• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Brooks (2008), pola asuh diartikan sebagai suatu serangkaian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Brooks (2008), pola asuh diartikan sebagai suatu serangkaian"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Asuh

2.1.1 Pengertian Pola Asuh

Menurut Brooks (2008), pola asuh diartikan sebagai suatu serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan oleh orang tua dalam membantu perkembangan anak baik aspek fisik, psikologis, dan sosial.Kenny & Kenny (1991) dalam Fini, (2008), menyatakan bahwa pola asuh merupakan segala sesuatu yang dilakukan orang tua untuk membentuk perilaku anak-anak mereka meliputi semua peringatan dan aturan, pengajaran dan perencanaan, contoh dan kasih sayang serta pujian dan hukuman.

Brook (2008) juga mengatakan bahwa pola asuh adalah memilki tujuan untuk menjamin kesehatan fisik dan kehidupan anakmempersiapkan anak agar menjadi orang dewasa yang dapat memenuhi kebutuhan finansialnya sendiri dan mendukung atau mendorong perilaku sosial dan personal yang positif. Martin dan Colbert (1997) menjelaskan bahwa pola asuh sebagai proses yang biasanya melibatkan orang dewasa dalam proses melahirkan, melindungi, dan mengarahkan anak.

2.1.2 Jenis Pola Asuh

Diana Baumind dalam Santrock (2007), menekankan empat gaya pengasuhan orang tua yang berkaitan dengan berbagai aspek yang berbeda dari perilaku remaja yaitu, otoritarian, otoratif, mengabaikan dan memanjakan.

(2)

a. Pengasuhan orang tua Otoritarian (authoritarian parenting)

Pengasuhan orang tua otoritarian (authoritarian parenting) adalah gaya yang bersifat menghukum dan membatasi di mana orang tua sangat berusaha agar remaja mengikuti pengarahan yang diberikan dan menghormati pekerjaan dan usaha-usaha yang telah dilakukan orang tua. Orang tua otoritarian menetapkan batasan-batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan kurang memberikan peluang kepada mereka untuk berdialog secara verbal. Sebagai contoh, orang tua otoritarian mungkin akan berkata, “Lakukan menurut perintahku atau tidak sama sekali”. Tidak ada diskusi!”. Pengasuhan tersebut berkaitan dengan perilaku remaja yang tidak kompeten. Remaja yang dibesarkan oleh orang tua yang otoritarian sering kali cemas terhadap perbandingan sosial, kurang memperlihatkan inisiatif, dan memiliki ketrampilan komunikasi yang buruk.

b. Pengasuhan Orang Tua Otoritatif (authoritative parenting)

Pengasuhan orang tua otoritatif adalah gaya pengasuhan yang mendorong remaja agar mandiri namun masih membatasi dan mengendalikan aksi-aksi mereka. Orang tua dengan gaya pengasuhan ini memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk berdialog secara verbal. Disamping itu orang tua juga bersikap hangat dan mengasuh. Sebagai contoh, seorang ayah otoritatif akan merangkul remajanya dengan hangat dan berkata,”Kamu tahu bahwa kamu seharusnya tidak melakukan hal itu. Sekarang mari kita bicarakan bagaimana caranya agar kelak kamu mampu menangani situasi semacam itu dengan lebih baik”. Pengasuhan orang tua yang bersifat otoritatif berkaitan dengan prilaku

(3)

remaja yang kompeten secara sosial. Para remaja dari orang tua otoritatif biasanya mandiri dan memiliki tanggung jawab sosial.

c. Pengasuhan Orang Tua Melalaikan (neglectful parenting)

Pengasuhan orang tua yang bergaya melalaikan adalah gaya dimana orang tua tidak terlihat dalam kehidupan remaja. Orang tua yang lalai tidak dapat menjawab pertanyaan “Sekarang sudah jam 10 malam. Di mana remaja mu?” pengasuhan orang tua yang bersifat lalai berkaitan dengan perilaku remaja yang tidak kompeten secara sosial, khususnya kurangnya pengendalian diri. Remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk memperoleh perhatian orang tuanya; remaja yang dilalaikan orangtuanya merasa bahwa hal-hal lain dalam kehidupan orang tuanya lebih penting dari dirinya. Remaja yang orang tuanya lalai biasanya tidak kompeten secara sosial; memperlihatkan pengendalian diri yang buruk dan tidak menyikapi kebebasan diri dengan baik. Konsep yang berkaitan erat dengan pengasuhan orang tua yang lalai adalah kurangnya pengawasan orang tua. Dalam sebuah studi yang dilakukan baru-baru ini, pengawasan orang tua terhadap remaja berkaitan dengan nilai yang lebih tinggi, aktivitas seksual dan depresi yang lebih rendah.

d. Pengasuhan Orang Tua Memanjakan (indulgent parenting)

Pengasuhan orang tua yang memanjakan adalah suatu gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan remajanya namun hanya sedikit memberikan tuntutan atau kendali terhadap mereka. Orang tua yang memanjakan membiarkan remajanya melakukan apa pun yang mereka inginkan. Akibatnya, remaja tersebut tidak pernah belajar untuk mengendalikan prilakunya sendiri dan

(4)

selalu berharap agar kemauannya diikuti. Beberapa orang tua secara sengaja mengasuh remajanya melaui cara ini karena mereka memiliki keyakinan keliru bahwa kombinasi dari keterlibatan yang hangat dan sedikitnya pembatasan akan mengahasilkan remaja yang percaya diri dan kreatif. Meskipun demikian, pengasuhan orang tua yang memanjakan berkaitan dengan rendahnya kompetensi sosial remaja, khususnya menyangkut pengendalian diri.

Menurut Baumrind, (1991 dalam Papalia, 2009) mengemukakan bahwa pola asuh dari orang tua sangat mempengaruhi kepribadian dan perilaku remaja. Ada tiga pola asuh orang tua, yaitu:

a. Otoritarian atau Otoriter

Adalah pola asuh yang menekankan kepatuhan dan kontrol. Orang tua berusaha membuat remaja mematuhi set standar perilaku dan menghukum mereka secara tegas jika melanggarnya. Orang tua bertindak semena-mena, tanpa dapat dikontrol oleh remaja. Mereka lebih mengambil jarak dan kurang hangat di bandingkan orang tua yang lain. Anak remajanya seolah-olah menjadi “robot”, sehingga anak kurang inisiatif, merasa takut, tidak percaya diri, pencemas, rendah diri, minder dalam pergaulan; tetapi disisi lain anak bisa memberontak, nakal, atau melarikan diri dari kenyataan. Dari segi positifnya, anak yang dididik dalam pola asuh ini, cenderung akan menjadi disiplin yakni mentaati peraturan. Akan tetapi bisa jadi, anak hanya mau menunjukkan kedisiplinan di hadapan orangtua, padahal dalam hatinya berbicara lain, sehingga ketika di belakang orang tua, anak bersikap dan bertindak lain. Hal itu tujuannya semata hanya untuk menyenangkan hati orang tua. Jadi anak cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan semu.

(5)

b. Permisif

Sifat pola asuh ini, children centered yakni segala aturan dan ketetapan keluarga ditangan anak. Orang tua hanya membuat sedikit permintaan dan membiarkan anak memonitor aktivitas mereka sendiri. Orang tua hangat, tidak mengontrol, dan menuntut. Apa yang dilakukan oleh anak diperbolehkan orang tua. Orang tua menuruti segala kemauan anak. Anak cenderung bertindak semena-mena, tanpa pengawasan orang tua. Anak bebas melakukan apa saja yang diinginkan. Dari sisi negarif, anak kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial yang berlaku. Bila anak mampu menggunakan kebebasan tersebut secara bertanggung jawab, maka anak akan menjadi seorang yang madiri, kreatif, inisiatif, dan mampu mewujudkan aktualisasinya.

c. Otoritatif atau Demokratis

Pola asuh yang menggabungkan penghargaan terhadap individualitas anak tetapi juga menekankan batasan-batasan sosial. Orang tua percaya akan kemampuan mereka dalam memandu anak, tetapi juga menghargai keputusan mandiri, minat, pendapat, dan kepribadian anak. Kedudukan orang tua dan anak sejajar. Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. Orang tua menyayangi dan menerima, tetapi juga meminta perilaku yang baik, tegas dalam menetapkan standar dan berkenan untuk menetapkan hukuman yang terbatas dan adil jika dibutuhkan dalam konteks hubungan yang hangat dan mendukung. Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang dilakukan oleh anak tetap harus dibawah pengawasan orang tua dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral.

(6)

Orang tua dan anak tidak dapat berbuat semena-mena.Anakdiberi kepercayaan dan dilatih untukmempertanggungjawabkan segala tindakannya. Akibat positif dari pola asuh ini, anak menjadi seorang individu yang mempercayai orang lain, bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya, tidak munafik, dan jujur. Namun akibat negatif, anak akan cenderung merongrong kewibawaan otoritas orang tua, kalau segala sesuatu harus dipertimbangkan antara anak-orang tua.

Menurut Wong (2008), tipe pola asuh orang tua dibedakan menjadi 3, yaitu:

a. Otoriter atau Diktator

Orang tua mencoba untuk mengontrol perilaku dan sikap anak melalui perintah yang tidak boleh dibantah. Mereka menetapkan aturan dan regulasi atau standar perilaku yang dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak boleh dipertanyakan. Mereka menilai dan memberi penghargaan atas kepatuhan absolut, sikap mematuhi kata-kata mereka, dan menghormati prinsip dan kepercayaan keluarga tanpa kegagalan. Mereka menghukum secara paksa setiap perilaku yang berlawanan dengan standar orang tua. Otoritas orang tua dilakukan dengan penjelasan yang sedikit dan keterlibatan anak yang sedikit dalam mengambil keputusan. Hukuman tidak selalu berupa hukuman fisik tetapi mungkin berupa penarikan diri dari rasa cinta dan pengakuan. Latihan yang hati-hati sering kali mengakibatkan perilaku menurut secara kaku pada anak, yang cendrung untuk menjadi sensitif, pemalu, menyadari diri sendiri, cepat lelah dan tunduk. Mereka cendrung menjadi sopan, setia, jujur, dan dapat diandalkan tetapi mudah dikontrol. Perilaku-perilaku ini lebih khas terlihat ketika pengguna kekuasaan

(7)

diktator orang tua disertai dengan supervisi ketat dan tingkat kasih sayang yang masuk akal. Jika tidak, pengggunaan kekuasaan diktator lebih cendrung untuk dihubungkan dengan perilaku menentang dan antisosial.

b. Permisif atau Laissez-Faire

Orang tua memiliki sedikit kontrol atau tidak sama sekali atas tindakan anak-anak mereka. Orang tua yang bermaksud baik ini kadang-kadang bingung antara sikap permisif dan pemberian izin. Mereka menghindari untuk memaksakan standar perilaku mereka dan mengizinkan anak mereka untuk mengatur aktivitas mereka sendiri sebanyak mungkin. Orang tua ini menganggap diri mereka sendiri sebagai sumber untuk anak, bukan merupakan model peran. Jika peraturan memang ada, orang tua menjelaskan alasan yang mendasarinya, mendukung pendapat anak, dan berkonsultasi dengan mereka dalam proses pembuatan keputusan.Mereka memberlakukan kebebasan dalam bertindak, disiplin yang inkonsisten, tidak menetapkan batasan-batasan yang masuk akal, dan tidak mencegah anak yang merusak rutinitas dirumah. Orang tua jarang menghukum anak, karena sebagian besar perilaku dianggap dapat diterima.

c. Otoritatif atau Demokratik

Orang tua mengkombinasikan praktik mengasuh anak dari dua gaya yang ekstrim. Mereka mengarahkan perilaku dan sikap anak dengan menekankan alasan peraturan dan secara negatif menguatkan penyimpangan. Mereka menghormati individualitas dari setiap anak dan mengizinkan mereka untuk menyuarakan keberatannya terhadap standar atau peraturan keluarga. Kontrol orang tua kuat dan konsiten tetapi disertai dengan dukungan, pengertian, dan

(8)

keamanan. Kontrol difokuskan pada masalah, tidak pada penarikan rasa cinta atau takut pada hukuman. Orang tua membantu “pengarahan diri pribadi” suatu kesadaran mengatur perilaku berdasarkan perasaan bersalah atau malu untuk melakukan hal yang salah, bukan karena takut tertangkap atau takut dihukum. Standar realistis orang tua dan harapan yang masuk akal menghasilkan anak dengan harga diri tinggi, dan sangat interaktif dengan anak lain.

Menurut Hurlock (1999 dalam Risa, 2012), membagi bentuk pola asuh orang tua menjadi tiga macam yaitu:

a. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.

b. Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya berdasarkan rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap berlebihan yang melampui kemampuan anak. Orang tua tipe ini memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.

(9)

c. Pola Asuh Permisif

Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan kepada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Orang tua cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga sering kali disukai anak.

Dalam penelitian ini, teori yang diajukan sebagai landasan peneliti pada variabel pola asuh adalah teori dari Hurlock (1999).

2.1.3 Ciri-ciri Pola Asuh

Hurlock (1999 dalam Fini, 2008) mengemukakan ciri-ciri pola asuh, yaitu: a. Pola asuh otoriter mempunyai ciri:

1. Anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua

2. Pengontrolan orang tua pada tingkah laku anak sangat ketat hampir tidak pernah memberi pujian

3. Sering memberikan hukuman fisik jika terjadi kegagalan memenuhi standar yang telah ditetapkan orang tua

4. Pengendalian tingkah laku melalui kontrol eksternal b. Pola asuh demokratis mempunyai ciri:

1. Anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol internal

2. Anak diakui sebagai pribadi oleh orang tua dan turut dilibatkan dalam pengambilan keputusan

(10)

3. Menetapkan peraturan serta mengatur kehidupan anak. c. Pola asuh permisif mempunyai ciri:

1. Kontrol orang tua kurang 2. Bersifat longgar atau bebas

3. Anak kurang dibimbing dalam mengatur dirinya 4. Hampir tidak menggunakan hukuman

5. Anak diijinkan membuat keputusan sendiri dan dapat berbuat sekehendaknya sendiri.

2.1.4 Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh menurut Edward (2006 dalam Refi, 2014) adalah:

a. Pendidikan orang tua

Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak.

b. Lingkungan

Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidakmustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya.

(11)

c. Budaya

Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalammemberikan pola asuh terhadap anaknya.

2.2 Remaja

2.2.1 Pengertian Remaja

Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan individu dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana pada masa tersebut terjadi perkembangan perubahan yang sangat pesat baik fisik, psikologis dan sosial (Potter & Perry, 2005). Masa remaja terdiri dari atas tiga subfase yang jelas yaitu masa remaja awal (usia 11 sampai 14 tahun), masa remaja pertengahan (usia 15 sampai 17 tahun), dan masa remaja akhir (usia 18 sampai 20 tahun) (Winkelstein & Schwartz, 2009)

2.2.2 Ciri-Ciri Masa Remaja

Menurut Hurlock (1999)dalamRisa (2012) seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut adalah :

(12)

a. Masa remjaa sebagai periode yang penting.

Dianggap periode yang penting karena akibatnya langsung terhadap sikap dan perilaku, dan karena akibat-akibat jangka panjang. Pada periode remaja, baik akibat langsung maupun akibat jangka panjang tetap penting. Ada periode yang penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat psikologis. Awal masa remaja, perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan mental yang cepat, sehingga mengakibatkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan.

Peralihan berarti tidak terputus atau berubah dari yang telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap ke tahap perkembangan berikutnya. Artinya, apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang. Perubahan fisik yang terjadi sebelum tahap awal masa remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu dan mengakibatkan diadakannya penilaian kembali penyesuaian nilai-nilai yang telah tergeser.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan.

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik.

Ada empat perubahan yang hampir bersifat universal, yaitu :

1. Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Karena perubahan emosi biasanya terjadi

(13)

lebih cepat selama masa awal remaja, maka meningginya masa emosi lebih menonjol pada masa periode akhir.

2. Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial menimbulkan masalah baru. Bagi remaja muda, masalah baru yang timbul tampaknya lebih banyak dan lebih sulit di selesaikan dibandingkan masalah yang dihadapi sebelumnya. Remaja akan tetap merasa ditimbuni masalah, sampai ia sendiri menyelesaikannya menurut kepuasannya. 3. Perubahan minat dan pola perilaku mengakibatkan perubahan

nilai-nilaiyang dianggap penting pada masa kanak-kanak, sekarang setelah hampir dewasa tidak penting lagi.

4. Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan tetapi mareka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mareka untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah.

Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan kesulitan. Pertama sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena remaja merasa mandiri, sehingga mareka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru.

(14)

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri.

Awal masa remaja diperlihatkan dengan penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Lambat laun mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama seperti temannya dalam segala hal.

Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam menggunakan mobil, pakaian, dan barang-barang mewah lain yang mudah terlihat. Remaja menarik perhatian pada diri sendiri dan agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya.

f. Masa remaja sebagi usia yang menimbulkan ketakutan.

Anggapan Stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya, dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja normal. stereotip berfungsi sebagai cermin yang ditegakkan masyarakat bagi remaja yang menggambarkan citra diri remaja sendiri yang lambat laun dianggapnya sebagai gambaran yang asli dan remaja membentuk perilakunya sesuai gambaran ini. Dengan menerima stereotip tersebut dan adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit.

(15)

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis.

Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam hal cita-cita. Semakin tidak realistiknya cita-cita semakin menjadi marah. Remaja akan sakit hari dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau dia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkanya sendiri. Menjelang berakhirnya masa remaja, pada umunya baik anak laki-laki maupun anak perempuan sering terganggu oleh idealisme yang berlebihan bahwa mereka segera harus melepaskan kehidupan mereka yang bebas bila telah mencapai status orang dewasa.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.

Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan oabt-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku tersebut akan memberikan citra yang mereka inginkan.

2.3 Tugas Perkembangan Remaja

2.3.1 Pengertian Tugas Perkembangan

Menurut Havighurst (Agustiani, 2009), pengertian tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar satu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa kearah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya, akan

(16)

tetapi bila gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya.

Tugas Perkembangan adalah setiap tahapan perkembangan manusia yang berasal dari harapan masyarakat yang harus dipenuhi oleh individu. Keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan pada periode usia tertentu akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya seseorang dalam menjalankan tugas perkembangan pada usia selanjutnya. Pada usia remaja terdapat pula tugas-tugas perkembangan tertentu yang harus dipenuhi oleh individu. Pada akhir remaja diharapkan tugas-tugas tersebut telah terpenuhi sehingga individu siap memasuki masa dewasa dengan peran-peran dan tugas-tugas barunya sebagai orang dewasa (Agustiani, 2009).

2.4 Kenakalan Remaja

2.4.1 Pengertian Kenakalan remaja

Kenakalan biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquent berasal dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau peneror, durjana dan lain sebagainya. Juveniledelinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anakanak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan

(17)

bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal(Kartono, 2003).

2.4.2 Bentuk-Bentuk Kenakalan Remaja

Menurut Kartono (2003), bentuk-bentuk perilaku kenakalan remaja dibagimenjadi empat, yaitu :

a. Kenakalan terisolir (Delinkuensi terisolir)

Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari remaja nakal. Pada umumnya mereka tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan nakal mereka didorong oleh faktor-faktor berikut :

1) Keinginan meniru dan ingin konform dengan gangnya, jadi tidak ada motivasi, kecemasan atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan. 2) Mereka kebanyakan berasal dari daerah kota yang transisional sifatnya

yang memiliki subkultur kriminal. Sejak kecil remaja melihat adanya gang-gang kriminal, sampai kemudian dia ikut bergabung. Remaja merasa diterima, mendapatkan kedudukan hebat, pengakuan dan prestise tertentu.

3) Pada umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, dan mengalami banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja memuaskan semua kebutuhan dasarnya di tengah lingkungan kriminal. Gang remaja nakal memberikan alternatif hidup yang menyenangkan.

(18)

4) Remaja dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan supervisi dan latihan kedisiplinan yang teratur, sebagai akibatnya dia tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup normal. Ringkasnya, delinkuen terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan dari lingkungan sosial, mereka mencari panutan dan rasa aman dari kelompok gangnya, namun pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal ini meninggalkan perilaku kriminalnya, paling sedikit 60% dari mereka menghentikan perilakunyapada usia 21-23 tahun. Hal ini disebabkan oleh proses pendewasaan dirinya sehingga remaja menyadari adanya tanggung jawab sebagai orang dewasa yang mulai memasuki peran sosial yang baru.

b. Kenakalan neurotik (Delinkuensi neurotik)

Pada umumnya, remaja nakal tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang cukup serius, antara lain berupa kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa bersalah dan berdosa dan lain sebagainya. Ciri - ciri perilakunya adalah :

1) Perilaku nakalnya bersumber dari sebab-sebab psikologis yang sangat dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai subkultur gang yang kriminal itu saja.

2) Perilaku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum terselesaikan, karena perilaku jahat mereka merupakan alat pelepas ketakutan, kecemasan dan kebingungan batinnya.

(19)

3) Biasanya remaja ini melakukan kejahatan seorang diri, dan mempraktekkan jenis kejahatan tertentu, misalnya suka memperkosa kemudian membunuh korbannya, kriminal dan sekaligus neurotik. 4) Remaja nakal ini banyak yang berasal dari kalangan menengah, namun

pada umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang parah, dan orangtuanya biasanya juga neurotik atau psikotik.

5) Remaja memiliki ego yang lemah, dan cenderung mengisolir diri dari lingkungan.

6) Motif kejahatannya berbeda-beda.

7) Perilakunya menunjukkan kualitas kompulsif (paksaan).

c. Kenakalan psikotik (Delinkuensi psikopatik)

Delinkuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat dari kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum criminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka adalah :

1) Hampir seluruh remaja delinkuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak pertikaian keluarga, berdisiplin keras namun tidak konsisten, dan orangtuanya selalu menyia-nyiakan mereka, sehingga mereka tidak mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi dan tidak mampu menjalin hubungan emosional yang akrab dan baik dengan orang lain. 2) Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan

(20)

3) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau dan tidak dapat diduga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan impulsif, biasanya mereka residivis yang berulang kali keluar masuk penjara, dan sulit sekali diperbaiki.

4) Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma-norma sosial yang umum berlaku, juga tidak peduli terhadap norma subkultur gangnya sendiri.

5) Kebanyakan dari mereka juga menderita gangguan neurologis, sehingga mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri. 6) Psikopat merupakan bentuk kekalutan mental dengan karakteristik

sebagai berikut: tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri, orangnya tidak pernah bertanggung jawab secara moral, selalu mempunyai konflik dengan norma sosial dan hukum. Mereka sangat egoistis, anti sosial dan selalu menentang apa dan siapapun. Sikapnya kasar, kurang ajar dan sadis terhadap siapapun tanpa sebab.

d. Kenakalan defek moral (Delinkuensi defek moral)

Defek (defect, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciri-ciri: selalu melakukan tindakan anti sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan, namun ada disfungsi pada inteligensiny.

Kelemahan para remaja delinkuen tipe ini adalah mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya, mereka selalu ingin melakukan perbuatan

(21)

kekerasan, penyerangan dan kejahatan, rasa kemanusiaannya sangat terganggu, sikapnya sangat dingin tanpa afeksi jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas emosional.

Terdapat kelemahan pada dorongan instinktif yang primer, sehingga pembentukan super egonya sangat lemah. Impulsnya tetap pada taraf primitif sehingga sukar dikontrol dan dikendalikan. Mereka merasa cepat puas dengan prestasinya, namun perbuatan mereka sering disertai agresivitas yang meledak. Remaja yang defek moralnya biasanya menjadi penjahat yang sukar diperbaiki. Mereka adalah para residivis yang melakukan kejahatan karena didorong oleh naluri rendah, impuls dankebiasaan primitif, di antara para penjahat residivis remaja, kurang lebih 80 % mengalami kerusakan psikis, berupa disposisi dan perkembangan mental yang salah, jadi mereka menderita defek mental. Hanya kurang dari 20 % yang menjadi penjahat disebabkan oleh faktor sosial atau lingkungan sekitar.

Jensen (dalam Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat bentuk yaitu:

a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain:

perkelahian, tawuran perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain- lain.

b. Kenakalan yang meninbulkan korban materi: perusakan, pencurian,

(22)

c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat, prilaku merokok, hubungan seks

bebas.

d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak

sebagai pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah perintah.

Hurlock (1973) dalam Sarwono (2002) berpendapat bahwa kenakalan yang dilakukan remaja terbagi dalam empat bentuk, yaitu:

a. Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain: perkelahian,

tawuran dan lain-lain.

b. Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain: merampas,

mencuri, dan mencopet.

c. Perilaku yang tidak terkendali: perilaku yang tidak mematuhi

orangtua dan guru seperti membolos, mengendarai kendaran dengan tanpa surat izin, dan kabur dari rumah.

d. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain: seperti

mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, memperkosa dan menggunakan senjata tajam.

Dari beberapa bentuk kenakalan pada remaja dapat disimpulkan bahwa semuanya menimbulkan dampak negatif yang tidak baik bagi dirinya sendiri dan orang lain, serta lingkungan sekitarnya. Adapun bentuk-bentuk kenakalan remaja yang diambil pada penelitian ini adalah pendapat Jersen dalam Sarwono (2002).

(23)

2.4.3 Karaketeristik Remaja Nakal

Menurut Kartono (2003), remaja nakal itu mempunyai karakteristik umumyang sangat berbeda dengan remaja tidak nakal. Perbedaan itu mencakup :

a. Perbedaan struktur intelektual

Pada umumnya inteligensi mereka tidak berbeda dengan inteligensi remajayang normal, namun jelas terdapat fungsi- fungsi kognitif khusus yang berbeda biasanya remaja nakal ini mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi daripada nilai untuk ketrampilan verbal (tes Wechsler). Mereka kurang toleran terhadap hal-hal yang ambigius biasanya mereka kurang mampu memperhitungkan tingkah laku orang lain bahkan tidak menghargai pribadi lain dan menganggap orang lain sebagai cerminan dari diri sendiri.

b. Perbedaan fisik dan psikis

Remaja yang nakal ini lebih “idiot secara moral” dan memiliki perbedaan cirri yang jasmaniah sejak lahir jika dibandingkan dengan remaja normal. Bentuk tubuh mereka lebih kekar, berotot, kuat, dan pada umumnya bersikap lebih agresif. Hasil penelitian juga menunjukkan ditemukannya fungsi fisiologis dan neurologis yang khas pada remaja nakal ini, yaitu: mereka kurang bereaksi terhadap stimulus kesakitan dan menunjukkan ketidakmatangan jasmaniah atau anomali perkembangan tertentu.

c. Ciri karakteristik individual

Remaja yang nakal ini mempunyai sifat kepribadian khusus yangmenyimpang, seperti :

(24)

1) Rata-rata remaja nakal ini hanya berorientasi pada masa sekarang, bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa depan.

2) Kebanyakan dari mereka terganggu secara emosional.

3) Mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga tidak mampu mengenal norma-norma kesusilaan, dan tidak bertanggung jawab secara sosial.

4) Mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan tanpa berpikir yang merangsang rasa kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya risikodan bahaya yang terkandung di dalamnya.

5) Pada umumnya mereka sangat impulsif dan suka tantangan dan bahaya.

6) Hati nurani tidak atau kurang lancar fungsinya.

7) Kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri sehingga mereka menjadi liar dan jahat.

2.4.4 Faktor yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja

Faktor-faktor kenakalan remaja menurut Santrock, (2007) lebih rinci dijelaskan sebagai berikut :

a. Identitas

Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam Santrock, 2007) masa remaja ada pada tahap di mana krisis identitas versus difusi identitas harus di atasi. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja:

(25)

1. Terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan

2. Tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara menggabungkanmotivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.Erikson percaya bahwa delinkuensi pada remaja terutama ditandai dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan aspek-aspek peran identitas. Ia mengatakan bahwa remaja yang memiliki masa balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka dari berbagai peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan pada mereka, mungkin akan memiliki perkembangan identitas yang negatif. Beberapa dari remaja ini mungkin akan mengambil bagian dalam tindak kenakalan, oleh karena itu bagi Erikson, kenakalan adalah suatu upaya untuk membentuk suatu identitas, walaupun identitas tersebut negatif.

b. Kontrol diri

Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak gagal dalam mengembangkan kontrol diri yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui

(26)

perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka.

Hasil penelitian yang dilakukan baru-baru ini dalamSantrock (2007) menunjukkan bahwa ternyata kontrol diri mempunyai peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh orangtua yang efektif di masa kanak-kanak (penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya pengaturan diri oleh anak. Selanjutnya, dengan memiliki ketrampilan ini sebagai atribut internal akan berpengaruh pada menurunnya tingkat kenakalan remaja.

c. Usia

Munculnya tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan penyerangan serius nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua anak yang bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan, seperti hasil penelitian dari McCord (dalam Kartono, 2003) yang menunjukkan bahwa pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal tipe terisolir meninggalkan tingkah laku kriminalnya. Paling sedikit 60 % dari mereka menghentikan perbuatannya pada usia 21 sampai 23 tahun.

d. Jenis kelamin

Remaja laki- laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial daripada perempuan. Menurut catatan kepolisian Kartono (2003) pada umumnya jumlah remaja laki- laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50 kali lipat daripada gang remaja perempuan.

(27)

e. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah

Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak begitu bermanfaat untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai mereka terhadap sekolah cenderung rendah. Mereka tidak mempunyai motivasi untuk sekolah. Riset yang dilakukan oleh Janet Chang dan Thao N. Lee (2005) mengenai pengaruh orangtua, kenakalan teman sebaya, dan sikap sekolah terhadap prestasi akademik siswa di Cina, Kamboja, Laos, dan remaja Vietnam menunjukkan bahwa faktor yang berkenaan dengan orangtua secara umum tidak mendukung banyak, sedangkan sikap sekolah ternyata dapat menjembatani hubungan antara kenakalan teman sebaya dan prestasi akademik.

f. Proses keluarga

Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja. Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang orangtua dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Gerald Patterson dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 2007) menunjukkan bahwa pengawasan orangtua yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesua i merupakan faktor keluarga yang penting dalam menentukan munculnya kenakalan remaja. Perselisihan dalam keluarga atau stress yang dialami keluarga juga berhubungan dengan kenakalan. Faktor genetik juga termasuk pemicu timbulnya kenakalan remaja, meskipun persentasenya tidak begitu besar.

(28)

g. Pengaruh teman sebaya

Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan risiko remaja untuk menjadi nakal. Pada sebuah penelitian Santrock (1996) terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan kenakalan di Boston, ditemukan persentase kenakalan yang lebih tinggi pada remaja yang memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya yang melakukan kenakalan.

h. Kelas sosial ekonomi

Ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal di antara daerah perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang memiliki banyak privilege diperkirakan 50 : 1 (Kartono, 2003). Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk mengembangkan ketrampilan yang diterima oleh masyarakat. Mereka mungkin saja merasa bahwa mereka akan mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan anti sosial. Menjadi “tangguh” dan “maskulin” adalah contoh status yang tinggi bagi remaja dari kelas sosial yang lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan oleh keberhasilan remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan diri setelah melakukan kenakalan.

i. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal

Komunitas juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan remaja. Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja mengamati berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil atau penghargaan atas aktivitas kriminal mereka. Masyarakat seperti ini

(29)

sering ditandai dengan kemiskinan, pengangguran, dan perasaan tersisih dari kaum kelas menengah. Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan aktivitas lingkungan yang terorganisir adalah faktor- faktor lain dalam masyarakat yang juga berhubungan dengan kenakalan remaja.

Referensi

Dokumen terkait

Faktor keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengaruh pihak-pihak yang memiliki hubungan darah secara langsung serta kerabat dekat terhadap status anak

Evaluasi praktik mengajar dilakukan guru agar mahasiswa PPL dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan selama proses mengajar di kelas sehingga diharapkan nantinya akan

Penerapan Konseling Kelompok Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas VIII G SMP Yayasan Pendidikan 17

Koefisien laba saat ini ERC (E04) (t-statistik=3,098, sig=0,000) mengindikasikan bahwa laba saat ini memiliki pengaruh terhadap return saat ini berhubungan positif dan

Bahwa hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh konstitusi yakni hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

Pada hasil simulasi dengan prediksi 4 langkah kedepan didapat bahwa keluaran plant dengan kontroler lebih cepat dibandingkan yang tanpa kontroler untuk menuju

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk melihat pengaruh dari aplikasi jumlah reaktor UV yang berbeda dan frekuensi HPEF