• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Ennis (1996, xx) mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan suatu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Ennis (1996, xx) mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan suatu"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Berpikir Kritis

Ennis (1996, xx) mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan suatu proses yang bertujuan agar kita dapat membuat keputusan-keputusan yang masuk akal, sehingga apa yang kita anggap terbaik tentang suatu kebenaran dapat kita lakukan dengan benar. Terdapat elemen dasar dalam berpikir kritis yang diakronimkan dengan FRISCO, yaitu:

(1) Fokus (Focus) terhadap situasi yang menggambarkan masalah utama, dalam hal ini kita dapat mengajukan pertanyaan: apa yang terjadi/diketahui, apa masalah yang sebenarnya, bagaimana membuktikannya.

(2) Alasan (Reason), memformulasi argumen-argumen yang menunjang kesimpulan, mencari bukti yang menunjang alasan dari suatu kesimpulan sehingga kesimpulan dapat diterima, mengidentifikasi dan menjustifikasi masalah. Terhadap suatu masalah kita harus menemukan masalah utamnya, memutuskan, mempertimbangkan semua aspek yang mungkin, mempelajari dengan seksama, setrta menyimpulkannya. Hal ini dilakukan tidak hanya pada akhir, tetapi dilakukan sepanjang kita memecahkan masalah tersebut.

(3) Inferensi (Inference), apakah alasan yang kita kemukakan sudah tepat, bila ya, seberapa kuatkah alasan itu dapat mendukung kesimpulan yang kita buat.

(2)

(4) Situasi (Situation), aktifitas berpikir juga dipengaruhi oleh lingkungan atau situasi yang ada disekitar kita.

(5) Klarifikasi (Clarify), hal itu dapat dilakukan dengan menanyakan : apa maksudnya, dapatkah memberi contoh lain, dapatkah kamu mencarinya dengan cara lain.

(6) Keseluruhan (Overview), memandang secara keseluruhan.

Menurut Baron dan Stemberg (1987: 10) terdapat lima hal dasar dalam berpikir kritis yaitu praktis, reflektif, masuk akal, keyakinan, dan tindakan. Dari penggabungan lima hal dasar ini maka didefinisikan bahwa berpikir kritis itu adalah suatu pikiran reflektif yang difokuskan untuk memutuskan apa yang diyakini untuk dilakukan. Sejalan dengan itu Marzano et al (1989: 18) mengungkapkan bahwa berpikir kritis adalah sesuatu yang masuk akal, berpikir reflektif yang difokuskan pada apa keputusan yang diyakini, dikerjakan, dan diperbuat.

Pendapat Ennis, Baron dan Stemberg, serta Marzano sama dengan pendapat Krulick dan Rudnick yang mengemukakan bahwa berpikir kritis itu adalah suatu cara berpikir yang menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari suatu situasi masalah, termasuk didalamnya kemampuan untuk mengumpulkan informasi, mengingat, menganalisis situasi, membaca serta memahami dan mengidentifikasi hal-hal yang diperlukan.

Berdasarkan pengertian berpikir kritis menurut Krulik dan Rudnick, maka berpikir kritis merupakan berpikir analitis. Hal ini disebabkan oleh karena dalam berpikir kritis, kita melakukan selangkah demi selangkah, dilakukan dengan

(3)

menghubungkan semua informasi yang ada. Berpikir analitis adalah proses berpikir untuk mengklarifikasi, membandingkan, menarik kesimpulan dan mengevaluasi.

Berpikir kritis dapat diinterpretasikan dalam berbagai cara. Menurut Fisher (1995: 65) berpikir kritis adalah menjelaskan apa yang dipikirkan. Belajar untuk berpikir kritis berarti: belajar bagaimana bertanya, kapan bertanya, apa pertanyaannya, bagaimana nalarnya, kapan menggunakan penalaran, dan metode penalaran apa yang dipakai. Seorang siswa dapat dikatakan berpikir kritis bila siswa tersebut mampu menguji pengelamannnya, mengevaluasi pengetahuan, ide-ide, dan mempertimbangkan argumen sebelum mendapatkan justifikasi. Agar siswa menjadi pemikir kritis maka harus dikembangkan sikap-sikap keinginan untuk bernalar, ditantang, dan mencari kebenaran.

Paul (Fisher, 1995: 72) membagi strategi berpikir kritis kedalam tiga jenis, yaitu: strategi afektif, kemampuan makro, dan ketrampilan mikro, dimana satu sama lainnya saling berkaitan. Strategi afektif bertujuan untuk meningkatkan berpikir independen, dengan cara menanamkan dan mengembangkan rasa percaya diri tentang apa yang diyakini. Untuk mengembangkan intelektual yang independen, siswa harus melihat bagaimana orang-orang berpikir secara independen, dan bagaimana cara untuk melakukannya. Selanjutnya yang dimaksud dengan kemampuan makro adalah proses yang terlibat dalam berpikir, mengorganisasi pikiran yang ada. Tujuannya adalah agar hasil pemikiran kita padu, dan komprehensif.

Model berpikir kritis yang direkomendasikan oleh O’Daffer dan Thornquist (Suryadi, 2005: 24) meliputi tahapan-tahapan: memahami masalah, melakukan

(4)

pengkajian terhadap bukti, data, asumsi; menyatakan dan mendukung suatu kesimpulan, keputusan, atau solusi; menerapkan kesimpulan, keputusan, atau solusi. Menurut Glazer (2001) yang dimaksud dengan berpikir kritis dalam matematika adalah kemampuan dan disposisi untuk melibatkan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematis, dan menggunakan strategi kognitif dalam menggeneralisasi, membuktikan, atau mengevaluasi situasi matematis yang kurang dikenal dengan cara reflektif. Guru dalam melakukan pembelajaran matematika dikelas hendaknya memfasilitasi siswa dalam mengembangkan proses berpikir kritis, guru harus melakukan tindakkan yang mendorong siswa merefleksikan kemampuannya.

Sehubungan dengan pembelajaran matematika pada siswa SMP, maka penulis meninjau berpikir kritis siswa dari aspek mengidentifikasi, menghubungkan, mengevaluasi, menganalisis, dan memecahkan masalah.

2.2. Berpikir Kreatif

Ada banyak pengertian tentang kreativitas, pengertian yang paling sederhana tentang kreativitas adalah kemampuan menemukan hubungan atau keterkaitan baru, melihat sesuatu itu dari perspektif baru, atau bisa juga berarti membentuk kombinasi baru dari dua atau lebih konsep yang ada dalam pikiran. Menurut Supriadi (1994: 6) tidak ada pengertian kreativitas yang dapat mewakili pemahaman yang beragam dari kreativitas. Hal ini disebabkan kreativitas merupakan bidang kajian yang kompleks yang dapat menimbulkan berbagai pandangan dan tafsiran.

Kreativitas dapat dipandang sebagai produk hasil dari pemikiran atau perilaku manusia dan sebagai proses memikirkan berbagai gagasan dalam menghadapi suatu

(5)

persoalan atau masalah. Kreativitas dapat juga dipandang sebagai proses bermain dengan gagasan-gagasan atau unsur-unsur yang ada dalam pikiran, sehingga merupakan suatu kegiatan yang penuh tantangan bagi siswa yang kreatif (Semiawan, Munandar, 1984).

Rhodes (dalam Supriadi, 1995: 7) membedakan pengertian kreativitas dalam empat dimensi (the Four P’s of Creativity) yaitu : (1) person, (2) process, (3)

product, dan (4) press. Pengertian kreativitas dalam dimensi seseorang (person)

adalah seseorang yang menghasilkan prestasi kreatif ditentukan oleh bakat (aptitude, yang meliputi kelancaran, kelenturan, keluwesan, dan originalitas) dan afektif (non

aptitude, seperti kepercayaan diri, keuletan, kemandirian). Kreativitas dalam dimensi

proses (process) memandang bahwa kreativitas adalah kemampuan yang mencerminkan kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), orisinalitas (originality), penguraian (elaboration), penilaian (evaluation), merumuskan kembali (redefinition), dan kepekaan (sensitivity) dalam berpikir.

Pengertian kreativitas yang menekankan hasil (product), dikemukakan oleh Baron (1976) yakni: “the ability to bring something new into existence”. Sementara itu Amabile (1983) mengemukakan: “creativity can be regarded as the quality of

products or responses judged to be creative by appropriate observer”. Pengertian

kreativitas yang menekankan proses dikemukakan oleh Simpson dan Amibile et al (dalam Munandar, 2002: 28) yaitu kreativitas tidak hanya tergantung pada ketrampilan dalam bidang berpikir kreatif, tetapi juga pada motivasi instinsik untuk bekerja pada lingkungan sosial yang kondusif.

(6)

Struktur model intelek dari Gilford yang dikembangkan sejak tahun enam puluhan, sampai sekarang dijadikan sumber utama dalam gagasan tentang kreativitas. Guilford memberikan gambaran bahwa intelegensi manusia terdiri dari beberapa faktor seperti operasi produk divergen (berpikir divergen) dengan komponen utamanya adalah fluency, flexibility, dan elaboration.

Torrance (Hudgins et al, 1983: 373) menambah komponen berpikir divergen dengan komponen originality. Dengan demikian terdapat 4 komponen dari bepikir divergen yaitu fluency, flexibility, elaboration, dan originality.

Hal ini sama dengan yang dikemukakan Evans (1991: 41) bahwa komponen berpikir divergen terdiri atas komponen sensitivity, fluency, flexibility, dan originality.

1. Sensitivity (kepekaan)

Kemampuan untuk mengenal adanya suatu masalah dan mengabaikan fakta-fakta yang kurang sesuai (misleading fact) dalam mengenal masalah yang sebenarnya.

2. Fluency (kefasihan atau kelancaran)

Kemampuan dalam membangun ide-ide. Fluency memegang peranan penting, karena dengan semakin banyaknya ide yang didapat, maka peluang untuk mendapatkan ide yang bagus semakin besar.

3. Flexibility (keluwesan atau kelenturan)

Kemampuan untuk membangun ide-ide yang beragam. Flexibility terkait dengan kemampuan untuk mencoba berbagai pendekatan dalam memecahkan masalah.

(7)

4. Originality (keaslian)

Kemampuan untuk menghasilkan ide-ide yang tidak umum atau luar biasa, menyelesaikan masalah dengan cara yang tidak umum, tidak baku atau menggunakan sesuatu dan memanfaatkan situasi dengan cara yang tidak umum.

Starko (1995: 41) dan Munandar (2004: 65) mengemukakan bahwa model struktur intelek dari Guilford merupakan suatu model intelegensi yang kompleks, terdiri dari 180 komponen yang dibentuk melalui kombinasi content, product, dan

operation. Guilford mengidentifikasi komponen berpikir divergen yang meliputi fluency (kelancaran membangun banyak ide-ide), flexibility (membangun berbagai

ide-ide dari berbagai sudut pandang yang berbeda), originality (membangun ide-ide yang tidak umum, dan elaboration (mengembangkan ide-ide). Guilford juga mengemukakan tentang pentingnya kepekaan (sensitivity) pada masalah, dan mengevaluasi ide-ide kreatif yang dihasilkan.

Starko (1995: 193) dan Fisher (1995: 44) mengemukakan bahwa definisi yang paling umum dari berpikir kreatif atau berpikir divergen adalah model struktur intelektual Guilford yang meliputi kepasihan (fluency) yaitu berpikir dengan banyak ide, fleksibilitas yaitu berpikir dari berbagai sudut pandang yang berbeda, originilitas (originality) yaitu berpikir dari ide-ide yang tidak umum, dan elaborasi (elaboration) yaitu menambah ide-ide supaya lebih jelas.

Dari beberapa pendapat tentang berpikir divergen Guilford dapat disimpulkan bahwa berpikir divergen merupakan berpikir kreatif. Disamping itu Fisher (1995: 18)

(8)

mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan berpikir kreatif adalah menciptakan hipotesis dengan menggunakan pengetahuan dan inspirasi, dalam berpikir kreatif kita juga menggunakan penalaran dan pemecahan masalah. Pengertian kreativitas menurut Jones (1972: 7) adalah merupakan suatu kombinasi dari fleksibilitas (flexibility), originilitas (originality), dan sensitivitas (sensitivity) pada ide-ide dimana pemikir mampu melepaskan diri dari cara berpikir biasa ke cara berpikir produktif dan berbeda, sehingga hasilnya akan memberi kepuasan pada dirinya bahkan orang lain. Hudgins et al (1983: 370) mendefinisikan pengertian berpikir kritis sebagai suatu proses yang produktif, yang menghasilkan suatu ide-ide atau produk baru. Pendapat Semiawan, Munandar tentang kreativitas mendukung pendapat-pendapat sebelumnya dengan mengemukakan bahwa kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menciptakan suatu produk baru. Ciptaan itu sendiri tidak perlu seluruhnya harus baru, bisa saja merupakan gabungan, kombinasi produk yang telah ada.

Munandar (1999: 88) menjelaskan ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif sebagai berikut:

1. Ketrampilan berpikir lancar (fluency)

Ciri-ciri ketrampilan berpikir lancar adalah mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah, atau pertanyaan, memberikan banyak cara atau saran dalam melakukan berbagai hal, selalu memikirkan lebih dari satu jawaban. Ketrampilan ini ditunjukan oleh perilaku siswa seperti: mengajukan banyak pertanyaan, menjawab dengan banyak jawaban jika ada pertanyaan, mempunyai banyak gagasan tentang cara penyelesaian suatu masalah, lancar dalam

(9)

mengungkapkan gagasan-gagasannya, bekerja lebih cepat dan melakukan lebih banyak daripada anak-anak lain, dapat dengan cepat melihat kesalahan atau kekurangan pada suatu objek atau situasi.

2. Ketrampilan berpikir luwes (flexibility)

Ciri-ciri ketrampilan berpikir luwes adalah menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi; dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda, mencari banyak alternatif pemecahan yang berbeda-beda; mampu mengubah cara pendekatan atau pemikiran. Ketrampilan berpikir ini ditunjukan dengan oleh perilaku siswa seperti: memberikan aneka ragam penggunaan yang tidak lazim terhadap suatu objek, memberikan berbagai penafsiran (interpretasi) terhadap suatu gambar, cerita, atau masalah, menerapkan suatu konsep dengan cara yang berbeda-beda, memberi pertimbangan terhadap situasi yang berbeda dari yang diberikan oleh orang lain, dalam membahas atau mendiskusikan suatu situasi selalu mempunyai posisi yang berbeda atau bertentangan dari mayoritas kelompok, jika diberikan suatu masalah biasanya memikirkan penyelesaiannya dengan cara-cara yang berbeda, mampu mengubah arah berpikir secara spontan. 3. Ketrampilan berpikir orisinil (originality)

Ciri-ciri ketrampilan berpikir orisinil adalah mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik, memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri, mampu membuat kombinasi yang tidak lazim. Ketrampilan ini ditunjukan oleh perilaku siswa seperti: memikirkan masalah-masalah atau hal-hal yang tidak dipikirkan oleh orang lain, mempertanyakan cara-cara yang lama dan berusaha

(10)

memikirkan cara-cara baru, memilih asimetri dalam membuat menggambar atau membuat disain, memiliki cara berpikir yang lain dari yang lain, mencari pendekatan baru, menemukan cara penyelesaian yang baru, lebih senang mensintesis dari pada menganalisis.

4. Ketrampilan memperinci (elaboration)

Ciri-ciri ketrampilan berpikir orisinil adalah mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk; menambahkan atau memperinci secara detil dari suatu situasi sehingga menjadi lebih menarik. Ketrampilan ini ditunjukan oleh perilaku siswa seperti: mencari arti yang lebih mendalam terhadap jawaban, melakukan langkah-langkah yang terperinci; mengembangkan atau memperkaya gagasan orang lain, mencoba atau menguji secara detail untuk melihat arah yang akan ditempuh, mempunyai rasa keindahan yang kuat sehingga tidak puas dengan penampilan yang kosong atau sederhana, menambahkan garis-garis, warna-warna, detail-detail terhadap gambarnya sendiri atau gambar orang lain.

Berbagai pandangan tentang pengertian dan komponen kreativitas atau berpikir kreatif, pada prinsipnya adalah sama, tetapi cara pengungkapannya yang berbeda-beda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komponen berpikir kreatif terdiri dari: sensitivity, fluency, flexibility, dan originality. Fisher (1995: 64) menekankan bahwa berpikir kreatif adalah imaginatif, inventif, dan melibatkan pembentukan ide-ide baru. Setiap aktifitas kreatif dalam mencari solusi suatu masalah melibatkan berpikir kritis. Krulik dan Rudnick (Sabandar: 2006) memberikan

(11)

pengertian terhadap berpikir kreatif yaitu merupakan suatu kemampuan yang bersifat original dan refleksif serta menghasilkan sesuatu yang kompleks termasuk mensintesiskan gagasan-gagasan, memunculkan ide-ide, menentukan efektifitas suatu gagasan, mampu membuat suatu keputusan dan membuat generalisasi.

Berpikir kreatif adalah suatu cara membangun ide-ide yang dapat diterapkan dalam kehidupan. Proses kreatif akan muncul bila ada stimulus. Terdapat lima tahapan dalam melakukan proses kreatif, yaitu: stimulus, eksplorasi, perencanaan, aktifitas, dan reviu (Fisher, 1995: 38). Masing-masing tahapan diuraikan secara singkat sebagai berikut:

1. Stimulus

Untuk dapat berpikir kreatif, perlu adanya stimulus dari pikiran yang lain. Stimulus awal didorong oleh suatu kesadaran bahwa suatu masalah harus diselesaikan, memberi tantangan pada siswa akan memicu siswa untuk berpikir. Tugas guru adalah memicu kreativitas anak dan mendukung proses eksplorasi yang dilakukan oleh anak.

2. Eksplorasi

Siswa dibantu untuk memperhatikan alternatif-alternatif pilihan sebelum membuat suatu keputusan. Untuk berpikir kreatif, siswa harus mampu menginvestivigasi lebih lanjut, dan melihat apa yang mereka perlukan lagi. Teknik-teknik atau prinsip-prinsip tertentu dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas dari ide-ide yang muncul, teknik-teknik ini meliputi:

(12)

a. Divergent thinking yaitu jenis berpikir yang membangun banyak jawab yang

berbeda, tidak terbatas pada berpikir konvergen yang mencari satu jawaban yang benar.

b. Deferring judgement yaitu prinsip berpikir sekarang, hilangkan kecemasan

bahwa ini benar, mencegah imaginasi yang ditahan oleh pertimbangan dan kebimbangan. Prinsip ini berguna ketika siswa bekerja sendiri, memikirkan ide-ide, atau brainstorming dalam suatu kelompok

c. Extending effort yaitu dalam memperluas usaha, siswa perlu diberi

kesempatan, dukungan, minat, pertanyaan, dan stimulus dari orang dewasa. d. Allowing time yaitu memberi siswa waktu yang cukup untuk menginkubasi

ide-ide, tanamkan bahwa tidak ada yang tidak dapat dikerjakan yang penting adalah proses kreatif. Hal ini sangat berguna dalam aktifitas pemecahan masalah, yaitu meninggalkannya untuk sementara waktu, dan kembali dengan semangat baru.

e. Encouraging play yaitu untuk melihat seberapa jauh suatu ide itu dapat

diperluas, beri siswa kesempatan untuk membangunnya, menggambarkannya, mempresentasikannya, bertindak, dan menguji tindakannya.

3. Perencanaan

Setelah diberikan stimulus berupa masalah, kemudian melakukan eksplorasi untuk memecahkan masalah tersebut, selanjutnya membuat berbagai strategi atau perencanaan untuk memecahkan masalah. Dari berbagai rencana yang dibuat, dapat diambil beberapa rencana yang paling tepat.

(13)

4. Aktivitas

Proses kreatif dimulai dengan satu atau kumpulan ide. Untuk dapat memfokuskan pada ide-ide yang penting, seseorang dapat bertanya: apa yang dapat kita lakukan dengan ide ini? Kemana arahnya ide ini? Bagaimana ide ini dapat menunjang dalam memecahkan masalah? Kita perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyadari berpikir kreatif mereka dalam bentuk tindakan dengan kata lain setelah perencanaannya matang kemudian dilakukan aktivitas atau melaksanakan berbagai rencana yang telah ditetapkan.

5. Reviu

Siswa perlu mengadakan evaluasi dan meninjau kembali pekerjaannya. Apa yang dikerjakannya? Seberapa jauh keberhasilannya? Apakah kita telah mencapai tujuan? Apa yang telah dipelajari? Siswa dapat dilatih untuk menggunakan

judgement dan imaginasi mereka untuk mengevaluasi ide mereka

Berbagai teknik berpikir kreatif didesain untuk meningkatkan berpikir divergen siswa atau berpikir dengan banyak jawaban yang berbeda dari suatu situasi yang diketahui. Torrance (dalam Starko, 1995: 25) mendefinisikan model kreativitas berikut: (1) memahami masalah atau kesulitan-kesulitan, (2) membuat perkiraan atau hipotesis masalah, (3) mengevaluasi hipotesis dan merevisinya, dan (4) mengkomunikasi hasil. Sedangkan Parnes (dalam Starko, 1995) mengembangkan teknik kreatif yaitu Creative Problem Solving (CPS) atau dikenal dengan istilah pemecahan masalah kreatif. Pemecahan masalah secara kreatif adalah suatu model yang didesain untuk memfasilitasi dan menjelaskan proses kreatif. Setiap langkah

(14)

dari pemecahan masalah memiliki fase divergen (D) dalam menemukan banyak ide dan konvergen (K) dalam menarik kesimpulan.

Model pemecahan masalah kreatif terdiri dari tiga komponen dan dibagi kedalam 6 tahapan yang spesifik. Ketiga komponen tersebut yaitu understanding the

problem (memahami masalah), generating ideas (membangun ide-ide), dan planning for action (merencanakan untuk bertindak). Hal tersebut diimplikasikan dalam 6

tahapan yaitu: (1) mess-finding, (2) data finding, (3) problem finding, (4) idea

finding, (5) solution finding, (6) acceptance finding (temuan yang dapat diterima)

(Starko, 1995: 25). Berikut adalah penjelasan dari tahapan pemecahan masalah secara kreatif:

1. Tahap mess finding

Tahap pertama ini merupakan tahap menemukan atau dihadapkan pada masalah yang luas dan kacau (mess) atau samar-samar (fuzzy problem). Pada tahap ini individu mengidentifikasi pertanyaan untuk mengetahui masalah yang ditemukan. 2. Tahap data finding

Mengumpulkan semua informasi atau fakta yang diketahui tentang masalah yang akan dipecahkan dan mencoba menemukan data baru yang diperlukan. Dalam tahap ini juga dikumpulkan pendapat, impresi, dan hipotesis.

3. Tahap problem finding

Tahap merumuskan dan mengembangkan masalah, bila dipandang perlu masalah yang dihadapi dirumuskan kembali (redefinition).

(15)

4. Tahap idea finding

Tahap ini merupakan tahap pengembangan gagasan pemecahan masalah sebanyak mungkin, ide-ide dibangun dari pernyataan-pernyataan yang ada pada masalah. 5. Tahap solution finding

Gagasan dan ide-ide yang muncul pada idea finding dievaluasi, dan membangun kriteria-kriteria evaluasi dari gagasan-gagasan yang muncul.

6. Tahap acceptance finding

Menyusun rencana tindakan untuk mengimplikasikan solusi yang dipilih. 2.3. Pembelajaran Berbasis Masalah

Dalam rangka memperoleh hasil belajar yang optimal, hendaknya guru mengusai berbagai pendekatan pembelajaran, sehingga guru dapat memilih pendekatan pembelajaran yang cocok dan tepat dengan karakteristik dan perkembangan kognitif siswa, serta tujuan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Sejalan dengan pandangan konstruktivisme, yang menuntut siswa belajar secara aktif, maka pemilihan model pembelajaran yang tepat harus menjadi perhatian. Salah satu model pembelajaran yang mempunyai karakteristik yang interaktif adalah model pembelajaran berbasis masalah (Problem-Based Learning), disingkat PBL.

Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang menitik beratkan pada kegiatan pemecahan masalah, dan masalah yang harus diselesaikan merupakan masalah yang belum jadi atau tidak terstruktur dengan baik (ill-structured

problem), sehingga hal ini dapat menantang siswa untuk berpikir dan melakukan

(16)

yang disimulasikan, siswa bekerjasama secara berkelompok untuk mengembangkan ketrampilan memecahkan masalah (problem solving), kemudian siswa mendiskusikan apa yang harus dilakukan dan bernegoisasi untuk membangun kognitifnya.

Menurut Gallagher (1997, 333) menyatakan bahwa PBL merupakan suatu pengembangan kurikulum yang ditandai dengan pengembangan kemampuan pemecahan masalah sehingga dapat menunjang siswa dalam mendapatkan pengetahuan dan ketrampilannya. Sejalan dengan itu Gijselaers (1996,13) mengungkapkan bahwa PBL merupakan pembelajaran dimana siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya. Demikian juga dengan Barrows dan Tablyn (dalam Delishe, 1997: 3) mengatakan bahwa PBL adalah belajar yang didapat dari proses pemahaman dan pemecahan masalah. Lebih jelas Fogarty (1997: 2) menjelaskan bahwa PBL adalah model kurikulum yang dirancang dari masalah yang terdapat disekitar kita yang bentuknya belum jadi (ill-structured problem), terbuka

(open-ended), ambigu. Sejalan dengan pendapat diatas Ngeow dan San (2001: 1)

mengungkapkan bahwa PBL adalah pendekatan pembelajaran yang menantang siswa untuk belajar, bekerja secara kooperatif, dalam rangka mencari pemecahan masalah, mampu mengembangan ketrampilan siswa dalam pemecahan masalah.

Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menantang siswa untuk berpikir dan memecahkan masalah secara kooperatif , sehingga siswa tersebut dapat menjadi pemecah masalah (problem solver) yang handal, sehingga pengetahuan dan konsep yang benar terbangun dengan baik pada diri siswa.

(17)

PBL merupakan pembelajaran yang dilandasi paham konstruktifisme, yang menganut asumsi bahwa pemahaman konsep muncul melalui interaksi dengan lingkungan dan terjadinya konflik kognitif merupakan stimulus dalam memahami konsep yang diajarkan.

PBL pertama kali dikembangkan oleh Howard Barrow seorang dosen pada fakultas kedokteran Mc Master University di Hamilton, Ontario Kanada pada tahun 70-an. Dia mencoba mengembangkan suatu metode pembelajaran yang kemudian dikenal dengan PBL Barrow mengembangkan PBL dilatarbelakangi kenyataan bahwa informasi, pengetahuan yang sudah dihafal sangat mudah hilang atau lupa , Barrow mencoba mengembangkan suatu pembelajaran yang berdasarkan serangkaian masalah, masalah yang disajikan lebih menekankan pada pengembangan ketrampilan mahasiswa, masalah yang disajikan tidak utuh, sehingga mendorong mahasiswa untuk memahami, menyelidiki situasi, mengembangkan pertanyaan-pertanyaan, sehingga memungkinkan munculnya rencana-rencana pemecahan masalah yang dihadapi. Pemecahan yang dilakukan terhadap masalah yang disajikan dilakukan secara kolaboratif, sehingga prinsip-prinsip dan konsep dari masalah itu dapat tergali dengan baik.

Walaupun PBL dalam dunia kedokteran telah berkembang dengan baik, namun dalam dunia pendidikan, PBL masih relatif baru. Dalam bidang matematika dan sain, Illinois Mathematics and Science (IMSA) mengembangkan PBL dari sekolah dasar sampai sekolah lanjutan. Keberhasilan PBL dalam pembelajaran sain mulai dari SD sampai sekolah lanjutan dikemukakan oleh Torp & Sage (1998).

(18)

Mereka menyimpulkan bahwa PBL tidak hanya meningkatkan penguasaan siswa dalam sain, namun juga siswa menjadi lebih aktif dalam belajar, antusias, tertantang, serta mereka belajar dengan cara terbaik menurut mereka.

Masalah yang dikemukakan dalam PBL merupakan suatu strategi yang merupakan refleksi dari apa yang dipelajari, dan bagaimana hal itu terjadi. Menurut Savery dan Duffy (1996,2), masalah dapat berperan sebagai: (1) petunjuk, bertujuan untuk memfokuskan perhatian siswa, (2) integrator atau tes, disajikan setelah setelah membaca sedemikian rupa sehingga siswa dapat menggunakan pengetahuan yang mereka peroleh dari hasil bacaan, (3) sebagai contoh, digunakan sebagai ilustrasi dalam hal tertentu, (4) sebagai kendaraan untuk memproses, fokusnya adalah berpikir kritis dan melatih ketrampilan berpikir, (5) sebagai stimulus.

Masalah yang disajikan dalam PBL adalah masalah yang tidak terstruktur (ill-

stucture), atau kontekstual dan menarik (contextual and engaging), sehingga

merangsang siswa untuk bertanya dari berbagai perspektif (Barrow dalam Gijselaers, 1996). Menurut Slavin (1994) karakteristik lain dari pembelajaran berbasis masalah adalah : meliputi pengajuan pertanyaan terhadap situasi atau masalah, fokus pada keterkaitan antar disiplin, penyelidikkan autentik, kerjasama, dan menghasilkan produk atau karya yang harus dipamerkan. Sependapat dengan Slavin, Pierce dan Jones ( Howey et al, 20001: 71) mengungkapkan bahwa pada pembelajaran berbasis masalah terdapat proses yang harus dimunculkan, seperti: keterlibatan (engagement), ingkuiri dan investigasi (inquiry and investigation), kinerja (performance), tanya jawab dan diskusi (debriefing).

(19)

Keterlibatan (engagement) bertujuan mempersiapkan siswa untuk berperan sebagai pemecah masalah sendiri (self-directed problem solver) yang mampu bekerja sama dengan siswa atau pihak lain, menghadapkan siswa pada situasi yang mendorong siswa mampu menemukan masalah dan meneliti intisari dari permasalahan sambil menduga dan membuat rencana penyelesaian. Ingkuiri dan investigasi (inquiry and investigation) merupakan kegiatan yang mengeksplorasi berbagai cara penyelesaian serta mengumpulkan dan menyimpulkan informasi. Kinerja (performance) adalah menyajikan temuan yang didapat. Tanya jawab dan diskusi (debriefing) adalah menguji keakuratan dari penyelesaian dan melakukan refleksi terhadap proses pemecahan masalah yang dilakukan.

Berdasarkan hasil studi Herman (2005), hal-hal yang penting diperhatikan guru dalam mengimplementasikan belajar berbasis masalah adalah:

1. Sajian bahan ajar berupa masalah harus memicu terjadinya konflik kognitif di dalam diri siswa.

2. Tidak perlu cepat-cepat memberikan bantuan kepada siswa, agar perkembangan actual siswa maksimal. Intervensi yang diberikan guru harus minimal dan diberikan ketika siswa benar-benar membutuhkannya. 3. Agar intervensi yang dilakukan efektif, perlu mengetahui pengetahuan

individual (prior-knowledge) siswa dan mempertimbangkan berbagai alternative solusi masalah yang berada dalam koridor pengetahuan siswa.

(20)

Langkah-langkah dalam Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Karena sifat pembelajaran berbasis masalah adalah interaktif, aktif, kooperatif dan dinamis maka pembelajarannya memiliki langkah-langkah yang khas. Orientasi masalah lebih ditekankan pada siswa, guru disini hanya sebagai motivator, organisator, fasilitator, justifikator, dan evaluator dalam menggali konsep-konsep, fakta, teori dan prosedur matematik yang terkandung di dalam masalah yang dihadapi siswa. Langkah-langkah yang perlu dilakukan berikut diadaptasi dari Arends (2004: 406) seperti dalam tabel berikut:

Tabel 2.1

Langkah-Langkah Pembelajaran Berbasis Masalah

Langkah Fase Tingkah laku guru

1 Orientasi siswa pada masalah yang

mengandung konflik kognitif

Menjelaskan tujuan pembelajaran Menjelaskan prasyarat yang diperlukan Memotivasi siswa untuk terlibat secara aktif

2 Mengorganisasi siswa untuk belajar

Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut 3 Membimbing

penyelidikan yang dilakukan siswa baik secara individual maupun kelompok

Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai dalam

memecahkan masalah

4 Mengembangkan dan menyajikan

penyelesaian

Membantu siswa dalam merencanakan dan mengerjakan penyelesaian

pemecahan masalah 5 Menganalisis dan

mengevaluasi proses pemecahan masalah

Membantu siswa dalam melakukan refleksi dan evaluasi terhadap proses penyelesaian yang mereka gunakan

(21)

2. 4. Konflik Kognitif

Dalam pengertian yang sederhana, jika tidak terdapat kesamaan persepsi (pendapat atau paham) yang menimbulkan pertentangan antara dua kelompok, maka dikatakan bahwa telah terjadi konflik diantara dua kelompok tersebut. Demikian juga jika pada diri seorang individu terjadi kebimbangan dalam memilih satu atau lebih pilihan dari banyak pilihan yang tersedia maka pada diri seseorang tersebut terjadi konflik. Membuat keputusan atau memberi jawaban terhadap masalah atau pertanyaan tertentu dengan didasari alasan-alasan tertentu sering kali membuat kebimbangan dalam individu untuk menjawabnya, maka hal ini kita katakan telah terjadi konflik dalam diri individu yang bersangkutan.

Dalam kegiatan belajar, siswa atau mahasiswa sering mengalami kebimbangan dalam memastikan apakah solusi atau alasan yang dia kemukakan /berikan adalah suatu solusi yang benar atau salah. Memberi jawaban atau alasan terhadap suatu pertanyaan tentu terkait dengan kemampuan kognitif dari individu. Dalam situasi konflik yang terjadi sehubungan dengan kemampuan kognitif individu, dimana individu tidak mampu menyesesuaikan struktur kognitifnya dengan situasi yang dihadapi dalam belajar, maka dikatakan bahwa ada konflik kognitif dalam diri individu tersebut

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konflik kognitif adalah suatu situasi dimana kesadaran seorang individu mengalami ketidakseimbangan (Mischel, 1971). Demikian juga konflik kognitif adalah ketidakseimbangan kognitif yang disebabkan oleh adanya kesadaran seseorang akan adannya informasi-informasi yang

(22)

bertentangan dengan informasi yang dimilikinya yang tersimpan dalam struktur kognitifnya. Konflik kognitif dapat juga muncul dalam lingkungan sosial ketika ada pertentangan pendapat atau pemikiran antara seseorang individu dengan individu lainnya pada lingkungan individu yang bersangkutan (Damon dan Killen, 1982) Sebagai contoh ketika seorang siswa belum bisa memastikan ada berapa persamaan kuadrat yang akar-akarnya 4 dan -4, apakah terdapat tepat satu persamaan atau lebih dari satu persamaan kuadrat, ketika siswa tertegun dan bingung untuk menjawabnya maka dapat kita katakan siswa tersebut mengalami konflik kognitif.

Dalam situasi konflik kognisi, siswa akan memanfaatkan kemampuan kognitifnya dalam upaya mencari justifikasi, konfirmasi atau verifikasi terhadap pendapatnya. Artinya kemampuan kognitifnya memperoleh kesempatan untuk diberdayakan, disegarkan, atau dimantapkan, apalagi jika siswa tersebut masih terus berupaya. Misalnya siswa akan memanfaatkan daya ingatnya, pemahamannya akan konsep-konsep matematika ataupun pengalamannya untuk membuat suatu keputusan yang tepat. Dalam situasi konflik kognitif seperti ini, siswa dapat memperoleh kejelasan dari lingkungannya, antara lain dari guru ataupun siswa yang lebih pandai (scaffolding). Dengan kata lain, konflik kognitif yang ada pada diri seseorang yang direspon secara tepat atau positif dapat menyegarkan dan memberdayakan kemampuan kognitif yang dimiliki siswa.

Disadari atau tidak konflik kognitif sering muncul dalam aktifitas belajar mengajar, hal ini disebabkan karena kemampuan kognitif dari individu ataupun kelompok yang beragam serta sifat dari materi yang kita ajarkan. Artinya konflik

(23)

kognitif dapat terjadi dalam belajar ketika tidak terjadi keseimbangan antara informasi atau pengetahuan yang telah dimilik oleh siswa dengan informasi yang dihadapi dalam suasana belajar.

Dalam hal situasi pemecahan masalah, siswa biasanya dihadapkan kepada tantangan-tantangan dan sering mereka berhadapan dengan kebuntuaan. Dengan menghadirkan suatu konflik kognitif dengan secara sengaja merupakan suatu upaya untuk membiasakan siswa dan memberi pengalaman bagaimana menghadapi suatu situasi yang tidak dikehendaki, memberi tantangan dan kesempatan kepada siswa untuk memantapkan pengetahuan dan ketrampilan matematika yang dimilikinya.

Sesungguhnya konflik kognitif terbentuk dan berkaitan dengan struktur kognitif dari individu dengan lingkungannya. Terdapat beberapa pendapat beberapa ahli yang mengungkapkan bagaimana konflik kognitif itu dibangun:

1. Piaget mengemukakannya dengan ketidakseimbangan kognitif, yaitu ketidak seimbangan antara struktur kognitif seseorang dengan informasi yang berasal dari lingkungannya, dengan kata lain terjadi ketidakseimbangan antara struktur-struktur internal dengan masukan-masukan eksternal.

2. Hasweh mengemukakannya dengan ketidakseimbangan kognitif atau konflik metakognitif, yaitu: konflik diantara skemata-skemata dimana terjadi pertentangan antara struktur kognitif yang lama dengan struktur kognitif yang baru (yang sedang dipelajari atau yang dihadapi).

3. Kwon mengemukakan dengan Konflik kognitif, yaitu; konflik antara struktur kognitif yang baru (menyangkut materi yang baru dipelajari) dengan

(24)

lingkungan yang dapat dijelaskan tetapi penjelasan itu mengacu pada struktur kognitif awal yang dimiliki oleh individu.

Gambar 2.1 berikut merupakan versi yang disederhanakan oleh Kwon yang disajikan oleh Hasweh (Hasweh, 1986)

Gambar 2.1. Model Konflik Kognitif dari Kwon dan Lee (2001) Bahagian atas dari gambar 2.1 menggambarkan tentang struktur-struktur kognitif, sedangkan gambar pada bahagian bawah menggambarkan stimulus-stimulus dari lingkungan. C 1 menyatakan konsep awal yang ada pada siswa, yang mungkin saja hal ini merupakan miskonsepsi dari siswa. C 2 merupakan konsep yang akan dipelajari. R 1 menyatakan lingkungan yang dapat dijelaskan oleh C 1, sedangkan R 2 menyatakan lingkungan yang dapat dijelaskan oleh C 2

Jenis konflik yang dikemukakan oleh Piaget adalah antara C 1 dan R 2 (conflict I), sedangkan konflik kognitif yang dikemukakan oleh Hasweh adalah antara

(25)

C1 dan C2 (conflict III) pada gambar. Sedangkan konfilk yang dikemukakan oleh Kwon adalah antara C 2 dengan R 1 (conflict II).

Terdapat beberapa pendefinisian tentang konflik kognitif. Ada banyak istilah yang digunakan oleh para peneliti dalam menggambarkan dan menjelaskan konflik kognitif, seperti ketidakcocokkan kognitif (dissonance cognitive), kesenjangan kognitif (gap cognitive), konflik konsep (conceptual cognitive), ketidaksesuaian (discrepancy), disekuilibrium, konflik internal (internal conflict). Smedlund (1961) menggunakan kata ekuilibrasinya Piaget dalam menyatakan konflik kognitif. Dari beberapa literatur kita dapat menemukan beberapa definisi konflik kognitif sebagai berikut:

1. Kesadaran individu terhadap suatu disequilibrium pada suatu sistim skema (Mischel, 1971)

2. Merasa konsep yang dia miliki bertentangan dengan kosep yang dimiliki oleh orang lain (Damon dan Killen (1982).

3. Kesadaran akan ketidakcocokan informasi (Bodlakova 1988)

4. Kesadaran anak terhadap dua pendapat yang bertentangan (Wadsworth, 1996) 5. Konflik antara struktur pengetahuan yang dimiliki seseorang dengan

lingkungannya (Kwon,1989)

6. Munculnya pertentangan antara struktur kognitif siswa atau pengetahuan awal siswa dengan sumber-sumber belajar dalam lingkungan belajar (Sabandar, 2005)

(26)

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan para ahli maka dapat disimpulkan bahwa konflik kognitif adalah keadaan dimana terdapat ketidak cocok antara struktur kognitif yang dimiliki dan dipunyai oleh seseorang dengan informasi yang baru dia dapat dari luar (lingkungan) atau informasi baru yang diterimanya tidak cocok dengan struktur kognitif yang telah dia miliki.

4.2. Latar Belakang Psikologis

Secara psikologis, mulainya konflik kognitif dipandang sebagai suatu strategi untuk mengembangkan berpikir dipelopori oleh Socrates. Socrates memunculkan strategi konflik kognitif untuk merangsang lawan bicaranya untuk berpikir. Namun dasar yang lebih jelas dalam memunculkan konflik kognitif ditemukan oleh Piaget. Piaget menamakan konflik kognitif tersebut dengan disekuilibrium. Piaget mengatakan bahwa suatu struktur kognitif (struktur pengetahuan yang terorganisir dengan baik di otak) selalu berintegrasi dengan lingkungannya melalui asimilasi dan akomodasi. Jika asimilasi dan akomodasi terjadi dengan bebas dengan lingkungannya (bebas konflik), maka struktur kognitif dikatakan dalam keadaan ekuilibrium dengan lingkungannya., namun jika hal ini tidak terjadi pada seseorang, maka seseorang tersebut dikatakan pada keadaan yang tidak seimbang (disequilibrium). Bilamana seseorang berada atau mengalami suatu disekuilibrium maka dia akan merespon terhadap keaadaan tersebut dan mencari keseimbangan (equilibrium) yang baru dengan lingkungannya. Gambar 2.2. menunjukkan proses perkembangan konflik kognitif menurut Piaget (Kwon, 2001).

(27)

Gambar 2.2. Proses Perkembangan Kognitif dari Piaget

Gambar 2.2. menerangkan bagaimana terjadinya konflik kognitif, pada level rendah, keseimbangan kognitif terjadi, sehingga tidak terjadi konflik kognitif meskipun terjadi asimilasi dan akomodasi, pada level ini informasi baru di asimilasi dan diakomodasi dengan baik, dengan kata lain informasi yang didapat ditangkap, dipahami sesuai dengan skemata yang telah ada dalam pikiran anak. Pada level menengah terjadi ketidakseimbangan kognitif atau terjadi konflik kognitif karena terjadi kekurangan data sehingga informasi yang didapat tidak cocok dengan pengetahuan atau struktur kognitif (skemata) yang dimiliki, sehingga informasi yang ada tidak dapat diasimilasi, akibatnya proses akomodasi pun tidak terjadi terhadap informasi tersebut. Pada level ini, perlunya scaffolding baik dari guru, maupun dari teman sebaya yang tidak mengalami konflik kognitif, disamping scaffolding peranan metakognisi juga dapat membantu untuk mengakhiri konflik kognitif. Pada level

Keseimbangan Kognitif Lingkungan III Akomodasi Struktur Kognitif II Asimilasi Konflik Kognitif Ekuilibrasi Lingkungan II Struktur Kognitif I Akomodasi Keseimbangan Kognitif Asimilasi Lingkungan I Struktur Kognitif Akomodasi Asimilasi

(28)

yang lebih tinggi, ekuilibrium kognitif (re-equilibrium) terjadi akibat adanya rekonseptualisasi terhadap informasi sehingga terjadi keseimbangan baru dari apa yang sebelumnya bertentangan (konflik kognitif). Pada level ini keseimbangan kognitif terjadi karena adanya intervensi (scaffolding) yang dilakukan dengan sengaja oleh guru atau sumber lain sehingga proses asimilasi dan akomodasi berlangsung dengan lancar. Berdasarkan hal ini, maka dapat dikatakan bahwa disekuilibrium kognitif atau konflik kognitif perlu dikondisikan agar terjadi suatu ekuilibrium pada tingkat yang lebih tinggi daripada equilibrium yang sebelumnya.

2.5 Sikap Siswa terhadap Matematika

Matematika sebagai salah satu disiplin ilmu memiliki nilai-nilai untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan bersikap. Hal ini sejalan dengan pendapat Ruseffendi (1991) yang mengemukakan bahwa: “Matematika penting sebagai pembentuk sikap, oleh karena itu salah satu tugas guru adalah mendorong siswa agar dapat belajar dengan baik”.

Menurut Poerwadarminta (1984) sikap adalah perbuatan yang berdasarkan pendirian (pendapat atau keyakinan). Sikap siswa terhadap matematika erat kaitannya dengan minat. Sebagian dari sikap bisa akibat dari minat. Agar siswa berminat atau tertarik terhadap matematika paling tidak siswa harus dapat melihat kegunaannya, melihat keindahannya, atau karena matematika menantang. Mungkin juga siswa tertarik kepada matematika karena kesukaannya, argumentasinya yang jelas, soal-soal

(29)

yang menantang, gurunya yang menyenangkan dan sebagainya. Minat siswa terhadap matematika akan menimbulkan sikap positif terhadap matematika.

Pengertian sikap itu sendiri berkenaan dengan perasaan (kata hati) dan manifestasinya berupa prilaku yang bersifat positif atau negatif terhadap objek –objek tertentu. Thurstone (Suherman, 1990) mendefinisikan sikap sebagai derajat positif atau negatif terhadap suatu objek yang bersifat psikologis. Sikap positif bisa diartikan menyukai, menyenangi, menunjang, atau memihak terhadap suatu objek. Sedangkan sikap negatif bisa diartikan sebaliknya.

Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP) disebutkan bahwa tujuan pendidikan matematika antara lain penekanannya pada pembentukan sikap siswa seperti menghargai matematika dan kegunaannya dalam kehidupan. Dengan kata lain, dalam proses pembelajaran matematika yang dilakukan oleh guru hendaknya menunjang pada pembentukkan sikap positif siswa terhadap matematika. Menurut Djadir (Haji, 2005), sikap positif terhadap matematika perlu diperhatikan karena berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika. Siswa yang menyukai matematika, prestasinya cenderung tinggi dan sebaliknya siswa yang tidak menyukai matematika prestasinya cenderung rendah.

Sikap merupakan salah satu komponen dari aspek afektif, yang merupakan kecenderungan seseorang untuk merespon secara positif atau negatif suatu objek, situasi, konsep, atau kelompok individu. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Thorndike dan Hagen (Haji, 2005), yang menyatakan sikap sebagai suatu

(30)

kecenderungan untuk menerima atau menolak kelompok-kelompok individu, atau institusi sosial tertentu. Atiken (Chaerany, 2007) melukiskan sikap sebagai kecenderungan seseorang untuk merespon secara positif atau negatif suatu objek, situasi, konsep, atau orang lain. Matematika dapat diartikan sebagai suatu konsep atau ide abstrak yang penalarannya dilakukan dengan cara deduktif aksiomatik. Hal ini dapat disikapi oleh siswa berbeda-beda, mungkin menerima dengan baik atau sebaliknya.

Dengan demikian, sikap siswa terhadap matematika adalah kecenderungan seseorang untuk menerima (suka) atau menolak (tidak suka) terhadap konsep atau objek matematika. Bagi siswa yang memiliki sikap positip terhadap matematika memiliki ciri antara lain: menyenangi matematika, terlihat sungguh-sungguh dalam belajar matematika, memperhatikan guru dalam menjelaskan materi matematika, menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat waktu, berpartisipasi aktif dalam diskusi, dan mengerjakan tugas-tugas pekerjaan rumah dengan tuntas dan selesai pada waktunya. Sedangkan siswa yang bersikap negatif terhadap matematika, antara lain: tidak menyenangi matematika, malas dalam belajar matematika, kurang memperhatikan guru saat menjelaskan materi matematika, jarang menyelesaikan tugas matematika, merasa cemas ketika mengikuti pelajaran matematika.

Beberapa pendapat tentang sikap positif siswa terhadap matematika antara lain Ruseffendi (2006) mengatakan bahwa, anak-anak menyenangi matematika hanya pada permulaan mereka berkenalan dengan matematika yang sederhana, makin tinggi

(31)

tingkatan sekolahnya dan makin sukar matematika yang dipelajarinya akan semakin berkurang minatnya. Menurut Begle (Saragih, 2007), siswa yang hampir mendekati Sekolah Menengah mempunyai sikap positif terhadap matematika secara perlahan menurun.

Menurut Ruseffendi (2006), minat seseorang terhadap matematika merupakan salah satu faktor untuk mengetahui sikap seseorang terhadap matematika. Artinya seseorang yang berminat dalam matematika akan menumbuhkan sikap positif terhadap matematika. Untuk menumbuhkan minat dan sikap positif seseorang terhadap matematika perlu diperhatikan antara lain kegunaan matematika bagi kehidupan siswa dan cara guru menyampaikan matematika kepada siswa. Jika siswa memandang, matematika berguna bagi kehidupannya maka minat dan sikap positif terhadap matematika akan tumbuh pada dirinya, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, tunjukkan bahwa matematika banyak kegunaannya.

Dalam hal penyampaian materi matematika perlu diperhatikan agar penyampaian matematika dapat menyenangkan, mudah dipahami, tidak menakutkan. Karenanya materi harus dipilih dan disesuaikan dengan lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan tingkat kognitif siswa.

2.6. Teori Belajar yang Mendukung

Dari uraian sebelumnya dijelaskan bahwa model pembelajaran berbasis masalah termasuk pada paham konstruktivis, yang memandang bahwa belajar adalah proses membangun pengetahuan. Konstruktivis memandang bahwa pengetahuan dibentuk dan ditemukan oleh siswa secara aktif, tidak sekedar diterima secara pasif.

(32)

Siswa sendiri yang membuat interpretasi yang dibentuk dari masalah yang disajikan, pengelaman dan interaksi sosial, jadi belajar matematika dalam hal ini lebih mementingkan proses dari pada hasil. Konstruktivisme memiliki prinsip dasar yaitu, pengetahuan dikonstruksi oleh subjek sendiri. Ada beberapa teori belajar yang sejalan dan mendukung pembelajaran berbasis masalah seperti teori belajar yang dikemukakan oleh Piaget, Vygotsky, Bruner, Ausubel, Gagne, Brownel dan Jhon Dewey.

Piaget (Slavin, 1994: 45) mengemukakan bahwa pembelajaran lebih terpusat pada proses berpikir atau proses mental, mengutamakan peran siswa berinisiatif sendiri dan terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Teori Piaget (Dahar,1996: 159) memandang pengetahuan yang dibangun dalam pikiran anak merupakan akibat dari interaksi secara aktif dengan lingkungannya melalui proses asimilasi (penyerapan setiap informasi baru ke dalam pikirannya) dan proses akomodasi (kemampuan menyusun kembali struktur pikirannya karena ada informasi yang baru diterimanya). Vygotsky (Slavin,1994: 49) mengatakan bahwa proses belajar tak bisa terlepas dari pengaruh lingkungan sekitarnya, hal ini disebabkan karena perkembangan intelektual seorang anak dipengaruhi oleh faktor sosial (lingkungannya).

Teori belajar lainnya adalah teori belajar Bruner (Dahar,1996: 01) yang mengemukakan bahwa belajar adalah proses kognitif dan melibatkan tiga proses lainnya yang berlangsung secara bersamaan. Ketiga proses tersebut adalah memperoleh informasi baru, transformasi informasi, menguji relevansi serta ketepatan pengetahuan. Disamping itu Bruner juga mengemukakan kaidah-kaidah

(33)

atau dalil-dalil yang berkaitan dengan pengajaran matematika. Dalil-dalil tersebut adalah dalil penyusunan (construction theorem), dalil notasi (notation theorem), dalil pengkontrasan dan keanekaragaman (contrast and variation theorem), dan dalil pengaitan (connectivity theorem).

Teori lain yang mendukung pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah adalah teori belajar bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum pembelajaran yang dikemukakan oleh Ausubel, yang mengandung maksud adanya kemampuan siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi yang diperolehnya dengan pengetahuan yang telah dimilikinya (Dahar, 1996: 111).

Belajar bermakna mempunyai hubungan dengan pembelajaran dengan pendekatan berbasis masalah, karena untuk memahami dan menemukan suatu prinsip atau konsep dalam matematika siswa harus menghubungkan pengetahuan yang dimilikinya dengan permasalahan atau permasalah yang diajukan.

Teori belajar matematika yang dikemukakan oleh Gagne juga cocok dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah, karena menurut Gagne belajar dikelompokan dalam 8 tipe belajar, yaitu belajar isyarat, stimulus respon, rangkaian gerak, rangkaian gerak, rangkaian verbal, membedakan, pembentukan konsep, pembentukan aturan, dan pemecahan masalah. Di samping itu Gagne juga mengungkapkan bahwa dalam belajar matematika ada dua objek yang dapat diperoleh siswa yaitu objek langsung dan objek tak langsung. Objek langsung berupa fakta, ketrampilan, konsep, dan atuaran sedangkan objek tak langsung antara lain kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah, belajar mandiri, bersikap positif

(34)

terhadap matematika, dan tahu bagaimana semestinya belajar. Teori belajar lain yang mendukung pembelajaran berbasis masalah adalah teori belajar yang dikemukakan oleh Jhon Dewey yang menyatakan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh guru harus memperhatikan hal-hal berikut ini: (1) Penyajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian; (2) Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus mengutamakan dan memperhatikan kesiapan intelektual siswa; (3) Mengatur susana kelas agar siswa siap belajar.

Hal ini juga cocok dengan apa yang dikemukakan oleh W. Brownell yang menyatakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan pengertian. Vygotsky memandang bahwa dalam pembelajaran perlu interaksi sosial dan dialog. Untuk mendapatkan pemahaman suatu konsep, seorang siswa harus mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan lama yang telah dimilikinya, kemudian membangun suatu pengertian baru. Interaksi sosial dan diskusi membantu siswa untuk membuat kaitan antara bagian-bagian informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan penyelidikan dan refleksi, oleh karena itu teori Vygotsky sering disebut juga dengan teori konstruksi sosial. Vygotsky mengemukakan teori yang dikenal dengan

zone of proximal develoment (ZPD). ZPD didefinisikan sebagai daerah antara

perkembangan potensial dan kemampuan aktual. Perkembangan aktual merupakan hasil belajar yang diperoleh dengan usaha sendiri, sedangkan perkembangan potensial didapat dari melalui interaksi siswa dengan pihak lain yang mempunyai kemampuan lebih (Vygotsky, 1978: 86). Penerapan teori Vygotsky dalam pendekatan pembelajaran berbasis masalah adalah berkaitan erat dengan pandangan bahwa

(35)

matematika merupakan kegiatan mental manusia yang dilakukan secara bersama dikelas yang dapat dipandang sebagai komunitas belajar.

2. 7. Penelitian yang Relevan

Berkaitan dengan penerapan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (PBL), Mearson (1998) dalam studinya terhadap mahasiswa psikologi yang mengambil mata kuliah sains dasar menemukan bahwa belajar dengan pendekatan PBL sangat disenangi oleh mahasiswa. Pada umumnya prestasi mahasiswa menjadi lebih baik dan berminat untuk mengikuti mata kuliah lain yang menggunakan PBL. Sedangkan Boyle (1999) menggunakan pendekatan PBL dalam belajar Biostatistik untuk menunjukkan bahwa penggunaan PBL memberikan perubahan pada sikap dan pandangan yang positif, PBL juga membantu siswa dalam mengembangkan strategi pemecahan masalah, memacu siswa dalam membuat kerangka kerja untuk mencari solusi lain, dan menganalisisnya serta dapat memotivasi siswa dalam belajar.

Herman (2005) mengadakan studi tentang kemampuan berpikir tingkat tinggi dengan mengimplementasikan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL). Disimpulkan bahwa PBL terbuka dan PBL terstruktur secara signifikan lebih baik dalam peningkatan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.

Berikut beberapa hasil penelitian tentang kemampuan berpikir kritis matematik melalui berbagai pendekatan pembelajaran. Studi Glazer (2001) melaporkan bahwa penggunaan World Wide Web (WWW) sebagai sumber belajar dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir kritis dalam matematika.

(36)

Innabi (2003) mengadakan studi tentang kemampuan berpikir kritis 38 orang guru matematika pada sekolah menengah di Amman Yordania. Hasil studinya menunjukkan bahwa guru-guru matematika sekolah menengah dalam mengajar tidak beroreantasi pada peningkatan kemampua berpikir kritis siswa, sangat sedikit pada saat pembelajaran dikelas guru mengeksplor aspek-aspek dari berpikir kritis.

Syukur (2004), Rohayati (2005), Mayadina (2005), Mudrikah (2006), Ibrahim (2007), Fahinu (2007), Ratnaningsih (2007), dan Rochaminah (2008) melakukan penelitian yang berkaitan dengan kemampuan berpikir kritis dalam matematika. Hasil penelitian Syukur (2004) menyebutkan bahwa pembelajaran matematika dengan

open-ended dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa SMU. Penelitian

yang dilaksanakan oleh Rohayati (2005) di kelas II SMP Negeri 15 Bandung menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang mendapatkan pembelajaran kontekstual lebih baik dari pada siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan tradisional walaupun baru mencapai taraf cukup.

Mayadina (2005) melakukan penelitian tindakkan kelas yang dilakukan terhadap 36 mahasiswa program D-2 PGSD kelas I-F angkatan 2004. Dalam penelitiannya yang menggunakan pendekatan diskursus dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru sekolah dasar. Hasil penelitian Mayadina (2005) menunjukkan bahwa kualitas kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa pada siklus 1, 2, dan 3 adalah sedang, namun untuk siklus 4 kualitas kemampuan berpikir kritis matematis adalah tinggi. Mudrikah (2006) mengkaji tentang ketrampilan berpikir kritis melalui pembelajaran konsep, dan

(37)

melaporkan bahwa ketrampilan berpikir kritis siswa yang memperoleh pembelajaran konsep lebih baik daripada pembelajaran dengan konvensional.

Ibrahim (2007) mengadakan studi tentang kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa SMP melalui pendekatan advokasi masalah dengan penyajian masalah

open-ended. Hasil studi menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis

dan kreatif dalam matematika melalui pendekatan advokasi masalah dengan penyajian masalah open-ended berbeda secara signifikan dengan pembelajaran biasa.

Fahinu (2007) melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan generatif. Hasil penelitian yang dilakukan Fahinu terhadap mahasiswa program studi pendidikan matematika dan program studi matematika Universitas Haluholeo menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis mahasiswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran generatif lebih baik daripada mahasiswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional. Ratnaningsih (2007) melakukan penyelidikan tentang pengaruh pembelajaran kontekstual terhadap kemampuan berpikir kritis dan kreatif, dan menyimpulkan bahwa siswa sekolah menengah atas yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual, lebih kritis dan kreatif daripada siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual terstruktur dan konvensional.

Rochaminah (2008) meneliti pengaruh pembelajaran penemuan terhadap kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru, dan menyimpulkan bahwa bahwa kemampuan berpikir kritis mahasiswa calon guru yang diajar dengan

(38)

pembelajaran penemuan lebih baik daripada mahasiswa calon guru yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional.

Gambar

Gambar 2.1 berikut merupakan versi yang disederhanakan oleh Kwon yang disajikan  oleh Hasweh (Hasweh, 1986)
Gambar 2.2. Proses Perkembangan Kognitif dari Piaget

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa estimasi parameter model linear parsial dapat dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil dimana bagian nonparametriknya

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh kemampuan inferensi dengan model pembelajaran terhadap prestasi belajar psikomotor.Dengan adanya kemampuan inferensi baik

Siswa-siswa yang mengikuti kegiatan “ekstrakurikuler olahraga dengan frekuensi 3 kali per minggu” adalah siswa-siswa kelas VII di SMP Santa Maria yang mendaftar

Melaksanakan  Algoritma  berarti  mengerjakan  langkah‐langkah  di  dalam  Algoritma  tersebut.  Pemroses  mengerjakan  proses  sesuai  dengan  algoritma  yang 

(Raise The Red Lantern, 01:01:04-01:01:18) Dari tindakan Yan'er di atas dapat terlihat bahwa Yan'er tidak menyukai kehadiran Song Lian sebagai istri baru Chen Zuoqian dengan

Bab ini merupakan uraian mengenai metode dan teknik penelitian yang digunakan oleh peneliti untuk mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan skripsi yang berjudul

Jaringan yang dibekukan dengan cepat jika dicairkan kembali maka air akan diserap kembali ke dalam jaringan ketika kristal-kristal es tersebut mencair, sedangkan pada pembekuan

Pihak sekolah menganggap bahwa layanan kesehatan mental bagi anak berkebutuhan khusus sangat penting diselenggarakan di sekolah dan perlu adanya suatu perencanaan