1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Secara umum tujuan pendirian perusahaan dibagi menjadi dua, yaitu
tujuan ekonomis dan tujuan sosial. Tujuan ekonomis berkenaan dengan upaya
perusahaan untuk mempertahankan eksistensinya. Dalam hal ini perusahaan
berupaya menciptakan laba, menciptakan pelanggan, dan menjalankan
upaya-upaya pengembangan dengan memusatkan perhatian pada kebutuhan masyarakat.
Sedangkan untuk tujuan sosial, perusahaan diharapkan untuk memperhatikan
keinginan investor, karyawan, faktor-faktor produksi, maupun masyarakat luas.
(M. Fuad, Christin H, Nurlela, Sugiarto, Paulus Y.E.F. 2006:22)
Salah satu faktor penting dalam keberlangsungan perusahaan adalah para
pemegang kepentingan. Para pemegang kepentingan pada dasarnya dapat
mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemakaian
sumber-sumber ekonomi yang digunakan perusahaan. Oleh karena itu power
stakeholder ditentukan oleh besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder atas sumber tersebut (Ghozali dan Chariri, 2007 dalam Andhika Permana, 2014).
Stakeholder mendapatkan informasi-informasi tentang perusahaan melalui laporan keuangan dan laporan tahunan. Keduanya secara formal wajib dipublikasikan
karena merupakan sarana pihak manajemen untuk bertanggung jawab atas
kemudian di analisis, dan dari hasil analisis ini diketahui bagaimana kinerja
perusahaan secara keseluruhan. (Syawal Harianto dan Khairul Ikhsan, 2013)
Kondisi keuangan dan hasil kinerja keuangan perusahaan yang tercermin
pada laporan-laporan keuangan perusahaan pada hakikatnya merupakan hasil
akhir dari kegiatan akuntansi perusahaan yang bersangkutan. Investor akan
melakukan analisis laporan keuangan terlebih dahulu sebelum melakukan
investasi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengamati kinerja
keuangan (Syawal Harianto dan Khairul Ikhsan, 2013). Kinerja Keuangan adalah
suatu analisis yang dilakukan untuk melihat sejauh mana suatu perusahaan telah
melaksanakan dengan menggunakan aturan-aturan pelaksanaan keuangan secara
baik dan benar (Irham Fahmi, 2013).
Semua perusahaan publik yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek
Indonesia atau BEI diklasifikasikan ke dalam sembilan sektor, berdasarkan pada
klasifikasi industri yang ditetapkan oleh BEI yang disebut JASICA (Jakarta Stock
Exchange Industrial Classification). Kesembilan sektor tersebut dibagi menjadi tiga salah satunya adalah sektor manufaktur (Edison Sutan Kayo, 2016). Menurut
Kamus Istilah Ekonomi (Wien’s Anorga, 1994) manufakturer adalah fabrikan,
atau pengusaha yang mengolah bahan menjadi barang atau membentuk produk
menjadi produk lain. Jadi, sektor manufaktur adalah sektor yang mengolah bahan
menjadi barang atau membentuk produk menjadi produk lain.
Penulis menggunakan perusahaan manufaktur dalam penelitian ini karena
yang berkontribusi dalam memperhatikan lingkungan yang rusak. Produk
manufaktur mengharuskan kegiatan industri dilakukan tanpa analisis implikasi
yang berdampak pada lingkungan. Hal ini juga berkaitan dengan bertumbuhnya
populasi manusia, sehingga kebutuhan pun semakin meningkat. Pertumbuhan
serta ekspansi industri manufaktur yang melanda seluruh dunia, menyebabkan
bertambah banyaknya pula limbah industri yang mengkontaminasi tanah, lautan
serta saluran air kita. Limbah yang diproduksi industri memiliki beragam jenis,
dimana setiap jenis memiliki tingkat kebahayaan yang berbeda. Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan penurunan ketaatan sektor
manufaktur dalam pengelolaan lingkungan dalam aktivitas industrinya
dipengaruhi oleh aspek terkait pengendalian pencemaran air. M.R. Karliansyah
(2015) mengatakan penyebab dominan ketidaktaatan industri manufaktur
berkaitan aspek mencemaran air atau sebesar 34%, diikuti oleh aspek pengelolaan
limbah (30%), dan aspek pengendalian pencemaran udara (18%).
Menurut Januarti dan Apriyanti (2005) dalam Ernia Christy Rahayu (2015)
pengukuran kinerja keuangan dapat dilakukan dengan penilaian analisis rasio
keuangan. Irham Fahmi (2013) menjelaskan bahwa rasio dapat dipahami sebagai
hasil yang diperoleh antara satu jumlah dengan jumlah yang lainnya. Atau secara
sederhana rasio disebut sebagai perbandingan, jumlah lainnya itulah dilihat
perbandingannya dengan harapan, nantinya akan ditemukan jawaban yang
selanjutnya itu dijadikan bahan kajian untuk dianalisis dan diputuskan. Rasio
terbagi menjadi lima jenis rasio keuangan yang sering digunakan, salah satunya
perusahaan dalam menghasilkan laba bersih berdasarkan tingkat aset tertentu.
Rasio yang tinggi menunjukkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan aset yang
berarti semakin baik (Mamduh M. Hanafi, 2012). Dalam penelitian ini rasio
profitabilitas diproksikan dengan Return on Asset (ROA) atau biasa disebut
dengan Return on Investment (ROI) . Return on Asset (ROA) adalah rasio yang
menunjukan hasil (return) atas jumlah aktiva yang digunakan dalam perusahaan.
(Kasmir, 2010)
Berdasarkan hasil survey awal penulis pada perusahaan manufaktur yang
listing di BEI pada tahun 2015, perusahaan yang mempunyai presentase ROA
terbesar adalah Pelat Timah Nusantara Tbk (NIKL) sebesar 67,05% sedangkan
perusahaan yang mempunyai presentase ROA terkecil adalah Inti Keramik Alam
Asri Industi Tbk (IKAI) sebesar -27,92% (Data lengkap lihat lampiran). Hasil
survey juga menunjukkan bahwa masih terdapat perusahaan yang memiliki ROA
negatif, berikut penulis sajikan daftar perusahaan yang memiliki presentase ROA
negatif (Data lengkap terlampir) :
Tabel 1.1
Daftar ROA Perusahaan Manufaktur yang Negatif tahun 2015
Nama Perusahaan ROA (%)
1. IKAI (Inti Keramik Alam Asri Industri Tbk) -27,92
2. ESTI (Ever Shine Textile Industry Tbk) -18,4
3. ETWA (Eterindo Wahanatama Tbk) -16,82
4. SIPD (Siearad Produce Tbk) -15,84
5. MYTX (Apac Citra Centertex Tbk) -13,57
6. RMBA (Bentoel International Investama Tbk) -12,94
7. KBRI (Kertas Basuki Rachmat Indonesia Tbk) -10,7
8. KRAS (Krakatau Steel Tbk) -10,35
9. GDYR (Goodyear Indonesia Tbk) -9,3
11. KIAS (Keramika Indonesia Assosiasi Tbk) -8 12. POLY (Asia Pasific Fibers Tbk d.h Polysindo Eka Persada Tbk) -7,6 13. HDTX (Panasia Indo Resources Tbk d.h Panasia Indosyntec
Tbk) -7,3
14. PSDN (Prashida Aneka Niaga Tbk) -7
15. JPRS (Jaya Pari Steel Tbk) -6,05
16. ADMG (Polychem Indonesia Tbk) -5,4
17. LPIN (Multi Prima Sejahtera Tbk d.h Lippo Enterprises Tbk) -4
18. MASA (Multistrada Arah Sarana Tbk) -4
19. YPAS (Yana Prima Hasta Persada Tbk) -3,54
20. BIMA (Primarindo Asia Infrastructure Tbk) -2,65
21. ALMI (Alumindo Light Metal Industry Tbk) -2,4
22. MBTO (Martina Berto Tbk) -2,17
23. ALTO (Tri Banyan Tirta Tbk) -2,05
24. SPMA (Suparma Tbk) -2
25. SSTM (Sunson Textile Manufacturer Tbk) -1,94
26. GJTL (Gajah Tunggal Tbk) -1,8
27. MAIN (Malindo Feedmill Tbk) -1,57
28. KRAH ( Grand Kartech Tbk ) -1,43
29. ALKA (Alaska Industrindo Tbk) -0,81
30. INRU (Toba Pulp Lestari Tbk) -0,8
31. DAJK ( Dwi Aneka Jaya Kemasindo Tbk ) -0,22
32. IMAS (Indomobil Sukses International Tbk) -0,18
33. SIAP (Sekawan Intipratama Tbk) -0,12
34. ARGO (Argo Pantes Tbk) -0,084
35. CNTX (Centex Tbk) -0,01
Sumber : Hasil olahan penulis
Rendahnya ROA yang ada di perusahaan-perusahaan tersebut
mengindikasikan adanya masalah yang terjadi, salah satu faktor yang diduga
menyebabkan rendahnya ROA dalam perusahaan adalah kinerja lingkungan.
Menurut Russo dan Fouts dalam Ardhya Pratiwi Setiowati (2009), Rasio ROA
perusahaan akan membaik ketika kinerja lingkungan membaik. Dasar asumsi
argumen ini yaitu manajemen lingkungan dan hasil kinerja yang bersangkutan
manajemen yang efektif mempertimbangkan seluruh stakeholder, termasuk
lingkungan dalam pengambilan keputusan.
Menurut Arfan Ikhsan (2009), perusahaan dapat menambah nilai keuangan
secara simultan dan nilai lingkungan didasarkan pada alasan bahwa sepanjang
akuntansi lingkungan telah menunjukkan metode dimana perusahaan
mengalokasikan biaya-biaya lingkungan ke lini produk. Beberapa perusahaan
menemukan bahwa dengan menguji produk-produk dan proses secara aktual
menyebabkan biaya lingkungan, perusahaan dapat meningkatkan pengambilan
keputusan dan menjadi lebih menguntungkan. Dengan kata lain, semakin kita
mempertimbangkan aspek lingkungan dalam menjalankan kegiatan operasi
perusahaan, maka bisa semakin menguntungkan.
Menurut Esty dan Winston (2009:10) Salah langkah dalam pengelolaan
lingkungan dapat menciptakan mimpi buruk bagi relasi dengan publik,
menghancurkan pasar dan karir, dan menjatuhkan milyaran perusahaan.
Jika dikaitkan dengan konsep ekoefisiensi menurut Hansen & Mowen
(2005), Ekoefisiensi mengimplikasikan bahwa peningkatan efisiensi berasal dari
perbaikan kinerja lingkungan. Ada sejumlah sumber dari insentif penyebab
peningkatan efisiensi ini, diantaranya adalah karena perusahaan yang bertanggung
jawab terhadap lingkungan cenderung memperoleh keuntungan eksternal, selain
itu kinerja lingkungan yang lebih baik dapat menghasilkan keuntungan sosial
yang signifikan. Selain itu, menurut Arfan Ikhsan (2009) perusahaan-perusahaan
investasi telah menciptakan dana-dana didasarkan konsep ekoefisiensi.
meningkatkan output ketika ketergantungan pada sumber-sumber alam menurun,
yang meningkatkan profitabilitas. Kinerja lingkungan adalah hasil yang dapat
diukur dari sistem manajemen lingkungan, yang terkait dengan kontrol
aspek-aspek lingkungannya (ISO 14004, dari ISO 14001) (Arfan Ikhsan, 2009).
Sedangkan menurut Ignatius Bondan Suratno, Darsono, Siti Mutmainah (2006),
kinerja lingkungan adalah kinerja perusahaan dalam menciptakan lingkungan
yang baik (green).
Menurut Arfan Ikhsan (2009) Indonesia memiliki program-program
lingkungan. Program-program lingkungan di Indonesia dirancang untuk dapat
memenuhi keperluan masa kini dan dapat dikembangkan lebih lanjut untuk
keperluan masa yang akan datang. Program ini juga untuk mengakomodasi
adanya perubahan situasi dan kondisi baik Nasional maupun Internasional.
Program –program lingkungan di Indonesia yang dikordinasikan oleh Bapedal,
program-program tersebut antara lain meliputi: Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL), Program Kali Bersih (PROKASIH), Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), ADIPURA, Produksi Bersih
(PRODUKSIH), Program Penilaian Kinerja Lingkungan (PROPER),
Pengembangan Audit Lingkungan, Pengendalian Dampak Skala Kecil,
Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Pengendalian Pencemaran Kerja,
Pengendalian Pencemaran Laut dan Pesisir, Pembinaan Laboratorium
Lingkungan, Pengembangan Sumber Daya Manusia dan di Bidang Pengendalian
Dampak Lingkungan, Ekolabel, Sistem Informasi Bapedal, Pengembangan
Peneliti menggunakan hasil penilaian PROPER karena rating PROPER
cukup terpercaya sebagai ukuran kinerja lingkungan perusahaan, juga karena
kesesuaiannya dengan sertifiksasi internasional di bidang lingkungan ISO 14001
(Syawal Harianto dan Khairul Ikhsan, 2013). Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan, yang diakronimkan menjadi PROPER (dalam bahasa Inggris berarti “tepat” atau “layak”), merupakan program unggulan Kementerian Lingkungan Hidup yang dikemas dalam bentuk kegiatan pengawasan dan pemberian insentif
dan/atau disinsentif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. (Sigit
Reliantoro, 2012). Kinerja lingkungan perusahaan diukur dari prestasi perusahaan
mengikuti program PROPER yang merupakan salah satu upaya yang dilakukan
oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk mendorong penataan
perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui instrumen informasi.
Sistem peringkat kinerja PROPER mencakup pemeringkatan perusahaan dalam
lima warna akan diberi skor secara berturut-turut dengan nilai tertinggi 5 untuk
warna emas dan terendah 1 untuk warna hitam (Ignatius Bondan Suratno,
Darsono, Siti Mutmainah, 2006)
Ada beberapa fenomena yang terjadi terkait dengan kinerja lingkungan,
salah satunya pada PT. Astra International TBK TSO Cabang karawang
(15/9/2014) yang diberikan sanksi terkait melakukan kesalahan dalam mengelola
limbah industri salah satunya tidak menggunakan alat pengolah limbah IPAL
(Instalasi Pengolahan Air Limbah) sehingga mencemari lingkungan.
(www.karawangnews.com). Lalu dikabarkan bahwa Laba tahun 2014 sedikit
harus mengganti kerugian masyarakat yang terkena pencemaran karena kelalaian
perusahaan besar pertambangan yang beroperasi di Kalimantan Selatan pada
tahun 2009 (www.antaranews.com), lalu dikabarkan PT. Adaro mencatatkan
penurunan laba bersih sebesar enam persen menjadi US$ 93juta selama kuartal I-
2010. (www.bisnis.news.viva.co.id), juga kasus banjir lumpur panas yang
disebabkan oleh PT Lapindo pada tahun 2006. Semburan lumpur menjadi bencana
yang melahirkan penderitaan. Lebih dari 13.337 keluarga kehilangan tempat
tinggal karena terkubur dengan ketinggian hingga 15 meter
(www.regional.kompas.com), dan PT Lapindo mengalami masalah keuangan
yang cukup serius dimana Lapindo mengalami kesulitan cash flow pada tahun
2007. (www.news.liputan6.com)
Kerusakan lingkungan terjadi salah satunya dipicu oleh kepentingan
pemilik modal yang akan membuat perusahaan melakukan penggunaan sumber
daya alam secara tidak terkendali dan mengakibatkan kerusakan lingkungan
sekitar. Permasalahan lingkungan semakin popular pada dekade terakhir ini.
Banyaknya kasus-kasus kerusakan lingkungan yang terjadi menunjukan bahwa
masih ada perusahaan yang mengabaikan kelestarian dalam menjalankan
operasinya tapi disisi lain kesadaran masyarakat semakin tinggi akan pentingnya
perlindungan terhadap lingkungan yang diimbangi dengan pengenalan berbagai
perangkat lingkungan dan peraturan mengenai lingkungan oleh pemerintah (Intan
Pertiwi, Nurleli dan Epi Fitriah, 2015)
Banyak penelitian yang menemukan hasil yang selaras dengan teori.
menyatakan bahwa kinerja lingkungan berpengaruh positif terhadap terhadap
kinerja keuangan. Begitu pula dengan hasil penelitian Risse Rismayanti Friani, N Eva Fauziah, Azib (2016), Tita Djuitaningsih dan Erista Eka Ristiawati (2011), Ignatius Bondan Suratno, Darsono, Siti Mutmainah. (2006), serta Al-Tuwaijri, et
al. (2004), yang menyatakan bahwa kinerja lingkungan memiliki pengaruh terhadap kinerja keuangan. Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Susi Sarumpaet (2005), Ardhya Pratiwi Setiowati (2009), Pujiasih (2013) dan
Intan Pertiwi, Nurleli dan Epi Fitriah, (2015) yang menyatakan bahwa kinerja
lingkungan tidak memiliki pengaruh terhadap kinerja keuangan.
Dikarenakan hasil yang tidak konsisten antara penelitian yang satu dengan
yang lainnya, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian kembali
mengenai kinerja lingkungan, dan kinerja keuangan dengan judul : “Pengaruh
Kinerja Lingkungan terhadap Kinerja Keuangan (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2015)”.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah bagaimana pengaruh kinerja lingkungan terhadap kinerja
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh kinerja
lingkungan terhadap kinerja keuangan perusahaan.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penulis berharap agar hasil penelitian yang disajikan dalam penulisan
karya ilmiah ini dapat memberikan kegunaan sebagai berikut:
1. Bagi Akademisi
Penelitian ini merupakan sarana penulis untuk mengimplementasikan
teori serta ilmu yang diperoleh selama berada diperkuliahan, menambah
pengetahuan tentang kinerja lingkungan dan keinerja keuangan perusahaan
dan diharapkan dapat menjadi referensi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan mengenai kinerja lingkungan terhadap kinerja keuangan.
2. Bagi Praktisi
Penelitian ini diharapkan dapat meningkat kesadaran perusahaan akan
pentingnya melakukan tanggung jawab sosial terhadap kinerja
lingkungannya, sehingga ketika melakukan kegiatan operasinya
1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penulis memperoleh data dan informasi untuk melakukan penelitian
mengenai karya ilmiah ini dilakukan di perpustakaan Universitas Widyatama.
Pengambilan sumber data berupa laporan keuangan diperoleh dari internet melalui
situs Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id), situs saham OK
(www.sahamok.com), melalui website Kementerian Lingkungan Hidup
(www.menlh.go.id), dan beberapa jurnal nasional serta Internasional. Waktu