• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA ANAK DENGAN APENDISITIS DI LANTAI 3 UTARA RS FATMAWATI KARYA ILMIAH AKHIR NERS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA ANAK DENGAN APENDISITIS DI LANTAI 3 UTARA RS FATMAWATI KARYA ILMIAH AKHIR NERS"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN

KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN

PADA ANAK DENGAN APENDISITIS DI

LANTAI 3 UTARA RS FATMAWATI

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

CHOIRUN NISA UMAM 0906629271

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI ILMU KEPERAWATAN

DEPOK JULI 2014

(2)

 

ii   

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTEK KLINIK KEPERAWATAN

KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN

PADA ANAK DENGAN APENDISITIS DI

LANTAI 3 UTARA RS FATMAWATI

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners

CHOIRUN NISA UMAM 0906629271

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI ILMU KEPERAWATAN

DEPOK JULI 2014

(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatNya, saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ners ini. Penulisan karya ilmiah akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Ners Keperawatan pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan hingga penulisan karya ilmiah akhir ini, sangatlah tidak mudah bagi saya untuk menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada:

(1) Ibu Dra. Junaiti Sahar, PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

(2) Ibu Fajar Tri Waluyanti, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.An, IBCLC, selaku koordinator Mata Ajar Karya Ilmiah Akhir Ners yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan materi kuliah yang sangat bermanfaat dalam penulisan karya ilmiah akhir ini;

(3) Ibu Happy Hayati, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.An., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing saya dalam penyusunan karya ilmiah akhir ini;

(4) Ibu Ns. Nurhidayatun, Sp.Kep.An., selaku pembimbing klinik dari RSUP Fatmawati yang telah banyak membantu saya dalam pemahaman materi terkait kasus, asuhan keperawatan, hingga data terkait kasus yang dibutuhkan di ruang bedah anak lantai III utara RSUP Fatmawati;

(5) Orang tua dan kedua adik saya yang telah banyak memberikan dukungan, baik material maupun moral; dan

(6) Asma Muthmainah, Dita Nur Hidayah, Evie Kemala Dewi, Laily Agustiani, Najat, Raditha Ramadhany, dan Saetia Listiana, selaku sahabat-sahabat saya yang telah membantu mendengarkan keluh kesah saya serta memberikan banyak dukungan untuk menyelesaikan karya ilmiah akhir ini.

(6)

 

vi   

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang terlibat dalam penyusunan karya ilmiah akhir ini. Semoga karya ilmiah akhir ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu di masa yang akan datang.

Depok, 8 Juli 2014

(7)
(8)

 

viii   

ABSTRAK

Nama : Choirun Nisa Umam

Program Studi : Profesi Ners

Judul : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan

Masyarakat Perkotaan Pada Anak dengan Apendisitis di Lantai III Utara RS Fatmawati

Apendisitis merupakan salah satu penyakit pada saluran pencernaan yang menginfeksi bagian apendiks. Penulisan karya ilmiah akhir ini dilakukan untuk menguraikan asuhan keperawatan pada anak dengan apendisitis di RS Fatmawati. Salah satu intervensi yang diimplementasikan adalah teknik relaksasi dan distraksi untuk mengurangi rasa nyeri saat perawatan luka paska operasi. Hasil evaluasi menunjukkan adanya perbedaan skala nyeri selama dilakukan perawatan luka antara anak yang diberikan intervensi dengan yang tidak diberikan intervensi. Disarankan agar asuhan keperawatan yang diberikan tak hanya untuk mengatasi masalah fisik saja, tetapi juga harus mempertimbangkan masalah psikososial yang terjadi ataupun berisiko terjadi pada anak.

Kata kunci:

(9)

ix  ABSTRACT

Name : Choirun Nisa Umam

Study Program : Nursing

Title : Analysis of Public Health Nursing Clinical Practice Urban for Child with Appendicitis in the Third Floor North Fatmawati Hospital

Appendicitis is one of digestive disease that infect appendix. The final papers was done to analyze nurses perform nursing care to clients with appendicitis in children of Fatmawati Hospital. One of the interventions that implemented on the client with appendicitis is relaxation and distraction techniques to reduce pain during postoperative wound care. The results of evaluation identified a pain scale differences for wound care was done between the client provided interventions with clients who are not given the intervention. It was recommended that nursing care is given not only to overcome the physical problems, but also must consider psychosocial problems happened or occurs on the client-risk children.

Key words:

(10)

 

x   

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... ii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penulisan ... 6

1.4 Manfaat Penulisan ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Apendisitis ... 8

2.1.1 Definisi ... 8

2.1.2 Etiologi ... 8

2.1.3 Klasifikasi ... 9

2.1.4 Pathway & Patofisiologi ... 12

2.1.5 Manifestasi Klinis ... 14

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik ... 14

2.1.7 Penatalaksanaa Medis ... 15

2.1.8 Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Apendisitis .. 16

2.1.9 Komplikasi ... 18

2.2 Konsep Nyeri ... 19

2.2.1 Definisi ... 19

2.2.2 Manajemen Nyeri ... 20

2.2.3 Pengkajian Nyeri Pada Anak Usia Prasekolah... 21

2.2.4 Definisi Teknik Distraksi & Relaksasi Pernafasan .... 23

2.3 Konsep Keperawatan Masyarakat Perkotaan ... 24

2.3.1 Konsep & Teori Masyarakat Perkotaan ... 24

BAB III LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA ... 26

3.1 Pengkajian Kasus ... 26

3.2 Analisis Data dan Masalah Keperawatan ... 27

3.3 Rencana dan Implementasi Tindakan Keperawatan ... 28

3.4 Evaluasi Hasil Tindakan Keperawatan ... 31

BAB IV ANALISIS SITUASI ... 33

4.1 Profil Lahan Praktik ... 33

(11)

xi 

4.3 Analisis Intervensi dengan Konsep & Penelitian Terkait ... 35

4.4 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan ... 39

BAB V PENUTUP ... 41

5.1 Simpulan ... 41

5.2 Saran ... 42

(12)

 

xii   

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Jaras Kritikal ... 13

Gambar 2.2 Visual analog scale ... 21

Gambar 2.3 Numerical rating scale ... 22

Gambar 2.4 Faces Pain Rating Scale ... 23

(13)

xiii 

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Karya ilmiah akhir ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Choirun Nisa Umam

NPM : 0906629271

Tanda Tangan : ………..

(15)

Karya ilmiah akhir ini diajukan oleh :

Nama : Choirun Nisa Umam

NPM : 0906629271

Program Studi : Profesi Ners

Judul Karya Ilmiah Akhir : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Anak dengan

Apendisitis di Lantai III Utara RS Fatmawati

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Ners Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Happy Hayati, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.An ( )

Penguji : Siti Chodidjah, SKp., MN ( )

Ditetapkan di : Fakultas Ilmu Keperawatan, Depok Tanggal : 11 Juli 2014

(16)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Choirun Nisa Umam

NPM : 0906629271

Program Studi : Profesi Ners Fakultas : Ilmu Keperawatan Jenis Karya : Karya Ilmiah Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah akhir saya yang berjudul :

“Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Anak dengan Apendisitis di Lantai III Utara RS Fatmawati”

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan karya ilmiah akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/ pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada tanggal : 11 Juli 2014

Yang menyatakan,

(17)

1 Universitas Indonesia BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Perawatan kesehatan masyarakat merupakan upaya dari pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh perawat yang berkolaborasi dengan masyarakat dan tim kesehatan lainnya untuk mencapai status kesehatan yang melebihi satu individu, keluarga, dan masyarakat (Depkes RI, 1996). Ruang lingkup keperawatan kesehatan masyarakat tidak hanya menangani suatu masalah dengan cara penyembuhan, tetapi juga juga dengan pencegahan. Oleh sebab itu, ruang lingkup keperawatan kesehatan masyarakat mencakup upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan (preventif), pemeliharaan kesehatan dan pengobatan (kuratif), pemulihan kesehatan (rehabilitatif), dan mengembalikan serta memfungsionalkan individu, keluarga, dan kelompok-kelompok masyarakat ke lingkungan sosial dan masyarakatnya (resosialitatif). Ruang lingkup tersebut dibutuhkan, baik pada masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan (Depkes RI, 1996).

Masyarakat perkotaan memiliki ciri dan karakteristik tersendiri yang membuat mereka membutuhkan ruang lingkup tersendiri dalam bidang kesehatan, khususnya keperawatan. Masyarakat perkotaan biasa disebut dengan urban community, yang merupakan suatu kelompok yang tinggal di wilayah yang memiliki kegiatan utama bukan pertanian dan bertujuan untuk memperbaiki fungsi hidup secara optimal (Allender, 2001). Hal tersebut sesuai dengan salah satu tujuan perawatan kesehatan masyarakat secara umum yaitu meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal agar dapat menjalankan fungsi kehidupan secara optimal, baik di usia dewasa maupun pada usia anak-anak (Anderson & McFarlane, 2006).

Kesehatan anak telah menjadi fokus perhatian untuk beberapa dekade ini, termasuk dalam lingkup masyarakat perkotaan. Hasil observasi informal

(18)

2   

Universitas Indonesia

 

yang dilakukan pada beberapa sekolah di perkotaan telah mencatat tingginya persentase anak yang memiliki masalah kelebihan berat badan, anak yang mudah lelah ketika bermain di halaman sekolah, serta anak yang mengonsumsi kudapan yang tidak bernutrisi (Anderson & McFarlane, 2006). Selain itu, individu usia dewasa yang hidup di perkotaan saat ini juga banyak mengonsumsi makanan yang tak higienis, terpapar zat-zat polutan, yang semua itu dapat mengakibatkan adanya gangguan pada sistem tubuh dengan berdampak pada jangka waktu yang panjang/ setelah memiliki keturunan. Hal tersebut yang membuat kesehatan anak, khususnya pada masyarakat perkotaan, menjadi fokus perhatian saat ini (UNICEF, 2012).

Menurut Ditjen Bina Yanmedik, penyakit saluran pencernaan menempati urutan ketiga dari 10 penyakit utama penyebab kematian di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kematian 6.590 dari 225.212 kasus dengan Case Fatality Rate (CFR) 2,93% pada tahun 2007 dan 6.825 dari 234.536 kasus dengan CFR 2,91% pada tahun 2008. Salah satu penyakit pada saluran pencernaan ialah infeksi pada apendiks, atau yang sering disebut apendisitis. Apendisitis adalah suatu infeksi yang mengenai organ tambahan kecil yang menyerupai jari, melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal yang disebabkan karena apendiks mengosongkan diri dengan tidak efisien, dan lumennya kecil, sehingga rentan terhadap infeksi (Brunner & Suddarth, 2001). Pada umumnya, apendisitis ini disebabkan oleh infeksi bakteri, namun faktor pencetusnya kemungkinan ada beberapa, diantaranya obstruksi pada lumen apendiks oleh timbunan feses yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, kanker primer, dan striktur (Arman, 2006).

Insiden penderita apendisitis di Amerika Serikat pada tahun 2008 sebanyak 734.138 orang dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 739.177 penderita (Santacrore & Craigh, 2012). Menurut World Health Organization (WHO) Global Infobase (2002), cause specific death rate (CSDR) penyakit saluran pencernaan di beberapa Negara yaitu Jerman 51 per 100.000 penduduk,

(19)

Universitas Indonesia

Inggris 47 per 100.000 penduduk, Perancis 42 per 100.000 penduduk, dan Finlandia 39 per 100.000 penduduk (Anonim, 2009). Sedangkan di Indonesia, insiden penderita apendisitis cukup tinggi terlihat dengan adanya peningkatan jumlah pasien dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 kasus apendisitis berjumlah 65.755 orang dan pada tahun 2007 sebanyak 75.601 orang. Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang sangat signifikan pada tahun 2008 yaitu mencapai 591.819 orang dan meningkat lagi pada tahun 2009 sebanyak 596.132 orang (Depkes RI, 2008). Menurut WHO (2007), insiden apendisitis pada laki-laki 1,4 lebih sering dibandingkan pada wanita. Angka kematian secara keseluruhan sebanyak 0,2-0,8% dan lebih sering telah disertai komplikasi yang terjadi daripada akibat tindakan bedah yang dilakukan. Kelompok usia yang umum mengalmi apendisitis yaitu usia antara 10-30 tahun. Namun, insiden perforasi lebih tinggi pada pasien usia < 18 tahun dan > 50 tahun.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Asif (2008) di salah satu rumah sakit di pulau Sumatera, pada 220 penderita gejala abdomen akut didapat proporsi apendisitis akut 21,4%, nyeri perut non spesifik 15,4%, kolesistisis akut 12,7%, obstruksi usus halus 14,5%, dan ulkus peptikum 11,8%. Sedangkan angka kejadian kasus apendisitis di RSUP Fatmawati di ruang rawat bedah anak lantai 3 Utara selama bulan April 2014 adalah 22 pasien dari 108 total jumlah pasien selama bulan April. Kebanyakan kasus apendisitis dialami oleh anak usia pra sekolah yaitu antara usia 5-15 tahun.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di ruang bedah anak lantai 3 Utara RSUP Fatmawati dengan melakukan observasi dan wawancara pada dua orang pasien anak pasca operasi appendectomy diperoleh data bahwa anak selalu menangis dan meringis kesakitan saat akan dilakukan perawatan luka paska operasi. Selain itu, anak juga selalu meberontak saat akan dilakukan penggantian balutan. Saat akan dilakukan penggantian balutan luka operasi perawat ruangan tak jarang mengalami kesulitan untuk menenagkan anak dengan teknik relaksasi nafas dalam, walalupun perawat juga meminta

(20)

4   

Universitas Indonesia

 

bantuan orang tua untuk mendampingi anak. Keluarga mengatakan bahwa anak selalu enggan untuk dilakukan penggantian balutan luka karena orang tua merasa anak merasakan nyeri yang sangat saat dilakukan perawatan luka paska operasi. Keluarga juga mengatakan bahwa terkadang anak tetap merasa nyeri walaupun telah mendapatkan obat penghilang nyeri.

Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, sehingga nyeri merupakan salah satu gejala yang timbul (The International Association for the Study of Pain, 1979 dalam Syamsuddin, 2009). Klien anak pernah memiliki pengalaman nyeri sekitar 20% secara konservatif, 40% mengalami nyeri sedang, dan 40% - 70% mengalami nyeri berat, serta 50% klien tetap mengalami nyeri pasca bedah walaupun telah mendapatkan analgesik (Damanik, 2008a dalam Syamsuddin, 2009).

Manajemen nyeri yang terprogram dengan baik dapat mengurangi nyeri dengan tujuan mengurangi nyeri sekecil mungkin dengan menggunakan cara, baik farmakologi maupun non farmakologi atau bahkan dengan kombinasi kedua cara tersebut. Terapi non farmakologi banyak digunakan dalam keperawatan, yang merupakan terapi pelengkap bagi terapi konvensional yang telah terbukti bermanfaat. Terapi ini terdiri dari terapi ultrasonic, Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS), terapi musik, akupunktur, biofeedback, dan terapi kognitif lainnya, seperti hipnosis, distraksi dan relaksasi (Sudoyo, Setyohadi, & Alwi, 2006 dalam Syamsuddin, 2009).

Teknik relaksasi merupakan salah satu tindakan keperawatan yang bertujuan untuk mengurangi nyeri dengan cara merelaksasikan ketegangan otot. Teknik relaksasi dapat membuat klien mampu mengontrol diri saat rasa ketidaknyamanan atau nyeri, stress fisik, dan emosi pada nyeri muncul (Potter & Perry, 2005). Teknik relaksasi yang secara sederhana terdiri dari nafas abdomen dengan frekuensi lambat dan berirama (Zees, 2012).

(21)

Universitas Indonesia

Dari berbagai uraian di atas, dapat diketahui ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk manajemen nyeri pada anak, sehingga penulis tertarik untuk memaparkan tentang “Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Anak dengan Apendisitis di Lantai 3 Utara RS Fatmawati”.

1.2. Rumusan masalah

Fenomena yang terjadi saat ini ialah kebiasaan makan makanan yang kurang higienis oleh anak-anak, khususnya anak-anak yang tinggal di lingkungan padat penduduk seperti perkotaan. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang meningkatkan penyakit apendisitis. Di daerah perkotaan, seringkali anak-anak terlepas terhadap pengawasan karena orang tua sibuk melakukan aktifitas rumah tangga dan bekerja. Akibatnya, kesehatan anak sering menjadi kurang perhatian para orang tua. Biasanya anak baru akan terlihat tidak sehat bila tanda dan gejala suatu penyakit kondisinya sudah memburuk.

Seringkali di rumah sakit ataupun fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, tindakan perawatan luka dan pemasangan infus merupakan prosedur yang menimbulkan kecemasan dan ketakutan serta rasa tidak nyaman bagi anak akibat nyeri yang dirasakan saat tindakan tersebut dilaksanakan. Anak merasa takut dan menganggap prosedur tindakan dapat mengancam tubuhnya. Secara subjektif, anak usia prasekolah akan bereaksi terhadap perlukaan atau sesuatu yang membuatnya tidak nyaman dengan gelisah, meringis, bahkan menangis. Dampaknya, anak akan menjadi takut setiap petugas pelayanan kesehatan melakukan suatu tindakan untuk mengatasi keluhan yang dirasakan anak, karena dianggap mengganggu rasa ketidaknyamanannya. Masalah anak tidak lagi hanya penyakit yang dideritanya, namun juga masalah psikososial akibat trauma terhadap tindakan yang diberikan selama di rumah sakit.

(22)

6   

Universitas Indonesia

 

Oleh karena itu, di sinilah peran perawat dibutuhkan untuk mengatasi masalah, baik fisik maupun psikososial khususnya pada klien anak. Keperawatan kesehatan masyarakat cakupannya sangat luas, tidak hanya melakukan perawatan untuk mengatasi satu masalah saja, namun juga harus dapat mempertimbangkan efek pada klien secara komprehensif. Maka dari itu, lingkup keperawatan kesehatan masyarakat mencakup peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan (preventif), pemeliharaan kesehatan dan pengobatan (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah yang akan dirumuskan adalah bagaimana penerapan asuhan keperawatan yang dilakukan pada kasus anak dengan apendisitis sesuai dengan teori dan konsep yang ada dengan realita di lapangan?

1.3. Tujuan penulisan 1.3.1 Tujuan Umum

 Menggambarkan asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada anak yang mengalami apendisitis

1.3.2 Tujuan Khusus

 Menggambarkan hasil pengkajian pada anak dengan masalah apendisitis

 Mengidentifikasi masalah keperawatan yang ada pada anak dengan apendisitis

 Menggambarkan rencana dan implementasi tindakan keperawatan yang akan dilakukan pada anak dengan apendisitis

 Menggambarkan evaluasi hasil asuhan keperawatan yang dilakukan pada anak dengan apendisitis

(23)

Universitas Indonesia

1.4 Manfaat penulisan 1.4.1 Manfaat Keilmuan

Karya ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu keperawatan anak, khususnya dalam memberikan gambaran mengenai pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan apendisitis.

1.4.2 Manfaat Aplikatif

Karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait gambaran pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan apendisitis pada pihak rumah sakit dan ruang bedah anak Lantai 3 Utara. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang diwujudkan dengan meningkatnya kepuasan klien terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan.

1.4.3 Manfaat Metodologis

Karya ilmiah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan atau data dasar untuk penelitian keperawatan selanjutnya terkait asuhan keperawatan pada anak dengan apendisitis, khususnya manajemen nyeri perawatan luka paska operasi, sehingga di kemudian hari dapat dijadikan sebagai sumber ilmiah bagi penulisan karya ilmiah selanjutnya.

(24)

    8  Universitas Indonesia  BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Apendistis 2.1.1 Definisi

Apendisitis merupakan suatu peradangan yang terjadi di umbai cacing sehingga dapat mengakibatkan perotinitis dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur (Hudak & Gallo, 2006). Menurut Ovedolf (2006) apendisitis adalah infeksi pada apendiks karena tersumbatnya lumen oleh fecalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa apendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis. Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang terpuntir, apendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan multiplikasi (Chang, 2010). Sedangkan menurut Brunner dan Suddarth (2002) apendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi bila pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil.

2.1.2 Etiologi

Apendisitis disebabkan oleh obstruksi lumen, hyperplasia jaringan limfe, tumor apendiks, dan cacing Ascaris dapat pula menjadi penyebab obstruksi. Menurut Brunner dan Suddarth (2002) apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada faktor prediposisi yaitu: a) Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya

obstruksi ini terjadi karena:

 Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak  Adanya fecalith dalam lumen appendiks

 Adanya benda asing seperti biji-bijian

(25)

b) Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus

c) Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.

d) Tergantung pada bentuk apendiks:  Apendiks yang terlalu panjang  Massa appendiks yang pendek

 Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks  Kelainan katup di pangkal apendiks

2.1.3 Klasifikasi

Ada beberapa jenis pengelompokkan apendistis berdasarkan penyebab, lama penyakit, dan komplikasinya, yaitu:

a) Apendisitis Akut

Apendisitis akut adalah radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks. Penyebab obstruksi dapat berupa hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks, fecalith, benda asing, dan tumor.

Adanya obstruksi mengakibatkan cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus/ nanah pada dinding apendiks. Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.

(26)

10   

Universitas Indonesia

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.

c) Apendisitis kronik

Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat yaitu riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi. Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5 %.

d) Apendisitis rekuren

Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apendiktomi dan hasil patologi menunjukkan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Risiko untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada apendisitis rekurensi biasanya dilakukan apendiktomi karena sering penderita datang dalam serangan akut.

(27)

e) Mukokel apendiks

Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang, mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas. Penderita sering datang dengan keluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.

f) Tumor apendiks (Adenokarsinoma Apendiks)

Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.

g) Karsinoid apendiks

Karsinoid apendiks merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis prabedah, tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas. Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan operasi radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan.

(28)

12   

Universitas Indonesia

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.

Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007).

(29)

Risiko Kekurangan volume cairan

Nyeri

Gambar 2.1 Jaras kritikal Apendisitis 2.1.5 Manifestasi Klinis

Ada beberapa tanda dan gejala awal dari apendisitis pada anak yaitu nyeri terasa di bagian abdomen kuadran bawah dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan, nyeri tekan Hiperplasia  folikel limfoid  Benda  asing  Erosi  mukosa  apendiks Striktur  Fecalith Obstruksi Mukosa terbendung  Apendiks teregang  Tekanan  intraluminal  Ulserasi & invasi bakteri pada  dinding apendiks  Aliran darah terganggu Apendisitis  Peritonitis  Edema & iskemia  Perforasi  Pembedahan  Luka insisi  Mual & muntah 

(30)

14   

Universitas Indonesia

lokal pada titik McBurney bila dilakukan tekanan, sering ditemukan adanya nyeri tekan, terdapat konstipasi atau diare, nyeri lumbal (bila appendiks melingkar di belakang sekum), nyeri defekasi (bila appendiks berada dekat rektal), nyeri saat berkemih (jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter), pemeriksaan rektal positif (jika ujung appendiks berada di ujung pelvis), tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan, dan apabila appendiks sudah ruptur nyeri menjadi menyebar terjadi akibat ileus paralitik.

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik a) Laboratorium

Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.

b) Radiologi

Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.

(31)

c) Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.

d) Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.

e) Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.

f) Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.

g) Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

2.1.7 Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.

a) Penanggulangan konservatif

Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik b) Operasi

Bila diagnosa medis sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang apendiks (apendiktomi). Penundaan apendiktomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses apendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).

c) Pencegahan Tersier

Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen.

(32)

16   

Universitas Indonesia

Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses intra peritonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam fisiologi satau antibiotik. Pasca apendiktomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.

2.1.8 Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Klien Apendisitis

Keberhasilan penanganan apendisitis adalah berdasarkan ketepatan mengenali tanda dan gejala adanya gangguan oleh seorang perawat. Oleh karena itu, disinilah perawat membantu tenaga kesehatan lainnya untuk menetapkan sebuah diagnosis penyakit (Hockenberry & Wilson, 2011). Nyeri abdomen merupakan suatu tanda yang umum dirasakan oleh penderita apendisitis, sehingga perawat perlu melakukan pengkajian awal dari karakteristik nyeri yang dirasakan. Anak usia prasekolah dapat mengekspresikan secara nonverbal dengan kekakuan di abdomen, posisi miring dengan memfleksikan lutut dan membatasi pergerakan terutama pinggul kanan (Hockenberry & Wilson, 2011).

Persiapan fisik pada anak-anak yang akan menjalankan pembedahan apendiktomi hampir serupa dengan prosedur persiapan pembedahan penyakit lainnya. Tindakan pembedahan ini memerlukan kerjasama tim tenaga kesehatan untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, perawat harus mengantisipasi prosedur dan mempersiapkan peralatan sesegera mungkin untuk menghindari keterlambatan penanganan anak selama pembedahan. Persiapan psikologis pada anak dan orang tua juga perlu diperhatikan oleh perawat (Hockenberry & Wilson, 2011).

Perawatan paska operasi pada apendisitis nonperforasi sama dengan perawatan paska operasi kasus digestif lainnya (Smeltzer & Bare, 2001). Namun, perawatan anak dengan ruptur apendik dan peritonitis lebih kompleks. Mungkin anak perlu dirawat di rumah sakit selama beberapa hari atau menggunakan fasilitas pelayanan home care untuk dapat

(33)

memberikan obat antibiotik melalui intravena dan perawatan luka. Paska operasi, anak akan dipantau seluruh cairan yang masuk melalui intravena dan pemberian obat antibiotik, serta memuasakan anak untuk beberapa jam setelah operasi. Status nutrisi anak paska operasi dijaga agar tetap minimal hingga terdengar adanya bising usus ketika diauskultasi. Mengkaji bising usung dan mengobservasi tanda-tanda lain dari aktifitas usus merupakan pengkajian yang harus ada pada pasien paska operasi (Hockenberry & Wilson, 2011).

Selama pembedahan, selang terpasang di area luka pembedahan harus diobservasi dengan teliti untuk mencegah adanya iritasi atau gangguan kulit di sekitar area pembedahan. Apabila luka terbuka, balutan akan menjadi lembab dan harus segera dibersihkan dengan cairan antibakteri agar masa penyembuhan lebih optimal (Hockenberry & Wilson, 2011).

Selain itu, manajemen nyeri merupakan salah satu tindakan yang diperlukan pada asuhan keperawatan anak (Wong, 2008). Nyeri tidak hanya akibat luka pembedahan, tapi juga saat perawatan luka/ penggantian balutan luka juga dapat membuat anak-anak merasa menderita. Oleh karena nyeri akan berkelanjutan setelah operasi, maka perlu adanya pemberian analgesik untuk mengontrol rasa nyeri tersebut. Hal tersebut dilakukan ketika rasa nyeri sudah tidak mampu untuk dikontrol oleh klien/ telah mencapai puncaknya (Hockenberry & Wilson, 2011).

Asuhan keperawatan psikososial paska pembedahan juga tak kalah penting (Hurlock, 2000 dalam Zaviera, 2008). Terkadang, penyakit akut menyebabkan stres yang aneh sejak dimulainya persiapan pra operasi. Orang tua dan anak yang lebih dewasa membutuhkan kesempatan untuk mengekspresikan perasaannya, penyakit, dan hospitalisasi. Disinilah perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan dan dukungan psikososial untuk mempromosikan koping yang adekuat dengan

(34)

18   

Universitas Indonesia

mengurangi kecemasan, baik anak maupun orang tua (Hockenberry & Wilson, 2011)

2.1.9 Komplikasi

Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:

a) Abses

Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum

b) Perforasi

Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.

(35)

c) Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.

2.2 Konsep Nyeri 2.2.1 Definisi

Nyeri adalah fenomena kompleks yang paling sulit dipahami neonatus (Merestein & Gardner, 2002). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Melzack dan Wall (1965, dalam Kenner & McGrath, 2004) bahwa nyeri merupakan fenomena multidimensi yang tergantung pada persepsi sensorik dan emosional individu. Rangkaian proses terjadinya nyeri diawali ketika nosiceptor yang terletak pada bagian perifer tubuh distimuli oleh berbagai stimulus. Impuls nyeri diteruskan melalui aferen utama menuju medula spinalis melalui dorsal horn. Hal ini didukung oleh Merestein dan Gardner (2002) yang menyatakan bahwa neurotransmiter dan reseptornya memperkuat signal di dorsal horn sebelum mengirim sinyal tersebut ke otak. Di bagian talamus dan korteks serebri individu dapat mempersepsikan, menggambarkan, melokalisasi, menginterpretasikan dan mulai berespon terhadap nyeri (Prasetyo, 2010).

Nyeri akut merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul akibat kerusakan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam kondisi akibat kerusakan (Asosiasi Internasional Bagi Peneliti Nyeri) yang tiba-tiba atau lambat dengan berbagai tingkatan baik sedang hingga tinggi dengan diantisipasi atau diprediksi serta waktunya kurang dari 6 bulan (NANDA, 2007).

(36)

20   

Universitas Indonesia

2.2.2 Manajemen Nyeri

Anak memiliki pengalaman nyeri yang ditimbulkan oleh cedera akibat penyakit ataupun prosedur yang menyakitkan, pembedahan, tekanan, peregangan berlebihan atau berkurangnya suplai oksigen ke jaringan (Potts & Mandleco, 2007). Nyeri yang terus-menerus dalam jangka panjang akan berpotensial memiliki konsekuensi terhadap fisiologis, psikososial, dan perilaku (Goldschneider, 1998 dalam Hockenberry & Wilson, 2009). Oleh sebab itu, manajemen nyeri harus menjadi prioritas bagi perawat klinik. Ada dua macam manajemen nyeri yaitu farmakologi dan nonfarmakologi: a) Manajemen Farmakologi

Ada beberapa analgesik yang digunakan dalam manajemen farmakologi. Nonopioid mencakup asetaminofen (tylenol. Paracetamol) dan obat nonsteroid antiinflamatory (NSAIDs), sesuai untuk nyeri ringan sampai sedang. Opiod diperlukan untuk nyeri sedang sampai berat. Kombinasi dari aksi kedua analgesik ini pada sistem nyeri berada di dua tingkat: aksi utama nonopioid pada sistem perifer dan aksi utama opioid pada sistem saraf pusat. Pendekatan ini meningkatkan efek analgesik tanpa meningkatkan efek samping.

b) Manajemen Nonfarmakologi

Nyeri sering dihubungkan dengan ketakutan, kecemasan, dan stres. Sejumlah teknik nonfarmakologi, seperti distraksi, relaksasi, imajinasi terpimpin, dan stimulasi kulit, memberikan strategi koping yang membantu menurunkan persepsi nyeri, membuat nyeri lebih ditoleransi, menurunkan kecemasan, dan meningkatkan efektivitas analgesik atau menurunkan dosis yang dibutuhkan. Meskipun masih kurang penelitian mengenai efektivitas beberapa intervensi ini, namun strategi ini aman, noninvasif, tidak mahal, dan merupakan tindakan keperawatan mandiri (Hockenberry & Wilson, 2009).

(37)

Menurut Wong (2008), ada beberapa instrument yang dapat digunakan untuk mengukur dan mengkaji intensitas nyeri pada anak, yaitu :

1) Visual Analog Scale (VAS)

VAS biasanya berbentuk horizontal, tetapi mungkin saja ditampilkan secara vertikal, dengan mengukur besarnya nyeri pada garis sepanjang 10 cm. Garis ini digerakkan oleh gambaran intensitas nyeri, misalnya “tidak nyeri” sampai “sangat nyeri”. VAS yang vertikal lebih sensitif menghasilkan skor yang lebih besar dan lebih mudah digunakan dibandingkan dengan skala horizontal. VAS ini dapat digunakan pada anak yang mampu memahami perbedaan dan mengindikasikan derajat nyeri yang sedang dialaminya (Wong, 2008).

Tidak Sedikit Cukup Nyerinya Sangat

nyeri nyeri nyeri lebih banyak nyeri

Gambar 2.2 Visual Analog Scale

2) Numerical Rating Scale (NRS)

NRS hampi sama dengan VAS, namun NRS memiliki angka angka di sepanjang garisnya. Angka 0-10 atau 0-100 dan anak diminta menunjukkan rasa nyeri yang dirasakannya. Skala numeric ini dapat digunakan pada anak yang lebih muda seperti 3-4 tahun atau lebih.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak Sangat

nyeri nyeri

Gambar 2.3 Numerical Rating Scale

Dari skala di atas, tingkatan nyeri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

(38)

22   

Universitas Indonesia

(b) Skala 2-4 : nyeri ringan, dimana klien belum mengeluh nyeri, atau masih dapat ditolerir karena masih di bawah ambang rangsang (c) Skala 5-6 : nyeri sedang, dimana klien mulai merintih dan

mengeluh, ada yang sambil menekan pada bagian yang nyeri (d) Skala 7-9 : termasuk nyeri berat, klien mungkin mengeluh sakit

sekali dan klien tidak mampu melakukan kegiatan biasa

(e) Skala 10 : termasuk nyeri yang sangat berat, pada tingkat ini klien tak dapat lagi mengenal dirinya

3) Faces Pain Rating Scale dari Wong Baker

Instrumen ini terdiri dari 6 gambar skala wajah yang bertingkat dari wajah tersenyum untuk “tidak nyeri” hingga wajah yang berlinang air mata untuk “sangat nyeri”. Kelebihan dari skala wajah ini yaitu anak dapat menunjukkan sendiri rasa nyeri yang baru dialaminya sesuai dengan gambar yang telah ada dan skala wajah ini baik digunakan pada anak usia prasekolah.

Skala Wajah

0 1 2 3 4 5 Gambar 2.4 Faces Pain Rating Scale

Penjelasan Faces Pain Rating Scale yaitu : (a) Skala 0 : nyeri tidak dirasakan oleh anak (b) Skala 1 : nyeri dirasakan sedikit saja (c) Skala 2 : nyeri agak dirasakan oleh anak

(d) Skala 3 : nyeri yang dirasakan oleh anak lebih banyak (e) Skala 4 : nyeri yang dirasakan anak secara keseluruhan (f) Skala 5 : sangat nyeri dan anak menjadi menangis

(39)

Penilaian nyeri pada anak usia prasekolah yang berusia 3-5 tahun memiliki kemampuan kognitif terbatas untuk menentukan kualitas dan kuantitas nyerinya. Skala analog linear atau berbentuk tangga menggunakan foto ekspresi wajah, gambaran wajah secara seri, atau skema warna mungkin dapat memvalidasi ketidaknyamanan anak prasekolah.

2.2.4 Definisi Relaksasi Pernafasan dan Teknik Distraksi

Teknik relaksasi merupakan salah satu tindakan keperawatan untuk mengatasi atau mengurangi nyeri dengan cara merelaksasikan suatu bagian tubuh. Namun, menurut Smeltzer dan Bare (2002), relaksasi merupakan suatu kebebasan mental dan fisik akibat stress dan ketegangan yang mampu memberikan individu suatu pengontrolan ketika rasa nyaman atau nyeri fisik muncul. Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas nafas abdomen dnegan frekuensi lambat dan berirama (Potter & Perry, 2005).

Teknik distraksi merupakan salah satu cara yang dapat membantu klien mengalihkan perhatian mereka dari sumber nyeri atau ketidaknyamanan dengan hal-hal yang lebih menyenangkan (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2011). Menurut Schneider (2000) dalam Hayati (2009) menyebutkan bahwa intervensi distraksi efektif karena individu akan berkonsentrasi pada stimulus yang menarik atau menyenangkan dibandingkan berfokus pada gejala yang tidak menyenangkan. Terdapat beberapa tipe teknik distraksi, antara lain: distraksi visual, distraksi auditori, distraksi taktil, dan distraksi intelektual. Contoh kegiatan distraksi visual yaitu membaca atau menonton TV, menonton pertandingan sepak bola, dan imajinasi terbimbing. Distraksi auditori seperti, humor dan mendengarkan musik. Berbeda pula dengan kegiatan distraksi taktil, yaitu bernapas perlahan dan berirama, masase, dan memegang atau menggerakkan mainan atau binatang kesukaan. Distraksi intelektual yaitu bermain teka-teki silang, permainan kartu, dan melakukan hobi (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009).

(40)

24   

Universitas Indonesia

2.3 Konsep Keperawatan Masyarakat Perkotaan

2.3.1 Konsep dan Teori Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama yang tinggal di suatu wilayah tertentu dalam waktu yang cukup lama, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok/ kumpulan tersebut (Horton & Hunt, 2009). Jadi, masyarakat urban atau masyarakat perkotaan merupakan sekumpulan individu yang mendiami daerah perkotaan yang didorong oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar menjadi lebih baik.

Daerah perkotaan merupakan suatu wilayah administratif yang setingkat dengan desa/ kelurahan yang memenuhi persyaratan tertentu dalam hal kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan sejumlah fasilitas perkotaan, seperti jalan raya, sarana pendidikan formal, sarana kesehatan umum, dan sebagainya. Perkotaan sendiri merupakan suatu wilayah dengan susunan fungsi sebagai permukiman, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Perkotaan merupakan wilayah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan masyarakat yang beragam (heterogen).

Kawasan perkotaan adalah wilayah yang memiliki kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Perkotaan memiliki karakteristik yaitu besarnya peranan kelompok sekunder, anonimitas merupakan ciri kehidupan masyarakatnya, heterogen, mobilitas sosial tinggi, tergantung pada spesialisasi, hubungan antara orang satu dengan yang lain lebih didasarkan atas kepentingan daripada kedaerahan, lebih banyak tersedia lembaga atau fasilitas untuk mendapatkan barang dan pelayanan, serta lebih banyak mengubah lingkungan (Indrizal, 2006).

(41)

Pada mulanya kota sebagai suatu tempat tujuan orang untuk bekerja dan menyejahterakan hidup orang banyak yang setelahnya kota menjadi tempat pemukiman yang tetap. Kota memiliki semacam daya tarik untuk kegiatan rohaniah dan perdagangan, serta kegiatan lainnya yang sebagian besar penghuninya telah mampu memenuhi kebutuhannya melalui pasar setempat. Masyarakat perkotaan ialah masyarakat yang tinggal di kota, yang memiliki kegiatan utama bukan pertanian dan memiliki tujuan hidup untuk memperbaiki kehidupan mereka (Allender, 2001).

Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan termasuk dalam lingkup keperawatan komunitas karena masyarakat perkotaan merupakan komunitas yang tinggal di daerah perkotaan dengan segala kondisi yang ada di lingkungan kota (Neuman, 1995). Secara umum, keperawatan ini bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat agar dapat tercapai derajat kesehatan yang optimal agar dapat menjalankan fungsi kehidupannya sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. Oleh sebab itu, ruang lingkup keperawatan kesehatan masyarakat akan mencakup peningkatan kesehatan (promotif), upaya pencegahan (preventif), pemeliharaan kesehatan dan pengobatan (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).

(42)

 

26 Universitas Indonesia

BAB 3

LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

3.1. Pengkajian Kasus

Klien bernama anak N, berusia 5 tahun 6 bulan, masuk melalui IGD dan dirawat post operasi apendiktomi di ruang bedah anak lantai III Utara RS Fatmawati sejak tanggal 16 Mei 2014. Klien dibawa ke rumah sakit karena mengalami diare selama 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Orang tua klien mengatakan buang air besar anak cair 5 kali dalam sehari, tidak ada darah dan anak mengalami mual dan muntah. Kemudian anak dibawa berobat ke klinik pada 24 jam pertama dan diberikan obat oleh dokter. Namun, selama 24 jam kedua, diare masih ada dan muncul demam pada anak. Lalu, pada hari ketiga, orang tua membawa anak N ke puskesmas, dan dari pihak puskesmas anak dirujuk untuk segera dibawa ke rumah sakit. Anak segera dibawa ke rumah sakit Fatmawati namun pada siang itu tidak ada dokter anak sehingga orang tua membawa anak N pulang ke rumah. Lalu, pada esok harinya, anak N mengeluhkan sakit perut di bagian kanan bawah dan orang tua mengantar anak N kembali ke rumah sakit Fatmawati.

Saat masuk RS berat badan An.N 20 kg dan dengan tinggi badan 110 cm. Klien dirawat untuk post operasi apendiktomi secara cito pada tanggal 18 Mei 2014. Setelah operasi, klien dirawat di ruang perawatan bedah anak lantai III utara untuk mendapatkan perawatan paska bedah.

Pada saat pengkajian awal, kesadaran klien compos mentis dan keadaan umumnya baik walaupun masih tampak sedikit lemah. Di abdomen terdapat luka paska operasi apendiktomi. Tanda-tanda vital klien cukup stabil yaitu tekanan darah 90/65 mmHg, nadi 98 kali/menit, pernafasan 26 kali/ menit, suhu 36,6oC dan skor glasgow coma scale (GCS) 15. Klien terlihat berbaring di tempat tidur. Klien tampak sering menangis, terutama

(43)

Universitas Indonesia

pada saat dilakukan prosedur invasif seperti pemberian obat melalui iv dan perawatan luka post operasi. Hasil pemeriksaan hematologi sebelum operasi hemoglobin dan hematokrit menunjukkan nilai yang tampak sedikit rendah. Namun, setelah operasi hasil pemeriksaan hematologi menunjukkan nilai yang cukup rendah pada hemoglobin dan hematokrit.

Sejak lahir, anak pernah mengalami demam dan batuk pilek, tidak ada kejang dan mimisan. Anak sudah mendapat imunisasi BCG hingga campak. Anak diberi ASI oleh ibu klien. Menurut orangtua anak, tidak ada masalah dalam pemberian ASI, anak minum cukup banyak. Selain ASI, klien juga diberikan PASI yaitu bubur susu. Pola tidur klien yaitu 9 jam untuk tidur malam dan 2 jam saat tidur siang. Klien BAB 1 kali sehari, BAK 5 kali sehari. Penilaian risiko jatuh dengan metode humpty dumpty, skor yang didapat adalah 13 yaitu risiko jatuh sedang. Anak mendapatkan obat parenteral yaitu IVFD KaEn 1B 380 cc + KCl 10 mEq + D40% 120 ml, aminofluid 600 ml/24 jam, antibiotik 2 x 350 mg via IV dan 3 x 250 mg via IV, antiemetik 2 x 20 mg via IV, dan analgesik & paracetamol 3 x 100 mg via drip.

3.2. Analisis Data dan Masalah Keperawatan

Berdasarkan hasil pengkajian yang telah dilakukan, kemudian dilakukan analisa kasus dan didapatkan beberapa masalah keperawatan yang muncul. Anak mengalami nyeri akut. Hal ini didapatkan dari observasi anak saat dilakukan perawatan luka post operasi yaitu anak menangis kesakitan di bagian luka. Anak juga tampak berusaha melindungi area paska operasi dengan menghindar saat akan dilakukan perawatan luka. Saat dilakukan pengkajian nyeri dengan menggunakan faces pain rating scale pun total skor 4 yang menunjukkan anak merasakan nyeri yang amat sangat.

Masalah lain yang muncul adalah risiko kekurangan volume cairan. Hal ini dikarenakan orang tua mengatakan bahwa anaknya sangat sedikit minumnya selama dirawat di rumah sakit. Selain itu, paska operasi orang

(44)

28   

Universitas Indonesia

 

tua juga belum mengetahui bahwa anak sudah dianjurkan untuk banyak minum air putih sehingga orang tua tidak memberikan minum selama beberapa jam paska operasi. Membran mukosa anak juga tampak kering dan anak juga tidak mau saat diberi minum.

Selain itu, masalah keperawatan lainnya ialah risiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Hal ini diangkat menjadi masalah karena mengingat orang tua menyatakan bahwa anak tidak mau makan. Anak juga tampak lemah dan menolak untuk menghabiskan makanan yang telah disediakan oleh rumah sakit. Selain itu, dari hasil laboratorium pada tanggal 19 Mei 2014, hemoglobin anak hanya bernilai 7,5 g/dl. Orang tua mengatakan bahwa anak tidak mau makan disebabkan karena masih terasa mual dan muntah.

Pada An.N tidak ditemukan masalah psikososial yang berarti. Walaupun beberapa hari setelah operasi An.N menunjukkan tanda-tanda temper tantrum, seperti marah-marah pada perawat saat dilakukan tindakan, berteriak, menangis, menendang-nendang perawat dengan kaki, bahkan memukul ibunya yang berada di dekatnya. Namun, setelah hari keempat paska operasi, An.N sudah menunjukkan perilaku kooperatif, seperti tersenyum, sudah bisa bercanda dengan perawat, dan tidak menangis.

3.3. Rencana dan Implementasi Tindakan Keperawatan 1) Nyeri (akut).

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, anak menyatakan nyeri berkurang

Kriteria hasil : Anak menunjukkan skala nyeri dalam rentang 0-5 (faces pain rating scale) yaitu 1.

Intervensi : Mandiri

(45)

Universitas Indonesia

 Mengkaji skala nyeri (faces pain rating scale) yang dirasakan anak yaitu skala 3 selama dilakukan perawatan luka post operasi pada hari ketiga di area abdomen bawah umbilikus

 Menerapkan teknik distraksi dengan menggunakan mainan/ benda kesukaan anak, yaitu boneka

 Membantu untuk melakukan latihan ambulasi dini, dari miring kiri-kanan, duduk, hingga berjalan ke sekitar tempat tidur

Kolaborasi

 Memberikan obat analgesik 3 x 100 mg via drip

Gambar 3.1 Kondisi luka paska apendiktomi pada An.N

2) Risiko ketidakseimbangan volume cairan.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, status hidrasi anak adekuat sehingga tidak terjadi kekurangan volume cairan.

Kriteria hasil : Mempertahankan hidrasi adekuat dengan bukti membran mukosa lembab, turgor kulit baik, pengisian kapiler < 3 detik, tanda vital stabil (suhu 360C, frekuensi pernapasan 20-30 kali/menit, nadi 90-120 kali/menit).

Intervensi : Mandiri

(46)

30   

Universitas Indonesia

 

 Mencatat pemasukan dan pengeluaran cairan dengan cermat dan ukur feses cair.

 Mengobservasi tanda vital, takikardi. Evaluasi turgor kulit, pengisian kapiler dan membran mukosa.

Kolaborasi

 Memberikan cairan intravena dan elektrolit sesuai kebutuhan cairan harian anak

 Memberikan obat paracetamol 3 x 100 mg via drip jika demam 3) Risiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan

tubuh.

Tujuan : Tidak terjadi gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Kriteria hasil : Tidak ada penurunan berat badan, anak mau makan minimal 5 sendok makan, nafsu makan anak meningkat yang ditandai dengan porsi makanan yang disajikan rumah sakit mampu dihabiskan anak, yaitu 3 piring ukuran sedang dalam sehari, tanpa ada mual dan muntah.

Intervensi : Mandiri

 Mengkaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai. Menurut ibu, biasanya anak makan 3 kali sehari teratur dan selalu habis seporsi piring ukuran kecil. Anak menyukai susu, tahu, ikan, ayam goreng, dan kentang goreng.

 Mengobservasi dan mencatat makanan yang dikonsumsi anak selama di rumah sakit. Anak diberikan susu oleh ibu satu hari setelah operasi. Orang tua mengatakan anak tidak menghabiskan makan siangnya, anak hanya makan tiga suap nasi dengan lauk ikan. Begitu pula dengan makan malamnya, anak hanya makan empat suap nasi dengan lauk. Anak tidak mau makan apa-apa selain susu dan nasi lunak yang diberikan dari rumah sakit setiap harinya.

(47)

Universitas Indonesia

 Menimbang BB 3 hari sekali. Anak hanya ditimbang satu kali selama post operasi, yaitu berat badan stabil 20 kg seperti penimbangan awal pengkajian perawatan.

 Menganjurkan pada orang tua untuk makan makanan sedikit namun sering atau makan kudapan diantara waktu makan

 Menganjurkan orang tua dan anak untuk menghindari makanan yang merangsang peristaltik usus (pedas/ asam) dan mengandung gas.

 Menjelaskan pada anak dan keluarga tentang penting nutrisi/ makanan bagi proses penyembuhan.

 Menganjurkan pada klien untuk menarik nafas dalam jika terasa mual.

Kolaborasi

 Memberikan diet lunak yaitu nasi lunak beserta sayur dan lauk.  Memberikan obat antiemetik 2 x 20 mg via IV

3.4. Evaluasi Hasil Implementasi Keperawatan

Hasil evaluasi tindakan asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada An.N selama di rumah sakit ialah :

1. Masalah utama pada An.N adalah nyeri akut berhubungan dengan adanya luka post operasi. Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama empat hari, anak menunjukkan adanya perubahan skala nyeri (faces pain rating scale) selama dilakukan perawatan luka post operasi dari skala 4 menjadi skala 2. Hal tersebut terjadi setelah diterapkannya teknik relaksasi pernafasan dna distraksi dengan menggunakan baling-baling mainan. An.N cukup kooperatif selama diberi penjelasan untuk mengikuti instruksi dari perawat. Anak juga tampak berkurang intensitas rewelnya dibandingkan awal sebelum dilakukan teknik relaksasi pernafasan dan distraksi, walaupun hanya beberapa menit saja. Oleh karena itu, masalah teratasi sebagian.

2. Masalah selanjutnya yang ada pada An.N ialah risiko kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan mual, muntah, serta

(48)

32   

Universitas Indonesia

 

ketidakinginan anak untuk banyak minum. Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan yang lebih banyak adalah memantau status cairan anak dan memotivasi orang tua dan khususnya anak untuk banyak minum, anak tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi, seperti membran mukosa kering, mata cekung, dan turgor kulit lambat. Anak juga tidak tampak rewel, kecuali saat dilakukan perawatan luka atau pemberian obat oleh perawat. Oleh sebab itu, masalah risiko kekurangan volume cairan dan elektrolit teratasi sebagian.

3. Masalah ketiga yang ada pada An.N adalah risiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan asupan nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan yang menurun. Di hari terakhir sebelum An.N pulang, orang tua mengatakan anak sudah mau menghabiskan makanan yang disediakan oleh rumah sakit. Selain itu, anak juga tampak lebih segar dan cerah dibanding hari-hari rawat sebelumnya. Jadi, masalah risiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi.

(49)

BAB 4 PEMBAHASAN

4.1 Profil Lahan Praktik

Lantai III utara merupakan salah satu ruang perawatan anak umum dan bedah, yang terletak di gedung teratai RSUP Fatmawati. Lantai III Utara terdiri dari 12 kamar yang terbagi atas: 1 kamar bedah prima, 3 kamar kelas I, 2 kamar kelas II, 1 kamar khusus isolasi infeksi, 1 kamar khusus luka bakar, dan 4 kamar kelas III dengan kapasitas tempat tidur sebanyak 45 tempat tidur. Jumlah ketenagaan di ruangan ini berjumlah 23 orang perawat, yang terdiri dari 7 orang lulusan S1 keperawatan, 14 orang lulusan DIII keperawatan, 2 orang lulusan SPK, dan 2 orang pekarya lulusan SLTA. Ruang lantai III utara dikelola oleh seorang Kepala Ruangan yang dibantu oleh Wakil Kepala Ruangan dan dua orang Kepala Tim serta 17 orang perawat pelaksana.

4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan Konsep Kasus Terkait

Anak menderita apendisitis akut dengan tindakan operasi apendiktomi. Apendisitis merupakan suatu peradangan yang terjadi di apendiks yang dapat disebabkan karena adanya obstruksi, baik akibat tumor, bakteri maupun cacing yang mengakibatkan infeksi. Infeksi tersebut mungkin dapat terjadi disebabkan karena anak mengonsumsi makanan yang kurang higienis di pinggir jalan. Hal ini sesuai dengan karakteristik anak usia prasekolah yang mulai tertarik dengan makanan yang manis-manis atau warna yang mencolok.

Makanan-makanan tersebut dapat mengandung bakteri yang didapatkan, baik dari cara pengolahan yang kurang higienis ataupun polutan-polutan kendaraan akibat dijual di pinggir jalan. Bakteri-bakteri tersebut masuk ke dalam saluran pencernaan sehingga dapat menyebabkan infeksi saluran tersebut, khususnya bagian apendiks karena apendiks merupakan tempat

(50)

34   

Universitas Indonesia

 

yang ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan multiplikasi (Chang, 2010). Adanya obstruksi atau benda asing lainnya mengakibatkan cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga tekanan intra mukosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus/ nanah pada dinding apendiks. Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks. Konsumsi makanan yang rendah serat sesuai dengan kebiasaan yang dilakukan oleh An.N. Orang tua menyatakan bahwa An.N memang tidak menyukai sayur-sayuran dan hanya menyukai beberapa buah-buahan. Hal ini selaras dengan pernyataan Hockenberry dan Wilson (2007) terkait penyakit yang umum ditemukan pada anak usia prasekolah yaitu penyakit pencernaan apendisitis yang terjadi akibat rendahnya konsumsi serat. Sehingga, pengeluaran feses yang sulit dapat menyebabkan endapan-endapan atau obstruksi pada saluran pencernaan.

Dari kasus An. N didapatkan bahwa keluarga tergolong dalam kaum urban yang bertempat tinggal di Depok. Orangtua An.N masih tinggal bersama orangtuanya. Dengan usianya yang tergolong cukup, Ibu M melahirkan An.N pada usia 33 tahun. Suaminya yang bekerja sebagai karyawan swasta dengan penghasilan kurang dari 2 juta sehingga keluarga termasuk dalam ekonomi menengah ke bawah. Ibu M yang lulusan SMA menyatakan penyakit anaknya karena sering mengonsumsi jajanan yang kurang higienis di pinggir jalan. Ibu M menyatakan bahwa ia sangat memperhatikan makanan dan susunya selama kehamilan kedua anaknya dan pemeriksaan kehamilan yang teratur. Walaupun tidak diketahui secara pasti, nutrisi ibu selama kehamilan. Ibu M juga menyatakan bahwa keluarganya tidak memiliki adat istiadat tertentu terkait makanan bagi wanita selama masa kehamilan. Selain itu, keluarga tinggal di kota yang cukup padat penduduk yang memungkinkan penularan infeksi oleh bakteri

(51)

Universitas Indonesia

terkait apendisitis melalui makanan/ jajanan anak-anak yang dikonsumsi sehari-hari.

4.3 Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait Pelaksanaan intervensi keperawatan kepada An.N dilakukan secara komprehensif, baik pada aspek fisik maupun psikologis. Terkait masalah gangguan rasa nyaman nyeri yang dialami klien, maka salah satu intervensi yang dilakukan oleh penulis terkait aplikasi tesis yaitu penggunaan terapi relaksasi nafas dalam dengan bermain meniup baling-baling yang merupakan salah satu manajemen nyeri nonfarmakologi yang dapat diterapkan pada anak. Tesis yang penulis adaptasi berjudul “Efektivitas Terapi Relaksasi Nafas Dalam Dengan Bermain Meniup Blaing-baling untuk Menurunkan Intensitas Nyeri pada Anak Post Perawatan Luka Operasi di Dua Rumah Sakit di Banda Aceh Nanggroe Aceh Darussalam” oleh Syamsuddin (2009).

Anak prasekolah mempersepsikan rasa nyeri sebagai hukuman, sehingga menimbulkan reaksi agresif, seperti menolak makan, sering bertanya, menangis perlahan, tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan (Dachi, 2009). Pengalaman anak selama periode usia prasekolah umumnya lebih menakutkan dibandingkan dengan periode usia lainnya, rasa takut yang umumnya terjadi antara lain adalah; kegelapan, ditinggal orang tua atau orang terdekat terutama saat menjelang tidur, binatang terutama binatang yang besar, hantu, nyeri, dan objek serta orang-orang yang berhubungan dengan pengalaman yang menyakitkan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kotzer (1996) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri paska operasi spinal fusion pada anak dan remaja. Penelitian tersebut menyatakan bahwa usia berpengaruh terhadap nyeri post operasi. Hal tersebut sesuai dengan perilaku An.N yang sangat intolerir nyeri yang dirasakannya. An.N tidak kooperatif saat dilakukan perawatan luka paska operasi. An.N cenderung melindungi area luka paska operasi untuk tidak disentuh orang lain termasuk perawat dan menangis

(52)

36   

Universitas Indonesia

 

karena menolak untuk disentuh area luka paska operasi akibat nyeri luka tersebut. Tanpa disadari, anak akan sering merasa ketakutan dan marah seiring dengan seringnya dilakukan tindakan invasif oleh perawat atau petugas kesehatan lainnya tanpa mempertimbangkan psikososial anak. Seringnya anak marah dapat berdampak buruk pada perkembangan psikososialnya yaitu dapat menyebabkan temper tantrum. Temper tantrum merupakan luapan emosi yang telah hingga puncaknya dan tak terkontrol dan seringkali muncul pada anak usia 15 bulan hingga 6 tahun. Pada anak usia 5 tahun, temper tantrum dimanifestasikan oleh anak dalam perilaku, seperti memukul ibu atau keluarga terdekat, berteriak, merengek, dan menendang atau menghentakkan kaki (Zaviera, 2008).

An.N sulit menyukai situasi dan orang-orang baru, serta sulit dialihkan perhatiannya. Hal tersebut sesuai dengan ciri-ciri anak yang lebih mudah mengalami tantrum menurut Ferdinand (2008) yaitu memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tak teratur; sulit menyukai situasi, makanan, ataupun orang-orang baru; lambat beradaptasi terhadap perubahan; suasana hatinya lebih sering negatif; mudah terprovokasi, mudah merasa marah; serta sulit dialihkan perhatiannya. Temper tantrum memang normal terjadi pada tahap perkembangan anak, namun bila kondisi ini terus berlanjut dan dibiarkan tanpa ada penanganan lebih lanjut, maka dikhawatirkan akan terjadi perkembangan yang negatif pada diri anak. Oleh sebab itu diperlukan penanganan terhadap nyeri serta pencegahan dan penanganan masalah psikososial pada anak prasekolah.

Penanganan nyeri dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu farmakologi dan nonfarmakologi pada anak (Potter & Perry, 2005). Metode relaksasi merupakan salah satu jenis penanganan nyeri secara nonfarmakologis yang dapat diterapkan pada usia anak prasekolah (Wong, 2008). Menurut Hockenberry (2011), anak usia prasekolah sudah dapat menerima penjelasan dan mengikuti instruksi yang diberikan oleh orang dewasa. Hal ini sesuai dengan sikap dan perilaku An.N yang dapat menerima

Gambar

Gambar 2.2 Visual Analog Scale
Gambar 3.1 Kondisi luka paska apendiktomi pada An.N

Referensi

Dokumen terkait

Indeks keanekaragaman pada tiap stasiun menunjukkan nilai 1,49 pada stasiun 1, 1,29 pada stasiun 2 dan 1,12 pada stasiun 3 dimana nilai dari ketiga stasiun menunjukkan kisaran

Dalam penelitian ini yang diamati adalah perubahan pola dan jumlah frinji interferensi pada Interferometer Michelson, sehingga dari perubahan pola frinji tersebut

Kebutuhan tubuh akan gizi dan nutrisi menarik perhatian kami untuk membuat suatu inovasi pada makanan ringan khas Jawa Barat ini yang berupa VEGELOK (Vegetable

The research is focused on the development a tool for converting IOTNE into IOTED and apply the tool to obtain EDM in the Indonesian industrial sector based on the 2008

mengkombinasikan variabel persepsi kualitas dengan variabel lain di luar variabel dalam penelitian ini, karena variabel persepsi kualitas adalah variabel dominan

ada pada kelompok untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa pada tahap analisis yang telah ada indikator pencapaiannya dengan menggunakan lembar observasi

Dilihat dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa untuk masing- masing variabel pada penelitian ini memiliki nilai yang lebih besar daripada 0,6 sehingga

Dalam menganalisa data digunakan metode deskriptif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data biaya produksi (biaya bahan baku langsung,