• Tidak ada hasil yang ditemukan

Veterinaria Medika Vol 7, No. 2, Juli 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Veterinaria Medika Vol 7, No. 2, Juli 2014"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

134

Uji Spesifisitas dengan Dot Blotting terhadap Epidermal Growth Factor (EGF) yang Diisolasi dari Oosit Kumulus Komplek Sapi Setelah Dimaturasi

Secara In Vitro

Spesifisity test with Dot Blotting of Epidermal Growth Factor (EGF) Isolated from Cumulus Oocyte Complex After in Vitro Maturation

1

Widjiati, 2Aulia Reza Pradipta, 1Dady Soegianto Nazar,

1

A.T. Soelih Estoepangestie

1

Fakultas Kedokteran Hewan Unair

2

PPDHFakultas Kedokteran Hewan Unair Kampus C Unair, Jl. Mulyorejo Surabaya-60115.

Telp. 031-5992785. Fax. 031-5993015 Korespondensi : Email: widjiati@yahoo.com

Abstract

The aim of this study was to know the character of epidermal growth factor (EGF) protein isolated from bovine oocyte. Bovine ovary was collected from slaughter house washed with NaCl. An aspiration technique was used to collect oocyte. Those oocytes were maturated by in vitro condition then the EGF protein was isolated after running in SDS PAGE. Polyclonal antibody was produced by sub cutaneous injected of crude protein oocytes containing EGF in rabbit, then followed by dot blotting examination. Booster was done twice after 3rd and 7th bleeding then continued until 10 times every week. The antibody anti EGF from rabbits sera was reacted with EGF antigen. The dot blot showed, the intensity of dot color increased significantly from 4th bleeding and reaches the highest concentration of antibody at 9th bleeding. It meant, bovine oocyte EGF protein could be characterized by dot blotting, of which the highest antibody titer detected at eleventh week after sub cutaneous injection of crude protein oocytes containing EGF.

Keywords: epidermal growth factor, in vitro maturation, dot blotting

–––––––––––––––––––––––––––––––––––––

Pendahuluan

Program pengembangan ternak dila-kukan dengan peningkatan produktivitas ternak sapi yang memiliki peran utama sebagai penghasil pedet dengan salah satu tujuan akhir untuk memenuhi permintaan daging yang terus meningkat (Hayati dan Choliq, 2009). Salah satu alternatif pengembangan bidang teknologi reproduksi untuk meningkatkan kualitas reproduksi ternak adalah transfer embrio (TE).

Kualitas embrio yang diproduksi secara in vitro yang dihasilkan tersebut salah satunya ditentukan dari faktor oosit. Pertumbuhan dan perkembangan oosit dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam folikulogenesis dan oogenesis diantaranya hormon dan growth factor.

Growth factor merupakan faktor yang

berperan dalam peningkatan proliferasi dan differensiasi sel granulosa, sehingga menyebabkan terjadinya ekspansi kumulus (Widjiati dkk., 2008). Frandson (1992)

(2)

menyatakan bahwa growth factor juga mempunyai pengaruh penting dalam menigkatkan sekresi protein pada cairan folikel. Hal ini disebabkan growth

factor berperan dalam meningkatkan

transportasi asam amino melintasi membran sel serta meningkatkan pengikatan asam-asam amino sehingga membentuk protein.

Epidermal growth factor (EGF)

adalah salah satu growth factor yang ikut berperan penting dalam proses folikulogenesis dan maturasi oosit. Melalui penelitian yang telah dilakukan diketahui epidermal growth factor mem-berikan efek berupa stimulasi proliferasi sel granulosa, modulasi steroidogenesis pada sel granulosa, dan menstimulasi pertumbuhan folikel (Lorenzo et al., 2001). Growth factor ini disekresi oleh sel teka yang bertindak sebagai faktor parakrin untuk mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel granulosa pada oosit (Skinner et al., 1987). Kobayashi et al., (1994), Lonergan et al., (1996), dan Wang et al., (2007) menyebutkan penambahan EGF beserta beberapa hormon dan growth factor lain dalam media maturasi dapat meningkatkan ekspansi sel kumulus, keberhasilan fertilisasi dan perkembangan embrio.

Tujuan akhir diadakannya penelitian ini adalah untuk modifikasi pada media maturasi pada skala riset dengan penambahan growth factor yang diisolasi dari limbah ovarium sapi. Mengingat

epidermal growth factor memiliki peran

penting selama tahap folikulogenesis yang merupakan rangkaian proses maturasi in vitro, maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui keberadaan protein EGF setelah di maturasi secara

in vitro. Penelitian ini bertujuan untuk

melihat karakter protein EGF melalui uji spesifitas dengan menggunakan metode dot blotting.

Materi dan Metode Penelitian

Sampel penelitian ini berupa oosit kumulus komplek di aspirasi dari ovarium. Ovarium diperoleh dari rumah potong hewan dibersihkan dari organ yang melekat, lemak dan darah kemudian dibawa ke laboratorium in

vitro Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Airlangga dengan botol yang berisi NaCl fisiologis dan gentamisin sulfat lalu dimasukkan dibawa pada suhu 30-35oC. Koleksi oosit dilakukan dengan cara aspirasi menggunakan jarum 18 G yang dihubungkan dengan spuit 5 ml dan berisi 1 ml media TCM 199. Kemudian oosit dicuci berturut-turut dalam media TCM 199 sebanyak dua kali dengan pipet modifikasi.

Proses maturasi oosit menggunakan medium TCM-199 yang ditambah 0,01 µg/ml FSH (Folligon®), 0,01 µg/ml LH (Chorulon®), 3% BSA dan 50 µg/ml gentamisin sulfat. Oosit dikultur dalam 50 µl medium tetes (tiap 50 µl berisi 8-10 oosit) yang sebelumnya telah ditutup dengan mineral oil. Pematangan oosit dilakukan pada suhu 38,5 ºC di dalam inkubator CO2 selama 20 jam. Oosit yang

telah dimaturasi kemudian dimasukkan ke dalam tabung ependorff dan disimpan ke dalam freezer sambil menunggu untuk di lakukan isolasi protein EGF.

Oosit kumulus komplek yang telah dimaturasi secara in vitro diambil sebanyak 200 µl atau kurang lebih 300 oosit lalu diberi PBS Tween dan PMSF sebanyak 1000 µl. Kemudian semua sampel disonikasi menggunakan sonikator selama 10 menit kemudian disentrifus dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu 4oC selama 15 menit untuk memisahkan endapan (pelet) dengan supernatan. Supernatan hasil sentrifus diambil dan diberi penambahan etanol absolut dengan perbandingan volume 1:1 atau sebanyak 500 µl agar proteinnya mengendap yang kemudian diendapkan dalam freezer dalam semalam agar

(3)

136 diperoleh hasil yang maksimal. Setelah

diendapkan semalam dilakukan sentrifus lagi dengan kecepatan 6.000 rpm selama 10 menit. Pelet hasil sentrifugasi ditambah dengan Tris HCl dengan perbandingan volume 1:1 kemudian dimasukkan dalam ependorf dan disimpan dalam

freezer (Widjiati dkk., 2008).

Protein kasar yang diperoleh kemudian dilanjutkan dengan elektroforesis menggunakan SDS PAGE untuk mengetahui berat molekul protein EGF. Kemudian pita dengan berat molekul 46-47 kDa hasil SDS PAGE dipotong kecil-kecil kemudian dimasukkan ke dalam kantong selofan. Selanjutnya masukkan kantong selofan tersebut

kedalam buffer fosfat untuk proses elek-troelusi. Hasil elektroelusi digunakan sebagai antigen pada tahap imunisasi.

Imunisasi dilakukan pada kelinci secara sub kutan dan dilakukan dua hari setelah pengambilan darah pre-imun dengan 150 µl EGF + 150 µl CFA sebagai adjuvant. Empat minggu kemudian semua hewan coba diimunisasi ulang (booster) dengan 150 µl EGF + 150 µl IFA untuk meningkatkan respon imun hewan coba. Booster II dilakukan dua hari setelah pengambilan darah ke-7 dengan dosis yang sama dengan booster pertama. Pengambilan darah dilakukan hingga minggu ke-12.

Gambar 1. Skema Imunisasi Hewan Coba Keterangan:

Pi : Pengambilan darah pre-imun

I : Imunisasi menggunakan 150 µl EGF + 150 µl CFA Bst1, Bst2 : Booster 1,2 dengan menggunakan 150 µl EGF + 150 IFA B1, B2...B10: Pengambilan darah hari ke-

* : selang waktu 2 hari Pengambilan darah dilakukan melalui vena aurikularis sebanyak 3 ml menggunakan spuit disposable. Masukkan dalam tabung reaksi, miringkan 30o kemudian tunggu kurang lebih hingga satu jam hingga terbentuk endapan kemudian sentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit pada suhu 4oC untuk mendapatkan serum. Serum dipindahkan kedalam tabung eppendorf

dengan menggunakan pipet dan simpan dalam suhu -20°C sampai saat dilakukan purifikasi serum.

Serum diambil 200 µl dimasukkan dalam tabung eppendorf kemudian ditambahkan dengan amonium sulfat 50% sebanyak 200 µl dan dihomogenasikan dengan cara divortex. Setelah itu dilanjutkan dengan sentrifus 10.000 rpm selama 10 menit pada suhu 4oC. Endapan

Pi B 1 B4 B5 B6 B3 B 2 B7 B 8 B9 B10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Minggu ke- *I *BST 1 *BST2

(4)

yang terbentuk ditambah ammonium sulfat 50% sepuluh kali jumlah sampel lalu dihomogenasikan dengan divortex dan disentrifus kembali 10.000 rpm selama 10 menit. Endapannya kemudian ditambah

buffer fosfat 0,2 M; pH 8 dan

dimasukkan ke dalam kantong selofan, kemudian dilakukan dialisis (salting

out) dalam buffer fosfat 0,1 M suhu 4°C

selama satu malam. Supernatan ditambah etanol dingin dengan perbandingan 1:1 lalu disimpan semalam dengan suhu 4oC selanjutnya disentrifus 10.000 rpm selama 10 menit. Endapan dikeringkan dan dilarutkan dalam Tris HCl kemudian disimpan dalam suhu -20oC (Aulanni’am, 2005).

Proses dot blot dilakukan dengan mengencerkan antigen 20 μL dalam PBS-sodium azida (NaN3) 1% (1:4) lalu

diteteskan pada membran nitroselulosa yang telah dibasahi PBS yang telah terangkai pada alat dot blotter, diegas selama 30 menit. Membran + antigen diblocking dengan PBS skim milk 5% selama 1 jam, PBS skim milk dibuang

dan dicuci dengan PBS-Tween 20 0.05% selama 3x3 menit lalu diinkubasi dalam serum/antibodi primer yang telah diencerkan dalam PBS skim milk 5% (1:200) selama 2 jam sambil digoyang. Membran + Ag-Ab 1 20 μL dicuci dengan PBS-Tween 20 0.05% selama 3x3 menit lalu diinkubasi dalam serum/ antibodi sekunder berlabel alkaline phofatase (1:2500) yang telah diencerkan dalam TBS selama 1 jam sambil digoyang. Membran+Ag-Ab 1-Ab 2 (AP Conjugated) dicuci dengan PBS-Tween 20 0.05% selama 3x3 menit lalu diinkubasi dalam substrat western blue selama 30 menit sambil digoyang (dalam ruang gelap) dan ditambahkan akuades lalu membran dikeringkan.

Hasil dan Pembahasan

Gambaran hasil analisis dengan uji spesifik dengan dot blotting, diketahui reaksi spesifitas antara EGF dengan antibodi poliklonal anti EGF terlihat jelas warna dot yang terekspresi pada gambar dibawah ini.

Bleeding ke-

Pi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kelinci 1

Kelinci 2

Gambar 2. Hasil uji dot blotting Penilaian terhadap munculnya

warna pada dot blotting dipermudah dengan menggunakan kategori skor dari nol sampai dengan enam. Nilai nol adalah tanda negative dan nilai satu sampai enam adalah tanda positif. Nilai satu adalah nilai positif terendah dan nilai enam adalah nilai positif tertinggi

yang didasarkan oleh semakin gelapnya warna yang dibentuk. Pembacaan hasil noda pada membran nitroselulosa diatas akan lebih mudah dianalisa apabila dibaca dalam bentuk skor penilaian yang berdasarkan gradasi kegelapan warna dot.

(5)

138 Tabel 1.Pembacaan skor hasil dot blotting

Bleeding ke-

Pi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kelinci 1 0 1 2 1 2 4 5 4 3 6 2

Kelinci 2 0 2 3 2 4 5 4 3 4 5 2

Rata-rata 0 1,5 2,5 1,5 3 4,5 4,5 3,5 3,5 5,5 2 Peningkatan konsentrasi antibodi

pada bleeding pertama dan kedua. Skor yang ditunjukkan tidak terlalu tinggi karena respon imun yang dihasilkan masih berupa respon imun primer. Menurut Tizard (1988), antibodi baru ditemukan sekitar satu minggu setelah pemberian antigen pertama dan kadarnya meningkat dalam serum dan mencapai puncaknya setelah 10-14 hari sebelum menurun lagi dengan cepat. Jumlah antibodi yang terbentuk dan tingkat daya proteksi selama respon imun primer relatif kecil sehingga pada

bleeding ketiga terjadi penurunan skor

akibat produksi antibodi yang telah berkurang.

Pemberian booster pertama dila-kukan dua hari setelah bleeding ketiga. Kemudian skor hasil dot blot mengalami peningkatan pada bleeding keempat dan kelima yang kemudian menurun secara perlahan pada bleeding keenam dan ketujuh. Peningkatan kembali terjadi setelah pemberian booster kedua.

Booster kedua dilakukan dua hari

setelah bleeding ketujuh. Lalu skor hasil

dot blot kembali menurun pada bleeding

kesepuluh setelah mencapai konsentrasi tertinggi pada bleeding kesembilan. Menurut Baratawidjaja (2006), imunisasi berulang dengan selang waktu tertentu dapat meningkatkan respon imun suatu individu. Tizard (1988) juga menyatakan bahwa penyuntikan antigen kedua (booster) akan dapat meningkatkan antibodi. Setelah diberikan booster pertama.

Hasil dot blot tersebut menunjukkan gambaran bahwa konsentrasi antbodi tertinggi diperoleh pada bleeding kesembilan

setelah booster kedua dengan skor rata-rata 5,5. Konsentrasi antibodi tertinggi ini mungkin disebabkan karena pada

bleeding kesembilan antibodi yang

terkandung dalam serum berada dalam konsentrasi yang paling tinggi.

Pemberian imunisasi setelah pengambilan darah pre-imun hanya memberikan hasil peningkatan skor rata-rata dengan nilai 2,5 pada bleeding kedua. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Abbas dan Litchman (2005) bahwa respon imun primer mengakibatkan aktivasi pada sel B sedangkan respon imun sekunder menstimulasi peningkatan jumlah sel B memori. Oleh karena itu respon imun sekunder memiliki kandungan antibodi yang diproduksi lebih tinggi daripada respon imun primer.

Menurut Abbas dan Litchman (2005), antigen merupakan molekul yang dapat berkombinasi dengan antibodi spesifik. Walaupun demikian tidak semua antigen bersifat imunogenik. Imunogenisitas dan antigenisitas memiliki hubungan yang terkait, akan tetapi keduanya memiliki definisi yang berbeda. Imunogenisitas dinyatakan sebagai kemampuan antigen untuk menginduksi respon imun humoral ataupun cell mediated sedangkan antigenisitas dinyatakan sebagai kemampuan substansi asing untuk berkombinasi secara spesifik dengan antibodi ataupun reseptor pada permukaan sel (Goldsby et al., 2005).

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat spesifisitas antara protein EGF yang diperoleh dari oosit sapi dengan antibodi poliklonal anti

(6)

EGF yang diperoleh dari kelinci (Oryctolagus cuniculus) hasil imunisasi isolat protein EGF.

Daftar Pustaka

Abbas, A.K. and A.H.Litchman. 2005. Cellular and Molecular Immunology. Elsevier Saunder. Philadelphia Aulanni’am. 2005. Protein dan Analisanya.

Citra Mentari Group. Malang Baratawidjaja, K.G. 2006. Imunologi

Dasar. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan

Fisiologi Ternak. Edisi IV. terjemahan B. Srigondo dan K. Prasno. Gajah Mada University Press. Yogyakarta

Goldsby, R.A., T.J. Kindt and A Osborne. 2000. Immunology. W.H. Freeman and Company. California

Hayati, R.N. dan A. Choliq. 2009. Gangguan Reproduksi, Salah Satu Penghambat Perkembangan Ternak Sapi (Studi Kasus di Desa Padomasan Kabupaten Batang). Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan. Semarang. 177-181 Kobayashi, K., S.Yamashita and H.

Hoshi. 1994. Influence of Epidermal Growth Factor And Transforming Growth Factor on In Vitro Maturation of Cumulus Cell-Enclosed Bovine Oocytes in a Defined Medium. J. Reprod. Fertil. 100: 439-446

Lonergan, P., C. Carolan, A. Van Langendonckt, I.Donnay, H. Khatir and P. Mermilod. 1996. Role of Epidermal Growth Factor in Bovine Oocyte Maturation and Preimplantation Embryo Development

In Vitro. Biology of Reproduction

54: 1420-1429

Lorenzo, P.L., I.K.M. Liu, J.C.Illera, R.A.Picazo, G.F.Carneiro, M.J. Illera, A.C. Conley, A.J.Enders and M.Illera. 2001. Influence of Epidermal Growth Factor on Mammalian Oocyte Maturation via Tyrosine-Kinase Pathway. J. Physiol. Biochem., 57 (1): 15-22 Skinner, M.K., D. Lobb and J.H. Dorrington. 1987. Ovarian Thecal/ Interstitial Cells Produce an Epidermal Growth Factor-Like Substance. Endocrinology 121 (5): 1892-1899

Tizard, I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press. Surabaya

Wang, Z.G., Z.R.Xu, and S.D.Yu. 2007. Effects of Oocyte Collection Techniques and Maturation Media on In Vitro Maturation and Subsequent Embryo Development in Boer Goat. Czech J. Anim. Sci. 52(1): 21-25

Widjiati, N.Z.Hayati, Ismudiono dan Sukmanadi. 2008. Identifikasi Protein Growth Differentiation Factor-9 (GDF) yang Diisolasi dari Oosit pada Folikel Dominan Ovarium Sapi. Veterinaria Medika 1(2):39-42

Gambar

Gambar 2. Hasil uji dot blotting  Penilaian  terhadap  munculnya

Referensi

Dokumen terkait

Indonesia misalnya, tidak pernah menaruh kebijakan mengatasi pembajakan kapal di Selat Malaka sebagai prioritas, Jakarta lebih melihat isu penangkapan ikan ilegal

Universitas Sriwijaya sedangkan penelitian terkait faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak iritan akibat kerja pada petani tambak udang masih terbatas,

Gelombang pemicuan SPWM unipolar untuk pemicuan voltage-source inverter (VSI) tiga fasa diperoleh dengan membandingkan sinyal segitiga (sinyal carrier) dengan tiga

• inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret

Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini.. Pendidikan Guru Pendidikan Anak

Pada populasi kelapa Dalam Sawarna (DSA) jarak genetik individu-individu dalam sudah semakin sempit, artinya keanekaragaman genetik antar individu di dalam populasi

a. Di bidang perumahan, beberapa permasalahan menjadi perhatian, antara lain: 1) Masih terdapat 61,7 persen rumah tangga yang menempati hunian tidak layak berdasarkan

Laba bersih Semester I tahun 2014 menunjukan kenaikan Kinerja Perseroan 23,07% bila dibandingkan dengan laba bersih pada Semester I tahun 2013 sebesar Rp6,72 miliar atau Rp12,21