Ringkasan Kasus Skandal Satyam
Satyam adalah salah satu perusahaan IT terbesar di India yang telah mencatatkan perkembangan di bidang keuangan yang cukup pesat pada periode 2008. Perusahaan ini mempunyai 50 ribu karyawan yang tersebar di berbagai pusat pengembangan IT-nya di negara-negara Asia, Amerika, Eropa, dan Australia. Menjadi rekanan dari 654 perusahaan global, termasuk General Electric, Nestle, Qantas Airways, Fujitsu, dan 185 perusahaan lainnya. Sahamnya listed di India’s National Stock Exchange, The New York Stock Exchange dan Euronext di Eropa. didirikan dan dipimpin oleh Ramalinga Raju, lulusan MBA Ohio University dan alumnus Harvard University.
Kronologi Kasus Satyam
1. Pada Maret 2008, Satyam melaporkan kenaikan revenue sebesar 46,3 persen menjadi 2,1 milyar dolar AS. Di Oktober 2008, Satyam mengatakan bahwa revenue-nya akan meningkat sebesar 19-21 persen menjadi 2,55-2,59 milyar dolar pada bulan Maret 2009. Melihat semua reputasinya, pantas saja jika Satyam dinobatkan menjadi raksasa IT terbesar keempat di India.
2. Pada 7 Januari 2009, Ramalinga Raju tiba-tiba mengatakan bahwa sekitar 1,04 milyar dolar saldo kas & bank Satyam adalah palsu (jumlah itu setara dengan 94% nilai kas & bank Satyam di akhir September 2008). Dalam suratnya yang dikirimkan ke jajaran direksi Satyam, Ramalinga Raju juga mengakui bahwa dia memalsukan nilai pendapatan bunga diterima di muka (accrued interest), mencatat kewajiban lebih rendah dari yang seharusnya (understated liability) dan menggelembungkan nilai piutang (overstated debtors).
Pada awalnya, Satyam fraud dilakukan dengan menggelembungkan nilai keuntungan perusahaan. Setelah dilakukan selama beberapa tahun, selisih antara keuntungan yang sebenarnya dan yang dilaporkan dalam laporan keuangan semakin lama semakin besar.
3. Pada 14 Januari 2009, auditor Satyam selama 8 tahun terakhir – Price Waterhouse India mengumumkan bahwa laporan auditnya berpotensi tidak akurat dan tidak reliable karena dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh dari manajemen
Satyam. Institusi akuntan di India ICAI, meminta PwC memberikan jawaban resmi dalam 21 hari terkait skandal Satyam.
Satyam selama enam tahun terakhir melakukan pelaporan yang salah. Hal ini bermula dari keinginan Ramalingga Raju untuk mendapatkan ijin perolehan dana dari bank untuk melakukan ekspansi Satyam. Sehingga Raju melakukan beberapa manipulasi, seperti dijelaskan di bawah ini:
a. Saldo kas dan bank sebesar 50,40 miliar adalah fiktif jika dibandingkan dengan RS 53,61 milyar dalam pembukuan
b. Piutang bunga fiktif sebesar RS 3,67 miliar c. Utang yang understated senilai RS 12,3 miliar
d. Piutang yang terlalu tinggi (overstated) senilai RS 4,90 miliar.
e. Untuk Q2 September, pendapatan lebih besar RS 5,88 milyar dan operating margin yang dilaporkan senilai Rs 6,49 miliar seharusnya bernilai Rs 610 juta. Hal ini mengakibatkan adanya saldo kas fiktif senilai Rs 5,88 miliar.
Menyusul skandal fraud dalam laporan keuangan Satyam, pada 10 Januari 2009 harga saham Satyam jatuh menjadi 11,5 rupees, atau hanya senilai 2% dari harga saham tertingginya di tahun 2008 sebesar 544 rupees.
Pembahasan Terkait OECD Prinsip 5 dan 6 Keterbukaan dan Tranparansi
Kerangka kerja corporate governance harus memastikan bahwa keterbukaan informasi yang tepat waktu dan akurat dilakukan atas semua hal yang material berkaitan dengan perusahaan, termasuk di dalamnya keadaan keuangan, kinerja, kepemilikan dan tata kelola perusahaan. Selain itu informasi harus disajikan dan diungkapkan sesuai dengan standar akuntansi yang berkualitas tinggi dan keterbukaan keuangan dan non-keuangan. Audit tahunan harus dilakukan oleh auditor yang independen, kompeten dan memenuhi kualifikasi, dalam rangka menyediakan jaminan/kepastian eksternal dan objektif kepada pengurus dan pemegang saham bahwa laporan keuangan perusahaan menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan kinerja perusahaan. Dalam kasus fraud Satyam, pihak yang berwenang dalam hal melakukan audit tersebut adalah PWC. Price Waterhouse Coopers India (PwC)
sebagai akuntan publik tidak memiliki kode etik akuntan publik. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Independensi
Dalam SA Seksi 220, pada paragraph 02, independensi adalah auditor mempertahankan sikap yang tidak memihak dalam melaksanakan perkerjaannya. Namun dalam kenyataannya, PwC mengacuhkan bukti-bukti penggelembungan dana. Misalnya dalam saldo kas dan bank itu fiktif sebanyak Rs 50,40 miliar dibandingkan dengan Rs 53,61 miliar yang ditunjukkan dalam pembukuan. Independensi penampilan merupakan independensi yang dipandang dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan yang diaudit dan pihak-pihak tersebut mengetahui hubungan antara auditor dan kliennya. PwC India praktis telah melanggar independensi penampilan karena PwC memiliki hubungan istimewa dengan Satyam, yakni kemitraan strategis hingga akhir tahun 2009 meski aturan internasional U.S Securities and Exchange Comission dan standar audit India melarang kemitraan semacam itu.
2. Integritas dan Objektivitas Akuntan
Integritas mengharuskan seorang auditor untuk bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa, pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan prinsip (Mulyadi). Tetapi dari dokumen sec yang memeriksa kasus ini, terdapat bukti bahwa PwC melanggar integritas, seperti PwC yang meskipun mengetahui sistem pengendalian internal Satyam yang lemah, tetapi tid ak melakukan tindakan untuk melaporkan hasil temuannya itu.
Objektivitas mengharuskan akuntan publik bebas dari benturan kepentingan dan tidak boleh membiarkan faktor salah saji material yang diketahuinya dan mengalihkan pertimbangan kepada pihak lain. PwC jelas melanggar benturan kepentingan karena tidak memperhatikan independensi penampilan dengan memiliki hubungan kemitraan strategis dengan Satyam.
3. Standar Umum
Ada beberapa standar yang harus dipatuhi akuntan publik, yakni kompetensi profesional, kecermatan dan keseksamaan professional, perencanaan dan
supervisi, dan data relevan yang memadai. PwC juga melanggar standar umum akuntan publik. Dari hasil bukti kasus Satyam, diketahui bahwa PwC tidak memperhatikan kompetensi, kecermatan dan keseksamaan professional dengan tidak memeriksa secara keseluruhan sejumlah invoice dalam transaksi Satyam. PwC juga melanggar standar perencanaan dan supervisi karena tidak melakukan dengan benar pemeriksaan dari awal perikatan audit hingga akhir perikatan audit. 4. Kepatuhan Terhadap Standar
PwC melanggar aturan Indian Audit and Accounts Service (IAAS), yaitu basic postulate dimana akuntan publik harus mengikuti standar auditing yang berlaku dan melaporkan hasil temuannya terhadap laporan keuangan. Sedangkan PwC justru menutupi laporan pemeriksaan audit tersebut.
5. Prinsip-Prinsip Akuntansi
Prinsip akuntansi mengharuskan akuntan publik untuk memeriksa dan menemukan kejanggalan dalam laporan keuangan penerima jasa. Dalam perikatan umum, auditor melaksanakan auditnya atas dasar pengujian, bukan atas dasar pemeriksaan terhadap seluruh bukti. Namun auditor internal Satyam tidak melakukan pengujian, meneliti atas verifikasi setiap transaksi mulai dari awal terjadinya transaksi setiap tahun hingga berakhirnya tahun laporan. Selain itu, auditor juga tidak memverifikasikan cash and bank balance.
6. Fee Profesional
Besarnya fee anggota bervarasi tergantung risiko penugasan, komplesitas jasa yang diberikan, tingkat keahlian, biaya yang bersangkutan dan hal-hal lannya. Tetapi ada kejanggalan dalam audit fee PwC yang dibayarkan oleh Satyam. Dari hasil perbandingan audit fee yang sama-sama menggunakan jasa PwC, yaitu Satyam, Wipro dan Infosys didapat bahwa pendapatan PwC 2007 sebagai berikut. Satyam: Wipro: Infosys = 0,059% : 0,006% : 0,004%. Sedangkan pendapatan PwC tahun 2008 adalah Satyam: Wipro: Infosys = 0,046% : 0,006% : 0,005%. Bisa dilihat bahwa fee yang dibayarkan oleh Satyam tidak wajar dan berkali-kali lipat dibanding pesaing Satyam.
Pelanggaran Prinsip GCG
Pengertian GCG menurut Bank Dunia (World Bank) adalah kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan. Satyam juga melakukan pelanggaran prinsip GCG antara lain:
1. Transparansi (transparency) adalah keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan mengemukakan informasi materil yang relevan mengenai perusahaan. Raju tidak terbuka dalam mengemukakan informasi materil perusahaan. Hal ini bisa dilihat dari tindakan Raju yang memalsukan saldo sebesar Rs 50,40 miliar, piutang bunga sebesar Rs 3,76 miliar dan utang yang tidak dinyatakan sebesar Rs 12,3 miliar.
2. Pengungkapan (disclosure) adalah penyajian informasi kepada stakeholders, baik diminta maupun tidak diminta, mengenai hal-hal yang berkenaan dengan kinerja operasional, keuangan, dan resiko usaha perusahaan. Raju juga menyajikan informasi palsu dengan bukti seperti poin diatas.
3. Kemandirian (independence) adalah suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. PwC India tidak seharusnya menjadi auditor eksternal Satyam karena keduanya memiliki benturan kepentingan berupa kemitraan strategis dalam bentuk jasa IT.
4. Akuntabilitas (accountability) adalah kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban manajemen perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif dan ekonomis. Aksi CEO Satyam, Raju tentu kebalikan dari prinsip akuntabilitas. Raju melebih-lebihkan dana sebesar Rs 53,61 miliar.
Tindakan tidak benar itu diketahui sistem pengendalian internal Satyam yang hanya mengabaikan Raju dan justru mengindahkan faktur-faktur palsu dalam transaksi Satyam. Pelaksanaan tugas masing-masing pihak menjadi tidak jelas. 5. Pertanggungjawaban (responsibility) adalah kesesuaian dalam pengelolaan
perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Jika dilihat dari standar aturan Indonesia, ada pelanggaran yang dilakukan Auditor Satyam dan PwC. Misalnya dalam Pasal 55 khususnya ayat (b) dan Pasal 56 UU RI Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik yang dijadikan sebagai subjek uji materiil Pemohon dinyatakan bahwa akuntan publik yang dengan sengaja melakukan manipulasi, memalsukan, dan/atau menghilangkan data atau catatan pada kertas kerja, atau tidak membuat kertas kerja yang berkaitan dengan jasa yang diberikan.
Dalam hal ini, auditor satyam dan PwC bersalah karena tidak melakukan pengujian dan verifikasi dari awal terjadinya transaksi hingga pelaporan tiap tahun juga mengabaikan bukti-bukti berupa invoice palsu dalam transaksi. Raju juga melanggar Pasal 56 dinyatakan bahwa pihak terasosiasi yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak 300 juta rupiah.
Tanggung Jawab Dewan Komisaris dan Direksi
Kerangka kerja corporate governance harus memastikan pedoman strategis perusahaan, monitoring yang efektif terhadap manajemen oleh dewan, serta akuntabilitas dewan terhadap perusahaan dan pemegang saham. Setahun sebelum munculnya skandal tersebut, Satyam memenangkan penghargaan Golden Peacock untuk kesempurnaan dalam corporate governance dari World Council for Corporate Governance. Dewan tersebut kemudian membatalkan penghargaan dan mengeluhkan kegagalan perusahaan Satyam untuk mengungkap fakta-fakta materi sebenarnya. Namun, reporter Business Week Beverly Behan menulis bahwa dewan Satyam jelas-jelas mencemooh praktik-praktik corporate governance yang baik. Para wartawan dapat mengetahui dengan menelaah komposisi dewan bahwa dewan direksi Satyam kurang memiliki keahlian ekonomi, hampir sama sekali
dimana hal ini berlawanan dengan praktik-praktik corporate governance yang baik. Seperti yang diperlihatkan kasus Satyam, penghargaan bisnis yang mengesankan dan laporan tahunan yang mengkilap bukanlah jaminan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi secara legal dan penuh etika.
Banyak bisnis keluarga yang menunjuk dewan keluarga untuk menyelaraskan kepentingan mereka dan bertindak sebagai penghubung utama antara keluarga, dewan dan manajemen senior. Dewan juga mengajukan kandidat untuk keanggotaan dewan dan membuat rancangan kebijakan atas hal-hal seperti mempekerjakan keluarga, kompensasi dan kepemilikan saham. Kemandirian Dewan merupakan isu utama dalam kelanjutan skandal Satyam Computer Systems Ltd. di India.
Laporan BusinessWeek menghitung sinyal-sinyal masalah yang tidak terdeteksi pada kasus Satyam sebagai berikut:
1. Dewan di Satyam memiliki enam direktur non-manajemen, tetapi empat diantaranya akademisi dan satu adalah seorang mantan sekretaris kabinet pada pemerintahan. Hanya satu anggota dewan yang sebelumnya pernah menjabat eksekutif puncak di suatu perusahaan teknologi.
2. Perusahaan tersebut tidak memiliki pakar keuangan pada komite auditnya. 3. Meskipun Satyam membedakan posisi CEO dan kepala dewan, dua posisi
tersebut diduduki oleh bersaudara yang memiliki kepentingan utama dalam perusahaan dan anggota manajemen.
4. Dewan tidak memiliki kepemimpinan dewan independen.
Berdasarkan Pasal 92 ayat (1) UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tugas Direksi adalah menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Direksi PT dapat terdiri atas 1 orang atau lebih. Sedangkan, tugas dari Dewan Komisaris adalah melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi (Pasal 108 ayat [1] UUPT). Dewan Komisaris dapat terdiri dari 1 (satu) orang atau lebih (Pasal 108 ayat [3] UUPT).
Bila melihat dua ketentuan mengenai Direksi dan Dewan Komisaris tersebut, sudah dapat diketahui bahwa tugas utama Direksi adalah melakukan pengurusan PT, sedangkan tugas utama Dewan Komisaris adalah melakukan pengawasan atas pengurusan PT. Jika di dalam suatu PT Direksi merangkap sebagai Dewan Komisaris, terlebih lagi bila dipegang oleh satu orang, maka akan berakibat munculnya benturan kepentingan. Benturan kepentingan ini karena jalannya pengurusan PT dikhawatirkan tidak terkendali sebab kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pengurusan dipegang oleh orang yang sama. Kaitannya dalam kasus Satyam, meskipun posisi Direksi dan Komisaris dipegang oleh orang yang berbeda, namun kedua posisi tersebut diduduki oleh bersaudara yang memiliki kepentingan utama dalam perusahaan dan anggota manajemen. Penyalahgunaan wewenang dan sistem pengendalian internal Satyam yang lemah. Hal ini menjadi salah satu faktor yang memungkinkan kasus fraud Satyam terjadi.
Kasus kecurangan yang menyangkut masalah praktek tranparansi dan akuntabilitas pelaporan keuangan perusahaan harus mendorong profesi akuntan, pengguna laporan keuangan, dan pemerintah memberikan perhatian yang serius terhadap pentingnya keberadaan komite audit dan mekanisme gcg menjadi suatu kebutuhan di dunia bisnis sebagai barometer akuntabilitas dari suatu perusahaan.