuk dalam bilangan Reynold rendah, maka daerah viskos menjadi sangat luas sampai pada ujung belakang plate. Plate mengurangi laju aliran dengan siknifikan dan perubahan kecil pada parameter aliran menyebabkan perubahan yang besar pada distribusi tekanan yang diterima plate. Tidak terdapat teori sederhana untuk analisa aliran eksternal pada bilangan Reynolds 1 sampai 1000. Untuk mempelajari fenomena pergeseran lapisan aliran yang tebal dilakukan melalui eksperimen atau pemodelan numerik dari aliran fluida menggunakan computer. Pada aliran dengan bilangan Reynolds tinggi, lapisan viskos laminar maupun turbulen menjadi sangat tipis, lebih tipis dari yang digambarkan pada Gambar 2.9. Tebal lapisan batas sebagai daerah dengan kecepatan u parallel terhadap plate mencapai 99 persen dari seluruh kecepatan aliran fluida U .
2.4 Fully Developed Flow
Pengaruh viskos pada aliran fluida akan semakin meningkat secara perlahan – lahan sampai seluruh aliran menjadi aliran viskos atau bisa disebut
fully developed flow. Pada awalnya aliran inviscid mengalir melalui entrance region. Pada entrance region terjadi peningkatan viscous boundary layer,
berakibat menghambat aliran aksial u yang bergesekan dengan dinding dan berdampak pada meningkatnya kecepatan aliran pada bagian center-core aliran sesuai dengan syarat kontinuitas incompressible.
const
udA
Q (2.2)
Setelah melalui entrance region aliran menjadi fully developed flow. Dapat dilihat pada Gambar 2.4.1, pada daerah aliran tersebut kecepatan aksial berubah sampai pada xLe tidak berubah terhadap x dan u u
r . Pada bagiane
L
x kecepatan menjadi konstan, tegangan geser pada dinding menjadi konstan dan pressure drop menjadi linear terhadap x .
Gambar 2.10 Ilustrasi terbentuknya fully developed flow [White, 2011].
Dimensional analysis menunjukkan bilangan Reynold adalah satu –
d,V,,
f Le dengan A Q V (2.3) maka, g Vd g
Re d Le (2.4)Untuk aliran laminar, korelasi yang dapat diterima adalah
Re 06 . 0 d Le laminar (2.5)
Entrance length maksimal untuk aliran laminar pada Red,crit 2300 adalah
d Le 138 .
Pada aliran turbulen, boundary layer terbentuk dengan lebih cepat dan e
L relatif lebih pendek, tergantung pada kekasaran permukaan dindingnya
6 1 Re 4 . 04 d e d L turbulen (2.6)
Beberapa perhitungan Le pada aliran turbulen adalah sebagai berikut Tabel 2.1 Tabel beberapa perhitungan Le pada aliran turbulen d
Re 4000 104 105 106 107 108
d
Le 18 20 30 44 65 95
Jika Le sampai dengan 44 kali diameter maka dapat menjadi terlalu panjang, tetapi pada pengaplikasiannya besarnya Le d dapat mencapai 1000 bahkan lebih.
Untuk beberapa kasus, pengaruh entrance dapat diabaikan dan analisa yang lebih sederhana dapat diaplikasikan untuk fully developed flow. Hal tersebut dapat
diaplikasikan pada aliran laminar maupun turbulen, termasuk dinding yang kasar dan penampang yang tidak circular.
2.5 Aliran Laminar dan Turbulen
Bentuk aliran fluida dapat berubah sesuai dengan parameter yang mempengaruhinya. Aliran yang halus dan teratur disebut aliran laminar, sedangkan saat aliran berfluktuasi disebut aliran turbulen. Kondisi aliran saat mulai berubah dari laminar ke turbulen atau sebaliknya disebut aliran transisi. Perubahan aliran terjadi dikarenakan beberapa faktor, misalnya kekasaran dinding atau fluktuasi pada bagian inlet. Aliran dengan bilangan Reynolds rendah adalah aliran yang halus dan laminar, dengan bagian tengah aliran bergerak lebih cepat dan lebih lambat pada bagian dinding. Aliran dengan bilangan Reynolds tinggi adalah aliran turbulen yang tidak steady dan acak, tetapi pada saat aliran turbulen telah membentuk pola tertentu maka dapat dikatakan steady dan dapat diprediksi.
Parameter utama yang mempengaruhi bentuk aliran adalah bilangan Reynolds. JikaRe UL v, dengan U adalah kecepatan rata – rata aliran dan L
adalah lebar aliran atau transverse thicness dari shear layer, maka range bilangan Reynolds dapat digolongkan sebagai berikut:
0 < Re < 1 : laminar highly viscous “creeping” motion 1 < Re < 100 : laminar, strong Re dependence
100 < Re < 103 : laminar, teori boundary layer dapat digunakan 103 < Re < 104 : tansisi menuju turbulen
104 < Re < 106 : turbulen, moderate Re dependence 106 < Re < ∞ : turbulen, slight Re dependence
2.6 Aliran Internal dan Eksternal
Aliran laminar dan turbulen dapat terjadi pada aliran internal maupun eksternal. Aliran internal adalah aliran yang dibatasi oleh dinding dan memiliki pengaruh viscous yang dapat terus meningkat sampai mempengaruhi seluruh aliran. Pada bagian 2.4 telah dibahas lebih lengkap mengenai aliran internal dan pada bagian 2.3 telah sedikit dibahas mengenai aliran eksternal. Aliran eksternal
adalah aliran yang tidak terbatas oleh dinding apapun, ruang lingkupnya dapat terus bertambah tanpa batasan peningkatan tebal viscous layer. Walaupun teori
boundary layer dapat membantu dalam melakukan perhitungan aliran eksternal,
tetapi untuk beberapa kasus dengan geometri yang kompleks dibutuhkan data eksperimental dari gaya dan momentum yang disebabkan oleh aliran tersebut. Aliran eksternal sering ditemui pada bidang aerodinamika, hidrodinamika, transportasi, wind engineering dan ocean engineering.
Gambar 2.11 Skema (a) prediksi aliran ideal dan (b) aliran sebenarnya pada fluida yang mengalir melalui sebuah silinder pejal [White, 2011].
Pada Gambar 2.11, walaupun menggunakan bilangan Reynold tinggi masih terdapat ketidaksesuaian pada konsep viscous-inviscid yang telah dibahas. Prediksi aliran ideal dengan skema pada Gambar 2.11 (a), jika menggunakan bilangan Reynolds tinggi maka terdapat boundary layer yang tipis di sekitar silinder dan terdapat boundary layer yang sempit di bagian belakang. Setelah dilakukan eksperimen, didapatkan skema aliran yang sebenarnya yaitu sesuai dengan Gambar 2.11 (b), yang menunjukkan terbentuknya boundary layer tipis di
bagian depan sampai dengan bagian samping silinder. Pressure drop terjadi selama aliran melewati permukaan silinder, tetapi di bagian belakang, boundary
layer mengalami peningkatan tekanan yang berakibat terpecahnya aliran dan
memicu terbentuknya wake. Aliran utama mengalami defleksi karena adanya
wake, maka dari itu aliran eksternal berbeda dari prediksi menggunakan teori inviscid [White, 2011].
2.7 Performa Heat Exchanger
Untuk melakukan analisa performa heat exchanger diperlukan beberapa parameter yang merepresentasikan karakteristiknya. Analisa aliran fluida pada
heat exchanger dilakukan menggunakan parameter bilangan Reynolds, pressure drop dan friction factor, sedangkan analisa perpindahan kalor dilakukan
menggunakan parameter harga perpindahan kalor, bilangan Nusselt dan Colburn
factor.
2.7.1 Bilangan Reynolds
Bilangan Reynolds adalah bilangan tak berdimensi yang menjadi parameter utama pada perhitungan karakteristik viscous seluruh fluida newtonian. Bilangan Reynolds menyatakan rasio gaya inersia terhada gaya viscous pada fluida yang dapat dituliskan:
umDh
Re (2.7)
dengan adalah massa jenis fluida dalam kg/m3, um adalah kecepatan rata – rata fluida dalam m/s, Dh adalah hydraulic diameter dalam meter dan adalah viskositas dinamis fluida dalam Pa·s.
Pada bilangan Reynolds tinggi, gaya inersia relatif lebih besar dari gaya
viscous, oleh karena itu, gaya viscous tidak dapat menahan fluktuasi yang terjadi
terbentuklah aliran turbulen. Pada bilangan Reynolds rendah, gaya viscous lebih besar daripada gaya inersia, dengan begitu gaya inersia tidak dapat memicu terjadinya fluktuasi karena tertahan oleh adanya gaya viscous yang lebih besar dan terbentuklah aliran laminar. Bilangan Reynolds pada saat aliran berubah menjadi turbulen disebut bilangan Reynolds kritis. Nilai bilangan Reynolds kritis berbeda – beda sesuai dengan geometrinya. Pada dasarnya nilai bilangan Reynolds kritis dapat berubah sesuai dengan tingkat turbulensi pada bagian free stream.
2.7.2 Fanning friction factor dan pressure drop
Fanning friction factor adalah rasio tegangan geser pada dinding
terhadap energi kinetik aliran fluida per satuan volume. Fanning friction factor merepresentasikan gesekan pada permukaan dinding, bersangkutan dengan perpindahan kalor konveksi yang terjadi pada suatu permukaan. Friction factor berbanding terbalik dengan bilangan Reynolds pada fully developed flow [Shah, 2003]. Fanning friction factor dapat dituliskan dengan persamaan berikut:
min 2 2 A A V P f T m (2.8)
Notasi P adalah pressure drop dalam satuan pascal, besarnya pressure drop yang terjadi dihitung berdasarkan selisih tekanan inlet dengan tekanan outlet atau dapat dituliskan: outlet inlet P P P (2.9)
Notasi adalah densitas fluida dalam satuan kg/m3, Vm adalah kecepatan rata – rata pada bagian inlet dalam satuan m/s, AT adalah luas permukaan perpindahan kalor dalam satuan m2 dan
min
A adalah luas penampang pada bagian inlet dalam satuan m2.
2.7.3 Koefisien perpindahan kalor
Koefisien perpindahan kalor menyatakan besarnya kalor yang dapat diterima fluida atau convective heat flux (q”) per satuan perbedaan temperatur antara temperatur wall dan temperature fluida (Tw – Tm).
Besarnya koefisien perpindahan kalor dapat dituliskan sebagai berikut:
) (Tw Tm q h (2.10)
dengan q dalam satuan W m2 dan
Tw Tm
dalam satuan kelvin.Fenomena perpindahan kalor dan aliran yang kompleks untuk suatu permukaan yang mengalami perpindahan kalor mengacu pada harga h, maka dari itu besarnya harga koefisien perpindahan kalor akan dipengaruhi oleh berbagai variabel atau kondisi kerjanya. Beberapa variabel yang dapat mempengaruhi harga h adalah fase fluida (single-phase, multiphase, kondensasi, evaporasi), bentuk aliran (laminar, transisi, turbulent), geometri aliran fluida, karakteristik fluida (jenis fluida yang digunakan), flow and thermal boundary condition, tipe konfeksi (free atau forced), heat transfer rate, perbedaan temperature wall pada luasan penampang aliran tertentu, viscous dissipation, dan parameter atau variable yang lain sesuai dengan jenis alirannya.
2.7.4 Bilangan Nusselt
Bilangan Nusselt adalah rasio harga perpindahan kalor konveksi (h) dengan harga konduksi termal suatu molekul pada hydraulic diameter tertentu (k/Dh). Persamaan bilangan Nusselt dapat dituliskan sebagai berikut:
h D k h Nu (2.11)
dengan h adalah koefisien perpindahan kalor dalam W m2K, k adalah
konduktivitas termal fluida dalam W mK dan Dh adalah hydraulic diameter dalam meter.
Pada aliran laminar, thermal boundary condition dan geometri aliran fluida sangat berpengaruh terhadap besarnya bilangan Nusselt, tetapi parameter tersebut hanya memberi pengaruh kecil pada aliran turbulen. Bilangan nusselt memiliki nilai yang konstan pada fully developed laminar flow. Pada fully
developed turbulent flow, bilangan Nusselt bergantung pada besarnya bilangan
Reynolds dan bilangan Prandtl. Dengan memperhitungkan thermal boundary
condition, geometri aliran dan jenis aliran, besarnya bilangan Nusselt juga dapat
dipengaruhi oleh fase fluida, sifat fisis fluida dan tipe konveksinya.
2.7.5 Colburn factor
Colburn factor adalah modifikasi dari bilangan Stanton yang
dipergunakan untuk memperhitungkan bilangan Prandtl pada fluida. Berbeda dengan bilangan Stanton yang bergantung pada besarnya bilangan Prandtl fluida,
Colburn factor j bersifat lebih independen untuk fluida dengan 0,5Pr10 untuk aliran laminar dan turbulen. Hasil data j vs Re dari perhitungan heat
exchanger yang menggunakan udara dapat digunakan untuk memperhitungkan heat exchanger yang menggunakan air pada beberapa kasus tertentu. Colburn factor dapat didefinisikan sebagai berikut:
3 2 Pr St j (2.12)
dengan St adalah bilangan Stanton tak berdimensi dan Pr adalah bilangan Prandtl tak berdimensi.
Bilangan Stanton merepresentasikan koefisien perpindahan kalor dengan nilai yang tidak berdimensi. Bilangan Stanton didefinisikan sebagai berikut:
p mc V h St (2.13)
dengan h adalah koefisien perpindahan kalor dalam W m2K, adalah densitas fluida dalam satuan kg/m3, Vm adalah kecepatan rata – rata pada bagian
inlet dalam satuan m/s dan cp adalah kalor spesifik dalam J kgK . Bilangan Stanton juga dapat dikatakan sebagai rasio perpindahan kalor konveksi terhadap perubahan entalpi pada fluida kerja.
Bilangan Prandtl menyatakan rasio difusivitas momentum terhadap difusivitas termal fluida. Bilangan Prandtl dapat dituliskan sebagai berikut:
k cp
Pr (2.14)
dengan adalah viskositas dinamis fluida dalam Pas, cp adalah kalor spesifik dalam J kgK dan k adalah konduktivitas termal fluida dalam W mK.
2.8 Persamaan Dasar Aliran Fluida dan Perpindahan Kalor
Persamaan aliran fluida merepresentasikan pernyataan matematika dari hukum kesetimbangan. Massa fluida adalah tetap, besarnya perubahan momentum sama dengan jumlah total gaya pada partikel fluida (hukum ke dua Newton) dan perubahan energi sama dengan jumlah total kalor yang ditambahkan dan kerja yang dilakukan oleh partikel fluida (hukum pertama termodinamika). Fluida akan dianggap sebagai satu kesatuan atau satu rangkaian. Pada analisa aliran fluida secara makroskopis (≥ 1 µm), struktur molekul fluida dapat diabaikan [Versteeg dan Malalasekera, 1995]. Karakteristik fluida secara makroskopis dapat ditentukan melalui kecepatan, tekanan, densitas dan temperature, dan turunan ruang dan waktu.
Suatu elemen fluida dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.12 Skema satu elemen fluida [Versteeg dan Malalasekera, 1995].
Karena ukuran elemen fluida sangat kecil maka karakteristik fluida pada permukaannya dapat di perhitungkan dengan cukup akurat. Misalnya saja tekanan pada permukaan E dan W, yang jaraknya 1/2δx dari pusat elemen dapat dituliskan
dengan x x p p 2 1 dan x x p p 2 1 . 2.8.1 Kesetimbangan Massa
Langkah pertama dalam menderivasikan persamaan kesetimbangan massa adalah menuliskan kesetimbangan massa fluida, yaitu meningkatnya massa elemen fluida sama dengan neto aliran massa ke elemen fluida. Besarnya peningkatan massa elemen fluida adalah
z y x t z y x t ) ( (2.15)
Selanjutnya perlu dituliskan laju aliran massa yang melewati permukaan elemen fluida yaitu produk dari komponen densitas, luasan dan kecepatan tegak lurus dengan permukaan.
Gambar 2.13 Skema aliran massa yang keluar dan masuk pada satu elemen fluida [Versteeg dan Malalasekera, 1995].
Dari Gambar 2.13 dapat dituliskan aliran massa yang melalui satu elemen fluida adalah sebagai berikut:
y x z z w w y x z z w w z x y y v v z x y y v v z y x x u u z y x x u u 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1Aliran yang masuk ke elemen fluida menghasilkan peningkatan massa dan diberi tanda positif sedangkan aliran yang meninggalkan elemen fluida diberi tanda negatif.
Besarnya peningkatan jumlah massa di dalam elemen (2.15) diperhitungkan bersama dengan besarnya neto aliran massa yang masuk ke elemen fluida melalui permukaannya. Dengan menuliskan hasil kesetimbangan massa di sebelah kiri tanda sama dengan dan dibagi dengan volume elemen fluida
z y
x
0 z w y v x u t p (2.16)dalam notasi vektor yang lebih singkat dapat dituliskan:
0 u div t (2.17)Persamaan (2.17) adalah untuk aliran unsteady, three-dimensional mass
conservation or continuity equation di satu titik pada fluida compressible. Notasi
t
adalah perubahan densitas per satuan waktu (massa per satuan volume) dan notasi div
u mendeskripsikan neto aliran massa yang keluar dari elemen fluida.Untuk fluida incompressible nilai densitas besarnya konstan, maka persamaan (2.17) menjadi
0
u
div (2.18)
dalam bentuk yang lebih panjang dapat dituliskan
0 z w y v x u (2.19)
2.8.2 Besarnya Perubahan Partikel Fluida pada Elemen Fluida
Hukum kekekalan momentum dan energi berhubungan dengan perubahan karakteristik partikel fluida. Karakteristik suatu partikel fluida dinyatakan dengan fungsi posisi (x, y, z) dan waktu t dari partikel itu sendiri. Nilai karakteristik per satuan massa dinotasikan sebagai
. Turunan
terhadap waktu pada satu partikel fluida dituliskan sebagai berikutt dz z t dy y t dx x t Dt D (2.20)
Suatu partikel fluida akan mengikuti alirannya, maka dx/dtu, dy/dtv, dan
w dt
dz/ . Maka dari itu turunan sebenarnya dari
adalah . grad t z w y v x u t Dt D u (2.21) Dt
D mendefinisikan perubahan karakteristik
per satuan massa. Tidak hanya per satuan massa, perubahan karakteristik
dapat dinyatakan per satuan volume. Besarnya perubahan karakteristik
per satuan volume untuk suatu partikel fluida dapat dihitung dari produk D Dt dan densitas yang dapat dituliskan: grad . t Dt D u (2.22)
Pada persamaan kekekalan massa terdapat perhitungan massa per satuan volume
yang memiliki kuantitas tertentu. Jumlah total besarnya perubahan densitas dalam persamaan kesetimbangan massa (2.17) untuk satu elemen fluida adalah div
ut
. Secara umum, karakteristik tertentu yang dapat berubah –
ubah dapat dituliskan dengan
div
u
t
yang mendefinisikan besarnya perubahan
per satuan volume ditambah neto aliran
yang keluar dari elemen fluida per satuan volume. Dapat ditulis kembali untuk mengilustrasikan hubungannya dengan turunan substantif dari
adalah
Dt D div t grad t div t u u u (2.23)Hasil dari perhitungan
tdiv
u
sama dengan nol dikarenakan hukum kekekalan massa. Dapat dituliskan bahwa relasi (2.23) menyatakanGambar 2.14 Ilustrasi pembacaan relasi (2.23) [Versteeg dan Malalasekera, 1995].
Untuk mebangun tiga komponen persamaan momentum dan energi, nilai
input yang relevan untuk
dan besarnya perubahan per satuan volume yang dituliskan pada persamaan (2.22) dan (2.23) adalah sebagai berikut:Tabel 2.2 Nilai input yang relevan untuk
[Versteeg dan Malalasekera, 1995]x-momentum U Dt Du
div
uu
t u y-momentum V Dt Dv
div
vu t v z-momentum W Dt Dw
div
wu
t w Energy E Dt DE
div
Eu
t E Seluruh bentuk konservatif dan non-konservatif dari besarnya perubahan yang terjadi dapat digunakan untuk menyatakan kesetimbangan kuantitas secara fisis.