• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV SITUASI SOSIAL KOMUNITAS DUA DESA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV SITUASI SOSIAL KOMUNITAS DUA DESA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Uraian tentang situasi dua desa lokasi penelitian di bab ini seperti seseorang mencatat kejadian-kejadian ketika kembali ke kampong halaman. Namun pencatatannya, bukan soal rindu dendam pada masa lalu di kampong halaman, melainkan mencaat upaya ketika merefleksikan diri, membangun dialektika pengetahuan baru dalam memandang pengalaman masa lalu di kampong halaman. Dapat diistilahkan seperti pengelana yang menuntut ilmu ke luar daerah dan pulang ke daerah asalnya untuk mengenal kabar perubahan dan menyelami kembali serta mencatat kondisi terkini daerahnya.

4.1. Sejarah Desa

Sepanjang perjalanan pulang kampong, gambaran sejarah masa lalu tergambarkan begitu nyata. Sampai di kampong, yang pertama dilakukan adalah mengunjungi tokoh-tokoh tua di kampong. Yakup Hi Naser, seorang tokoh adat yang dianggap sebagai ’orang tua’ di desa menceritakan bahwa Desa Susupu, berasal dari komunitas masyarakat yang berada di daerah pegunungan wilayah Sahu.

Komunitas ini adalah komunitas pedalaman, sering kali disebut sebagai Sahu pedalaman. Sahu pedalaman adalah cikal bakal desa Susupu, sementara wilayah pesisir Barat pantai Sahu yang kelak menjadi Desa Susupu, sekitar 1200 M masih merupakan daerah tak berpenghuni. Semua komunitas masyarakat bermukim di daratan pedalaman Sahu, di kampong Balisoang, Taraudu, Idamgamlamo, dan Gamomeng.

Mulanya masyarakat di pedalaman Suku Sahu masih menganut kepercayaan animism, percaya kepada roh-roh halus, pohon-pohon, batu-batuan yang di anggap memiliki kekuatan supranatural. Kepercayaan animism menjadi pudar ketika pengaruh agama Kristen dan Islam masuk di Pulau Halmahera, termasuk di Kecamatan Sahu. Pengaruh agama kristen sangat kuat, disebabkan kehadiran para misionaris di Sahu, sehingga agama kristen menjadi agama mayoritas pada masyarakat suku sahu. Sementara terdapat sebagian kecil masyarakat suku Sahu memilih menganut agama Islam.

(2)

Memudarnya sistem kepercayaan lokal (asli), tentu memberikan pemahaman bahwa kehadiran agama sebagai ideologi mampu membawa perubahan terhadap masyarakat di daerah penelitian. Hal ini memperkuat kesimpulan Dove (1985) yang menyatakan, bahwa tergusurnya agama lokal di suku Wana sebagai akibat dari modernisasi, berhasil membawa masuk agama baru dan menggusur agama lokal. Dengan demikian sangat keliru jika memandang agama hanya mampu memperlambat proses perubahan. Ini adalah suatu kesimpulan yang keliru. Justru sebaliknya ideologi, termasuk ideologi agama juga dapat mempermudah perubahan. Demikian tesis Max Weber (2002) dalam studinya tentang etika protestan dan semangat kapitalisme

Komunitas Sahu mengenal ikrar ”galib se likudi”. Makna ikrar tersebut adalah suatu kesepakatan dan perjanjian masyarakat Sahu atas pilihan agama yang di anut. Perbedaan agama kemudian membuat komunitas yang memeluk islam lebih memilih keluar dari kampong aslinya (Sahu) meninggalkan kerabatnya, saudaranya untuk pindah dan membuat suatu pemukiman tersendiri di daerah Saroang . Daerah Saroang dapat ditempuh dengan waktu 15 menit jalan kaki dari desa Balisoang. Saroang merupakan bukti sejarah masjid pertama kali dibangun sebagai tempat ibadah umat islam di Kecamatan Sahu.

Penyiar agama Islam di daerah Sahu adalah berasal dari Bangsa Arab yang bernama Bafagehe. Bafagehe mengajarkan Islam di daratan Sahu dengan metode pengajaran menggunakan syair-syair Islam dan diterjemahkan dengan bahasa Ternate, yang dikenal masyarakat sebagai ”dola bololo”. Bafagehe meninggal pada usia yang ke 120 tahun dan di makamkan di wilayah Sahu. Makamnya telah dijadikan sebagai jere (tempat keramat) oleh masyarakat masyarakat setempat.

Ada dua alasan mengapa masyarakat yang memeluk Islam memilih berpindah ke pesisir pantai Barat Sahu. Versi pertama adalah karena perbedaan keyakinan. Versi kedua mengatakan bahwa keluarnya masyarakat dari pedalaman Sahu ke pantai pesisir Barat Sahu, merupakan keinginan untuk mengembangkan variasi mata pencaharian sebagai nelayan.

4.2. Potret dua Desa

Ada baiknya menggambarkan lebih dahulu mengenai kampong ini secara sekilas. Kecamatan Sahu berada di Kabupaten Halmahera Barat, Propinsi Maluku Utara. Sebagaimana diketahui, Maluku dan Maluku Utara merupakan

(3)

gugusan kepulauan, banyak pulau betebaran di Maluku dan Maluku Utara, satu di antaranya adalah Pulau Halmahera. Halmahera adalah pulau terbesar di gugusan Kepulauan Maluku. Pemekaran daerah di Maluku Utara pada tahun 2001, menjadikan wilayah Maluku Utara secara administratif terbagi dalam beberapa kabupaten, yakni Kabupaten Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Barat. Halmahera Utara, Halmahera Selatan, Kepulauan Sula, dan Tidore Kepulauan

Untuk mencapai daerah ini, harus melintasi jalan udara, darat, dan laut. Dari Jakarta menggunakan pesawat terbang dengan lama perjalanan 3 sampai 5 jam, atau dapat pula menggunakan kapal laut selama kurang lebih 5 hari perjalanan. Ternate adalah gerbang menuju Halmahera. Ternate merupakan pulau tersendiri, terlihat gunung tinggi menjulang di tengah-tengah laut dan di antara gugusan kepulauan yang tampak bertebaran bila dilihat dari udara. Di bagian tepi gunung itulah kota Ternate terhampar.

Bandara terletak di tepi laut. Dari bandara, terdapat angkutan oto rental yang siap menghantar menuju pelabuhan penyeberangan di Dufa-Dufa Ternate menuju Halmahera Barat. Oto rental adalah sebutan mobil yang disewakan untuk umum, missal jenis mobilnya Avanza, Panther, Honda Jazz. Tidak banyak penumpang dapat dimuat di mobil ini, oleh karenanya harga sewa penumpangnya mahal. Di pelabuhan penyeberangan hampir setiap 5 menit angkutan penyeberangan muncul. Speed Boat, orang menyebut jenis angkutan laut itu, perahu dengan 2 motor pendorong berkapasitas besar. Speed boat ada dalam beberapa ukuran, ada yang dapat dimuati hingga 50 orang, ada yang berkapasitas penumpang 25 orang, dan ada pula yang berkapasitas penumpang 5 orang.

Untuk naik ke dalam speed penumpang harus membayar tiket penyeberangan di sebuah loket kecil di tepi jembatan penyeberangan. Harga tiketnya berbeda disesuaikan dengan jenis speed yang ditumpangi, yang berkapasitas 50 orang, kita membayar Rp 38.000,00 per orang, berkapasitas 25 orang membayar Rp 40.000,00 dan untuk berkapasitas 5 orang penumpang membayar Rp 55.000,00 per orang. Perjalanan dengan speed dari Ternate menuju Jailolo memakan waktu 1 hingga 1,5 jam. Sementara pelabuhan penyeberangan ini hanya dibuka dari jam 07.00, wit sampai dengan jam 18.00,wit.

(4)

Jailolo, adalah pintu gerbang Halmahera, merupakan kota pelabuhan yang relatif ramai sebagai daerah pemekaran. Untuk menuju Halmahera Utara, Timur, Halmahera Tengah dan Halmahera Barat, maka Jailolo-lah pintu gerbangnya. Secara administratif pelabuhan ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Halmahera Barat. Di dekat pelabuhan Jailolo, terdapat angkot dan ojeg, serta oto rental yang siap mengantarkan penumpang menuju daerah-daerah tujuan di dalam pulau Halmahera. Jailolo dapat dikatakan sebagai pusat perekonomian pulau ini. Di sini terdapat pasar yang cukup besar, sinyal handphone masih dapat tertangkap, dan fasilitas publik lainnya, seperti; kantor birokrasi, karena Jailolo sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Halmahera Barat, di daerah ini memiliki bank ( BRI dan BPD), pusat perbelenjaan, dll.

Dari Jailolo menuju Susupu, dapat ditempuh dengan angkot di mana penumpang dapat membayar Rp 25.000,00, atau oti rental Rp 30.000,00 per orang. Perjalanan menuju Susupu ditempuh sekitar 30 menit. Pasar yang terakhir dapat kita jumpai di gerbang keluar Jailolo yakni pasar Akediri dan pasar Akelamo, setelah itu, kita sama sekali tidak akan menjumpai pasar hingga ujung Barat pantai Sahu.

Untuk sampai ke Desa Susupu harus melewati daratan Sahu pedalaman yang mayoritasnya beragama Kristen dan juga merupakan cikal bakal masyarakat Desa Susupu. Sepanjang perjalanan secara selintas terlihat perkampungan di wilayah Kecamatan Sahu bukan merupakan model perkampungan masyarakat yang mengakomodasi percampuran agama. Selalu saja terlihat pemisahan desa antara desa muslim dengan desa nasrani.

Susupu adalah ibukota Kecamatan Sahu. Susupu merupakan perkampungan yang berpenghuni kurang lebih 1500 Kepala Keluarga (KK). Oleh karena dianggap sebagai kampung yang besar, maka Susupu dimekarkan menjadi enam desa kecil pada tahun 1985 oleh pemerintah Kecamatan Sahu. Keenam desa itu adalah Desa Susupu sebagai desa induk, Desa Lako Akelamo, Tacim, Ropu Tengah Balu, Jarakore, dan Desa Taruba. Dengan demikian, Susupu adalah desa induk dari komunitas desa-desa muslim yang berada di pesisir pantai Barat Sahu.

Lokasi penelitian adalah dua desa, Desa Susupu sebagai desa induk dan Desa Lako Akelamo yang merupakan desa pemekaran. Sebagai ibukota kecamatan, kantor-kantor pemerintah setingkat Kecamatan berpusat di Susupu. Di sepanjang jalan utama terdapat kantor dinas pemerintahan kabupaten, sepeti

(5)

Kantor Dinas Pengawas Sekolah, Kantor Urusan Agama (KUA), Kantor Kecamatan, Kantor Danramil. Sementara Desa Lako Akelamo berada di sebelah utara Desa Susupu, sebagai desa pemekaran di Lako Akelamo nyaris tidak terdapat kantor-kantor pemerintah kecuali Kantor Desa saja, itu pun nyaris sepi karena semua aktivitas administrasi desa dilakukan di rumah Kepala Desa.

Di Kota kecamatan maupun di kedua desa lokasi penelitian tidak terdapat bank maupun pasar. Akses terhadap lembaga keuangan terutama bank hanya terdapat di Jailolo. Meskipun demikian, akses keuangan kecil melalui kredit didapatkan melalui simpan pinjam pada koperasi yang terdapat di kedua desa.

Fasilitas jalan utama kecamatan terdapat di Desa Susupu, sementara di Lako Akelamo hanya fasilitas jalan desa. Fasilitas listrik ada di desa sejak tahun 1988, dan sempat terhenti selama kerusuhan 1999, dan dinyalakan kembali pada tahun 2001. Sekolah setingkat SMA terdapat di Susupu, di jalan desa, cabang dari jalan utama ke arah perkebunan kelapa. Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) dibangun melalui program pemerintah (P2DTK), demikian pula dengan fasilitas MCK masyarakat dibangun melalui program yang sama, sementara fasilitas air bersih dibangun melalui dana kompensasi BBM.

Bagian penting lain dari dua desa atau kampong---sebutan masyarakat ini adalah kebun kelapa. Kebun kelapa berada di bagian luar kampung. Apabila di perhatikan secara seksama lanskap kedua desa ini, maka secara pokok desa terbagi dalam dua lokasi. Pertama, perkampungan sebagai tempat tinggal dan aktivitas keseharian masyarakat. Kedua, lahan produksi masyarakat, terutama kebun kelapa yang berada terpisah dari perkampungan. Khusus untuk Desa Lako Akelamo, selain perkebunan kelapa, di perbatasan desa Bagian Selatan terdapat Muara Sungai Akelamo yang di manfaatkan oleh masyarakat sebagai tambak ikan, dan ladang sayur-mayur. Walaupun kedua desa berada di pesisir pantai selatan dekat dengan laut, namun laut bukanlah akses sumber nafkah utama masyarakat setempat, kebanyakan penduduk mengandalkan kehidupan sebagai petani kelapa.

Di Ujung Desa Susupu merupakan pantai pesisir Barat Sahu. Di sana terdapat bangunan baru yang telah diperuntukan sebagai tempat pariwisata. Sebagai tempat rekreasi lokal, tempat ini menjadi ramai bila hari libur.

Melihat peta wilayah Kabupaten Halmahera Barat desa Susupu dan Lako Akelamo berada di wilayah barat dengan jarak 16 kilo meter dari ibu kota

(6)

kabupaten yaitu Jailolo. Sebelah selatan Desa Susupu berbatasan dengan perkebunan/lahan pertanian masyarakat, sebelah tengah berbatasan dengan Desa Jarakore, Sebelah utara berbatasan dengan desa Ropu Tengah Balu, dan sebelah timur berbatasan dengan desa Tacim. Sementara di desa Lako Akelamo adalah sebelah selatan berbatasan dengan desa Lako Akediri, sebelah timur berbatasan dengan lahan pertanian/perkebunan masyarakat, sebelah utara berbatasan dengan Desa Jarakore, dan sebelah barat berbatasan dengan laut Maluku. Jalan antar kedua desa tersebut umumnya sudah aspal, hanya 0,5 km yang belum diaspal.

Prasarana komunikasi seperti telepon umum, wartel, warnet belum ada. Terdapat beberapa media informasi yang digunakan oleh masyarakat di dua desa ini. Media-media informasi tersebut diantaranya adalah radio, dan televisi. Kegunaan radio digunakan untuk mengakses informasi tentang perkembangan lokal yang bersifat kedaerahan di Provinsi Maluku Utara. Sedangkan televisi, bagi masyarakat setempat sebagai media untuk mengkases informasi nasional dan hiburan seperti halnya film senetron dan sebagainya. Di desa Susupu pengguna televisi menggunakan televisi kabel, dengan biaya perbulan sebesar 150 ribu rupiah disetor kepada pengusaha jaringan televisi kabel. Sementara khususnya di desa Lako Akelamo, mereka tidak menggunakan jaringan televisi kabel, tetapi menggunakan parabola. Menurut masyarakat di Desa Lako Akelamo parabola harganya kurang lebih dua juta rupiah, tetapi lebih ekonomis dibandingkan dengan memakai televisi kabel dengan setoran per bulan 150 ribu rupiah.

4.3. Stratifikasi Sosial Berdasarkan Hubungan Feodal

Setelah melihat dari luar, mari melihat masyarakat Susupu dan Lako Akelamo lebih dekat. Desa Lako Akelamo dan Desa memiliki perbedaan soa. Soa adalah stratifikasi sosial yang didasarkan pada hubungan feodal. Status hubungan feodal yang dinyatakan dalam soa, diturunkan terus-menerus melalui hubungan keturunan/kekerabatan pada masa kerajaan kesultanan Ternate.

Desa Lako Akelamo dan Desa Susupu memiliki akar historis yang sama. Kedua desa terlahir dari satu ”embrio” sebagai suku sahu, dan memiliki klasifikasi stratifikasi sosial berdasarkan soa. Masyarakat kedua Desa mengenal penyebutan soa dengan nama empat soa data atau ”soa raha,” , yaitu, soa sangaji, siyodi, talai, dan padisua. Soa-soa tersebut, dikelompokan berdasarkan

(7)

status sosial ,di lihat dari turunan/kekrabatan pihak kerajaan kesultanan ternate dan memiliki fungsi dan perannya masing-masing dalam masyarakat.

Soa sangaji, merupakan kelompok yang ditugaskan Sultan pada masa momole 1yaitu sekitar masa 1200-an untuk memimpin suatu komuntitas dan wilayah sebagai perpanjangan tangan Sultan dalam mengatur tugas-tugas pemerintahan pada wilayah kekuasaannya. Sementara Soa sioyodi adalah kelompok orang yang dipercayakan Sultan untuk memelihara pelestarian nilai-nilai adat istiadat. Sedangkan soa talai melakukan fungsi pelayanan terhadap Sultan dalam urusan logistik dan lain sebagainya. Menurut Awat Lolory, juri tulis Sultan Jailolo, dari ketiga soa yang disebutkan, terdapat satu soa yang disebut sebagai soa padisua, dalam bahasa Sahu artinya (lari dan tidak mendengar). Padisua merupakan suatu kelompok yang loyal terhadap Sultan, tetapi kelompok itu lari disaat pertemuan dengan Sultan membahas tentang pembentukan soa. Lihat Gambar 3.

.

Gambar 3: Stratifikasi Sosial dua Desa

Dengan klasifikasi staratifikasi sosial berdasar soa tersebut diatas, masyarakat Desa Susupu dan Lako Akelamo berada pada klasifikasi soa sangaji dan soa siyodi. Soa sangaji lebih mendominasi masyarakat di Desa Susupu,

1 Momole adalah masa pembagian kekuasaan oleh Sultan Ternate, bagian dari proses ekspansi

kesultanan Ternate.

Pelapisan Sosial

yang telah hilang

di masyarakat dua

Desa

Masy.

Desa

Susupu

Masy.

Desa

Lako

Akelamo

Soa sangaji

Soa siyodi

Soa talai

Soa padisua

(8)

sementara soa siyodi dan soa talai lebih banyak disandang oleh masyarakat di Desa Lako Akelamo.

Di dalam struktur sosial kedua desa tersebut, soa sangaji sangat dihormati karena merupakan turunan dari orang-orang pilihan sultan yang diberikan tanggungjawab sebagai pemimpin wilayah. Oleh karenanya, dalam pembagian kelas sosial di masyarakat soa sangaji dianggap menempati posisi sebagai kelas atas. Sementara soa siyodi dianggap masyarakat menempati posisi sebagai kelas menengah.

Pembagian status berdasarkan soa tersebut di atas, menurut Linton (1967) masuk dalam kategori (ascribed status) pembagian status yang diperoleh, bukan status yang diraih (achieved status). Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.

Stratifikasi sosial berdasarkan hubungan feodal ini, merupakan implikasi dari pengaruh eksistensi kerajaan kesultanan Ternate. Segala aturan kerajaan termasuk adat-istiadatnya ketika itu, masih dominan atau berpengaruh pada aspek pemerintahan desa dan kecamatan. Masyarakat kedua Desa sangat menjaga hubungan sosial termasuk dalam sistem kekerabatan yang dibangun berdasarkan soa. Terdapat sanksi sosial pada sistem stratifikasi soa, oleh kelompok yang tidak mematuhi larangannya. Dalam hal perkawinan misalnya, seorang yang berasal dari soa sangaji sebagai kelas teratas tidak diijinkan menikah dengan golongan soa yang berada di bawahnya, misalnya soa siyodi. Bagi yang melanggar dikenakan sanksi sosial seperti diasingkan oleh masyarakat setempat.

Sanksi ini pernah di terima oleh Adjam Mando dan istrinya yang menikah berlainan soa dan kemudian di asingkan oleh masyarakat dan keluarga. Pengasingan tersebut menyebabkan keduanya harus hijrah meninggalkan komunitas (kampong)nya. Seperti pengakuan mereka bahwa;

ngom namdi susira kai, tapi karna soa I beda, maka himo-himo ana isituju ua, akhirnya ngone namdi ana setang, (artinya; kita berdua waktu tempo dulu kawin orang tua kita tidak setuju karena berlainan soa. Akhirnya mereka marah dan asingkan kita berdua.

(9)

Masih ada goresan luka masa lalu yang masih dirasakan oleh kedua pasangan suami istri itu. Jaman sekarang sudah berubah, orang bisa saja kawin mawin tanpa berpikir tentang pasangan yang berlainan soa, sejauh ada rasa saling percaya dan sanggup menafkahi dan bertanggungjawab atas pasangan hidupnya.

Pengaruh modernisasi membawa konsekwensi perubahan. Masyarakat lama yang dianggap tradisional dan menekankan pada hierarki struktur sosialnya, termasuk stratifikasi sosial yang feodal, kini telah berubah. Dahulu lebih menekankan pada otoritas dan kepatuhan pada hierarki sebagai ciri dari masyarakat tradisional yang sarat dengan otoritas adat istiadat yang berlaku. Saat ini, pengaruh budaya modern lebih ditekankan pada kedudukan yang sejajar. Dalam perjalanan waktu, lama kelamaan budaya lama tergerus, hierarki bergeser menjadi lebih sejajar.

4.4. Penggolongan Baru

Di Desa Susupu dan Lako Akelamo kini terdapat tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap penting dan disegani. Disegani, dihormati dan dihargai bukan karena status sosial soa yang lebih tinggi seperti pada zaman dulu, tetapi karena kekuasaan politik, kehormatan, kekayaan dan ilmu pengetahuan yang tinggi, Seperti PNS, TNI/POLRI, dan Pengusaha lokal. Yang dimaksud dengan tokoh dalam pandangan masyarakat di Dua Desa adalah seseorang yang telah membantu mengatasi masalah-masalah pembangunan di desa, misalnya, pembangunan sarana ibadah dll. Memiliki jaringan luas dengan pemerintah daerah, dan berkontribusi meminimalisir angka pengangguran di desa, misalnya dengan mengangkat menjadi tenaga honorer PNS. Apa yang telah dilakukan pak Djafar dan pak Zakir Mando seperti yang dijelasakan di atas, membuat masyarakat kedua Desa ini menempatkan posisinya sebagai tokoh masyarakat setempat. Pak zakir dan pak Djafar adalah satu dari sekian banyak PNS di kedua Desa ini, kehadiranya cukup membantu menyelesaikan masalah-masalah pembangunan di Desa, terutama yang terjadi di desa Susupu. Masyarakat di dua desa kasus ini, menempatkan PNS sebagai pekerjaan yang terhormat dan karena memiliki gaji yang tetap.

Selain itu para imam di kedua desa ini merupakan tokoh agama yang dianggap sebagai “orang yang dituakan” masyarakat setempat. Gambaran mengenai para tokoh masyarakat ini menunjukkan bahwa terdapat variasi

(10)

penggolongan sosial baru yang dianggap penting dan disegani masyarakat. Mereka yang mendapatkan tempat sosial sebagai tokoh masyarakat kedua desa saat ini, bukan mereka yang memiliki atribut sosial sebagai Soa tertinggi, tetapi mereka yang menyandang status sosial ketokohan karena kedudukannya sebagai pegawai negara (PNS) dan memiliki akses jaringan yang luas pada pengambil kebijakan maupun penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten dan propinsi. Para tokoh adat dan imam mendapatkan tempat kedudukan terhormat setelah PNS, Polisi dan Pengusaha.

Pelapisan sosial baru ini dapat di jelaskan dengan pandangan Weber. Weber yang tidak menolak adanya posisi ekonomi sebagai dasar kelas, hanya saja menambahkan dua elemen lain yaitu kehormatan kelompok status dan kekuasaan politik. Artinya selain uang (ekonomi) kalangan kelompok status berprestise tinggi menjadi dasar stratifikasi. Latar belakang keluarga/ketokohan dan sejarah juga penting. Bentuk stratifikasi baru sosial berdasarkan setelah memudarnya stratifikasi sosial feodal sebagaimana dijelaskan di Gambar 5.

Gambar 4. Penggolongan Lapisan Baru Masyarakat

Pelapisan Sosial baru yang di kenal oleh masyarakat Desa Susupu Pelapisan Sosial

baru yang di kenal

oleh masyarakat Desa Lako Akelamo

PENGUSAHA

TNI/POLRI

TOKOH

ADAT/AGAMA

PNS

MASY.PETANI

TOKOH

ADAT/AGAMA

PENGUSAHA

TNI/POLRI

PNS

MASY.PETANI

(11)

Di samping stratifikasi sosial dan penggolongan baru seperti yang di jelasakan di atas, terdapat pula relasi-relasi sosial yang ada pada masyarakat di dua desa. Menurut Keesing (1992), untuk mengkaji struktur sosial maka perlu dilihat pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi. Struktur itu sendiri dapat diartikan sebagai pengaturan atau penatalaksanaan yang ditujukan agar tercipta suatu suasana tertib. Struktur sosial memiliki arti sebagai penataan relasi-relasi sosial yang sedemikian kompleks sehingga tercipta sebuah pola keteraturan yang dilanggengkan dalam suatu sistem sosial. Relasi sosial dalam suatu masyarakat dapat dilihat dari sistem kekerabatan yang berlaku. Sistem kekerabatan merupakan bentuk relasi sosial antar individu yang didasarkan atas pertalian darah.

Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial karena dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dan relasi sosial dari suatu masyarakat. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Sistem kekerabatan masyarakat di dua desa tidak berbeda jauh dengan masyarakat Maluku Utara pada umumnya. Masyarakat Maluku Utara pada umumnya menganut pola kekerabatan bilateral atau parental yang berarti hubungan kekerabatan ditelusuri dari garis keturunan Ayah (laki-laki atau patrilineal) dan garis keturunan ibu (perempuan atau matrilineal).

Gambar 5. Sistem kekerabatan masyarakat di dua Desa

Tingkat kekerabatan yang tidak di kenal lagi oleh masyarakat di dua desa

Tingkat kekerabatan yang masih di kenal oleh masyarakat di dua desa

Dotu

Muse

Galawe

We-we

Ete

Baba/yaya

Ngofa

(12)

4.5. Mata Pencaharian Pokok Masyarakat Dua Desa

Masyarakat Sahu secara pokok melalukan aktivitas produksi pertanian utama sebagai petani kelapa, dan hanya sebagian yang bercocok-tanam padi ladang. Ketika berpindah ke pesisir pantai, tidak terdapat perubahan pada aktiftas produksi lamanya, yaitu bertani kelapa.

Posisi Kedua Desa yang berada dekat laut, membuat akses masyarakat di dua Desa terhadap sumber daya perikanan laut cukup besar . Akan tetapi sumberdaya perikanan laut yang besar, tidak dijadikan sebagai sumber nafkah utama bagi masyarakat kedua Desa. Pekerjaan nelayan untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan laut, hanya sebagai aktifitas tambahan. Semua masih bertani kelapa, pola pertanian ini masih dipertahankan hingga saat ini.

Laut lebih banyak di manfaatkan sumberdayanya oleh para pendatang dari Gamkonora, Makian dan Tidore. Para nelayan pendatang umumnya tinggal di pesisir pantai dan tidak memiliki lahan pertanian sebagaimana yang dimiliki masyarakat Desa Susupu dan Lako Akelamo. Petani yang berada di tepi muara, memanfaatkan lahan untuk pertanian sayur mayur sebagai produksi tambahan. Menanam padi gaga, rica (cabai), bawang, kacang, kasbi (ubi), jagung, pala, pisang, dll, hanya dimanfaatkan sebagai tambahan penghasilan. Ini menunjukkan bahwa pola pertanian masyarakat adalah multicrop, namun sebagai produksi utama (maincrop) tetap kebun kelapa. Maincrop ini mendatangkan penghasilan utama yang dianggap besar dan memberikan uang tunai (cash money, sementara yang lain hanya subsisten.

Gambar

Gambar 4. Penggolongan Lapisan Baru Masyarakat Pelapisan  Sosial baru yang di kenal oleh masyarakat  Desa Susupu  Pelapisan  Sosial baru  yang di kenal oleh masyarakat Desa Lako Akelamo PENGUSAHA TNI/POLRI TOKOH ADAT/AGAMA PNS MASY.PETANI TOKOH ADAT/AGAMA
Gambar 5.  Sistem kekerabatan masyarakat di dua Desa Tingkat  kekerabatan yang  tidak  di  kenal lagi    oleh  masyarakat di dua desa

Referensi

Dokumen terkait

Lokasi Unit Perkebunan Bedakah berbatasan dengan tanah Perhutani di sebelah utara, Desa Pagerejo di sebelah selatan, Desa Candiasan di sebelah timur, Desa Damarkasian di

Lokasi Perkebunan Pinang Sebatang Estate sebelah timur berbatasan dengan kebun Aneka Persada Estate, sebelah barat berbatasan dengan Desa Okura (kebun pribadi Atang), sebelah

Akan tetapi, ada juga yang hanya memiliki tempat yang terbuat dari bambu dan khusus untuk mandi dan cuci kaki saja.. Kalau mau buang air besar pergi ke sungai yang ada didekat

Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, Sebelah Timur dengan Laut Cina Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan

Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, Sebelah Timur dengan Laut Cina Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera

Seperti yang dikemukakan Semi (1993): “berbicara atau bercakap memainkan peranan penting karena bahasa pada hakikatnya adalah bahasa lisan”. Dalam kehidupan sehari-hari

Hasil menunjukkan bahwa dimensi strategi outsourcing IT mempunyai hubungan signifikan terhadap dimensi keberhasilan outsourcing IT yang ditunjukan dengan didukungnya hasil

Batas-batas yang melingkari desa gunungsari adalah sebagai berikut, Sebelah utara berbatasan dengan Desa Punten, Sebelah timur berbatasan dengan Desa Sidomulyo,