• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. maka keamanan, manfaat dan mutu obat tradisional harus dipertimbangkan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. maka keamanan, manfaat dan mutu obat tradisional harus dipertimbangkan."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Penelitian

Indonesia adalah negara dengan potensi bahan alam yang besar terutama tumbuhan obat. Indonesia yang beriklim tropis menyebabkan tumbuhnya banyak jenis tumbuhan obat. Meskipun tumbuhan obat aman digunakan, beberapa jenisnya memiliki efek samping dalam pemakaian (Hariana, 2005). Seiring dengan meningkatnya kecenderungan masyarakat dalam penggunaan produk yang berasal dari bahan alam terutama tumbuhan obat untuk pemeliharaan kesehatan, maka keamanan, manfaat dan mutu obat tradisional harus dipertimbangkan.

Standardisasi bahan baku obat tradisional, baik berupa simplisia maupun ekstrak merupakan titik awal yang menentukan kualitas suatu produk. Standardisasi dalam kefarmasian merupakan serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya berupa hal-hal yang terkait mutu kefarmasian dalam memenuhi syarat standar (kimia, biologi, farmasi), termasuk jaminan produk kefarmasian umumnya. Pemerintah dalam hal ini melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan serta melindungi konsumen demi tegaknya trilogi “mutu-keamanan-manfaat” (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

Teknologi telah membawa perubahan secara cepat dan signifikan pada industri farmasi dan obat herbal. Hal tersebut merupakan tantangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang penanganan pascapanen tanaman obat, misalnya teknologi ekstraksi untuk menghasilkan

(2)

ekstrak yang terstandar. Oleh karena itu, penetapan standar mutu ekstrak tumbuhan obat sangat diperlukan untuk menjamin mutu obat tradisional yang dikonsumsi oleh masyarakat.

Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan awal, yaitu tumbuhan obat itu sendiri yang tidak dapat dipisahkan dari faktor biologi. Faktor biologi terdiri atas lokasi, pemanenan, penyimpanan, dan umur serta bagian tumbuhan yang digunakan. Lokasi tumbuhan sendiri berarti lingkungan (tanah dan atmosfer) tempat tumbuhan berinteraksi dengan lingkungan yang berupa energi (cuaca, suhu, cahaya) dan materi (air, senyawa organik dan senyawa anorganik). Variasi lingkungan inilah yang dianggap berpengaruh terhadap kualitas ekstrak tumbuhan obat (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

Rimpang Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe sebagai salah satu tumbuhan berkhasiat secara empiris telah digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan. Penggunaannya antara lain sebagai obat kudis, radang kulit, pencuci darah, perut kembung, dan gangguan lain pada saluran pencernaan serta sebagai obat pembersih dan penguat (tonik) sesudah nifas (Sudarsono dkk., 1996). Ketinggian tempat tumbuh dan tingkat intensitas cahaya berpengaruh terhadap kadar kurkumin rimpang Curcuma xanthorrhiza Roxb. Semakin tinggi tempat tumbuh dan tingkat intensitas cahaya maka kadar kurkumin rimpang temulawak akan semakin rendah (Hakim, 2012). Temulawak dan temu putih merupakan tumbuhan yang memiliki marga yang sama yaitu Curcuma (Heyne, 1950).

Adanya variasi tempat tumbuh mempengaruhi kondisi lingkungan sekitar yang kemungkinan besar dapat mempengaruhi kualitas kandungan senyawa dalam

(3)

tumbuhan (World Health Organization, 2003). Daerah Kalibawang dan Tuksono terletak di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan perbedaan ketinggian tempat yaitu Kecamatan Kalibawang merupakan dataran tinggi, sedangkan desa Tuksono merupakan dataran rendah (Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, 2013). Sementara itu, Kecamatan Tawangmangu di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah merupakan daerah pegunungan yang dikelilingi hutan dan perbukitan (Wikipedia, 2013). Oleh karena itu, penelitian perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh variasi tempat tumbuh terhadap kadar senyawa eugenol pada ekstrak terstandar rimpang temu putih yang berasal dari daerah Kalibawang, Tuksono dan Tawangmangu.

B. Perumusan Masalah

1. Berapa rentang nilai parameter nonspesifik, spesifik dan kandungan senyawa eugenol pada ekstrak rimpang temu putih dari daerah Kalibawang, Tuksono dan Tawangmangu?

2. Bagaimana pengaruh variasi tempat tumbuh terhadap kadar eugenol pada ekstrak terstandar rimpang temu putih dari daerah Kalibawang, Tuksono dan Tawangmangu?

3. Daerah manakah yang menghasilkan rimpang temu putih dengan kadar eugenol yang paling tinggi?

(4)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai parameter nonspesifik, spesifik dan kandungan senyawa eugenol dalam ekstrak rimpang temu putih, mengetahui pengaruh variasi tempat tumbuh terhadap kadar eugenol pada ekstrak terstandar rimpang temu putih dari daerah Kalibawang, Tuksono dan Tawangmangu serta mengetahui daerah yang menghasilkan rimpang temu putih dengan kadar eugenol yang paling tinggi.

D. Tinjauan Pustaka 1. Temu putih

a. Sistematika temu putih dalam taksonomi tumbuhan : divisi : Spermatophyta

anak divisi : Angiospermae kelas : Monocotyledoneae bangsa : Zingiberales suku : Zingiberaceae marga : Curcuma

jenis : Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe

(Backer & Brink, 1968) sinonim : Curcuma pallida Lour.

Curcuma zerumbet Roxb.

(5)

b. Nama daerah dan nama asing

Jawa : temu putih (Jakarta), kunir putih (Jawa), koneng (Tegal) Inggris : long zedoary, round zedoary, zedoary

(de Padua dkk., 1999; Heyne, 1950) c. Morfologi tanaman

Gambar 1. Tanaman dan rimpang temu putih

Temu putih merupakan tumbuhan berhabitus terna setahun, tingginya dapat lebih dari 2 m. Batang sesungguhnya berupa rimpang yang bercabang di bawah tanah, berwarna cokelat muda atau cokelat tua, jika diiris bagian dalam rimpang berwarna putih atau putih kebiruan, memiliki umbi bulat, rimpang berbau aromatik. Daun tunggal, berjumlah 2-9 helai, bentuk helai daun memanjang sampai lanset, panjang 2,5 kali lebar yang terlebar, ujung runcing atau meruncing, berambut jarang, berwarna hijau atau hijau dengan bercak cokelat sampai ungu di ibu tulang daun, panjang daun (termasuk tangkai) 43-80 cm atau lebih, pelepah daun membentuk batang semu, berwarna hijau cokelat tua. Bunga majemuk bulir, di ketiak empu rimpang, tangkai berambut. Daun pelindung banyak berupa seludang bunga dan daun-daun pelindung, ukuran daun-daun pelindung rata-rata 3-8 x 1,5-3,5 cm. Kelopak 3 helai, berwarna putih atau kekuningan, bagian tengah merah atau cokelat kemerahan, 3-4 cm. Mahkota 3 helai, berwarna putih

(6)

kemerahan, tinggi rata-rata 4-5 cm. Mahkota terdiri atas 2 bibir, bentuk bulat telur terbalik, kuning atau putih, tengah kuning atau kuning jeruk, 14-18 x 14-20 mm. Benang sari 1 helai, tidak sempurna, bulat telur terbalik, kuning terang, 12-16 x 10-115 mm, tangkai sari 3-5 x 2-4 mm, kepala sari putih, 6 mm. Buah berambut, rata-rata 2 cm (Backer & Brink, 1968; Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2010).

d. Kandungan

Rimpang Curcuma zedoaria mengandung golongan seskuiterpen : furanodien, furanodienon, zedoaron, kurzerenon, kurzeon, germakran, 1,3-hidroksigermakron, dihidrokurdion, kurkumenon, zedoarondiol, kurkumanolida A, B, fenil propanoid : etilparametoksisinamat, α dan β-turmeron; kurkuminoid : kurkumin, bisdemetoksi kurkumin, tetrahidrodemetoksi kurkumin, tetrahidrobisdemetoksi kurkumin; fitosterol : sitosterol dan stigmasterol; minyak atsiri : epikurzerenon, kurzeren, 1,8-sineol, simen, α-felandren, β-eudesmol, eugenol. Senyawa identitas dari C.zedoaria adalah zedoaron (Makabe dkk., 2006; Lobo dkk., 2009). Rimpang dan daun C.zedoaria mengandung saponin, flavonoid dan polifenol (Hutapea, 1993).

(7)

e. Kegunaan

Rimpang C. zedoaria sebagai salah satu tanaman berkhasiat secara empiris telah digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan. Penggunaannya antara lain sebagai obat kudis, radang kulit, pencuci darah, perut kembung, dan gangguan lain pada saluran pencernaan serta sebagai obat pembersih dan penguat (tonik) sesudah nifas (Sudarsono dkk., 1996).

Curcuma zedoaria dilaporkan memiliki berbagai efek farmakologis, baik secara invitro maupun invivo. Seduhan serbuk rimpang dengan kisaran dosis 15,75-126 mg/kg BB dapat meningkatkan regenerasi sel hati tikus yang terangsang galaktosamina (Fibriani, 2000). Potensi hepatoregeneratif perasan rimpang temu putih pada tikus terangsang CCl4 terbesar pada dosis 1,97 mg/kg

BB (Dewanti, 2000). Ekstrak etanol rimpang temu putih mampu menghambat pertumbuhan tumor paru pada mencit betina dengan perlakuan dosis terbesar 750 mg/kg BB (Murwanti dkk., 2004). Ekstrak petroleum eter rimpang C. zedoaria menunjukkan sensitifitas pada bakteri Gram positif dan negatif serta fungi dengan zona hambat 11-14 mm, sedangkan ekstrak metanol memiliki zona hambat 13-15 mm (Das & Rahman, 2012). Minyak atsiri C.zedoaria pada kadar 20 mg/mL memiliki aktivitas antioksidan yang baik (Mau dkk., 2003). Ekstrak etil asetat, n-heksana, air, petroleum eter, kloroform dan etanol rimpang C.zedoaria memiliki aktivitas sebagai antioksidan (Himaja dkk., 2010). Ekstrak petroleum eter dengan dosis 200 mg/kg BB dan ekstrak kloroform dengan dosis 400 mg/kg BB pada rimpang C.zedoaria menunjukkan aktivitas antiinflamasi maksimum pada jam ke-2 dan ke-6 perlakuan (Kaushik & Jalalpure, ke-2011). Namun, C.zedoaria juga

(8)

dilaporkan memiliki efek samping. Potensi ketoksikan akut salah satu sediaan serbuk rimpang yang beredar di pasaran (LD50 semu) lebih besar dari 2375 mg/kg

BB (Wigati, 2000). f. Budidaya

C.zedoaria banyak tumbuh di daerah tropis. Budidaya temu putih sebagai tanaman obat dilakukan di bawah naungan. Rimpang tumbuh dengan baik pada ketinggian 5-1000 m dpl. Ketinggian tempat tumbuh temu putih umumnya berkisar 750 m dpl di pulau Jawa. Rimpang C.zedoaria tumbuh liar di Sumatera (Gunung Dempo), Jawa Barat dan di hutan jati Jawa Timur. Tanaman ini berbunga di bulan Agustus hingga Mei (Backer & Brink, 1968; Heyne, 1950).

2. Eugenol

Senyawa eugenol merupakan komponen utama yang terkandung dalam minyak cengkeh (Syzygium aromaticum) dengan kandungan mencapai 70-96% (Towaha, 2012). Senyawa eugenol merupakan komponen minyak atsiri berupa senyawa fenilpropanoid dengan tiga karbon rantai samping terikat pada gugus fenol (Cseke dkk., 2006). Senyawa eugenol memiliki aktivitas farmakologi sebagai antibakteri, antifungi, antioksidan, antikanker, dan pengusir serangga (Kong dkk., 2014).

(9)

3. Obat tradisional

Obat tradisional merupakan bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional dibagi menjadi tiga yaitu jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Jamu merupakan obat tradisional Indonesia. Obat herbal terstandar merupakan sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik serta bahan bakunya telah distandardisasi. Fitofarmaka merupakan sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku serta produk jadinya telah distandardisasi (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2005).

4. Cara ekstraksi

Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut cair. Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Proses ekstraksi akan menghasilkan produk yang disebut ekstrak. Ekstraksi dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain :

a. Maserasi

Maserasi merupakan proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu ruangan

(10)

(kamar). Maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana serta mudah dilakukan. Kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

b. Infusa

Infusa atau yang sering disebut infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90°C selama 15 menit. Cara ini umum digunakan untuk menyari zat aktif yang campur dengan air dari bahan-bahan nabati. Hasil penyarian ini kurang stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Cara penyariannya relatif murah dibandingkan dengan metode penyarian yang lain yaitu simplisia dengan derajat halus yang sesuai dicampur dengan air secukupnya dalam panci di atas penangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu mencapai 90°C sambil sesekali diaduk lalu diserkai selagi panas melalui kain flanel. Setelah itu ditambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki (jika tidak dinyatakan lain, dibuat infusa 10%) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986; Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

(11)

5. Parameter standar ekstrak tumbuhan obat a. Parameter nonspesifik

1). Susut pengeringan

Parameter susut pengeringan bertujuan memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan, yaitu sisa zat setelah pengeringan pada suhu 105°C selama 30 menit atau sampai bobot konstan, yang dinyatakan sebagai nilai persen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap atau atsiri dan sisa pelarut organik menguap) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer atau lingkungan udara terbuka.

2). Kadar air

Parameter kadar air memberikan batasan maksimal atau rentang besarnya kandungan air dalam bahan. Pengukuran kandungan air yang berada di dalam bahan dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara titrasi, destilasi atau gravimetri.

3). Kadar abu

Parameter kadar abu memberikan gambaran kandungan mineral yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Bahan dipanaskan pada suhu dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga tinggal unsur mineral atau anorganik.

4). Sisa pelarut

Parameter sisa pelarut memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada. Apabila

(12)

digunakan ekstrak cair maka hasil menunjukkan jumlah pelarut (alkohol) sesuai yang ditetapkan.

5). Residu pestisida

Parameter sisa pestisida memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung pestisida melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan.

6). Cemaran logam berat

Parameter cemaran logam berat memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu (Hg,Pb,Cd, dan lain-lain) melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan.

7). Cemaran mikroba

Parameter cemaran mikroba memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung mikroba patogen dan tidak mengandung mikroba nonpatogen melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya (toksik) bagi kesehatan.

b. Parameter spesifik 1). Identitas

Parameter identitas ekstrak memberikan identitas objektif dengan penyebutan nama dan identitas spesifik dari senyawa identitas.

2). Organoleptik

Parameter organoleptik ekstrak merupakan pengenalan awal yang sederhana, yaitu penggunaan panca indera untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa.

(13)

3). Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu

Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan.

c. Uji kandungan kimia ekstrak 1). Pola kromatogram

Parameter pola kromatogram memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram.

2). Kadar total golongan kandungan kimia

Parameter kadar total golongan kandungan kimia memberikan informasi kadar golongan kandungan kimia sebagai parameter mutu ekstrak dalam kaitannya dengan efek farmakologis.

3). Kadar kandungan kimia tertentu

Parameter kadar kandungan kimia tertentu memberikan data kadar kandungan kimia senyawa aktif/utama/identitas yang diduga mempunyai efek farmakologi. Contoh adalah penetapan kadar andrografolid dalam ekstrak sambiloto secara HPLC atau penetapan kadar pinostrobin dalam ekstrak temu kunci secara densitometri (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

6. Kromatografi lapis tipis-densitometri (KLT-densitometri)

Kromatografi lapis tipis adalah teknik pemisahan fisikokimia. Metode KLT melibatkan dua hal penting yaitu fase diam dan fase gerak. Lapisan yang memisahkan terdiri atas fase diam yang ditempatkan pada penyangga berupa lempeng gelas, logam atau lapisan yang cocok. Fase diam yang digunakan

(14)

umumnya bahan penjerap seperti silika gel, alumina dan selulosa. Campuran yang akan dipisahkan berupa larutan yang ditotolkan dalam bentuk bercak atau pita pada fase diam. Fase gerak untuk KLT terdiri atas satu atau lebih pelarut yang bergerak karena adanya gaya kapiler seperti air, metanol, kloroform, dan toluena. Pemilihan pelarut berdasarkan sifat kelarutannya terhadap senyawa-senyawa pada fase diam. Pemisahan senyawa terjadi melalui perambatan kapiler (pengembangan) setelah lempeng diletakkan dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang (fase gerak) yang sesuai. Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus dideteksi dengan penampak bercak yang spesifik terhadap golongan senyawa tertentu (Stahl, 1973).

Retardation factor (Rf) merupakan perbandingan antara jarak yang ditempuh larutan sampel dengan jarak yang ditempuh fase gerak. Nilai maksimum Rf adalah 1 berarti larutan sampel bermigrasi dengan kecepatan yang sama dengan fase gerak. Nilai minimum Rf adalah 0 berarti larutan sampel tertahan di titik awal pada fase diam (Gandjar & Rohman, 2007). Densitometri merupakan salah satu cara untuk mendeteksi bercak pada kromatogram. Pengukuran bercak pada lapis tipis menggunakan peralatan yang menentukan serapan bercak. Densitometri dilengkapi dengan spektrofotometer yang panjang gelombangnya dapat diatur dari 200 sampai 700 nm. Alat ini juga disebut TLC-Scanner (Sumarno,2001).

(15)

7. Faktor lingkungan yang mempengaruhi senyawa aktif a. Ketinggian tempat tumbuh

Tempat tumbuh merupakan tempat yang dipandang dari segi faktor-faktor ekologinya, gabungan antara kondisi biotik, iklim dan tanah dari sebuah tempat. Ketinggian tempat berpengaruh terhadap iklim terutama curah hujan dan suhu udara yang mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan. Curah hujan berkorelasi positif dengan ketinggian, sedangkan suhu udara berkorelasi negatif. Pegunungan memiliki curah hujan lebih tinggi dengan suhu lebih rendah sehingga kecepatan penguraian bahan organik dan pelapukan mineral berjalan lambat. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di dataran rendah, di daerah ini penguraian yang berlangsung lebih cepat. Oleh karena itu, daerah pegunungan kondisi tanahnya lebih subur dan kaya bahan organik dibandingkan tanah di dataran rendah (Djajadiningrat, 1990).

b. Intensitas cahaya

Cahaya erat kaitannya dengan proses fotosintesis yang dipengaruhi pula oleh ketinggian tempat tumbuh. Intensitas cahaya akan semakin kecil dengan semakin tingginya tempat tumbuh. Hal ini disebabkan berkurangnya penyerapan dari udara sehingga menghambat pertumbuhan karena proses fotosintesis terganggu (Djajadiningrat, 1990). Perlakuan pemberian intensitas cahaya matahari yang berbeda ternyata menyebabkan perbedaan ukuran umbi tanaman lobak (Parman, 2010).

c. pH dan kelembaban tanah

Tanah merupakan bagian dari permukaan bumi yang terbentuk dari proses pelapukan oleh pengaruh iklim dan aktivitas organisme hidup pada suatu tempat

(16)

dalam jangka waktu tertentu. Reaksi tanah menunjukkan sifat keasaman atau kebasaan tanah, dinyatakan dengan nilai pH yang berkisar antara 0-14. Tanah dikategorikan netral apabila pH 7, jika pH kurang dari 7 disebut tanah bersifat asam dan apabila pH lebih dari 7 maka dikategorikan tanah basa. Nilai pH tanah penting untuk diketahui sebab pH tanah menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tumbuhan (tumbuhan yang hidup di tanah dengan pH netral lebih mudah menyerap unsur hara), menunjukkan kemungkinan adanya unsur-unsur beracun dan mempengaruhi perkembangan mikroorganisme tanah (Mustafa dkk., 2012).

Kelembaban tanah terkait dengan kebutuhan air di dalam tanah. Tanah-tanah yang banyak mengandung bahan organik memerlukan air lebih banyak untuk disimpan sebagai persediaan sehingga kelembaban tanah terjaga lebih baik. Kelembaban tanah yang tinggi meningkatkan jasad mikro tanah sehingga struktur tanah menjadi gembur dan mudah diolah (Mustafa dkk., 2012).

8. Deskripsi daerah (tempat tumbuh) a. Kalibawang

Kalibawang adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Kalibawang merupakan kawasan agropolitan Kabupaten Kulon Progo dengan luas 52,96 km2. Kecamatan Kalibawang terdiri atas dataran dan sebagian perbukitan dengan elevasi hingga 500 m dpl. Wilayah pekerjaan penduduk sebagian besar terletak pada ketinggian 26 – 100 m dpl. Curah hujan di Kecamatan Kalibawang pada tahun 2001 adalah

(17)

4.482 mm/tahun dengan jumlah hari hujan mencapai 144 hari/tahun (Wikipedia, 2012). Kawasan hutan di daerah Kulon Progo sangat luas dengan ketinggian sampai dengan 1000 m dpl. Wilayah utara pada ketinggian 500 – 1000 m dpl merupakan dataran tinggi, meliputi Kecamatan Girimulyo, Kokap, Kalibawang, dan Samigaluh. Wilayah ini penggunaan lahannya banyak diperuntukkan sebagai kawasan budidaya tanaman obat, konservasi dan kawasan rawan bencana tanah longsor. Suhu rata-rata di kawasan Kulon Progo adalah 25°C (Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, 2013).

b. Tuksono

Tuksono adalah salah satu desa di Kecamatan Sentolo, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (Wikipedia, 2011). Wilayah Tuksono merupakan kawasan persawahan, kampung dan kebun campuran (Pemerintah Kecamatan Sentolo, 2013). Kawasan hutan di daerah Kulon Progo sangat luas dengan ketinggian sampai dengan 1000 m dpl. Wilayah tengah pada ketinggian 100 – 500 m dpl, meliputi Kecamatan Nanggulan, Sentolo, Pengasih, dan sebagian Lendah. Wilayah ini tergolong berombak dan bergelombang merupakan peralihan dataran rendah dan perbukitan. Selama tahun 2011 di Kabupaten Kulon Progo, rata-rata curah hujan per bulan adalah 161 mm dan hari hujan yaitu 10 hari hujan per bulan. Keberadaan sungai dengan air yang mengalir sepanjang tahun di wilayah Kabupaten Kulon Progo membantu menjaga kondisi permukaan air tanah (Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, 2013).

(18)

c. Tawangmangu

Tawangmangu adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Indonesia. Tawangmangu berada pada daerah pegunungan yang subur dikelilingi oleh hutan dan perbukitan di lereng barat Gunung Lawu (Wikipedia, 2013). Wilayah tertinggi di Kabupaten Karanganyar berada di Kecamatan Tawangmangu yang mencapai 2000 m dpl. Selama tahun 2011 di Kabupaten Karanganyar, rata-rata curah hujan 5.965,9 mm dengan 116,6 hari hujan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dan Maret (Pemerintah Kabupaten Karanganyar, 2011).

E. Keterangan Empiris

Ekstrak rimpang temu putih yang memenuhi persyaratan parameter standar mutu ekstrak dapat dibandingkan kandungan senyawa aktif eugenolnya dengan KLT-densitometri. Adanya variasi tempat tumbuh dapat mempengaruhi kandungan senyawa eugenol dalam ekstrak terstandar rimpang temu putih dari daerah Kalibawang, Tuksono dan Tawangmangu sehingga perlu diketahui daerah manakah yang menghasilkan rimpang temu putih dengan kadar eugenol yang paling tinggi.

Gambar

Gambar 1. Tanaman dan rimpang temu putih

Referensi

Dokumen terkait

[r]

• PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk (MBSS) is a leading Indonesian provider of integrated one-stop sea logistics and transportation solutions for bulk materials, particularly

Perbedaan pengaturan hak kesehatan buruh yang diselenggarakan oleh Jamsostek dan BPJS Kesehatan adalah dari segi asas dan prinsip penyelenggaraan; sifat kepesertaan; subjek

Penyebaran Kuesioner dilakukan untuk mengetahui bagaimana persepsi mahasiswa terhadap keputusan pembelian produk sikat gigi formula dan dimensi persepsi mana yang paling

[r]

The students were reportedly enjoy studying in the Monolingual class and support the use of English–only in their English classes for enhancing learning. In spite of their

KESENIAN MACAPAT GRUP BUD I UTOMO PAD A ACARA SYUKURAN KELAHIRAN BAYI D I KUJANGSARI KOTA BANJAR. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

UPAYA GURU DALAM MEMBANTU PERKEMBANGAN FISIK MOTORIK ANAK PRASELASIAN MELALUI KEGIATAN BERMAIN DI TK ISTIQOMAH KOTA BANDUNG.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu