• Tidak ada hasil yang ditemukan

THE RELATIONSHIP BETWEEN PERCEPTION OF INTERPARENTAL CONFLICT AND EMOTION REGULATION STRATEGY AMONG ADOLESCENT IN DKI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "THE RELATIONSHIP BETWEEN PERCEPTION OF INTERPARENTAL CONFLICT AND EMOTION REGULATION STRATEGY AMONG ADOLESCENT IN DKI JAKARTA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

THE RELATIONSHIP BETWEEN

PERCEPTION OF INTERPARENTAL

CONFLICT AND EMOTION REGULATION

STRATEGY AMONG ADOLESCENT IN DKI

JAKARTA

Dhelia Sofi Anggani Sofyan

Psikologi, Universitas Bina Nusantara, dhelia.sofi@gmail.com (Dhelia Sofi Anggani Sofyan, Katarina Ira Puspita, S.Psi., M.Psi)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empiris hubungan antara persepsi mengenai konflik orang tua (conflict properties, self-blame, and threat) dengan strategi regulasi emosi (cognitive reappraisal and expressive suppresion) pada remaja di DKI Jakarta. 200 peserta remaja telah berpartisipasi dalam penelitian ini dengan menyelesaikan kedua kuesioner persepsi mengenai konflik orang tua dan strategi regulasi emosi. Persepsi mengenai konflik orang tua diukur dengan menggunakan Children Perception of Interparental Conflict Scale (CPIC) yang dikembangkan oleh Grych, Seid, dan Fincham (1992), sedangkan strategi regulasi emosi diukur dengan menggunakan Emotion Regulation Questionnaire (ERQ) yang dikembangkan oleh John dan Gross (2003). Teknik yang digunakan untuk menganalisis data adalah Pearson Product-Moment Correlation (r). Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua (conflict properties, self-blame, and threat) dengan strategi regulasi emosi (cognitive reappraisal and expressive suppresion). Namun, analisis tambahan menemukan ada hubungan yang signifikan antara dimensi resolution pada subskala conflict properties dengan strategi cognitive reappraisal pada remaja di DKI Jakarta.(DSAS) Kata kunci: Persepsi Mengenai Konflik Orang Tua, Strategi Regulasi Emosi, Remaja

(2)

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine empirically the relationship between perception of interparental conflict (conflict properties, self-blame, and threat) and emotion regulation strategy (cognitive reappraisal and expressive suppresion) among adolescents in DKI Jakarta. 200 participant of adolescents had participated in this study by completing both questionnaires of perception of interparental conflict and emotion regulation strategy. Perception of interparental conflict was measured using a Children Perception of Interparental Conflict Scale (CPIC) developed by Grych, Seid, and Fincham (1992), while the emotion regulation strategy was measured using an Emotion Regulation Questionnaire (ERQ) developed by John and Gross (2003). The technique that used for analyzing data was Pearson Product-Moment Correlation (r). Result showed no significant relationship between perception of interparental conflict (conflict properties, self-blame, and threat) and emotion regulation strategy (cognitive reappraisal and expressive suppresion). However, additional analysis found there was a significant relationship between resolution dimention on conflict properties subscale and cognitive reappraisal strategy among adolescents in DKI Jakarta. (DSAS)

(3)

PENDAHULUAN

Kasus kenakalan remaja menjadi masalah yang diresahkan oleh banyak masyarakat. Tingginya kasus kenakalan remaja sangat memprihatinkan, terutama yang terjadi di kota besar seperti DKI Jakarta. Berdasarkan Data Biro Statistik Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta (“Kurangi kenakalan remaja dengan YABC”, 2011), DKI Jakarta merupakan 1 dari 5 provinsi di Indonesia yang memiliki angka kenakalan remaja yang tinggi. Data yang terhimpun pada Biro Operasi Polda Metro Jaya menunjukkan bahwa kasus kenakalan remaja di DKI Jakarta meningkat pada tahun 2012 hingga 2013, dimana pada tahun 2012 terdapat 30 kasus sedangkan tahun 2013 meningkat menjadi 42 kasus.

Bentuk kenakalan remaja yang marak terjadi di DKI Jakarta antara lain tawuran antar pelajar dan penyalahgunaan narkotika. Berdasarkan keterangan Bapak H. Nasrul Haryanto selaku Kasi Bintibmas Kasubdit Bintibluh Ditbinmas Polda Metro Jaya, bahwa pada tahun 2012 hingga 2013 terjadi 284 kasus tawuran antar pelajar SMP dan 177 kasus tawuran antar pelajar SMA di wilayah Jakarta. Beliau juga menambahkan bahwa jumlah tawuran antar pelajar yang terjadi sepanjang tahun 2012 hingga 2013 adalah sebanyak 939 kali dengan menelan korban jiwa sebanyak 29 orang. Kemudian selain tawuran antar pelajar, terjadi pula peningkatan kasus narkoba di kalangan remaja di Jakarta. Data tersebut dihimpun oleh Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya yang menunjukkan bahwa pada tahun 2012 hingga 2013 terjadi peningkatan kasus narkoba yang dilakukan oleh remaja di wilayah Jakarta, dimana pada tahun 2012 terjadi 313 kasus sedangkan tahun 2013 meningkat menjadi 360 kasus.

Menurut Santrock (2011), kenakalan remaja atau juvenile deliquency mengacu pada berbagai macam perilaku yang dilakukan oleh remaja, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial hingga melanggar hukum, sehingga dikategorikan sebagai perilaku antisosial. Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kenakalan remaja adalah adolescent emotional instability atau emosi remaja yang tidak stabil (Bridges, 1927). Menurut Hall (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007), pada masa remaja, individu menyesuaikan perubahan tubuh dan tuntutan kedewasaan disertai dengan periode “strom and stress”. Pada periode ini remaja menjadi sangat rentan terhadap gejolak emosional dan rentan terhadap perasaan cemas dan malu, serta sering mengalami perubahan suasana hati atau mood swing (Siegel & Welsh, 2012).

Individu pada masa remaja lebih banyak mengalami emosi-emosi yang berlebihan atau ekstrim, seperti kemarahan, kesedihan, dan romantic passion dibandingkan pada masa kanak-kanak atau dewasa (Arnett & Maynard, 2012). Menurut Bridges (1927), kondisi emosi remaja yang berlebihan sering mendorong para remaja untuk bertindak sebelum merenungkan perilakunya terlebih dahulu dan sebelum memeriksa unsur-unsur yang tidak diterima secara sosial dalam perilaku tersebut. Pada penelitian Eisenberg dkk (dalam Cooper, Flanagan, Talley & Micheas, 2006) menunjukkan bahwa tingkat emosi negatif yang tinggi berkaitan dengan tingginya perilaku agresif dan antisosial.

Berdasarkan teori dan hasil penelitian yang telah dijabarkan dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja didasari oleh kondisi emosional individu yang tidak stabil dan ektrim pada saat remaja. Emosi negatif dalam kondisi yang ekstrim dapat berkaitan dengan perilaku agresif dan antisosial, seperti kenakalan remaja, maka dari itu kemampuan mengelola atau meregulasi emosi dengan baik menjadi hal penting bagi remaja.

Cooper, Wood, Orcutt dan Albino (dalam Aucoin, 2006) menyatakan bahwa kemampuan regulasi emosi yang buruk merupakan karakteristik utama dari perilaku bermasalah selama remaja. Cooper, Flanagan, Talley, dan Micheas (2006) juga menyatakan bahwa kemampuan regulasi emosi menjadi faktor yang berpengaruh terhadap perilaku berisiko, seperti penggunaan narkoba, perilaku kekerasan, dan seks bebas. Faridh (2008) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa terdapat korelasi negatif yang signifikan antara regulasi emosi dengan kecenderungan kenakalan remaja, yang berarti bahwa semakin tinggi kemampuan regulasi emosi individu maka semakin rendah kecenderungan kenakalannya.

Regulasi emosi mengacu pada kemampuan individu untuk mempengaruhi emosi yang dimiliki, kapan emosi dirasakan, dan bagaimana individu mengalami serta mengekspresikan emosinya (Gross, dalam Gross, 2008). Hsieh (2010) menyatakan bahwa regulasi emosi memainkan peran penting dalam fungsi sosial, hubungan interpersonal, pembentukan kepribadian, pemecahan masalah, manajemen stres, dan kesuksesan karir. Hsieh (2010) juga menegaskan bahwa kemampuan regulasi emosi adalah dasar fungsi sosial yang lebih adaptif dan sangat penting untuk kesehatan mental remaja.

Manusia dalam hidupnya memiliki cara untuk meregulasi emosi yang dirasakan. Gross dan John (2003) mengusulkan dua jenis strategi yang digunakan individu untuk meregulasi emosi, yaitu cognitive

(4)

reappraisal dan expressive suppression. Strategi cognitive reappraisal melibatkan pengubahan cara berpikir tentang situasi untuk mengatur dampak emosional dari suatu kejadian. Berbeda dengan strategi expressive suppression, yaitu strategi regulasi emosi yang melibatkan upaya untuk menghambat terwujudnya keadaan emosional internal.

Orang-orang yang menggunakan cognitive reappraisal mengalami perasaan yang lebih positif, cenderung berfungsi lebih baik dalam pengaturan sosial, dan memiliki kesejahteraan diri yang lebih baik daripada mereka yang mengadopsi expressive suppression (Gross & John, 2003). Strategi cognitive reappraisal menjadi strategi yang lebih adaptif dibandingkan dengan expressive suppression, hal ini karena individu yang menggunakan cognitive reappraisal lebih responsif terhadap situasi dan lebih interaktif dengan lingkungan sosial (Hsieh, 2010). Sedangkan menurut Gross, Richards, dan John (2006), expressive suppression menciptakan ketidaksesuaian antara apa yang dialami dalam diri dengan ekspresi yang dimunculkan, hal ini menimbulkan perasaan membohongi diri sendiri dan menghambat perkembangan hubungan dekat secara emosional dengan orang lain. Hasil penelitian Hsieh (2010) menunjukkan bahwa penggunaan strategi cognitive reappraisal secara negatif memprediksi masalah internalisasi (mencakup withdrawal, anxiety, depresi, dan masalah somatis) dan eksternalisasi (mencakup perilaku agresi, anti sosial, dan oposisi), sedangkan penggunaan strategi expressive suppression secara positif memprediksi masalah internalisasi dan eksternalisasi pada individu.

Fox dan Calkins (2003) menjelaskan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi regulasi emosi individu, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi temperamental disposision, keterampilan kognitif, dan kematangan sistem saraf dan sistem fisiologis individu yang terlibat dalam proses regulasi emosi. Faktor ekstrinsik meliputi ekspektasi budaya terhadap emosi yang ditampilan, hubungan individu dengan saudara dan peers, dan lingkungan pengasuhan atau keluarga, terutama orang tua (Fox & Calkins, 2003).

Menurut Shelleby (2010), orang tua merupakan faktor ekstrinsik yang paling berpengaruh terhadap bagaimana seorang anak mempelajari cara meregulasi emosinya. Terdapat tiga proses utama yang mendasari bagaimana orang tua dapat mempengaruhi regulasi emosi anaknya. Pertama, regulasi emosi dapat anak pelajari melalui observasi, mencakup parental modeling, social referencing, dan emotion contagion. Kedua, regulasi emosi dapat dipengaruhi oleh perilaku orang tua yang dikaitkan dengan sosialisasi emosi seperti parental emotion coaching dan parental reactions to emotions. Ketiga, iklim emosional keluarga yang dipengaruhi oleh parent-child attachment, pola asuh, dan hubungan perkawinan (Morris, Silk, Steinberg, & Robinson, 2007).

Kualitas hubungan perkawinan dapat berkurang karena adanya konflik yang terjadi di antara kedua orang tua. Seperti yang dikatakan oleh Grych dan Fincham (2001), walaupun konflik dapat muncul di dalam hampir semua hubungan dekat, namun konflik cenderung lebih sering diketahui sebagai pengikis kualitas hubungan perkawinan. Konflik yang terjadi di antara kedua orang tua dapat bersifat tertutup maupun terbuka. Krishnakumar, Stone, Anthony, Pemberton, Gerard, dan Barber (1998, dalam Caban, 2004) mendefinisikan konflik terbuka sebagai perilaku bermusuhan yang diindikasikan dengan adanya manisfestasi langsung dari hubungan negatif di antara kedua orang tua, sementara konflik tertutup adalah perilaku bermusuhan yang mencerminkan cara pengelolaan konflik yang pasif di antara kedua orang tua. Konflik yang bersifat terbuka memiliki pengaruh yang lebih besar pada anak daripada konflik yang bersifat tertutup. Ketika konflik yang terbuka disaksikan oleh anak, ekspresi dan perilaku kekerasan orang tua dapat berdampak negatif pada diri anak (Buehler dkk, 1997, dalam Grych & Fincham, 2001). Menurut Margolin, Oliver, dan Medina, (2001), anak yang tinggal bersama dengan kedua orang tuanya, umumnya telah terpapar atau terekspos oleh beberapa bentuk konflik orang tua.

Santrock (2007) menjelaskan bahwa pengalaman lingkungan dan faktor-faktor sosial dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap emosi remaja dibandingkan faktor biologis seperti perubahan hormonal. Konflik di antara kedua orang tua menjadi faktor sosial yang dapat mempengaruhi kondisi emosional anak. Seperti yang diuraikan oleh Crockenberg dan Langrock (2001), bahwa ketika anak menyaksikan konflik orang tua, perilaku-perilaku yang orang tua tampilkan membentuk suatu aspek pengetahuan untuk anak mengenai suatu kejadian. Pengetahuan tersebut bekerja sebagai data bagi anak yang digunakan untuk mengkonstruksi arti dari konflik tersebut bagi diri anak, yang mana menjadi dasar dari reaksi emosionalnya.

Grych dan Fincham (1990) meyakini bahwa pengaruh konflik orang tua terhadap penyesuaian diri anak, yaitu salah satunya memiliki emotional well-being, dimediasi oleh persepsi anak mengenai konflik orang tuanya. Persepsi anak mengenai konflik orang tua adalah pengetahuan, pemahaman, dan penilaian anak terhadap konflik yang terjadi di antara kedua orang tua (Grych, Seid, & Fincham, 1992). Menurut Grych, Seid, dan Fincham (1992), persepsi anak mengenai konflik orang tua terdiri dari beberapa aspek, yakni: Frequency (seberapa sering orang tua bertengkar); Intensity (tingkat dari afek

(5)

negatif atau kekerasan yang diekspresikan oleh orang tua); Resolution (cara orang tua menangani konflik); Perceived threat (perasaan terancam seperti rasa takut dan cemas yang muncul karena konflik orang tua); Coping efficacy (seberapa terampil anak dalam menghadapi konflik orang tua); Self-blame (perasaan bersalah yang muncul pada diri anak karena merasa sebagai orang yang menyebabkan konflik); dan Content (isi dari konflik yang berkenaan dengan anak).

Grych dan Fincham (1990) menyatakan bahwa anak yang menyaksikan konflik orang tua yang intens, sering atau berkepanjangan, dan ditangani dengan buruk dapat mengalami perasaan yang lebih tertekan dari pada anak yang mengamati konflik yang tidak intens, singkat, dan ditangani dengan baik. Davies dan Cummings (dalam Kinsfogel & Grych, 2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa semakin sering anak mengamati konflik orang tua akan membuat anak lebih reaktif secara emosional dan mengganggu kemampuan anak untuk meregulasi emosi yang dirasakan. Kemudian pada penelitian Kim, Parke, dan Leidy (dalam Parke, McDowell, Cladis, & Leidy, 2006) ditemukan bahwa persepsi anak laki-laki kelas 5 SD mengenai konflik orang tua (mencakup frequency, intensity, content, resolution, dan perceived threat) berkaitan dengan kemampuan regulasi emosi yang rendah (keterlibatan dalam perilaku bermasalah). Kim, Parke, dan Leidy (dalam Parke, McDowell, Cladis, & Leidy, 2006) dalam penelitian yang sama juga menemukan bahwa anak perempuan yang menyalahkan dirinya (self-blame) atas konflik orang tua secara positif berkaitan dengan keterlibatan dalam perilaku bermasalah dan secara negatif berhubungan dengan cognitive problem solving sebagai strategi untuk meregulasi emosi.

Cumming dan Davies (dalam Whitson & El-Sheikh, 2003) dalam penelitiannya yang lebih lanjut secara konsisten menemukan bahwa tingginya konflik orang tua berkaitan dengan regulasi emosi yang buruk pada anak. Fincham dkk (dalam Gong, 2013) juga menyatakan bahwa konflik orang tua dapat mempengaruhi dan merubah kemampuan regulasi emosi anak, yang mana dampaknya dapat meluas hingga anak memasuki masa emerging adult. Hasil penelitian Leidy dan Parke (dalam Parke, McDowell, Cladis, & Leidy, 2006) menunjukkan bahwa persepsi anak mengenai konflik orang tua secara negatif berkaitan dengan regulasi emosi.

Sebagian besar penelitian yang telah ada menunjukkan bahwa persepsi mengenai konflik orang tua berhubungan dengan regulasi emosi anak secara umum, bukan dengan strategi regulasi emosi yang mencakup strategi cognitive reappraisal dan expressive suppresion. Literatur telah menunjukkan bahwa penggunaan strategi cognitive reappraisal secara negatif memprediksi masalah eksternalisasi perilaku seperti perilaku antisosial atau kenakalan remaja, sebaliknya penggunaan strategi expressive suppression secara positif memprediksi masalah eksternalisasi. Hal ini menarik perhatian peneliti untuk meneliti secara lebih spesifik tentang hubungan antara persepsi mengenai konflik orang tua yang terukur dari 3 aspek utama (conflict properties, self-blame, dan perceived threat) dengan strategi regulasi emosi (mencakup cognitive reappraisal dan expressive suppression) pada remaja.

METODE PENELITIAN

Subyek Penelitian dan Teknik Sampling

Karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah individu remaja berusia 12-20 tahun, berdomisili di DKI Jakarta, dan tinggal bersama dengan ayah dan ibu dalam satu rumah, serta pernah melihat orang tua bertengkar. Peneliti menggunakan metode nonprobability sampling yaitu purposive sampling. Purposive sampling yaitu teknik sampling yang dilakukan dengan memilih sampel penelitian berdasarkan kesesuaian individu dengan kriteria sampel yang telah ditentukan oleh peneliti (Sugiyono, 2009). Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dimana data yang diperoleh berupa angka yang akan dianalisis secara statistik (Seniati dkk, 2011). Jenis penelitian kuantitatif yang digunakan adalah penelitian non-eksperimental yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel tanpa melibatkan kontrol atau manipulasi terhadap variabel (Seniati dkk, 2011). Penelitian ini menggunakan metode korelasional yang merupakan teknik statistik yang digunakan untuk mengukur dan menjelaskan hubungan diantara dua variabel (Gravetter & Wallnau, 2009).

Alat Ukur Penelitian

The Children’s Perception of Interparental Conflict Scale (CPIC)

Alat ukur yang digunakan peneliti untuk mengukur persepsi mengenai konflik orang tua adalah The Children’s Perception of Interparental Conflict Scale (CPIC) yang dikembangkan oleh Grych, Seid,

(6)

dan Fincham (1992). CPIC digunakan untuk mengukur tingkat konflik orang tua berdasarkan persepsi anak dan mengukur pemahaman atau penilaian anak terhadap konflik orang tuanya. Alat ukur ini terdiri dari 3 subskala yang mengukur 7 dimensi. Ketiga subskala tersebut yaitu: 1) Subskala Conflict Properties (mencakup dimensi frequency, intensity, dan resolution); 2) Subskala Self-Blame (mencakup dimensi content dan self-blame); 3) Subskala Threat (mencakup dimensi perceived threat dan coping efficacy). The Children’s Perception of Interparental Conflict Scale (CPIC) terdiri dari 40 pernyataan dengan pilihan jawaban menggunakan skala Likert 3 poin, yaitu Benar/B, Agak Benar/AB, dan Tidak Benar/TB. Skor 3 merefleksikan semakin negatifnya bentuk konflik orangtua dan semakin negatifnya penilaian anak terhadap konflik orangtuanya. Pada alat ukur ini, terdapat 28 item favorable dan 12 item unfavorable. Pada item favorable, pilihan jawaban diberi skor Benar/B = 3, Agak Benar/AB = 2, Tidak Benar/TB = 1. Item favorable terdiri dari item nomor 3, 4, 6, 8, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 20, 21, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 31, 33, 35, 36, 37, 38, dan 40. Sedangkan pada item unfavorable diberi skor terbalik, maka pilihan jawabannya yaitu Benar/B = 1, Agak Benar/AB = 2, Tidak Benar/TB = 3. Item unfavorable terdiri dari item nomor 1, 2, 5, 7, 10, 16, 19, 22, 23, 29, 32, dan 39. Skor diperoleh pada 3 subskala yaitu subskala Conflict Properties, subskala Self-Blame, dan subskala Threat.

Emotional Regulation Questionnaire (ERQ)

Alat ukur strategi regulasi emosi yang digunakan pada penelitian ini adalah Emotion Regulation Questionnaire (ERQ) yang disusun oleh John dan Gross (2003). ERQ didesain untuk mengevaluasi kecenderungan individu dalam meregulasi emosi-emosinya melalui 2 strategi, yaitu cognitive reappraisal dan expressive suppression. Alat ukur ini berjumlah 10 item, yakni 6 item mengukur strategi cognitive reappraisal yang mencakup item nomor 1, 3, 5, 7, 8, dan 10, kemudian 4 item mengukur expressive suppresion yang mencakup item nomor 2, 4, 6, dan 9. Respon jawaban pada ERQ menggunakan skala Likert 7 poin, yaitu 1 = STS (Sangat Tidak Setuju), 2 = TS (Tidak Setuju), 3 = ATS (Agak Tidak Setuju), 4 = Netral, 5 = AS (Agak Setuju), 6 = S (Setuju), dan 7 = SS (Sangat Setuju). Semua item merupakan item favorable sehingga tidak ada item yang harus diskor terbalik. Setiap subskala bersifat independent sehingga memiliki skornya masing-masing (John & Gross, 2003).

Hipotesa Penelitian

: Tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala conflict properties dengan strategi regulasi emosi cognitive reappraisal pada remaja di DKI Jakarta. : Ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala conflict

properties dengan strategi regulasi emosi cognitive reappraisal pada remaja di DKI Jakarta. : Tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala conflict

properties dengan strategi regulasi emosi expressive suppression pada remaja di DKI Jakarta. : Ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala conflict

properties dengan strategi regulasi emosi expressive suppression pada remaja di DKI Jakarta. : Tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala self-blame

dengan strategi regulasi emosi cognitive reappraisal pada remaja di DKI Jakarta.

: Ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala self-blame dengan strategi regulasi emosi cognitive reappraisal pada remaja di DKI Jakarta.

: Tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala self-blame dengan strategi regulasi emosi expressive suppression pada remaja di DKI Jakarta.

: Ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala self-blame dengan strategi regulasi emosi expressive suppression pada remaja di DKI Jakarta.

: Tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala threat dengan strategi regulasi emosi cognitive reappraisal pada remaja di DKI Jakarta.

: Ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala threat dengan strategi regulasi emosi cognitive reappraisal pada remaja di DKI Jakarta.

: Tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala threat dengan strategi regulasi emosi expressive suppression pada remaja di DKI Jakarta.

: Ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala threat dengan strategi regulasi emosi expressive suppression pada remaja di DKI Jakarta.

(7)

Hasil dan Bahasan

Persepsi mengenai konflik orangtua subskala Conflict Properties dengan strategi regulasi emosi subskala Cognitive Reappraisal tidak berhubungan secara signifikan, r = -.094, n = 200, p > 0.05, two tails, maka diterima, ditolak.

Persepsi mengenai konflik orangtua subskala Conflict Properties dengan strategi regulasi emosi subskala Expressive Suppression tidak berhubungan secara signifikan, r = +.015, n = 200, p > 0.05, two tails, maka diterima, ditolak.

Persepsi mengenai konflik orangtua subskala Self-Blame dengan strategi regulasi emosi subskala Cognitive Reappraisal tidak berhubungan secara signifikan, r = +.000, n = 200, p > 0.05, two tails, maka

diterima, ditolak.

persepsi mengenai konflik orangtua subskala Self-Blame dengan strategi regulasi emosi subskala Expressive Suppresion tidak berhubungan secara signifikan, r = +.032, n = 200, p > 0.05, two tails, maka

diterima, ditolak.

Persepsi mengenai konflik orangtua subskala Threat dengan strategi regulasi emosi subskala Cognitive Reappraisal tidak berhubungan secara signifikan, r = -.0,49, n = 200, p > 0.05, two tails, maka

diterima, ditolak.

Persepsi mengenai konflik orangtua Threat dengan strategi regulasi emosi subskala Expressive Suppresion tidak berhubungan secara signifikan, r = +.077, n = 200, p > 0.05, two tails, maka diterima, ditolak.

Pada analisa tambahan diketahui bahwa dimensi Resolution pada subskala Conflict Properties dengan strategi regulasi emosi subskala Cognitive Reappraisal berhubungan secara signifikan, r = -.154, n = 200, p < 0.05, two tails.

Simpulan

Pada penelitian ini dilakukan pengolahan data untuk membuktikan masing-masing hipotesis, dari hasil pengolahan data tersebut didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua (subskala Conflict Properties) dengan strategi regulasi emosi (subskala Cognitive Reappraisal).

2. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua (subskala Conflict Properties) dengan strategi regulasi emosi (subskala Expressive Suppression).

3. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua (subskala Self-Blame) dengan strategi regulasi emosi (subskala Cognitive Reappraisal). 4. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua

(subskala Self-Blame) dengan strategi regulasi emosi (subskala Expressive Suppression). 5. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua

(subskala Threat) dengan strategi regulasi emosi (subskala Cognitive Reappraisal).

6. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua (subskala Threat) dengan strategi regulasi emosi (subskala Expressive Suppression). Dalam rangka meningkatkan, mengembangkan dan memperbaiki kekurangan-kekurangan dari penelitian ini, berikut adalah saran-saran yang dapat diberikan peneliti kepada penelitian serupa yang mungkin dilakukan di masa mendatang.

1. Penelitian selanjutnya dapat lebih memfokuskan pada salah satu subskala saja, misalnya subskala conflict properties dengan strategi regulasi emosi, agar hasil penelitian lebih mendalam.

2. Item-item pada alat ukur strategi regulasi emosi sebaiknya dikembangkan menjadi item yang lebih kongkrit, hal ini dilakukan agar subjek remaja semakin memahami setiap itemnya, sehingga subjek dapat menentukan kesesuaian tiap item terhadap dirinya sendiri dengan lebih mudah. Misalnya pada item no 2, “saya menyimpan emosi saya untuk diri saya sendiri”, mungkin dapat dikembangkan menjadi “kekesalan dan kemarahan sering saya simpan didalam hati”, “saya menganggap ketika merasa senang ataupun kesal cukup hanya saya seorang saja yang tahu, orang lain tidak perlu tahu”.

(8)

3. Penelitian kualitatif dapat dilakukan untuk membuktikan keterkaitan antara persepsi mengenai konflik orang tua dengan strategi regulasi emosi secara lebih mendalam.

4.

Pelaksanaan penelitian longitudinal akan dapat membantu untuk memahami penyebab terjadinya kebiasaan dalam menggunakan strategi regulasi emosi cognitive reappraisal atau expressive suppression pada individu.

REFERENSI

Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Arnett, J. J., & Maynard, A. E. (2012). Child development: a cultural approach. Boston: Pearson Education.

Aucoin, K. J. (2006). The role of emotion in the aggresive behavior of juvenile offenders. Disertasi tidak diterbitkan. New Orleans: University of New Orleans, New Orleans.

Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan Validitas (edisi 4). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bridges, K. M. B. (1927). Factor contributing to juvenile deliquency. Journal of criminal law and criminology, 17, 531-580.

Björnsdotter, A. (2014). Evaluation of family check-up and icomet: Effectiveness as well as psychometrics and norms for parent rating scales. Digital comprehensive summaries of uppsala disertastions from the faculty of social sciences. Uppsala: Acta Universitatis Upsaliensis.

Campos, J. J., Frankel, C. B., & Camras, L. (2004). On the nature of emotion regulation. Child Development, 75, 377–394.

Cooper, M. L., Flanagan, M. E., Talley, A. E., & Micheas, L. (2006). Individual differences in emotion regulation and their relation to risk taking during adolescence. Dalam Snyder, D. K., Simpson, J. A., & Hughes, J. N. (Eds.) Emotion regulation in couples and families: pathways to dysfunction and health (hal. 183-203). Washington: American Psychological Association. Crockenberg, S., & Langrock, A. (2001). The role of emotion and emotional regulation in children’s

responses to interparental conflict. Dalam Grych, J. H., Fincham, F.D. (Eds.) Interparental conflict and child development : theory, research, and application (hal 1-6). New York: Cambridge University Press.

Cummings, E.M., & Keller, P.S. (2006). Marital discord and children’s emotional self-regulation. Dalam Snyder, D. K., Simpson, J. A., & Hughes, J. N. (Eds.) Emotion regulation in couples and families: pathways to dysfunction and health (hal. 183-203). Washington: American Psychological Association.

Enebrink, P., Björnsdotter, A., & Ghaderi, A. (2013). The Emotion Regulation Questionnaire: Psychometric properties and norms for Swedish parents of children aged 10-13 years. Europe's Journal of Psychology, 9(2), 289-303. Doi:10.5964/ejop.v 9i2.535

Faridh, R. (2008). Hubungan antara regulasi emosi dengan kecenderungan kenakalan remaja. Skripsi S1. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.

Fox, N. A., & Calkins, S. D. (2003) The development of self-control of emotion: Intrinsic and extrinsic influences. Motivation and Emotion, 27(1), 7-26

Gong, X. (2013). Relations among interparental conflict, parenting practices, and emotion regulation during emerging adulthood. Disertasi tidak diterbitkan. Indiana: Ball State University.

Gravetter, F. J., & Wallnau, L. B. (2009). Statistics for behavioral sciences (edisi 8). Belmont: Wadsworth, Cengage Learning.

Gross, J. J. (1998b). Antecedent- and response-focused emotion regulation: Divergent

consequences for experience, expression, and physiology. Journal of Personality and Social Psychology, 74, 224-237.

Gross, J. J. (2001). Emotion regulation in adulthood: Timing is everything. Current Directions in Psychological Science, 10, 214–219.

Gross, J. J., & John, O. P. (2003). Individual differences in two emotion regulation processes: Implications for affect, relationships, and well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 85(2), 348–362.

Gross, J. J. (2008). Emotion regulation. Dalam Lewis, M., Haviland-Jones, J. M., & Baret, L. F. (Eds.) Handbook of emotions (edisi 3, hal 497-512). New York: The Guilford Press.

Grych, J. H., & Fincham, F. D. (1990). Marital conflict and children’s adjustment: a cognitive contextual framework. Psychological Bulletin, 108 (2), 267-290.

(9)

Grych, J. H., Seid, M., & Fincham, F. D. (1992). Assessing marital conflict from the child’s perspective: the children’s perception of interparental conflict scale. Child Development, 63, 558-572. Grych, J. H., & Fincham, F.D. (2001). Interparental conflict and child adjustment: an overview. Dalam

Grych, J. H., & Fincham, F.D. (Eds.) Interparental conflict and child development : theory, research, and application (hal 1-6). New York: Cambridge University Press.

Holodynski, M., & Friedlmeier, W. (2006). Development of emotions and emotion regulation. New York: Springer Science+Business Media, Inc.

Hsieh, M. (2010). The relations among emotion regulation strategies, self-concept, and adolescents’ problem behaviors. Disertasi tidak diterbitkan. Indiana: Indiana University.

Kivisto, K. L. (2011). Emotion regulation as a mediator of adolescent developmental process and problem outcomes. Disertasi tidak diterbitkan. Tennessee: University of Tennessee.

Kurangi kenakalan remaja dengan YABC. (n.d.). Dalam website Palang Merah Indonesia. Diambil pada tanggal 18 September 2014 dari http://www.pmi.or.id/ina/publication/?act=detail&p_id=809 Lahey, B. B. (2009). Psychology: an introduction (edisi 10). Boston: McGraw-Hill Higher Education. Margolin, G., Oliver, P. H., & Medina. A. M. (2001). Conceptual issues in understanding the relation

between interparental conflict and child adjustment: integrating developmental psychopathology and risk/resilince perspectives. Dalam Grych, J. H., & Fincham, F. D. (Eds.) Child Developmental and interparental conflict (hal 9-38). New York: Cambrige University Press.

Miller, R. S. (2009). Intimate Relationships (edisi 6). New York: McGraw Hill.

Monks, F. J. (2002). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya (edisi 14). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Morris, A., Silk, J., Steinberg, L., Myers, S., & Robinson, L. (2007). The role of the family context in the development of emotion regulation. Social Development, 16, 361-388.

Moura, O., Andrade dos Santos, A., Rocha, M., Matos, P. M. (2010). Children’s Perception of Interparental Conflict Scale (CPIC): Factor Structure and Invariance Across Adolescents and Emerging Adults. International Journal of Testing. 10: 364–382. Taylor & Francis Group, LLC. Nimkannon, O., & Weinstein B. (2014). Influence of emotion regulation and empathy on thai parenting behavior: A path analytic model. Scholar Articles. 6(2), 104-113. Diterima dari http://www.assumptionjournal.au.edu/index.php/Scholar/-article/view/647/580

Papalia, D.E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2007). Human Development (edisi 10). New York: McGraw Hill.

Parke, R.D., McDowel, D.J., Cladis, M., & Leidy, M.S. (2006). Family and peer relationships: the role of emotion regulatory process. Dalam Snyder, D. K., Simpson, J. A., & Hughes, J. N. (Eds.) Emotion regulation in couples and families: pathways to dysfunction and health (hal. 183-203). Washington: American Psychological Association.

Priyatno, D. (2012). Belajar cepat olah data spss. Yogyakarta: ANDI

Puspadewi, M. (2004). Hubungan antara persepsi terhadap pola asuh orang tua dengan penalaran moral remaja deliquent. Skripsi S1. Depok: Universitas Indonesia.

Robinson, J. H. (2009). Interparental conflict and child adjustment: the role of child optimism. Disertasi tidak diterbitkan. Iowa: University of Iowa.

Ross, J. (2007). Parental attachment, interparental conflict, and late adolescents’ emotional adjustment: the associations with social functioning. Disertasi tidak diterbitkan. New York: Fordham University.

Santrock. J. W. (2002). Life-span development: perkembangan masa hidup (edisi 5) Jakarta: Erlangga. Santrock, J. W. (2003). Adolescence: Perkembangan Remaja (edisi 6). Jakarta: Erlangga.

Santrock, J. W. (2011). Child development (edisi 13). New York: McGraw Hill. Santrock. J. W. (2012). Life-span development (edisi 14). New York: McGraw Hill. Sanusi, A. (2011). Metode penelitian bisnis. Jakarta: Salemba Empat.

Sarwono, S. W. (2013). Psikologi remaja. Jakarta: Rajawali Pers.

Schermerhorn, A. C., Chow, S-M., & Cummings, E. M. (2010). Developmental family processess and interparental conflict: Pattern of micro-level influences. Developmental Psychology, 46(4), 869-885.

Sekaran, U. (2003). Research methods for business (edisi 4). Hoboken, NJ: John Wiley & Sons. Sekaran, U. (2006), Metodologi Penelitian untuk Bisnis (Edisi 4). Jakarta: Salemba Empat. Seniati, L., Yulianto, A., & Setiabudi, B. N. (2011). Psikologi eksperimen. Jakarta: Indeks.

Shelleby, E. C. (2010). Emotion regulation in at-risk youth: the influence of the family check-up. Pittsburgh: University of Pittsburgh.

(10)

Shiraev, E,. & Levy, D. (2004). Cross-cultural psychology, critical thinking, and contemporary application (edisi 2). Boston: Allyn & Bacon.

Sugiyono. (2009). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suwartono, C. (2004). Hubungan antara strategi regulasi emosi dan aspek-aspek kesiapan memaafkan. Skripsi S1. Depok: Universitas Indonesia.

Thompson, R. A. (1994). Emotion regulation: A theme in search of definition. The development of emotion regulation: Biological and behavioral considerations. Monographs of the Society for Research in Child Development, 59, 25–52.

Whitson, S,. & El-Sheikh, M. (2003). Moderators of family conflict and children’s adjustment and health. Journal of Emotional Abuse: Interventions, Research and Theories of Psychological Maltreatment, Trauma and Nonphysical Aggression, 3, 47–73.

Referensi

Dokumen terkait

Ada beberapa alasan mengapa kayu karet dapat digunakan sebagai substitusi kayu hutan alam dan menjadi andalan dalam memenuhi kebutuhan kayu baik untuk pasar dalam maupun luar

[r]

 Tim teknis tugas pembantuan Pemerintah Kabupaten menyusun rincian kegiatan tugas pembantuan yang akan ditugaspembantuankan kepada desa disertai dengan

Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah gaya hidup penggunaan vape terbentuk disebabkan oleh lingkup pergaulan yang dapat mempengaruhi mahasiswa menjadi

Interaksi pupuk kandang ayam dan tepung cangkang telur berpengaruh nyata meningkatkan , tinggi tanaman , tetapi tidak berpengaruh nyata meningkatkan pH, C-organik,

Beberapa peran yang diharapkan dapat dimainkan oleh aparat pemerintah dalam menata dan memantapkan pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat menurut Sihombing (2001)

Daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenarnya untuk digunakan sebagai bukti pemenuhan syarat Kursus Singkat Kepemiluan (Election Shortcourses) yang diselenggarakan oleh

Pokja ULP Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta akan melaksanakan Pelelangan untuk paket Pengadaan Pemasangan Iklan Sosialisasi Pemutakhiran Data