• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Semua manusia itu pastilah mempunyai KAHAYANG (keinginan), mulai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Semua manusia itu pastilah mempunyai KAHAYANG (keinginan), mulai"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semua manusia itu pastilah mempunyai “KAHAYANG” (keinginan), mulai dari hal yang kecil sampai pada tingkat khayalan yang terkadang tidak bisa dijangkau dengan logika. “KAHAYANG” yang menggebu-ngebu dan tidak dibarengi dengan kesadaran akan batas kemampuan, hanya akan menjerumuskan pada kesesatan yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Tak ada yang salah ketika orang mempunyai ambisi, tetapi yang menjadi tidak baik ketika ambisi itu menjadi “ambisius”.

“KAHAYANG” memang harus dimiliki oleh setiap manusia, karena akan menjadi cambuk atau semangat untuk terus hidup secara manusiawi. Kita tidak boleh hanya pasrah, tetapi harus terus berikhtiar baik dalam bentuk tindakan ataupun do’a, namun tindakan ini haruslah terus berada di jalan yang benar, jalan yang diperintakan oleh pemilik kehidupan, jangan sampai menghalalkan segala cara. Di sisi lain, kita tidak boleh menyerah, tetap berprasangka baik, hargai proses, karena proses itu merupakan pembelajaran yang berharga dan tidak lupa tetap bersyukur terhadap apa yang didapatkan, meskipun yang sudah dicapai belum sesuai dengan keinginan.

Tak ada manusia yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, ia selalu memerlukan bantuan orang lain. Kebutuhan itu “fitrah” bagi manusia sebagai hamba Tuhan yang memliki kekurangan dan selalu membutuhkan orang lain

(2)

dalam berbagai keperluannya. Pola hidup semakin tak terbendung dengan berbagai kebutuhan yang ditandai juga dengan semakin meningkatnya kebutuhan manusia itu sendiri. Pada zaman dulu kebanyakan orang mungkin masih bisa menahan hasrat keinginannya dalam berbagai keperluan, tetapi sekarang sangat bertolak belakang. Munculnya keinginan karena merasa butuh sesuatu, oleh karenanya manusia dengan segala daya upayanya untuk bisa memenuhi kebutuhan tersebut.

Sekaitan dengan keinginan tersebut, muncul harapan agar kebutuhannya bisa terpuaskan. Rasa puas itu tiap orang berbeda-beda, dikarenakan harapan orang yang satu dengan yang lain juga berbeda. Ada yang mengharapkan keinginannya bisa tercapai cukup sedikit dan dengan itu dia sudah bisa sangat merasa bersyukur, sedangkan yang lain berharap agar keinginannya tercapai harus mendapat banyak agar dia meluapkan rasa puasnya dengan berbagai macam kegiatan. Harapan dan keinginan bisa menjadi satu kesatuan, tergantung dari mana memandang sudut ukurnya. Akan tetapi, pada prinsipnya keinginan dan harapan harus disadari oleh manusia, karena lebih sadar dengan fitrahnya memerlukan sesuatu dan agar bisa mencapai yang diinginkannya.

Namun apabila keinginan tidak sesuai dengan harapan sejatinya setiap manusia memiliki berbagai rencana masa depan, baik dalam hal prestasi belajar, pekerjaan, karir, jodoh maupun rencana-rencana yang menjadi impian setiap insan. Kenyataanya, Allah telah mencatat mulai dari jabang bayi berusia 4 bulan dalam rahim seorang ibu, ketika roh manusia ditiupkan, tentang usianya, hidupnya, rezekinya, jodohnya, kebahagiaan kah, kesedihan kah hingga maut

(3)

yang menjadikan calon manusia itu berakhir dengan baik (husnul hotimah) atau kah berakhir dalam keburukan (suul khotimah). Setelah Allah mentakdirkan bayi tersebut lahir ke dunia, maka atas janjinya pada Allah SWT, ia pun menjalankan rutinitas kehidupannya hingga akhir maut menjelang.

Sebagai manusia yang masih menempuh separuh perjalanan hidup di dunia penuh ujian, adakalanya kita temukan liku-liku hidup sebagai ujian di pertengahan, baik kebahagiaan maupun kepedihan. Masalah yang diluar kendali manusia akan membuat manusia sadar, bahwa dirinya pun makhluk kecil tak berdaya berada dalam pengawasan Allah, bahkan nyawa yang dimiliki pun hanya sebuah titipan. Setiap manusia memiliki cita-cita hidup, mendapat kemuliaan di jalan-Nya. Ketika sebuah harapan dan cita-cita hidup tak sesuai dengan apa yang digariskan, maka hendaknya berkaca bahwa semua yang dijalani ini adalah episode kehidupan yang mesti dilalui.

Secara umum, “KAHAYANG” menyiratkan kekurangan atau kemiskinan karena manusia tidak akan pernah merasa puas akan apa yang sudah didapatkannya. Begitu pula yang dialami oleh penata secara pribadi saat ini sedang mempunyai keinginan (kahayang; Sunda), yaitu mendambakan kehadiran sosok ayah yang telah hilang dari kehidupan keluarga, seperti yang dijelaskan oleh Rizki Muliani Nasution dalam bukunya berjudul “Cinta Untuk Ayah” menjelaskan, bahwa: “Kasih sayang dan pengertian kepada anak sangat penting dalam suatu keluarga. Tidak semua hal bisa di nilai dengan uang. Apapun keadaan yang kita alami, jangan pernah lupa untuk berdoa dan berserah diri kepada tuhan” (2013: 117).

(4)

Bagi penata, sosok ayah tidak kalah pentingnya dengan sosok seorang ibu, Pada dasarnya seorang anak bisa terlahir kedunia dikarenakan adanya ayah dan ibu. Dalam hal ini, ayah dan ibu memiliki peran yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama. Seorang ayah berperan sebagai pemimpin keluarga tidaklah mudah, ayah harus bisa menafkahi, mendidik, dan melindungi keluarganya dengan penuh rasa tanggung jawab yang sangat besar, sedangkan peran ibu ta’at dan patuh terhadap suami, mendidik dan menjaga anak agar menjadi anak yang berbakti terhadap diri sendiri, orang tua, agama, dan negaranya. Mengenai peran orang tua ini Eidelweis Almira dalam bukunya berjudul “Papah, Kasih Sayang Yang Terlupakan” menjelaskan, sebagai berikut:

Seorang ayah tak akan begitu nampak cintanya. Ia selalu menyembunyikan cintanya di balik kelembutan ibu. Rindunya senantiasa terpendam di balik ketegasannya. Kasihnya akan terlihat setelah ia tiada. Kasih sayang yang sejati di balik kekerasannya, mendidik, menjadikan anak-anaknya manusia. Pesannya akan tersimpan saat kita mengenang kalimat-kalimat pedasnya untuk kita sebagai anak yang selalu ingin dijaga dan diayominya. Sayangnya begitu yang bisa berarti dan berguna. Cintanya sangat utuh bisa kita rasakan ketika ia telah meninggalkan kita selamanya” (2013: 240). Hidup ini ternyata penuh dinamika, itulah yang penata rasakan ketika ayah sudah tidak lagi hidup bersama keluarga karena konflik berkepanjangan dengan ibu yang diakhiri oleh perceraian di antara mereka. Maka sebagai anak, penata hanya mampu memendam berbagai perasaan/emosi yang tidak mampu dikeluarkan dihadapan keluarga; marah, benci, iri, kesal, kasihan, tetapi juga sekaligus rindu kepadanya. Namun, semua itu hanya bergejolak dalam hati, dan akhirnya penata memilih jalan sendiri.

Pengalaman hidup tersebut, bagi penata memiliki arti tersendiri dalam menjalani kehidupan sebagai anak dalam sebuah keluarga. Begitu penting

(5)

kehadiran sosok seorang ayah, bagaimanapun keadaannya, karena kehilangan sosoknya begitu sangat menyakitkan. Nilai kemanusiaan inilah yang menjadi sumber inspirasi sekaligus mengilhami penata untuk membuat sebuah karya tari yang diberi judul “KAHAYANG”. Judul karya tari “KAHAYANG” ini merupakan “majas hiperbola” untuk menggambarkan betapa besarnya keinginan penata untuk mendapat kasih sayang ayah, tetapi tidak pernah berhasil.

Berbagai gejolak perasaan itulah yang akan penata ekspresikan melalui karya penciptaan tari dalam ujian tugas akhir ini, dengan menggunakan metode pendekatan garap penciptaan konsep tradisi. Melalui garapan karya tari “KAHAYANG” ini, penata ingin menyampaikan pesan, bahwa tidak semua “KAHAYANG” bisa diraih.

Karya tari ini akan menjadi sebuah koreografi yang ekspresi pengungkapan geraknya tidak secara naratif, tetapi lebih merupakan ungkapan emosi-emosi yang bersifat ekspresif dengan tetap mempertahankan konvensi-konvensi atau ketetapan sebagai sebuah struktur dari sebuah koreografi tari. Akan tetapi pengertian koreografi terungkap bermacam-macam maknanya dan juga tergantung kepentingan atau penempatannya, sehingga terkadang muncul kesalah pahaman di dalam mengartikan dan menempatkannya. Dalam hal ini Iyus Rusliana dalam bukunya berjudul “Khasanah Tari Wayang” mengatakan, bahwa : “Pengertian koreografi dibatasi secara khas, yaitu koreografi diartikan atau untuk menunjukkan kekayaan gerak yang tersusun dan telah membentuk menjadi sebuah garapan tari” (2001: 41).

(6)

Istilah tari memiliki makna dan definisi yang luas, hal ini disebabkan oleh kehadiran tari dalam kehidupan manusia kiranya sudah sangat lama dan memiliki fungsi yang berbeda-beda tergantung dari masyarakat tempat tari itu tumbuh. Maka tidak heran apabila banyak ahli-ahli tari yang membuat pengertian atau definisi tentang tari dengan penjabaran yang berbeda namun memiliki makna yang hampir sama, salah satunya adalah sebagaimana yang disampaikan oleh R.M Soedarsono dalam bukunya berjudul “Pemahaman Tentang Karya Tari”, bahwa: “Tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan melalui gerak tubuh yang ritmis dan indah” (2007: 24). Dari pernyataan ini sudah jelas bahwa unsur utama dari tari adalah tubuh, tari dapat diibaratkan sebagai bahasa gerak yang merupakan alat ekspresi manusia sebagai media komunikasi yang universal.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan di atas, maka masalah yang dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana ide/gagasan itu dapat diwujudkan ke dalam sebuah karya tari yang berjudul “KAHAYANG” ?

2. Bagaimana dimensi nilai itu diungkapkan secara integral dalam karya tari yang berjudul“KAHAYANG” ?

Atas dasar rumusan masalah tersebut, penata akan mencoba untuk memberi makna dan pesan kemanusiaan di dalam karya tari yang akan digarap. Maka dari itu diharapakn karya tari yang berjudul “KAHAYANG” dapat memberikan pencerahan kepada siapapun yang mengapresiasinya.

(7)

C. Tujuan Penciptaan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut di atas, maka yang menjadi tujuan dari pencipataan karya tari ini adalah sebagai berikut:

1. Terwujudnya ide/gagasan itu ke dalam sebuah karya tari yang berjudul “KAHAYANG”.

2. Tersampaikannya dimensi nilai dalam proses komunikasi estetik dari karya tari yang berjudul “KAHAYANG” terhadap publik apresiator, sehingga di dalamnya terjadi sebuah proses pencerahan.

D. Metode Pendekatan Garap

Untuk mencapai visualisasi garap seperti dimaksud, maka dalam proses pembentukannya penata akan menggunakan metode pendekatan penciptaan konsep tradisi, yaitu dengan melakukan penggalian sumber-sumber tradisi untuk selanjutnya disusun ke dalam struktur bangunan koreografi tari kelompok non-tematik. Oleh karenanya, penyusunan dinamika irama dramatik dibangun dari berbagai ungkapan ekspresi tubuh dalam dimensi suasana yang beragam dan dengan menitikberatkan olahan tenaga, ruang dan waktu.

Berkaitan dengan masalah struktur ini secara gerak penata memilih pola gerak tari yang diambil dari pola gerak cannon, saling mengisi, gerak rampak, kontras, fokus dan dimasukan pengolahan tempo, irama, dinamika gerak, penebalan dan penipisan gerak, peninggian level, penggunaan level tinggi, tengah, rendah yang diolah sedemikian rupa sehingga mendapatkan koreografi yang menjadi struktur dramatik untuk setiap adegan pada penciptaan karya tari “KAHAYANG”.

(8)

Adapun yang menjadi fokus garap, yaitu diambil dari nilai kehidupan manusia, sosok anak yang memiliki keinginan atau “KAHAYANG” atas kehadiran seorang ayah, dengan berbagai gejolak perasaan; marah, benci, kesal, iri, kasihan, penyesalan, tetapi juga sekaligus rindu, yang hanya mampu dipendam dalam hatinya.

Oleh karena itu, “KAHAYANG” sebagai sebuah judul karya tari akan digarap dengan menghadirkan 5 (lima) orang penari putri. Kelima penari tersebut, terkadang muncul sebagai visualisasi anggota keluarga, dan pada bagian lain muncul sebagai visualisasi ungkapan emosi-emosi.

E. Tinjauan Pustaka

Untuk menghindari terjadinya penjiplakan karya seni, maka penata melakukan telahan terhadap beberapa karya tari yang telah digarap dalam ujian tugas akhir oleh para mahasiswa terdahulu yang sekarang sudah menjadi alumni tentunya. Beberapa skripsi karya seni penciptaan yang ditemukan, antara lain:

1. Skripsi karya seni penciptaan berjudul “Fatherlessness”, karya Sherly Lucia, lulus tahun 2013, Jurusan Seni Tari STSI Bandung. Berisi tentang seseorang yang kehilangan figur seorang ayah yang mengakibatkan hilangnya sifat percaya diri atau rendah hati dan ternyata buku ini sangat mendukung pada tulisan/garapan penata;

2. Skripsi karya seni penciptaan berjudul “Kaniaya”, karya Rahmawati Rahayu, lulus tahun 2013, Jurusan Seni Tari STSI Bandung. Berisi tentang pesan moral untuk kaum laki-laki agar lebih menghargai posisi wanita

(9)

seperti ibunya sendiri dan ternyata buku ini sangat mendukung pada tulisan/garapan penata.

Berdasarkan apresiasi penata terhadap beberapa karya penciptaan tari, baik yang menggunakan pendekatan penciptaan konsep tradisi maupun yang non-tradisi tetapi memiliki topik garap yang sama, ternyata berbeda dengan konsep dan visualisasi garap yang sedang dilakukan oleh penata. Oleh karenanya, karya tari dengan judul “KAHAYANG” dengan pendekatan garap penciptaan konsep tradisi yang dikerjakan oleh penata dapat dikatakan “orisinal” atau berbeda dengan karya tari yang sudah ada.

Walaupun demikian, mengingat keterbatasan penata dalam ilmu pengetahuan dan pengalaman, maka untuk pengayaan wacana dalam tulisan ini diperlukan berbagai sumber literatur sebagai acuan, yaitu antara lain:

1. Buku berjudul Komposisi Tari, karya Jacqueline Smith, (terj. Ben Suharto), terbit tahun 1985. Berisi tentang bagaimana seorang pencipta tari membuat karya secara strukturnya dan ternyata buku ini sangat mendukung pada tulisan/garapan penata;

2. Buku berjudul “Menari Menurut Kata Hati” karya Alma M. Hawkin, terbit tahun 2003. Berisi tentang bagaimana cara menciptakan karya tari dengan beberapa tahap yang harus sangat penting untuk dilakukan sebelum menciptakan sebuah karya tari dan ternyata buku ini sangat mendukung pada tulisan/garapan penata;

3. Buku Novel berjudul “Papah, Kasih Sayang Yang Terlupakan”, karya Eidelweis Almira, terbit tahun 2013. Berisi tentang diamnya seorang ayah

(10)

merupakan kasih sayang yang tulus dari seorang ayah dan seorang ayah tidak akan pernah membenci anak-anaknya walaupun anaknya tidak pernah menganggap kasih sayang yang diberikan oleh ayah dan ternyata buku novel ini sangat mendukung pada tulisan/garapan penata;

4. Buku Novel berjudul “Cinta Untuk Ayah”, karya Rizki Muliasni Nasution, terbit tahun 2013. Berisi tentang bahwa kasih sayang kepada anaknya itu sangatlah penting, dan jangan biarkan keegoisan menguasai kita sampai-sampai lupa dengan perasaan anaknya dan ternyata buku ini sangat mendukung pada tulisan/garapan penata;

5. Buku berjudul “Pemahaman Tentang Karya Tari”, karya R.M Soedarsono, terbit tahun 2007. Berisi tentang pemahaman menciptakan sebuah karya tari dan ternyata buku ini sangat mendukung pada tulisan/garapan penata;

6. Buku berjudul “Khasanah Tari Wayang” karya Iyus Rusliana, terbit tahun 2001. Berisi tentang bagaimana cara mendeskripsikan tulisan tentang garapan yang akan dibuat dan ternyata buku ini sangat mendukung pada tulisan/garapan penata;

7. Buku berjudul “Mencipta Lewat Tari” karya Alma M. Hawkin, terbit tahun 2003. Berisi tentang bagaimana cara menjadi seorang koreografer yang kreatif dan ternyata buku ini sangat mendukung pada tulisan/garapan penata.

(11)

F. Rancangan / Sketsa Garap

Adapun rancangan/sketsa garap pada penciptaan karya tari “KAHAYANG” dibagi menjadi 3 aspek, yaitu: Desain Koreografi, Desain Karawitan Tari dan Desain Artistik Tari yang di dalamnya meliputi Rias Busana, Proferti dan Setting 1. Desain Koreografi

Secara koreografis struktur dibangun dengan mengolah tiga dimensi utama, yaitu; tenaga, ruang, dan waktu. Pengolahan atau garap dimensi tenaga diekpresikan melalui pola gerak cannon, saling mengisi, gerak rampak, kontras, fokus, dengan variaasi gerak mengalir/mengalun, bertenanga, patah-patah (stakato). Pengolahan dimensi ruang dijelajahi melalui motip gerak yang terbuka lebar, tertutup mengkerut, alur gerak yang panjang, alur gerak yang pendek, garap leveling; level tinggi, tengah, rendah, dan sebagainya.Pengolahan waktu dijelajahi melalui pengaturan tempo, irama, dinamika gerak, dan sebagainya.Ketiga dimensi itu diolah sedemikian rupa, sehingga mendapatkan koreografi yang menjadi struktur dramatik untuk setiap adegan.akan yang menciptakan kekuatan-kekuatan rasa “KAHAYANG” yang begitu memuncak.Fokus garap di atas akan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :

1.1 Bagian awal:

Menggambarkan perasaan rindu yang mendalam terhadap sosok seorang ayah. Diawali dengan tampilnya siluet sebagai simbolisasi figur ayah (ketika rindu siluet ini sebagai bayangannya), 2 penari stand by di center stage dengan posisi saling membelakangi, posisi pose, masuk siluet sebagai simbolisasi figur ayah dan bergerak perlahan merasakan kerinduan yang amat besar akan sosok ayah.

(12)

Keduanya menari dengan gerakan yang sama, tetapi berlawanan seperti pada hukum cermin.

Pada momen tertentu yang dilakukan oleh penari yang menghadap penonton, penari yang membelakangi penonton keluar dalam posisi berdiri sebagai simbolisasi keluarnya perasaan rindu akan sosok ayah. Kemudian muncul penari yang 1 untuk symbol keluarnya perasaan marah akan keadaan, dan dilanjutkan dengan masuknya 2 orang penari sebagai symbol keluarnya perasaan iri hati terhadap situasi dan keadaan lingkungan sekitar.

Pada waktu tertentu koreografi dan musik dibuat kontras dan berlawanan. Kelima penari terus bergerak bervariasi, baik dalam pengolahan tenaga, ruang, maupun waktu/tempo dan irama dengan intensitas gerak yang berbeda, begitu pula dengan pengolahan gerak kelompok yang berbeda pula.

1.2 Bagian tengah:

Menggambarkan perasaan pemberontakan penata terhadap “kahayang” akan adanya sosok seorang ayah dalam kehidupan penata. Penata sebenarnya tidak menginginkan situasi seperti ini, penata butuh sesosok ayah sebagai panutan, pemimpin serta tempat mencurahkan segala isi hati. Namun, penata sadar akan keadaan yang dihadapi selama ini, keluarga yang tidak harmonis serta kurangnya komunikasi antar keluarga membuat penata harus memilih jalan sendiri. Figur ayah tak pernah mampu hadir, dan yang ada hanyalah sosok ibu, itupun kehadirannya tak pernah jelas/utuh.

Oleh karenanya, pada bagian ini digambarkan sosok ibu, karena bagaimanapun juga sebelum memutuskan untuk jalan sendiri, penata harus

(13)

meminta restu dan ijin kepada ibu, walau berat namun penata harus tetap berjalan. Dinamika irama secara koreografis meningkat lebih cepat temponya sebagai bentuk pemberontakan hati, namun tidak selalu dalam tempo cepat terkadang tempo turun. Pada adegan 2 ini suasananya pemberontakan hati.

1.3 Bagian akhir:

Kecewa, marah, iri hati, sedih pun tidak ada gunanya karena pada siapa penata harus mengadu tidak ada yang bisa dilakukan. “KAHAYANG” kini hanyalah harapan yang tidak akan pernah bisa tercapai sampai kapanpun, sehingga akhirnya memutuskan untuk jalan sendiri tanpa memilih salah satu dari jalan kehidupan ayah ataupun ibu.

2. Desain Musik Tari

Pemilihan garap karawitan untuk mendukung koreografi tari dilandasi berbagai pertimbangan dan kesesuaian dengan kebutuhan garapan, karena tidak setiap musik sesuai untuk kebutuhan tari.Selain itu, musik dalam garapan tari memilki dwifungsi, yaitu: musik yang membungkus/parallel/linier gerakan dan musik yang fungsinya sebagai ilustrasi serta menghidupkan kekuatan suasana dalam membangun struktur irama dramatik karya tari.

Oleh karenanya dalam mengeksplorasi musik, penata tari bersama penata musik terlebih dahulu mendiskusikan konsep garap termasuk memasukkan inspirasi penata supaya musik yang dihasilkan sesuai dengan suasana yang diusung. Berdasarkan hasil diskusi tersebut, maka disepakati bahwa garak music karawitan tari akan menggunakan 1 set gamelan berlaras P/S (pelog/salendro)

(14)

ditambah kendang jaipongan, kecrek, terbang dan suling, rebab, serta vokal sebagai musik ilustrasi pada beberapa adegan yang perlu diperkuat.

3. Desain Artistik Tari

Adapun desain artistik tari dibagi menjadi 3 aspek, yaitu; RiasBusana, Proferti dan Setting.

3.1 Rias-Busana

Rias yang digunakan yaitu rias cantik sebagai dengan ketebalan dan warna memakai warna rias panggung. Adapun busana yang digunakan tidak akan terlepas dari konsep tradisi yang akan dikembangkan menjaadi sesuatu yang unik.

3.2 Setting

Setting terutama difokuskan pada penataan penonjolan penyinaran pada sektor-sektor area pentas tertentu, yaitu pada upright, upleft, downright, downleft, dead center dengan penyinaran tanpa medium. Penyajian garapan ini dituangkan dalam panggung proscenium. Tujuannya adalah memberikan kedalaman dimensi ruang, sehinggapenampilan sosok penarinya tidak menjadi datar.

Dalam penciptaan karya tari “KAHAYANG” ini menggunakan setting siluet yang merupakan simbolisasi figur seorang ayah (ketika rindu siluet ini sebagai bayangannya). Didalam siluet 1 orang laki-laki yang duduk di atas kursi goyang yang berada di atas 2 buah level dan menggunakan baju kampret sambil pegang parudan rokok. Tujuannya agar bagian awal yang dimana suasananya sedang merindukan ayah bisa lebih dimengerti oleh yang mengapresiasi.

Referensi

Dokumen terkait

Dapatan pada Jadual 9 di atas menunjukkan nilai min bagi item rasa tenteram dan tenang hati jika solat fardu di awal waktu secara berjemaah bagi pelajar perempuan pula

Ada beberapa cara untuk membuat tabel sumber data dalam Mail Merge yang nantinya akan digabungkan dengan dokumen surat utama, yaitu menggunakan menu Tools dan

Berdasarkan hasil penelitian, biodiesel optimum yang dihasilkan dari bahan baku CPO pada variasi parameter kondisi reaksi transesterifikasi optimum penelitian ini

2) TOAFL 530 bagi program studi dan/atau Perguruan Tinggi Islam yang mensyaratkan TOAFL sebagai syarat masuk. Pendaftar BPI Program Doktoral Luar Negeri harus memilki

Rahardi (2006: 100-101) menjelaskan, di dalam linguistik, konteks wacana atau teks dapat dibedakan menjadi sedikitnya menjadi tiga. 1) Konteks tuturan (context of utterance),

Luka di kepala Cideranya kepala karyawan saat kerja Kepala terbentur benda kerja (part mobil) Tidak adanya pelindung kepala pada pekerja - Memakai helm (pengaman

Sa pananaliksik na ginawa ni Ferrer, 2012 na pinamagatang”” natuklasan na ang sobrang pag-lalaro ng “online games” ay nakakalikha ng hindi magandang resulta sa atin katulad na

12 Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara secara langsung kepada Juru Pelindung Pengembangan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Gapura Masjid Wali