• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN UMUM TRANSAKSI DERIVATIF VALUTA ASING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN UMUM TRANSAKSI DERIVATIF VALUTA ASING"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN UMUM TRANSAKSI DERIVATIF VALUTA ASING

2.1. Transaksi Derivatif Over the Counter 2.1.1. Definisi Transaksi Derivatif

Sebelum membahas lebih jauh lagi mengenai transaksi derivatif, hal yang paling penting untuk diketahui ialah definisi dari transaksi derivatif itu sendiri. Dalam ketentuan SKBI No. 28/119/KEP/DIR Tahun 1995, transaksi derivatif adalah:

“Suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrument yang mendasarinya seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi ekuiti dan nilai indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana/instrumen.”23

Definisi lain Transaksi Derivatif adalah:

“A derivative instrument is one whose performance is based (or derived) on the behavior of the price of an underlying asset, (often simply known as the underlying). The underlying itself does not need to be bought or sold. A premium may be due.”24

Bob Reynolds mendefinisikan sebagai:

“an agreement between two parties known as the counterparties. Dealers and endusers overwhelmingly say that the function of a derivatives

23

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia, No. 28/119/KEP/DIR t1hun 1995, ps.1 (b)

24

Francesca Taylor, Mastering Derivatives Market, A Step-By-Step Guide to the Products, Applications, and Risks, (Great Britain: Pitman Publishing, 1996), hal. 2.

(2)

transaction is to hedge particular types of risk, these include market risk, credit risk and liquidity risk.”25

David Lynch mendefinisikan Derivatif sebagai:

“an instrument primarily for trading risk. Its current value is ultimately derived from, or varies in accordance with, the value of underlying goods, instrument, rate or index, or some combination of these.”26

Sementara itu International Swaps and Derivatives Association (ISDA) mendefinisikan Transaksi Derivatif sebagai:

“Derivatives are bilateral contracts involving the exchange of cash flows and designed to shift risk between parties. When transactions mature, the amount owed by each party are determined by the prices of underlying commodities, securities, or indices.”27

Sedangkan menurut Dian E. Rae, pengertian pokok dari apa yang dimaksud transaksi derivatif yaitu:

a. Transaksi derivatif merupakan instrumen keuangan (financial instrument); b. Transaksi derivatif merupakan instrumen untuk memperdagangkan risiko

(trading risk);

c. nilai transaksi derivatif merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasarinya;

d. Transaksi derivatif dapat diikuti dengan atau tanpa pergerakan dana; e. Transaksi derivatif merupakan suatu kontrak28.

25

Bob Reynolds, Understanding Derivatives, (London: Pitman Publishing, 1995), p.7.

26

David Lynch, “Growth in Asia Pasific Markets”, Derivatives The Risks that Remain, eds. Elizabeth Sheedy & Sheelagh McCracken, (Australia: Allen & Unwin, 1997), hal.5.

27

Dian E. Rae, op. cit., hal. 44.

28

Ibid., hal. 44-45.

(3)

2.1.2 Over the Counter Sebagai Salah Satu Pasar Transaksi Derivatif

Derivatif over the counter adalah kontrak yang dinegosiasikan secara privat diantara dua pihak atau lebih yang dibuat sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh para pihak, yang nilainya bergantung pada nilai dari aset-aset yang mendasarinya, tingkat referensi, atau indeks. Transaksi melalui over the counter tidak dilakukan melalui bursa dan melalui clearing house. Produk yang diperdagangkan melalui pasar over the counter biasanya dijual oleh bank atau dealer lainnya kepada nasabahnya. Begitu pun sebaliknya, bank dapat membeli produk-produk derivatif dari nasabahnya, baik dari perusahaan dan non-bank lainnya, akan tetapi setiap pembeli harus mengambil risiko kredit dari counter party.29 Jenis transaksi derivatif induk yang diperdagangkan meliputi Forward, Swap, dan Option. Untuk kegiatan over the counter pada bank, pengaturan dilakukan dengan tunduk pada Undang-Undang Perbankan dan ketentuan serta pengawasan Bank Indonesia.

Selain pada pasar over the counter, transaksi derivatif dapat dilakukan pada Bursa. Transaksi derivatif di bursa hanya dapat diikuti oleh anggota bursa, mempunyai syarat dan kondisi kontrak yang standar, penyelesaian transaksi melalui lembaga kliring (clearing house) tersendiri untuk menjamin terpenuhinya kewajiban pembeli dan penjual serta persyaratan margin deposit. Ciri-ciri umum transaksi derivatif melalui bursa antara lain:

a. transaksi bersifar standar (satuan nominal, jangka waktu, harga, dan tingkat bunga); b. terdapat clearing house yang berfungsi menyelesaikan transaksi antara buyer dan

seller;

c. transaksi harus dilakukan melalui broker (peserta bursa); d. setiap transaksi memerlukan margin account;

e. jenis transaksi futures dan option, warrant30.

Bursa terdiri dari bursa berjangka komoditi dan pasar modal. Bursa berjangka komoditi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan jual beli komoditi dengan penyerahan kemudian berdasarkan Kontrak Berjangka31 dan Opsi atas Kontrak Berjangka.

29

Ibid., hal. 77.

30

(4)

Dengan demikian, maka transaksi derivatif terdiri dari: a. Transaksi derivatif kurs atau valuta asing b. Transaksi derivatif suku bunga

c. Transaksi derivatif saham d. Transaksi derivatif komoditi

Transaksi derivatif yang dibahas dalam penelitian ini ialah transaksi derivatif yang dilakukan antara nasabah dengan bank. Oleh karena itu pembahasannya dalam penelitian ini hanya transaksi derivatif pada over the counter.

2.1.3. Pihak-pihak Terkait Dalam Transaksi Derivatif

Berlangsungnya transaksi derivatif tidak terlepas dari pihak-pihak yang terkait di dalamnya. Adapun secara garis besar, pihak yang terkait dalam transaksi derivatif yaitu End User dan Dealer.

a. End User

Pada umumnya end user (nasabah) terdiri dari individual dan badan hukum. i. Individual (Individual Investor)

lebih pada mengurang risiko usaha akibat fluktuasi harga dan suku bunga yang berdampak merugikan serta memenuhi kebutuhan pribadi akan valuta asing. ii. Institusi (Institutional Investor)

iii. Pemerintah (Governmental Entities)

Derivatif dapat digunakan untuk pengelolaan pinjaman, terutama bagi negara yang mendapat pinjaman dalam bentuk mata uang asing.

iv. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (Finansial Institution)

31

Kontrak berjangka adalah suatu bentuk kontrak standar untuk membeli atau menjual komoditi dalam jumlah, mutu, jenis, tempat, dan waktu penyerahan di kemudian hari yang telah ditetapkan, dan termasuk dalam pengertian kontrak berjangka ini adalah Opsi atas Kontrak Berjangka (Indonesia, Undang-Undang Kontrak Berjangka, UU No. 32 tahun 1997, LN No. 31 tahun 1992, TLN No. 3472, Pasal 1 angka 4).

(5)

Biasanya mengelola risiko atas suku bunga mereka melalui suatu manajemen asset/likuiditi karena keefisienannya dan hubungannya erat dengan pembiayaan.

Pada umumnya tujuan end user melakukan transaksi derivatif adalah untuk menurunkan biaya pendanaan dan meningkatkan hasil, melakukan proteksi, dan diversifikasi sumber pembiayaan.

b. Dealer

Dealer adalah pihak yang bertindak sendiri secara langsung sebagai pihak pembeli atau penjual dalam suatu transaksi sebagai pihak lawan dari end-user. Dealer melakukan transaksi pembelian dan penjualan dengan inisiatif dan atas asetnya sendiri sehingga ia pun menghadapi risiko transaksi. Dealer menetapkan harga penawaran dalam pembelian dan harga jual yang dipersiapkannya untuk ditransaksikan dengan sejumlah instrumen dengan mengharapkan keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual tersebut. Dealer memanfaatkan derivatif untuk:

i. Mengontrol resiko sedemikian rupa agar dapat menyesuaikan aktivitas dengan kebutuhan nasabah

ii. Menyesuaikan diri dengan transaksi yang dilakukan oleh nasabah agar mudah menentukan dan mengendalikan risiko.

iii. Melakukan fungsi arbitrase guna menaikkan likuiditas dan efisiensi pasar.

2.1.4 Macam-macam Transaksi Derivatif a. Forward

Transaksi forward merupakan kesepakatan atau kontrak antara dua pihak yang memberikan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak untuk membeli dan menjual suatu underlying assets pada harga, jumlah dan tanggal tertentu di masa yang akan datang. Transaksi yang terjadi (underlying) dapat berupa komoditas, valuta asing, suku bunga dan indeks. Dalam kontrak ini, kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban untuk menjual atau membeli pada saat jatuh tempo dengan harga tertentu yang sebelumnya telah disepakati bersama dalam kontrak. Pembeli setuju untuk membayar dan menerima underlying assets sementara penjual menyetujui untuk mengirimkan underlying assets berdasarkan harga yang

(6)

akan datang sebagaimana telah ditetapkan dalam perjanjian. Adapun contoh dari forward adalah Forward Foreign Exchange contract dan Forward Rate Agreement (FRA). Forward foreign exchange contract merupakan kontrak antara bank dengan nasabahnya, atau dengan bank lain, yang memungkinkan lindung nilai (hedging) secara forward untuk pergerakan tingkat suku bunga. Forward Rate Agreement (FRA) merupakan persamaan dengan forward foreign exchange contract dalam pasar uang (bank). Forward Rate Agreement (FRA) adalah suatu kontrak dimana salah satu pihak (pihak A) menyetujui untuk membayar kepada pihak lainnya (pihak B) manakala tingkat suku bunga mengambang (floating interest rate) berada di atas tingkat suku bunga yang telah disetujui bersama (strike rate). Yang harus dibayar oleh para pihak adalah selisih antara settlement rate (floating interest rate) dengan tingkat suku bunga yang ditetapkan bersama. Jadi Forward Rate Agreement (FRA) merupakan instrumen yang digunakan oleh nasabah untuk melindungi dirinya dari pergerakan tingkat bunga yang kurang menguntungkan.

b. Future

Pada dasarnya transaksi future tidak memiliki perbedaan yang jauh dengan transaksi forward. Seperti halnya transaksi forward, transaksi future juga merupakan kontrak untuk membeli atau menjual underlying assets tertentu pada saat tertentu dengan/pada harga tertentu dalam kurun waktu tertentu di masa yang akan datang. Adapun perbedaan antara forward dan future yaitu untuk forward diperdagangkan di luar bursa (over the counter market) sedangkan untuk future diperdagangkan di bursa yang terorganisir. Karena itu, untuk ketentuan-ketentuan terhadap future sudah terdapat dalam bentuk baku (standard terms), sedangkan untuk terms dan condition pada forward tidak baku dan merupakan hasil negosiasi atau kesepakatan para pihak yang dilakukan secara kasus per kasus. Selain itu, forward merupakan kontrak bilateral antara dua pihak yang terlibat (end user dan dealer). Sedangkan pada future terdapat lebih dari dua pihak yang terkait dalam kontrak, yaitu (selain end user dan dealer) clearing division atau clearinghouse independen. Clearinghouse berperan sebagai fasilitator atau penengah diantara kedua pihak yang melakukan kontrak. Pada dasarnya, masing-masing pihak melakukan kontrak secara langsung pada clearinghouse. Jadi masing-masing pihak tidak melakukan kontak secara langsung. Hal ini

(7)

berbeda pada forward dimana hanya merupakan kontrak pribadi antara dua pihak, pembeli dan penjual.32

Adapun contoh dari transaksi future sebagai berikut:

PT. X bermaksud untuk membeli dollar USA dalam waktu 3 (tiga) bulan dan khawatir akan kemungkinan naiknya suku bunga selama waktu tersebut. Untuk melakukan lindung nilai (menghedge) kemungkinan ini, PT. X melakukan perjanjian untuk menjual, di masa depan, sejumlah kontrak futures atas obligasi jangka pendek pemerintah yang harganya terikat dengan suku bunga 3-month Euro-deposits. Dikuotasikan dengan diskon dari 100 (yaitu, 100 kurang suku bunga dari instrumen dasar pada tanggal pengiriman), harga dari masing-masing kontrak akan jatuh jika suku bunga meningkat. Laba yang dihasilkan dari kontrak-kontrak futures, yang sebenarnya mewakili short-sale obligasi berjangka waktu 3 bulan, akan menutupi kenaikan biaya bunga PT X. PT X pada tanggal 1 Mei 2007 membeli kontrak futures atas komoditas pertanian dengan tanggal jatuh tempo kontrak 30 Oktober 2007. Kontrak futures sebesar 10.000 per kontrak dengan harga sebesar US $ 5 per kontrak. Apabila PT X tersebut menjual kontrak futures tersebut pada tanggal tertentu (misalnya 20 Oktober 2007) pada harga yang berlaku pada tanggal tersebut (misalnya US $ 6) maka PT X tersebut akan memperoleh keuntungan sebesar (US $ 6 – US $ 5) X 10.000 = US $ 10.000. Sebaliknya jika harga futures yang berlaku untuk tanggal tersebut sebesar US $ 4, maka PT X tersebut menderita kerugian sebesar (US $ 5 – US $ 4) X 10.000 = US $ 10.000. Oleh karena instrumen futures kebanyakan digunakan untuk lindung nilai maka transaksi futures bukan dimaksudkan untuk dapat memiliki underlying asset-nya (dalam hal ini komoditas pertanian). Dengan demikian, transaksi futures selalu diselesaikan sebelum berakhirnya masa kontrak transaksi futures tersebut.

c. Swap

Swap adalah kontrak untuk mempertukarkan serangkaian aliran kas (cash flows) yang dihitung berdasarkan referensi terhadap tingkat harga atau indeks yang telah ditetapkan di muka (fixed in advance) atau referensi terhadap harga atau indeks tertentu yang telah diketahui (known price or indeks). Dengan kata lain, swap merupakan perjanjian yang

32

(8)

disepakati oleh dua pihak untuk saling mempertukarkan dua mata uang negara yang berbeda secara tunai dan periodik di masa yang akan datang. Pada umumnya, swap terdiri dari:

i. Currency Swap

Transaksi currency swap adalah suatu transaksi atau kontrak mengenai pembelian atau penjualan valuta asing terhadap valuta domestik (atau terhadap valuta asing lainnya), pada tanggal valuta tertentu sekaligus dengan perjanjian untuk menjual atau membeli kembali pada tanggal valuta berbeda di masa yang akan datang, dengan harga yang ditentukan pada tanggal kontrak. Kedua transaksi (menjual dan membeli kembali, atau sebaliknya) tersebut dilaksanakan sekaligus dan dengan counterparty yang sama.

ii. Interest Rate Swap

Interest rate swap adalah perjanjian kontraktual untuk mempertukarkan atau swap serangkaian alur kas (cash flows). Salah satu bentuk interest swap dasar memungkinkan pihak yang menerima pembayaran berdasarkan atas tingkat bunga tetap (fixed interest rate) untuk menukarkan aliran pembayaran dengan aliran dana yang berdasarkan tingkat bunga mengambang (floating rate). Interest rate swap pada dasarnya merupakan suatu persetujuan antara dua pihak untuk menukarkan pembayaran bunga untuk suatu periode tertentu atas dasar suatu notional value yang disetujui bersama dan dicirikan, sebagai tujuan utamanya, oleh konversi pembayaran bunga tetap (fixed rate) ke dalam pembayaran bunga mengambang (floating rate). Interest rate swap merupakan inovasi keuangan yang dirancang untuk mengakomodasi para debitur yang mungkin merasa perlu untuk meminjam dengan syarat-syarat yang bertentangan dengan preferensi mereka.33 Berikut ini adalah contoh dari interest rate swap:

PT. X meminjam uang kepada Bank B sebesar Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dengan tingkat suku bunga mengambang (misalnya LIBOR34 + 1) per tahun. Untuk

33

Dian E. Rae, op. cit., hal. 60.

34

Dalam transaksi derivatif, ada beberapa bunga yang sering dijadikan patokan, misalnya untuk kurs dan suku bunga yaitu LIBOR (London Interbank Offered Rate) merupakan tingkat bunga utama yang digunakan dalam pinjaman bank internasional. LIBOR merupakan tingkat bunga dimana bank-bank di London bersedia untuk meminjamkan Eurodollars diantara bank-bank utama tersebut (Dian E. Rae, op. cit., hal. 68.). Selain itu, ada pula SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate) merupakan transaksi suku bunga yang berlaku di Singapura dan JIBOR (Jakarta Interbank Offered Rate) yang berlaku di Jakarta.

(9)

mengantisipasi adanya perubahan tingkat suku bunga di masa yang akan datang, PT. X melakukan kontrak interest rate swap dengan suku bunga tetap sebesar 7% kepada Bank B. Dengan demikian, apabila suku bunga LIBOR sebesar 7%, maka tingkat suku bunga mengambang menjadi 7% + 1% = 8%, PT X tetap membayar bunga sebesar 7%, dengan demikian terdapat keuntungan sebesar 8% - 7% = 1%. Sebaliknya jika suku bunga LIBOR menjadi 5%, maka tingkat suku bunga mengambang menjadi 5% + 1% = 6%, dengan PT X menderita rugi sebesar 7% - 6% = 1%.

iii.Currency-Interest Rate Swap (Cross Currency Swap)

Currency-Interest Rate Swap (Cross Currency Swap) adalah bentuk kombinasi antara swap tingkat suku bunga (interest rate swap) dengan swap mata uang (currency swap), sehingga dalam transaksi Cross Currency Swap dipergunakan, baik tingkat suku bunga (interest rate) maupun nilai tukar (exchange rate).35 Jadi Currency-Interest Rate Swap adalah kontrak untuk saling mempertukarkan arus kas dari dua macam mata uang yang berbeda dimana salah satu dari mata uang itu berbunga tetap (fixed rate) dan yang lainnya berbunga mengambang (floating rate).36

Pada sektor keuangan, motivasi utama menggunakan swap adalah return (pengembalian yang diharapkan) dan risk (kemungkinan pengembalian diharapkan meleset). Perusahaan menggunakan swap untuk mengurangi biaya pembiayaannya (return motivation). Perusahaan juga menggunakan swap untuk mengelola ancaman risiko suku bunga dan risiko kurs jangka panjang37.

d. Option

Option atau opsi adalah suatu kontrak yang memberikan hak kepada pemiliknya untuk membeli atau menjual suatu instrumen (underlying assets) pada

35

Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern: Buku Kedua (Tingkat Advance), (Bandung: PT. Citra Adtya Bakti: 2001), hal. 34.

36

Hinsa Siahaan, Seluk Beluk Perdagangan Instrumen Derivatif Dari Perspektif Lindung Nilai dan Spekulasi, (Jakarta: Elex Media Computindo, 2008), hal. 296.

37

(10)

tingkat harga tertentu yang telah ditetapkan (strike/exercise price) untuk penyerahan pada waktu tertentu di masa yang akan datang (maturity/expiration date). Jadi pemilik option memiliki hak dan bukan kewajiban. Pada umumnya option terdiri dari: i. Call Option, yaitu option yang memberikan hak bagi pemegangnya untuk

membeli atau tidak membeli instrumen dasar.

ii. Put Option yaitu option yang memberikan hak bagi pemegangnya untuk menjual atau tidak menjual instrumen dasar.

Option diperdagangkan baik di bursa maupun dilakukan di pasar over the counter (OTC). Pada pasar OTC, kontrak option merupakan hasil langsung dari negosiasi antara pembeli dan penjual. Pembeli dan penjual dapat menyetujui setiap strike price (harga tertentu), expiration date dan setiap premi. Oleh karena itu, keuntungan option OTC adalah bahwa kontrak tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan para pihak (pembeli dan penjual).38 Berikut ini adalah contoh dari transaksi option:

PT X membeli call option dari pihak Y terhadap mata uang dollar USA seharga Rp.11.000,- (sebelas ribu rupiah) per 1(satu) USA dollar untuk 3 (tiga) bulan ke depan, dengan uang premi (yang harus dibayar di muka) sebesar Rp.300,00 (tiga ratus rupiah) per 1 (satu) USA dollar. Misalkan dalam waktu 3 (tiga) bulan mendatang nyatanya harga dollar USA menjadi Rp.10.500,00 (sepuluh ribu lima ratus rupiah). Dalam hal ini pihak X tentu tidak akan melakukan exercise terhadap optionnya dan membiarkan option tersebut kadaluwarsa. Akibatnya, dia hanya kehilangan Rp.300,00 (tiga ratus rupiah) per USA dollar. Sebaliknya, pihak Y akan mendapat keuntungan sebesar Rp.300,00 (tiga ratus rupiah) per 1 (satu) USA dollar. Akan tetapi, jika dalam kasus tersebut harga dollar USA 3 (tiga) bulan ke depan menjadi Rp.13.000,00 (tiga belas ribu rupiah) per 1 (satu) USA dollar, tentu pihak X akan melakukan exercise terhadap optionnya, sehingga X akan mendapat keuntungan per 1 (satu) USA dollar sebesar Rp.700,00 (diperoleh dari Rp.13.000,00 - Rp.11.000,00 -

38

(11)

Rp.300,00 = Rp.700,00). Sebaliknya, dalam hal ini pihak Y akan menderita kerugian sebesar Rp.700,00 (tujuh ratus rupiah) per 1 (satu) USA dollar.

Secara hukum, perbedaan mendasar antara forward, future, swap dengan option adalah bahwa forward, future, dan swap merupakan kewajiban yang mengikat secara hukum bagi kedua belah pihak. Sedangkan pada option, pembeli atau penjual option memiliki hak hukum dan tidak memiliki kewajiban untuk melaksanakan option sesuai dengan persyaratannya. Begitu pun dengan perbedaan risiko yang ditimbulkan. Pada transaksi forward/future risiko bersifat simetrik, yaitu risiko kerugian untuk satu pihak berarti keuntungan untuk pihak lainnya. Sementara pada transaksi option didasarkan pada prinsip asuransi. Dengan membayar sejumlah premi, seorang nasabah memiliki kemungkinan untuk untung dan juga memberikan asuransi untuk transaksi yang dilakukannya. Transaksi option ini menggambarkan konsep risiko asimetris, yakni kerugian maksimum yang akan diderita oleh pembeli hanyalah sejumlah asuransi yang dibayarnya, akan tetapi keuntungan yang mungkin di dapatnya tidak terbatas39.

Future, Forward, Swap, dan Obligasi merupakan jenis transaksi derivatif yang paling mendasar. The Comptroller of the Currency telah menemukan lebih dari 1200 (seribu dua ratus) jenis produk derivatif keuangan.40 Banyaknya jenis produk derivatif tersebut dikarenakan adanya penyesuaian terhadap kebutuhan pelaku atau pihak terkait dengan transaksi derivatif itu sendiri dan tidak menutup kemungkinan akan terus bertambah.

2.1.5. Fungsi dan Tujuan Transaksi Derivatif a. Fungsi Transaksi Derivatif

i. Kondisi Mismatching

39

Ibid., hal. 66.

40

Jerry W. Markham, ”Confederate Bonds”, ”General Custed”, and the Regulation of Derivative Financial Instruments, ( 25 Seton Hall L. Rev1, 1994), p. 2.

(12)

Mismatching adalah suatu kondisi atau keadaan dimana tidak ada keserasian antara sumber penggunaan dana. Jadi sumber dana yang diperoleh tidak seimbang dengan jumlah asset dan kewajiban tidak seimbang, asset yang tersedia tidak cukup untuk melunasi kewajiban sehingga untuk menyeimbangkannya si penerima dana terpaksa harus meminjam kekurangannya dari pasar uang. Jika pergerakan harga sesuai dengan perkiraan dan menghasilkan keuntungan, maka keadaan ini disebut matching. Jika keadaan tersebut menimbulkan kerugian maka dapat dikatakan telah terjadi mismatching.

ii. Opportunity Cost

Opportunity Cost adalah suatu keuntungan yang diperoleh dengan tidak mengerjakan suatu kegiatan tertentu. Transaksi derivatif sebagai salah satu jenis asuransi bagi dunia usaha dan fund manager, kalau asuransi umum lebih ditujukan unuk mengatasi risiko kebakaran, kehilangan nyawa, tenggelamnya kapal dll, maka derivatif adalah asuransi terhadap interest rate risk, comodity price risk, dan stock price risk, karena bersifat sebagai asuransi, derivatif sanggup mengurangi beban kerja perusahaan dalam mengelola risiko, sehingga perusahaan dapat berkomunikasi penuh pada usaha intinya41.

b. Tujuan Transaksi Derivatif

Adapun tujuan dari transaksi derivatif yaitu:

i. Sebagai pengganti investasi lain, dimana keuntungan dan resiko yang diharapkan dari investasi asal tidak berubah.

ii. Sebagai alat untuk mencari informasi tentang harga suatu komoditi tertentu di kemudian hari.

41

J.E. Wijaya, ”Mengawasi Transaksi Derivatif Dan Penyelamatan Investasi”, Bisnis Indonesia (21 maret 1995), hal. 6.

(13)

iii. Sebagai alat spekulatif yang dapat meningkatkan resiko dan sekaligus keuntungan yang besar. Spekulasi dilakukan oleh mereka yang dapat mengambil risiko dan berharap memperoleh keuntungan dari naik turunnya harga.

iv. Sebagai lindung nilai (hedging) atas investasi lain. Sebagai sarana lindung nilai, maka dapat dipastikan bahwa kuantitas hedging mempunyai korelasi positif dengan gejolak moneter, dalam artian bahwa hedging makin banyak dilakukan dalam situasi moneter bergejolak, karena biasanya akan diikuti oleh gejolak nilai mata uang atau gejolak tingkat suku bunga, sehingga posisi seseorang peminjam perlu diamankannya dengan menggunakan sarana lindung nilai (hedging).42 Tujuan dari hedging ialah untuk menetralkan risiko atas posisi terbuka terhadap harga pasar yang berlawanan dengan posisi terbuka tersebut dengan cara mengalihkan resiko kepada pihak lain. Jadi transaksi derivatif merupakan suatu cara yang dapat membebaskan dari kerugian atau ketidakuntungan yang diharapkan karena suatu kejadian yang tidak pasti di kemudian hari43.

2.1.6 Risiko Dalam Transaksi Derivatif

Transaksi derivatif memiliki beberapa risiko yang memiliki implikasi cukup berpengaruh bagi para pihak, yaitu:44

a. Risiko Hukum

Banyak risiko dalam hubungan dengan transaksi derivatif yang berhubungan langsung dengan sektor hukum, sehingga disebut dengan risiko hukum. Diantara risiko hukum dalam transaksi derivatif dapat disebutkan sebagai berikut:

i. Salah satu pihak wanprestasi terhadap kontrak yang telah dibuatnya.

42

Ibid., hal. 12.

43

Dian E. Rae, op. cit., hal. 99-100.

44

(14)

ii. Kontrak tidak mempunyai kekuatan hukum.

iii. Penafsiran ganda terhadap klausula, kekuatan berlaku bahkan eksistensi dari kontrak.

iv. Kepailitan para pihak.45

Sementara itu, untuk mengidentifikasi risiko hukum, Warren Edwardes menggunakan apa yang disebut sebagai ”matrik risiko hukum” (legal risk matrix) yang membedakan masalah-masalah hukum menjadi empat bagian, yaitu:

i. Counterparty risk, meliputi ultravires/capacity issues dan principal/agent.

ii. Product risk, meliputi netting dan collateralization dan product life cycle and globalization.

iii. Documentation risk.

iv. Other risks, meliputi litigation risks, regulatory risks, dan coorporate culture risks.46

Risiko hukum adalah risiko dimana kontrak tidak dapat dipaksakan (enforced) atau dilaksanakan. Berbagai permasalahan utama yang timbul dalam berbagai kasus yang telah masuk menunjukkan bahwa risiko hukum yang ditimbulkan terhadap transaksi derivatif telah menimbulkan kerugian cukup besar, sehimgga aspek ini perlu mendapat perhatian yang sama besarnya dari para pelaku transaksi derivatif.

b. Risiko Pasar

Risiko pasar dibedakan menjadi: i. Risiko Delta

Risiko delta merupakan risiko sedagai akibat dari perubahan rate atau harga yang mengakibatkan nilai dari transaksi atau portofolio berubah sejalan dengan perubahan harga dari underlying.

ii. Risiko Gamma

45

Fuady, op. cit., hal. 44.

46

Warren Edwardes, Key Financial Instruments: Understanding and Innovating in the World of Derivatives, (Financial Times, Prentice Hall: 2000), hal. 120.

(15)

Risiko gamma adalah risiko yang timbul sebagai akibat perkembangan harga transaksi dengan underlying tidak berjalan secara lurus (linear). Semakin besar penyimpangan harga underlying dengan transaksi derivatif semakin besar risiko yang timbul. Gamma didefinisikan sebagai tingkat perubahan delta untuk setiap unit perubahan pada harga underlying.

iii. Risiko Vega

Risiko vega adalah volatilitas yang merupakan exposure terhadap perubahan dalam nilai transaksi atau portofolio sebagai akibat volatilitas harga underlying.

iv. Risiko Theta

Risiko theta adalah risiko yang timbul sebagai akibat perubahan nilai transaksi atau portofolio yang timbul dengan berlalunya waktu. Theta menjelaskan secara pasti banyaknya time value akan hilang dari hari ke hari dan merupakan ukuran harga untuk kerugian waktu (time decay).47

Pada dasarnya risiko pasar yang paling signifikan adalah gejolak pasar yang tidak terduga yang mengakibatkan naik turunnya harga secara drastis yang berlawanan seperti yang diharapkan oleh pelaku transaksi. Risiko pasar lainnya yaitu merosotnya tingkat likuiditas pasar secara tiba-tiba, berkurangnya volume permintaan atau penawaran, dan lainnya.48

c. Risiko Kredit

Risiko kredit adalah risiko dimana salah satu pihak yang telah mengikatkan diri dalam kontrak gagal membayar kewajibannya pada pihak lain (counterparty). Jadi risiko kredit adalah risiko yang timbul sebagai akibat pihak lain yang telah mengikatkan diri dalam perjanjian tidak memenuhi kewajibannya. Perusahaan besar dan dealer (termasuk bank) yang bertindak sebagai counterparties, melakukan pengendalian risiko kredit dengan cara marking to market setiap hari dan

47

Ibid., hal. 91-92.

48

(16)

kontrak dapat mewajibkan counterparty yang kehilangan uang berdasarkan kontrak untuk memberikan jaminan yang memadai untuk menjamin kerugian.

d. Risiko Operasional

Risiko operasional merupakan risiko dalam transaksi derivatif yang terjadi pada saat pelaksanaan transaksi derivatif. Risiko operasional meliputi kerugian yang timbul sebagai akibat tidak memadainya sistem pengendalian, kesalahan manusia atau kegagalan manajemen (management failure). Selain itu, tidak memadainya teknologi atau manpower juga merupakan contoh lain dari risiko operasional.

e. Risiko Sistemik

Risiko lainnya dari transaksi derivatif yaitu risiko sistem. Risiko sistem adalah risiko yang mengancam keseluruhan sistem. Kekhawatiran terhadap risiko sistemik tersebut disebabkan karena pasar transaksi derivatif yang sedemikian besar, kecepatan pertumbuhan transaksi derivatif yang demikian tinggi, dapat digunakannya leverage yang tinggi, dan konsentrasi kegiatan transaksi derivatif pada sejumlah kecil dealers. Selain itu, kekhawatiran juga terjadi karena transaksi derivatif ditakutkan akan semakin mendekatkan keterkaitan ekonomi dunia melalui penggunaan yang sangat meluas dari swaps dan instrumen keuangan lainnya yang berdasarkan kepada berbagai indeks nasional.

Sedangkan berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 28/15/UD tanggal 8 Februari 1996, risiko yang mungkin timbul dalam transaksi derivatif hanya terdiri dari risiko kredit (credit risk), risiko penyelesaian (settlement risk), dan risiko pasar (market risk).

2.1.7 Pengaturan Transaksi Derivatif Dalam Peraturan Bank Indonesia

Ketentuan mengenai Transaksi derivatif diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/74/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Margin Trading yang dicabut dan diganti dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR tanggal 29 Desember 1995 tentang Transaksi Derivatif dan telah dicabut dan diganti dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/31/PBI/2005. Pengaturan mengenai transaksi derivatif diawali dengan ditetapkannya Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/74/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Margin Trading. Berdasarkan

(17)

ketentuan dalam peraturan tersebut (Pasal 1 butir b), margin trading adalah transaksi jual beli valuta asing yang tidak diikuti dengan pergerakan dana dan yang diperhitungkan adalah selisih bersih antara harga beli/jual suatu jenis valuta pada saat transaksi dengan harga jual/beli valuta yang bersangkutan pada akhir masa transaksi. Margin trading merupakan perdagangan tanpa proses penyerahan (future non delivery trading). Jadi margin trading yaitu transaksi jual beli valuta asing yang tidak diikuti dengan pergerakan dana dengan menggunakan dana (cash margin) dalam prosentase tertentu (misalnya 10% sebagai jaminan) dan yang diperhitungkan sebagai keuntungan atau kerugian adalah selisih bersih (margin) antara harga beli/jual suatu jenis valuta pada saat tertentu dengan harga jual/beli valuta yang bersangkutan pada akhir masa transaksi. Dari pengertian atau definisi tersebut, dapat dilihat bahwa margin trading hanyalah transaksi jual beli valuta asing yang tidak diikuti dengan perubahan harga. Berbeda dengan definisi transaksi derivatif yang merupakan perubahan istilah dari margin trading yang diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR Tanggal 29 Desember 1995 tentang Transaksi Derivatif (perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/74/KEP/DIR Tanggal 28 Februari 1991 tentang Margin Trading). Transaksi derivatif adalah suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasarinya seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrumen. Berbeda dengan margin trading, transaksi derivatif memiliki pengertian atau cakupan yang lebih luas. Jika pada margin trading hanya dilakukan untuk transaksi jual beli valuta asing, pada transaksi derivatif transaksi dilakukan pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasarinya seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks dimana bank dapat melakukan transaksi derivatif yang berkaitan dengan valuta asing dan bunga (termasuk saham jika ada izin dari Bank Indonesia secara kasus per kasus). Pelaksanaan atau unsur-unsur dari margin trading tidak sama kompleksnya dengan pelaksanaan atau unsur-unsur dari transaksi derivatif. Selain itu, margin trading dilakukan tanpa diikuti pergerakan dana.49 Berbeda dengan transaksi derivatif yang dapat dilakukan baik dengan atau tanpa diikuti pergerakan dana. Perbedaan atau perubahan lainnya yaitu terletak pada:

49

Transaksi tanpa diikuti pergerakan dana adalah transaksi yang tidak disertai dengan penyerahan dana pokok (notional amount), dan yang bergerak hanya margin yang merupakan hasil perhitungan antara notional amount dengan selisih kurs jual dan kurs beli.

(18)

i. Prinsip kehati-hatian bank dalam melakukan transaksi derivatif yang diwujudkan dalam ketentuan mengenai keharusan bagi bank dalam membuat pedoman pelaksanaan transaksi derivatif tidak ada pada margin trading. Hal ini diatur pada Pasal 3 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR Tanggal 29 Desember 1995 tentang Transaksi Derivatif. ii. Pada margin trading, tidak ada ketentuan mengenai standar isi kontrak yang

harus dibuat oleh bank dalam hal melakukan transaksi untuk kepentingan nasabah. Sedangkan pada transaksi derivatif diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR Tanggal 29 Desember 1995 tentang Transaksi Derivatif.

iii. Pada margin trading, unsur perlindungan terhadap nasabah kurang memadai. Hal ini dikarenakan tidak adanya ketentuan mengenai keharusan penjelasan dari bank pada nasabah yang akan melakukan transaksi derivatif. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR Tanggal 29 Desember 1995 tentang Transaksi Derivatif diatur dalam Pasal 5 ayat (1). Berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut, dapat dikatakan bahwa pengaturan transaksi derivatif dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR Tanggal 29 Desember 1995 lebih memperhatikan adanya prinsip kehati-hatian bank yang memiliki implikasi penting dalam rangka terciptanya iklim perbankan yang sehat tanpa mengesampingkan perlindungan terhadap nasabah sebagai pelaku transaksi derivatif.

Pada tahun 2005, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/31/PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif yang mencabut atau menggantikan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR Tanggal 29 Desember 1995. Pada PBI tersebut, terdapat beberapa perbedaan dengan ketentuan pada SKDIR BI, antara lain:

i. Pada Pasal 4 ayat (6) PBI Nomor 7/31/PBI/2005, ketentuan yang menyatakan bahwa agar kontrak sebagaimana dimaksud ayat (4) dan (5) wajib dicetak dalam ukuran huruf yang besar sehingga mudah dibaca. Sedangkan pada SKDIR BI Nomor 28/119/KEP/DIR ketentuan tersebut

(19)

menyatu pada Pasal 5 ayat (3) huruf c yang berbunyi bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban nasabah yang harus dicetak dalam ukuran huruf yang besar sehingga mudah dibaca. Perbedaan tersebut memiliki penafsiran yang berbeda karena pada SKDIR BI yang harus dicetak dalam ukuran huruf yang besar hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban nasabah saja. Sedangkan pada PBI Nomor 7/31/PBI/2005, yang harus dicetak dalam ukuran huruf yang besar sehingga mudah dibaca adalah seluruh ketentuan atau pasal dalam kontrak yang dibuat oleh bank dengan nasabah. Hal ini karena pada PBI Nomor 7/31/PBI/2005 ketentuan tersebut berdiri sendiri (pada Pasal 4 ayat (6)).

ii. Adanya ketentuan mengenai jenis-jenis transaksi derivatif pada Pasal 7 ayat (2) PBI Nomor 7/31/PBI/2005 yaitu transaksi forward, swap, option, currency futures, dan transaksi dengan valuta today dan tomorrow yang disintesiskan sebagai transaksi derivatif dan atau interest rate swap, interest rate option, FRAs dan interest rate futures.

iii. Ketentuan mengenai sanksi bagi bank yang melakukan pelanggaran terhadap beberapa pasal dalam PBI Nomor 7/31/PBI/2005 diatur lebih jelas atau lengkap dibandingkan dengan ketentuan dalam SKDIR BI Nomor 28/119/KEP/DIR.

Kasus Bank Duta melawan National Bank of Kuwait merupakan kasus mengenai transaksi derivatif yang pertama terjadi di Indonesia, bahkan sebelum pengaturan mengenai transaksi derivatif itu sendiri ada atau dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Akibat transaksi derivatif yang dilakukannya dengan National Bank of Kuwait, Bank Duta mengalami kerugian sebesar US $419 Juta. Kala itu, Bank Duta melakukan transaksi derivatif valuta asing dengan National Bank of Kuwait. Bank Duta mengalami kerugian karena pada waktu itu melakukan tindakan close out terhadap posisi long dengan National Bank of Kuwait dalam permainan valuta asingnya.50 Sebagai dampaknya, banyak nasabah Bank Duta yang dirugikan. Hal ini karena Bank Duta melakukan transaksi derivatif valuta asing tersebut

50

(20)

untuk kepentingan nasabah (selain untuk kepentingan Bank Duta sendiri). Dapat dikatakan bahwa kasus ini merupakan salah satu alasan pemerintah (dalam hal ini Bank Indonesia) untuk menetapkan adanya suatu pengaturan mengenai transaksi derivatif (kala itu margin trading).

Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR Tanggal 29 Desember 1995, transaksi derivatif memperoleh kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam praktek perbankan di Indonesia. Selain dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR Tanggal 29 Desember 1995, pengaturan lainnya terkait transaksi derivatif yaitu adanya Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan dan Prosedur Kegiatan Transaksi Derivatif yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

2.2 Transaksi Derivatif Sebagai Suatu Kontrak

2.2.1 Syarat Sahnya Suatu Kontrak Berdasarkan KUHPerdata

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perjanjian yang diadakan secara tertulis lebih dikenal dengan nama “kontrak” 51.

Berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

Para pihak yaitu orang-orang yang merupakan subyek dalam suatu perjanjian harus bersepakat artinya setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang telah diadakan. Jadi apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, dikehendaki pula oleh yang lain. Para pihak menginginkan sesuatu yang sama secara timbal-balik. Ketika kontrak

51

(21)

ditandatangani, terjadi salah satu dari unsur-unsur paksaan, penipuan, dan kekhilafan, maka terhadap kontrak tersebut tidak terpenuhi syarat adanya kesepakatan kehendak.

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;

Berdasarkan Pasal 1329 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali bagi mereka yang dinyatakan tidak cakap untuk itu sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:

i. Orang-orang yang belum dewasa;

ii. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

iii. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, ketentuan bahwa istri yang dinyatakan tidak cakap untuk membuat perikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 angka (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata sudah tidak berlaku lagi. Dalam Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 diatur ketentuan bahwa:

i. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

ii. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. iii. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga

Berdasarkan ketentuan tersebut, walaupun suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga, tetapi baik suami maupun istri memiliki hak dan kedudukan yang seimbang dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (termasuk membuat perjanjian).

c. Mengenai suatu hal tertentu;

Suatu perjanjian haruslah memiliki objek tertentu. Khususnya jika obyek kontrak tersebut berupa barang sebagai berikut:

(22)

i. Barang yang merupakan objek kontrak haruslah barang yang dapat diperdagangkan (Pasal 1332 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

ii. Pada saat kontrak dibuat, minimal barang tersebut sudah dapat ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

iii. Jumlah barang tersebut boleh tidak tertentu, asal saja jumlah tersebut kemudian dapat ditentukan atau dihitung (Pasal 1333 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

iv. Barang tersebut dapat juga barang yang baru akan ada di kemudian hari (Pasal 1334 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata );

v. Tetapi tidak dapat dibuat kontrak terhadap barang yang masih ada dalam warisan yang belum terbuka (Pasal 1334 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).52

d. Suatu sebab yang halal.

Sebab yang halal adalah isi dari perjanjian itu sendiri, bukan sesuatu yang menyebabkan seseorang yang membuat perjanjian. Dalam hal ini undang-undang hanya memperhatikan atau mengawasi isi dari perjanjian saja dan apabila tujuan yang hendak dicapai dengan perjanjian ternyata bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan, maka perjanjian tersebut adalah tidak halal.

Dua syarat yang pertama (adanya kesepakatan dan kecakapan para pihak) dinamakan syarat subyektif dan dua syarat yang terakhir (suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal) dinamakan syarat obyektif. Apabila syarat-syarat atau salah satu syarat dari empat syarat tersebut di atas tidak dipenuhi maka dapat berakibat batal demi hukum atau dapat dimintakan pembatalannya. Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau dituntut pembatalannya (voidable). Dan sepanjang belum ada pihak yang mengajukan permohonan kepada hakim untuk membatalkan perjanjian, maka perjanjian ini tetap mengikat para pihak. Yang berhak menuntut pembatalan terhadap perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif ini adalah pihak yang memberikan sepakat tidak bebas atau pihak yang tidak cakap. Dalam hal perjanjian yang dilakukan oleh seorang anak yang belum

52

Munir Fuady, “Hukum Kontrak ( Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis)”, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 72.

(23)

dewasa, maka anak itu dapat dapat menuntut pembatalannya bila ia sudah menjadi dewasa atau orang tua/walinya. Dalam hal seorang yang berada di bawah pengampuan, pengampunyalah yang dapat meminta pembatalan dan dalam hal seorang yang telah memberikan sepakat atau perijinannya secara tidak bebas, dia sendiri yang dapat meminta pembatalan perjanjiannya. Berdasarkan Pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hak untuk meminta pembatalan ini dibatasi yaitu selama atau dalam jangka waktu waktu 5 (lima) tahun. Selain itu, dalam Pasal 1456 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditentukan bahwa hak tuntutan untuk membatalkan suatu perjanjian menjadi gugur apabila terdapat penguatan (affirmation) secara tegas atau secara diam-diam oleh orang tuanya, wali atau pengampu dari suatu pihak yang tidak memenuhi syarat subyektif.

Sedangkan untuk perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif, maka perjanjian tersebut ialah batal demi hukum (null and void). Jadi dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Dengan demikian tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim53.

2.2.2 Kontrak Transaksi Derivatif Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Sebagaimana telah diatur dalam dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/74/KEP/DIR Tanggal 28 Februari 1991 tentang Margin Trading yang telah dicabut dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR Tanggal 29 Desember 1995 tentang Transaksi Derivatif dan dicabut kembali dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/31/PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif bahwa transaksi derivatif adalah suatu kontrak atau perjanjian pembayaran, maka ketentuan tentang transaksi derivatif harus tunduk pada syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Demikian pula dengan aspek lainnya dari hukum perjanjian yaitu:

a. Asas konsensualisme, yakni perjanjian telah mengikat ketika ada kata sepakat dari para pihak. Jadi perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang

53

(24)

pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu yang formalitas (Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

b. Sistem terbuka dari hukum perjanjian pada prinsipnya. Hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja yang dikehendaki, asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). c. Wanprestasi, yang terdapat dalam empat macam yaitu:

i. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

ii. melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan; iii. melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;

iv. melakukan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.54 d. Akibat tidak dipenuhinya perjanjian, dikenakan beberapa sanksi yaitu:

i. membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi;

ii. pembatalan perjanjian atau juga dinamalan pemecahan perjanjian; iii. peralihan risiko;

iv. membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.55

Kontrak derivatif adalah transaksi sui generis. Transaksi derivatif tidak dapat ditundukkan kepada jenis kontrak dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang disebut sebagai kontrak bernama dan berbeda dengan transaksi yang telah dikenal dalam perekonomian seperti kredit dan surat berharga. Tingkat kecanggihan transaksi dan potensi risiko yang ditimbulkan merupakan faktor yang membedakan transaksi derivatif dengan transaksi lainnya.

Transaksi derivatif juga bukan termasuk dalam transaksi untung-untungan (perjudian) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1774 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan Pasal 1774 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian untung-untungan merupakan suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun pihak tertentu saja, bergantung pada suatu kejadian yang belum

54

Subekti, op. cit., hal. 45.

55

(25)

tentu. Perjanjian untung-untungan hanya berlaku terhadap perjanjian pertanggungan, perjanjian bunga cagak hidup dan kontrak perjudian atau petarungan. Transaksi derivatif tidak termasuk dalam perjanjian perjudian karena transaksi derivatif dan kontrak perjudian memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Kontrak yang terjadi dalam perjudian tidak dapat dipaksakan atau dituntut secara hukum (pemenuhannya secara sukarela) dan jika seseorang telah membayar kewajibannya, maka ia tidak boleh menuntut kembali apa yang telah dibayarnya. Selain itu, adanya konsep trading dalam transaksi derivatif yang membedakan dan tidak dimiliki oleh kontrak perjudian. Konsep trading dalam transaksi derivatif meliputi strategi trading, faktor perubahan harga, analisis fundamental (prinsipnya berdasarkan supply dan demand), analisis teknik (chart based), cara-cara mengatasi kerugian, dan penentuan waktu.56 Dengan demikian, alasan bahwa transaksi derivatif tidak termasuk dalam perjanjian untung-untungan atau perjudian menurut pengertian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu:

i. Terhadap berbagai jenis kontrak derivatif, para pihak tidak berpegang pada hal-hal yang bersifat untung-untungan semata-mata, tetapi dapat diperhitungkan dan diprediksi secara rasional, bahkan secara matematis dan statistik, walaupun prediksinya dapat berubah-ubah. Untuk memperhitungkan pergerakan harga, bahkan pihak trader menggunakan analisis matematis yang disebut dengan Mathematical Charting Analysis.

ii. Sudah merupakan praktek yang lazim secara universal di dunia bisnis dan modern untuk melakukan transaksi derivatif sehingga tidak pantas lagi digolongkan sebagai suatu bentuk perjudian.

iii. Dalam dunia perbankan, Bank Indonesia telah mengatur rambu-rambu terhadap pelaksanaan transaksi derivatif, sehingga diharapkan praktek transaksi derivatif dapat dilakukan secara fair, tertib, dan sesuai dengan kaidah-kaidah hukum pada umumnya.

iv. Terhadap jenis transaksi tertentu, transaksi derivatif bahkan sangat bermanfaat dan merupakan suatu kebutuhan dalam praktik, yaitu bagi para pihak yang akan melakukan transaksi derivatif untuk kepentingan lindung nilai (hedging) sehingga

56

(26)

pihak tersebut dapat terhindar misalnya dari risiko mata uang atau fluktuasi tingkat suku bunga.57

Transaksi derivatif juga bukan merupakan perjanjian jual beli. Hal ini karena transaksi derivatif tidak memenuhi unsur-unsur perjanjian umum sebagaimana terdapat dalam Pasal 1459 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana salah satunya berupa syarat penyerahan (dalam perjanjian jual beli dipersyaratkan terjadinya penyerahan).

Berdasarkan Pasal 1 huruf b Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR Tanggal 29 Desember 1995 tentang Transaksi Derivatif disebutkan bahwa transaksi derivatif adalah suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasarinya seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrumen. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia ini perjanjian/kontrak derivatif tidak perlu dilakukan dengan pergerakan dana/instrumen. Pergerakan dapat diartikan sebagai bentuk “penyerahan” dalam transaksi derivatif.58

2.2.3 Kontrak Baku Pada Transaksi Derivatif Dalam Praktek Perbankan

Perjanjian sebagaimana pada umumnya dibuat oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan dari masing-masing pihak. Para pihak menyepakati perjanjian yang dibuat tanpa adanya paksaan dari siapapun dan dalam keadaan apapun. Kontrak baku merupakan perjanjian yang tidak dibuat atas dasar kesepakatan para pihak. Hal ini dikarenakan kontrak baku sudah ada atau sudah dibuat oleh salah satu pihak sebelum perjanjian dengan pihak lain dilakukan. Jadi kontrak baku dibuat tanpa mempertimbangkan kepentingan atau tanpa adanya kesepakatan secara menyeluruh dari pihak lain mengenai isi perjanjian (kontrak).

57

Ibid.

58

Transaksi tanpa diikuti pergerakan dana adalah transaksi yang tidak disertai dengan penyerahan dana pokok (notional amount), dan yang bergerak hanya margin yang merupakan hasil perhitungan antara notional amount dengan selisih kurs jual dan kurs beli atau selisih suku bunga (Dian E. Rae, op. cit., hal. 209-210).

(27)

Pada dasarnya kontrak baku merupakan penyimpangan dari asas kebebasan berkontrak sebagaimana dianut oleh hukum perjanjian. Asas kebebasan berkontrak hanya dapat dicapai di antara para pihak yang mempunyai kedudukan yang seimbang. Keseimbangan hanya dapat dilakukan melalui proses negosiasi. Penyerahan kontrak baku oleh salah satu pihak dalam suatu transaksi kepada pihak lainnya sebagai perjanjian yang nantinya akan mengikat bagi para pihak tersebut merupakan pemaksaan kehendak yang belum tentu dapat diterima sepenuh hati oleh pihak lainnya (menerima dengan terpaksa). Pihak yang lemah hanya mempunyai pilihan take it or leave it.

Dalam praktek, semakin banyak kecenderungan perjanjian dalam transaksi bisnis bukan karena proses negosiasi yang seimbang di antara para pihak. Transaksi dilakukan dengan membuat klausula baku yang memut syarat-syarat baku dalam klausula-klausula oleh salah satu pihak pada suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak. Pada umumnya pihak yang menyiapkan kontrak baku adalah pihak yang memiliki kedudukan yang lebih kuat. (tidak memiliki kekuatan untuk melakukan negosiasi). Hal ini menimbulkan keadaan berat sebelah. Pada umumnya pula, perjanjian demikian dibuat secara kolektif. Perjanjian demikian lazim disebut perjanjian baku atau kontrak standar. Sebenarnya yang dibakukan bukan perjanjian melainkan klausulanya. Hanya beberapa bagian saja yang tidak dibakukan misalnya mengenai jenis, harga, jumlah, tempat, dan hal-hal lainnya yang bersifat spesifik dari perjanjian.

Permasalahan lain yang dapat terjadi sehubungan dengan kontrak baku adalah mengenai keabsahan kontrak baku yang sehubungan dengan dimuatnya klausula-klausula yang tidak wajar yang memberatkan pihak lawan. Beberapa pendapat sarjana hukum di Belanda mengenai kontrak baku sebagaimana dikemukakan oleh Sluitjer bahwa perjanjian baku bukan merupakan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha adalah seperti pembentuk undang-undang swasta. Menurut Pitlo, perjanjian baku seperti halnya perjanjian paksa (dwangcontract). Sedangkan Hondisius mengatakan bahwa kontrak baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu

(28)

lintas perdagangan.59 Karena transaksi derivatif cukup rumit, banyak pihak mengguankan format acuan untuk membuat kontrak transaksi derivatif yang disusun oleh ISDA.

International Swaps and Derivatives Associations (ISDA) adalah lembaga internasional yang didirikan pada tahun 1985. Pendirian lembaga ini ditujukan untuk melakukan standarisasi istilah-istilah dan penyederhanaan dokumentasi dari swap. Tujuan disusunnya ISDA adalah untuk mengurangi ketidakpastian hukum dan mengurangi risiko karena kesimpangsiuran dan ketidaksatuan istilah termasuk syarat dan ketentuan transaksi. Namun tujuan format tersebut tidak untuk membakukan kontrak. Hal ini sesuai dengan pandangan ISDA mengenai kontrak SWAP sebagai berikut:

“the term, the effective date, the termination date, the inteters rate option, the notional amount and the payments dates of Swap Market Transactions are not standardized. As a result, Swap Market Transaction remain in most important respect individually tailored and negotiated commercial transactions.”60

Pada tahun 1985 dimulai dengan dikeluarkannya Code of Standard Wording, Assumptions and Provisions for Swaps yang kemudian diperbarui pada tahun 1986. Pada tahun 1987 dikeluarkan ISDA Master Agreement yang memasukkan juga berbagai jenis produk derivatif selain swap bunga dan mata uang asing. Dengan adanya ISDA Master Agreement, perjanjian di bidang derivatif mengarah pada bentuk yang seragam. ISDA Master Agreement merupakan dokumen pokok untuk suatu transaksi derivatif. ISDA Master Agreement terdiri dari:

a. Schedule to International Swap and Derivatives Associations (ISDA) Master Agreement, memuat tentang pilihan-pilihan yang wajib atau yang dapat dilakukan oleh para pihak dan ketentuan-ketentuan yang dapat ditambahkan oleh para pihak

59

Arie Kusumastuti Maria, “Perlindungan Hukum Dalam Rangka Transaksi Derivatif Financial Currency Swap Dalam Praktek Perbankan di Indonesia,” (Tesis magister kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2002), hal 121-122.

60

(29)

untuk melengkapi atau sebaliknya mengesampingkan ketentuan-ketentuan umum yang diatur dalam ISDA Master Agreement.

b. Confirmation, memuat tentang ketentuan-ketentuan yang bersifat komersial yang telah disepakati oleh para pihak seperti termasuk adanya perubahan-perubahan mengenai kesepakatan yang spesifik.

Schedule dan Confirmation merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ISDA Master Agreement. ISDA Master Agreement tidak dapat diberlakukan tanpa disepakatinya Schedule dan Confirmation. Model standar International Swap and Derivatives Associations (ISDA) Agreement dengan tegas menentukan bahwa jika ada pertentangan antara Confirmation di satu pihak dengan Schedule atau Master Agreement di lain pihak, maka yang berlaku adalah Confirmation tersebut. Jika terdapat pertentangan antara Schedule dengan Master Agreement, maka yang berlaku adalah Schedule tersebut.

Keberlakuan ISDA dalam bank sendiri dapat diterapkan. Ada bank yang menggunakan ISDA Master Agreement dalam transaksi derivatif yang dilakukannya untuk kepentingan nasabah dan ada pula yang hanya menggunakan bilateral agreement (tanpa ISDA Master Agreement). Dalam hal bank menggunakan ketentuan ISDA, pada umumnya dalam praktek kesepakatan antara pihak nasabah dengan bank dilakukan melalui telepon dan akan dituangkan dalam atau dilanjuti dengan pengiriman konfirmasi atas transaksi yang telah disepakati oleh para pihak.61

2.3 Keabsahan Transaksi Derivatif Berdasarkan Hukum Yang Berlaku

Dasar hukum keberlakuan transaksi derivatif sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia memiliki implikasi bahwa keabsahan transaksi derivatif sebagai salah satu kegiatan dalam perekonomian bergantung pada dipenuhi atau tidaknya ketentuan dalam peraturan tersebut. Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/74/KEP/DIR Tanggal 28 Februari 1991 tentang Margin Trading yang diganti dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR Tanggal 29 Desember

61

Berdasarkan hasil wawancara dengan Theodora Vinca N. Manik , Treasury Group Bank Mandiri tanggal 27 Oktober 2008.

(30)

1995 tentang Transaksi Derivatif ditentukan bahwa transaksi derivatif adalah suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasarinya seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrumen. Jadi keabsahan transaksi derivatif sebagai suatu kontrak bergantung pada syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Akan tetapi, aspek hukum perjanjian sebagai faktor penentu keabsahan transaksi derivatif tidak terlepas dari dipenuhinya ketentuan dalam Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/74/KEP/DIR Tanggal 28 Februari 1991 tentang Margin Trading yang telah diganti dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR Tanggal 29 Desember 1995 tentang Transaksi Derivatif itu sendiri.

(31)

BAB 3

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH BANK DALAM TRANSAKSI DERIVATIF

3.1. Aspek Hukum Perbankan

Prinsip kehati-hatian dalam perbankan merupakan prinsip yang sangat penting bagi bank dalam menjalankan usahanya sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yaitu:

“Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”.

Sebagaimana diketahui bahwa transaksi derivatif memiliki risiko sangat tinggi. Oleh karena itu diperlukan adanya campur tangan sektor hukum yang mak- simal sehingga risiko dapat diminimalkan. Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan tentang penerapan manajemen risiko untuk transaksi derivatif sejak 1995. Dalam dokumen-dokumen tersebut berisi petunjuk untuk melaksanakan transaksi derivatif yang memperhatikan sounds risk management. Penekanannya adalah pada tiga pilar dasar prinsip pengendalian risiko:62

a. Pilar pertama, dalam menjalankan kewajibannya untuk melakukan pengawasan aktif dewan direksi dan manajemen senior memberikan persetujuan atas kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan risiko, termasuk segala aktivitas yang terkait dengan transaksi derivatif. Kebijakan yang ada harus konsiten dengan strategi bisnis perusahaan, pengelolaan modal, keahlian manajemen dan risk appetite bank. Dalam hal ini direksi harus menerima laporan secara rutin mengenai eksposur yang diambil oleh bank dan secara berkala mengevaluasi kebijakan risk management atas kegiatan dan aktivitas yang secara signifikan mempengaruhi pendapatan bank. b. Pilar kedua, hal penting di dalam proses manajemen risiko adalah pen-dekatan yang

komprihensif atas pengukuran risiko, struktur limit, sistem informasi manajemen

62

Lisana Tedjokoesoemo, “Sisi Baik Buruk Dari Transaksi Derivatif”, <http://library /cyberlib/news detail.aspx?idberit =61509 & idsatker=PR Ad&zoom_highlight= transaksi+ de rivatif+perbankan>, 2 Februari 2005.

(32)

dalam rangka pengawasan dan pelaporan. Sistem yang digunakan untuk menghitung risiko transaksi derivatif harus bersifat komprihensif dan akurat.

c. Pilar ketiga, untuk tercapainya pengendalian internal diperlukan independensi antar unit kerja yang menangani transaksi derivatif yaitu adanya pembagian tugas yang jelas antara fungsi front office (penjualan, pemasaran serta trader), risk management functions, middle office functions dan back-office functions (operasional).

Untuk mengelola sebuah bank secara baik berdasarkan prinsip-prinsip perbankan yang sehat dan dinamis (prudential banking), ada beberapa langkah yang harus diperhatikan secara seksama. Langkah-langkah itu terdiri dari: 63

a. Perumusan kebijaksanaan bank

Langkah pertama yang dilakukan oleh top manajemen bank yaitu para anggota direksi (bersama-sama dengan para komisaris) adalah menyusun suatu ramalan bisnis dengan melihat kondisi internal dan eksternal. Kondisi internal yang perlu dilihat dalam pola dasar manajemen bank guna perumusan kebijaksanaan adalah fasilitas yang tersedia distribusi aktiva pendapatan dan biaya. Sedangkan kondisi eksternal yang perlu ditelaah adalah peraturan-peraturan yang berlaku, situasi moneter lokal dan nasional, kondisi perdagangan dan situasi moneter. Secara ringkas ada dua macam kebijaksanaan bank yang perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh, yaitu:

i. Kebijaksanaan yang dirumuskan sesudah pertimbangan-pertimbangan yang matang terhadap konsekuensi dari semua pilihan yang tersedia.

ii. Kebijaksanaan yang timbul dari tindakan tunggal atau berulang-ulang. Dalam prudential banking, dewan komisaris mempunyai kedudukan yang penting. Mereka bertugas tidak hanya melakukan pengawasan umum atau mengawasi kebijaksanaan tetapi juga melakukan analisis atas berbagai masalah bank dan memberikan masukan-masukan penting bagi direksi dan staf-staf profesional.

63

O.C.Kaligis, “Analisa Yuridis Mengenai Kasus-Kasus Transaksi Derivatif,” < http:// 09 . 85 .175.104/search?q=ca che:_wrfB6u4JQgJ:www.o cklaw.com/images/attachment/11 7 525 45. 2 493analisaderivatif.pdf+analisa+yuridis+tentang+transaksi+derivatif&hl=I d&ct=clnk&cd=1 &g l=id>,9 September 2008.

(33)

b. Penyusunan rencana rengembangan organisasi.

Suatu langkah utama untuk mencapai tujuan organisasi dan untuk menunaikan kewajiban dan tanggung jawab adalah merencanakan organisasi dan mengembangkannya. Pada dasarnya perencanaan organisasi atau mengevaluasi organisasi yang ada adalah pembagian kerja (division of work) yang logis, penetapan garis wewenang yang jelas, pengukuran pelaksanaan dan prestasi. Melalui perencanaan yang demikian akan dapat dibuat struktur organisasi yang sehat dan efektif. Bagi bank-bank yang telah berjalan, dapat pula dilakukan reorganisasi guna penyesuaian organisasi pada kebutuhan bisnis masa kini.

c. Staffing dan pengembangan managerial skill.

Top manajemen bertanggung jawab terhadap lancarnya rancangan organisasi dengan membuat program yang dirancang dan dilaksanakan untuk menjamin staffing yang sesuai dengan struktur organisasi, sekurang-kurangnya untuk jabatan senior dan pengawas. Perlu ditekankan bahwa pada umumnya perencanaan manajemen bukanlah melaksanakan sendiri pemecahan masalah-masalah tertentu yang dihadapi, melainkan mengawasi bahwa tindakan-tindakan yang semestinya telah dilaksanakan oleh orang-orang lain dengan cara yang teratur, efektif dan kontinu.

d. Pengawasan internal.

Kelancaran operasi bank adalah kepentingan paling utama dari direksi (top manajemen) melalui pengawasan, para manajer dapat menentukan tercapai tidaknya harapan mereka. Di samping itu, pengawasan ini dapat membantu manajer mengambil keputusan yang lebih baik.

e. Penetapan sistem manajemen.

Sistem manajemen yang kita maksudkan dalam pembahasan ini adalah berhubungan dengan tata cara bank mengatur pola operasional dari berbagai aktivitas bank. Pola ini erat pula dengan sistem sentralisasi maupun desentralisasi.

f. Sound banking business sebagai suatu sistem universal yang harus diikuti oleh manajemen bank.

(34)

Pengelolaan bisnis harus berdasarkan norma perbankan yang sehat dengan memadukan unsur agent of development dan financial intermediary, sehingga peranan bank dalam ekonomi akan benar-benar terasa manfaatnya. Sebagai agent of development, bank tidak semata-mata mengejar profit, tetapi juga memperhatikan prioritas-prioritas pembiayaan pembangunan nasional sesuai dengan tahap-tahap yang ditetapkan. Dengan demikian, bank sebagai lembaga keuangan yang berfungsi sebagai financial intermediary atau perantara keuangan dari dua pihak, yakni pihak yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana hendaklah memperhatikan prinsip-prinsip tersebut di atas dalam rangka melindungi pihak-pihak yang berkaitan dengannya.

Penerapan prinsip kehati-hatian memiliki kaitan yang cukup erat dengan pemberian perlindungan hukum kepada nasabah bank. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan, yakni:64

“Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hubungan bank dengan nasabah adalah hubungan kontraktual yang dilandasi prinsip kehati-hatian bank.

Pengaturan transaksi derivatif di Indonesia pertama kali diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Bank Indonesia Nomor 23/74/KEP/DIR Tanggal 28 Februari 1991 tentang Margin Trading yang telah dicabut dan digantikan dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR Tanggal 29 Desember 1995 tentang Transaksi Derivatif. Walaupun substansi pokok dari ketentuan tersebut ialah menyangkut kehati-hatian perbankan, tetapi beberapa ketentuan dalam Peraturan Perbankan tersebut juga terkait dengan upaya untuk melindungi nasabah selaku konsumen bank. Adapun

64

Indonesia, Undang-Undang Perbankan, UU No. 10 tahun 1998, LN No. 182 tahun 1998, TLN No. 3790, Penjelasan Umum.

(35)

ketentuan-ketentuan dalam peraturan tersebut terkait dengan aspek perlindungan nasabah yaitu:

a. Keharusan Adanya Pedoman Transaksi Derivatif

Peraturan tersebut menyebutkan bahwa bank wajib memiliki pedoman transaksi derivatif yang harus disetujui oleh Direksi dan Dewan Komisaris. Pedoman yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan dan Prosedur Kegiatan Transaksi Derivatif) tersebut bersifat memaksa dan harus diikuti atau dilakukan oleh bank. Kemampuan bank untuk menyusun pedoman ini merupakan kunci penilaian dari Bank Indonesia. Kemampuan untuk menyusun pedoman ini akan mempengaruhi penilaian Bank Indonesia mengenai kemampuan dan pengetahuan bank untuk melakukan transaksi derivatif serta kemampuan untuk mengidentifikasi dan menghitung potensi risiko yang mungkin timbul. Bank juga dianggap telah siap melakukan transaksi derivatif, apabila bank telah memiliki pedoman transaksi derivatif (pedoman operasional), sumber daya manusia, sistem pengendalian intern dan dokumentasi. Adapun ketentuan dalam Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan dan Prosedur Kegiatan Transaksi Derivatif yang terkait dengan perlindungan terhadap nasabah yaitu:

“Dalam hal transaksi derivatif untuk kepentingan nasabah harus memuat pokok-pokok berikut:

1. Penjelasan kepada nasabah mengenai risiko yang timbul dari transaksi derivatif.

2. Kontrak dengan nasabah harus memuat informasi yang lengkap.

3. Penandatanganan kontrak dengan nasabah harus dilakukan oleh pejabat bank yang bertanggung jawab.”

b. Keterbukaan (Disclosure)

Prinsip keterbukaan (disclosure) diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR Tanggal 29 Desember 1995 tentang Transaksi Derivatif yaitu:

Referensi

Dokumen terkait

Hasil kajian ini menunjukkan bahwa persepsi wisatawan tentang daya tarik wisata bahari di Pantai Tanjung Benoa, Provinsi Bali termasuk dalam kategori menarik; persepsi

[r]

Berdasarkan kondisi eksisting, hasil analisis usahatani padi sawah di Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung, secara multidimensi menunjukkan kategori kurang

Textures provide important characteristics for the analysis of many types of images including natural sensing data and biomedical modalities. In this study, we mainly used the

Berdasarkan tinjauan singkat tentang pandangan konsep pendidikan seni, dapatlah dikatakan bahwa arahan konsep pendidikan seni secara garis besar dapat dikelompokkan

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2006 yaitu laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN masih mendapat predikat

Dalam rangka meningkatkan kemampuan penggunaan Sistem Informasi Manajemen Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SIMLITABMAS) di perguruan tinggi dalam unggah dan

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami pengertian piranti menjahit, kegunaan piranti menjahit, mengetahui berbagai jenis mesin jahit dan mesin